HISTORITAS ILMU HISAB
PERIODE PERTENGAHAN DAN MODERN[1]
Disusun Oleh: Nurwahidah Fibrianty Alim
A.
Pendahuluan
Ilmu hisab adalah bagian ilmu dari ilmu falak, merupakan ilmu yang
sudah tua dikenal oleh manusia. Bangsa-bangsa Mesir, Mesopotamia, Babilonia dan
Tiongkok, sejak abad ke-28 sebelum masehi telah mengenal dan mempelajarinya.
Mereka mempelajari ilmu ini, pada mulanya bertujuan menghasilkan hitungan
waktu, yang akan digunakan sebagai saat penyembahan berhala-berhala yang mereka
tuhankan. Kemudian berkembang untuk kepentingan-kepentingan lainnya seperti
pencatatan waktu kejadian-kejadian penting, perdagangan, dan sebagainya.
Pada zaman Rasulullah ilmu ini belum dikenal.
Pengetahuan masyarakat Arab mengenai benda-benda langit pada saat itu lebih
banyak bersifat sebagai kepentingan petunjuk jalan di tengah padang pasir di
malam hari. Pengetahuan yang mereka miliki belum sampai pada taraf pengetahuan
bangsa-bangsa Babilonia, India dan Yunani yang telah berkembang. Oleh karena
itu penentuan waktu-waktu ibadah, khususnya Ramadhan dan idul fitri, pada masa Rasulullah
didasarkan kepada rukyat fisik, karena metode inilah yang tersedia dan mungkin
dilakukan di zaman tersebut.
Setelah Rasulullah meninggal dan islam berkembang ke berbagai
kawasan di mana pada kawasan tersebut ditemukan berbagai ilmu pengetahuan yang
telah maju menurut ukuran zaman itu, maka ilmu-ilmu tersebut diadopsi oleh
Islam dan dikembangkan, termasuk ilmu falak. Perkembangan ini didorong oleh
kegiatan penerjemahan yang dimulai sejak zaman yang dini dalam sejarah Islam.
Dalam buku pedoman hisab rukyah Muhammadiyah (2009: 6) menerangkan bahwa orang
pertama yang paling giat mendorong penerjemahan ini adalah Pangeran Bani
Umayyah Khalid Ibn Yalid (w. 85 H/704 M) yang memerintahkan penerjemahan
berbagai karya keilmuan di bidang kedokteran, kimia dan ilmu perbintangan.
Mengingat ulama pertama yang membolehkan penggunaan hisab adalah ulama Tabiin
terkenal Mutarrif Ibn ‘Abdillah Ibn asy-Syikhkhir (w. 95/714), maka berarti
studi hisab dan falak telah mulai berkembang pada abad pertama Hijriah.
Anton Ramdan (2009: 63) menjelaskan dalam bukunya kegiatan penerjemahan
berbagai karya ilmuan ini terus berlanjut pada masa Abbasiyah yang
menerjemahkan dan menyadurkan karya – karya bangsa Persia, India, dan
yunani. Para Khalifah mendekatkan ahli – ahli ilmu falak dan perbintangan ke
istana mereka yang mendorong laju perkembangan kajian astronomi dalam Islam.
Pada mulanya ilmu falak Islam lebih berorientasi di India da Persia. Pada zaman
Khalifah al – Mansur, buku ilmu falak india di kalangan ahli astronomi Islam
dikenal dengan as – Sindhind ( السـنـد حـنـد)
diterjemahkan dalam bahasa arab oleh Muhammad Ibn Ibrahim al – Fazari yang lalu
menjadi pegangan setidaknya hingga zaman Khalifah al – Makmun.
Dan pada zaman Khalifah Al-Makmum (abad 9) adalah zaman keemasan Islam.[2] Sehingga pada zaman Daulah Abbasiyah keadaan
ilmu falak mendapat kemajuan yang sangat pesat dan ilmu falak dapat diperluas
sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan umat Islam pada waktu itu.
Dalam perjalanan waktu dan dengan diperkaya oleh
berbagai sumber itu lahir teori – teori baru ilmu falak yang tidak semata
mengikuti mazhab India, Persia, dan Yunani. Namun harus diakui pengaruh al –
Majisti dari Ptolemaeus sangat besar.
Tersedianya berbagai tempat penelitian
(observatorium) astronomi atau ilmu falak merupakan syarat utama bagi
terciptanya kemajuan ilmu tersebut. Jangan harap suatu negara dapat mengalami
perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat jika tidak menyediakan lembaga
penelitian yang memadai. Hal ini sangat dimengerti oleh para khalifah yang
silih berganti memimpin umat Islam yang ingin mengembangkan ilmu pengetahuan
termasuk ilmu falak. Oleh karena itu, para khalifah Islam berusaha menyediakan
berbagai fasilitas bagi para ilmuan sebaik mungkin.
B.
Pembahasan
Ilmu falak bergulir dari tangan bangsa Yunani ke
bangsa Arab. Bangsa Arab mengambil alih ilmu falak yang sempat tersendat pada
masa – masa keruntuhan Yunani. Dengan latar belakang agama Islam yang memicu
kesadaran ilmiah, bangsa Arab berhasil keluar dari kubangan keruh kebodohan
menuju cahaya peradaban yang lebih maju. Perlahan tapi pasti, ilmu falak
mengalami perkembangan yang jauh lebih pesat dibanding pada masa Yunani.
Berbagai teori baru dan penemuan alat ditemukan pada masa kejayaan Islam.
Peradaban yang berjaya selama kurang lebih 14
abad ini pula berhasil menelurkan ratusan ahli astronomi. Di tangan mereka
kemajuan ilmu falak diolah menjadi ilmu yang begitu terasa manfaatnya di masyarakat.
Dan juga karena perjuangan mereka, ilmu falak dapat tersebar ke seluruh dunia
dari bangsa China di timur hingga bangsa Eropa di barat. Para ilmuan falak rela
memeras otak dan keringat mereka untuk itu semua. Pada masa kekhilafahan Islam
inilah, ilmu falak mencuat dan berkembang menjadi penting dan fundamental bagi
perkembangan ilmu astronomi masa kini.
Pengaruh astronomi Islam ke Eropa masuk melalui Andalusia
(Spanyol). Pada saat itu, Spanyol termasuk ke dalam wilayah Islam. Selain
melalui Andalusia, pengaruh astronomi Islam juga masuk ke Eropa melalui
Sisilia, wilayah yang dikuasai Islam hingga 1091 M dan memiliki perkembangan
ilmu pengetahuan yang tidak kalah dengan astronomi Islam, sehingga mereka
menerjemahkan banyak karya-karya astronomi Islam.
Salah satu buku astronomi Islam yang diterjemahkan yaitu The
elements of Astronomy yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada abad
ke-12. Buku ini dikarang oleh Al-Farghani. Buku ini juga diterjemahkan ke dalam
bahasa Yahudi oleh ilmuwan Yahudi bernama Jacob Anatoli. Pada saat itu,
masyarakat Eropa pada umunya memegang teguh teori Geosentris. Mereka meyakini
bumi ini tidak bergerak dan matahari bergerak mengelilingi bumi. Hal ini
bertahan cukup lama hingga datangnya ide baru copernicus tentang alam semesta
pada abad ke-16. Ia merupakan orang pertama asal Polandia yang menulis teori heliosentris
dengan segenap perhitungan matematikanya. Ia sendiri belajar dari buku-buku
karangan Ibnu Al-Haytham dan Al-biruni yang jelas-jelas menyatakan teori
Geosentris.
(Anton Ramdan, 2009: 71)
Setelah sekian lama berjaya, akhirnya
kekhilafahan Islam harus turun dari puncak peradabannya sejak abad ke - 15.
Keruntuhan peradaban Islam pada masa – masa terakhirnya turut memberikan dampak
negatif pada perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu falak. Denyut
jantung kemajuan ilmu falak seakan terhenti untuk beberapa saat. Berbagai
literatur hanyalah menjadi tumpukan kenangan bahkan telah banyak yang hilang.
Hanya sedikit sekali literatur dan alat – alatnya pada masa kejayaan Islam yang
masih tersimpan. Itu pun tersimpan diberbagai museum dan perpustakaan tertentu
yang sulit dijangkau.
Perkembangan ilmu pengetahuan termasuk ilmu falak (Hisab) tidak dapat
dipungkiri sangat dipengaruhi oleh stabilitas politik pemerintahan. Adanya
Gejolak dan perpecahan mengakibatkan ketidaknyamanan serta keamanan cendikiawan
muslim dalam mengembangkan khazanah keilmuan yang ada.
Pada periode pertengahan yang dimulai pada tahun 1200-an hingga 1800-an
yang merupakan masa setelah terjadinya penyerbuan di Andalusia oleh tentara
Kristen, penyerbuan Baghdad dan awal mula Perang Salib (Musyfirah Sunanto,
2004: 177) merupakan masa merangkaknya kembali ilmu pengetahuan di Dunia Islam.
Dimana pada masa itu kekuasaan Islam yang berpusat di beberapa daerah mulai
melahirkan ilmuwan-ilmuwan besar seperti; Baghdad (1258-1343 M), Iran (1370-1469
M), Mesir (1250-1517 M), Turki (1281-1924 M), Persia (1501-1722 M) dan India
(1526-1748 M).
Berkembangnya kembali ilmu pengetahuan di dunia Islam khususnya ilmu
falak (Hisab) ditandai dengan lahirnya cendikiawan-cendikiawan muslim walaupun
jumlahnya belum banyak. Mereka melakukan inovasi-inovasi luar biasa dalam
mengembangannya, seperti Nashiruddin al Thusi dengan inovasinya meletakkan
dasar-dasar Hisab Modern dan mendirikan obsevatorium terbesar dan terlengkap di
Maragha-Persia.[3]
Pada masa kerajaan Mongol, tahun 1477 M pemerintahan berada di tangan
Ulugh Beig (w. 1449 M). Beliau merupakan raja yang alim dan sarjana ilmu pasti
serta ahli Hisab (Yatim, 2010: 123) dan berhasil mendirikan obsevatorium
termegah di Samarkhand dengan radius kubah mencapai 130 kaki. (Masood, 2010:
102) Obsevatorium ini sangat bermanfaat bagi para ahli Hisab Arab pada masa
itu. Mereka mampu mengukur kemiringan poros bumi dan memperbaiki pergerakan
rotasi bumi selama hamper 26.000 tahun. Selain itu, mereka juga dapat menemukan
lingkar bumi serta pergerakan / detik matahari tiap tahunnya.
Namun akibat serangan bangsa Mongol yang mengakibatkan trauma yang
masih melekat dalam benak mereka berdampak pada penurunan kreatifitas dalam
mengembangkan khasanah keilmuan yang mereka miliki. Mereka melarikan diri dan
menyebar ke berbagai wilayah. Hal ini berimbas terhadap pengerucutan substansi
ilmu pengetahuan yang cakupan pembahasannya menjadi kerdil. (Musyfirah Sunanto,
2004: 193) Keilmuan mereka juga menyempit pada keilmuan keagamaan saja sehingga
banyak yang terjerumus ke hal-hal mistik
dan khurafat. Khususnya ilmu falak (Hisab) ruang lingkupnya hanya membahas yang
berkaitan dengan keagamaan saja, seperti penentuan arah kiblat, waktu salat,
awal bulan. Sedangkan masalah perbintangan dikhususkan untuk peramalan saja.
Masa keemasan kembali di tangan kaum muslim pada saat Izzudin Aibak (w.
1257 M) mendirikan dinasti Mamalik (1249 – 1517 M) di Mesir. Beliau berhasil
mempertahankan Mesir dari penyerbuan tentara Mongol. Sejak saat itu Mesir menjadi
daerah tumpuan harapan para cendikiawan muslim dalam mengembangkan keilmuan
mereka. Namun, perkembangan ilmu pengetahuan itu menjadi tidak berarti, hal ini dikarenakan beberapa
factor, yaitu; sarana untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan pemikiran baik
yang diterjemahkan dari bahasa Yunani, Persia, India, dan Syiria hancur akibat
serangan tentara Mongol; kekuasaan Islam pada tiga kerajaan besar dipegang oleh
bangsa Turki dan Mughal yang lebih menyukai perang daripada pengembangan ilmu
pengetahuan; tidak berkembangnya metode berpikir rasionalis dan tidak adanya
ruang kebebasan berpikir; pusat-pusat kekuasaan Islam tidak berada di wilayah
Arab dan tidak pula oleh bangsa Arab; terjadinya stagnasi dalam lapangan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi dan hanya pengembangan kekuatan militer. (Yatim,
2010: 152-156)
Pada awal abad ke – 20, kajian ilmu falak
dibangkitkan kembali dengan munculnya beberapa ahli astronomi Eropa yang melakukan
kajian mengenai ilmu falak (Hisab) dengan mengedepankan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan
Tekhnologi). Di antara mereka adalah Simon New Comb (1835-1909 M) membuat Almanac
Nautika yang merupakan tabel pegangan utama hisab kontemporer di Indonesia
hingga saat ini, Walter Bade (1892-1960 M) yang menemukan dua populasi bintang
dalam galaksi bima sakti. (Khazin, 2005: 99), Jean Meeus (1928 M), seorang ahli
matematika dan astronomi, pengarang buku The Canon Of Solar Eclipse
Astronomical Algorim yang menjadi rujukan utama di Indonesia dalam
perhitungan benda-benda langit serta Fotheringham yang
pada tahun 1910 M dan Maunder pada tahun 1911 M menawarkan kriteria baru untuk
rukyat, yaitu hisab (menghitungnya) terlebih dahulu. (Majelis Tarjih dan Tajdid, 2009: 9)
Sedangkan pada periode modern ini, hanya sedikit tokoh muslim yang
bermunculan dan berdedikasi terhadap ilmu falak (Hisab khusussnya karena
khasanah keilmuan mereka mengenai hal tersebut dipersempit hanya pada bidang
keagamaan saja seperti penentuan Arah Kiblat, waktu salat, dan penentuan puasa
dan hari Raya.
Di Indonesia sendiri, pengkajian ilmu falak syar’i atau ilmu hisab mulai
berkembang pesat. Ulama yang pertama terkenal sebagai bapak hisab Indonesia
adalah Syekh Taher Jalaluddin al-Azhari (w. 1286 H/1869 M). Selain Syekh Taher
Jalaluddin pada masa itu juga ada tokoh-tokoh hisab yang sangat berpengaruh,
seperti Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Ahmad Rifa’i, dan K.H. Soleh Darat.
(Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2009: 10)
Ilmu hisab kini
tidak lagi menjadi ilmu yang tabuh. Hisab dan segala permasalahannya tidak saja
merupakan pembicaraan yang menarik, namun pada perkembangannya merupakan suatu
ilmu yang senatiasa mendapat perhatian. Ini terbukti dengan berbagai macam
pertemuan yang diselenggerakan berkaitan dengan ilmu hisab, tidak hanya pada
tingkat nasional tetapi juga pada tingkat internasional. Terakhir yang dilaksanakan pada penghujung tahun 2008 adalah “ Temu Pakar
II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam” ( اجـتـمآ ء الخـبـرا السنى لدر ست و التـقـو يم / The second Experts’ Meeting
for the Study of Establishment of the Islamic Calender), yang diselenggarakan
di Rabat Maroko tanggal 15 – 16 Syawal 1429 H / 15 – 16 Oktober 2008 atas
kerjasama ISESCO, Asosiasi Astronomi Maroko dan Organisasi Dakwah Islam
Internasional Libia.
C.
Kesimpulan
Dari pembahasan yang penulis paparkan dapat ditarik kesimpulan bahwa
perkembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu falak dalam hal ini ilmu hisab
pada periode pertengahan dan modern sangat mengalami penurunan jika
dibandingkan dengan periode sebelumnya. Ini dipengaruhi oleh stabilitas politik
pemerintahan. Adanya Gejolak dan perpecahan mengakibatkan ketidaknyamanan serta
keamanan cendikiawan muslim dalam mengembangkan khazanah keilmuan yang ada.
Keruntuhan peradaban Islam turut memberikan
dampak negatif pada perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu falak. Denyut
jantung kemajuan ilmu falak seakan terhenti untuk beberapa saat. Berbagai
literatur hanyalah menjadi tumpukan kenangan bahkan telah banyak yang hilang.
Hanya sedikit sekali literatur dan alat – alatnya pada masa kejayaan Islam yang
masih tersimpan. Itu pun tersimpan diberbagai museum dan perpustakaan tertentu
yang sulit dijangkau. Bahkan pengaruh pergolakan itu menyisahkan trauma yang begitu mendalam
bagi para cendikiawan muslim hingga mereka melarikan diri dan hanya focus pada
bidang keagamaan saja yang menyebabkan mereka terjerumus kedalam hal-hal mistik
dan khurafat.
Di saat cendikiawan muslim mengalami kemerosotan khasanah keilmuan, di
Eropa para ilmuwan justru melakukan berbagai inovasi dan pengembangan terhadap
ilmu pengetahuan termasuk ilmu hisab. Banyak karya mereka yang sampai saat ini
menjadi rujukan utama hisab kontemporer di Indonesia.
Namun di
Indonesia sendiri, ilmu hisab kini tidak lagi menjadi ilmu yang tabuh. Hisab
dan segala permasalahannya tidak saja merupakan pembicaraan yang menarik, namun
pada perkembangannya merupakan suatu ilmu yang senatiasa mendapat perhatian.
Ini terbukti dengan berbagai macam usaha para pemerhati falak untuk selalu
melakukan pengembangan ilmu dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi
yang serba canggih.
DAFTAR PUSTAKA
Majelis Tarjih dan Tajdid PP. Muhammadiyah, 2009, Pedoman Hisab
Muhammadiyah, Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid PP. Muhammadiyah
Masood, Ehsan, 2010, Ilmuwan-Ilmuwan Muslim; Pelopor Hebat di
Bidang Sains Modern, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Murtadho, Muhammad, 2008, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN
Malang Pers
Ramdan, Anton, 2009, Islam dan Astronomi, Jakarta: Bee Media
Indonesia
Sunanto, Musyrifah, Hajah, 2004, Sejarah Islam Klasik:
Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, Jakarta: Pernada Media
Thaha, Ahmadie, 1983, Astronomi dalam Islam, Surabaya: PT Bina
Ilmu
Yatim, Badri, 2010, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta:
Rajawali Pers
[1]
Makalah ini dipresentasikan dalam pertemuan mata kuliah Hisab Kontemporer pada
hari Senin tanggal 21 April 2014 program Pascasarjana IAIN Walisogo Semarang
[2] Pada waktu dipusat pemerintahan Al-Makmum (Baghdad) menjadi pusat segala
ilmu pengetahuan dari seluruh dunia, ilmu falak termasuk diantara ilmu-ilmu
yang sangat dipentingkan, terutama berhubungan dengan dengan hajat kaum
Muslimin untuk menentukan arah kiblat, waktu shalat, tanggal permulaan bulan,
dan lain-lain
[3]
Nama lengkapnya Abu Ja’far Muhammad bin Muhammad bin Hasan Nasiruddin al Thusi
yang merupakan tokoh Astronomi. Beliau selamat dari pembantaian dan dijadikan
sebagai astrologi pada masa pemerintahan Hulaghu Khan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar