|
Oleh: Ahmad Mujadzad, S.Pd.I
NIM: 135212006
A. Pendahuluan
Perkembangan
sains di abad modern ini telah mewarnai berbagai ranah keilmuan, termasuk dalam
hal ini ilmu syari’at Islam. Hal ini merupakan sebuah kebutuhan bagi ilmu
syari’at Islam, karena syari’at Islam seyogyanya harus bisa mengakomodir dan
mendampingi perkembangan sains. Antara keduanya terdapat hubungan
ketergantungan satu sama lainnya, sains memerlukan ilmu syari’at Islam begitu
pula sebaliknya ilmu syari’at Islam memerlukan sains. Sains sangat diperlukan
dalam ranah keagamaan untuk memberikan pembenaran dan rasionalisasi ilmu
keagamaan, walaupun tidak semua ilmu syari’at Islam bisa dirasionalisasikan.
Ilmu syari’at yang bersumber dari Alquran dan Hadis diperlukan bagi sains
sebagai filter dan tolak ukur keberlakuan sains tersebut. Apakah sains
tersebut selaras dengan agama atau malah bertentangan.
Ilmu
Falak sebagai ilmu yang oleh sebagian tokoh falak disebut dengan Ilmu Astronomi
dan yang merupakan ilmu pengetahuan tertua di dunia merupakan ilmu yang tidak
luput dari pengaruh perkembangan sains. Hal ini dapat di maklumi karena Ilmu
Falak atau Astronomi -data-data
astronomis-
akan berubah sesuai perubahan alam semesta atau komos. Selain itu di alam
semesta sampai sekarang masih banyak teka-teki yang belum terpecahkan dan hal
ini sangat menarik bagi para ilmuan. Bahkan apabila kita melihat sejarah
peradaban Islam tercatat bahwa Ilmu Falak atau Astronomi sempat mencapai masa
keemasan seiring dengan masa keemasan peradaban Islam.
1
|
B. Sekilas Tentang
Saadoedin Djambek
1.
Biografi dan
Genealogi Keilmuan Saadoedin Djambek
Perkembangan Ilmu Falak
modern Indonesia tak lepas dari peran Saadoeddin Djambek. Seorang ulama yang
lahir di Bukittinggi pada tanggal 24 Maret 1911 M/ 1330 H yang bertepatan
dengan peristiwa pergolakan kebangkitan yang dipelopori oleh Kaum Muda. Beliau
wafat di Jakarta pada tanggal 22 November 1977 M/11 Zulhijjah 1397 H. Beliau
merupakan seorang guru serta ahli hisab dan rukyat, putra ulama besar Syekh
Muhammad Djamil Djambek (1860-1947 M/1277-1367 H) dari Minangkabau. (Dirjen
Bimas Islam , 2004: 40). Djambek
adalah nama sebuah keluarga terpandang yang sangat dihormati dan disegani. Keluarga
Djambek merupakan keluarga yang terpelajar dan islami (Azhari, 2002: 48).
Pendidikan
formal pertama beliau dapatkan di HIS (Holland Inlandsche School) sampai lulus
pada tahun 1924. Kemudian beliau meneruskan jenjang pendidikannya di Sekolah
Pendidikan Guru, HIK (Holland Inlandsche
Kweekschool) di Bukittinggi. Kemudian beliau melanjutkan kembali di sekolah
pendidikan guru atas atau HKS (Hogere Kweekschool) di Bandung, dan lulus pada
tahun 1930. (Azhari, 2002: 48). Ia mulai tertarik
mempelajari ilmu hisab pada tahun 1929 M/1348 H. Ia belajar ilmu hisab dari
Syekh Taher Jalaluddin[1], yang mengajar di Al-Jami'ah Islamiah Padang tahun 1939 M/1358 H
dengan memakai buku Pati Kiraan yang
merupakan karangan Syaikh Taher Jalaluddin. Dari beliaulah Saadoedin mendapat
pengetahuan dasar yang memadai dalam bidang hisab.Ketertarikan beliau terhadap
ilmu falak mendorong beliau untuk mempelajari buku-buku falak, seperti Almanak Jamiliah karya Syaikh Djambek, Hisab Hakiki karya K.H. Ahmad Badawi[2]dan lainnya. Dalam rangka memperdalam pengetahuannya,kemudian
beliau mengikuti kursus Legere Akte Ilmu Pasti di Yogyakarta pada tahun
1941-1942 M/1360-1361 H serta mengikuti kuliah Ilmu Pasti Alam dan Astronomi
pada FIPIA (Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam) di Bandung pada tahun 1954-1955
M/1374-1375 H.[3]
Mustajid
(1998), sebagaimana dikutip oleh Susiknan Azhari (2004: 40) menyatakan bahwa
beliau dikenal dengan sebutan Mujaddid al-Hisab (pembaharu pemikiran
hisab) di Indonesia. Hal ini dikarenakan berkat keseriusan beliau dalam
mempelajari Ilmu Falak dan usaha beliau dalam mengembangkan sistem baru
perhitungan hisab dengan menggunakan teori Segitiga Bola (Spherical
Trigonometri). Penggunaan teori ini dapat menimbulkan perbedaan dalam
perhitungna hisab, waktu salat, seperti arah kiblat, dan awal bulan kamariah
apabila dibandingkan dengan menggunakan sistem-sistem perhitungan kitab-kitab
klasik, seperti Sullamun Nayyirain
dan Fathur Roufil Manan ataupun kitab
klasik lainnya.( Ditjen Bimas Islam dan Penyelengaraan Haji, 2004: 8). Banyak
murid- murid beliau yang dikemudian hari menjadi tokoh-tokoh hisab di kalangan
Muhamadiyah, seperti H. Abdur Rachim (1935-2004), dan H. Wahyu Widiana. Sesudahnya
kemudian lahir ahli hisab Muhammadiyah lainnya, seperti Drs. Oman Fathurrahman,
SW, M.Ag (lahir 1957), Prof. Dr. H. Susiknan Azhari (lahir 1968), yang keduanya
aktif di Majelis Tarjih Muhammadiyah. (Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah,
2009:12).
Teori segitiga bola (spherical trigonometri) yang
dikembangkan Saadoedin Djambek ini terhitung lebih mudah dan modern. Teori ini
beliau dapatkan ketika beliau kuliah di fakultas Ilmu Pasti Alam dan Astronomi
ITB pada tahun 1954-1955. ( Ditjen
Bimas Islam dan Penyelengaraan Haji, 2004: 41). Prof. Dr.
G.B. Van Albada yang merupakan Direktur Observatorium Boscha ketika itu,
merupakan tokoh yang banyak mempengaruhi pola pikirnya, disamping dosen-dosennya
yang lain. Prof. Dr. G.B. Van Albada merupakan seorang astronom di
Observatorium Boscha yang banyak mengajarkan teori-teori baru terkait ilmu
astronomi. Sebagaimana kita ketahui Observatorium Boscha saat ini pun masih
terhitung sebagai Observatorium yang canggih yang banyak menghasilkan penemuan
di bidang astronomi, apalagi dahulu ketika ilmu pengetahuan di Indonesia belum
berkembang seperti sekarang. Majelis Tarjih Muhammadiyah pada Muktamar Tarjih
th.1972/1392 H di Pencongan, Wiradesa, Pekalongan memberikan putusan terkait
metode hisab yang memenuhi persyaratan, yaitu hisab hilal yang berdasarkan pada
analisis Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-mannar. (Izzudin, 2007:148). Metode hisab
yang dipakai oleh Muhammadiyah adalah metode yang dikembangkan oleh Saadoedin
Djambek yang pengambilan datanya dari Almanak Nautika terbitan TNI Angkatan
Laut Dinas Oceanografi yang diterbitkan setiap tahun. (Izzuddin, 2007:124).
Sebagaimana disebutkan oleh
Susiknan Azhari (2002:50) bahwa
dalam upaya membumikan teori-teorinya itu, beliau mencoba mengenalkannya di Perguruan-perguruan
Islam, terutama di IAIN (saat itu belum menjadi UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Pemilihan tempat sosialisasi di perguruan tinggi sebagai tempat pengembangan
teori–teorinya itu merupakan jalan yang tepat, karena kalangan akademisi lebih terbuka
terhadap pembaharuan pemikiran dalam ilmu hisab dibandingkan dengan kalangan
pesantren atau golongan tradisionalis. Pemikiran beliau tentang hisab diapresiasi
secara baik oleh kalangan modernis dan akademisi, hal ini dikarenakan sistem
segitiga bola (spherical triginometri) dianggap sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan sains modern. Keberhasilan beliau ditandai dengan
dijadikannya teori yang beliau kenalkan menjadi silabus ilmu falak di Fakultas
Syariah IAIN dan PTAIS yang memiliki Fakultas Syariah di seluruh Indonesia
menggunakan sistem ini. (Azhari, 2002:51). Karena sebab ini pulalah beliau dijuluki
sebagai mujaddid al-Hisab (pembaharu pemikiran hisab) di Indonesia.
Walaupun sebenarnya penggunaan teori segitiga bola sudah lebih dahulu dipakai
oleh para ahli falak yang lain, seperti KH. Zubair Umar Jailani dengan kitab al-Khulasoh
al-Wafiyyah, KH. Ma’shum bin Ali dengan kitab Badi’ah al-Mitsal, Syaikh
Hasan Asy’ari dengan kitab Nataaij Muntaha al-Aqwal, dan lain-lain.
Aktivitas beliau selain sebagai
ahli falak beliau juga pernah menduduki berbagai posisi penting, baik di
kalangan pemerintah maupun non pemerintah. Diantaranya beliau pernah dipercaya
sebagai staf ahli P & K, kemudian beliau juga pernah menjabat sebagai ketua
Badan hisab dan Rukyat pada tahun 1972. Di lingkungan Muhammadiyah beliau
pernah mendapat kepercayaan sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah majelis
Pendidikan dan Pengajaran di Jakarta masa jabatan 1969-1973. Selain itu beliau pernah mengadakan kunjungan
ke luar negeri, diantaranya ke Thailand, Swedia, Belgia, Inggris, Amerika
Serikat, menghadiri Mathematical Education di India (1958), mengikuti First
World Conference on Moeslim Eucation di Mekah (1977). Beliau wafat pada
tanggal 22 Nopember 1977 di Jakarta, makamnya berdekatan dengan makam Prof. Dr.
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. (Azhari, 2002:53).
2.
Karya- Karya
Ilmiah
Saadoedin Djambek atau Datuk
Sampono Radjo merupakan ahli falak yang terhitung produktif menghasilkan karya
tulis. (Khazin, 2008:114). Walaupun beliau memulai kegiatan menulisnya pada
usia 40 tahun yang terbilang “telat” atau usia yang sudah tidak muda lagi untuk
ukuran penulis pada umumnya. (Azhari, 2002:55). Muhyiddin Khazin (2008:34)
mencatat bahwa ada sekitar tujuh buah karya beliau yang telah diterbitkan dalam
bidang ilmu falak antara lain: Waktu dan Jidwal yang diterbitkan oleh
Tintamas, 1952, Almanak Jamiliyah yang diterbitkan oleh Tintamas, 1953, Arah
Kiblat yang diterbitkan oleh Tintamas, 1956, Perbandingan Tarich yang
diterbitkan oleh Tintamas, 1968, Pedoman Waktu Shalat Sepanjang Masa yang
diterbitkan oleh Bulan Bintang, 1974, Shalat dan Puasa di daerah Kutub yang
diterbitkan oleh Bulan Bintang, 1974, dan Hisab Awal Bulan Qamariah yang
diterbitkan oleh Tintamas, 1976.
Semua karya beliau terlihat lebih
fokus terhadap pemikiran hisab, yang tentunya dengan teori Spherical
Trigonometri. Terlebih karya beliau yang terakhir, yaitu Hisab Awal Bulan Qamariah
merupakan bukti eksistensi dan identitas pemikirannya dalam ilmu hisab. (Ditjen Bimas Islam dan Penyelengaraan Haji,
2004: 43).
C.
Pemikiran
Saadoedin Djambek tentang Hisab
Pemikiran
Saadoeddin dalam ilmu hisab sampai saat ini masih dipergunakan oleh BHR Kemenag
RI. Ada beberapa hal yang menjadikan teori yang dikembangkan Saadoeddin masih
bertahan sampai sekarang. Ada beberapa kelebihan dalam pemikiran Saadoeddin,
dan walaupun ada juga sedikit kelemahannya. Seperti di sebutkan oleh Susiknan
Azhari (Ditjen Bimas Islam dan Penyelengaraan Haji, 2004: 43) bahwasanya :
Kelebihan
pertama, dalam menampilkan data lintang di bujur Kabah sangat akurat. Hal ini
telah di uji sahih dengan alat kontemporer (global positioning sistem) hasilnya
sama. Kelebihan kedua, pemikiran Saadoedin dalam ilmu hisab telah menggabungkan
ilmu astronomi dan hisab seperti rumus-rumus trigonometri dan segitiga bola
menjadikan metode ini paling akurat dan pada saat itu dijadikan pegangan oleh
Badan Hisab dan Rukyat. Karena langkah sintesa inilah Saadoedin dianggap
sebagai Mujaddid al-Hisab (pembaharu pemikirab hisab) di Indonesia. Kelebihan
ketiga, adanya kesadaran historis. Hal ini tercermin pada buku Arah Kiblat.
Dalam uraiannya Saadoedin menyatakan: “dimasa lampau orang sudah merasa puas
dengan penetapan yang agak kasar. Dengan meningkatnya kecerdasan umat islam di
lapangan ilmu pengetahuan umum timbul pula dengan sendirinya keinginan
menentukan arah kiblat dengnan cara-cara yang menjamin tercapainya hasil yang
lebih teliti.
Kelemahan
dari teori hisab Saadoedin ini diantaranya adalah: pertama, kesulitan penentuan
tanggal baru ketika dalam perhitungan hilal sudah berada di atas ufuk, namun
tidak dapat di rukyat karena ketinggian hilal sangat rendah. Kedua, dalam teori
hisab awal bulan, Saadoedin tidak menentukan irtifa’ hilal sehingga menyulitkan
untuk menjadikan teori tersebut sebagai acuan bagi pemerintah dalam Imkanur
Rukyat dan penyusunan Kalender Hijriah nasional. (Ditjen Bimas Islam dan
Penyelengaraan Haji, 2004: 45).
Namun
seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan sains, banyak berkembang
teori-teori baru dalam ilmu hisab, terutama dalam masalah penentuan arah kiblat
sekarang muncul teori-teori baru yang di anggap lebih akurat. Diantaranya
adalah teori geodesi dan teori navigasi. Kedua teori ini menawarkan tingkat
akurasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan teori segitiga bola. Walaupun
pada dasarnya dalam perhitungan antara teori geodesi dan segitiga bola memiliki
prinsip yang sama, yaitu mengacu kepada lingkaran besar (great circle)
yang menghasilkan sudut arah yang tidak tetap atau konstan. Hanya saja
perbedaannya terletaak pada anggapan terhadap bentuk bola bumi. Dalam teori
segitiga bola bentuk bumi di asumsikan berbentuk bola, namun dalam teori
geodesi bentuk bumi di asumsikan berbentuk elips atau ellipsoid (elips
putar)[4]
atau bentuk bumi sebenarnya yang gepeng di kutub-kutubnya. Teori navigasi
berbeda dari kedua teori yang tadi, yang membedakan adalah bahwa teori ini
memakai acuan rute perjalanan Pesawat Terbang dan Kapal Laut yang lebih
menekankan kepada garis azimuth yang tetap sepanjang garis tersebut yang
mengakibatkan jarak garis tersebut lebih panjang apabila di bandingkan dengan
garis geodetic atau garis di great circle. (Izzuddin, 2012:10).
Hasil
dari perhitungan menunjukaan bahwa antara teori segitiga bola dengan teori
geodesi dapat di pastikan bahwa teori geodesi lebih akurat dibandingka dengan
teori segitiga bola. Untuk di Indonesia, selisih antara keduanya menghasilkan
perbedaan sekitar 8 menit busur. Perbedaan sudut sebesar itu akan mengakibatkan
arah kiblat bergeser tidak hanya dari bangunan Kabah bahkan sudah keluar dari
daerah Mekah.
Namun
bukan itu yang akan menjadi pokok pembahasan dalam pemikiran hisab Saadoedin
Djambek, hal diatas disajikan sebagai bukti fleksibilitas ilmu falak terhadap
perkembangan sains. Pemikiran khas Saadoedin Djambek dapat kita rasakan dalam
karya-karya beliau, terutama dalam buku yang berjudul Awal Bulan Kamariah.
Hal lain yang mengindikasikan keahlian beliau dalam ilmu hisab adalah perhitungan
beliau terkait dengan koordinat Kabah yang hasilnya sama dengan alat
kontemporer yaitu GPS (global positioning sistem).
a.
Awal Waktu Salat
Penentuan
waktu salat berkaitan dengan posisi matahari. Hal ini bisa diketahui dari
ketentuan yang terdapat dalam Alquran dan Hadis. Ayat-ayat yang terkait dengan
waktu-waktu salat di antaranya adalah sebagai berikut:
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ
طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ
ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ
“Dan
dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada
bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik
itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi
orang-orang yang ingat”. (QS.
Hud : 114 ).
ÉOÏ%r& no4qn=¢Á9$# Ï8qä9à$Î! ħôJ¤±9$# 4n<Î) È,|¡xî È@ø©9$# tb#uäöè%ur Ìôfxÿø9$# ( ¨bÎ) tb#uäöè% Ìôfxÿø9$# c%x. #Yqåkô¶tB
“Dirikanlah shalat dari sesudah
matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh.
Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)." (Al-Isra 78)
Ada
beberapa riwayat hadits yang berkaitan dengan pengimaman jibril yang menunjukan
waktu-waktu shalat. Salah satunya adalah melalui riwayat Jabir bin Abdillah.
Hadits dari riwayat Jabir bin Abdillah yang berbunyi :
انَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم -
جَاءَهُ جِبْرِيلُ فَقَالَ ُ قُمْ فَصَلِّهْ. فَصَلَّى الظُّهْرَ حِينَ زَالَتِ
الشَّمْسُ ثُمَّ جَاءَهُ الْعَصْرَ فَقَالَ قُمْ فَصَلِّهْ. فَصَلَّى الْعَصْرَ
حِينَ صَارَ ظِلُّ كُلِّ شَىْءٍ مِثْلَهُ - أَوْ قَالَ صَارَ ظِلُّهُ مِثْلَهُ -
ثُمَّ جَاءَهُ الْمَغْرِبَ فَقَالَ قُمْ فَصَلِّهْ . فَصَلَّى حِينَ وَجَبَتِ
الشَّمْسُ ثُمَّ جَاءَهُ الْعِشَاءَ فَقَالَ قُمْ فَصَلِّهْ. فَصَلَّى حِينَ غَابَ
الشَّفَقُ ثُمَّ جَاءَهُ الْفَجْرَ فَقَالَ قُمْ فَصَلِّهْ. فَصَلَّى حِينَ بَرَقَ
الْفَجْرُ - أَوْ قَالَ حِينَ سَطَعَ الْفَجْرُ - ثُمَّ جَاءَهُ مِنَ الْغَدِ
لِلظُّهْرِ فَقَالَ قُمْ فَصَلِّهْ. فَصَلَّى الظُّهْرَ حِينَ صَارَ ظِلُّ كُلِّ
شَىْءٍ مِثْلَهُ ثُمَّ جَاءَهُ لِلْعَصْرِ فَقَالَ ُقُمْ فَصَلِّهْ. فَصَلَّى
الْعَصْرَ حِينَ صَارَ ظِلُّ كُلِّ شَىْءٍ مِثْلَيْهِ ثُمَّ جَاءَهُ لِلْمَغْرِبِ
الْمَغْرِبَ وَقْتاً وَاحِداً لَمْ يَزُلْ عَنْهُ ثُمَّ جَاءَهُ لِلْعِشَاءِ حِينَ
ذَهَبَ نِصْفُ اللَّيْلِ أَوْ قَالَ ثُلُثُ اللَّيْلِ فَصَلَّى الْعِشَاءَ ثُمَّ
جَاءَهُ لِلْفَجْرِ حِينَ أَسْفَرَ جِدًّا فَقَالَ قُمْ فَصَلِّهْ. فَصَلَّى
الْفَجْرَ ثُمَّ قَالَ ما بَيْنْ هَذَيْنِ وَقْت
Artinya : Bahwasanya
malaikat Jibril datang kepada Nabi Muhammad SAW. Lalu berkata kepadanya :
bangun dan bershalatlah, maka Nabi pun bershalat dhuhur di ketika tergelincir
matahari, kemudian datang pula Jibril pada waktu ashar, lalu berkata bangun dan
bershalatlah, maka Nabi bershalat ashar di ketika bayangan segala sesuatu itu
menjadi panjang seperti dirinya, kemudian datang pula Jibril pada waktu magrib
lalu berkata : bangun dan bershalatlah, maka Nabi beshalat magrib ketika di
waktu telah tebenam matahari, kemudian jibril datang pada waktu isya’ serta
berkata : bangun dan bershalatlah, maka Nabi bershalat isya’ di waktu telah
hilang mega-mega merah, kemudian datang pula Jibril pada waktu subuh, lalu
berkata bangun dan shalatlah, maka Nabi bershalat subuh ketika telah cemerlang
fajar. Pada hari berikutnya Jibril datang lagi untuk shalat dluhur, kemudian
berkata berkata bangun dan shalatlah, maka Nabi bershalat dluhur di ketika
bayangan segala sesuatu itu menjadi panjang seperti dirinya, kemudian datang
pula Jibril pada waktu ashar lalu berkata bangun dan bershalatlah, maka Nabi
bershalat ashar di ketika bayangan segala sesuatu dua kali sepanjang dirinya,
kemudian datang lagi Jibril pada waktu magrib sebagaimana waktu magrib
sebelumnya, kemudian datang lagi Jibril pada waktu isya’ ketika telah berlalu
separuh malam atau sepertiga malam, maka Nabi bershalat isya’, kemudian datang
lagi Jibril pada waktu telah bersinar benar, lalu berkata : bangun dan
bershalatlah, maka Nabi pun bangun dan bershalat subuh, sesudah itu malaikat
Jibril berkata : waktu-waktu di antara kedua waktu ini, itulah waktu shalat.( Muslim
no. Hadis 1403 , Abu Dawud no. Hadis 2051, At-Tirmizi no. Hadis 1158, An-Nasai
dalam sunan Al-kubro no. Hadis 9121, Ibn Hiban no. Hadis 5572 (di ambil dari
maktabah syamilah )
Dari hukum yang terdapat dalam Alquran
dan Hadis di atas para ahli falak telah menentukan bahwa posisi matahari
menjadi penentu awal masuknya waktu salat. Dalam kaidah falak diketahui bahwa
waktu salat berdasarkan pada waktu istiwak dengan penambahan atau pengurangan
terhadap nilai sudut jam matahari pada waktu salat yang bersangkutan. (Zainal,
2004:121). Saadoedin merupakan tokoh falak yang berusaha untuk memadukan
teori-teori astronomi dengan nash-nash Alquran dan Hadis dalam upaya menentukan
awal waktu salat. (Azhari, 2002:61). Teori-teori yang beliau dapatkan dari
perkuliahan beliau kembangkan dalam ilmu hisab dan tetap mengacu kepada Alquran
dan Hadis. Dalam buku Pedoman Shalat sepanjang Masa terdiri dari sebelas
bagian, yaitu: 1) susunan, 2) bagian pertama, 3) bagian kedua, 4) cara
penggunaan pedoman, 5) waktu daerah, 6) interpolasi, 7) ikhtiyati, 8)
keterangan hisab, 9) daerah pegunungan, 10) tempat-tempat yang tidak terdapat
dalam daftar, dan 11) contoh membuat jadwal wakktu salat. Intisari dari buku
ini terdapat pada pembahasan ke empat hingga akhir. Karena pada bagian 1 sampai
3 hanya berupa tutorial penggunaan pedoman waktu salat sepanjang masa. Dan pada
buku Shalat dan Puasa Di Daerah Kutub baru di sini terdapat definisi dan
ketentuan-ketentan waktu salat secara terperinci. Isi dari buku tersebut
terbagi kedalam delapan bagian, yaitu:1) persoalan seputar waktu salat, 2)
ketentuan-ketentuan waktu salat, 3) kedudukan langit, 4) Stockholm, 5) 1
januari di musim panas dan dingin, 6) persyaratannya, 7) ikhtisar, 8) contoh
soal dan cara penyelesaiannya.
1)
Waktu Subuh
Waktu subuh dimulai ketika munculnya fajar shidiq atau cahaya secara merata
di langit timur. Meskipun saat itu matahari masih belasan derajat di bawah
ufuk, namun akibat pembiasan atmosfer cahaya matahari dapat dibiaskan sehingga
langit tidak lagi gelap. Fajar Shiddiq ialah terlihatnya cahaya putih
yang melintang mengikut garis lintang ufuk di sebelah
Timur akibat pantulan cahaya matahari oleh atmosfer. Menjelang pagi hari,
fajar ditandai dengan adanya cahaya samar yang menjulang tinggi (vertikal) di
horizon Timur yang disebut Fajar Kidzib atau Fajar
Semu yang terjadi akibat pantulan cahaya matahari oleh debu partikel
antar planet yang terletak antara Bumi dan Matahari yang disebut dengan zodiacal
light (Muhyiddin, 2005:24). Secara astronomis Subuh dimulai saat kedudukan
matahari sebesar -18°/-20o di bawah horizon Timur atau
disebut dengan “astronomical twilight” sampai sebelum
piringan atas matahari menyentuh horizon yang terlihat (ufuk Hakiki /
visible horizon). (Muhyiddin,
2008:92).
Saadoeddin (1974:8) dalam bukunya menyatakan bahwa waktu subuh di
mulai ketika fajar tampak di ufuk timur dan berakhir ketika matahari terbit.
Terdapat banyak perbedaan terkait posisi matahari ketika waktu subuh, ada yang
menyatakan -18º, ada yang -19º, ada yang -20º, dan ada pula yang menyatakan -21º.
Namun Saadoedin mengambil pendapat dari
Syaikh M. Taher Jalaluddin dalam buku beliau yaitu Jadaawil Pati Kiraan
yang memakai -20º. Dan ketentuan waktu subuh yang beliau pakai
yaitu posisi ketinggian matahari sekitar 20º di bawah ufuk hingga sekarang
masih di jadikan sebagai pegangan bagi para ahli falak di Indonesia. (Azhari,
2002: 63).
2)
Waktu Zuhur
Waktu zuhur dimulai sesaat
matahari tergelincir atau terlepas dari titik kulminasi atas. (Muhyiddin,
2008:87). Dalam Hadis diatas di sebutkan bahwa Rasulullah melaksanakan salat zuhur
ketika matahari tergelincir atau zawal, namun disebutkan juga bahwa
beliau salat ketika panjang bayangan benda sama dengan panjang benda tersebut.
Hal ini tidak kontradiksi karena untuk daerah Saudi yang memiliki lintang
20º-30º utara panjang bayangan benda ketika zawal akan sama dengan
panjang bendanya bahkan lebih. Terutama ketika matahari ada di selatan yaitu
sekitar bulan Juni dan Desember. (Izzuddin, 2012:83).
Saadoedin merumuskan bahwa waktu Dzuhur adalah ketika tergelincirnya
matahari pada tengah hari tepat. Beliau mengambil dasar dari Alquran surat
al-Isra’(17) ayat 78, yaitu:
ÉOÏ%r& no4qn=¢Á9$# Ï8qä9à$Î! ħôJ¤±9$# 4n<Î) È,|¡xî È@ø©9$# tb#uäöè%ur Ìôfxÿø9$# ( ¨bÎ) tb#uäöè% Ìôfxÿø9$# c%x. #Yqåkô¶tB
“Dirikanlah shalat dari sesudah
matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh.
Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)." (Al-Isra 78)
Dengan bersandar kepada ayat di atas Saadoedin menyatakan bahwa waktu
dzuhur terjadi ketika matahari tergelincir, yaitu ketika matahari mencapai
titik kulminasi dalam peredaran hariannya. (Azhari,2002:65). Hal ini berbeda
dengan pendapat kebanyakan ahli falak yang menyatakan bahwa waktu dzuhur di
mulai ketika matahari tergelincir, yaitu sesaat setelah Matahari mencapai titik
kulminasi dalam peredaran harianya.
3)
Waktu
Asar
Landasan awal waktu asar yang di pakai oleh Saadoeddin adalah ayat
Alquran surat Qaf (50) ayat 39 (Saadoeddin, 1974:9), yaitu:
÷É9ô¹$$sù 4n?tã $tB cqä9qà)t ôxÎm7yur ÏôJpt¿2 y7În/u @ö6s% Æíqè=èÛ Ä§ôJ¤±9$# @ö6s%ur É>rãäóø9$#
“Maka Bersabarlah kamu terhadap apa
yang mereka katakan dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit
matahari dan sebelum terbenam (nya)”.(Qaf 39).
Sebagaimana
kita ketahui bahwa terdapat dua pendapat terkait awal waktu asar, yaitu Imam
Malik dan Syafi’i mengatakan bahwa waktu Asar adalah ketika panjang bayangan
benda sama dengan panjang benda sebenarnya, dan Imam Hanafi menyatakan bahwa
waktu Asar dimulai ketika panjang bayangan dua kali panjang bendanya. (Azhari,
2002:65). Dan dalam hal ini Saadoeddin lebih mengikuti pendapat yang kedua,
dengan alasan pertimbangan peninjauan daerah-daerah di kutub yang ketinggian
matahari ketika waktu Zuhur tidak begitu tinggi kedudukannya di langit. Di
daerah kutub panjang bayang-bayang matahari akan lebih cepat memanjang di
bandingkan di daerah khatulistiwa. Sehingga apabila menggunakan pendapat Imam
Maliki dan Syafi’i maka waktu Zuhur akan menjadi lebih pendek dan waktu asar
akan terasa terlalu panjang. (Saadoeddin, 1074:10).
4)
Waktu
Magrib
Saadoeddin berpegang terhadap pendapat mufassir yang
menyatakan bahwa maksud dari zulafam min al-lail adalah bagian permulaan
malam. Yang dalam sisi astronomi di ketahui ketika tepi piringan matahari
bagian atas terletak pada ufuk mar’i,
yang berarti titik pusat matahari
berkedudukan sebesar satu jari-jari piringan matahari di bawah garis ufuk mar’i. (Saadoeddin, 1074:10). Susiknan Azhari menyatakan bahwa hal inilah
yang menjadi ciri khas corak pemikiran awal bulan beliau. (Azhari, 2002:67).
5)
Waktu
Isya
Masuknya waktu isya di tandai dengan hilangnya syafaq merah di
bagian langit barat. Mengenai kapan waktu hilangnya syafaq merah, Saadoedin (1074:10) menyatakan bahwa:
Masuknya
waktu isya di tandai oleh hilangnya syafaq atau warna merah di awan di bagian
langit sebelah barat. Keadaan demikian terjadi bila titik pusat matahari
bekedudukan beberapa derajat di bawah ufuk. Serupa dengan timbulnya fajar,
jumlah ini ditetapkan 16º, ada yang 17º,
ada yang 18º, dalam urusan selanjutnya kita berpegang kepada jumlah 18º.
b. Arah
Kiblat
Teori Trigonometri Bola (spherical
trigonometri) yang menjadi ciri khas dari pemikiran Saadoeddin Djambek
merupakan teori yang sudah sangat tua. Berbicara sejarah trigonometri bola,
tidak akan terlepas dari peradaban Mesir Kuno, Babilonia, dan Lembah Sungai
Indus. Teori ini sudah di ketahui oleh mereka 3000 yang lalu.(Izzuddin, 2012:89).
Saadoeddin mendapatkan teori trigonometri bola ketika beliau kuliah di ITB
dibawah bimbingan Prof. Dr. J. Hins, Prof. Dr. The Pik Sin, dan Prof. Dr. G. B.
Val Albada ( Direktur Observatorium Boscha tahun 1949-1958). Kemudian teori
yang beliau dapatkan di tuangkan ke dalam ranah ilmu hisab, dalam hal ini
terkait mengenai pembahasan arah kiblat. Dapat dilihat bahwa rumus-rumus yang
beliau dapatkan dipengaruhi oleh Analogi Napier. (Azhari, 2002:59).
Hal yang menarik dari pemikiran
beliau adalah ketika beliau menasakh hasil perhitungan beliau terkait
lintang dan bujur Kabah. Pada awalnya beliau menetapkan bahwa lintang dan bujur
Kabah adalah 21º20º LU dan 40º41º BT, namun kemudian beliau menggantinya dengan
21º25º LU dan 39º50º BT. Hal ini beliau lakukan setelah beliau mengadakan
penelitian langsung di Tanah Suci Mekah ketika beliau menjabat sebagai ketua
Badan Hisab dan Rukyat. Dan sampai sekarang data tersebut masih dipergunakan
oleh Kemenag RI dalam perhitungan arah kiblat dan awal bulan kamariah. (Azhari,
2002:60).
c. Awal
Bulan Kamariah
Perhitungan
awal bulan kamariah dengan menggunakan teori yang di kembangkan oleh Saadoeddin
Djambek terhitung lebih akurat di bandingkan dengan menggunakan teori
konvensional. Hal ini dapat kita pahami dengan data yang di pergunakan oleh
beliau, yaitu data-data dari Almanak Nautika dan Ephemeris yang terbilang baru
dan selalu di up date di setiap tahunnya. Berbeda dengan kitab-kitab
seperti Sulamun Nayyirain fi ma’rifati ijtima’i wal kusufain, dan kitab Tadzkiratul
ikhwan fi ba’dli tawarikhi wal ‘amalil falakiyati bi semarang yang masih menggunakan data Zaij (table
astronomi) milik Ulugh Beik. (Muhyiddin, 2008: 29).
Pemikiran
beliau mengilhami aliran hisab Muhammadiyah dengan wujudul hilal nya. Sebagaimana diketahui bahwa aliran hisab
Muhammadiyah mengalami tiga kali perubahan. Menurut teori yang di kembangakan
oleh Saadoeddin, awal bulan kamariah di mulai ketika matahari terbenam dan
setelah terjadi ijtimak dan ketika itu pinggir dari piringan atas bulan sudah
berada di atas ufuk mar’i atau kaki langit (visible
horizon). (Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, 2009:78).
Bagi
Saadoeddin Djambek new moon ketika
terjadi ijtimak tidak lantas menjadikan hal tersebut sebagai bulan baru
kamariah. Alasannya adalah tergantung dari besar piringan bulan dan matahari
yang tidak tetap saat terjadi ijtimak. Kadangkala piringan bulan terlihat lebih
besar dari piringan Matahari ketika ijtimak, dan dalam keadaan seperti ini tepi
piringan bulan sebelah barat belum berimpit dengan tepi piringan Matahari. Yang
mengakibatkan diperlukannya beberapa waktu lagi bagi bulan untuk bergeser ke
arah timur, supaya tercapai keadaan tepi piringan Bulan bagian barat berimpit
dengan tepi piringan matahari. Namun ketika piringan bulan lebih kecil dari
piringan Matahari, maka piringan barat bulan sudah berimpit dengan tepi
piringan Matahari. (Oman Fathurahman, 2004:102).
Dalam
perhitungan awal bulan Saadoeddin menyertakan koreksi parallaks, kerendahan
ufuk (dip), refraksi bulan, dan semi diameter bulan. Hasil perhitungan awal
posisi bulan di kurangi parallaks dan kerendahan ufuk (dip), refraksi, dan semi
diameter ditambahkan kepada hasil perhitungan awal. (Azhari, 2002: 71).
DAFTAR PUSTAKA
Alquran Al-Karim dan Terjemahnya, Departemen Agama RI.
Azhari, Susiknan, 2002, Pembaharuan pemikiran Hisab di Indonesia;
Studi Atas Pemikiran Saadoeddin Djambek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
---------------------, 2004, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan
Sains Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Badan Litbang Agama dan Diklat
Keagamaan, 2004, Hisab Rukyat dan
Perbedaannya, Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan.
Djambek, Saadoeddin, 1957, Arah Kiblat dan Cara Penghitungannya dengan
Jalan Ilmu Ukur Segitiga Bola, Jakarta: Tinta Mas.
---------------------, 1974, Pedoman Waktu Shalat Sepanjang Masa,
Jakarta: Bulan Bintang.
--------------------, 1974, Shalat dan Puasa Di Daerah Kutub,
Jakarta: bulan bintang.
http://jayusmanfalak.blogspot.com/2010/06/sejarah-perkembangan-ilmu-falak
di.html
di akses pada tanggal 14 April 2014 jam 11:23
Izzuddin, Ahmad, 2012, Ilmu Falak Praktis, Semarang: Pustaka
Rizki Putra
--------------------- ,2012, Kajian Terhadap Metode-Metode Penentuan Arah
Kiblat dan Akurasinya,Jakarta: Dirjen Pendis direktorat Pendidikan Tinggi
Islam.
Khazin, Muhyiddin, 2008, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta:
Buana Putra.
---------------------, 2005, Kamus Ilmu Falak, Yogyakarta: Buana
Putra.
Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP
Muhammadiyah, 2009, Pedoman Hisab
Muhammadiyah, Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah
Tim Penyusun Buku Hisab Rukyat, 2004, Selayang Pandang Hisab Rukyat, Jakarta:
Ditjen Bimas Islam dan Penyelengaraan Haji.
Zainal, Baharuddin, 2002, Ilmu Falak, Dawama. Sdn. Bhd: Selangor.
[1]Seorang ulama yang lahir pada tahun 1286 H/ 1869 M di
daerah Ampek Angkek, Bukit Tinggi. Beliau merupakan alumni al- Azhar, Kairo.
Karyanya yang terkenal ialah buku Pati Kiraan pada Menentukan Waktu Jang Lima
(1938). Lihat dalam Majelis Tarjih dan
Tajdid PP Muhamadiyah. Pedoman Hisab Muhamadiyah, (Yogyakarta: 2009: 10)
[2]Merupakan salah seorang yang
pernah menduduki ketua pimpinam pusat Muhamadiyah periode 1962-1965 dan
1965-1968, serta pernah menjadi penasehat PP Muhamadiyah periode 1969-1971,
namun beliau wafat sebelum habis masa jabatannyapada tahun 1969. Dari tangan
beliau lahir beberapa karya, diantaranya Hisab Hakiki dan Gerhana Bulan. Lihat
dalam Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhamadiyah. Pedoman Hisab Muhamadiyah, (Yogyakarta:
2009: 11)
[3]Bisa di lihat di (http://bimasislam.depag.go.id) dan http://jayusmanfalak.blogspot.com/2010/06/sejarah-perkembangan-ilmu-falak-di.html di akses pada
tanggal 14 April 2014 jam 11:23
[4] Sumbu putarnya
adalah sumbu pendek bumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar