Sabtu, 31 Mei 2014

PENETAPAN HADITS TENTANG SATU TAHUN DENGAN DUA BELAS BULAN (oleh ahmad sukran)

PENETAPAN HADITS TENTANG SATU TAHUN DENGAN DUA BELAS BULAN

 A.   Pendahuluan
Seperti yang kita ketahui, Al-Qur’an dan sunnah merupakan sumber agama Islam. Keduanya merupakan mukjizat yang menarasikan kisah umat terdahulu dan kejadian masa lalu, dan memberikan prediksi tentang masalah futuristik sebagian dari mukjizat tersebut telah terbukti secara riil, dan sebagian lagi terus terealisasi seiring perjalanan waktu. Diantara mukjizat terbesar yang tersembunyi dalam kitab Allah dan hadits Rosulullah adalah isyarat-isyarat tentang alam dan sejumlah komponennya, berbagai fenomena dan hukumnya yang dilansir secara lugas didalam seribu ayat lebih Al-Qur’an dan sejumlah hadits-hadits Nabi Saw.
Fakta-fakta yang menakjubkan tentang berbagai fenomena alam dan sosial, seperti tentang hujan sebagai rahmat, gerhana matahari dan bulan, bahkan tentang akibat seks bebas telah diungkap dalam berbagai hadits. Mungkin saja pada masa nabi dan sahabat, maksud dari hadist-hadits masih tersembunyi, dan baru tersingkap secara lebih penuh melalui teori-teori ilmiah modern.
Penemuan-penemuan ilmiah modern diberbagai bidang telah banyak membantu kita memahami maksud-maksud yang tersembunyi dari banyak hadits (tentu saja juga dari berbagai ayat Al-Qur’an). Penemuan-penemuan ilmiah modern ini sering digunakan oleh beberapa sarjana sebagai media dakwah untuk menjadi dalil bahwa Islam adalah agama yang benar karena benar-benar dari Allah swt. Alasannya adalah fakta-fakta yang demikian menakjubkan dari kedua sumber agama islam ini (Al-Qur’an dan hadits) tidak mungkin diketahui oleh seseorang, kecuali apabila orang itu mendapatkan informasi tersebut dari yang maha benar itu sendiri, yakni Allah yang mengetahui segala sesuatu baik yang tersembunyi maupun yang terang-terangan. Ini tentu saja berguna sebagai media dakwah untuk meyakinkan orang-orang modern yang sering terdapat dihatinya keraguan terhadap kebenaran-kebenaran yang disampaikan oleh agama.
Oleh karena itu, menjadi sangat menarik bagi kita umat Islam umumnya dan khususnya bagi penulis untuk mengetahui dan memahami fakta-fakta serta mukjizat yang menakjubkan tentang berbagai fenomena alam dan lainnya yang telah diungkapkan dalam hadits-hadits Nabi melalui teori-teori ilmiah modern. Dan dalam makalah ini, penulis mencoba untuk memaparkan mengenai penetapan hadits tentang satu tahun dengan duabelas bulan.

B.    Hadits-Hadist Tentang Satu Tahun dengan Duabelas Bulan
             Diriwayatkan dari Rasulullah SAW beliau bersabda:
إِنَّ الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ.
“Sesungguhnya zaman telah berputar sebagaimana kondisinya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun terdiri dari dua belas bulan. Ada empat bulan suci di dalamnya. Tiga (diantaranya) berturut-turut yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah dan Muharram, dan Rajab Mudhar (yang jatuh) antara Jumada dan Sya’ban.”
Hadis ini dilansir dalam Shahih Al-Bukhariy (Kitab Bada’ Al-Khalq), dengan sanad dan redaksi sebagai berikut:
·         Kami mendapat hadis dari Muhammad bin Al-Mutsana, tuturnya: Kami mendapat hadis dari Abdul Wahhab, tuturnya: Kami mendapat hadis dari Ayyub, dari Muhammad bin Siin, dari Ibnu Abi Bakrah, dari Abu Bakrah SAW, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda:
الزَّمَانُ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ.
“zaman telah berputar sebagaimana kondisinya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun terdiri dari dua belas bulan. Ada empat bulan suci di dalamnya. Tiga (diantaranya) berturut-turut yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah dan Muharram, dan Rajab Mudhar (yang jatuh) antara Jumada dan Sya’ban.” [1]
Hadis ini juga dilansir Al-Bukhari (Kitab Tafsir Al-Qur’an) dengan sanad yang lain sebagai berikut:
·         Kami mendapat hadis dari Abdullah bin Abdul Wahhab, tuturnya: Kami mendapat hadis dari Hammad bin Zaid, dari Ayyub, dari Muhammad dari Ibnu Abi Bakrah, dari Abu Bakrah, dari Nabi SAW, beliau bersabda:
إِنَّ الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبٌ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ.
zaman telah berputar sebagaimana kondisinya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun terdiri dari dua belas bulan. Ada empat bulan suci di dalamnya. Tiga (diantaranya) berturut-turut yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah dan Muharram, dan Rajab Mudhar (yang jatuh) antara Jumada dan Sya’ban.” [2]
Hadis senada dilansir dalam Shahih Muslim (Kitab Al-Qisamah wa Al-Muharibin), dengan redaksi sebagai berikut:
·         Kami mendapat hadis dari Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Yahya bin Habib Al-Haritsi (dengan redaksi yang hampir sama). Keduanya berkata: kami mendapat hadis dari Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi, dari Ayyub, dari Ibnu Sirin, dari Ibnu Abi Bakrah, dari Abu Bakrah, dari Nabi Muhammad SAW, beliau bersabda: “Sesungguhnya zaman telah berputar sebagaimana kondisinya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun terdiri dari dua belas bulan. Ada empat bulan suci di dalamnya. Tiga (diantaranya) berturut-turut yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah dan Muharram, dan Rajab Mudhar (yang jatuh) antara Jumada dan Sya’ban.”
(Setelah bersabda demikian), beliau bertanya: Bulan apa ini?
Kami jawab, ”Allah dan Rasul-Nyalah yang lebih tahu.”
Beliau kemudian diam sampai-sampai kami pikir beliau akan menemaninya (bulan ini) dengan nama (baru) selainnya. Rasulullah SAW menukas:
Bukankah ini adalah bulan Dzul Hijjah?
Kami jawab, ”Ya”.
Beliau bertanya lagi: Negeri apa ini?
Kami jawab, ”Allah dan Rasul-Nyalah yang lebih tahu.”
Beliau terdiam sampai-sampai kami pikir beliau akan menemaninya dengan nama (baru) selainnya. Beliau menukas: bukankah ini hari kurban?
Kami jawab: ”Benar, ya Rasulullah”.
Nabi lalu bersabda: sesungguhnya darah, harta, -Muhammad (Ibnu Sirin) berkomentar: saya kira beliau menambahkan- dan kehormatanmu suci atas sekalian sebagaimana kesucian hari ini, di negeri ini, pada bulan ini. Kelak kalian akan bertemu dengan Tuhan kalian, dan dia akan menanyaimu tentang amal perbuatan kamu. Maka, janganlah sekali-kali kalian kembali kepada kekafiran atau kesesatan sepeninggalanku, dan saling bunuh satu sama lain. Camkanlah, hendaklah orang yang hadir memberitakan kepada yang tidak hadir. Barangkali sebagian orang menerima berita lebih menajga berita tersebut daripada orang yang mendengarkannya.
Selanjutnya beliau bersabda: ingat-ingat, bukankah aku telah menyampaikan.
Dalam versi Ibnu Habib, tidak ada kata ”bulan” setelah Rajab, melainkan langsung ”Rajab Mudhar”. Sementara dalam riwayat Abu Bakrah ditulis: Janganlah kalian kembali sepeninggalku (tanpa tambahan nun ta’kid yang berarti sekali-kali).[3]
Abu Dawud ikut melansir hadits ini dalam Sunan Abiy Dawud-nya, (Kitab Al-Manasik), tuturnya:
·         Kami mendapat hadits dari Musaddad, tuturnya: kami mendapat hadits dari Isma’il tuturnya: kami mendapat hadits dari Ayyub, dari Muhammad, dari Abu Bakrah, bahwasannya Nabi berkhutbah saat haji wada’ beliau.
Beliau berseru: sesungguhnya zaman telah berputar sebagaimana kondisinya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun terdiri dari dua belas bulan. Diantaranya ada empat bulan suci. Tiga berturut-turut yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah dan Muharram, dan Rajab Mudhar (yang jatuh) antara Jumada dan Sya’ban.
Abu Dawud menambahkan: Kami mendapat hadits dari Muhammad bin Yahya bin Fayyadh, tuturnya: Kami mendapat hadits dari Abdul Wahhab, tuturnya: Kami mendapat hadits dari Ayyub As-Sakhtiyani, dari Muhammad bin Sirin, dari Ibnu Abi Bakhrah, dari Abu Bakrah, dari Nabi Muhammad SAW dengan redaksi yang senada dengan diatas.
Abu Dawud mengatakan: Dalam hadits ini Ibnu Aun menyebut identitas nama anak Abu Bakrah yang dikunyahkan sebagai Ibnu Abi Bakrah. Ia (Ibnu Aun) mengatakan: Kami mendapat hadits dari Abdurrahman bin Abi Bakrah.[4]

C.   Kebutuhan Manusia Terhadap Penentuan Waktu.
Sejak peradaban primitif, manusia sudah merasa perlu akan adanya penentuan waktu dan pembagian-pembagiannya. Semula kebutuhan itu timbul untuk kepentingan pelaksanaan ritual keagamaan, kemudian berkembang untuk kepentingan-kepentingan lainnya seperti pencatatan waktu kejadian-kejadian penting, perdagangan dan lain sebagainya.[5]
Tidak seperti dalam kehidupan masyarakat modern,dimana perhitungan waktu dapat dilakukan dengan sistem dan peralatan yang serba modern.Masyarakat pada zaman dahulu melakukan perhitungan waktu hanya dengan melihat dan memperhatikan apa yang terjadi secara berulang-ulang pada fenomena alam sekitarnya, seperti terbit dan terbenam matahari, perubahan bentuk rembulan, pergantian musim dan sebagainya. Penyebutan tahun tidak dikaitkan dengan bilangan, namun disebut dengan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada saat itu seperti tahun gajah, tahun gempa, tahun paceklik, dan sebagainya.[6]    
Dua obyek langit yang paling mengesankan manusia dan serta merupakan obyek pengamatan astronom sejak zaman dahulu adalah matahari dan bulan. Keduanya merupakan obyek yang paling terang di langit dan merupakan obyek pengamatan yang sangat erat dengan kehidupan serta peradaban manusia. Siklus peredaran harian, bulanan dan tahunan dua benda langit tersebut menarik perhatian manusia sepanjang zaman. Pemanfaatannya bagi tatanan sistem penjejak waktu jangka panjang dikenal sebagai sistem kalender (penanggalan).[7] Sistem kalender yang mendasarkan pada daur fase bulan sering dinamai sebagai Kalender Bulan atau Kalender Qomariah (Lunar calender). Sistem kalender yang mendasarkan pada daur musim sering dinamai juga dengan nama Kalender Matahari atau Kalender Syamsiyah (Solar Calender). Sedangkan sistem kalender yang menggunakan campuran keduanya dinamakan Kalender Bulan-Matahari atau Kalender Qomari-syamsi (Luni-Solar Calender).[8] Kalender lunar system di antaranya dapat dijumpai dalam kalender Hijriyah atau kalender Islam dan kalender Jawa Islam. Untuk kalender solar system di antaranya dapat dijumpai dalam kalender Mesir Kuno, kalender Romawi Kuno, kalender Jepang, kalender Maya, kalender Saka, dan kalender Masehi. Sedangkan kalender luni-solar system di antaranya dapat dijumpai dalam kalender Babilonia, kalender Cina, dan kalender Yahudi.[9]

D.  Sistem Kalender di Semenanjung Arab
Ø Kalender Pra-Islam
Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab sudah mengenal kalender. Kalender yang dipergunakan adalah kalender bulan-matahari. Dalam kalender ini, pergantian tahun selalu terjadi di penghujung musim panas (sekitar bulan September, ketika matahari melewati semenanjung Arab dari utara ke selatan). Kalender in tidak memakai angka tahun; tahun-tahun disandarkan pada peristiwa tertentu yang dapat dijadikan pengingat. Seperti tahun gajah, tahun kesedihan dan lain-lain. Bilangan bulan dalam setahun 12 dan 13, bilangan bulan 12 untuk tahun pendek dan 13 untuk tahun panjang, sebagaimana umumnya kalender luni-solar yakni untuk menyesuaikan siklus bulan dan siklus musim.Pada tahun panjang, bulan ke-13 ditambahkan setelah bulan ke-12.[10]
Nama-nama bulan disesuaikan dengan musim dan keadaan tertentu. Dalam tradisi bangsa Arab, terdapat kebiasaan ketika menamai sebuah bulan. Mereka senantiasa mengaitkannya dengan fenomena atau momentum tertentu. Seperti penamaan bulan Syawwal,  yang diambil dari akar kata Syaul yang memiliki arti mengangkat. Karena di bulan ini pada umumnya unta-unta orang Arab sedang memasuki masa kawin. Di mana setiap kali menjelang perkawinan, unta memiliki kebiasaan mengangkat ekornya. Fenomena inilah yang mendorong orang Arab menyebut bulan ini dengan nama Syawwal (yang banyak mengangkatnya).[11]
Sedangkan bulan setelah Syawwal, disebut dengan Dzulqa’dah, secara literal berarti yang memiliki posisi duduk, karena pada masa ini orang Arab umumnya sedang mempersiapkan diri untuk berangkat menunaikan haji. Mereka mendudukkan pantat mereka di atas kendaraaan, karena itulah muncul nama dzulqa’dah ini. Ibnu Manzhur dalam Lisan Al-Arabnya menyebutkan alasan penamaan tersebut adalah karena orang Arab banyak yang duduk dan istirahat dari masa perang, berseteru, dan mencari rumput karena datangnya bulan ibadah yang di dalamnya dilarang perang dan perbuatan buruk lainnya. Bulan berikutnya disebut Dzulhijjah, artinya yang memiliki haji. Karena bulan ini adalah, bulan menunaikan ibadah haji. Sedang Muharram arti literalnya adalah yang dimulyakan atau diharamkan. Karena, memang orang Arab memulyakan bulan ini untuk memulyakan dan mengagungkan Allah. Sebagai bentuk pengagungan, semua suku Arab, kecuali suku Khast’am dan Thayyi’ menghentikan peperangan. Mereka mengharamkan perang pada bulan ini. Bulan berikutnya dinamakan Shafar. Pada bulan ini peperangan antar suku sudah dimulai kembali. Mereka meninggalkan rumah-rumah suku yang mereka serang dalam keadaan kosong karena hartanya dirampas. Dalam bahasa Arab, disebut Shufr yang bermakna kosong. Sedang, penamaan musim semi dengan nama Rabi’ karena bumi sedang memasuki musim semi. Ketika musim semi, banyak turun hujan. Dari dua bulan yang dipenuhi dengan hujan, bagian pertama dinamakan Rabi’ul Awwal dan yang kedua disebut Rabi’Ats-Tsani. Sedang bulan Jumada, baik Al-Ula maupun Ats-Tsaniyah berasal dari kata Jamuda yang artinya mengeras. Karena, pada bulan ini, air berubah jadi keras karena masuk musim dingin. Bulan ini disusul bulan Rajab yang artinya mengagungkan. Karena, pada bulan ini, mereka mengagungkannya dengan cara berhenti perang. Atau karena waktu itu mereka gunakan untuk memagari tanaman yang baru mereka tanam dengan duri agar orang lain takut dan tidak mengganggunya sebagaimana pernyataan Al-Jamal. Dengan demikian, berarti ia berasal dari kata yang semakna. Sinonim dengan Haaba yang berarti takut. Sedang, Sya’ban adalah bulan saat tanamam mereka mengeluarkan cabang-cabangnya yang antara satu cabang dengan yang lainnya saling terpisah. Ini berarti diambil dari kata Asy-Sya’b yang berarti memisahkan. Selanjutnya Ramadhan berasal dari kata Al-Ramadhu / Al-Ramdhaa’u (sangat panas). Nama ini diambil orang Arab karena pada saat memilih nama untuk bulan ini, cuaca sedang berada pada puncak panas.[12] Bulan-bulan itu dirinci sebagai berikut: bulan pertama adalah Muharram, kemudian Shafar,Rabi’ul Awwal, Rabi’uts Tsani, Jumadal Ula, Jumadats Tsaniyah, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawwal, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah. Sedangkan bulan ketigabelas yang ditambahkan di setiap penghujung tahun kabisat disebut dengan bulan Nasi’.[13]       
    Hitungan pekan sudah ada walaupun secara implisit, diketahui dari penggunaan 7 nama-nama hari. Betul, secara implisit 7 nama hari ini membentuk pengelompokan tersendiri yang bebas terhadap pengelompokan lain yaitu bulan. Hari yang 7 tersebut dinamai dengan bilangan urutan, tentu saja dalam bahasa Arab. Nama-nama hari Kalender Arab Pra-Islam yaitu:[14]
Urutan
Urutan Bahasa Arab
Nama Hari Arab
Satu
Wahidun / Ahadun
Al-Ahad
Dua
Itsnaini
Al-Itsnaini
Tiga
Tsalatsatun
Ats-Tsalatsa
Empat
Arba’atun
Al- Arbia’
Lima
Khamsatun
Al- Khamis
Enam
Sittatun
As-Sadis (?)
Tujuh
Sab’atun
As-Sabt

Ø Kalender Islam
          Kalender bulan-matahari yang berlaku di semenanjung Arab ternyata menimbulkan kekacauan. Masing-masing suku menetapkan tahun kabisatnya sendiri-sendiri. Hal ini menjadi dalih dan pembenaran untuk menyerang suku lain di bulan Muharram dengan alasan, bulan itu adalah bulan Nasi’ menurut perhitungan mereka.[15]
          Setelah turun wahyu kepada Nabi Muhammad saw, kalender bulan-matahari diubah menjadi kalender bulan. Satu tahun terdiri dari duabelas bulan, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, Surat At-Taubah ayat 36:
”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa”[16]
            Dalam ayat di atas Allah lebih mengkhususkan ayat tersebut untuk Tahun Qomariyah yang di dalamnya terdapat bulan-bulan haram. Berdasarkan beberapa tafsir, empat bulan tersebut adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.Yang didalamnya tidak diperkenankan menganiaya diri sendiri dengan mengerjakan perbuatan yang dilarang, seperti melanggar kehormatan bulan itu dengan mengadakan peperangan.[17]
Sistem penanggalan sudah diubah dari sistem luni-solar menjadi sistem lunar. Meskipun begitu, nama-nama bulan tetap tak berubah karena sudah terlanjur populer  di masyarakat. Lagipula, nama-nama ini tidak mengandung unsur kemusyrikan. Dengan diberlakukannya kalender bulan, ramadhan tak lagi selalu jatuh di musim panas, setiap tahun akan selalu bergeser.[18] Begitu juga,hari dalam kalender Hijriyah ada 7, ketujuh nama hari itu sama dengan nama-nama hari dalam kalender Arab Pra-Islam, kecuali hari ke-enam diganti dengan Jum’at.[19]

E.    Ulasan Hadis
Penegasan Rasulullah bahwa satu tahun terdiri dari dua belas bulan adalah pandangan saintis yang penuh kemukjizatan (magnificience). Sebab tahun bintang apapun dalam tata surya ini adalah kurun waktu yang dilalui selama perputaran penuhnya mengelilingi matahari. Lama kurun waktu ini ditentukan oleh lama rata-rata radius orbit, yaitu rata-rata kejauhan planet dari matahari. Kecepatan pergerakan benda langit dan kedua fakta ini sudah eksis sejak awal mula penciptaan langit dan bumi. Sehingga perubahan apa pun yang terjadi dilangit dan bumi akan menimbulkan guncangan besar dalam sistem tata surya yang sudah sejak bertriliun-triliun tahun berjalan ajeg dengan satu sistem sebagaimana yang kita lihat sekarang ini.[20]
Informasi tentang perputaran waktu yang disampaikan Nabi Muhammad SAW jelas merupakan wahyu Allah kepada nabi dan rasul terakhir. Karena bangsa Arab kala itu membuat rekayasa tipuan tahun, yaitu dengan mengeluarkan satu bulan dari bulan-bulan suci (haram) dari kesuciannya agar mereka dapat menghalalkan perang didalamnya, padahal perang adalah sesuatu yang terlarang didalam bulan tersebut.  Sehingga siklus bulan merekapun mengalami kekacauan dan tumpang-tindih satu sama lain. Maka Allah pun kemudian mewahyukan kepada Nabi akan hakikat bulan-bulan ini yang diatur oleh posisi bulan dan matahari, juga oleh perputaran bulan mengelilingi matahari dan perputaran bumi mengelilingi matahari.[21]
Ungkapan yang digunakan Rasulullah SAW dalam sabdanya: Sesungguhnya zaman telah berputar sebagaimana kondisinya ketika Allah menciptakan langit dan bumi, mengandung isyarat implisit dan lembut tentang adanya perputaran alam dan seluruh benda yang ada disana. Karena kata istadara disamping mengandung makna kembali dan memulai juga mengindikasikan fakta perputaran dan konglomerasi alam semesta.[22]
Hal tersebut lebih dikuatkan oleh fakta bahwa waktu bukanlah benda materi yang berputar, tetapi waktu adalah masa yang berlalu. Perputaran waktu merupakan isyarat akan adanya perputaran alam semesta dan perputaran semua benda angkasa beserta satelit-satelit didalamnya.[23]
Sabda Nabi Muhammad SAW: Sebagaimana kondisinya ketika Allah menciptakan langit dan bumi, menegaskan konstansi kondisi tersebut seiring perjalanan panjang sejarah memahami alam minimal lebih kurang sepuluh miliar dan insya Allah akan tetap demikian hingga hari kiamat.[24]
Dilansirnya sejumlah data ilmiah dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang ada di hadapan kita ini dan ia belum dikenal sama sekali di Jazirah Arab pada masa pewahyuan, bahkan beberapa abad setelah itu, tidak lain bersumber dari Allah swt. Sehingga data ilmiah ini merupakan bukti bagi siapapun yang hidup pada era sains dan teknologi sekarang ini, muslim maupun nonmuslim bahwa Nabi kita Muhammad, putra Abdullah, menerima wahyu dan diajar oleh Allah swt. Beliau adalah nabi dan rasul penutup, tiada nabi dan rasul lagi setelahnya, tiada mengatakan sesuatu berdasarkan hawa nafsunya sendiri melainkan wahyu yang diwahyukan oleh Allah swt.[25]
Semoga shalawat kesejahteraan, salam kedamaian, dan keberkahan selalu tercurahkan kepada beliau beserta keluarga, sahabat dan mereka yang mengikuti petunjuknya dan berdakwah dijalan-Nya sampai kiamat kelak. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.

F.    Kesimpulan
Sistem kalender telah digunakan oleh manusia sejak jaman dahulu kala, meskipun perhitungan waktunya belum dilakukan dengan sistem dan peralatan yang modern. Hampir semuanya berdasar pada salah satu atau keduanya dari dua daur astronomis, yaitu: daur fase bulan (lunasi), daur musim (periode bumi mengelilingi matahari). Dan dari masing-masing sistem kalender tersebut  jumlah bulan dalam satu tahun adalah dua belas, sebagaimana yang diungkapkan dalam Al-qur’an dan sunnah Rasulullah  saw. Dan hal ini akan tetap sampai hari kiamat. Karena sebagaimana bangsa Arab yang pernah membuat rekayasa tipuan tahun, yaitu dengan mengeluarkan satu bulan dari bulan-bulan suci (haram) dari kesuciannya agar mereka dapat menghalalkan perang didalamnya, maka siklus bulan merekapun mengalami kekacauan dan tumpang-tindih satu sama lain. SabdaRosululah tersebut  mengandung isyarat implisit dan lembut tentang adanya perputaran alam dan seluruh benda yang ada di sana.




DAFTAR PUSTAKA

Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abi Dawud (Indonesia: Maktabah Dahlan, tt)
Abul Husain bin Muslim, Al-Jami’us Shohih (Beirut-Libanon: Darul Fikr, tt)
Fakultas Syari’ah IAIN Wali Songo, Penyatuan Kalender Hijriyah, Sebuah Upaya Pencarian Kriteria Hilal yang Obyektif Ilmiah (Semarang: Program Pasca Sarjana IAIN Wali Songo, 2012)
Forum Kalimasada, Kearifan Syariat , Menguak Rasionalitas Syariat dari Perspektif Filosofis, Medis, dan Historis (Surabaya: Khalista, 2009)
Ibnu Hajar Al-Atsqalaniy, Fathul Bari, Syarah Shohih Al-Bukhori (Beirut-Libanon: Darul Fikr, tt)
M. Ma’muri Abd.Shomad, Perbandingan Tarikh, Kalender Masehi, Hijriyah dan Jawa (Jombang: 2005)
Ruswa Darsono, Penanggalan Islam, Tinjauan Sistem, Fiqih dan Hisab Penanggalan (Yogyakarta: Labda Press, 2010)
Slamet Hambali, Almanak Sepanjang Masa,Sejarah Sistem Penanggalan Masehi, Hijriyah dan Jawa (Semarang: Program Pasca Sarjana IAIN Wali Songo, 2011)
Zaghlul An-Najjar, Sains dalam Hadis, Mengungkap Fakta Ilmiah dari Kemukjizatan Hadis Nabi (Jakarta: Azmah, 2011)




[1] Ibnu Hajar Al-Atsqalaniy, Fathul Bari, Syarah Shohih Al-Bukhori (Beirut-Libanon: Darul Fikr, tt),Juz.vi. hal.293

[2] Ibid. Juz.vii, hal.324
[3] Abul Husain bin Muslim, Al-Jami’us Shohih (Beirut-Libanon: Darul Fikr, tt), juz.v. hal.107

[4] Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abi Dawud (Indonesia: Maktabah Dahlan, tt),Bab: Asyhurul Hurum, hal.195

[5] M. Ma’muri Abd.Shomad, Perbandingan Tarikh, Kalender Masehi, Hijriyah dan Jawa (Jombang: 2005), hal.49

[6] Ibid.
[7] Ibid. hal.50
[8] Ruswa Darsono, Penanggalan Islam, Tinjauan Sistem, Fiqih dan Hisab Penanggalan (Yogyakarta: Labda Press, 2010), hal.28

[9] Fakultas Syari’ah IAIN Wali Songo, Penyatuan Kalender Hijriyah, Sebuah Upaya Pencarian Kriteria Hilal yang Obyektif Ilmiah (Semarang: Program Pasca Sarjana IAIN Wali Songo, 2012), hal.135

[10] Ruswa Darsono, Op.cit., hal.57
[11] Forum Kalimasada, Kearifan Syariat , Menguak Rasionalitas Syariat dari Perspektif Filosofis, Medis, dan Historis (Surabaya: Khalista, 2009), hal.256

[12] Ibid., hal. 257
[13] Ruswa Darsono, Op.cit., hal.59

[14] Ibid., hal.60
[15] Ibid., hal.66
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Ibid., hal.79
[20] Zaghlul An-Najjar, Sains dalam Hadis, Mengungkap Fakta Ilmiah dari Kemukjizatan Hadis Nabi (Jakarta: Azmah, 2011), hal.95

[21] Ibid., hal. 96
[22] Ibid.
[23] Ibid.
[24] Ibid.
[25] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar