Sabtu, 31 Mei 2014
Konsep Istinbat Hukum Dari Aspek Lafaz Bahasa..
Konsep Istinbat Hukum Dari Aspek Lafaz Bahasa
( Wadhih
ad-Dilalah dan Khafi ad-Dilalah )
Oleh: Imam Labib Hibaurrohman, Lc
Pendahuluan.
Al-Qur’an dan Sunnah, keduanya merupakan
sumber dan dalil pokok dalam pengambilan istinbat hukum Islam yang mana nashnya
menggunakan Bahasa Arab. Nabi Muhammad Saw menerima dan menjelaskan al-Qur’an juga
menggunakan Bahasa Arab, maka dalam setiap penggalian atau usaha memahami dan
pengungkapan akan makna hukum dari kedua sumber hukum tersebut tergantung
kepada kemampuannya untuk memahami Bahasa Arab. Para pakar Ushul Fiqh Islam
mengadakan penelitian tentang tata Bahasa Arab, ungkapan dan kosa
katanya. Kemudian dari hasil penelitiannya ditambah dengan ketetapan ahli bahasa
dikembangkannya menjadi sebuah kaidah atau batasan-batasan tertentu dalam
penerapan pengambilan hukum. Dengan kaidah yang muncul diharapkan bisa dapat
memahami hukum dari nash syara’ dengan pemahaman yang benar sesuai dengan
pemahaman orang Arab asli, dimana nash itu diturunkan menggunakan bahasa
mereka. Diharapkan juga dengan pemahaman yang benar dapat membuka
nash-nash yang masih samar, menghilangkan kontradiksi antara nash yang satu
dengan yang lainnya. Kemudian dapat mentakwil sebuah nash yang memiliki bukti
pentakwilannya atau beberapa hal lainya yang berhubungan dengan pengambilan istinbat
hukumnya dari nash.
Kaidah dan batasan bahasa dalam hukum
syara’ dikembangkan dari tata bahasa Arab yang ditambah dengan ketetapan para
ahli bahasa Arab, bukan tinjauan dari segi agama saja. Sebuah kaidah ada dan
muncul hanya untuk memahami ungkapan-ungkapan secara benar akan nash hukum yang
berbahasa Arab terutama dalam memahami undang-undang umum al-Qur’an dan
as-Sunnah sebagai sumber hukum utama. Oleh karena itu, setiap usaha untuk
memahami dan menggali hukum dari teks akan kedua sumber hukum tersebut sangat
bergantung kepada kemampuan dalam memahami bahasa Arab. Oleh karena itu, dalam
penetapan akan kata-kata yang digunakan untuk suatu artian dalam adat syara’
seperti shalat, zakat, talak, dll harus dipahami maknanya menurut arti
kebiasaan karena pembuat undang-undang dalam ungkapannya menghendaki arti
menurut kebiasaanya. Dalam memahami bahasa Arab ada beberapa kaidah bahasa yang
dipakai oleh ahli Ushulliyin antara lain kaidah dalam memahami nash dari
sisi Wadhih ad-Dilalah dan Khafi
ad-Dilalah (Ghairu Wadhih ad-Dilalah).
Telaah
Konsep Istinbat Hukum Dari Aspek Lafaz Kejelasan Bahasa
Ahli ushul fiqh menetapkan bahwa
pemahaman teks dan penggalian hukum harus berdasarkan pada kaidah. Dalam hal
ini mereka berpegang pada dua hal: Pertama, Pada petunjuk kebahasaan dan
pemahaman kaidah bahasa Arab dari teks tersebut dalam hubungannya dengan al-Qur’an
dan Sunnah. Kedua, Pada petunjuk Nabi Muhammad Saw dalam memahami
hukum-hukum al-Qur’an dan penjelasan sunnah atas hukum-hukum qur’ani itu. Dalam
hal ini, lafaz Arab dipahami dalam ruang lingkup hukum syara’.[1]
Abdul Wahab Khallaf [2]
menyatakan dalam pembebanan pemahaman tidak dibenarkan menurut undang-undang
maupun logika jika syariah menetapkan suatu undang-undang dengan satu bahasa
kemudian menuntut umatnya untuk memahami kata-kata materi dan ungkapan
undang-undang menurut aturan bahasa dan dari dasar bahasa yang lain. Karena
syarat sah pembebanan terhadap undang-undang adalah kemampuan mukallaf itu
sendiri dalam memahaminya. Maka undang-undang ditetapkan dengan bahasa umat dan
bahasa mayoritas individunya, sehingga kemampuan mereka dalam memahami hukum
adalah dengan cara pemahaman bahasa mereka sendiri. Undang-undang tidak dapat
menjadi hujjah (argument) bagi umatnya jika dibuat tidak dengan bahasa
mereka sendiri atau cara memahaminya tidak menurut bahasa dimana undang-undang
itu dibuat.
Allah Swt berfirman :
وما
أرسلنا من رسول إلا بلسان قومه ليبين لهم (إبراهيم : 4 )
Artinya : Kami tidak mengutus seorang
Rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan
dengan terang kepada kaumnya. (Ibrahim: 4)
Amir Syarifuddin menyebutkan bahwa
kaidah pemahaman lafaz Arabi itu mencakup empat segi pokok pembahasan : Pertama,
pemahaman lafaz dari segi arti dan kekuatan penggunaanya terhadap maksud
kehendak Allah yang terdapat dalam lafaz itu. Kedua, pemahaman lafaz
dari segi penunjukannya terhadap hukum. Ketiga, pemahaman lafaz dari
segi kandungannya terhadap satuan pengertian afrad dalam lafaz itu. Keempat,
pemahaman lafaz dari segi gaya bahasa yang digunakan dalam menyampaikan
tuntutan hukum taklifi.[3]
Oleh karena itu, setiap ahli fiqh harus
mengetahui jalan untuk pengambilan istinbat hukum dari nushus, karena
dalam ilmu ushul fiqh tertuang kajian akan metodologis cara pengambilan istinbat
hukum dari berbagi nash dan cara pengambilannya terbagi menjadi dua macam
bagian, yaitu: Dengan cara pengambilan penetapan hukum dari aspek makna dan
dari segi lafaz bahasa. Sedangkan pengambilan secara makna yaitu pencarian
hukum dari berbagai macam dalil selain dari nash, seperti: Qiyas, istihsan,
maslahah mursalah, dll. Jika dengan aspek bahasa yaitu memahami dan
mengetahui akan segi makna lafaz yang terkandung dalam berbagai macam dalil
dari nash yang menunjukkan akan segi ke-umuman-nya dan ke-khusussan-nya. Bisa
dengan cara penunjukkan dalil dari sisi ucapan akan lafaz nashnya atau dengan
cara memahami konteks teks yang diambil dari sisi bahasa kalamnya.
Tidak ada yang aneh ketika dalam kajian
ilmu ushul fiqh ada pembahasan yang berkenaan dengan kaidah pengambilan istinbat
hukum dari segi aspek bahasa. Bahkan seorang filusuf Yunani Arsitotels dalam
setiap penjelasan ilmu mantiqnya menggunakan konsep metodologi petunjuk
pemaknaan, sehingga dari metodologi tersebut akan mendapatkan makna lafaz
mantiq yang sesuai dengan makna tersiratnya sehingga bisa memberikan penjelasan
secara terang makna yang digambarkan dan yang dikehendakinya. Dari sini ada
beberapa kaidah ushul fiqh yang dimunculkan oleh ahli ushuliyyin pada
aspek lafaz bahasanya guna memperoleh pemahaman nash dari kedua sumber hukum
berbahasa Arab :
1. Dari
segi lafaz yang jelas dan kuat dalilnya untuk mengetahui maksudnya.
2. Dengan
cara memperjelas makna dengan pengungkapan makna atau pemahaman makna pada
lafaz.
3. Membedah
lafaz dengan cara mencari dalil yang dapat menunjukkan lafaz tersebut
menunjukkan arti secara umum atau khusus
4. Dengan
cara membebani pemahaman masing-masing mukallaf sesuai dengan apa yang
dipahaminya dari lafaz nash.
Ke empat inilah yang harus diketahui
guna pengambilan istinbat hukum dalam fiqh agar didapati
perundang-undangan yang salim. Sesungguhnya empat bentuk kaidah ini
tidak hanya ditujukan kepada satu pengkaji saja akan tetapi untuk seluruh
pengkaji hukum Islam secara keseluruhan karena kaidah penafsiran lafaz secara
fiqh dan pengungkapan makna yang terkandung adalah bagian dari pengecualian dan
pemulyaan dalil-dalil nash. Sedangkan hukum-hukum pentafsiran nash secara umum
sangatlah memberikan manfaat bagi penetapan hukum perundang-undangan Islam dan untuk
memahamkan akan sisi pelaksanaannya. [4]
Terjadinya perbedaan penetapan hukum
sebenarnya dimulai dari perbedaan penafsiran nash yang mana terkadang
penafsiran itu menunjukkan kepada maksud akan kejelasan makna dari hukum
ataupun sebaliknya, bisa jadi hasil penafsiran nash hukum belum memberikan
dampak kejelasan hukum. Secara garis besar, lafaz dari segi kejelasan artinya
terbagi menjadi dua macam:[5]
1.
Wadhih
ad-Dilalah atau lafaz yang telah terang artinya dan jelas
penunjukannya terhadap makna yang dimaksud, sehingga atas dasar kejelasan itu
beban hukum dapat ditetapkan tanpa memerlukan penjelasan dari luar.
2.
Khafi
ad-Dhilalah atau Lafaz yang belum terang artinya
dan belum jelas penunjukannya terhadap makna yang dimaksud kecuali dengan
penjelasan dari luar lafaz itu.
Para ulama berbeda pendapat dalam
mengatasi tingkatan dilalah lafaz dari segi kejelasan. Dalam hal ini,
dapat dibagi menjadi dua kelompok. Golongan pertama, yaitu golongan
Hanafiyah yang membagi lafaz dari segi kejelasan makna kepada empat bagian, yaitu
: Zhahir, Nash, mufassar dan muhkam. Sedangkan dari
ketidakjelasannya, mereka membagi menjadi empat macam pula, yaitu: khafi,
musykil, mujmal, mutasyabih. Kemudian bagi Golongan
kedua, yaitu jumhur dari kalangan mutakallimin dipelopori oleh
asy-Syafei yang membagi lafaz dari segi kejelasannya dibagi menjadi dua yaitu: Zhahir
dan Nash. Kedua bentuk lafaz itu disebut kalam mubayyan. Sedangkan dari
segi ketidak jelasannya dibagi menjadi dua macam yaitu: Mujmal dan Mutasyabih.[6]
Dalam beberapa kitab kontemporer
tingkatan dilalah lafaz dari segi kejelasan telah disebutkan terbagi
menjadi empat macam sesuai dengan pendapat golongan yang pertama dari
Hanafiyah. Bertolak dari berbagai macam perbedaan pendapat, penulis akan
mencoba mengkaji dilalah lafaz dari golongan yang pertama sesuai dengan
kitab-kitab kontemporer yang ada, karena dalam pengambilan istinbat hukum dari nash
tidak hanya berkutat kepada daerah kejelasan makna yang bersifat zhahir
atau nash saja akan tetapi diperlukan perkembangan pemahaman makna hingga
kepada daerah mufassar dan muhkam. Berikut pembagian dan
penjelasannya:
Lafaz
Yang terang Maknanya (Wadhih ad-Dilalah)
A. Zhahir
Dalam memberikan definisi terhadap lafaz
Zhahir terdapat rumusan yang berbeda dari kalangan ushul. Al-Sarkhisi
secara sederhana memberikan definisi akan lafaz Zhahir sebagai berikut:
ما
يعرف المراد منه بنفس السماع من غير تأمل
“Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya
dari pendengaran itu sendiri tanpa harus dipikirkan lebih dahulu”.
Abdul Wahab Khalaf juga memberikan
definisi lafaz Zhahir yang lebih sempurna lagi, yaitu:[7]
ما
دلَ بنفس صيغته على المراد منه من غير توقَف فهم المراد منه إلى أمر خارجىَ ولم
يكن المراد منه هو المقصود من السَياق ويحتمل التأويل
“Sesuatu yang maksudnya ditunjukkan oleh
bentuk nash itu sendiri tanpa membutuhkan faktor luar, bukan tujuan asal
dari susunan katanya dan mungkin untuk ditakwil”.
Makna yang dipaham dari suatu ucapan
tanpa membutuhkan bantuan lain dan ia bukan maksud asal dari susunan katanya,
maka ucapan itu dianggap Zhahir. Contoh dalam Firman Allah Swt :
وأحلَ
اللَه البيع وحرَم الربوا (البقرة : 275 )
Artinya:
Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (al-Baqarah:
275)
Ayat ini jelas sekali mengandung
pengertian bahwa jual beli itu hukumnya halal dan riba itu hukumnya haram,
karena makna inilah yang lebih mudah dan cepat ditangkap oleh akal seseorang
tanpa memerlukan qarinah yang menjelaskannya dengan adanya kata “Ahalla”
dan “Harrama”. Meskipun demikian ungkapan ayat tersebut bukanlah sekedar
untuk menyatakan halalnya jual beli dan haramnya riba sebagaimana yang dapat
dipahami dengan mudah, tetapi ayat ini digunakan untuk membantah anggapan
orang-orang munafik yang menyatakan riba itu sama hukumnya dengan jual beli.
Maksud sebenarnya ayat tersebubt juga bisa diketahui dengan mengetahui latar
belakang diturunkannya ayat itu.
Contoh
lain dalam firman Allah Swt:
فانكحوا
ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع فإن خفتم ألاَ تعدلوا فواحدة
Artinya: Maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja. (Surah an-Nisa’ : 3)
Bermakna jelas dalam memperbolehkan
kawin dengan wanita yang halal. Karena makna inilah yang langsung dipahami dari
kata: fankihu maa thaba lakum minan nisa’, dengan tidak membutuhkan
alasan. Makna ini bukan menjadi tujuan dari susunan ayat, karena maksud asalnya
adalah membatasi jumlah istri maksimal empat atau hanya satu saja.
Hukum Zhahir wajib diamalkan
sesuai dengan makna zhahir-nya selama tidak ada dalil yang menuntut
untuk diamalkan dengan selain yang zhahir. Karena pada dasarnya tidak ada
pembelokkan kata dari makna zhahir kecuali ada dalil yang menuntut hal
itu. Bahwasanya lafaz zhahir itu mungkin saja bisa untuk ditakwil, yaitu
dengan artinya membelokkan kata dari lahirnya dan menghendaki makna yang lain. Jika
lafaz itu umum maka mungkin untuk
dibatasi, jika kata itu bermakna hakiki maka mungkin diberi makna majaz dan
bentuk - bentuk takwil yang lain. Az-Zhahir mungkin untuk disalin, artinya
bahwa hukum Zhahir pada masa Rasulullah Saw dan masa penetapan syari’ah
dapat dihapus kemudian diundangkan hukum penggantinya, selama hukum itu
termasuk bagian dari hukum cabang yang dapat berubah demi kemaslahatan dan
dapat disalin.
B. An-Nash
Nash menurut Definisi yang al-Uddah,
yaitu :
ما
كان صريحا فى حكم من الأحكام وإن كان اللفظ محتملا في غيره
“Lafaz yang jelas dalam hukumnya meskipun
lafaz itu mungkin dipahami untuk maksud lain”
Nash menurut ulama Hanafiyah yang
disadur oleh Abdul Wahab Khalaf menyatakan bahwa :
النص
هو ما دلَ بنفس صيغته على المعنى المقصود أصالة على ما سيق له و يحتمل التأويل
“Lafaz
yang dengan bentuknya sendiri menunjukkan makna yang dimaksud secara langsung
menurut apa yang diungkapkan dan ada kemungkinan untuk ditakwil”
Jika makna itu langsung dipaham dari lafaz,
pemahamannya tidak butuh faktor luar dan
ia adalah makna asal yang dimaksud dari susunan kata itu, maka dianggap Nash.
Contoh lafaz Nash dalam firman Allah Swt
:
وأحلَ
اللَه البيع وحرَم الربوا (البقرة : 275 )
Artinya:
Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (al-Baqarah:
275)
Secara Nash, ayat tersebut bertujuan
untuk menyatakan perbedaan antara jual beli dengan riba sebagai sanggahan
terhadap pendapat yang menganggapnya sama antara hukum jual beli dan riba. Hal
ini dapat dipahami dari ungkapan keseluruhan ayat tersebut meskipun maksud ayat
ini sudah sangat jelas, namun dari ayat ini dapat pula dipahami maksud lain
bahkan dalam arti yang lebih jelas yaitu halalnya hukum jual beli dan haramnya
hukum riba. Pemahaman menurut cara terakhir ini disebut pemahaman secara Zhahir.
Contoh lain dalam Firman Allah Swt :
وما
اتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا
Artinya : Apa yang diberikan Rasul
kepadamu, maka terimalah ia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.
(al-Hasyr : 7)
Ayat ini secara Nash bertujuan untuk
menyatakan keharusan mengikuti petunjuk Rasul tentang pembagian harta rampasan
(Harta Fa’i), baik yang dibolehkan atau tidak. Karena untuk maksud
inilah ayat ini diturunkan menurut “asalnya”, akan tetapi yang dapat dipahami
juga dalam segi Zhahirnya bahwa dari ungkapan makna ayat tersebut kita
harus mengerjakan apa yang disuruh Rasul dan menghentikan apa yang dicegah oleh
Rasul untuk mengerjakannya.
Dari dua contoh diatas terlihat bahwa
kedua ayat yang mempunyai arti “asal” itu dapat pula dipahami dengan maksud
lain, yang disebut ta’wil.[8]
Hal ini berbeda dengan pandangan sebagian ulama Syafe’iyah dan Malikiyah yang
membedakan antara Nash dengan Zhahir dari segi Zhahir ayat itu
menerima Ta’wil, sedangkan dari segi Nash tidak menerima Ta’wil.[9]
Nash itu dalam penunjukannya terhadap hukum adalah lebih kuat dibandingkan
dengan Zhahir, karena penunjukkan Nash lebih terang dari segi maknanya. Nash
itulah yang dituju menurut ungkapan hukum “asal” sedangkan Zhahir
bukanlah tujuan langsung dari pihak yang mengungkapkannya. Oleh karena itu,
makna yang dituju secara langsung itu lebih mudah untuk dipahami dibandingkan
dengan makna lainnya yang tidak langsung. Atas dasar itu, apabila terdapat
pertentangan makna antara Nash dengan Zhahir dalam penunjukkanya, maka
didahulukan yang Nash. Sehubungan dengan ini apabila terdapat pertentangan
antara arti umum dengan arti khusus, maka yang didahulukan pengamalannya adalah
yang berdasarkan arti khusus, karena arti khusus inilah yang dimaksud menurut
asal mulannya, sedangkan arti yang umum, meskipun memang yang dimaksud pula, akan
tetapi didalam kerangka pengamalan seluruh satuan arti adalah afrad
(Tunggal).
C. Mufassar
Al-Sarkhisi memberikan definisinya akan mufassar
:
المفسَر
هو إسم للمكشوف يعرف به مكشوفا على وجه لا يبقى معه احتمال التأويل
Nama
bagi sesuatu yang terbuka yang dikenal dengannya secara terbuka dalam bentuk
yang tidak ada kemungkinan mengandung makna lain.
Abdul
Wahab Khallaf mengemukakan :
ما
دلَ بنفس صيغته على معناه المفصَل تفصيلا بحيث لا يبقى معه احتمال للتَأويل
Suatu
lafaz yang dengan bentuknya sendiri dapat member petunjuk kepada maknanya yang
terperinci dengan sangat terperincinya sehingga tidak dapat dipahami akan
adanya suatu makna yang lain dari lafaz tersebut.
Wahbah Zuhaili mendefinisikan mufassar
adalah sebagai berikut:
المفسَر
هو اللفظ الذي دلَ على معنه دلالة أكثر وضوحا من النص والظاهر بحيث لا يحتمل
التأويل و التخصيص و لكنه يقبل النسخ في عهد الرسالة
Lafaz
yang menunjukkan akan kejelasan maknanya dari nash
dan zhahir dimana tidak membutuhkan dari sisi penta’wilan atau pengkhususan
makna akan tetapi lafaz yang mufassar menerima nasakh.[10]
Dari
definisi diatas dapat diketahui bahwa hakekat lafaz mufassar adalah :
a.
Penunjukkan
terhadap maknanya sangat jelas sekali
b.
Penunjukkannya
itu hanya dari lafaznya sendiri tanpa memerlukan Qarinah dari luar.
c.
Karena jelas dan
terinci maknanya maka tidak mungkin ditakwilkan
Dalam
kitabnya Amir Syarifudin mufassar ada dua macam :
1. Menurut
asalnya, lafaz itu memang sudah jelas dan terinci sehingga tidak perlu
penjelasan lebih lanjut. Seperti firman Allah dalam surah an-Nur ayat 4, yang
artinya : “Orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina)
kemudian mereka tidak dapat mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka
delapan puluh kali”. Bilangan yang ditetapkan dalam ayat ini jelas dan
terurai yaitu delapan puluh kali dera, tidak mungkin untuk dipahami dengan
lebih atau kurang dari bilangan itu.
2. Asalnya
lafaz itu belum jelas (ijmal) dan memberikan kemungkinan beberapa
pemahaman artinya. Kemudian datang dalil lain yang menjelaskan artinya sehingga
ia menjadi jelas. Lafaz seperti itu juga disebut dengan mubayyan. Contoh
dalam firman Allah dalam surah an-Nisa’ ayat 92, yang artinya : “Orang-orang
yang membunuh orang beriman secara tidak sengaja hendaklah ia memerdekakan
hamba sahaya dan menyerahkan diyat kepada keluarganya”. Ayat ini menyangkut
keharusan menyerahkan diyat kepada keluarga korban tetapi tidak
dijelaskan mengenai jumlah, bentuk dan macam diyat yang harus
diserahkan. Sesudah turun ayat ini datang penjelasan dari Nabi Muhammad Saw
dalam sunnah yang merinci keadaan dan cara membayar diyat itu sehingga ayat
diatas menjadi terinci dan jelas artinya.
Lafaz
mufassar dari segi penunjukannya terhadap makna yang dimaksud lebih
jelas dari dari lafaz nash dan lafaz Zhahir karena lafaznya memang lebih
jelas dibandingkan dengan nash dari segi tafsirannya yang terinci, sehingga
menjadikan mufassar tidak mungkin untuk dita’wil dan apa yang
dituju menjadi terang. Karena penjelesan mufassar itu lebih kuat dari nash
atau zhahir, bila terjadi perbenturan pemahaman antara keduanya maka
harus yang didahulukan yang mufassar. Dan hukum mufassar harus
diamalkan sebagaimana penjelasan terhadapnya, ia tidak mempunyai kemungkinan
untuk dipalingkan dari makna lahirnya dan hukumnya juga bisa menerima nasakh
jika termasuk diantara hukumnya yang telah dijelaskan pada lafaz Zhahir.
D. Muhakkam
Muhakkam menurut
istilah ulama fiqh adalah sesuatu yang menunjukkan kepada makna yang dengan
sendirinya tidak menerima pembatalan dan penggantian berdasarkan petunjuk yang
jelas dan sama sekali tidak mengandung ta’wil. Ia tidak menerima ta’wil
karena ia bersifat rinci dan jelas yang tidak ada peluang untuk ta’wil.
Ia tidak menerima nasakh baik pada masa kerasulan, masa kekosongan
turunnya wahyu atau masa sesudahnya. Karena hukum yang diambil daripadanya
mungkin berupa hukum dasar dari kaidah agama yang tidak mungkin dirubah,
seperti menyembah kepada Allah Swt dan Iman kepada Rasul dan Kitab-kitabnya
atau diambil dari prinsip keutamaan yang tidak dirubah oleh perubahan keadaan,
seperti berbuat baik kepada orang tua dan adil atau dari hukum cabang Juz’i
(anak cabang) tetapi terdapat bukti bahwa syar’i menguatkan syariatnya.[11]
Firman Allah yang ditujukan kepada para penuduh zina kepada wanita bersuami:
ولا
تقبلوا لهم شهادة أبدا (النور: 4 )
Artinya:
Dan janganlah kamu menerima kesaksian mereka selama-lamanya. (an-Nur:4)
Hukum Muhkam secara pasti wajib
diamalkan, tidak mungkin dibelokkan dari makna lahirnya atau disalin. Muhkam
tidak menerima nasakh karena setelah masa Rasulullah dan terputusnya
wahyu semua hukum yang terdapat dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah menjadi kokoh
dan kuat, tidak menerima nasakh dan pembatalan. Sebab setelah Rasulullah
tidak ada lagi yang berkuasa menetapkan hukum syara’ yang berhak
membatalkan dan merubah apa yang beliau bawa. Sedangkan jika terjadi
kontradiksi antara Zhahir dan Nash, maka yang dimenangkan adalah nash
karena ia lebih jelas petunjuknya jika dilihat dari segi bahwa makna nash itu
adalah makna asal dari susunan. Zhahir, maknanya bukan asal yang
dimaksud dari susun katanya.
Kemudian jika terjadi kontradiksi antara
nash dan mufassar maka mufassar yang dimenangkan karean ia lebih
jelas petunjuknya daripada nash dilihat dari segi bahwa penjelasan tafsirnya
menjadikan mufassar itu tidak mungkin dita’wil dan maksudnya menjadi
tertentu.
Sabda Rasulullah Saw :
المستحاضة
تتوضَأ لكلَ الصلاة
Wanita yang istihadhah
(mengeluarkan darah penyakit) wajib berwudhu setiap akan menjalankan shalat.
المستحاضة
تتوضَأ وقت كلَ صلاة
Wanita yang
istihadhah (mengeluarkan darah penyakit)
wajib berwudhu setiap akan menjalankan shalat.
Hadist pertama adalah nash dalam
mewajibkan wudhu untuk setiap shalat, karena ia langsung dipaham dari lafalnya
dan dimaksud oleh susunan katanya. Sedangkan hadist kedua adalah mufassar
yang tidak menerima ta’wil. Karena hadist pertama mungkin dipahami
dengan wajib berwudhu untuk setiap shalat meskipun dalam satu waktu atau untuk
waktu setiap shalat meskipun dalam satu waktu mengerjakan beberapa shalat.
Tetapi hadist kedua meniadakan kemungkinan yang demikian, sehingga ia
dimenangkan. Maka hukum syara’nya adalah wajib berwudhu setiap waktu yang
digunakan untuk shalat beberapa shalat fardhu dan sunnah.
Amir Syarifudin membagi muhkam
menjadi dua bentuk : Pertama, muhkam lizatihi atau muhkam
dengan sendirinya bila tidak ada kemingkinan untuk pembatalan atau nasakh
itu disebabkan oleh nash (teks) itu sendiri. Tidak mungkin nasakh muncul
dari lafaznya dan diikuti pula oleh penjelasan bahwa hukum dalam lafaz itu
tidak mungkin di nasakh. Kedua, muhkam lighairihi atau muhkam
karena faktor luar bila tidak dapatnya lafaz itu dinasakh bukan karena nash atau teksnya itu sendiri
tetapi karena tidak ada nash yang me-nasakh-nya. Lafaz dalam bentuk ini
istilahnya dalam ushul fiqh adalah lafaz qath’i penunjukannya terhadap
hukum.[12]
Lafaz
Yang Tidak Jelas Maknanya (Ghoiru Wadhih / Khafi
ad-Dilalah)
Nash yang tidak jelas petunjuknya
yaitu nash yang bentuknya sendiri tidak dapat menunjukkan makna yang dimaksud,
tetapi dalam pemahamannya membutuhkan unsur dari luar. Jika kesamarannya dapat
dihilangkan dengan penelitian dan ijtihad, maka disebut al-Khafi atau al-Musykil.
Jika kesamarannya tidak dapat dihilangkan kecuali dengan penjelasan dari syar’i
maka disebut al-Mujmal dan jika tidak ada kemungkinan sama sekali untuk
menghilangkan kesamaran itu maka disebut al-Mutasyabih.
A. Al Khafi (Samar)
Yang dimaksud dengan al-Khafi
menurut istilah adalah lafaz yang menunjukkan makna secara jelas akan tetapi
dalam menerapkan arti kepada sebagian satuanya mengandung kesamaran dan
ketidakjelasan yang untuk menghilangkannya membutuhkan pemikiran dan perkiraan
yang matang, sehingga lafaz itu dianggap samar dari segi penerapan arti kepada
sebagian satuannya. Sebab timbulnya kesamaran ini ialah bahwa satuan dalam
lafaz itu memiliki sifat lebih banyak atau lebih sedikit daripada satuan yang
lain atau memiliki nama tertentu; kelebihan, kekurangan dan nama tertentu
inilah yang menjadi tempat keserupaan sehingga lafal itu samar jika dihubungkan
dengan satuan ini, karean untuk memperoleh arti tidak dapat dipahami dari lafaz
itu sendiri melainkan membutuhkan unsur luar.[13]
Al-Khafi menurut Muhammad Abu Zahra, yaitu:
Lafaz yang samar dalam sebagian penunjukkan dilalah-nya disebabkan
faktor luar akan tetapi lafaz yang samar menunjukkan akan maksud dari dilalah
lafaz itu sendiri.[14]
Contoh
dalam firman Allah:
السَا
رق والسَرقة فاقطعوا أيديهما
Artinya
: Pencuri laki-laki dan perempuan potonglah tangan keduanya. (al-Maidah
: 4)
Lafaz “as-Syariq” itu sendiri
sebenarnya sudah cukup jelas, yaitu: Orang yang mengambil harta yang bernilai
milik orang lain dalam tempat penyimpanannya secara sembunyi-sembunyi”.
Penerapan hukuman pencuri dengan arti tersebut sangatlah jelas, akan tetapi
lafaz “Pencuri” memiliki banyak makna yang banyak, seperti: Pencopet, perampok,
pencuri barang kuburan, dll yang memiliki kelebihan sifat atau kekurangan sifat
dibandingkan dengan pencuri dalam artian diatas. Apakah sanksi hukuman potong
tangan diperlakukan terhadap semua artian itu? Disinilah timbul kesamaran makna
yang membutuhkan interpretasi atau ijtihad dalam memahami makna tersebut.
B. Al Musykil (Sulit)
Yang dimaksud al-Musykil adalah
lafaz yang bentuknya tidak dapat menunjukkan kepada makna, bahkan harus ada Qarinah
(Petunjuk) dari luar yang dapat menjelaskan maksud dari lafaz itu.[15]
Petunjuk atau qarinah dapat diketahui dengan pembahasan atau penelitian.
Sebab kesamaran dalam lafaz yang khafi bukan dari lafaznya akan tetapi
dari kesamaran dalam menerapkan artinya kepada sebagian satuanya karena faktor
dari luar. Sedangkan sebab kesamaran dalam al-Musykil adalah dari lafaz
itu sendiri karena ia secara bahasa
memiliki makna lebih dari satu. Arti yang dimaksud dari lafaz itu tidak dapat
dipahami dari lafaz itu sendiri atau karena ada pertentangan pemahaman antara nash
yang satu dengan nash yang lain.
Abu Zahra menyatakan bahwa al-Musykil
adalah samarnya makna disebabkan oleh lafaznya itu sendiri.[16]
Sedangkan dalam Kitab Ushul Fiqh karangan Wahbah Zuhaili, yang dimaksud al-Musykil adalah lafaz yang samar akan
maknanya disebabkan dari lafaz itu sendiri yang mana untuk mengetahui maksud
dari lafaz itu harus dilakukan perbandingan penjelasan maksud lafaznya.[17]
Contoh dalam firman Allah Swt :
والمطلقات
يتربَصن بأنفسهنَ ثلاثة قروء (البقرة : 228 )
Artinya : Wanita-wanita yang ditalak
hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali Quru’. (al-Baqarah : 228).
Lafaz quru’ dari ayat diatas
bermakna ganda yaitu “Suci” dan “Haid”. Adanya arti ganda itu menghasilkan
hukum yang berbeda, karenannya lafaz tersebut termasuk dalam lafaz musykil.
Untuk mengetahui maksudnya secara pasti harus dilakukan qarinah yang akan
menjelaskannya. Kelihatannya dalam hal ini para ulama ushul fiqh mengemukakan
dalil atau qarinah-qarinah yang berbeda sehingga menghasilkan hukum yang
berbeda.
1. Ulama
Hanafiyah menyatakan bahwa quru’ itu artinya “Haid”. Untuk menguatkan
pendapatnya ia mengemukakan dalil dan qarinah dengan firman Allah Swt :
والَئي
يئسن من المحيض من نساءكم ان ارتبتم فعدَتهنَ ثلاثة اشهر
Artinya: Perempuan-perempuan
yang telah putus haid diantara istrimu jika ia ragu tentang iddahnya, maka
iddahnya adalah tiga bulan. (at-Thalaq : 4)
Sabda Nabi Muhammad Saw :
طلاق
الأمة اثنتان وعدَتها حيضتان
Bilangan talak
perempuan sahaya itu adalah dua kali dan iddahnya adalah dua kali haid.
Hadist diatas
menunjukkan akan lafaz dalam perhitungan massa iddah adalah dengan haid,
karena jika hamba sahaya saja hitungan iddah-nya menggunakan masa iddah
haid maka untuk kalangan perempuan merdeka juga menggunakan perhitungan iddah
haid.
2. Imam
Syafe’i berpendapat bahwa quru’ itu artinya adalah “suci”. Dengan alasan
dalam firman Allah Swt :
اّذا
طلَقتم النساء فطلَقوهنَ لعدَتهنَ
Artinya : Bila
kamu ingin menceraikan istrimu, hendaklah kamu ceraikan mereka dalam waktu
iddahnya. (at-Thalaq: 1)
Disamping itu
menurut Imam Syafei bahwa kata bilangan yang menunjukkan tiga quru’
dalam ayat tersebut adalah menggunakan jenis kelamin betina (mu’annas) ثلاثة. Sedangkan dalam kaidah bahasa Arab bila
bilangannya menggunakan jenis mu’annas maka yang dibilang المعدود harus dalam bentuk mudzakar.
Berdasarkan ketentuan bahasa ini maka quru’ itu harus bentuk mudzakar.
Diantara kata suci dan haid dalam kaidah bahasa Arab yang mudzakar
adalah kata suci maka dengan demikian tiga quru’ berarti tiga kali suci.
C. Mujmal
Lafaz mujmal dalam pengertian
sederhananya adalah :
الفظ
الذى ينطوى معناه على عدَة أحوال وأحكام قد جمعت فيه
Lafaz yang maknanya
mengandung beberapa keadaan dan beberapa hukum yang terkumpul di dalamnya.[18]
Lafaz mujmal ini lebih samar (tidak jelas) dibandingkan dengan lafaz
sebelumnya karena dari segi bentuknya sendiri tidak menunjukkan arti yang
dimaksud, tidak pula dapat ditemukan qarinah yang dapat membawa kita kepada maksudnya. Tidak mungkin pula
dapat dipahami arti yang dimaksud kecuali dengan penjelasan syariah atau
pembuat hukum (dalam hal ini adalah Nabi Muhammad Saw). Ketidak jelasan dalam
lafaz mujmal disebabkan dari lafaz itu sendiri bukan dari faktor seperti
lafaz-lafaz yang dinukilkan oleh syar’i dari arti bahasa dan dialihkan menjadi
teknis hukum. Seperti lafaz shalat,
zakat, puasa, haji, riba, dan sebagainya. Lafaz-lafaz tersebut sebenarnya lafaz
yang terpakai dalam bahasa Arab secara arti kata, namun yang dimaksud oleh Nabi
-sebagai pembuat hukum- bukan menurut yang dipahami oleh orang Arab dalam
bahasa sehari-hari. Untuk maksud itu Nabi memberikan penjelesan dengan
sunnahnya.
Yang membedakan antara lafaz mujmal,
khafi dan musykil adalah bahwa lafaz mujmal tidak mungkin
diketahui rincian maksudnya hanya semata-mata mengandalkan dari melihat pada
lafaznya sebagaimana yang berlaku pada khafi dan tidak pula dengan
semata-mata pada penalaran dan penafsiran lafaz sebagaimana yang berlaku pada musykil.
Untuk memahami secara baik maksud lafaz mujmal harus merujuk pada
penjelasan resmi dari Nabi Muhammad yang menjelaskan arti dan rinciannya.
Contoh lafaz hukum yang telah ada di nash
al-Qur’an kemudian diterangkan oleh Nabi karena melihat nash hukum tersebut
masih bersifat mujmal atau global sehingga membutuhkan keterangan dan
penjelasan akan ketentuan hukum tersebut, seperti : Kaifiyah Shalat,
haji, zakat, dll.
Rasulullah Saw bersabda yang berkenaan
dengan maksud lafaz shalat dalam nash al-Qur’an yang bersifat mujmal:
صلَوا
كما رأيتمونى أصلَي
Shalatlah
kamu sekalian sebagaimana aku shalat.
Rasulullah
Saw dalam masalah haji:
خذوا
عني مناسككم
Ambillah
dariku tentang manasik kalian
Sebagian ulama berpendapat bahwa lafaz mujmal
setelah memperoleh penjelasan kadang-kadang menjadi zhahir atau nash dan
kadang-kadang menjadi mufassar sehingga tidak mungkin untuk dimasuki
oleh ta’wil dan tidak pula menerima takhsis.
D. Mutasyabih
Al-Mutasyabih
menurut istilah adalah lafal yang bentuknya itu sendiri tidak menunjukkan
kepada makna yang dimaksud, tidak ada qarinah dari luar yang
menjelaskannya dan syari’ dengan ilmunya hanya mencukupkan begitu saja tanpa
penjelasan.[19]
Dalam buku ushul fiqh, Amir Syarifudin
memberikan definisi mutasyabih sebagai berikut:
الفظ
الذى يخفى معناه ولا سبيل لأن تدركه عقول العلماء
Lafaz
yang samar artinya dan tidak ada cara yang dapat digunakan untuk mencapai
artinya.
Ketidak jelasan lafaz mutasyabih
ini adalah karena bentuknya sendiri tidak memberikan arti yang dimaksud, tidak
ada pula qarinah yang akan menjelaskan maksudnya. Sedangkan syar’i membiarkan
saja kesamaran tersebut tanpa ada penjelasan. Dalam hal ini daya nalar manusia
tidak dapat berbaur dengan sesuatu kecuali menyerahkan dan melimpahkannya
kepada Allah sambil mengakui kelemahan dan kekurangmampuan manusia.
Mutasyabih
ada dua bentuk: Pertama, dalam bentuk potongan huruf hijaiyah seperti
yang terdapat dalam awal surah, contohnya : كهيعص,
الر, الم , dan sebagainya. Kedua, ayat-ayat yang menurut zhahir-nya
mempersamakan Allah Maha Pencipta dengan makhluk-Nya, sehingga tidak mungkin
dipahami ayat itu menurut arti bahasanya karena Allah Swt Maha Suci dari
pengertian yang demikian. Seperti dalam firman Allah Swt :
يد
اللَه فوق أيديهم
Artinya:
Tangan Allah berada diatas tangan mereka. (al-Fath: 10)
ويبقى
وجه ربك ذو الجلال والإكرام
Artinya:
Dan akan tetap kekal wajah Tuhanmu Yang Maha Besar dan Maha Mulia.
(al-Imran : 7).
Penutup.
Lafaz Mutasyabihat merupakan
lafaz yang paling samar (tidak jelas) artinya dan dia masuk dalam kelompok
lafaz yang samar artinya. Sedangkan dalam kelompok lafaz yang terang artinya
atau salah satunya adalah lafaz muhkam berada pada tingkatan atas dari
segi kejelasannya. Kedua bentuk lafaz ini secara jelas disebutkan dalam
al-Qur’an di ayat-ayat yang sifatnya qath’i sedangkan lafaz mutasyabihat
atau dan yang berada dalam kelompoknya menghasilkan pemahaman yang tidak
meyakinkan (zhanni) dalam memahami akan maksud makna lafaznya.
Daftar Pustaka
·
Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 2005)
·
Abdul Wahab
Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam (Jakarta: Pustaka Amani,
2003)
·
Muhammad Abu
Zahrah, Ushul Fiqh (Beirut: Daarul Fikri Arabi, tth)
·
Rachmat Syafei, Ilmu
Ushul Fiqh Untuk UIN, STAIN, PTAIS (Bandung: Pustaka Setia, 2010)
·
Wahbah Zuhaili, Ushul
Fiqh al-Islami (Damaskus Syria : Daar al-Fikr, 1986)
·
Wahbah Zuhaili, Al-Wajiz
fi Ushulil al-Fiqh (Beirut: Daar al-Fikr al-Mu’ashir, 1995)
[1]
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu,
2005), Jilid II, h. 2
[2]
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam (Jakarta:
Pustaka Amani, 2003), h. 200
[3]
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 2
[4]
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Beirut: Daarul Fikri Arabi,
tth), h. 115-117
[5]
Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami (Damaskus Syria : Daar
al-Fikr, 1986), h. 312., Wahbah Zuhaili, Al-Wajiz fi Ushulil al-Fiqh
(Beirut: Daar al-Fikr al-Mu’ashir, 1995). h. 175 – 189
[6] Rachmat Syafei, Ilmu Ushul
Fiqh Untuk UIN, STAIN, PTAIS (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 151
[7] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu
Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam, h. 232
[8] Ta’wil menurut ulama
adalah menerangkan yang dimaksud dari sebuah kalam dari sisi kira-kira (Dzhan)
atau memalingkan makna lafaz lahirnya karena ada dalil dan tidak dibenarkan
memalingkan makna lafaz dari lahirnya tanpa dibarengi dengan dasar dalil syara’
baik dari Nash maupun Qiyas. Sedangkana tafsier adalah
Menerangkan yang dimaksud kalam dengan realitas kebenaran atau Qath’i. (Lihat : Wahbah Zuhaili, Ushul
Fiqh al-Islami, h. 314., Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh Kaidah
Hukum Islam, h. 235-236)
[9] Menurut Abdul Wahab Khallaf :
Hukum Nash sama dengan Zhahir. Artinya ia wajib diamalkan sesuai dengan nash-nya.
Nash mungkin bisa untuk dita’wil dalam artian yang dapat dikehendaki
selain daripada Nash. Nash dalam pandangan beliau juga dapat menerima nasakh.
Cotoh dalam Firman Allah Swt:
واحلَ
لكم ما وراء ذلكم
Artinya: Dihalalkan untukmu
selain yang disebutkan bagimu. (An-Nisa’ : 24)
Ayat ini dinasakh dengan firman
Allah Swt :
فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع فإن خفتم ألاَ
تعدلوا فواحدة
Artinya:
Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah
seorang saja. (Surah an-Nisa’ : 3)
Zhahir dan Nash sangatlah jelas
petunjuk maknanya, artinya dalam pemahamannya tidak membutuhkan faktor luar dan
wajib mengamalkan makna yang jelas pada petunjuk keduanya dan kedua-duanya juga
mungkin untuk dita’wil, misalnya yang dikehendaki adalah selain petunjuk
yang jelas pada kalimatnya dan jika ada sesuatu yang menuntut adanya ta’wil
maka zhahir dan nash bisa di ta’wil maknanya. (Lihat: Abdul Wahab
Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam, h. 235)
[10] Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh
al-Islami, h. 321., Wahbah Zuhaili, Al-Wajiz fi Ushulil al-Fiqh, h.
178
[11]
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam, h. 242
[12]
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 12
[13]
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam, h. 245
[14]
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, h. 124
[15] Wahbah Zuhaili, Al-Wajiz fi
Ushulil al-Fiqh, h. 183
[16] Muhammad Abu Zahrah, Ushul
Fiqh, h. 128
[17] Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh
al-Islami, h. 338
[18] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,
h. 20
[19]
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam, h. 253
Langganan:
Postingan (Atom)