Sabtu, 31 Mei 2014

makalah

Konsep Istinbat Hukum Dari Aspek Lafaz Bahasa..

Konsep Istinbat Hukum Dari Aspek Lafaz Bahasa
 ( Wadhih ad-Dilalah dan Khafi ad-Dilalah )
Oleh: Imam Labib Hibaurrohman, Lc
Pendahuluan.
Al-Qur’an dan Sunnah, keduanya merupakan sumber dan dalil pokok dalam pengambilan istinbat hukum Islam yang mana nashnya menggunakan Bahasa Arab. Nabi Muhammad Saw menerima dan menjelaskan al-Qur’an juga menggunakan Bahasa Arab, maka dalam setiap penggalian atau usaha memahami dan pengungkapan akan makna hukum dari kedua sumber hukum tersebut tergantung kepada kemampuannya untuk memahami Bahasa Arab. Para pakar Ushul Fiqh Islam mengadakan penelitian tentang tata Bahasa Arab, ungkapan dan kosa katanya. Kemudian dari hasil penelitiannya ditambah dengan ketetapan ahli bahasa dikembangkannya menjadi sebuah kaidah atau batasan-batasan tertentu dalam penerapan pengambilan hukum. Dengan kaidah yang muncul diharapkan bisa dapat memahami hukum dari nash syara’ dengan pemahaman yang benar sesuai dengan pemahaman orang Arab asli, dimana nash itu diturunkan menggunakan bahasa mereka. Diharapkan juga dengan pemahaman yang benar dapat membuka nash-nash yang masih samar, menghilangkan kontradiksi antara nash yang satu dengan yang lainnya. Kemudian dapat mentakwil sebuah nash yang memiliki bukti pentakwilannya atau beberapa hal lainya yang berhubungan dengan pengambilan istinbat hukumnya dari nash.
Kaidah dan batasan bahasa dalam hukum syara’ dikembangkan dari tata bahasa Arab yang ditambah dengan ketetapan para ahli bahasa Arab, bukan tinjauan dari segi agama saja. Sebuah kaidah ada dan muncul hanya untuk memahami ungkapan-ungkapan secara benar akan nash hukum yang berbahasa Arab terutama dalam memahami undang-undang umum al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber hukum utama. Oleh karena itu, setiap usaha untuk memahami dan menggali hukum dari teks akan kedua sumber hukum tersebut sangat bergantung kepada kemampuan dalam memahami bahasa Arab. Oleh karena itu, dalam penetapan akan kata-kata yang digunakan untuk suatu artian dalam adat syara’ seperti shalat, zakat, talak, dll harus dipahami maknanya menurut arti kebiasaan karena pembuat undang-undang dalam ungkapannya menghendaki arti menurut kebiasaanya. Dalam memahami bahasa Arab ada beberapa kaidah bahasa yang dipakai oleh ahli Ushulliyin antara lain kaidah dalam memahami nash dari sisi  Wadhih ad-Dilalah dan Khafi ad-Dilalah (Ghairu Wadhih ad-Dilalah).
Telaah Konsep Istinbat Hukum Dari Aspek Lafaz Kejelasan Bahasa
Ahli ushul fiqh menetapkan bahwa pemahaman teks dan penggalian hukum harus berdasarkan pada kaidah. Dalam hal ini mereka berpegang pada dua hal: Pertama, Pada petunjuk kebahasaan dan pemahaman kaidah bahasa Arab dari teks tersebut dalam hubungannya dengan al-Qur’an dan Sunnah. Kedua, Pada petunjuk Nabi Muhammad Saw dalam memahami hukum-hukum al-Qur’an dan penjelasan sunnah atas hukum-hukum qur’ani itu. Dalam hal ini, lafaz Arab dipahami dalam ruang lingkup hukum syara’.[1]
Abdul Wahab Khallaf [2] menyatakan dalam pembebanan pemahaman tidak dibenarkan menurut undang-undang maupun logika jika syariah menetapkan suatu undang-undang dengan satu bahasa kemudian menuntut umatnya untuk memahami kata-kata materi dan ungkapan undang-undang menurut aturan bahasa dan dari dasar bahasa yang lain. Karena syarat sah pembebanan terhadap undang-undang adalah kemampuan mukallaf itu sendiri dalam memahaminya. Maka undang-undang ditetapkan dengan bahasa umat dan bahasa mayoritas individunya, sehingga kemampuan mereka dalam memahami hukum adalah dengan cara pemahaman bahasa mereka sendiri. Undang-undang tidak dapat menjadi hujjah (argument) bagi umatnya jika dibuat tidak dengan bahasa mereka sendiri atau cara memahaminya tidak menurut bahasa dimana undang-undang itu dibuat.
Allah Swt berfirman :
وما أرسلنا من رسول إلا بلسان قومه ليبين لهم (إبراهيم : 4 )
Artinya : Kami tidak mengutus seorang Rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada kaumnya. (Ibrahim: 4)
Amir Syarifuddin menyebutkan bahwa kaidah pemahaman lafaz Arabi itu mencakup empat segi pokok pembahasan : Pertama, pemahaman lafaz dari segi arti dan kekuatan penggunaanya terhadap maksud kehendak Allah yang terdapat dalam lafaz itu. Kedua, pemahaman lafaz dari segi penunjukannya terhadap hukum. Ketiga, pemahaman lafaz dari segi kandungannya terhadap satuan pengertian afrad dalam lafaz itu. Keempat, pemahaman lafaz dari segi gaya bahasa yang digunakan dalam menyampaikan tuntutan hukum taklifi.[3]
Oleh karena itu, setiap ahli fiqh harus mengetahui jalan untuk pengambilan istinbat hukum dari nushus, karena dalam ilmu ushul fiqh tertuang kajian akan metodologis cara pengambilan istinbat hukum dari berbagi nash dan cara pengambilannya terbagi menjadi dua macam bagian, yaitu: Dengan cara pengambilan penetapan hukum dari aspek makna dan dari segi lafaz bahasa. Sedangkan pengambilan secara makna yaitu pencarian hukum dari berbagai macam dalil selain dari nash, seperti: Qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dll. Jika dengan aspek bahasa yaitu memahami dan mengetahui akan segi makna lafaz yang terkandung dalam berbagai macam dalil dari nash yang menunjukkan akan segi ke-umuman-nya dan ke-khusussan-nya. Bisa dengan cara penunjukkan dalil dari sisi ucapan akan lafaz nashnya atau dengan cara memahami konteks teks yang diambil dari sisi bahasa kalamnya.
Tidak ada yang aneh ketika dalam kajian ilmu ushul fiqh ada pembahasan yang berkenaan dengan kaidah pengambilan istinbat hukum dari segi aspek bahasa. Bahkan seorang filusuf Yunani Arsitotels dalam setiap penjelasan ilmu mantiqnya menggunakan konsep metodologi petunjuk pemaknaan, sehingga dari metodologi tersebut akan mendapatkan makna lafaz mantiq yang sesuai dengan makna tersiratnya sehingga bisa memberikan penjelasan secara terang makna yang digambarkan dan yang dikehendakinya. Dari sini ada beberapa kaidah ushul fiqh yang dimunculkan oleh ahli ushuliyyin pada aspek lafaz bahasanya guna memperoleh pemahaman nash dari kedua sumber hukum berbahasa Arab :
1.      Dari segi lafaz yang jelas dan kuat dalilnya untuk mengetahui maksudnya.
2.      Dengan cara memperjelas makna dengan pengungkapan makna atau pemahaman makna pada lafaz.  
3.      Membedah lafaz dengan cara mencari dalil yang dapat menunjukkan lafaz tersebut menunjukkan arti secara umum atau khusus
4.      Dengan cara membebani pemahaman masing-masing mukallaf sesuai dengan apa yang dipahaminya dari lafaz nash.
Ke empat inilah yang harus diketahui guna pengambilan istinbat hukum dalam fiqh agar didapati perundang-undangan yang salim. Sesungguhnya empat bentuk kaidah ini tidak hanya ditujukan kepada satu pengkaji saja akan tetapi untuk seluruh pengkaji hukum Islam secara keseluruhan karena kaidah penafsiran lafaz secara fiqh dan pengungkapan makna yang terkandung adalah bagian dari pengecualian dan pemulyaan dalil-dalil nash. Sedangkan hukum-hukum pentafsiran nash secara umum sangatlah memberikan manfaat bagi penetapan hukum perundang-undangan Islam dan untuk memahamkan akan sisi pelaksanaannya. [4]
Terjadinya perbedaan penetapan hukum sebenarnya dimulai dari perbedaan penafsiran nash yang mana terkadang penafsiran itu menunjukkan kepada maksud akan kejelasan makna dari hukum ataupun sebaliknya, bisa jadi hasil penafsiran nash hukum belum memberikan dampak kejelasan hukum. Secara garis besar, lafaz dari segi kejelasan artinya terbagi menjadi dua macam:[5]
1.        Wadhih ad-Dilalah atau lafaz yang telah terang artinya dan jelas penunjukannya terhadap makna yang dimaksud, sehingga atas dasar kejelasan itu beban hukum dapat ditetapkan tanpa memerlukan penjelasan dari luar.
2.        Khafi ad-Dhilalah atau Lafaz yang belum terang artinya dan belum jelas penunjukannya terhadap makna yang dimaksud kecuali dengan penjelasan dari luar lafaz itu.
Para ulama berbeda pendapat dalam mengatasi tingkatan dilalah lafaz dari segi kejelasan. Dalam hal ini, dapat dibagi menjadi dua kelompok. Golongan pertama, yaitu golongan Hanafiyah yang membagi lafaz dari segi kejelasan makna kepada empat bagian, yaitu : Zhahir, Nash, mufassar dan muhkam. Sedangkan dari ketidakjelasannya, mereka membagi menjadi empat macam pula, yaitu: khafi, musykil, mujmal, mutasyabih. Kemudian bagi Golongan kedua, yaitu jumhur dari kalangan mutakallimin dipelopori oleh asy-Syafei yang membagi lafaz dari segi kejelasannya dibagi menjadi dua yaitu: Zhahir dan Nash. Kedua bentuk lafaz itu disebut kalam mubayyan. Sedangkan dari segi ketidak jelasannya dibagi menjadi dua macam yaitu: Mujmal dan Mutasyabih.[6]
Dalam beberapa kitab kontemporer tingkatan dilalah lafaz dari segi kejelasan telah disebutkan terbagi menjadi empat macam sesuai dengan pendapat golongan yang pertama dari Hanafiyah. Bertolak dari berbagai macam perbedaan pendapat, penulis akan mencoba mengkaji dilalah lafaz dari golongan yang pertama sesuai dengan kitab-kitab kontemporer yang ada, karena dalam pengambilan istinbat hukum dari nash tidak hanya berkutat kepada daerah kejelasan makna yang bersifat zhahir atau nash saja akan tetapi diperlukan perkembangan pemahaman makna hingga kepada daerah mufassar dan muhkam. Berikut pembagian dan penjelasannya:
Lafaz Yang terang Maknanya (Wadhih ad-Dilalah)
A.    Zhahir
Dalam memberikan definisi terhadap lafaz Zhahir terdapat rumusan yang berbeda dari kalangan ushul. Al-Sarkhisi secara sederhana memberikan definisi akan lafaz Zhahir sebagai berikut:
ما يعرف المراد منه بنفس السماع من غير تأمل
Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengaran itu sendiri tanpa harus dipikirkan lebih dahulu”.
Abdul Wahab Khalaf juga memberikan definisi lafaz Zhahir yang lebih sempurna lagi, yaitu:[7]
ما دلَ بنفس صيغته على المراد منه من غير توقَف فهم المراد منه إلى أمر خارجىَ ولم يكن المراد منه هو المقصود من السَياق ويحتمل التأويل
Sesuatu yang maksudnya ditunjukkan oleh bentuk nash itu sendiri tanpa membutuhkan faktor luar, bukan tujuan asal dari susunan katanya dan mungkin untuk ditakwil”.
Makna yang dipaham dari suatu ucapan tanpa membutuhkan bantuan lain dan ia bukan maksud asal dari susunan katanya, maka ucapan itu dianggap Zhahir. Contoh dalam Firman Allah Swt :
وأحلَ اللَه البيع وحرَم الربوا (البقرة : 275 )
Artinya: Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (al-Baqarah: 275)
Ayat ini jelas sekali mengandung pengertian bahwa jual beli itu hukumnya halal dan riba itu hukumnya haram, karena makna inilah yang lebih mudah dan cepat ditangkap oleh akal seseorang tanpa memerlukan qarinah yang menjelaskannya dengan adanya kata “Ahalla” dan “Harrama”. Meskipun demikian ungkapan ayat tersebut bukanlah sekedar untuk menyatakan halalnya jual beli dan haramnya riba sebagaimana yang dapat dipahami dengan mudah, tetapi ayat ini digunakan untuk membantah anggapan orang-orang munafik yang menyatakan riba itu sama hukumnya dengan jual beli. Maksud sebenarnya ayat tersebubt juga bisa diketahui dengan mengetahui latar belakang diturunkannya ayat itu.
Contoh lain dalam firman Allah Swt:
فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع فإن خفتم ألاَ تعدلوا فواحدة
Artinya: Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja. (Surah an-Nisa’ : 3)
Bermakna jelas dalam memperbolehkan kawin dengan wanita yang halal. Karena makna inilah yang langsung dipahami dari kata: fankihu maa thaba lakum minan nisa’, dengan tidak membutuhkan alasan. Makna ini bukan menjadi tujuan dari susunan ayat, karena maksud asalnya adalah membatasi jumlah istri maksimal empat atau hanya satu saja.
Hukum Zhahir wajib diamalkan sesuai dengan makna zhahir-nya selama tidak ada dalil yang menuntut untuk diamalkan dengan selain yang zhahir. Karena pada dasarnya tidak ada pembelokkan kata dari makna zhahir kecuali ada dalil yang menuntut hal itu. Bahwasanya lafaz zhahir itu mungkin saja bisa untuk ditakwil, yaitu dengan artinya membelokkan kata dari lahirnya dan menghendaki makna yang lain. Jika lafaz itu umum  maka mungkin untuk dibatasi, jika kata itu bermakna hakiki maka mungkin diberi makna majaz dan bentuk - bentuk takwil yang lain. Az-Zhahir mungkin untuk disalin, artinya bahwa hukum Zhahir pada masa Rasulullah Saw dan masa penetapan syari’ah dapat dihapus kemudian diundangkan hukum penggantinya, selama hukum itu termasuk bagian dari hukum cabang yang dapat berubah demi kemaslahatan dan dapat disalin.
B.     An-Nash
Nash menurut Definisi yang al-Uddah, yaitu :
ما كان صريحا فى حكم من الأحكام وإن كان اللفظ محتملا في غيره
“Lafaz yang jelas dalam hukumnya meskipun lafaz itu mungkin dipahami untuk maksud lain”

Nash menurut ulama Hanafiyah yang disadur oleh Abdul Wahab Khalaf menyatakan bahwa :
النص هو ما دلَ بنفس صيغته على المعنى المقصود أصالة على ما سيق له و يحتمل التأويل
“Lafaz yang dengan bentuknya sendiri menunjukkan makna yang dimaksud secara langsung menurut apa yang diungkapkan dan ada kemungkinan untuk ditakwil”
Jika makna itu langsung dipaham dari lafaz, pemahamannya tidak butuh  faktor luar dan ia adalah makna asal yang dimaksud dari susunan kata itu, maka dianggap Nash. Contoh lafaz Nash  dalam firman Allah Swt :
وأحلَ اللَه البيع وحرَم الربوا (البقرة : 275 )
Artinya: Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (al-Baqarah: 275)
Secara Nash, ayat tersebut bertujuan untuk menyatakan perbedaan antara jual beli dengan riba sebagai sanggahan terhadap pendapat yang menganggapnya sama antara hukum jual beli dan riba. Hal ini dapat dipahami dari ungkapan keseluruhan ayat tersebut meskipun maksud ayat ini sudah sangat jelas, namun dari ayat ini dapat pula dipahami maksud lain bahkan dalam arti yang lebih jelas yaitu halalnya hukum jual beli dan haramnya hukum riba. Pemahaman menurut cara terakhir ini disebut pemahaman secara Zhahir.
Contoh lain dalam Firman Allah Swt :
وما اتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا
Artinya : Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah ia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. (al-Hasyr : 7)
Ayat ini secara Nash bertujuan untuk menyatakan keharusan mengikuti petunjuk Rasul tentang pembagian harta rampasan (Harta Fa’i), baik yang dibolehkan atau tidak. Karena untuk maksud inilah ayat ini diturunkan menurut “asalnya”, akan tetapi yang dapat dipahami juga dalam segi Zhahirnya bahwa dari ungkapan makna ayat tersebut kita harus mengerjakan apa yang disuruh Rasul dan menghentikan apa yang dicegah oleh Rasul untuk mengerjakannya.
Dari dua contoh diatas terlihat bahwa kedua ayat yang mempunyai arti “asal” itu dapat pula dipahami dengan maksud lain, yang disebut ta’wil.[8] Hal ini berbeda dengan pandangan sebagian ulama Syafe’iyah dan Malikiyah yang membedakan antara Nash dengan Zhahir dari segi Zhahir ayat itu menerima Ta’wil, sedangkan dari segi Nash tidak menerima Ta’wil.[9] Nash itu dalam penunjukannya terhadap hukum adalah lebih kuat dibandingkan dengan Zhahir, karena penunjukkan Nash lebih terang dari segi maknanya. Nash itulah yang dituju menurut ungkapan hukum “asal” sedangkan Zhahir bukanlah tujuan langsung dari pihak yang mengungkapkannya. Oleh karena itu, makna yang dituju secara langsung itu lebih mudah untuk dipahami dibandingkan dengan makna lainnya yang tidak langsung. Atas dasar itu, apabila terdapat pertentangan makna antara Nash dengan Zhahir dalam penunjukkanya, maka didahulukan yang Nash. Sehubungan dengan ini apabila terdapat pertentangan antara arti umum dengan arti khusus, maka yang didahulukan pengamalannya adalah yang berdasarkan arti khusus, karena arti khusus inilah yang dimaksud menurut asal mulannya, sedangkan arti yang umum, meskipun memang yang dimaksud pula, akan tetapi didalam kerangka pengamalan seluruh satuan arti adalah afrad (Tunggal).



C.     Mufassar
Al-Sarkhisi memberikan definisinya akan mufassar :
المفسَر هو إسم للمكشوف يعرف به مكشوفا على وجه لا يبقى معه احتمال التأويل
Nama bagi sesuatu yang terbuka yang dikenal dengannya secara terbuka dalam bentuk yang tidak ada kemungkinan mengandung makna lain.
Abdul Wahab Khallaf mengemukakan :
ما دلَ بنفس صيغته على معناه المفصَل تفصيلا بحيث لا يبقى معه احتمال للتَأويل
Suatu lafaz yang dengan bentuknya sendiri dapat member petunjuk kepada maknanya yang terperinci dengan sangat terperincinya sehingga tidak dapat dipahami akan adanya suatu makna yang lain dari lafaz tersebut.
Wahbah Zuhaili mendefinisikan mufassar adalah sebagai berikut:
المفسَر هو اللفظ الذي دلَ على معنه دلالة أكثر وضوحا من النص والظاهر بحيث لا يحتمل التأويل و التخصيص و لكنه يقبل النسخ في عهد الرسالة
Lafaz yang menunjukkan akan kejelasan maknanya dari nash dan zhahir dimana tidak membutuhkan dari sisi penta’wilan atau pengkhususan makna akan tetapi lafaz yang mufassar menerima nasakh.[10]
 Dari definisi diatas dapat diketahui bahwa hakekat lafaz mufassar adalah :
a.       Penunjukkan terhadap maknanya sangat jelas sekali
b.      Penunjukkannya itu hanya dari lafaznya sendiri tanpa memerlukan Qarinah dari luar.
c.       Karena jelas dan terinci maknanya maka tidak mungkin ditakwilkan
Dalam kitabnya Amir Syarifudin mufassar ada dua macam :
1.      Menurut asalnya, lafaz itu memang sudah jelas dan terinci sehingga tidak perlu penjelasan lebih lanjut. Seperti firman Allah dalam surah an-Nur ayat 4, yang artinya : “Orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina) kemudian mereka tidak dapat mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali”. Bilangan yang ditetapkan dalam ayat ini jelas dan terurai yaitu delapan puluh kali dera, tidak mungkin untuk dipahami dengan lebih atau kurang dari bilangan itu.
2.      Asalnya lafaz itu belum jelas (ijmal) dan memberikan kemungkinan beberapa pemahaman artinya. Kemudian datang dalil lain yang menjelaskan artinya sehingga ia menjadi jelas. Lafaz seperti itu juga disebut dengan mubayyan. Contoh dalam firman Allah dalam surah an-Nisa’ ayat 92, yang artinya : “Orang-orang yang membunuh orang beriman secara tidak sengaja hendaklah ia memerdekakan hamba sahaya dan menyerahkan diyat kepada keluarganya”. Ayat ini menyangkut keharusan menyerahkan diyat kepada keluarga korban tetapi tidak dijelaskan mengenai jumlah, bentuk dan macam diyat yang harus diserahkan. Sesudah turun ayat ini datang penjelasan dari Nabi Muhammad Saw dalam sunnah yang merinci keadaan dan cara membayar diyat itu sehingga ayat diatas menjadi terinci dan jelas artinya.
Lafaz mufassar dari segi penunjukannya terhadap makna yang dimaksud lebih jelas dari dari lafaz nash dan lafaz Zhahir karena lafaznya memang lebih jelas dibandingkan dengan nash dari segi tafsirannya yang terinci, sehingga menjadikan mufassar tidak mungkin untuk dita’wil dan apa yang dituju menjadi terang. Karena penjelesan mufassar itu lebih kuat dari nash atau zhahir, bila terjadi perbenturan pemahaman antara keduanya maka harus yang didahulukan yang mufassar. Dan hukum mufassar harus diamalkan sebagaimana penjelasan terhadapnya, ia tidak mempunyai kemungkinan untuk dipalingkan dari makna lahirnya dan hukumnya juga bisa menerima nasakh jika termasuk diantara hukumnya yang telah dijelaskan pada lafaz Zhahir.
D.    Muhakkam
Muhakkam menurut istilah ulama fiqh adalah sesuatu yang menunjukkan kepada makna yang dengan sendirinya tidak menerima pembatalan dan penggantian berdasarkan petunjuk yang jelas dan sama sekali tidak mengandung ta’wil. Ia tidak menerima ta’wil karena ia bersifat rinci dan jelas yang tidak ada peluang untuk ta’wil. Ia tidak menerima nasakh baik pada masa kerasulan, masa kekosongan turunnya wahyu atau masa sesudahnya. Karena hukum yang diambil daripadanya mungkin berupa hukum dasar dari kaidah agama yang tidak mungkin dirubah, seperti menyembah kepada Allah Swt dan Iman kepada Rasul dan Kitab-kitabnya atau diambil dari prinsip keutamaan yang tidak dirubah oleh perubahan keadaan, seperti berbuat baik kepada orang tua dan adil atau dari hukum cabang Juz’i (anak cabang) tetapi terdapat bukti bahwa syar’i menguatkan syariatnya.[11] Firman Allah yang ditujukan kepada para penuduh zina kepada wanita bersuami:
ولا تقبلوا لهم شهادة أبدا (النور: 4 )
Artinya: Dan janganlah kamu menerima kesaksian mereka selama-lamanya. (an-Nur:4)
Hukum Muhkam secara pasti wajib diamalkan, tidak mungkin dibelokkan dari makna lahirnya atau disalin. Muhkam tidak menerima nasakh karena setelah masa Rasulullah dan terputusnya wahyu semua hukum yang terdapat dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah menjadi kokoh dan kuat, tidak menerima nasakh dan pembatalan. Sebab setelah Rasulullah tidak ada lagi yang berkuasa menetapkan hukum syara’ yang berhak membatalkan dan merubah apa yang beliau bawa. Sedangkan jika terjadi kontradiksi antara Zhahir dan Nash, maka yang dimenangkan adalah nash karena ia lebih jelas petunjuknya jika dilihat dari segi bahwa makna nash itu adalah makna asal dari susunan. Zhahir, maknanya bukan asal yang dimaksud dari susun katanya.
Kemudian jika terjadi kontradiksi antara nash dan mufassar maka mufassar yang dimenangkan karean ia lebih jelas petunjuknya daripada nash dilihat dari segi bahwa penjelasan tafsirnya menjadikan mufassar itu tidak mungkin dita’wil dan maksudnya menjadi tertentu.
Sabda Rasulullah Saw :
المستحاضة تتوضَأ لكلَ الصلاة
Wanita yang istihadhah (mengeluarkan darah penyakit) wajib berwudhu setiap akan menjalankan shalat.
المستحاضة تتوضَأ وقت كلَ صلاة  
Wanita yang istihadhah  (mengeluarkan darah penyakit) wajib berwudhu setiap akan menjalankan shalat.  
Hadist pertama adalah nash dalam mewajibkan wudhu untuk setiap shalat, karena ia langsung dipaham dari lafalnya dan dimaksud oleh susunan katanya. Sedangkan hadist kedua adalah mufassar yang tidak menerima ta’wil. Karena hadist pertama mungkin dipahami dengan wajib berwudhu untuk setiap shalat meskipun dalam satu waktu atau untuk waktu setiap shalat meskipun dalam satu waktu mengerjakan beberapa shalat. Tetapi hadist kedua meniadakan kemungkinan yang demikian, sehingga ia dimenangkan. Maka hukum syara’nya adalah wajib berwudhu setiap waktu yang digunakan untuk shalat beberapa shalat fardhu dan sunnah.
Amir Syarifudin membagi muhkam menjadi dua bentuk : Pertama, muhkam lizatihi atau muhkam dengan sendirinya bila tidak ada kemingkinan untuk pembatalan atau nasakh itu disebabkan oleh nash (teks) itu sendiri. Tidak mungkin nasakh muncul dari lafaznya dan diikuti pula oleh penjelasan bahwa hukum dalam lafaz itu tidak mungkin di nasakh. Kedua, muhkam lighairihi atau muhkam karena faktor luar bila tidak dapatnya lafaz itu dinasakh  bukan karena nash atau teksnya itu sendiri tetapi karena tidak ada nash yang me-nasakh-nya. Lafaz dalam bentuk ini istilahnya dalam ushul fiqh adalah lafaz qath’i penunjukannya terhadap hukum.[12]  
Lafaz Yang Tidak Jelas Maknanya (Ghoiru Wadhih / Khafi ad-Dilalah)
Nash yang tidak jelas petunjuknya yaitu nash yang bentuknya sendiri tidak dapat menunjukkan makna yang dimaksud, tetapi dalam pemahamannya membutuhkan unsur dari luar. Jika kesamarannya dapat dihilangkan dengan penelitian dan ijtihad, maka disebut al-Khafi atau al-Musykil. Jika kesamarannya tidak dapat dihilangkan kecuali dengan penjelasan dari syar’i maka disebut al-Mujmal dan jika tidak ada kemungkinan sama sekali untuk menghilangkan kesamaran itu maka disebut al-Mutasyabih.
A.    Al Khafi (Samar)
Yang dimaksud dengan al-Khafi menurut istilah adalah lafaz yang menunjukkan makna secara jelas akan tetapi dalam menerapkan arti kepada sebagian satuanya mengandung kesamaran dan ketidakjelasan yang untuk menghilangkannya membutuhkan pemikiran dan perkiraan yang matang, sehingga lafaz itu dianggap samar dari segi penerapan arti kepada sebagian satuannya. Sebab timbulnya kesamaran ini ialah bahwa satuan dalam lafaz itu memiliki sifat lebih banyak atau lebih sedikit daripada satuan yang lain atau memiliki nama tertentu; kelebihan, kekurangan dan nama tertentu inilah yang menjadi tempat keserupaan sehingga lafal itu samar jika dihubungkan dengan satuan ini, karean untuk memperoleh arti tidak dapat dipahami dari lafaz itu sendiri melainkan membutuhkan unsur luar.[13]
Al-Khafi menurut Muhammad Abu Zahra, yaitu: Lafaz yang samar dalam sebagian penunjukkan dilalah-nya disebabkan faktor luar akan tetapi lafaz yang samar menunjukkan akan maksud dari dilalah lafaz itu sendiri.[14]
Contoh  dalam firman Allah:
السَا رق والسَرقة فاقطعوا أيديهما
Artinya : Pencuri laki-laki dan perempuan potonglah tangan keduanya. (al-Maidah : 4)
Lafaz “as-Syariq” itu sendiri sebenarnya sudah cukup jelas, yaitu: Orang yang mengambil harta yang bernilai milik orang lain dalam tempat penyimpanannya secara sembunyi-sembunyi”. Penerapan hukuman pencuri dengan arti tersebut sangatlah jelas, akan tetapi lafaz “Pencuri” memiliki banyak makna yang banyak, seperti: Pencopet, perampok, pencuri barang kuburan, dll yang memiliki kelebihan sifat atau kekurangan sifat dibandingkan dengan pencuri dalam artian diatas. Apakah sanksi hukuman potong tangan diperlakukan terhadap semua artian itu? Disinilah timbul kesamaran makna yang membutuhkan interpretasi atau ijtihad dalam memahami makna tersebut.
B.     Al Musykil (Sulit)
Yang dimaksud al-Musykil adalah lafaz yang bentuknya tidak dapat menunjukkan kepada makna, bahkan harus ada Qarinah (Petunjuk) dari luar yang dapat menjelaskan maksud dari lafaz itu.[15] Petunjuk atau qarinah dapat diketahui dengan pembahasan atau penelitian. Sebab kesamaran dalam lafaz yang khafi bukan dari lafaznya akan tetapi dari kesamaran dalam menerapkan artinya kepada sebagian satuanya karena faktor dari luar. Sedangkan sebab kesamaran dalam al-Musykil adalah dari lafaz itu sendiri  karena ia secara bahasa memiliki makna lebih dari satu. Arti yang dimaksud dari lafaz itu tidak dapat dipahami dari lafaz itu sendiri atau karena ada pertentangan pemahaman antara nash yang satu dengan nash yang lain.
Abu Zahra menyatakan bahwa al-Musykil adalah samarnya makna disebabkan oleh lafaznya itu sendiri.[16] Sedangkan dalam Kitab Ushul Fiqh karangan Wahbah Zuhaili, yang dimaksud  al-Musykil adalah lafaz yang samar akan maknanya disebabkan dari lafaz itu sendiri yang mana untuk mengetahui maksud dari lafaz itu harus dilakukan perbandingan penjelasan maksud lafaznya.[17]
Contoh dalam firman Allah Swt :
والمطلقات يتربَصن بأنفسهنَ ثلاثة قروء (البقرة : 228 )
Artinya : Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali Quru’. (al-Baqarah : 228).
Lafaz quru’ dari ayat diatas bermakna ganda yaitu “Suci” dan “Haid”. Adanya arti ganda itu menghasilkan hukum yang berbeda, karenannya lafaz tersebut termasuk dalam lafaz musykil. Untuk mengetahui maksudnya secara pasti harus dilakukan qarinah yang akan menjelaskannya. Kelihatannya dalam hal ini para ulama ushul fiqh mengemukakan dalil atau qarinah-qarinah yang berbeda sehingga menghasilkan hukum yang berbeda.
1.      Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa quru’ itu artinya “Haid”. Untuk menguatkan pendapatnya ia mengemukakan dalil dan qarinah dengan firman Allah Swt :
والَئي يئسن من المحيض من نساءكم ان ارتبتم فعدَتهنَ ثلاثة اشهر
Artinya: Perempuan-perempuan yang telah putus haid diantara istrimu jika ia ragu tentang iddahnya, maka iddahnya adalah tiga bulan. (at-Thalaq : 4)
Sabda Nabi Muhammad Saw :
طلاق الأمة اثنتان وعدَتها حيضتان
Bilangan talak perempuan sahaya itu adalah dua kali dan iddahnya adalah dua kali haid.
Hadist diatas menunjukkan akan lafaz dalam perhitungan massa iddah adalah dengan haid, karena jika hamba sahaya saja hitungan iddah-nya menggunakan masa iddah haid maka untuk kalangan perempuan merdeka juga menggunakan perhitungan iddah haid.
2.      Imam Syafe’i berpendapat bahwa quru’ itu artinya adalah “suci”. Dengan alasan dalam firman Allah Swt :
اّذا طلَقتم النساء فطلَقوهنَ لعدَتهنَ
Artinya : Bila kamu ingin menceraikan istrimu, hendaklah kamu ceraikan mereka dalam waktu iddahnya. (at-Thalaq: 1)
Disamping itu menurut Imam Syafei bahwa kata bilangan yang menunjukkan tiga quru’ dalam ayat tersebut adalah menggunakan jenis kelamin betina (mu’annas) ثلاثة. Sedangkan dalam kaidah bahasa Arab bila bilangannya menggunakan jenis mu’annas maka yang dibilang المعدود   harus dalam bentuk mudzakar. Berdasarkan ketentuan bahasa ini maka quru’ itu harus bentuk mudzakar. Diantara kata suci dan haid dalam kaidah bahasa Arab yang mudzakar adalah kata suci maka dengan demikian tiga quru’ berarti tiga kali suci.
C.     Mujmal
Lafaz mujmal dalam pengertian sederhananya adalah :
الفظ الذى ينطوى معناه على عدَة أحوال وأحكام قد جمعت فيه
Lafaz yang maknanya mengandung beberapa keadaan dan beberapa hukum yang terkumpul di dalamnya.[18]
Lafaz mujmal ini lebih samar  (tidak jelas) dibandingkan dengan lafaz sebelumnya karena dari segi bentuknya sendiri tidak menunjukkan arti yang dimaksud, tidak pula dapat ditemukan qarinah yang dapat membawa  kita kepada maksudnya. Tidak mungkin pula dapat dipahami arti yang dimaksud kecuali dengan penjelasan syariah atau pembuat hukum (dalam hal ini adalah Nabi Muhammad Saw). Ketidak jelasan dalam lafaz mujmal disebabkan dari lafaz itu sendiri bukan dari faktor seperti lafaz-lafaz yang dinukilkan oleh syar’i dari arti bahasa dan dialihkan menjadi teknis hukum. Seperti  lafaz shalat, zakat, puasa, haji, riba, dan sebagainya. Lafaz-lafaz tersebut sebenarnya lafaz yang terpakai dalam bahasa Arab secara arti kata, namun yang dimaksud oleh Nabi -sebagai pembuat hukum- bukan menurut yang dipahami oleh orang Arab dalam bahasa sehari-hari. Untuk maksud itu Nabi memberikan penjelesan dengan sunnahnya.
Yang membedakan antara lafaz mujmal, khafi dan musykil adalah bahwa lafaz mujmal tidak mungkin diketahui rincian maksudnya hanya semata-mata mengandalkan dari melihat pada lafaznya sebagaimana yang berlaku pada khafi dan tidak pula dengan semata-mata pada penalaran dan penafsiran lafaz sebagaimana yang berlaku pada musykil. Untuk memahami secara baik maksud lafaz mujmal harus merujuk pada penjelasan resmi dari Nabi Muhammad yang menjelaskan arti dan rinciannya.     
Contoh lafaz hukum yang telah ada di nash al-Qur’an kemudian diterangkan oleh Nabi karena melihat nash hukum tersebut masih bersifat mujmal atau global sehingga membutuhkan keterangan dan penjelasan akan ketentuan hukum tersebut, seperti : Kaifiyah Shalat, haji, zakat, dll.
Rasulullah Saw bersabda yang berkenaan dengan maksud lafaz shalat dalam nash al-Qur’an yang bersifat mujmal:
صلَوا كما رأيتمونى أصلَي
Shalatlah kamu sekalian sebagaimana aku shalat.


Rasulullah Saw dalam masalah haji:
خذوا عني مناسككم  
 Ambillah dariku tentang manasik kalian
Sebagian ulama berpendapat bahwa lafaz mujmal setelah memperoleh penjelasan kadang-kadang menjadi zhahir atau nash dan kadang-kadang menjadi mufassar sehingga tidak mungkin untuk dimasuki oleh ta’wil dan tidak pula menerima takhsis.
D.    Mutasyabih
Al-Mutasyabih menurut istilah adalah lafal yang bentuknya itu sendiri tidak menunjukkan kepada makna yang dimaksud, tidak ada qarinah dari luar yang menjelaskannya dan syari’ dengan ilmunya hanya mencukupkan begitu saja tanpa penjelasan.[19]
Dalam buku ushul fiqh, Amir Syarifudin memberikan definisi mutasyabih sebagai berikut:
الفظ الذى يخفى معناه ولا سبيل لأن تدركه عقول العلماء
Lafaz yang samar artinya dan tidak ada cara yang dapat digunakan untuk mencapai artinya.
Ketidak jelasan lafaz mutasyabih ini adalah karena bentuknya sendiri tidak memberikan arti yang dimaksud, tidak ada pula qarinah yang akan menjelaskan maksudnya. Sedangkan syar’i membiarkan saja kesamaran tersebut tanpa ada penjelasan. Dalam hal ini daya nalar manusia tidak dapat berbaur dengan sesuatu kecuali menyerahkan dan melimpahkannya kepada Allah sambil mengakui kelemahan dan kekurangmampuan manusia.
Mutasyabih ada dua bentuk: Pertama, dalam bentuk potongan huruf hijaiyah seperti yang terdapat dalam awal surah, contohnya : كهيعص, الر, الم , dan sebagainya. Kedua, ayat-ayat yang menurut zhahir-nya mempersamakan Allah Maha Pencipta dengan makhluk-Nya, sehingga tidak mungkin dipahami ayat itu menurut arti bahasanya karena Allah Swt Maha Suci dari pengertian yang demikian. Seperti dalam firman Allah Swt :
يد اللَه فوق أيديهم
Artinya: Tangan Allah berada diatas tangan mereka. (al-Fath: 10)
ويبقى وجه ربك ذو الجلال والإكرام
Artinya: Dan akan tetap kekal wajah Tuhanmu Yang Maha Besar dan Maha Mulia. (al-Imran : 7).





Penutup.
Lafaz Mutasyabihat merupakan lafaz yang paling samar (tidak jelas) artinya dan dia masuk dalam kelompok lafaz yang samar artinya. Sedangkan dalam kelompok lafaz yang terang artinya atau salah satunya adalah lafaz muhkam berada pada tingkatan atas dari segi kejelasannya. Kedua bentuk lafaz ini secara jelas disebutkan dalam al-Qur’an di ayat-ayat yang sifatnya qath’i sedangkan lafaz mutasyabihat atau dan yang berada dalam kelompoknya menghasilkan pemahaman yang tidak meyakinkan (zhanni) dalam memahami akan maksud makna lafaznya.

Daftar Pustaka
·         Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 2005)
·         Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam (Jakarta: Pustaka Amani, 2003)
·         Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Beirut: Daarul Fikri Arabi, tth)
·        Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqh Untuk UIN, STAIN, PTAIS (Bandung: Pustaka Setia, 2010)
·         Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami (Damaskus Syria : Daar al-Fikr, 1986)
·         Wahbah Zuhaili, Al-Wajiz fi Ushulil al-Fiqh (Beirut: Daar al-Fikr al-Mu’ashir, 1995)




[1]  Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 2005), Jilid II, h. 2
[2]  Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), h. 200
[3]  Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 2
[4]  Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Beirut: Daarul Fikri Arabi, tth), h. 115-117
[5]  Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami (Damaskus Syria : Daar al-Fikr, 1986), h. 312., Wahbah Zuhaili, Al-Wajiz fi Ushulil al-Fiqh (Beirut: Daar al-Fikr al-Mu’ashir, 1995). h. 175 – 189 
[6] Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqh Untuk UIN, STAIN, PTAIS (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 151
[7] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam, h. 232
[8] Ta’wil menurut ulama adalah menerangkan yang dimaksud dari sebuah kalam dari sisi kira-kira (Dzhan) atau memalingkan makna lafaz lahirnya karena ada dalil dan tidak dibenarkan memalingkan makna lafaz dari lahirnya tanpa dibarengi dengan dasar dalil syara’ baik dari Nash maupun Qiyas. Sedangkana tafsier adalah Menerangkan yang dimaksud kalam dengan realitas kebenaran  atau Qath’i. (Lihat : Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, h. 314., Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam, h. 235-236)
[9] Menurut Abdul Wahab Khallaf : Hukum Nash sama dengan Zhahir. Artinya ia wajib diamalkan sesuai dengan nash-nya. Nash mungkin bisa untuk dita’wil dalam artian yang dapat dikehendaki selain daripada Nash. Nash dalam pandangan beliau juga dapat menerima nasakh. Cotoh dalam Firman Allah Swt:
واحلَ لكم ما وراء ذلكم
Artinya: Dihalalkan untukmu selain yang disebutkan bagimu. (An-Nisa’ : 24)

Ayat ini dinasakh dengan firman Allah Swt :
 فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع فإن خفتم ألاَ تعدلوا فواحدة
Artinya: Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja. (Surah an-Nisa’ : 3)
Zhahir dan Nash sangatlah jelas petunjuk maknanya, artinya dalam pemahamannya tidak membutuhkan faktor luar dan wajib mengamalkan makna yang jelas pada petunjuk keduanya dan kedua-duanya juga mungkin untuk dita’wil, misalnya yang dikehendaki adalah selain petunjuk yang jelas pada kalimatnya dan jika ada sesuatu yang menuntut adanya ta’wil maka zhahir dan nash bisa di ta’wil maknanya. (Lihat: Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam, h. 235)
[10] Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, h. 321., Wahbah Zuhaili, Al-Wajiz fi Ushulil al-Fiqh, h. 178
[11]  Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam, h. 242
[12]  Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 12
[13]  Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam, h. 245
[14]  Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, h. 124
[15] Wahbah Zuhaili, Al-Wajiz fi Ushulil al-Fiqh, h. 183
[16] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, h. 128
[17] Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, h. 338
[18] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 20

[19]  Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam, h. 253