SYAFAQ
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Kita sebagai muslim, maka seharusnya mengetahui
waktu-waktu shalat karena allah berfirman : Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ
الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban
yang ditetapkan waktunya bagi kaum mukminin.” (An-Nisa`: 103)
Ada beberapa
hadits yang merangkum penyebutan waktu-waktu shalat. Di antaranya Hadits yang
bersumber dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ
لِلصَّلاَةِ أَوَّلاً وَآخِرًا، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ صَلاَةِ الظُّهْرِ حِيْنَ
تَزُوْلُ الشَّمْسُ وَآخِرُ وَقْتِهَا حِيْنَ يَدْخُلُ وَقْتُ الْعَصْرِ، وَإِنَّ
أَوَّلَ وَقْتِ صَلاَةِ الْعَصْرِ حِيْنَ يَدْخُلُ وَقْتَهَا وَإِنَّ آخِرَ
وَقْتِهَا حِيْنَ تَصْفَرُّ الشَّمْسُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْمَغْرِبِ حِيْنَ
تَغْرُبُ الشَّمْسُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ يَغِيْبُ الْأُفُقُ، وَإِنَّ
أَوَّلَ وَقْتِ الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ حِيْنَ يَغِيْبُ الْأُفُقُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا
حِيْنَ يَنْتَصِبُ اللَّيْلُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْفَجْرِ حِيْنَ يَطْلُعُ
الْفَجْرُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ
Artinya : “Sesungguhnya shalat itu memiliki
awal dan akhir waktu. Awal waktu shalat zhuhur adalah saat matahari tergelincir
dan akhir waktunya adalah ketika masuk waktu ashar. Awal waktu shalat ashar
adalah ketika masuk waktunya dan akhir waktunya saat matahari menguning. Awal
waktu shalat maghrib adalah ketika matahari tenggelam dan akhir waktunya ketika
tenggelam ufuk. Awal waktu shalat isya adalah saat ufuk tenggelam dan akhir
waktunya adalah pertengahan malam. Awal waktu shalat fajar adalah ketika terbit
fajar dan akhir waktunya saat matahari terbit.”[1]
Pada pembahasan
mengenai waktu-waktu shalat ini, penulis akan membahas tentang waktu shalat yang
berhubung dengan syafaq.
B.
Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan syafaq?
2. Awal dan Akhir
Waktu Shalat Maghrib
3. Awal Waktu Shalat
Isya
C. Tujuan penelitian
Dengan mengetahui masuknya waktu shalat dan batas waktu
shalat maka tidak akan merasa ragu dalam
melaksakan ibadah kepada Allah SWT, karna shalat itu adalah salah satu tanda
pengabdian kita kepada sang khaliq.
BAB II
PEMBAHASAN
1 Pengertian Syafaq
Ulama berbeda
pendapat tentang apa yang dimaksud dengan syafaq yang merupakan tanda
habisnya waktu maghrib dan masuknya waktu isya. Mayoritas
mereka berpendapat bahwa syafaq itu adalah warna kemerahan di langit
sebagaimana pendapat yang diriwayatkan dari ‘Umar ibnul Khaththab, ‘Ali bin Abi
Thalib, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, ‘Ubadah ibnush Shamit, dan
Syaddad bin Aus. Demikian pula pendapat Mak-hul dan Sufyan Ats-Tsauri. Ibnul
Mundzir menghikayatkan pendapat ini dari Ibnu Abi Laila, Malik, Ats-Tsauri,
Ahmad, Ishaq, Abu Yusuf, Muhammad bin Al-Hasan, Abu Tsaur dan Dawu
Sebagian lagi
berpandangan syafaq adalah warna putih, seperti pendapat Abu Hanifah, Zufar dan
Al-Muzani. Diriwayatkan pula hal ini dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu,
‘Umar bin Abdil Aziz, Al-Auza’i, dan dipilih oleh Ibnul Mundzir.[2]
Namun yang
rajih (kuat) adalah pendapat pertama, karena pemaknaan syafaq dengan warna
kemerahan di langit itulah yang dikenal di kalangan orang-orang Arab, dan ini
disebutkan dalam syair-syair mereka. Demikian pula penjelasan yang diberikan
oleh para ahli bahasa seperti Al-Azhari. Ia berkata, “Syafaq menurut orang Arab
adalah humrah (warna kemerah-merahan di langit).[3]
Ibnu Faris berkata dalam Al-Mujmal: Al-Khalil berkata: “Syafaq adalah
humrah yang muncul sejak tenggelamnya matahari sampai waktu isya yang akhir.”[4]
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan surat Al-Insyiqaq
memilih pendapat yang menyatakan bahwa yang dinamakan dengan syafaq adalah
humrah. Beliau menukilkan pendapat ini dari sejumlah besar ahlul ilmi.[5]
Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullahu berkata dalam Subulus Salam (2/31): “Saya
katakan, ‘Pembahasan ini adalah pembahasan dari sisi bahasa. Yang menjadi
rujukan dalam hal ini tentunya ahli bahasa (Arab), sementara Ibnu ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma termasuk ahli bahasa dan orang Arab (mengerti bahasa Arab)
yang murni, maka ucapannya merupakan hujjah1, walaupun ucapannya itu hukumnya
mauquf.”[6]
Dalam Al-Qamus disebutkan, syafaq adalah humrah di ufuk, dari tenggelamnya
matahari sampai isya dan mendekati isya atau mendekati ‘atamah.
2. Awal dan Akhir Waktu Shalat Maghrib
Awal waktu
maghrib adalah ketika matahari tenggelam. Yang teranggap dalam tenggelamnya
matahari adalah hilangnya bulatannya, dan ini jelas sekali di daerah gurun.
Adapun di tempat yang memiliki bangunan dan di puncak-puncak gunung, yang
teranggap adalah tidak terlihat sedikitpun cahaya matahari di atas ujung
dinding dan puncak-puncak gunung serta telah datang gelap dari arah timur.
Adapun akhir waktu maghrib adalah saat hilangnya syafaq [7]
Hal ini
ditunjukkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash :
وَوَقْتُ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ إِذَا غَابَتِ
الشَّمْسُ مَا لَمْ يَسْقُطِ الشَّفَقُ
“Waktu shalat maghrib adalah bila matahari
telah tenggelam selama belum jatuh/hilang syafaq.” [8]
Demikian pula dalam hadits Abu Hurairah :
وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْمَغْرِبِ حِيْنَ تَغْرُبُ
الشَّمْسُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ يَغِيْبُ الْأُفُقُ
“Awal waktu shalat maghrib adalah ketika
matahari tenggelam dan akhir waktunya ketika tenggelam ufuk.” [9]
Salamah ibnul Akwa’ berkata:
كانَ يُصَلِّي
الْمَغْرِبَ إِذَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ وَتَوَارَتْ بِالْحِجَابِ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ
Rasulullah SAW
mengerjakan shalat maghrib ketika matahari tenggelam dan tersembunyi/tertutup
dari pandangan.” [10]
Dalam
permasalahan awal waktu ini terjadi kesepakatan di kalangan ulama. Namun untuk
akhir waktu maghrib, ada perbedaan pendapat.
Sebagian ahlul
ilmi berpendapat bahwa maghrib hanya memiliki satu waktu, dengan dalil hadits
Jibril yang mengimami Rasulullah SAW dalam dua hari. Dalam dua hari tersebut
Jibril mengerjakan shalat maghrib hanya di satu waktu (hari kedua sama waktunya
dengan hari pertama) yaitu ketika matahari tenggelam, saat orang yang berpuasa
berbuka dari puasanya. Ini merupakan pendapat Ibnul Mubarak, Malik, Al-Auza’i,
dan Asy-Syafi’i.[11]
Namun
hadits-hadits yang shahih menunjukkan bahwa waktu shalat maghrib dipanjangkan
sampai hilangnya syafaq. Ini adalah pendapat lama (qadim) dari Al-Imam
Asy-Syafi’i . Pendapat inilah yang dishahihkan oleh sekelompok Syafi’iyyah dan
dipilih serta dibela oleh An-Nawawi dalam Al-Majmu’. Ini juga merupakan pendapat
Ats-Tsauri, Abu Hanifah, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan ashabur ra`yi. Sementara
hadits Jibril hanyalah menunjukkan waktu utama dikerjakannya shalat maghrib dan
sebagai pengabaran. [12]
Ibnu Hazm
mengomentari pendapat yang mengatakan maghrib hanya satu waktunya dengan
mengatakan, “Ini merupakan pendapat yang jelas/tampak sekali kontradiksinya,
tanpa ada burhan (dalil).” Ibnu Hazm juga mengatakan bahwa pendapat ini batal
dari beberapa sisi.[13]
Rafi’ ibnu Khadij mengabarkan:
كُنَّا نُصَلِّي الْمَغْرِبَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ
فَيَنْصَرِفُ أَحَدُنَا وَإِنَّهُ لَيُبْصِرُ مَوَاقِعَ نَبْلِه
“Kami
shalat maghrib bersama Rasulullah SAW, lalu salah seorang dari kami berlalu
(setelah mengerjakan shalat maghrib) dan ia masih bisa melihat tempat jatuhnya
anak panahnya.” [14]
Kata Al-Imam
An-Nawawi “Makna hadits ini adalah Rasulullah SAW menyegerakan shalat maghrib
di awal waktunya dengan semata-mata tenggelamnya matahari, hingga kami selesai
dari shalat dan salah seorang dari kami melempar anak panahnya dari busurnya,
maka ia masih dapat melihat tempat jatuhnya anak panah tersebut, karena masih
adanya cahaya/belum gelap gulita.”[15]Disenangi
bersegera melaksanakan shalat maghrib ini sebelum munculnya bintang-bintang.
Nabi SAW bersabda:
لاَ تَزَالُ أُمَّتِي بِخَيْرٍ– أَوْ عَلَى
الْفِطْرَةِ- مَا لَمْ يُؤَخِّرُوا الْمَغْرِبَ حَتَّى تَشْتَبِكَ النُّجُوْمُ
“Terus menerus umatku dalam kebaikan –atau:
di atas fithrah– selama mereka tidak mengakhirkan shalat maghrib hingga
munculnya bintang-bintang.” [16]
Adapun kelompok
sesat Rafidhah justru menyelisihi hadits di atas. Mereka menganggap mustahab
mengakhirkan shalat maghrib sampai munculnya bintang-bintang. [17]
Namun
penyegeraan ini tidaklah berarti bahwa setelah adzan maghrib langsung iqamah dan tidak boleh mengerjakan shalat dua rakaat
sebelumnya. Karena justru Nabi n pernah bersabda:
بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ، بَيْنَ كُلِّ
أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ، لِمَنْ شَاءَ
“Di antara dua adzan2 ada shalat, di antara
dua adzan ada shalat, bagi siapa yang mau mengerjakannya.” [18]
Dalam satu
riwayat disebutkan Rasulullah SAW bersabda:
صَلُّوْا قَبْلَ الْمَغْرِبِ رَكْعَتَيْنِ،
صَلُّوْا قَبْلَ الْمَغْرِبِ رَكْعَتَيْنِ، لِمَنْ شَاءَ
“Shalatlah sebelum maghrib dua rakaat,
shalatlah sebelum maghrib dua rakaat, bagi siapa yang mau mengerjakannya.” [19]
Rasulullah SAW
mengatakan: “Bagi siapa yang mau mengerjakannya”, karena beliau tidak suka
orang-orang menjadikannya sebagai suatu sunnah yang ditetapkan.
3. Waktu Shalat Isya’
Tidak ada perbedaan bahwa shalat Isya’ dimulai ketika syafaq
menghilang, akan tetapi para ulama’ berbeda pendapat mengenai arti syafaq[20].
Adapun waktu akhir shalat Isya’ sampai sampai terbit fajar kedua (Fajar
Shadiq) dan waktu ini adalah waktu dharurah (gawat) karena Rasulullah
saw bersabda :
ليس
في النوم تفريط إنما التفريط من لم يصل الصلاة حتي يجيء وقت الصلاة الأخري
“Ketiduran tidak dianggap meremehkan
(shalat), akan tetapi orang yang meremehkan ialah orang yang tidak segera
menunaikan shalatnya hingga tiba waktu shalat yang lainnya (setelahnya) (HR.
Muslim)
Hadis diatas
menjelaskan bahwa waktu-waktu shalat wajib berakhir sampai masuk waktu shalat
berikutnya kecuali shalat subuh[21],
karena Rasulullah saw bersabda :
من
ادرك ركعة من الصبح قبل أن بطلع الشمس فقد أدرك الصبح
“Barang siapa yang mendapat satu rekaat shalat
subuh sebelum Matahari terbit maka dia sudah mendapatkan shalat Subuh” (HR.
Muslim)
Dan para ulama’
berbeda pendapat pada waktu akhir ikhtiyari (memilih ketika tidakada
urusan penting):
Pendapat
pertama : Akhir waktu ikhtiyari shalat Isya’ pada sepertiga malam pertama, ini
pendapat Umar bin Khattab, Abu Hurairah, Umar bin Abdul Aziz dan Malik. Mereka
beralasan dengan hadis Jibril bahwa Nabi saw shalat Isya’ pada hari kedua pada
sepertiga malam, dan Jibril berkata : “Waktu shalat antara kedua waktu ini”
dan hadis dari Aisyah bahwa Rasulullah saw bersabda :
صلوا
مابين أن يغيب الشقف إلي ثلث الليل
“Shalat (Isya’) kalian antara hilangnya safaq
(warna merah) sampai sepertiga malam” (HR. Nasa’i)
Pendapat kedua
: Berakhir pada separoh malam, ini pendapat Tsauri, Ibnu Mubarak dan Syafi’i.
Dan sabda
Rasulullah saw :
لولا
ضعف الضعيف وسقم السقيم لأمرت بهذه الصلاة أن تؤخر إلي شطر الليل
“Kalaulah bukan karena orang yang lemah dan
orang yang sakit, Sungguh aku akan memerintahkan untuk mengakhirkan shalat ini
sampai separoh malam” (HR. Abu
Dawud, Ibnu Majah dan Nasa’i)
Pendapat yang utama adalah pendapat yang
pertama, akan tetapi jika diakhirkan hingga separoh malam tidak apa-apa.[22]
Dalam Al-Qamus
disebutkan, “Malam adalah dari tenggelamnya matahari sampai terbitnya fajar
shadiq atau terbitnya matahari.” Adapun dalam istilah syar’i, secara zahir
malam itu berakhir dengan terbitnya fajar. Berdasarkan hal ini kita mengetahui
bahwa tengah malam itu diukur dari tenggelamnya matahari sampai terbitnya
fajar. Pertengahan waktu antara keduanya itulah yang disebut tengah malam
sebagai akhir waktu shalat isya. Adapun setelah tengah malam ini bukanlah waktu
pelaksanaan shalat fardhu, tapi waktu untuk melaksanakan shalat sunnah/nafilah
seperti tahajjud. (Asy-Syarhul Mumti’ 2/115)
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1.
Mayoritas Mereka Berpendapat Bahwa Syafaq Itu Adalah Warna Kemerahan Di
Langit Sebagaimana Pendapat Yang Diriwayatkan Dari ‘Umar Ibnul Khaththab, ‘Ali
Bin Abi Thalib, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah,
2.
Shalat Maghrib Di Awal Waktunya Dengan
Semata-Mata Tenggelamnya Matahari, Hingga Kami Selesai Dari Shalat Dan
3.
Salah Seorang Dari Kami Melempar Anak Panahnya
Dari Busurnya, Maka Ia Masih Dapat Melihat Tempat Jatuhnya Anak Panah Tersebut
4.
Awal waktu shalat Isya adalah saat tenggelamnya syafaq dan akhir waktunya berbeda
pendapat ada yang batasnya pertengahan lah malam,dan
ada batasnya setelah tebit fajar shadiq.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Waahab
Abdul lathif, Sunan At-Tirmidzi,
Abwaabus shalah, Al Jaami' juz 1,
Abu
Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al Maqdisi, Al Mughni,
(Kairo Mesir: Dar al Hadis 1425 H/2004), cet. tdk ada, Juz. I,
Al-Majmu’ 3/44, 45, At-Tahdzib lil Baghawi,
Al-Muhalla,
Ash Subulus Salam
Muhammad
Muhyiddin Abdul Hamid, Sunan
Abu Dawud, Baabun Fil Mawaaqiit, Maktabah dahlan Indonesia
Shahih Bukhari
Dan Shahih Muslim
Tafsir Al-Qur`anil Azhim,
![]() |
[2] Al-Majmu’ 3/44, 45, At-Tahdzib lil Baghawi, 2/10, Asy-Syarhul
Kabir lil Rafi’i 1/372, Nailul Authar 1/456
“Sanadnya shahih menurut syarat Al-Bukhari dan Muslim”,
Ats-Tsamarul Mustathab 1/56 dan Ash-Shahihah no. 1696)
[11] Al-Majmu’
3/33, At-Tahdzib lil Baghawi 2/10, Asy-Syarhul Kabir lil Rafi’I 1/370,
Al-Mughni Kitab Ash-Shalah, Mas`alah Wa Idza Ghabatisy Syamsu Wajabatil
Maghrib…, Al-Mabsuth 1/134, Nailul Authar 1/447 ).
[12] (Al-Majmu’
3/34, At-Tahdzib lil Baghawi 2/10, Raudhatu Ath-Thalibin 1/209, Al-Mughni Kitab
Ash-Shalah, Mas`alah Wa Idza Ghabatisy Syamsu Wajabatil Maghrib…, Ats-Tsamarul
Mustathab 1/60)
[16] (HR. Ahmad
4/147, Abu Dawud no. 418. Al-Imam Al-Albani berkata, “Hadits ini shahih dari
banyak jalan.” Lihat Ats-Tsamarul Mustathab 1/61)
[19](HR.
Al-Bukhari no. 1183)
[20] Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah
al Maqdisi, Al Mughni, (Kairo Mesir: Dar al Hadis 1425 H/2004), cet. tdk
ada, Juz. I, hal. 478
[21] Imam Muhyidin an Nawawi, al Minhaj Syarh Shahih
Muslim, (Beirut, Libanon: Dar Mufarriqah 1420 H-1999 M), cet. Ke-VI, juz.
III, hal. 192
Tidak ada komentar:
Posting Komentar