FAJAR
KADZIB, FAJAR SHADIQ dan AWAL WAKTU SHUBUH
Oleh : Drs. H. FATHURROHMAN SANY
Akhir-akhir
ini beredar pendapat tentang awal waktu shubuh yang terlalu pagi. Pendapat ini
cukup meresahkan ummat, apalagi di bulan suci Ramadhan. Kalau kita telusuri
keraguan itu bersumber dari tulisan Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi yang dimuat
di salah satu majalah (Qiblati) secara berseri, dan diperkuat oleh dewan
redaksinya sendiri. Sebenarnya kami lebih senang kalau hal ini didiskusikan
secara langsung terlebih dahulu sebelum ditulis di majalah yang dibaca orang
banyak seperti itu. Apalagi kemudian oleh sebagian penceramah yang tidak begitu
paham tentang permasalahan waktu disampaikan dengan berbagai “bumbu” yang
menarik, akan menambah semakin membingungkan ummat.
Batasan mengenai
waktu sholat yang berlaku di Indonesia
dan di dunia Islam pada umumnya telah lama disepakati dengan kriteria yang
sudah maklum sebagaimana yang berlaku selama ini. Bahkan Departemen Agama
sendiri dalam program “HISABWIN” (1991) dan “WINHISAB” (1993 dan 2001), yakni program
komputer untuk keperluan Hisab dan Rukyat, pada pembuatan jadwal sholat,
khususnya sholat shubuh juga menggunakan kriteria -20° yang juga dijadikan
pedoman bagi semua ahli falak sampai saat ini. Menurut Susiknan Azhari kriteria
tersebut telah digunakan seorang ahli falak dunia, yakni Syaikh Taher
Djalaluddin Azhari dalam bukunya “Nakhbatu
at-Taqrirat fi Hisabi al-Auqati” yang kemudian digunakan oleh tokoh
Mujaddid Falak Indonesia, yakni Ustadz Sa’adoeddin Djambek dan Ustadz Abdur
Rochim, yang selanjutnya digunakan oleh hampir semua ahli falak di Indonesia (lihat
: Hisab Rukyat Indonesia edisi 23
Maret 2009). Kalaupun seandainya hal itu dirasa perlu dikoreksi, dibutuhkan
kajian yang mendalam dengan argumentasi yang kuat yang didukung dengan
penelitian empirik yang valid dan teruji. Berdasarkan kajian semacam itu,
apabila telah disepakati, baru disampaikan kepada ummat, sehingga tidak
menimbulkan keraguan yang berakibat cukup serius di masyarakat.
KAJIAN ASTRONOMIS
Fajar yang
dijadikan pedoman waktu sholat shubuh, sebagaimana juga safaq ahmar yang digunakan penanda waktu Isya’ di waktu sore, adalah merupakan cahaya-cahaya langit yang ada
ketika matahari berada di bawah ufuk. Secara umum cahaya di langit pada waktu
malam dapat dibedakan menjadi dua macam, ada yang disebut light (cahaya asli) dan Twilight
(cahaya sekunder). Yang termasuk katagori light
dalam hal ini antara lain Lunar Light (cahaya
bulan) dan Zodiac Light yang
merupakan cahaya dari sekumpulan bintang yang ada di langit. Zodiac Light yang paling kuat adalah
cahaya dari sederetan bintang (gugus galaksi Bima Sakti) yang memanjang dari
timur laut ke barat daya yang sering disebut Milky Way atau dalam bahasa Indonesia dinamakan ”sungai langit”.
Barangkali inilah yang menurut Nabi Muhammad s.a.w. seperti ekor serigala (Hadits
riwayat Al-Hakim dan al-Baihaqi dari Jabir r.a. dalam “Shahihul Jami’ no.
4278”). Cahaya ini jelas bukan pendaran cahaya matahari, dan tidak ada
kaitannya dengan waktu. Karena itu kalau kita menganggap cahaya ini sebagai fajar, jelas kita tertipu. Karena sekali
waktu terlihat terang ketika tidak ada cahaya bulan atau mendung dan sekali
waktu menjadi gelap, akibat ”permainan” atmosphere bumi. Cahaya ini hanya
terlihat ketika posisi bumi kita berada di antara matahari dan pusat galaksi
(antara bulan Agustus s.d. Oktober).
Adapun cahaya
yang berkaitan dengan waktu adalah pendaran cahaya sekunder dari matahari yang
dinamakan Twilight. Cahaya ini
dihasilkan oleh cahaya matahari yang dipantulkan oleh partikel-partikel yang
ada di lapisan atmosphere bumi. Karena itu cahaya ini nampak di ujung-ujung
malam, yakni setelah terbenam matahari (safaq
al-ahmar) dan menjelang terbit matahari (fajar). Berdasarkan hadits Rasulullah s.a.w. tentang fajar dan
al-Qur’an S. Al-Baqarah 187, dapat diketahui bahwa fajar dapat diamati melalui
2 cara, yakni bentuk cahaya yang tampak di langit (menyebar di ufuk
barat/timur) dan kekuatan pandangan mata di darat. Atas dasar tersebut maka dari
segi kuatnya cahaya dapat dibedakan menjadi 3 tingkatan sebagaimana tabel
berikut ini :
Tingkatan
|
Tampak di langit
|
Kekuatan Pandangan Mata di darat
|
Posisi Matahari dari Ufuk*)
|
|
Syafaq(sore)
|
Fajar(pagi)
|
|||
Civil Twilight
|
Warna merah &
kuning terang, sangat luas membentang
|
Segala sesuatu tampak jelas, baik bentuk maupun detil teksturnya.
|
- 6°
|
- 8°
|
Nautical Twilight
|
Warna kuning
& putih, dengan luasan yang mulai menyempit
|
Warna tidak jelas, tekstur pudar, bentuk umum masih jelas
|
- 12°
|
- 14°
|
Astronomical Twil.
|
Antara hitam
& putih pudar pada wilayah yang sempit, awan putih masih tampak sedikit
|
Tampak gelap, warna yang tampak hanya hitam dan putih, bentuk
kabur.
|
- 18°
|
- 20°
|
*)
Ketinggian ini perlu dibuktikan lebih lanjut secara empiris
Kalau kita perhatikan tabel di atas,
terdapat perbedaan ”kedalaman” posisi matahari antara sore hari dengan pagi
hari, rata-rata selisih 2° lebih rendah pagi dibanding sore. Hal ini
diakibatkan adanya kenyataan bahwa akomodasi pupil mata manusia berbeda ketika
sore hari dengan pagi hari. Pada
waktu sore hari mata kita seharian menatap cahaya terang, sehingga pupil mata
kita mengecil. Sedangkan di pagi hari semalaman mata kita (secara alamiah) berada
di kegelapan, sehingga pupil mata membesar. (Bandingkan dengan mata kucing). Perbedaan
perbesaran pupil ini mengakibatkan ketajaman mata berbeda antara sore dan pagi
hari. Di pagi hari mata kita lebih tajam daripada di sore hari.
FAJAR
SHADIQ DAN KADZIB
Secara bahasa kata shadiq artinya ”benar/sebenarnya”, sedangkan kata kadzib artinya ”bohong/bohongan”.
Sekilas dari kata ini dapat kita pahami bahwa fajar shadiq berkaitan dengan cahaya matahari yang sebenarnya,
yakni terkait dengan peredaran waktu, sedangkan fajar kadzib berkaitan dengan cahaya yang bila kita salah
menafsirkannya bisa tertipu.
Perhatikan arti selengkapnya dari hadits
riwayat al-Hakim dan al-Baihaqi dari Jabir r.a. Rasulullah s.a.w. bersabda :”Fajar ada dua, fajar yang seperti ekor serigala tidak boleh shalat
(shubuh) dan tidak mengharamkan makan, sedangkan fajar yang menyebar di ufuk
maka boleh shalat dan tidak boleh makan”. Dalam hadits ini sangat jelas
disebutkan ”seperti ekor serigala”,
yakni panjang dan berbulu dalam posisi vertikal (memanjang dari timur ke barat),
yang selanjutnya oleh para ulama’ dinamakan fajar
kadzib. Menilik dari bentuknya yang memanjang dan ”seperti” berbulu mirip
ekor serigala, maka jelas itu bukan pendaran cahaya yang dipancarkan matahari,
melainkan cahaya yang berasal dari kumpulan gugus bintang dalam jumlah milyaran
di langit yang membujur dari timur laut ke barat daya. Dan itu adalah ”sungai
langit” yang jelas tidak terkait dengan perputaran waktu harian (rotasi), tetapi
berkaitan dengan gerak tahunan (revolusi),
karenanya bisa ”menipu” (kadzib) mata
kita. Bisa juga terkait dengan disebabkan oleh hamburan cahaya matahari
oleh debu-debu antarplanet yang tersebar di bidang ekliptika yang tampak di
langit melintasi rangkaian zodiak (rangkaian rasi bintang yang tampaknya
dilalui matahari).
Sedangkan terkait dengan fajar shadiq, sangat jelas Alloh s.w.t.
memberi petunjuk kepada kita tentang indikator warna putih dan hitam,
sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Baqarah 187 : ”.... dan makan dan minumlah kalian, sehingga tampak olehmu (perbedaan
antara) benang putih dari benang hitam akibat dari (cahaya) fajar ....” .
Dari ayat ini dapat kita pahami bahwa alat ukur yang menentukan batas awal
terbitnya fajar adalah ”penglihatan mata manusia (normal)” yang mampu
membedakan warna paling elementer, yakni putih dan hitam. Dan itu bisa
dilakukan mata normal hanya dengan bantuan sedikit cahaya, yakni ketika
matahari mengirimkan pendaran cahaya sekundernya pada posisi Astronomical Twilight, yakni -20° di bawah garis ufuk.
WAKTU
SHUBUH DI ZAMAN RASULULLOH S.A.W. dan DALAM AL-QUR’AN
Ada beberapa petunjuk dalam hadits-hadits
Rasululloh s.a.w. tentang awal waktu shubuh. Beberapa di antaranya sebagai berikut :
- Ru’yatul khoith (yakni : kebiasaan para shahabat
saat makan sahur sambil mengamati perbedaan warna benang putih dan hitam
yang ditalikan di kaki mereka à Hadits Riwayat Bukhori dan Muslim,
dengan lafadz dari Imam Bukhori)

- Adzan Ibn Ummi Maktum (shahabat Nabi yang buta à Hadits Riwayat Bukhori, Muslim, Turmudzi,
Nasa’ie, Ibn Majah, Ahmad, dengan lafadz dari Imam Bukhori)

- Para wanita yang ikut jama’ah shubuh
tidak dikenali wajahnya karena hari masih gelap (berarti setelah sholat shubuhpun orang
belum bisa mengenali wajah satu sama lain à perhatikan tabel kekuatan cahaya di atas)
Berikut hadits dari ’Aisyah riwayat Bukhori dan Muslim, dengan lafadz dari
Imam Bukhori :

- Batas diperbolehkannya makan sahur
dalam al-Qur’an S. Al-Baqarah 187 adalah ketika mata kita telah mampu
membedakan warna hitam dan putih akibat cahaya fajar
¨@Ïmé& öNà6s9 s's#øs9 ÏQ$uÅ_Á9$# ß]sù§9$# 4n<Î) öNä3ͬ!$|¡ÎS
4 £`èd
Ó¨$t6Ï9 öNä3©9 öNçFRr&ur
Ó¨$t6Ï9 £`ßg©9 3 zNÎ=tæ ª!$#
öNà6¯Rr&
óOçGYä. cqçR$tFørB
öNà6|¡àÿRr& z>$tGsù öNä3øn=tæ $xÿtãur öNä3Ytã ( z`»t«ø9$$sù £`èdrçų»t/
(#qäótFö/$#ur $tB |=tF2 ª!$#
öNä3s9 4 (#qè=ä.ur (#qç/uõ°$#ur 4Ó®Lym tû¨üt7oKt ãNä3s9 äÝøsø:$# âÙuö/F{$# z`ÏB
ÅÝøsø:$# ÏuqóF{$# z`ÏB
Ìôfxÿø9$# ( ¢OèO
(#qJÏ?r& tP$uÅ_Á9$# n<Î) È@ø©9$#
4 wur
Æèdrçų»t7è? óOçFRr&ur
tbqàÿÅ3»tã Îû ÏÉf»|¡yJø9$# 3 y7ù=Ï? ßrßãn «!$#
xsù
$ydqç/tø)s?
3 y7Ï9ºxx. ÚúÎiüt6ã ª!$#
¾ÏmÏG»t#uä Ĩ$¨Y=Ï9
óOßg¯=yès9 cqà)Gt ÇÊÑÐÈ
187.
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan
isteri-isteri kamu; mereka adalah Pakaian bagimu, dan kamupun adalah Pakaian
bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu,
Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang
campurilah mereka dan ikutilah apa yang Telah ditetapkan Allah untukmu, dan
makan minumlah hingga terang bagimu
benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa
itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang
kamu beri'tikaf[115] dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu
mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia,
supaya mereka bertakwa.
Dari ketiga hadits dan ayat Al-Qur’an tersebut
dapat dipahami beberapa hal sebagai berikut :
- Pengamatan (baca : ru’yat) secara primer terhadap obyek fajar di ufuk tidak
dikenal di zaman Nabi, tetapi yang dilakukan pada shahabat adalah justru
pengamatan sekunder terhadap kekuatan mata kita menangkap cahaya dengan
kemampuan membedakan warna hitam dan putih (warna paling elementer)
sebagaimana petunjuk dari Alloh s.w.t. dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah
187. Artinya bahwa fajar “dianggap” telah tiba ketika mata kita sudah
mampu membedakan warna hitam dan putih.
- Suasana cahaya waktu shubuh ternyata
masih gelap, mata kita memang bisa membedakan bentuk umum (membedakan
adanya jama’ah wanita di belakang Rasululloh s.a.w. à
hadits ketiga), tetapi untuk mengenali wajah belum bisa, bahkan sampai
selesai sholat shubuh sekalipun. Ini berarti bahwa apabila kita menunggu
sampai cahaya di ufuk sudah nampak memerah berarti sudah terlalu siang
waktu sholat kita.
- Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa awal waktu shubuh adalah sesuai dengan batasan yang selama ini
dipakai para astronom dan ahli falak bahwa ástronomical twilight dengan
batas -20°
di bawah ufuk sudah tepat.
Demikian
uraian kami tentang awal waktu shubuh.
Bagi yang masih meyakini kebenaran dari pendapat yang baru-baru ini beredar,
kami menyarankan agar hal itu dipakai untuk waktu shubuh saja. Toh tidak sampai
terbit matahari. Tetapi jangan sampai digunakan untuk batasan makan sahur,
karena apabila salah akan berakibat tidak sah puasanya.
Wallohu a’lam bis-showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar