Senin, 02 Juni 2014

Pemikiran Hisab Saadoedin Djambek


Pemikiran Hisab Saadoedin Djambek
Oleh: Ahmad Mujadzad, S.Pd.I
NIM: 135212006


A.    Pendahuluan
Perkembangan sains di abad modern ini telah mewarnai berbagai ranah keilmuan, termasuk dalam hal ini ilmu syari’at Islam. Hal ini merupakan sebuah kebutuhan bagi ilmu syari’at Islam, karena syari’at Islam seyogyanya harus bisa mengakomodir dan mendampingi perkembangan sains. Antara keduanya terdapat hubungan ketergantungan satu sama lainnya, sains memerlukan ilmu syari’at Islam begitu pula sebaliknya ilmu syari’at Islam memerlukan sains. Sains sangat diperlukan dalam ranah keagamaan untuk memberikan pembenaran dan rasionalisasi ilmu keagamaan, walaupun tidak semua ilmu syari’at Islam bisa dirasionalisasikan. Ilmu syari’at yang bersumber dari Alquran dan Hadis diperlukan bagi sains sebagai filter dan tolak ukur keberlakuan sains tersebut. Apakah sains tersebut selaras dengan agama atau malah bertentangan.
Ilmu Falak sebagai ilmu yang oleh sebagian tokoh falak disebut dengan Ilmu Astronomi dan yang merupakan ilmu pengetahuan tertua di dunia merupakan ilmu yang tidak luput dari pengaruh perkembangan sains. Hal ini dapat di maklumi karena Ilmu Falak atau Astronomi data-data astronomis akan berubah sesuai perubahan alam semesta atau komos. Selain itu di alam semesta sampai sekarang masih banyak teka-teki yang belum terpecahkan dan hal ini sangat menarik bagi para ilmuan. Bahkan apabila kita melihat sejarah peradaban Islam tercatat bahwa Ilmu Falak atau Astronomi sempat mencapai masa keemasan seiring dengan masa keemasan peradaban Islam.
1
Di Indonesia Ilmu Falak sudah berkembang dengan baik, dan hal ini tidak lepas dari usaha para ulama dan ilmuwan yang berkecimpung dalam ilmu ini. Para ulama khususnya, sudah membuka diri untuk menerima metode-metode modern, seperti penggunaan data dari New Comb, Jean Meeus, Ephemeris, dan Almanac Nautica. Salah satu tokoh yang berjasa dalam perkembangan Ilmu Falak di Indonesia adalah Saadoedin Djambek. Salah satu gebrakannya dalam dunia falak adalah dengan mengembangkan perhitungan hisab dengan menggunakan teori Segitiga Bola (Spherical Trigonometri). Buku-buku ilmu falak yang banyak beredar sekarang kebanyakan mengikutu teori yang beliau kembangkan. Pemikiran beliau kadang berbeda dengan ahli falak yang lainnya ketika itu, terutama dalam hal perhitungan arah kiblat dan waktu salat. Dan sekarang pun mulai muncul teori-teori baru dalam perhitungan ilmu hisab. Dalam makalah ini akan di paparkan ragam pemikiran Saadoeddin Djambek dalam disiplin Ilmu Falak, khususnya pemikiran beliau dalam ilmu hisab.

B.     Sekilas Tentang Saadoedin Djambek
1.        Biografi dan Genealogi Keilmuan Saadoedin Djambek
Perkembangan Ilmu Falak modern Indonesia tak lepas dari peran Saadoeddin Djambek. Seorang ulama yang lahir di Bukittinggi pada tanggal 24 Maret 1911 M/ 1330 H yang bertepatan dengan peristiwa pergolakan kebangkitan yang dipelopori oleh Kaum Muda. Beliau wafat di Jakarta pada tanggal 22 November 1977 M/11 Zulhijjah 1397 H. Beliau merupakan seorang guru serta ahli hisab dan rukyat, putra ulama besar Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860-1947 M/1277-1367 H) dari Minangkabau. (Dirjen Bimas Islam , 2004: 40). Djambek adalah nama sebuah keluarga terpandang yang sangat dihormati dan disegani. Keluarga Djambek merupakan keluarga yang terpelajar dan islami (Azhari, 2002: 48).
Pendidikan formal pertama beliau dapatkan di HIS (Holland Inlandsche School) sampai lulus pada tahun 1924. Kemudian beliau meneruskan jenjang pendidikannya di Sekolah Pendidikan Guru, HIK  (Holland Inlandsche Kweekschool) di Bukittinggi. Kemudian beliau melanjutkan kembali di sekolah pendidikan guru atas atau HKS (Hogere Kweekschool) di Bandung, dan lulus pada tahun 1930. (Azhari, 2002: 48). Ia mulai tertarik mempelajari ilmu hisab pada tahun 1929 M/1348 H. Ia belajar ilmu hisab dari Syekh Taher Jalaluddin[1], yang mengajar di Al-Jami'ah Islamiah Padang tahun 1939 M/1358 H dengan memakai buku Pati Kiraan yang merupakan karangan Syaikh Taher Jalaluddin. Dari beliaulah Saadoedin mendapat pengetahuan dasar yang memadai dalam bidang hisab.Ketertarikan beliau terhadap ilmu falak mendorong beliau untuk mempelajari buku-buku falak, seperti Almanak Jamiliah karya Syaikh Djambek, Hisab Hakiki karya K.H. Ahmad Badawi[2]dan lainnya. Dalam rangka memperdalam pengetahuannya,kemudian beliau mengikuti kursus Legere Akte Ilmu Pasti di Yogyakarta pada tahun 1941-1942 M/1360-1361 H serta mengikuti kuliah Ilmu Pasti Alam dan Astronomi pada FIPIA (Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam) di Bandung pada tahun 1954-1955 M/1374-1375 H.[3]
Mustajid (1998), sebagaimana dikutip oleh Susiknan Azhari (2004: 40) menyatakan bahwa beliau dikenal dengan sebutan Mujaddid al-Hisab (pembaharu pemikiran hisab) di Indonesia. Hal ini dikarenakan berkat keseriusan beliau dalam mempelajari Ilmu Falak dan usaha beliau dalam mengembangkan sistem baru perhitungan hisab dengan menggunakan teori Segitiga Bola (Spherical Trigonometri). Penggunaan teori ini dapat menimbulkan perbedaan dalam perhitungna hisab, waktu salat, seperti arah kiblat, dan awal bulan kamariah apabila dibandingkan dengan menggunakan sistem-sistem perhitungan kitab-kitab klasik, seperti Sullamun Nayyirain dan Fathur Roufil Manan ataupun kitab klasik lainnya.( Ditjen Bimas Islam dan Penyelengaraan Haji, 2004: 8). Banyak murid- murid beliau yang dikemudian hari menjadi tokoh-tokoh hisab di kalangan Muhamadiyah, seperti H. Abdur Rachim (1935-2004), dan H. Wahyu Widiana. Sesudahnya kemudian lahir ahli hisab Muhammadiyah lainnya, seperti Drs. Oman Fathurrahman, SW, M.Ag (lahir 1957), Prof. Dr. H. Susiknan Azhari (lahir 1968), yang keduanya aktif di Majelis Tarjih Muhammadiyah. (Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, 2009:12).
Teori segitiga bola (spherical trigonometri) yang dikembangkan Saadoedin Djambek ini terhitung lebih mudah dan modern. Teori ini beliau dapatkan ketika beliau kuliah di fakultas Ilmu Pasti Alam dan Astronomi ITB pada tahun 1954-1955. ( Ditjen Bimas Islam dan Penyelengaraan Haji, 2004: 41). Prof. Dr. G.B. Van Albada yang merupakan Direktur Observatorium Boscha ketika itu, merupakan tokoh yang banyak mempengaruhi pola pikirnya, disamping dosen-dosennya yang lain. Prof. Dr. G.B. Van Albada merupakan seorang astronom di Observatorium Boscha yang banyak mengajarkan teori-teori baru terkait ilmu astronomi. Sebagaimana kita ketahui Observatorium Boscha saat ini pun masih terhitung sebagai Observatorium yang canggih yang banyak menghasilkan penemuan di bidang astronomi, apalagi dahulu ketika ilmu pengetahuan di Indonesia belum berkembang seperti sekarang. Majelis Tarjih Muhammadiyah pada Muktamar Tarjih th.1972/1392 H di Pencongan, Wiradesa, Pekalongan memberikan putusan terkait metode hisab yang memenuhi persyaratan, yaitu hisab hilal yang berdasarkan pada analisis Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-mannar. (Izzudin, 2007:148). Metode hisab yang dipakai oleh Muhammadiyah adalah metode yang dikembangkan oleh Saadoedin Djambek yang pengambilan datanya dari Almanak Nautika terbitan TNI Angkatan Laut Dinas Oceanografi yang diterbitkan setiap tahun. (Izzuddin, 2007:124).
Sebagaimana disebutkan oleh Susiknan Azhari (2002:50) bahwa dalam upaya membumikan teori-teorinya itu, beliau mencoba mengenalkannya di Perguruan-perguruan Islam, terutama di IAIN (saat itu belum menjadi UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pemilihan tempat sosialisasi di perguruan tinggi sebagai tempat pengembangan teori–teorinya itu merupakan jalan yang tepat, karena kalangan akademisi lebih terbuka terhadap pembaharuan pemikiran dalam ilmu hisab dibandingkan dengan kalangan pesantren atau golongan tradisionalis. Pemikiran beliau tentang hisab diapresiasi secara baik oleh kalangan modernis dan akademisi, hal ini dikarenakan sistem segitiga bola (spherical triginometri) dianggap sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan sains modern. Keberhasilan beliau ditandai dengan dijadikannya teori yang beliau kenalkan menjadi silabus ilmu falak di Fakultas Syariah IAIN dan PTAIS yang memiliki Fakultas Syariah di seluruh Indonesia menggunakan sistem ini. (Azhari, 2002:51). Karena sebab ini pulalah beliau dijuluki sebagai mujaddid al-Hisab (pembaharu pemikiran hisab) di Indonesia. Walaupun sebenarnya penggunaan teori segitiga bola sudah lebih dahulu dipakai oleh para ahli falak yang lain, seperti KH. Zubair Umar Jailani dengan kitab al-Khulasoh al-Wafiyyah, KH. Ma’shum bin Ali dengan kitab Badi’ah al-Mitsal, Syaikh Hasan Asy’ari dengan kitab Nataaij Muntaha al-Aqwal, dan lain-lain.
Aktivitas beliau selain sebagai ahli falak beliau juga pernah menduduki berbagai posisi penting, baik di kalangan pemerintah maupun non pemerintah. Diantaranya beliau pernah dipercaya sebagai staf ahli P & K, kemudian beliau juga pernah menjabat sebagai ketua Badan hisab dan Rukyat pada tahun 1972. Di lingkungan Muhammadiyah beliau pernah mendapat kepercayaan sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah majelis Pendidikan dan Pengajaran di Jakarta masa jabatan 1969-1973.  Selain itu beliau pernah mengadakan kunjungan ke luar negeri, diantaranya ke Thailand, Swedia, Belgia, Inggris, Amerika Serikat, menghadiri Mathematical Education di India (1958), mengikuti First World Conference on Moeslim Eucation di Mekah (1977). Beliau wafat pada tanggal 22 Nopember 1977 di Jakarta, makamnya berdekatan dengan makam Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. (Azhari, 2002:53).

2.        Karya- Karya Ilmiah
Saadoedin Djambek atau Datuk Sampono Radjo merupakan ahli falak yang terhitung produktif menghasilkan karya tulis. (Khazin, 2008:114). Walaupun beliau memulai kegiatan menulisnya pada usia 40 tahun yang terbilang “telat” atau usia yang sudah tidak muda lagi untuk ukuran penulis pada umumnya. (Azhari, 2002:55). Muhyiddin Khazin (2008:34) mencatat bahwa ada sekitar tujuh buah karya beliau yang telah diterbitkan dalam bidang ilmu falak antara lain: Waktu dan Jidwal yang diterbitkan oleh Tintamas, 1952, Almanak Jamiliyah yang diterbitkan oleh Tintamas, 1953, Arah Kiblat yang diterbitkan oleh Tintamas, 1956, Perbandingan Tarich yang diterbitkan oleh Tintamas, 1968, Pedoman Waktu Shalat Sepanjang Masa yang diterbitkan oleh Bulan Bintang, 1974, Shalat dan Puasa di daerah Kutub yang diterbitkan oleh Bulan Bintang, 1974, dan Hisab Awal Bulan Qamariah yang diterbitkan oleh Tintamas, 1976.
Semua karya beliau terlihat lebih fokus terhadap pemikiran hisab, yang tentunya dengan teori Spherical Trigonometri. Terlebih karya beliau yang terakhir, yaitu Hisab Awal Bulan Qamariah merupakan bukti eksistensi dan identitas pemikirannya dalam ilmu hisab. (Ditjen Bimas Islam dan Penyelengaraan Haji, 2004: 43).

C.    Pemikiran Saadoedin Djambek tentang Hisab
Pemikiran Saadoeddin dalam ilmu hisab sampai saat ini masih dipergunakan oleh BHR Kemenag RI. Ada beberapa hal yang menjadikan teori yang dikembangkan Saadoeddin masih bertahan sampai sekarang. Ada beberapa kelebihan dalam pemikiran Saadoeddin, dan walaupun ada juga sedikit kelemahannya. Seperti di sebutkan oleh Susiknan Azhari (Ditjen Bimas Islam dan Penyelengaraan Haji, 2004: 43) bahwasanya :
Kelebihan pertama, dalam menampilkan data lintang di bujur Kabah sangat akurat. Hal ini telah di uji sahih dengan alat kontemporer (global positioning sistem) hasilnya sama. Kelebihan kedua, pemikiran Saadoedin dalam ilmu hisab telah menggabungkan ilmu astronomi dan hisab seperti rumus-rumus trigonometri dan segitiga bola menjadikan metode ini paling akurat dan pada saat itu dijadikan pegangan oleh Badan Hisab dan Rukyat. Karena langkah sintesa inilah Saadoedin dianggap sebagai Mujaddid al-Hisab (pembaharu pemikirab hisab) di Indonesia. Kelebihan ketiga, adanya kesadaran historis. Hal ini tercermin pada buku Arah Kiblat. Dalam uraiannya Saadoedin menyatakan: “dimasa lampau orang sudah merasa puas dengan penetapan yang agak kasar. Dengan meningkatnya kecerdasan umat islam di lapangan ilmu pengetahuan umum timbul pula dengan sendirinya keinginan menentukan arah kiblat dengnan cara-cara yang menjamin tercapainya hasil yang lebih teliti.
Kelemahan dari teori hisab Saadoedin ini diantaranya adalah: pertama, kesulitan penentuan tanggal baru ketika dalam perhitungan hilal sudah berada di atas ufuk, namun tidak dapat di rukyat karena ketinggian hilal sangat rendah. Kedua, dalam teori hisab awal bulan, Saadoedin tidak menentukan irtifa’ hilal sehingga menyulitkan untuk menjadikan teori tersebut sebagai acuan bagi pemerintah dalam Imkanur Rukyat dan penyusunan Kalender Hijriah nasional. (Ditjen Bimas Islam dan Penyelengaraan Haji, 2004: 45).
Namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan sains, banyak berkembang teori-teori baru dalam ilmu hisab, terutama dalam masalah penentuan arah kiblat sekarang muncul teori-teori baru yang di anggap lebih akurat. Diantaranya adalah teori geodesi dan teori navigasi. Kedua teori ini menawarkan tingkat akurasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan teori segitiga bola. Walaupun pada dasarnya dalam perhitungan antara teori geodesi dan segitiga bola memiliki prinsip yang sama, yaitu mengacu kepada lingkaran besar (great circle) yang menghasilkan sudut arah yang tidak tetap atau konstan. Hanya saja perbedaannya terletaak pada anggapan terhadap bentuk bola bumi. Dalam teori segitiga bola bentuk bumi di asumsikan berbentuk bola, namun dalam teori geodesi bentuk bumi di asumsikan berbentuk elips atau ellipsoid (elips putar)[4] atau bentuk bumi sebenarnya yang gepeng di kutub-kutubnya. Teori navigasi berbeda dari kedua teori yang tadi, yang membedakan adalah bahwa teori ini memakai acuan rute perjalanan Pesawat Terbang dan Kapal Laut yang lebih menekankan kepada garis azimuth yang tetap sepanjang garis tersebut yang mengakibatkan jarak garis tersebut lebih panjang apabila di bandingkan dengan garis geodetic atau garis di great circle. (Izzuddin, 2012:10).
Hasil dari perhitungan menunjukaan bahwa antara teori segitiga bola dengan teori geodesi dapat di pastikan bahwa teori geodesi lebih akurat dibandingka dengan teori segitiga bola. Untuk di Indonesia, selisih antara keduanya menghasilkan perbedaan sekitar 8 menit busur. Perbedaan sudut sebesar itu akan mengakibatkan arah kiblat bergeser tidak hanya dari bangunan Kabah bahkan sudah keluar dari daerah Mekah.
Namun bukan itu yang akan menjadi pokok pembahasan dalam pemikiran hisab Saadoedin Djambek, hal diatas disajikan sebagai bukti fleksibilitas ilmu falak terhadap perkembangan sains. Pemikiran khas Saadoedin Djambek dapat kita rasakan dalam karya-karya beliau, terutama dalam buku yang berjudul Awal Bulan Kamariah. Hal lain yang mengindikasikan keahlian beliau dalam ilmu hisab adalah perhitungan beliau terkait dengan koordinat Kabah yang hasilnya sama dengan alat kontemporer yaitu GPS (global positioning sistem).
a.       Awal Waktu Salat
Penentuan waktu salat berkaitan dengan posisi matahari. Hal ini bisa diketahui dari ketentuan yang terdapat dalam Alquran dan Hadis. Ayat-ayat yang terkait dengan waktu-waktu salat di antaranya adalah sebagai berikut:
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ
“Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat”. (QS. Hud : 114 ).
ÉOÏ%r& no4qn=¢Á9$# Ï8qä9à$Î! ħôJ¤±9$# 4n<Î) È,|¡xî È@ø©9$# tb#uäöè%ur ̍ôfxÿø9$# ( ¨bÎ) tb#uäöè% ̍ôfxÿø9$# šc%x. #YŠqåkôtB
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)." (Al-Isra 78)
Ada beberapa riwayat hadits yang berkaitan dengan pengimaman jibril yang menunjukan waktu-waktu shalat. Salah satunya adalah melalui riwayat Jabir bin Abdillah. Hadits dari riwayat Jabir bin Abdillah yang berbunyi :
 انَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - جَاءَهُ جِبْرِيلُ فَقَالَ ُ قُمْ فَصَلِّهْ. فَصَلَّى الظُّهْرَ حِينَ زَالَتِ الشَّمْسُ ثُمَّ جَاءَهُ الْعَصْرَ فَقَالَ قُمْ فَصَلِّهْ. فَصَلَّى الْعَصْرَ حِينَ صَارَ ظِلُّ كُلِّ شَىْءٍ مِثْلَهُ - أَوْ قَالَ صَارَ ظِلُّهُ مِثْلَهُ - ثُمَّ جَاءَهُ الْمَغْرِبَ فَقَالَ قُمْ فَصَلِّهْ . فَصَلَّى حِينَ وَجَبَتِ الشَّمْسُ ثُمَّ جَاءَهُ الْعِشَاءَ فَقَالَ قُمْ فَصَلِّهْ. فَصَلَّى حِينَ غَابَ الشَّفَقُ ثُمَّ جَاءَهُ الْفَجْرَ فَقَالَ قُمْ فَصَلِّهْ. فَصَلَّى حِينَ بَرَقَ الْفَجْرُ - أَوْ قَالَ حِينَ سَطَعَ الْفَجْرُ - ثُمَّ جَاءَهُ مِنَ الْغَدِ لِلظُّهْرِ فَقَالَ قُمْ فَصَلِّهْ. فَصَلَّى الظُّهْرَ حِينَ صَارَ ظِلُّ كُلِّ شَىْءٍ مِثْلَهُ ثُمَّ جَاءَهُ لِلْعَصْرِ فَقَالَ ُقُمْ فَصَلِّهْ. فَصَلَّى الْعَصْرَ حِينَ صَارَ ظِلُّ كُلِّ شَىْءٍ مِثْلَيْهِ ثُمَّ جَاءَهُ لِلْمَغْرِبِ الْمَغْرِبَ وَقْتاً وَاحِداً لَمْ يَزُلْ عَنْهُ ثُمَّ جَاءَهُ لِلْعِشَاءِ حِينَ ذَهَبَ نِصْفُ اللَّيْلِ أَوْ قَالَ ثُلُثُ اللَّيْلِ فَصَلَّى الْعِشَاءَ ثُمَّ جَاءَهُ لِلْفَجْرِ حِينَ أَسْفَرَ جِدًّا فَقَالَ قُمْ فَصَلِّهْ. فَصَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ قَالَ ما بَيْنْ هَذَيْنِ وَقْت
Artinya : Bahwasanya malaikat Jibril datang kepada Nabi Muhammad SAW. Lalu berkata kepadanya : bangun dan bershalatlah, maka Nabi pun bershalat dhuhur di ketika tergelincir matahari, kemudian datang pula Jibril pada waktu ashar, lalu berkata bangun dan bershalatlah, maka Nabi bershalat ashar di ketika bayangan segala sesuatu itu menjadi panjang seperti dirinya, kemudian datang pula Jibril pada waktu magrib lalu berkata : bangun dan bershalatlah, maka Nabi beshalat magrib ketika di waktu telah tebenam matahari, kemudian jibril datang pada waktu isya’ serta berkata : bangun dan bershalatlah, maka Nabi bershalat isya’ di waktu telah hilang mega-mega merah, kemudian datang pula Jibril pada waktu subuh, lalu berkata bangun dan shalatlah, maka Nabi bershalat subuh ketika telah cemerlang fajar. Pada hari berikutnya Jibril datang lagi untuk shalat dluhur, kemudian berkata berkata bangun dan shalatlah, maka Nabi bershalat dluhur di ketika bayangan segala sesuatu itu menjadi panjang seperti dirinya, kemudian datang pula Jibril pada waktu ashar lalu berkata bangun dan bershalatlah, maka Nabi bershalat ashar di ketika bayangan segala sesuatu dua kali sepanjang dirinya, kemudian datang lagi Jibril pada waktu magrib sebagaimana waktu magrib sebelumnya, kemudian datang lagi Jibril pada waktu isya’ ketika telah berlalu separuh malam atau sepertiga malam, maka Nabi bershalat isya’, kemudian datang lagi Jibril pada waktu telah bersinar benar, lalu berkata : bangun dan bershalatlah, maka Nabi pun bangun dan bershalat subuh, sesudah itu malaikat Jibril berkata : waktu-waktu di antara kedua waktu ini, itulah waktu shalat.( Muslim no. Hadis 1403 , Abu Dawud no. Hadis 2051, At-Tirmizi no. Hadis 1158, An-Nasai dalam sunan Al-kubro no. Hadis 9121, Ibn Hiban no. Hadis 5572 (di ambil dari maktabah syamilah )
Dari hukum yang terdapat dalam Alquran dan Hadis di atas para ahli falak telah menentukan bahwa posisi matahari menjadi penentu awal masuknya waktu salat. Dalam kaidah falak diketahui bahwa waktu salat berdasarkan pada waktu istiwak dengan penambahan atau pengurangan terhadap nilai sudut jam matahari pada waktu salat yang bersangkutan. (Zainal, 2004:121). Saadoedin merupakan tokoh falak yang berusaha untuk memadukan teori-teori astronomi dengan nash-nash Alquran dan Hadis dalam upaya menentukan awal waktu salat. (Azhari, 2002:61). Teori-teori yang beliau dapatkan dari perkuliahan beliau kembangkan dalam ilmu hisab dan tetap mengacu kepada Alquran dan Hadis. Dalam buku Pedoman Shalat sepanjang Masa terdiri dari sebelas bagian, yaitu: 1) susunan, 2) bagian pertama, 3) bagian kedua, 4) cara penggunaan pedoman, 5) waktu daerah, 6) interpolasi, 7) ikhtiyati, 8) keterangan hisab, 9) daerah pegunungan, 10) tempat-tempat yang tidak terdapat dalam daftar, dan 11) contoh membuat jadwal wakktu salat. Intisari dari buku ini terdapat pada pembahasan ke empat hingga akhir. Karena pada bagian 1 sampai 3 hanya berupa tutorial penggunaan pedoman waktu salat sepanjang masa. Dan pada buku Shalat dan Puasa Di Daerah Kutub baru di sini terdapat definisi dan ketentuan-ketentan waktu salat secara terperinci. Isi dari buku tersebut terbagi kedalam delapan bagian, yaitu:1) persoalan seputar waktu salat, 2) ketentuan-ketentuan waktu salat, 3) kedudukan langit, 4) Stockholm, 5) 1 januari di musim panas dan dingin, 6) persyaratannya, 7) ikhtisar, 8) contoh soal dan cara penyelesaiannya.
1)      Waktu Subuh
Waktu subuh dimulai ketika munculnya fajar shidiq atau cahaya secara merata di langit timur. Meskipun saat itu matahari masih belasan derajat di bawah ufuk, namun akibat pembiasan atmosfer cahaya matahari dapat dibiaskan sehingga langit tidak lagi gelap. Fajar Shiddiq ialah terlihatnya cahaya putih yang melintang  mengikut garis lintang ufuk di sebelah Timur akibat pantulan cahaya matahari oleh atmosfer. Menjelang pagi hari, fajar ditandai dengan adanya cahaya samar yang menjulang tinggi (vertikal) di horizon Timur yang disebut Fajar Kidzib atau Fajar Semu yang terjadi akibat pantulan cahaya matahari oleh debu partikel antar planet yang terletak antara Bumi dan Matahari yang disebut dengan zodiacal light (Muhyiddin, 2005:24). Secara astronomis Subuh dimulai saat kedudukan matahari  sebesar -18°/-20o di bawah horizon Timur atau disebut dengan “astronomical twilight”  sampai sebelum piringan atas matahari menyentuh horizon yang terlihat (ufuk Hakiki / visible horizon). (Muhyiddin, 2008:92).
Saadoeddin (1974:8) dalam bukunya menyatakan bahwa waktu subuh di mulai ketika fajar tampak di ufuk timur dan berakhir ketika matahari terbit. Terdapat banyak perbedaan terkait posisi matahari ketika waktu subuh, ada yang menyatakan -18º, ada yang -19º, ada yang -20º, dan ada pula yang menyatakan -21º.  Namun Saadoedin mengambil pendapat dari Syaikh M. Taher Jalaluddin dalam buku beliau yaitu Jadaawil Pati Kiraan yang memakai -20º. Dan ketentuan waktu subuh yang beliau pakai yaitu posisi ketinggian matahari sekitar 20º di bawah ufuk hingga sekarang masih di jadikan sebagai pegangan bagi para ahli falak di Indonesia. (Azhari, 2002: 63).


2)      Waktu Zuhur
Waktu zuhur dimulai sesaat matahari tergelincir atau terlepas dari titik kulminasi atas. (Muhyiddin, 2008:87). Dalam Hadis diatas di sebutkan bahwa Rasulullah melaksanakan salat zuhur ketika matahari tergelincir atau zawal, namun disebutkan juga bahwa beliau salat ketika panjang bayangan benda sama dengan panjang benda tersebut. Hal ini tidak kontradiksi karena untuk daerah Saudi yang memiliki lintang 20º-30º utara panjang bayangan benda ketika zawal akan sama dengan panjang bendanya bahkan lebih. Terutama ketika matahari ada di selatan yaitu sekitar bulan Juni dan Desember. (Izzuddin, 2012:83).
Saadoedin merumuskan bahwa waktu Dzuhur adalah ketika tergelincirnya matahari pada tengah hari tepat. Beliau mengambil dasar dari Alquran surat al-Isra’(17) ayat 78, yaitu:
ÉOÏ%r& no4qn=¢Á9$# Ï8qä9à$Î! ħôJ¤±9$# 4n<Î) È,|¡xî È@ø©9$# tb#uäöè%ur ̍ôfxÿø9$# ( ¨bÎ) tb#uäöè% ̍ôfxÿø9$# šc%x. #YŠqåkôtB
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)." (Al-Isra 78)
Dengan bersandar kepada ayat di atas Saadoedin menyatakan bahwa waktu dzuhur terjadi ketika matahari tergelincir, yaitu ketika matahari mencapai titik kulminasi dalam peredaran hariannya. (Azhari,2002:65). Hal ini berbeda dengan pendapat kebanyakan ahli falak yang menyatakan bahwa waktu dzuhur di mulai ketika matahari tergelincir, yaitu sesaat setelah Matahari mencapai titik kulminasi dalam peredaran harianya.
3)      Waktu Asar 
Landasan awal waktu asar yang di pakai oleh Saadoeddin adalah ayat Alquran surat Qaf (50) ayat 39 (Saadoeddin, 1974:9), yaitu:
÷ŽÉ9ô¹$$sù 4n?tã $tB šcqä9qà)tƒ ôxÎm7yur ÏôJpt¿2 y7În/u Ÿ@ö6s% Æíqè=èÛ Ä§ôJ¤±9$# Ÿ@ö6s%ur É>rãäóø9$#   
“Maka Bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam (nya)”.(Qaf 39).
Sebagaimana kita ketahui bahwa terdapat dua pendapat terkait awal waktu asar, yaitu Imam Malik dan Syafi’i mengatakan bahwa waktu Asar adalah ketika panjang bayangan benda sama dengan panjang benda sebenarnya, dan Imam Hanafi menyatakan bahwa waktu Asar dimulai ketika panjang bayangan dua kali panjang bendanya. (Azhari, 2002:65). Dan dalam hal ini Saadoeddin lebih mengikuti pendapat yang kedua, dengan alasan pertimbangan peninjauan daerah-daerah di kutub yang ketinggian matahari ketika waktu Zuhur tidak begitu tinggi kedudukannya di langit. Di daerah kutub panjang bayang-bayang matahari akan lebih cepat memanjang di bandingkan di daerah khatulistiwa. Sehingga apabila menggunakan pendapat Imam Maliki dan Syafi’i maka waktu Zuhur akan menjadi lebih pendek dan waktu asar akan terasa terlalu panjang. (Saadoeddin, 1074:10).
4)      Waktu Magrib 
Saadoeddin berpegang terhadap pendapat mufassir yang menyatakan bahwa maksud dari zulafam min al-lail adalah bagian permulaan malam. Yang dalam sisi astronomi di ketahui ketika tepi piringan matahari bagian atas terletak pada ufuk mar’i, yang berarti titik  pusat matahari berkedudukan sebesar satu jari-jari piringan matahari di bawah garis ufuk mar’i. (Saadoeddin, 1074:10). Susiknan Azhari menyatakan bahwa hal inilah yang menjadi ciri khas corak pemikiran awal bulan beliau. (Azhari, 2002:67).
5)      Waktu Isya 
Masuknya waktu isya di tandai dengan hilangnya syafaq merah di bagian langit barat. Mengenai kapan waktu hilangnya syafaq merah, Saadoedin (1074:10)  menyatakan bahwa:
Masuknya waktu isya di tandai oleh hilangnya syafaq atau warna merah di awan di bagian langit sebelah barat. Keadaan demikian terjadi bila titik pusat matahari bekedudukan beberapa derajat di bawah ufuk. Serupa dengan timbulnya fajar, jumlah ini  ditetapkan 16º, ada yang 17º, ada yang 18º, dalam urusan selanjutnya kita berpegang kepada jumlah 18º.

b.      Arah Kiblat
Teori Trigonometri Bola (spherical trigonometri) yang menjadi ciri khas dari pemikiran Saadoeddin Djambek merupakan teori yang sudah sangat tua. Berbicara sejarah trigonometri bola, tidak akan terlepas dari peradaban Mesir Kuno, Babilonia, dan Lembah Sungai Indus. Teori ini sudah di ketahui oleh mereka 3000 yang lalu.(Izzuddin, 2012:89). Saadoeddin mendapatkan teori trigonometri bola ketika beliau kuliah di ITB dibawah bimbingan Prof. Dr. J. Hins, Prof. Dr. The Pik Sin, dan Prof. Dr. G. B. Val Albada ( Direktur Observatorium Boscha tahun 1949-1958). Kemudian teori yang beliau dapatkan di tuangkan ke dalam ranah ilmu hisab, dalam hal ini terkait mengenai pembahasan arah kiblat. Dapat dilihat bahwa rumus-rumus yang beliau dapatkan dipengaruhi oleh Analogi Napier. (Azhari, 2002:59).
Hal yang menarik dari pemikiran beliau adalah ketika beliau menasakh hasil perhitungan beliau terkait lintang dan bujur Kabah. Pada awalnya beliau menetapkan bahwa lintang dan bujur Kabah adalah 21º20º LU dan 40º41º BT, namun kemudian beliau menggantinya dengan 21º25º LU dan 39º50º BT. Hal ini beliau lakukan setelah beliau mengadakan penelitian langsung di Tanah Suci Mekah ketika beliau menjabat sebagai ketua Badan Hisab dan Rukyat. Dan sampai sekarang data tersebut masih dipergunakan oleh Kemenag RI dalam perhitungan arah kiblat dan awal bulan kamariah. (Azhari, 2002:60).
c.       Awal Bulan Kamariah
Perhitungan awal bulan kamariah dengan menggunakan teori yang di kembangkan oleh Saadoeddin Djambek terhitung lebih akurat di bandingkan dengan menggunakan teori konvensional. Hal ini dapat kita pahami dengan data yang di pergunakan oleh beliau, yaitu data-data dari Almanak Nautika dan Ephemeris yang terbilang baru dan selalu di up date di setiap tahunnya. Berbeda dengan kitab-kitab seperti Sulamun Nayyirain fi ma’rifati ijtima’i  wal kusufain, dan kitab Tadzkiratul ikhwan fi ba’dli tawarikhi wal ‘amalil falakiyati bi semarang  yang masih menggunakan data Zaij (table astronomi) milik Ulugh Beik. (Muhyiddin, 2008: 29).
Pemikiran beliau mengilhami aliran hisab Muhammadiyah dengan wujudul hilal nya. Sebagaimana diketahui bahwa aliran hisab Muhammadiyah mengalami tiga kali perubahan. Menurut teori yang di kembangakan oleh Saadoeddin, awal bulan kamariah di mulai ketika matahari terbenam dan setelah terjadi ijtimak dan ketika itu pinggir dari piringan atas bulan sudah berada di atas ufuk mar’i atau kaki langit (visible horizon). (Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, 2009:78).
Bagi Saadoeddin Djambek new moon ketika terjadi ijtimak tidak lantas menjadikan hal tersebut sebagai bulan baru kamariah. Alasannya adalah tergantung dari besar piringan bulan dan matahari yang tidak tetap saat terjadi ijtimak. Kadangkala piringan bulan terlihat lebih besar dari piringan Matahari ketika ijtimak, dan dalam keadaan seperti ini tepi piringan bulan sebelah barat belum berimpit dengan tepi piringan Matahari. Yang mengakibatkan diperlukannya beberapa waktu lagi bagi bulan untuk bergeser ke arah timur, supaya tercapai keadaan tepi piringan Bulan bagian barat berimpit dengan tepi piringan matahari. Namun ketika piringan bulan lebih kecil dari piringan Matahari, maka piringan barat bulan sudah berimpit dengan tepi piringan Matahari. (Oman Fathurahman, 2004:102).
Dalam perhitungan awal bulan Saadoeddin menyertakan koreksi parallaks, kerendahan ufuk (dip), refraksi bulan, dan semi diameter bulan. Hasil perhitungan awal posisi bulan di kurangi parallaks dan kerendahan ufuk (dip), refraksi, dan semi diameter ditambahkan kepada hasil perhitungan awal. (Azhari, 2002: 71).


DAFTAR PUSTAKA

Alquran Al-Karim dan Terjemahnya, Departemen Agama RI.         
Azhari, Susiknan, 2002, Pembaharuan pemikiran Hisab di Indonesia; Studi Atas Pemikiran Saadoeddin Djambek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
---------------------, 2004, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, 2004, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan.
Djambek, Saadoeddin, 1957, Arah Kiblat dan Cara Penghitungannya dengan Jalan Ilmu Ukur Segitiga Bola, Jakarta: Tinta Mas.
---------------------, 1974, Pedoman Waktu Shalat Sepanjang Masa, Jakarta: Bulan Bintang.
--------------------, 1974, Shalat dan Puasa Di Daerah Kutub, Jakarta: bulan bintang.

http://bimasislam.depag.go.id, di akses pada tanggal 14 April 2014 jam 11:25

Izzuddin, Ahmad, 2012, Ilmu Falak Praktis, Semarang: Pustaka Rizki Putra
--------------------- ,2012, Kajian Terhadap Metode-Metode Penentuan Arah Kiblat dan Akurasinya,Jakarta: Dirjen Pendis direktorat Pendidikan Tinggi Islam.
Khazin, Muhyiddin, 2008, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Buana Putra.
---------------------, 2005, Kamus Ilmu Falak, Yogyakarta: Buana Putra.
Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, 2009, Pedoman Hisab Muhammadiyah, Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah
Tim Penyusun Buku Hisab Rukyat, 2004, Selayang Pandang Hisab Rukyat, Jakarta: Ditjen Bimas Islam dan Penyelengaraan Haji.
Zainal, Baharuddin, 2002, Ilmu Falak, Dawama. Sdn. Bhd: Selangor.





[1]Seorang  ulama yang lahir pada tahun 1286 H/ 1869 M di daerah Ampek Angkek, Bukit Tinggi. Beliau merupakan alumni al- Azhar, Kairo. Karyanya yang terkenal ialah buku Pati Kiraan pada Menentukan Waktu Jang Lima (1938). Lihat   dalam Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhamadiyah. Pedoman Hisab Muhamadiyah, (Yogyakarta: 2009: 10)
[2]Merupakan salah seorang yang pernah menduduki ketua pimpinam pusat Muhamadiyah periode 1962-1965 dan 1965-1968, serta pernah menjadi penasehat PP Muhamadiyah periode 1969-1971, namun beliau wafat sebelum habis masa jabatannyapada tahun 1969. Dari tangan beliau lahir beberapa karya, diantaranya Hisab Hakiki dan Gerhana Bulan. Lihat dalam Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhamadiyah. Pedoman Hisab Muhamadiyah, (Yogyakarta: 2009: 11)
[4] Sumbu putarnya adalah sumbu pendek bumi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar