Senin, 26 Mei 2014

Syafaq

SYAFAQ

BAB  I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Kita  sebagai muslim, maka seharusnya mengetahui waktu-waktu shalat karena allah berfirman : Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban yang ditetapkan waktunya bagi kaum mukminin.” (An-Nisa`: 103)
Ada beberapa hadits yang merangkum penyebutan waktu-waktu shalat. Di antaranya Hadits yang bersumber dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ لِلصَّلاَةِ أَوَّلاً وَآخِرًا، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ صَلاَةِ الظُّهْرِ حِيْنَ تَزُوْلُ الشَّمْسُ وَآخِرُ وَقْتِهَا حِيْنَ يَدْخُلُ وَقْتُ الْعَصْرِ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ صَلاَةِ الْعَصْرِ حِيْنَ يَدْخُلُ وَقْتَهَا وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ تَصْفَرُّ الشَّمْسُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْمَغْرِبِ حِيْنَ تَغْرُبُ الشَّمْسُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ يَغِيْبُ الْأُفُقُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ حِيْنَ يَغِيْبُ الْأُفُقُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ يَنْتَصِبُ اللَّيْلُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْفَجْرِ حِيْنَ يَطْلُعُ الْفَجْرُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ  
Artinya : “Sesungguhnya shalat itu memiliki awal dan akhir waktu. Awal waktu shalat zhuhur adalah saat matahari tergelincir dan akhir waktunya adalah ketika masuk waktu ashar. Awal waktu shalat ashar adalah ketika masuk waktunya dan akhir waktunya saat matahari menguning. Awal waktu shalat maghrib adalah ketika matahari tenggelam dan akhir waktunya ketika tenggelam ufuk. Awal waktu shalat isya adalah saat ufuk tenggelam dan akhir waktunya adalah pertengahan malam. Awal waktu shalat fajar adalah ketika terbit fajar dan akhir waktunya saat matahari terbit.”[1]

Pada pembahasan mengenai waktu-waktu shalat ini, penulis akan membahas  tentang waktu shalat yang berhubung dengan syafaq.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan syafaq?
2.      Awal dan Akhir Waktu Shalat Maghrib
3.      Awal Waktu Shalat Isya

C.    Tujuan penelitian
Dengan mengetahui masuknya waktu shalat dan batas waktu shalat  maka tidak akan merasa ragu dalam melaksakan ibadah kepada Allah SWT, karna shalat itu adalah salah satu tanda pengabdian kita kepada  sang khaliq.



















BAB II
PEMBAHASAN

1  Pengertian Syafaq
Ulama berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan syafaq yang merupakan tanda habisnya waktu maghrib dan masuknya waktu isya. Mayoritas mereka berpendapat bahwa syafaq itu adalah warna kemerahan di langit sebagaimana pendapat yang diriwayatkan dari ‘Umar ibnul Khaththab, ‘Ali bin Abi Thalib, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, ‘Ubadah ibnush Shamit, dan Syaddad bin Aus. Demikian pula pendapat Mak-hul dan Sufyan Ats-Tsauri. Ibnul Mundzir menghikayatkan pendapat ini dari Ibnu Abi Laila, Malik, Ats-Tsauri, Ahmad, Ishaq, Abu Yusuf, Muhammad bin Al-Hasan, Abu Tsaur dan Dawu
Sebagian lagi berpandangan syafaq adalah warna putih, seperti pendapat Abu Hanifah, Zufar dan Al-Muzani. Diriwayatkan pula hal ini dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ‘Umar bin Abdil Aziz, Al-Auza’i, dan dipilih oleh Ibnul Mundzir.[2]
Namun yang rajih (kuat) adalah pendapat pertama, karena pemaknaan syafaq dengan warna kemerahan di langit itulah yang dikenal di kalangan orang-orang Arab, dan ini disebutkan dalam syair-syair mereka. Demikian pula penjelasan yang diberikan oleh para ahli bahasa seperti Al-Azhari. Ia berkata, “Syafaq menurut orang Arab adalah humrah (warna kemerah-merahan di langit).[3]
Ibnu Faris berkata dalam Al-Mujmal: Al-Khalil berkata: “Syafaq adalah humrah yang muncul sejak tenggelamnya matahari sampai waktu isya yang akhir.”[4]
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan surat Al-Insyiqaq memilih pendapat yang menyatakan bahwa yang dinamakan dengan syafaq adalah humrah. Beliau menukilkan pendapat ini dari sejumlah besar ahlul ilmi.[5]
Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullahu berkata dalam Subulus Salam (2/31): “Saya katakan, ‘Pembahasan ini adalah pembahasan dari sisi bahasa. Yang menjadi rujukan dalam hal ini tentunya ahli bahasa (Arab), sementara Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma termasuk ahli bahasa dan orang Arab (mengerti bahasa Arab) yang murni, maka ucapannya merupakan hujjah1, walaupun ucapannya itu hukumnya mauquf.”[6]
Dalam Al-Qamus disebutkan, syafaq adalah humrah di ufuk, dari tenggelamnya matahari sampai isya dan mendekati isya atau mendekati ‘atamah.
2.  Awal dan Akhir Waktu Shalat Maghrib
Awal waktu maghrib adalah ketika matahari tenggelam. Yang teranggap dalam tenggelamnya matahari adalah hilangnya bulatannya, dan ini jelas sekali di daerah gurun. Adapun di tempat yang memiliki bangunan dan di puncak-puncak gunung, yang teranggap adalah tidak terlihat sedikitpun cahaya matahari di atas ujung dinding dan puncak-puncak gunung serta telah datang gelap dari arah timur. Adapun akhir waktu maghrib adalah saat hilangnya syafaq [7]
Hal ini ditunjukkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash :
وَوَقْتُ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ إِذَا غَابَتِ الشَّمْسُ مَا لَمْ يَسْقُطِ الشَّفَقُ
“Waktu shalat maghrib adalah bila matahari telah tenggelam selama belum jatuh/hilang syafaq.” [8]
Demikian pula dalam hadits Abu Hurairah :
وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْمَغْرِبِ حِيْنَ تَغْرُبُ الشَّمْسُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ يَغِيْبُ الْأُفُقُ
“Awal waktu shalat maghrib adalah ketika matahari tenggelam dan akhir waktunya ketika tenggelam ufuk.” [9]
Salamah ibnul Akwa’  berkata:
كانَ يُصَلِّي الْمَغْرِبَ إِذَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ وَتَوَارَتْ بِالْحِجَابِ  أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ
Rasulullah SAW mengerjakan shalat maghrib ketika matahari tenggelam dan tersembunyi/tertutup dari pandangan.” [10]
Dalam permasalahan awal waktu ini terjadi kesepakatan di kalangan ulama. Namun untuk akhir waktu maghrib, ada perbedaan pendapat.
Sebagian ahlul ilmi berpendapat bahwa maghrib hanya memiliki satu waktu, dengan dalil hadits Jibril yang mengimami Rasulullah SAW dalam dua hari. Dalam dua hari tersebut Jibril mengerjakan shalat maghrib hanya di satu waktu (hari kedua sama waktunya dengan hari pertama) yaitu ketika matahari tenggelam, saat orang yang berpuasa berbuka dari puasanya. Ini merupakan pendapat Ibnul Mubarak, Malik, Al-Auza’i, dan Asy-Syafi’i.[11]
Namun hadits-hadits yang shahih menunjukkan bahwa waktu shalat maghrib dipanjangkan sampai hilangnya syafaq. Ini adalah pendapat lama (qadim) dari Al-Imam Asy-Syafi’i . Pendapat inilah yang dishahihkan oleh sekelompok Syafi’iyyah dan dipilih serta dibela oleh An-Nawawi  dalam Al-Majmu’. Ini juga merupakan pendapat Ats-Tsauri, Abu Hanifah, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan ashabur ra`yi. Sementara hadits Jibril hanyalah menunjukkan waktu utama dikerjakannya shalat maghrib dan sebagai pengabaran. [12]
Ibnu Hazm mengomentari pendapat yang mengatakan maghrib hanya satu waktunya dengan mengatakan, “Ini merupakan pendapat yang jelas/tampak sekali kontradiksinya, tanpa ada burhan (dalil).” Ibnu Hazm juga mengatakan bahwa pendapat ini batal dari beberapa sisi.[13]
Rafi’ ibnu Khadij  mengabarkan:
كُنَّا نُصَلِّي الْمَغْرِبَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ فَيَنْصَرِفُ أَحَدُنَا وَإِنَّهُ لَيُبْصِرُ مَوَاقِعَ نَبْلِه
 Kami shalat maghrib bersama Rasulullah SAW, lalu salah seorang dari kami berlalu (setelah mengerjakan shalat maghrib) dan ia masih bisa melihat tempat jatuhnya anak panahnya.” [14]
Kata Al-Imam An-Nawawi “Makna hadits ini adalah Rasulullah SAW menyegerakan shalat maghrib di awal waktunya dengan semata-mata tenggelamnya matahari, hingga kami selesai dari shalat dan salah seorang dari kami melempar anak panahnya dari busurnya, maka ia masih dapat melihat tempat jatuhnya anak panah tersebut, karena masih adanya cahaya/belum gelap gulita.”[15]Disenangi bersegera melaksanakan shalat maghrib ini sebelum munculnya bintang-bintang. Nabi SAW bersabda:
لاَ تَزَالُ أُمَّتِي بِخَيْرٍ– أَوْ عَلَى الْفِطْرَةِ- مَا لَمْ يُؤَخِّرُوا الْمَغْرِبَ حَتَّى تَشْتَبِكَ النُّجُوْمُ
Terus menerus umatku dalam kebaikan –atau: di atas fithrah– selama mereka tidak mengakhirkan shalat maghrib hingga munculnya bintang-bintang.” [16]

Adapun kelompok sesat Rafidhah justru menyelisihi hadits di atas. Mereka menganggap mustahab mengakhirkan shalat maghrib sampai munculnya bintang-bintang. [17]
Namun penyegeraan ini tidaklah berarti bahwa setelah adzan maghrib langsung iqamah dan tidak boleh mengerjakan shalat dua rakaat sebelumnya. Karena justru Nabi n pernah bersabda:
بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ، بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ، لِمَنْ شَاءَ
Di antara dua adzan2 ada shalat, di antara dua adzan ada shalat, bagi siapa yang mau mengerjakannya.” [18]

Dalam satu riwayat disebutkan Rasulullah SAW bersabda:
صَلُّوْا قَبْلَ الْمَغْرِبِ رَكْعَتَيْنِ، صَلُّوْا قَبْلَ الْمَغْرِبِ رَكْعَتَيْنِ، لِمَنْ شَاءَ
“Shalatlah sebelum maghrib dua rakaat, shalatlah sebelum maghrib dua rakaat, bagi siapa yang mau mengerjakannya.” [19]

Rasulullah SAW mengatakan: “Bagi siapa yang mau mengerjakannya”, karena beliau tidak suka orang-orang menjadikannya sebagai suatu sunnah yang ditetapkan.

3. Waktu Shalat Isya’
Tidak ada perbedaan bahwa shalat Isya’ dimulai ketika syafaq menghilang, akan tetapi para ulama’ berbeda pendapat mengenai arti syafaq[20].
Adapun waktu akhir shalat Isya’ sampai sampai terbit fajar kedua (Fajar Shadiq) dan waktu ini adalah waktu dharurah (gawat) karena Rasulullah saw bersabda :
ليس في النوم تفريط إنما التفريط من لم يصل الصلاة حتي يجيء وقت الصلاة الأخري
Ketiduran tidak dianggap meremehkan (shalat), akan tetapi orang yang meremehkan ialah orang yang tidak segera menunaikan shalatnya hingga tiba waktu shalat yang lainnya (setelahnya) (HR. Muslim)

Hadis diatas menjelaskan bahwa waktu-waktu shalat wajib berakhir sampai masuk waktu shalat berikutnya kecuali shalat subuh[21], karena Rasulullah saw bersabda :
من ادرك ركعة من الصبح قبل أن بطلع الشمس فقد أدرك الصبح
Barang siapa yang mendapat satu rekaat shalat subuh sebelum Matahari terbit maka dia sudah mendapatkan shalat Subuh” (HR. Muslim)

Dan para ulama’ berbeda pendapat pada waktu akhir ikhtiyari (memilih ketika tidakada urusan penting):
Pendapat pertama : Akhir waktu ikhtiyari shalat Isya’ pada sepertiga malam pertama, ini pendapat Umar bin Khattab, Abu Hurairah, Umar bin Abdul Aziz dan Malik. Mereka beralasan dengan hadis Jibril bahwa Nabi saw shalat Isya’ pada hari kedua pada sepertiga malam, dan Jibril berkata : “Waktu shalat antara kedua waktu ini” dan hadis dari Aisyah bahwa Rasulullah saw bersabda :
صلوا مابين أن يغيب الشقف إلي ثلث الليل
“Shalat (Isya’) kalian antara hilangnya safaq (warna merah) sampai sepertiga malam” (HR. Nasa’i)

Pendapat kedua : Berakhir pada separoh malam, ini pendapat Tsauri, Ibnu Mubarak dan Syafi’i.
Dan sabda Rasulullah saw :
لولا ضعف الضعيف وسقم السقيم لأمرت بهذه الصلاة أن تؤخر إلي شطر الليل
“Kalaulah bukan karena orang yang lemah dan orang yang sakit, Sungguh aku akan memerintahkan untuk mengakhirkan shalat ini sampai separoh malam” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Nasa’i)

Pendapat yang utama adalah pendapat yang pertama, akan tetapi jika diakhirkan hingga separoh malam tidak apa-apa.[22]
Dalam Al-Qamus disebutkan, “Malam adalah dari tenggelamnya matahari sampai terbitnya fajar shadiq atau terbitnya matahari.” Adapun dalam istilah syar’i, secara zahir malam itu berakhir dengan terbitnya fajar. Berdasarkan hal ini kita mengetahui bahwa tengah malam itu diukur dari tenggelamnya matahari sampai terbitnya fajar. Pertengahan waktu antara keduanya itulah yang disebut tengah malam sebagai akhir waktu shalat isya. Adapun setelah tengah malam ini bukanlah waktu pelaksanaan shalat fardhu, tapi waktu untuk melaksanakan shalat sunnah/nafilah seperti tahajjud. (Asy-Syarhul Mumti’ 2/115)








BAB III
PENUTUP

A.     KESIMPULAN
1.      Mayoritas Mereka Berpendapat Bahwa Syafaq Itu Adalah Warna Kemerahan Di Langit Sebagaimana Pendapat Yang Diriwayatkan Dari ‘Umar Ibnul Khaththab, ‘Ali Bin Abi Thalib, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah,
2.      Shalat Maghrib Di Awal Waktunya Dengan Semata-Mata Tenggelamnya Matahari, Hingga Kami Selesai Dari Shalat Dan
3.      Salah Seorang Dari Kami Melempar Anak Panahnya Dari Busurnya, Maka Ia Masih Dapat Melihat Tempat Jatuhnya Anak Panah Tersebut
4.      Awal waktu shalat Isya adalah saat tenggelamnya syafaq dan akhir waktunya berbeda pendapat ada yang batasnya pertengahan lah malam,dan ada batasnya setelah tebit fajar shadiq.











DAFTAR PUSTAKA
Abdul Waahab Abdul lathif, Sunan At-Tirmidzi, Abwaabus shalah, Al Jaami'  juz 1,
Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al Maqdisi, Al Mughni, (Kairo Mesir: Dar al Hadis 1425 H/2004), cet. tdk ada, Juz. I,
Al-Majmu’ 3/44, 45, At-Tahdzib lil Baghawi,
Al-Muhalla,
Ash Subulus Salam
Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Sunan Abu Dawud, Baabun Fil Mawaaqiit, Maktabah dahlan Indonesia
Shahih Bukhari Dan Shahih Muslim
Tafsir Al-Qur`anil Azhim,


 



[1] Abdul Waahab Abdul lathif, Sunan At-Tirmidzi no. 151,Abwaabus shalah, Al Jaami'  juz 1,hal.101
[2] Al-Majmu’ 3/44, 45, At-Tahdzib lil Baghawi, 2/10, Asy-Syarhul Kabir lil Rafi’i 1/372, Nailul Authar 1/456
[4] Ibid Al-Majmu’, 3/45
[5] Tafsir Al-Qur`anil Azhim, 8/279
[6] Imam Al Shan’ani,  Ash Subulus Salam (2/31)
[7] (Al-Majmu’ 3/33, Asy-Syarhul Kabir lil Rafi’i 1/370, Raudhatu Ath-Thalibin 1/208).
[8] (HR. Muslim no. 1388)
[9] (HR. At-Tirmidzi no. 151 dan selainnya. Al-Imam Al-Albani berkata:
“Sanadnya shahih menurut syarat Al-Bukhari dan Muslim”, Ats-Tsamarul Mustathab 1/56 dan Ash-Shahihah no. 1696)
[10] (HR. Al-Bukhari no. 561 dan Muslim no. 1438)
[11] Al-Majmu’ 3/33, At-Tahdzib lil Baghawi 2/10, Asy-Syarhul Kabir lil Rafi’I 1/370, Al-Mughni Kitab Ash-Shalah, Mas`alah Wa Idza Ghabatisy Syamsu Wajabatil Maghrib…, Al-Mabsuth 1/134, Nailul Authar 1/447 ).
[12] (Al-Majmu’ 3/34, At-Tahdzib lil Baghawi 2/10, Raudhatu Ath-Thalibin 1/209, Al-Mughni Kitab Ash-Shalah, Mas`alah Wa Idza Ghabatisy Syamsu Wajabatil Maghrib…, Ats-Tsamarul Mustathab 1/60)
[13] (Al-Muhalla, 2/200,203)
[14] (HR. Al-Bukhari no. 559 dan Muslim no. 1439)
[15] (Al-Minhaj, 5/138)
[16] (HR. Ahmad 4/147, Abu Dawud no. 418. Al-Imam Al-Albani berkata, “Hadits ini shahih dari banyak jalan.” Lihat Ats-Tsamarul Mustathab 1/61)
[17] (Al-Hawil Kabir 2/19, Nailul Authar 1/448)
[18] (HR. Al-Bukhari no. 624 dan Muslim no. 1937)
[19](HR. Al-Bukhari no. 1183)
[20] Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al Maqdisi, Al Mughni, (Kairo Mesir: Dar al Hadis 1425 H/2004), cet. tdk ada, Juz. I, hal. 478
[21] Imam Muhyidin an Nawawi, al Minhaj Syarh Shahih Muslim, (Beirut, Libanon: Dar Mufarriqah 1420 H-1999 M), cet. Ke-VI, juz. III, hal. 192
[22] Ibit. hal. 482

Tidak ada komentar:

Posting Komentar