PENETAPAN HADITS TENTANG SATU TAHUN DENGAN DUA BELAS
BULAN
A.
Pendahuluan
Seperti yang kita ketahui,
Al-Qur’an dan sunnah merupakan sumber agama Islam. Keduanya merupakan mukjizat
yang menarasikan kisah umat terdahulu dan kejadian masa lalu, dan memberikan
prediksi tentang masalah futuristik sebagian dari mukjizat tersebut telah
terbukti secara riil, dan sebagian lagi terus terealisasi seiring perjalanan
waktu. Diantara mukjizat terbesar yang tersembunyi dalam kitab Allah dan hadits
Rosulullah adalah isyarat-isyarat tentang alam dan sejumlah komponennya,
berbagai fenomena dan hukumnya yang dilansir secara lugas didalam seribu ayat
lebih Al-Qur’an dan sejumlah hadits-hadits Nabi Saw.
Fakta-fakta yang menakjubkan
tentang berbagai fenomena alam dan sosial, seperti tentang hujan sebagai
rahmat, gerhana matahari dan bulan, bahkan tentang akibat seks bebas telah
diungkap dalam berbagai hadits. Mungkin saja pada masa nabi dan sahabat, maksud
dari hadist-hadits masih tersembunyi, dan baru tersingkap secara lebih penuh
melalui teori-teori ilmiah modern.
Penemuan-penemuan ilmiah
modern diberbagai bidang telah banyak membantu kita memahami maksud-maksud yang
tersembunyi dari banyak hadits (tentu saja juga dari berbagai ayat Al-Qur’an).
Penemuan-penemuan ilmiah modern ini sering digunakan oleh beberapa sarjana
sebagai media dakwah untuk menjadi dalil bahwa Islam adalah agama yang benar
karena benar-benar dari Allah swt. Alasannya adalah fakta-fakta yang demikian
menakjubkan dari kedua sumber agama islam ini (Al-Qur’an dan hadits) tidak
mungkin diketahui oleh seseorang, kecuali apabila orang itu mendapatkan
informasi tersebut dari yang maha benar itu sendiri, yakni Allah yang
mengetahui segala sesuatu baik yang tersembunyi maupun yang terang-terangan.
Ini tentu saja berguna sebagai media dakwah untuk meyakinkan orang-orang modern
yang sering terdapat dihatinya keraguan terhadap kebenaran-kebenaran yang
disampaikan oleh agama.
Oleh karena itu, menjadi
sangat menarik bagi kita umat Islam umumnya dan khususnya bagi penulis untuk
mengetahui dan memahami fakta-fakta serta mukjizat yang menakjubkan tentang
berbagai fenomena alam dan lainnya yang telah diungkapkan dalam hadits-hadits
Nabi melalui teori-teori ilmiah modern. Dan dalam makalah ini, penulis mencoba
untuk memaparkan mengenai penetapan hadits tentang satu tahun dengan duabelas
bulan.
B. Hadits-Hadist Tentang Satu Tahun dengan
Duabelas Bulan
Diriwayatkan
dari Rasulullah SAW beliau bersabda:
إِنَّ الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ
وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو
الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي
بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ.
“Sesungguhnya
zaman telah berputar sebagaimana kondisinya sejak Allah menciptakan langit dan
bumi. Satu tahun terdiri dari dua belas bulan. Ada empat bulan suci di
dalamnya. Tiga (diantaranya) berturut-turut yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah dan
Muharram, dan Rajab Mudhar (yang jatuh) antara Jumada dan Sya’ban.”
Hadis
ini dilansir dalam Shahih Al-Bukhariy (Kitab Bada’ Al-Khalq), dengan
sanad dan redaksi sebagai berikut:
·
Kami
mendapat hadis dari Muhammad bin Al-Mutsana, tuturnya: Kami mendapat hadis dari
Abdul Wahhab, tuturnya: Kami mendapat hadis dari Ayyub, dari Muhammad bin Siin,
dari Ibnu Abi Bakrah, dari Abu Bakrah SAW, dari Rasulullah SAW, beliau
bersabda:
الزَّمَانُ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ
اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ
حُرُمٌ ثَلَاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي
بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ.
“zaman
telah berputar sebagaimana kondisinya sejak Allah menciptakan langit dan bumi.
Satu tahun terdiri dari dua belas bulan. Ada empat bulan suci di dalamnya. Tiga
(diantaranya) berturut-turut yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah dan Muharram, dan
Rajab Mudhar (yang jatuh) antara Jumada dan Sya’ban.” [1]
Hadis ini juga dilansir Al-Bukhari (Kitab Tafsir
Al-Qur’an) dengan sanad yang lain sebagai berikut:
·
Kami
mendapat hadis dari Abdullah bin Abdul Wahhab, tuturnya: Kami mendapat hadis
dari Hammad bin Zaid, dari Ayyub, dari Muhammad dari Ibnu Abi Bakrah, dari Abu
Bakrah, dari Nabi SAW, beliau bersabda:
إِنَّ الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ
اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ
حُرُمٌ ثَلَاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبٌ مُضَرَ الَّذِي
بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ.
zaman
telah berputar sebagaimana kondisinya sejak Allah menciptakan langit dan bumi.
Satu tahun terdiri dari dua belas bulan. Ada empat bulan suci di dalamnya. Tiga
(diantaranya) berturut-turut yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah dan Muharram, dan
Rajab Mudhar (yang jatuh) antara Jumada dan Sya’ban.” [2]
Hadis senada dilansir dalam Shahih Muslim (Kitab
Al-Qisamah wa Al-Muharibin), dengan redaksi sebagai berikut:
·
Kami
mendapat hadis dari Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Yahya bin Habib Al-Haritsi
(dengan redaksi yang hampir sama). Keduanya berkata: kami mendapat hadis dari
Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi, dari Ayyub, dari Ibnu Sirin, dari Ibnu Abi Bakrah,
dari Abu Bakrah, dari Nabi Muhammad SAW, beliau bersabda: “Sesungguhnya
zaman telah berputar sebagaimana kondisinya sejak Allah menciptakan langit dan
bumi. Satu tahun terdiri dari dua belas bulan. Ada empat bulan suci di
dalamnya. Tiga (diantaranya) berturut-turut yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah dan
Muharram, dan Rajab Mudhar (yang jatuh) antara Jumada dan Sya’ban.”
(Setelah bersabda demikian), beliau bertanya: Bulan apa ini?
Kami jawab, ”Allah dan Rasul-Nyalah yang lebih tahu.”
Beliau kemudian diam sampai-sampai kami pikir beliau akan menemaninya
(bulan ini) dengan nama (baru) selainnya. Rasulullah SAW menukas:
Bukankah ini adalah bulan Dzul Hijjah?
Kami jawab, ”Ya”.
Beliau bertanya lagi: Negeri apa ini?
Kami jawab, ”Allah dan Rasul-Nyalah yang lebih tahu.”
Beliau terdiam sampai-sampai kami pikir beliau akan menemaninya dengan nama
(baru) selainnya. Beliau menukas: bukankah ini hari kurban?
Kami jawab: ”Benar, ya Rasulullah”.
Nabi lalu bersabda: sesungguhnya darah, harta, -Muhammad (Ibnu Sirin)
berkomentar: saya kira beliau menambahkan- dan kehormatanmu suci atas sekalian
sebagaimana kesucian hari ini, di negeri ini, pada bulan ini. Kelak kalian akan
bertemu dengan Tuhan kalian, dan dia akan menanyaimu tentang amal perbuatan
kamu. Maka,
janganlah sekali-kali kalian kembali kepada kekafiran atau kesesatan
sepeninggalanku, dan saling bunuh satu sama lain. Camkanlah, hendaklah orang
yang hadir memberitakan kepada yang tidak hadir. Barangkali sebagian orang menerima berita lebih menajga
berita tersebut daripada orang yang mendengarkannya.
Selanjutnya beliau bersabda: ingat-ingat, bukankah aku telah
menyampaikan.
Dalam versi Ibnu Habib, tidak ada kata ”bulan” setelah Rajab, melainkan
langsung ”Rajab Mudhar”. Sementara dalam riwayat Abu Bakrah ditulis: Janganlah
kalian kembali sepeninggalku (tanpa tambahan nun ta’kid yang berarti
sekali-kali).[3]
Abu Dawud ikut
melansir hadits ini dalam Sunan Abiy Dawud-nya, (Kitab Al-Manasik),
tuturnya:
·
Kami mendapat hadits dari Musaddad, tuturnya: kami
mendapat hadits dari Isma’il tuturnya: kami mendapat hadits dari Ayyub, dari
Muhammad, dari Abu Bakrah, bahwasannya Nabi berkhutbah saat haji wada’ beliau.
Beliau berseru: sesungguhnya zaman telah berputar sebagaimana kondisinya
sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun terdiri dari dua belas
bulan. Diantaranya ada empat bulan suci. Tiga berturut-turut yaitu Dzul Qa’dah,
Dzul Hijjah dan Muharram, dan Rajab Mudhar (yang jatuh) antara Jumada dan Sya’ban.
Abu Dawud
menambahkan: Kami mendapat hadits dari Muhammad bin Yahya bin Fayyadh,
tuturnya: Kami mendapat hadits dari Abdul Wahhab, tuturnya: Kami mendapat
hadits dari Ayyub As-Sakhtiyani, dari Muhammad bin Sirin, dari Ibnu Abi
Bakhrah, dari Abu Bakrah, dari Nabi Muhammad SAW dengan redaksi yang senada
dengan diatas.
Abu Dawud
mengatakan: Dalam hadits ini Ibnu Aun menyebut identitas nama anak Abu Bakrah
yang dikunyahkan sebagai Ibnu Abi Bakrah. Ia (Ibnu Aun) mengatakan: Kami
mendapat hadits dari Abdurrahman bin Abi Bakrah.[4]
C. Kebutuhan Manusia Terhadap Penentuan Waktu.
Sejak peradaban primitif,
manusia sudah merasa perlu akan adanya penentuan waktu dan
pembagian-pembagiannya. Semula kebutuhan itu timbul untuk kepentingan
pelaksanaan ritual keagamaan, kemudian berkembang untuk kepentingan-kepentingan
lainnya seperti pencatatan waktu kejadian-kejadian penting, perdagangan dan
lain sebagainya.[5]
Tidak seperti dalam kehidupan
masyarakat modern,dimana perhitungan waktu dapat dilakukan dengan sistem dan
peralatan yang serba modern.Masyarakat pada zaman dahulu melakukan perhitungan
waktu hanya dengan melihat dan memperhatikan apa yang terjadi secara
berulang-ulang pada fenomena alam sekitarnya, seperti terbit dan terbenam
matahari, perubahan bentuk rembulan, pergantian musim dan sebagainya. Penyebutan
tahun tidak dikaitkan dengan bilangan, namun disebut dengan peristiwa-peristiwa
penting yang terjadi pada saat itu seperti tahun gajah, tahun gempa, tahun
paceklik, dan sebagainya.[6]
Dua obyek langit yang paling
mengesankan manusia dan serta merupakan obyek pengamatan astronom sejak zaman
dahulu adalah matahari dan bulan. Keduanya merupakan obyek yang paling terang
di langit dan merupakan obyek pengamatan yang sangat erat dengan kehidupan
serta peradaban manusia. Siklus peredaran harian, bulanan dan tahunan dua benda
langit tersebut menarik perhatian manusia sepanjang zaman. Pemanfaatannya bagi
tatanan sistem penjejak waktu jangka panjang dikenal sebagai sistem kalender
(penanggalan).[7]
Sistem kalender yang mendasarkan pada daur fase bulan sering dinamai sebagai
Kalender Bulan atau Kalender Qomariah (Lunar calender). Sistem kalender yang
mendasarkan pada daur musim sering dinamai juga dengan nama Kalender Matahari
atau Kalender Syamsiyah (Solar Calender). Sedangkan sistem kalender yang
menggunakan campuran keduanya dinamakan Kalender Bulan-Matahari atau Kalender
Qomari-syamsi (Luni-Solar Calender).[8] Kalender lunar system
di antaranya dapat dijumpai dalam kalender Hijriyah atau kalender Islam dan
kalender Jawa Islam. Untuk kalender solar system di antaranya dapat
dijumpai dalam kalender Mesir Kuno, kalender Romawi Kuno, kalender Jepang,
kalender Maya, kalender Saka, dan kalender Masehi. Sedangkan kalender luni-solar
system di antaranya dapat dijumpai dalam kalender Babilonia, kalender Cina,
dan kalender Yahudi.[9]
D. Sistem Kalender di Semenanjung Arab
Ø Kalender Pra-Islam
Sebelum kedatangan Islam,
masyarakat Arab sudah mengenal kalender. Kalender yang dipergunakan adalah
kalender bulan-matahari. Dalam kalender ini, pergantian tahun selalu terjadi di
penghujung musim panas (sekitar bulan September, ketika matahari melewati semenanjung
Arab dari utara ke selatan). Kalender in tidak memakai angka tahun; tahun-tahun
disandarkan pada peristiwa tertentu yang dapat dijadikan pengingat. Seperti
tahun gajah, tahun kesedihan dan lain-lain. Bilangan bulan dalam setahun 12 dan
13, bilangan bulan 12 untuk tahun pendek dan 13 untuk tahun panjang,
sebagaimana umumnya kalender luni-solar yakni untuk menyesuaikan siklus bulan
dan siklus musim.Pada tahun panjang, bulan ke-13 ditambahkan setelah bulan
ke-12.[10]
Nama-nama bulan disesuaikan
dengan musim dan keadaan tertentu. Dalam tradisi bangsa Arab, terdapat
kebiasaan ketika menamai sebuah bulan. Mereka senantiasa mengaitkannya dengan
fenomena atau momentum tertentu. Seperti penamaan bulan Syawwal, yang diambil dari akar kata Syaul yang
memiliki arti mengangkat. Karena di bulan ini pada umumnya unta-unta orang Arab
sedang memasuki masa kawin. Di mana setiap kali menjelang perkawinan, unta
memiliki kebiasaan mengangkat ekornya. Fenomena inilah yang mendorong orang
Arab menyebut bulan ini dengan nama Syawwal (yang banyak mengangkatnya).[11]
Sedangkan bulan setelah Syawwal, disebut dengan Dzulqa’dah,
secara literal berarti yang memiliki posisi duduk, karena pada masa ini
orang Arab umumnya sedang mempersiapkan diri untuk berangkat menunaikan haji.
Mereka mendudukkan pantat mereka di atas kendaraaan, karena itulah muncul nama
dzulqa’dah ini. Ibnu Manzhur dalam Lisan Al-Arabnya menyebutkan alasan penamaan
tersebut adalah karena orang Arab banyak yang duduk dan istirahat dari masa
perang, berseteru, dan mencari rumput karena datangnya bulan ibadah yang di
dalamnya dilarang perang dan perbuatan buruk lainnya. Bulan berikutnya disebut Dzulhijjah,
artinya yang memiliki haji. Karena bulan ini adalah, bulan menunaikan ibadah
haji. Sedang Muharram arti literalnya adalah yang dimulyakan atau
diharamkan. Karena, memang orang Arab memulyakan bulan ini untuk memulyakan dan
mengagungkan Allah. Sebagai bentuk pengagungan, semua suku Arab, kecuali suku
Khast’am dan Thayyi’ menghentikan peperangan. Mereka mengharamkan perang pada
bulan ini. Bulan berikutnya dinamakan Shafar. Pada bulan ini peperangan
antar suku sudah dimulai kembali. Mereka meninggalkan rumah-rumah suku yang
mereka serang dalam keadaan kosong karena hartanya dirampas. Dalam bahasa Arab,
disebut Shufr yang bermakna kosong. Sedang, penamaan musim semi
dengan nama Rabi’ karena bumi sedang memasuki musim semi. Ketika
musim semi, banyak turun hujan. Dari dua bulan yang dipenuhi dengan hujan,
bagian pertama dinamakan Rabi’ul Awwal dan yang kedua disebut Rabi’Ats-Tsani.
Sedang bulan Jumada, baik Al-Ula maupun Ats-Tsaniyah
berasal dari kata Jamuda yang artinya mengeras. Karena, pada
bulan ini, air berubah jadi keras karena masuk musim dingin. Bulan ini disusul
bulan Rajab yang artinya mengagungkan. Karena, pada bulan ini, mereka
mengagungkannya dengan cara berhenti perang. Atau karena waktu itu mereka
gunakan untuk memagari tanaman yang baru mereka tanam dengan duri agar orang
lain takut dan tidak mengganggunya sebagaimana pernyataan Al-Jamal. Dengan
demikian, berarti ia berasal dari kata yang semakna. Sinonim dengan Haaba
yang berarti takut. Sedang, Sya’ban adalah bulan saat tanamam mereka
mengeluarkan cabang-cabangnya yang antara satu cabang dengan yang lainnya
saling terpisah. Ini berarti diambil dari kata Asy-Sya’b yang
berarti memisahkan. Selanjutnya Ramadhan berasal dari kata Al-Ramadhu
/ Al-Ramdhaa’u (sangat panas). Nama ini diambil orang Arab karena pada
saat memilih nama untuk bulan ini, cuaca sedang berada pada puncak panas.[12] Bulan-bulan itu dirinci
sebagai berikut: bulan pertama adalah Muharram, kemudian Shafar,Rabi’ul Awwal,
Rabi’uts Tsani, Jumadal Ula, Jumadats Tsaniyah, Rajab, Sya’ban, Ramadhan,
Syawwal, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah. Sedangkan bulan ketigabelas yang
ditambahkan di setiap penghujung tahun kabisat disebut dengan bulan Nasi’.[13]
Hitungan
pekan sudah ada walaupun secara implisit, diketahui dari penggunaan 7 nama-nama
hari. Betul, secara implisit 7 nama hari ini membentuk pengelompokan tersendiri
yang bebas terhadap pengelompokan lain yaitu bulan. Hari yang 7 tersebut
dinamai dengan bilangan urutan, tentu saja dalam bahasa Arab. Nama-nama hari
Kalender Arab Pra-Islam yaitu:[14]
Urutan
|
Urutan Bahasa Arab
|
Nama Hari Arab
|
Satu
|
Wahidun / Ahadun
|
Al-Ahad
|
Dua
|
Itsnaini
|
Al-Itsnaini
|
Tiga
|
Tsalatsatun
|
Ats-Tsalatsa
|
Empat
|
Arba’atun
|
Al- Arbia’
|
Lima
|
Khamsatun
|
Al- Khamis
|
Enam
|
Sittatun
|
As-Sadis (?)
|
Tujuh
|
Sab’atun
|
As-Sabt
|
Ø
Kalender Islam
Kalender bulan-matahari yang berlaku di
semenanjung Arab ternyata menimbulkan kekacauan. Masing-masing suku menetapkan
tahun kabisatnya sendiri-sendiri. Hal ini menjadi dalih dan pembenaran untuk
menyerang suku lain di bulan Muharram dengan alasan, bulan itu adalah bulan
Nasi’ menurut perhitungan mereka.[15]
Setelah turun wahyu kepada Nabi Muhammad
saw, kalender bulan-matahari diubah menjadi kalender bulan. Satu tahun terdiri
dari duabelas bulan, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, Surat At-Taubah
ayat 36:
”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi
Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan
langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang
lurus, maka janganlah menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan
perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu
semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa”[16]
Dalam
ayat di atas Allah lebih mengkhususkan ayat tersebut untuk Tahun Qomariyah yang
di dalamnya terdapat bulan-bulan haram. Berdasarkan beberapa tafsir,
empat bulan tersebut adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.Yang
didalamnya tidak diperkenankan menganiaya diri sendiri dengan mengerjakan
perbuatan yang dilarang, seperti melanggar kehormatan bulan itu dengan
mengadakan peperangan.[17]
Sistem penanggalan sudah diubah dari sistem
luni-solar menjadi sistem lunar. Meskipun begitu, nama-nama bulan tetap tak
berubah karena sudah terlanjur populer
di masyarakat. Lagipula, nama-nama ini tidak mengandung unsur
kemusyrikan. Dengan diberlakukannya kalender bulan, ramadhan tak lagi selalu
jatuh di musim panas, setiap tahun akan selalu bergeser.[18] Begitu juga,hari dalam
kalender Hijriyah ada 7, ketujuh nama hari itu sama dengan nama-nama hari dalam
kalender Arab Pra-Islam, kecuali hari ke-enam diganti dengan Jum’at.[19]
E. Ulasan Hadis
Penegasan
Rasulullah bahwa satu tahun terdiri dari dua belas bulan adalah pandangan
saintis yang penuh kemukjizatan (magnificience). Sebab tahun bintang
apapun dalam tata surya ini adalah kurun waktu yang dilalui selama perputaran
penuhnya mengelilingi matahari. Lama kurun waktu ini ditentukan oleh lama rata-rata radius orbit, yaitu
rata-rata kejauhan planet dari matahari. Kecepatan pergerakan benda langit dan
kedua fakta ini sudah eksis sejak awal mula penciptaan langit dan bumi.
Sehingga perubahan apa pun yang terjadi dilangit dan bumi akan menimbulkan
guncangan besar dalam sistem tata surya yang sudah sejak bertriliun-triliun
tahun berjalan ajeg dengan satu sistem sebagaimana yang kita lihat
sekarang ini.[20]
Informasi
tentang perputaran waktu yang disampaikan Nabi Muhammad SAW jelas merupakan
wahyu Allah kepada nabi dan rasul terakhir. Karena bangsa Arab kala itu membuat
rekayasa tipuan tahun, yaitu dengan mengeluarkan satu bulan dari bulan-bulan
suci (haram) dari kesuciannya agar mereka dapat menghalalkan perang didalamnya,
padahal perang adalah sesuatu yang terlarang didalam bulan tersebut. Sehingga siklus bulan merekapun mengalami
kekacauan dan tumpang-tindih satu sama lain. Maka Allah pun kemudian mewahyukan
kepada Nabi akan hakikat bulan-bulan ini yang diatur oleh posisi bulan dan
matahari, juga oleh perputaran bulan mengelilingi matahari dan perputaran bumi
mengelilingi matahari.[21]
Ungkapan yang
digunakan Rasulullah SAW dalam sabdanya: Sesungguhnya zaman telah berputar
sebagaimana kondisinya ketika Allah menciptakan langit dan bumi, mengandung
isyarat implisit dan lembut tentang adanya perputaran alam dan seluruh benda
yang ada disana. Karena kata istadara disamping mengandung makna kembali
dan memulai juga mengindikasikan fakta perputaran dan konglomerasi alam
semesta.[22]
Hal tersebut
lebih dikuatkan oleh fakta bahwa waktu bukanlah benda materi yang berputar,
tetapi waktu adalah masa yang berlalu. Perputaran waktu merupakan isyarat akan
adanya perputaran alam semesta dan perputaran semua benda angkasa beserta
satelit-satelit didalamnya.[23]
Sabda Nabi
Muhammad SAW: Sebagaimana kondisinya ketika Allah menciptakan langit dan
bumi, menegaskan konstansi kondisi tersebut seiring perjalanan panjang
sejarah memahami alam minimal lebih kurang sepuluh miliar dan insya Allah akan
tetap demikian hingga hari kiamat.[24]
Dilansirnya
sejumlah data ilmiah dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang ada di hadapan kita
ini dan ia belum dikenal sama sekali di Jazirah Arab pada masa pewahyuan,
bahkan beberapa abad setelah itu, tidak lain bersumber dari Allah swt. Sehingga
data ilmiah ini merupakan bukti bagi siapapun yang hidup pada era sains dan
teknologi sekarang ini, muslim maupun nonmuslim bahwa Nabi kita Muhammad, putra
Abdullah, menerima wahyu dan diajar oleh Allah swt. Beliau adalah nabi dan
rasul penutup, tiada nabi dan rasul lagi setelahnya, tiada mengatakan sesuatu
berdasarkan hawa nafsunya sendiri melainkan wahyu yang diwahyukan oleh Allah
swt.[25]
Semoga shalawat
kesejahteraan, salam kedamaian, dan keberkahan selalu tercurahkan kepada beliau
beserta keluarga, sahabat dan mereka yang mengikuti petunjuknya dan berdakwah
dijalan-Nya sampai kiamat kelak. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
F. Kesimpulan
Sistem kalender telah digunakan oleh manusia sejak
jaman dahulu kala, meskipun perhitungan waktunya belum dilakukan dengan sistem
dan peralatan yang modern. Hampir semuanya berdasar pada salah satu atau
keduanya dari dua daur astronomis, yaitu: daur fase bulan (lunasi), daur musim
(periode bumi mengelilingi matahari). Dan dari masing-masing sistem kalender
tersebut jumlah bulan dalam satu tahun
adalah dua belas, sebagaimana yang diungkapkan dalam Al-qur’an dan sunnah
Rasulullah saw. Dan hal ini akan tetap
sampai hari kiamat. Karena sebagaimana bangsa Arab yang pernah membuat rekayasa tipuan tahun, yaitu
dengan mengeluarkan satu bulan dari bulan-bulan suci (haram) dari kesuciannya
agar mereka dapat menghalalkan perang didalamnya, maka siklus bulan merekapun mengalami kekacauan dan tumpang-tindih satu sama
lain. SabdaRosululah tersebut mengandung
isyarat implisit dan lembut tentang adanya perputaran alam dan seluruh benda
yang ada di sana.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abi Dawud (Indonesia: Maktabah Dahlan, tt)
Abul Husain bin Muslim, Al-Jami’us
Shohih (Beirut-Libanon: Darul Fikr, tt)
Fakultas Syari’ah IAIN Wali
Songo, Penyatuan Kalender Hijriyah, Sebuah Upaya Pencarian Kriteria Hilal
yang Obyektif Ilmiah (Semarang: Program Pasca Sarjana IAIN Wali Songo,
2012)
Forum Kalimasada, Kearifan
Syariat , Menguak Rasionalitas Syariat dari Perspektif Filosofis, Medis, dan
Historis (Surabaya: Khalista, 2009)
Ibnu Hajar Al-Atsqalaniy, Fathul
Bari, Syarah Shohih Al-Bukhori (Beirut-Libanon: Darul Fikr, tt)
M. Ma’muri Abd.Shomad, Perbandingan
Tarikh, Kalender Masehi, Hijriyah dan Jawa (Jombang: 2005)
Ruswa Darsono, Penanggalan
Islam, Tinjauan Sistem, Fiqih dan Hisab Penanggalan (Yogyakarta: Labda
Press, 2010)
Slamet Hambali, Almanak
Sepanjang Masa,Sejarah Sistem Penanggalan Masehi, Hijriyah dan Jawa
(Semarang: Program Pasca Sarjana IAIN Wali Songo, 2011)
Zaghlul An-Najjar, Sains
dalam Hadis, Mengungkap Fakta Ilmiah dari Kemukjizatan Hadis Nabi (Jakarta:
Azmah, 2011)
[1] Ibnu Hajar Al-Atsqalaniy, Fathul
Bari, Syarah Shohih Al-Bukhori (Beirut-Libanon: Darul Fikr, tt),Juz.vi.
hal.293
[4] Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abi Dawud
(Indonesia: Maktabah Dahlan, tt),Bab: Asyhurul Hurum, hal.195
[5] M. Ma’muri Abd.Shomad, Perbandingan Tarikh,
Kalender Masehi, Hijriyah dan Jawa (Jombang: 2005), hal.49
[8] Ruswa Darsono, Penanggalan Islam, Tinjauan
Sistem, Fiqih dan Hisab Penanggalan (Yogyakarta: Labda Press, 2010), hal.28
[9] Fakultas Syari’ah IAIN Wali Songo, Penyatuan Kalender
Hijriyah, Sebuah Upaya Pencarian Kriteria Hilal yang Obyektif Ilmiah
(Semarang: Program Pasca Sarjana IAIN Wali Songo, 2012), hal.135
[11] Forum
Kalimasada, Kearifan Syariat , Menguak Rasionalitas Syariat dari Perspektif
Filosofis, Medis, dan Historis (Surabaya: Khalista, 2009), hal.256
[20] Zaghlul
An-Najjar, Sains dalam Hadis, Mengungkap Fakta Ilmiah dari Kemukjizatan
Hadis Nabi (Jakarta: Azmah, 2011), hal.95
Tidak ada komentar:
Posting Komentar