Rabu, 04 Juni 2014

FAJAR KADZIB, FAJAR SHADIQ dan AWAL WAKTU SHUBUH Oleh : Drs. H. FATHURROHMAN SANY

FAJAR KADZIB, FAJAR SHADIQ dan AWAL WAKTU SHUBUH

Oleh : Drs. H. FATHURROHMAN SANY

Akhir-akhir ini beredar pendapat tentang awal waktu shubuh yang terlalu pagi. Pendapat ini cukup meresahkan ummat, apalagi di bulan suci Ramadhan. Kalau kita telusuri keraguan itu bersumber dari tulisan Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi yang dimuat di salah satu majalah (Qiblati) secara berseri, dan diperkuat oleh dewan redaksinya sendiri. Sebenarnya kami lebih senang kalau hal ini didiskusikan secara langsung terlebih dahulu sebelum ditulis di majalah yang dibaca orang banyak seperti itu. Apalagi kemudian oleh sebagian penceramah yang tidak begitu paham tentang permasalahan waktu disampaikan dengan berbagai “bumbu” yang menarik, akan menambah semakin membingungkan ummat.
Batasan mengenai waktu sholat yang berlaku di Indonesia dan di dunia Islam pada umumnya telah lama disepakati dengan kriteria yang sudah maklum sebagaimana yang berlaku selama ini. Bahkan Departemen Agama sendiri dalam program “HISABWIN” (1991) dan “WINHISAB” (1993 dan 2001), yakni program komputer untuk keperluan Hisab dan Rukyat, pada pembuatan jadwal sholat, khususnya sholat shubuh juga menggunakan kriteria -20° yang juga dijadikan pedoman bagi semua ahli falak sampai saat ini. Menurut Susiknan Azhari kriteria tersebut telah digunakan seorang ahli falak dunia, yakni Syaikh Taher Djalaluddin Azhari dalam bukunya “Nakhbatu at-Taqrirat fi Hisabi al-Auqati” yang kemudian digunakan oleh tokoh Mujaddid Falak Indonesia, yakni Ustadz Sa’adoeddin Djambek dan Ustadz Abdur Rochim, yang selanjutnya digunakan oleh hampir semua ahli falak di Indonesia (lihat : Hisab Rukyat Indonesia edisi 23 Maret 2009). Kalaupun seandainya hal itu dirasa perlu dikoreksi, dibutuhkan kajian yang mendalam dengan argumentasi yang kuat yang didukung dengan penelitian empirik yang valid dan teruji. Berdasarkan kajian semacam itu, apabila telah disepakati, baru disampaikan kepada ummat, sehingga tidak menimbulkan keraguan yang berakibat cukup serius di masyarakat.
KAJIAN ASTRONOMIS
Fajar yang dijadikan pedoman waktu sholat shubuh, sebagaimana juga safaq ahmar yang digunakan penanda waktu Isya’ di waktu sore, adalah merupakan cahaya-cahaya langit yang ada ketika matahari berada di bawah ufuk. Secara umum cahaya di langit pada waktu malam dapat dibedakan menjadi dua macam, ada yang disebut light (cahaya asli) dan Twilight (cahaya sekunder). Yang termasuk katagori light dalam hal ini antara lain Lunar Light (cahaya bulan) dan Zodiac Light yang merupakan cahaya dari sekumpulan bintang yang ada di langit. Zodiac Light yang paling kuat adalah cahaya dari sederetan bintang (gugus galaksi Bima Sakti) yang memanjang dari timur laut ke barat daya yang sering disebut Milky Way atau dalam bahasa Indonesia dinamakan ”sungai langit”. Barangkali inilah yang menurut Nabi Muhammad s.a.w. seperti ekor serigala (Hadits riwayat Al-Hakim dan al-Baihaqi dari Jabir r.a. dalam “Shahihul Jami’ no. 4278”). Cahaya ini jelas bukan pendaran cahaya matahari, dan tidak ada kaitannya dengan waktu. Karena itu kalau kita menganggap cahaya ini sebagai fajar, jelas kita tertipu. Karena sekali waktu terlihat terang ketika tidak ada cahaya bulan atau mendung dan sekali waktu menjadi gelap, akibat ”permainan” atmosphere bumi. Cahaya ini hanya terlihat ketika posisi bumi kita berada di antara matahari dan pusat galaksi (antara bulan Agustus s.d. Oktober).
Adapun cahaya yang berkaitan dengan waktu adalah pendaran cahaya sekunder dari matahari yang dinamakan Twilight. Cahaya ini dihasilkan oleh cahaya matahari yang dipantulkan oleh partikel-partikel yang ada di lapisan atmosphere bumi. Karena itu cahaya ini nampak di ujung-ujung malam, yakni setelah terbenam matahari (safaq al-ahmar) dan menjelang terbit matahari (fajar). Berdasarkan hadits Rasulullah s.a.w. tentang fajar dan al-Qur’an S. Al-Baqarah 187, dapat diketahui bahwa fajar dapat diamati melalui 2 cara, yakni bentuk cahaya yang tampak di langit (menyebar di ufuk barat/timur) dan kekuatan pandangan mata di darat. Atas dasar tersebut maka dari segi kuatnya cahaya dapat dibedakan menjadi 3 tingkatan sebagaimana tabel berikut ini :

Tingkatan
Tampak di langit
Kekuatan Pandangan Mata di darat
Posisi Matahari dari Ufuk*)
Syafaq(sore)
Fajar(pagi)
Civil Twilight
Warna merah & kuning terang, sangat luas membentang
Segala sesuatu tampak jelas, baik bentuk maupun detil teksturnya.
- 6°
- 8°
Nautical Twilight
Warna kuning & putih, dengan luasan yang mulai menyempit
Warna tidak jelas, tekstur pudar, bentuk umum masih jelas
- 12°
- 14°
Astronomical Twil.
Antara hitam & putih pudar pada wilayah yang sempit, awan putih masih tampak sedikit
Tampak gelap, warna yang tampak hanya hitam dan putih, bentuk kabur.
- 18°
- 20°
 *) Ketinggian ini perlu dibuktikan lebih lanjut secara empiris
Kalau kita perhatikan tabel di atas, terdapat perbedaan ”kedalaman” posisi matahari antara sore hari dengan pagi hari, rata-rata selisih 2° lebih rendah pagi dibanding sore. Hal ini diakibatkan adanya kenyataan bahwa akomodasi pupil mata manusia berbeda ketika sore hari dengan pagi hari. Pada waktu sore hari mata kita seharian menatap cahaya terang, sehingga pupil mata kita mengecil. Sedangkan di pagi hari semalaman mata kita (secara alamiah) berada di kegelapan, sehingga pupil mata membesar. (Bandingkan dengan mata kucing). Perbedaan perbesaran pupil ini mengakibatkan ketajaman mata berbeda antara sore dan pagi hari. Di pagi hari mata kita lebih tajam daripada di sore hari.
FAJAR SHADIQ DAN KADZIB
Secara bahasa kata shadiq artinya ”benar/sebenarnya”, sedangkan kata kadzib artinya ”bohong/bohongan”. Sekilas dari kata ini dapat kita pahami bahwa fajar shadiq berkaitan dengan cahaya matahari yang sebenarnya, yakni terkait dengan peredaran waktu, sedangkan fajar kadzib berkaitan dengan cahaya yang bila kita salah menafsirkannya bisa tertipu.
Perhatikan arti selengkapnya dari hadits riwayat al-Hakim dan al-Baihaqi dari Jabir r.a. Rasulullah s.a.w. bersabda :”Fajar ada dua, fajar yang seperti ekor serigala tidak boleh shalat (shubuh) dan tidak mengharamkan makan, sedangkan fajar yang menyebar di ufuk maka boleh shalat dan tidak boleh makan”. Dalam hadits ini sangat jelas disebutkan ”seperti ekor serigala”, yakni panjang dan berbulu dalam posisi vertikal (memanjang dari timur ke barat), yang selanjutnya oleh para ulama’ dinamakan fajar kadzib. Menilik dari bentuknya yang memanjang dan ”seperti” berbulu mirip ekor serigala, maka jelas itu bukan pendaran cahaya yang dipancarkan matahari, melainkan cahaya yang berasal dari kumpulan gugus bintang dalam jumlah milyaran di langit yang membujur dari timur laut ke barat daya. Dan itu adalah ”sungai langit” yang jelas tidak terkait dengan perputaran waktu harian (rotasi), tetapi berkaitan dengan gerak tahunan (revolusi), karenanya bisa ”menipu” (kadzib) mata kita. Bisa juga terkait dengan disebabkan oleh hamburan cahaya matahari oleh debu-debu antarplanet yang tersebar di bidang ekliptika yang tampak di langit melintasi rangkaian zodiak (rangkaian rasi bintang yang tampaknya dilalui matahari).
Sedangkan terkait dengan fajar shadiq, sangat jelas Alloh s.w.t. memberi petunjuk kepada kita tentang indikator warna putih dan hitam, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Baqarah 187 : ”.... dan makan dan minumlah kalian, sehingga tampak olehmu (perbedaan antara) benang putih dari benang hitam akibat dari (cahaya) fajar ....” . Dari ayat ini dapat kita pahami bahwa alat ukur yang menentukan batas awal terbitnya fajar adalah ”penglihatan mata manusia (normal)” yang mampu membedakan warna paling elementer, yakni putih dan hitam. Dan itu bisa dilakukan mata normal hanya dengan bantuan sedikit cahaya, yakni ketika matahari mengirimkan pendaran cahaya sekundernya pada posisi Astronomical Twilight, yakni -20° di bawah garis ufuk.
WAKTU SHUBUH DI ZAMAN RASULULLOH S.A.W. dan DALAM AL-QUR’AN
Ada beberapa petunjuk dalam hadits-hadits Rasululloh s.a.w. tentang awal waktu shubuh. Beberapa di antaranya sebagai berikut :
  1. Ru’yatul khoith (yakni : kebiasaan para shahabat saat makan sahur sambil mengamati perbedaan warna benang putih dan hitam yang ditalikan di kaki mereka à Hadits Riwayat Bukhori dan Muslim, dengan lafadz dari Imam Bukhori)
  1. Adzan Ibn Ummi Maktum (shahabat Nabi yang buta à Hadits Riwayat Bukhori, Muslim, Turmudzi, Nasa’ie, Ibn Majah, Ahmad, dengan lafadz dari Imam Bukhori)
  1. Para wanita yang ikut jama’ah shubuh tidak dikenali wajahnya karena hari masih gelap (berarti setelah sholat shubuhpun orang belum bisa mengenali wajah satu sama lain à perhatikan tabel kekuatan cahaya di atas) Berikut hadits dari ’Aisyah riwayat Bukhori dan Muslim, dengan lafadz dari Imam Bukhori :
  1. Batas diperbolehkannya makan sahur dalam al-Qur’an S. Al-Baqarah 187 adalah ketika mata kita telah mampu membedakan warna hitam dan putih akibat cahaya fajar
¨@Ïmé& öNà6s9 s's#øs9 ÏQ$uŠÅ_Á9$# ß]sù§9$# 4n<Î) öNä3ͬ!$|¡ÎS 4 £`èd Ó¨$t6Ï9 öNä3©9 öNçFRr&ur Ó¨$t6Ï9 £`ßg©9 3 zNÎ=tæ ª!$# öNà6¯Rr& óOçGYä. šcqçR$tFøƒrB öNà6|¡àÿRr& z>$tGsù öNä3øn=tæ $xÿtãur öNä3Ytã ( z`»t«ø9$$sù £`èdrçŽÅ³»t/ (#qäótFö/$#ur $tB |=tFŸ2 ª!$# öNä3s9 4 (#qè=ä.ur (#qç/uŽõ°$#ur 4Ó®Lym tû¨üt7oKtƒ ãNä3s9 äÝøsƒø:$# âÙuö/F{$# z`ÏB ÅÝøsƒø:$# ÏŠuqóF{$# z`ÏB ̍ôfxÿø9$# ( ¢OèO (#qJÏ?r& tP$uÅ_Á9$# n<Î) È@øŠ©9$# 4 Ÿwur  ÆèdrçŽÅ³»t7è? óOçFRr&ur tbqàÿÅ3»tã Îû ÏÉf»|¡yJø9$# 3 y7ù=Ï? ߊrßãn «!$# Ÿxsù $ydqç/tø)s? 3 y7Ï9ºxx. ÚúÎiüt6ムª!$# ¾ÏmÏG»tƒ#uä Ĩ$¨Y=Ï9 óOßg¯=yès9 šcqà)­Gtƒ ÇÊÑÐÈ
187.  Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah Pakaian bagimu, dan kamupun adalah Pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang Telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf[115] dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.


Dari ketiga hadits dan ayat Al-Qur’an tersebut dapat dipahami beberapa hal sebagai berikut :
  1. Pengamatan (baca : ru’yat) secara primer terhadap obyek fajar di ufuk tidak dikenal di zaman Nabi, tetapi yang dilakukan pada shahabat adalah justru pengamatan sekunder terhadap kekuatan mata kita menangkap cahaya dengan kemampuan membedakan warna hitam dan putih (warna paling elementer) sebagaimana petunjuk dari Alloh s.w.t. dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah 187. Artinya bahwa fajar “dianggap” telah tiba ketika mata kita sudah mampu membedakan warna hitam dan putih.
  2. Suasana cahaya waktu shubuh ternyata masih gelap, mata kita memang bisa membedakan bentuk umum (membedakan adanya jama’ah wanita di belakang Rasululloh s.a.w. à hadits ketiga), tetapi untuk mengenali wajah belum bisa, bahkan sampai selesai sholat shubuh sekalipun. Ini berarti bahwa apabila kita menunggu sampai cahaya di ufuk sudah nampak memerah berarti sudah terlalu siang waktu sholat kita.
  3. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa awal waktu shubuh adalah sesuai dengan batasan yang selama ini dipakai para astronom dan ahli falak bahwa ástronomical twilight dengan batas -20° di bawah ufuk sudah tepat.
Demikian uraian kami tentang  awal waktu shubuh. Bagi yang masih meyakini kebenaran dari pendapat yang baru-baru ini beredar, kami menyarankan agar hal itu dipakai untuk waktu shubuh saja. Toh tidak sampai terbit matahari. Tetapi jangan sampai digunakan untuk batasan makan sahur, karena apabila salah akan berakibat tidak sah puasanya.

Wallohu a’lam bis-showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar