PEMIKIRAN
HISAB SAADOEDDIN DJAMBEK
Oleh:
Muhtarom, S.Pd
A.
Pendahuluan
Ilmu
falak yang disebut juga sebagai Ilmu hisab (Khazin, 2011: 1) sebagaimana
ilmu-ilmu yang lain terus mengalami dinamika dan proses terus menerus dari
waktu ke waktu. Ilmu Falak mulai berkembang di Indonesia tahun 1633 M (Izzudin,
2012: 12) yang kemudian berkembang terus sampai saat ini.
Di
Indonesia telah berkembang
berbagai ragam hisab. Dengan melihat pada
metode yang digunakan, Azhari (2002: 2) membagi setidak-tidaknya ada tiga kelompok, yaitu metode konvensional, semi modern dan modern yang menggunakan bantuan komputer. Metode konvensional diwakili oleh Al-Qowa’idul Falakiyaah karya Abdul Fatah as-Sayyid at-Tukhy al-Falaky, al-Khulasatu al-Wafiyyah karya Kiyai Zubeir, Sulamun al-Nayyirain karya Muhammad Mansur bin Abdul Hamid bin Muhammad Damiri al-Batawi, almanak Falakiyah, Farhu ar-Rauf al-Manan karya Abu Hamdan Abdul Jalil bin Abdul Hamid (Ichtiyanto, 1981: 38). Metode semi modern diwakili oleh New Comb dan Jean Meuus. Sedangkan yang menggunakan sistem modern adalah Mawaqit yang dibuat olch Astronomical Club al-Farghani, ICMI Orsat Belanda, Indonesia Perpetual Calendar yang dibuat oleh E. Panjaitan, Observatorium Bosscha ITB. Tiap-tiap metode tersebul mcmpunyai ciri yang khas, yang pada akhirnya memunculkan perbedaan dalam perhitungan.
metode yang digunakan, Azhari (2002: 2) membagi setidak-tidaknya ada tiga kelompok, yaitu metode konvensional, semi modern dan modern yang menggunakan bantuan komputer. Metode konvensional diwakili oleh Al-Qowa’idul Falakiyaah karya Abdul Fatah as-Sayyid at-Tukhy al-Falaky, al-Khulasatu al-Wafiyyah karya Kiyai Zubeir, Sulamun al-Nayyirain karya Muhammad Mansur bin Abdul Hamid bin Muhammad Damiri al-Batawi, almanak Falakiyah, Farhu ar-Rauf al-Manan karya Abu Hamdan Abdul Jalil bin Abdul Hamid (Ichtiyanto, 1981: 38). Metode semi modern diwakili oleh New Comb dan Jean Meuus. Sedangkan yang menggunakan sistem modern adalah Mawaqit yang dibuat olch Astronomical Club al-Farghani, ICMI Orsat Belanda, Indonesia Perpetual Calendar yang dibuat oleh E. Panjaitan, Observatorium Bosscha ITB. Tiap-tiap metode tersebul mcmpunyai ciri yang khas, yang pada akhirnya memunculkan perbedaan dalam perhitungan.
Ketiga metode di atas ditampung oleh Departemen Agama
melaui Badan Hisab Rukyat, tetapi yang banyak dikembangkan dan digunakan adalah
metode kedua dan ketiga karena dalam wilayah empiriknya kedua metode itu
dianggap lebih teliti.
Selain
perbedaan-perbedaan dalam hasil perhitungan, mereka juga berbeda
dalam merumuskan konsep-konsep dalam hisab. Misalnya konsep tinggi
hilal. Di dalam Sulamun
al-Nayyirain dinyatakan
bahwa tinggi
hilal adalah
selisih antara saat ijtimak dengan saat terbenam matahari
dibagi 2 (dua) dan dijadikan dalam bentuk derajat, menit dan detik. Hal ini berbeda dengan
konsep
yang dikemukakan dalam Khulasatu
al-Wafiyyah dan New
Comb bahwa ketinggian hilal diukur melalui lingkaran
vertikal.
Munculnya
Saadoeddin Djambek dalam dunia pemikiran hisab membawa pengaruh yang besar
terhadap perkembangan Ilmu Hisab di Indonesia. Keahliannya dibidang falak
ditambah kepakaannya dibidang ilmu eksak
dan astronomi menghasilkan metode perhitungan yang memiliki keakuratan tinggi, menjadikan
pemikiran hisab yang diusungnya memperoleh tanggapan yang sangat baik di
kalangan ahli Hisab. Sehingga metode yang dibawanya diakui dikalangan ahli
hisab dan metode itu dinamakan metode Saadoeddin Djambek (Ichtiyanto,
1981: 41).
B.
Tentang Saadoeddin
Djamek
1.
Silsilah Singkat Saadoeddin Djambek
Saadoeddin Djambek mempunyai nama asli Datuk Sampono Radjo, dilahirkan di Bukit Tinggi pada tanggal 24 Maret 1911 M, bertepatan dengan 23 Rabiul Awal 1329 H
dari keluarga besar Jambek yang merupakan keluarga terpelajar, islami,
dan dihormati masyarakat pada saat itu. Ia adalah putra dari Syekh Muhammad Djamil
Djambek (1860-1947
M/1277-1367 H), yang mana ia
merupakan seorang ahli falak di ranah Minangkabau pada
masanya (Azhari, 2002:
53). Saadoeddin
Djambek meninggal dunia pada hari Selasa 22 Nopember 1977 bertepatan dengan
tanggal 11 Zulhijjah 1397 H di Jakarta.
2. Genealogi
Keilmuan
Saadoeddin Djambek memulai pendidikan formalnya
ketika memperoleh pendidikan pertamanya di HIS (Hollands Inlandsche School). Setelah menamatkan studinya di HIS pada tahun 1924 M/1343 H, ia meneruskan lagi studinya ke sekolah
pendidikan guru, HIK (Hollands Inlandsche
Kweekschool) di Bukittinggi hingga tamat tahun 1927. Tidak cukup disitu ia meneruskan lagi ke
sekolah pendidikan guru atas, HKS (Hogere
Kweekschool), di Bandung,
Jawa Barat, hingga tamat dan
memperoleh Ijazah dari sekolah itu tahun 1930 M/1349 H. Setelah menyelesaikan sekolah di HKS
ia kemudian diberi tugas mengajar di Gouvernements Schakelschool di
Perbaungan, Palembang. Ia mengajukan permohonan untuk dipindahtugaskan ke
Jakarta dengan maksud agar ia bisa melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Di Jakarta Saadoeddin mengajar di di sekolah Gouvernement
HIS nomor 1 selama satu tahun. Pada tahun 1935 ia
melanjutkan pendidikan ke Indische Hoofdakte (program diploma pendidikan) di
Bandung dan lulus serta mendapat ijazah pada tahun 1937 M. Setelah
menyelesaikan pendidikannya di Bandung ia kembali ke kampung halaman dan
mendapat tugas mengajar sebagai guru Gouvernement HIS di Simpang Lima, Sumatera
Timur. Karirnya dalam bidang pendidikan terus meningkat mulai dari guru sekolah
dasar sampai menjadi dosen perguruaan tinggi dan terakhir menjadi pegawai
tinggi di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta (Azhari, 2005: 133).
Pergulatannya dalam
dunia Ilmu Falak dimulai dari pelajaran non formal yang ia terima dari ayahnya,
sebagai seorang ulama yang juga ahli dalam bidang Ilmu Falak ayah Saadoedin
Djambek (Syekh Muhammad Djamil Djambek) mengajarinya Ilmu Falak. Ia sudah
sangat tertarik dengan Ilmu Falak ketika ia masih berumur 18 tahun. Buku-buku
yang ia pelajar di antaranya adalah Pati Kiraan karangan Syaik Thahir
Djalaludin, Almanak Jamiliyah karya Syaikh Jambek, Hisab Hakiki karangan
K.H. Ahmad Badawi dan lain sebagainya (Azhari, 2002: 49).
Dalam rangka menambah
pengetahuanya di bidang ilmu falak, pada tahun 1941-1942 Saadoedin mengikuti
kursus Legere Akte Ilmu Pasti di Yogyakarta dan memperdalamnya lagi
dengan masuk kuliah ilmu pasti alam dan astronomi pada Fakultas Ilmu Pasti dan
Alam (FIPIA) Bandung pada tahun 1954-1955. Teori-teori ilmu alam dan astronomi
yang semasa kuliah itu ia terapkan pada teori ilmu hisab. Ia mengembangkan
metode penghitungan dalam Ilmu Falak menggunakan teori-teori Spherical
Trigonometry (segitiga bola).
Keahliannya di
bidang ilmu pasti dan ilmu falak dikembangkannya melalui tugas yang
dilaksanakannya di beberapa tempat. Pada tahun 1995 sampai dengan 1956 menjadi Lektor
kepala dalam mata kuliah ilmu pasti pada PTPG
(Perguruan Tinggi Pendidikan Guru) di Batusangkar, Sumatera Barat. Kemudian ia
memberi kuliah ilmu falak sebagai dosen tidak tetap di Fakultas Syari’ah IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta mulai
tahun 1959 samapi dengan tahun 1961 (Musonnif, 2011: 24).
Selain sebagai ahli falak, di antara aktivitas
paling dominan yakni dalam pendidikan melalui Muhammadiyah. Aktivitasnya
tersebut pada gilirannya memperoleh pengakuan dari warga Muhammadiyah, sehingga
pada tahun 1969 diberi kepercayaan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sebagai seorang tokoh pendidikan sekaligus ahli hisab, Saadoedin Djambek tidak jarang
mendapatkan kepercayaan dari berbagai pihak. Pada tahun 1969 ia dipercayai oleh Pimpinan Pusat
Muhammadiyah untuk menjadi ketua Pimpinan Pusat
Muhammadiyah Majelis Pendidikan dan Pengajaran di Jakarta periode 1969-1973 (Azhari, 2002: 52). Ia juga pernah diberi kepercayaan untuk
menjadi staf ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Kepakaran Saadoedin
Djambek dalam keilmuan
ditunjukkan pula oleh kunjungan-kunjungan yang pernah ia lakukan ke
luar negeri, yaitu antara
lain menghadiri konferensi Mathematical Education
di India pada tahun 1958,
mempelajari System Comprehensive School
di negara-negara seperti India, Thailand, Swedia, Belgia, Inggris, Amerika
Serikat, dan Jepang tahu 1971,
penelitian/survey mengembangkan ilmu
hisab dan rukyat dan kehidupan sosial di Tanah Suci Mekah dan menghadiri First World Conference on Muslim Education di
Mekah tahun 1977 (Azhari, 2001: 82).
Pada usianya yang
ke 40-an Saadoedin Djambek mulai menulis karya-karya ilmiah di bidang ilmu falak. Meskipun mulai
menulis di usia yang tidak muda lagi namun karya-karya yang dihasilkannya cukup
banyak. Hal ini bisa menjadi bahan pertimbangan akan kualitas keilmuannyan. Di
antara hasil karyanya adalah : 1) Waktu dan Penjelasan Populer Mengenai
Perjalanan Bumi, Bulan dan Matahari, buku ini diterbitkan oleh Penerbit
Tintamas tahun 1373. Buku ini berisi tentang konsep waktu yang dibahas secara
komprehensif. 2) Almanak Djamiliyah (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas tahun
1953). Buku ini merupakan lanjutan dari buku pertama, buku yang di karang oleh
bapaknya, Syaikh Djambek. Buku
ini dibagi kedalam dua bagian. Bagian pertama memuat
kalender tahun Masehi 1953,
kalender tahun Arab 1372-1373 dan kalender tahun Djawa 1884-1885. Sedangkan bagian ke dua memuat jadwal waktu shalat lima waktu. Akan tetapi hanya
untuk tanggal 1, 5, 9, 13, 17, 25 dan 29 tiap-tiap
bulan masehi. Yang mana buku
ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran gurunya, Syaikh Thahir
Djalaluddin. 3) Perbandingan Tarich (diterbit kan oleh
penerbit Tintamas pada tahun 1968). Secara umum buku ini berisi penjelasan tentang metode perbandingan tarich, baik kalender
Masehi, kalender Hijriyah maupun kalender jawa. Buku ini sangat membantu dalam
penentuan hari, pasaran, tanggal, bulan dan tahun yang belum diketahui. 4) Pedoman Waktu Sholat Sepanjang Masa (diterbitkan oleh Penerbit Bulan
Bintang pada tahun 1974). 5) Sholat dan Puasa di daerab
Kutub (diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang
pada tahun 1974). Dan 6) Hisab Awal bulan Qamariyah (diterbitkan
oleh Penerbit Tintamas pada tahun 1976). Buku ini merupakan hasil pemikiran-pemikiran beliau dalam penentuan awal
bulan qomariyah.
Dari semua judul karya
yang dihasilkan di atas, nampak jelas bahwa fokus yang menjadi pusat perhatian Saadoedin
Djambek terpusat adalah pada permasalahan pada ranah Ilmu Falak. Saadoedin
menuangkan ide-ide hisabnya, yang merupakan pengembangan dan kolaborasi antara
Ilmu Falak yang ia peroleh dari ayahnya dan gurunya, Saikh Thaher DJalaluddin,
dengan Ilmu Astronomi yang ia peroleh selama kuliah di FIPIA Bandung, sehingga
menghasilkan karya-karya pemikiran yang representatif
yang merupakan kontribusi yang bcrharga untuk pengembangan pemikiran hisab di
Indonesia.
Pergulatan
pemikiran Saadoeddin Djambek dalam pengembangan Ilmu Falak merupakan sintesis
ilmiah antara ilmu hisab yang ia peroleh dari ayahnya dan gurunya, Syaikh
M.Thaher Djalaluddin, dengan teori-teori yang ia pelajar dari guru-gurunya
selama kuliah di Bandung, diantaranya adalah Prof. Dr. J. Hins, Prof. Dr. The
Pik Sin dan Prof. Dr. G. B. Ban Albada, Prof. Dr. G. B. Ban Albada sendiri
merupakan direktur pada Observatorium Bosscha tahun 1949 – 1958 (Azhari, 2002:
58). Sehingga tidak mengherankan bahwa hasil hisabnya lebih akurat dibanding
dengan perhitungan model tradisional.
C. Pemikiran
Hisab Saadoeddin Djambek
1.
Awal Bulan
Sebagaimana
dijelaskan di atas, pemikiran hisab Saadoeddin Djambek terkonstruksi oleh
teori-teori astronomi modern yang ia pelajari selama kuliah di Bandung, karenanya
penentuan awal bulan qamariah yang ditawarkan Saadoeddin Djambek menggunakan
sistem hisab hakiki.
Dalam penetapan
awal bulan kamariah dengan sistem hisab hakiki paling tidak ada dua aliran
besar, yaitu aliran yang berpegang teguh pada ijtimak semata, dan aliran yang
berpegang teguh pada posisi hilal di atas ufuk (Azhari, 2007: 106). Kelompok
yang berpegang pada ijtimak semata berpendirian bahwa apabila ijtimak terjadi
sebelum matahari tenggelam maka hari besoknya sudah dianggap masuk bulan baru,
tapi belum memasuki bulan baru apabila ijtimak terjadi setelah matahari
tenggelam (dirjenbimasi, 2010: 94).
Dengan berpegangan
pada firman Allah Surat Yasin ayat 32 yang artinya “Dan telah Kami tetapkan bagi
bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang
terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua”, Saadoeddin
berpendapat bahwa bulan baru yaitu apabila bulan telah kembali pada bentuknya
yang paling kecil, dan bentuk bulan yang paling kecil itu dicapai sekitar saat ijtimak antara matahari
dan bulan (Fathurohman 2004:
99).
Dalam hisab awal
bulan qamariyah Saadoeddin membawakan toeri yang berbeda dari teori-teori yang
sudah ada sebelumnya. Teori tersebut diberi nama Ijtimak dan Ufuq Mar’i.
Dengan teori ini Saadoedin mengatakan bahwa awal bulan qamariyah dimulai saat terbenam
matahari setelah terjadi Ijtimak dan pada saat itu bulan masih berada di atas ufuq
mar’i (visible horizon). Adapun yang dimaksud dengan ufuq mar’i
adalah bidang datar yang merupakan batas pandangan mata si pengamat. Semakin tinggi
kedudukan si pengamat di atas permukaan bumi maka ufuq mar’inya akan
semakin rendah. Lingkaran ufuq mar’i ini nampak sebagai pertemuan antara
dinding bola langit dengan permukaan bumi.
Teori Saadoedin
Djambek untuk penentuan awal bulan ini (Ijtimak dan Ufuq Mar’i) termasuk
dalam kategori aliran yang berpegang pada posisi hilal di atas ufuq
sesuai pembagian di atas. Selain teori Ijtimak dan Ufuq Mar’i-nya
Saadoedin Djambek ada tiga cabang aliran lain yang berpegang pada kedudukan
hilal di atas ufuq, yaitu Ijtimak dan Ufuq Hakiki, Ijtimak dan
Ufuq Hissi, dan Ijtimak dan Imkanur Rukyat (Azhari, 2007: 110).
Perbedaan antara ufuq
mar’i dengan ufuq hakiki dan ufuq hissi terletak
pada kerendahan ufuq (dip). Ufuk hakiki (true horizon)
dibentuk oleh bidang yang melalui titik pusat bumi tegak lurus terhadap garis
vertikal pengamat dan ufuq hissi (sensibel horizon) dibentuk oleh
bidang yang sejajar dengan bidang ufuk hakiki melalui permukaan bumi tempat
pengamat.
Ringkasnya, menurut
teori ini awal bulan qamariyah dimulai saat tenggelam matahari setelah terjadi ijtimak
dan posisi piringan atas bulan masih berada di atas ufuk mar’i.
Dalam melakukan
perhitungan posisi bulan terhadap ufuk, Saadoeddin disamping memberikan koreksi
parallaks terhadap hasil perhitungan menurut aliran ijtimak dan ufuk hakiki,
juga memberikan koreksi kerendahan ufuk (dip), refraksi bulan dan semi diameter
bulan. Koreksi parallaks ini dikurangkan terhadap hasil perhitungan, sedangkan
kerendahan ufuk, refraksi dan semi diameter ditambahkan.
Azhari (2002 : 90)
mengatakan bahwa akar perbedaan antara Saadoeddin dengan ahli hisab pada masa itu, selain terletak
pada sistem perhitungan yang dipergunakan, juga pada dua permasalahan pokok
yaitu pada konsep permulaan hari (International lunardateline) dan
konsep hilal (visibilitas hilal).
Ia menyatakan bahwa
Saadoeddin berlainan pendapat dengan para ahli hisab dalam pemaknaan benang
putih (khaith al-abyad) dan benang hitam (khaith al-aswad) dalam
Alquran surat Al baqarah ayat 187:
....”وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ
الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى
الَّليْلِ “ ....-١٨٧-
“..... dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih
dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai
(datang) malam ... “
Dalam ayat di atas,
benang putih (khaith al-abyad) menunjuk pada siang hari dan benang hitam
(khaith al-aswad) menunjuk pada siang hari. Kelompok yang memegang aliran
ijtimak qabla al-fajr menganggap bahwa permulaan hari adalah saat terbit
fajar. Sementara itu, Saadoeddin berpendapat bahwa hari dimulai pada saat
matahari terbenam, dengan mendasarkan pada firman Allah Q.S. Yasin ayat 40:
لَا الشَّمْسُ يَنبَغِي لَهَا أَن تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا اللَّيْلُ سَابِقُ
النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ -٤٠-
“Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak
dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya”
Dalam ayat di atas lafaz lail disebutkan terlebih dahulu daripada nahar.
Hal ini memperkuat pendapat bahwa permulaan hari adalah malam yang diawali
dengan tenggelamnya matahari, bukan siang. Karena waktu terbenamnya matahari
antara satu tempat dengan tempat lain berbeda-beda, maka permulaan hari bagi
tempat-tempat itu akan berbeda-beda pula (Khazin, 2009: 16)
Perbedaan kedua tentang konsep hilal, kelompok
pertama menetapkan hilal harus wujud (memenuhi kriteria). Kelompok pertama
ini sering disebut sebagai penganut kriteria imkanurru’yah. Kelompok
kedua memegang teori bahwa yang penting hilal sudah berada di atas ufuk
ketika matahari tenggelam, tidak harus wujud. Saadoeddin memegang teori yang dikembangkannya
(ijtima’ dan ufuk mar’i), ia termasuk dalam kelompok kedua yang menganut
teori ijtima’ dan posisi hilal di atas ufuk. Thomas Djamaluddin (2004: 240)
menyebut kelompok kedua di atas sebagai penganut kriteria wujudul hilal.
2. Arab Kiblat
Dalam bukunya, Arah Kiblat dan Cara Menghitungnya dengan
Jalan Ilmu Ukur Segitiga Bola, Saadoedin Djambek memulai dengan penjelasan
tentang pengukuran jarak di permukaan bumi dan pada bab pembahasan arah kiblat
ia teori-teori spherical trigonometri yang menggunakan great circle pada
bola bumi untuk menghitung sudut-sudut
yang dibentuk oleh great circle yang melalui kota – kota tertentu dengan
Kakbah. Hal ini menunjukkan betapa teori-teori astronomi umum sangat
berpengaruh dalam sistem hisab yang digunakan Saaadoeddin dalam penentuan arah
kiblat.
Saadoedin
memberikan beberapa contoh perhitungan arah kiblat untuk beberapa kota dengan
cara dan rumus yang berbeda-beda, diantaranya adalah menggunakan rumus berikut:

Rumus di atas merupakan rumus yang biasa dipakai dalam
penghitungan arah kiblat dalam buku-buku falak kontemporer yang dalam aplikasinya
bisa dengan mudah menggunakan kalkulator. Selain memakai rumus di atas ia juga
mencontohkan penggunaan rumus yang lebih rumit yang perhitungannya menggunakan
nilai logaritma, yaitu rumus




yang mana penghitungan arah kiblat melalui kedua rumus di
atas menggunakan logaritma. Saadoeddin juga menggunakan rumus (2) di atas, yang
merupakan rumus analogi Napier (Smart, 1989: 22), untuk membuat garis lingkaran
besar yang menghubungkan suatu kota dengan Makkah.
Dalam buku tersebut
Saadoeddin menyebutkan bahwa lintang Makkah adalah 21o20’ Lintang
Utara dan bujurnya 40o14’ Bujur Timur (Djambek, 2004: 20).
Sedangkan data lintang dan bujur Makkah
yang dipakai Kementerian Agama sekarang adalah 21o25’ Lintang Utara
dan 39o50’ Bujur Timur (Dirjenbimasi, 2010: 146) yang juga merupakan
hasil dari pengukuran Saadoedin Djambek ketika ia mendapatkan tugas dari
Menteri Agama untuk mengadakan penelitian dan survey pengembangan Hisab Rukyat
dan kehidupan sosial di Tanah Suci Mekkah pada tahun 1972 (Azhari, 2002: 60).
Data lintang dan bujur yang sama juga dipakai dalam hisab Muhammadiyah (2009:
36).
3. Awal Waktu Shalat
Waktu-waktu pelaksanaan salat telah diisyaratkan oleh
Allah SWT dalam ayat-ayat al-Quran, yang kemudian dijelaskan oleh Nabi SAW
dengan amal perbuatannya sebagaimana hadist-hadist yang telah ada. Hanya saja
waktu-waktu salat yang telah ditunjukan oleh Allah SWT dan hadis Nabi SAW
berupa fenomena alam, yang kalau pelaksanaannya murni observasi lapangan tidak
menggunakan ilmu falak dalam hal ini hisab maka akan mengalami kesulitan dalam
menentukan awal waktu-waktu salat. Padahal dari salah satu
syarat sahnya salat adalah mengetahui telah masuk waktunya.
Di dalam Al-quran waktu-waktu salat
disebutkan secara implisit, sedangkan di dalam hadits penetapan waktu-waktu salat
dinyatakan secara eksplisit. Kaum muslimin sepakat bahwa salat lima waktu harus
dikerjakan pada waktunya, dalilnya adalah firman Allah Swt :
إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ كِتَاباً مَوْقُوتاً
“Sesungguhnya salat itu adalah fardhu/wajib yang ditentukan waktunya atas
orang-orang yang beriman”. [QS. An Nisa’ (4) : 103].
Sebagaimana para
pembaharu lain yang memerlukan tahapan-tahapan perkembangan pemikiran,
Saadoeddin sebagai seorang pemikir pembaharu juga mengalami tahapan-tahapan
pemikiran untuk kemudi berhasil mengemukakan solusi bagi pemikiran hisab dan
permasalahan yang timbul bersamanya.
Sebagai seorang
yang terlahir dan dididik dalam keluarga ulama’ yang kuat memegang agama,
Saadoeddin selain menguasai ilmu-ilmu syar’i sudah tentu juga mempunyai
kesalehan spiritual yang tinggi. Ditambah dengan latar belakang pendidikan formalnya, ia mengambil penafsiran
para ulama’ pada nash-nash
Alquran untuk ia padukan dengan teori-teori dan perhitungan astronomi untuk
menentukan awal waktu-waktu salat.
Dalam pelaksanaan ibadah salat, yang pertama kali dilakukan adalah salat
Duhur, baru kemudian salat Ashar, Magrib, Isya dan yang terakhir salat Subuh. Hal
ini berdasarkan hadis yang terkenal dengan “Hadis Jibril” yang diriwayatkan
oleh Bukhari, Muslim dan beberapa lainnya (Hambali, 2011: 103). Namun dalam
bukunya, Shalat dan Puasa di Daerah Kutub, Saadoeddin menyebutkan urutan
waktu-waktu salat dengan dimulai dari salat Subuh, kemudian Dzuhur, Asar,
Magrib dan terakhir Isya.
a. Waktu Subuh
Saadoeddin berpendapat bahwa awal waktu subuh dimulai dari terbitnya fajar di atas ufuk sebelah timur dan berakhir sampai terbit matahari (1974: 8). Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Izzuddin (2012: 83)
dan juga Maskufa (2010: 98). Sementara Jamil (2009: 46) mengatakan bahwa waktu
subuh ditandai oleh kenampakan fajar shadiq, yaitu ketika matahari berada 20o
di bawah ufuk timur. Dalam buku-buku fiqh dikenal Istllah fajar shadiq dan fajar kadzib (Zuhaili, 1985: 507). Fajar kadzib ini nampak sebelum fajar sidiq.
Untuk ketinggian matahari pada awal waktu Subuh, Saadoeddin menyatakan
adanya perbedaan pendapat di kalangan ahli hisab. Dari mereka ada yang
menetapkan tinggi matahari 18o, 19o, dan ada pula yang
menetapkan 17o di bawah ufuk. Namun ia menetapkan nilai ketinggian
matahari 20o di bawah ufuk untuk tetap dipegangi sebagai awal waktu
salat subuh, sesuai dengan nilai yang ditetapkan oleh gurunya, Syekh M. Thaher Djalaluddin.
b. Waktu Zuhur
Saadoeddin mengatakan bahwa masuknya waktu
zuhur ditandai oleh tergelincirnya matahari pada tengah hari tepat. Dalil yang
ia jadikan sebagai dasar pendapat ini
adalah Alquran surat al-Isra’ ayat 78:
أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ -٧٨-
“....dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir”.
Dalam kitab-kitab fiqh ketika membicarakan awqatu shalawat jarang ditemukan uraian yang bersifat astronomis.
Kebanyakan fuqaha menganalisa dan segi bahasa saja. Dan sini lah Saadoeddin mencoba menterjemahkan bahasa-bahasa fiqh kedalam bahasa astronomi. Kaitannya dengan awal
waktu zuhur, contohnya adalah saat tergelincir atau setelahmeridian pass.
3. Waktu Asar
Pada mulanya perintah shalat sebelum Isra’ dan Mi’raj hanya dua kali. Pertama qabla thulu’ al-syams yang dilakukan pada waktu fajar (subuh). Kedua qabla al-ghurub yang dilakukan pada saat asar. Akan tetapi setelah Isra’ dan Mi’raj ketentuan tersebut bertambah menjadi lima kali. Di antaranya adalah subuh dan asar yang
dilakukan pada saat sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam matahari Hal ini didasarkan pada AI-Quran surat Qaf ayat 39:
فَاصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ
الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ -٣٩-
“Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum
terbit matahari dan sebelum terbenam(nya)”
Saadoe’ddin menjadikan ayat tersebut sebagai dasar landasan awal waktu asar. Hanya saja yang menjadi persoalan adalah kapan waktu asar itu dimulai, karena ayat tersebut bersifat general. Dalam hal ini
para fuqaha berbeda pendapat. Imam Malik dan Asy-Syafi’i berpendapat bahwa awal waktu asar adalah ketika bayangan suatu benda
telah sepanjang benda tersebut dan pendapat ini diikuti Jumhur (Ibnu Rusyd, 1975: 92). Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa awal waktu asar adalah
panjang bayang-bayang benda pada awal zuhur ditambah panjang bendanya atau dua kali panjangnya benda (Wahbah, 1985: 509). Pendapat kedua inilah yang diikuti Saadoe’ddin. Alasannya jika pendapat pertama yang digunakan maka akan terdapat kesulitan ketika membahas awal waktu asar di daerah-daerah kutub (Djambek, 1979: 9). Pada daerah-daerah yang jauh dari khatulistiwa (daerah – daerah
dengan nilai lintang tinggi), apalagi ketika posisi matahari berada pada
deklinasi yang berlawanan dengan belahan bumi daerah tersebut bisa jadi
bayang-bayang benda selalu lebih panjang dari pada benda aslinya. Sehingga pendapat yang mengatakan bahwa waktu
asar adalah waktu dimana panjang bayang-bayang benda dua kali panjang benda
diambil untuk mengatasi masalah panjang bayangan benda pada musim dingin, yaitu
musim dimana matahari berada pada deklinasi yang berlawanan yang mengakibatkan
benda mempunyai bayangan yang panjang. Dalam kitab-kitab fikih shalat asar sering
juga disebut dengan shalat wustha.
4. Waktu Maghrib
Untuk dasar penetapan awal waktu magrib Saadoediin mengambil salah satu
penafsiran ulama atas lafaz zulafan minallail pada ayat 114 Surat
Al-Hud:
وَأَقِمِ
الصَّلاَةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفاً مِّنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ
يُذْهِبْنَ السَّـيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ
Seperti diketahui, dikalangan mufassir terdapat perbedaan mengenai penafsiran
ayat zulafan minallail pada ayat di atas. Kelompok pertama berpendapat
bahwa maksud dan zulafan minallail adalah waktu isya. Pendapat ini
berasal dan al-Hasan dan Ibn Abbas (Ibnu
Katsir, 1999: 355). Kelompok kedua berpendapat bahwa maksud dan ayat tersebut
adalah waktu maghrib dan isya’ Pendapat ini berasal dari Mujahid dan Qatadah.
Kelompok ketiga berpendapat bahwa zulafan minallail berarti awal
waktu magrib. Pendapat ketiga inilah yang diikuti Saadoe’ddin. Menurutnya waktu
magrib masuk bila matahani terbenam. Dengan perkataan lain bila matahari terbenam
artinya bila tepi piringan matahari berada di sebelah atas ufuk mar’i, jadi
titik pusatnya berkedudukan sebanyak satu jari-jari piringan matahari di bawah
garis ufuk mar’i. Konsep inilah nantinya yang mcwamai corak pemikiran hisab
awal bulannya Saadoeddin Djambek.
5. Waktu Isya’
Para ulama berpendapat bahwa awal waktu shalat Isya’ adalah pada saat
hilangnya asy-syafak al-Ahmar (warna merah pada awan) di bagian langit sebelah
barat. Pendapat ini diikuti oleh Saadoe’ddin. Untuk memudahkan pemahaman kapan waktu
hilangnya asy-syafak al-ahmar Saadoe’ddin mengatakan bahwa zulafan
minallail hilang bila matahan berkedudukan 18° di bawah ufuk (horison).
D. Penutup
Pemikiran
Saadoeddin Djambek sampai saat ini masih dipergunakan oleh Badan Hisab dan
Rukyat Kementerian Agama RI sebagai bahan pertimbangan bersama-sama dengan
metode-metode yang lain. Hal ini dikarenakan data-data yang ia tampilkan sangat
akurat, misalnya data lintang dan bujur Makkah.
Keakuratan
data-data, metode, dan hasil perhitungan hisab Saadoeddin Djambek merupakan
hasil dari penggabungan ilmu astronomi modern dengan ilmu hisab seperti
rumus-rumus trigonometri dan segitiga bola. Karenanya metode hisab Saadoeddin
dinilai sebagai metode paling akurat saat itu dan ia dianggap sebagai Mujaddid
al-Hisab di Indonesia.
Pemikiran hisab Saadoeddin
sangat relevan dengan konteks kekinian. Hal ini terlihat dari kesadarannya
terhadap realitas adanya problem-problem yang muncul dengan adanya peningkatan
kecerdasan umat sehingga ia memunculkan metode pengukuran arah kiblat yang
lebih akurat dibandingkan hasil hisab menggunakan metode yang ada pada saat
itu. Selain itu ia juga memunculkan pemikiran baru dalam dunia Ilmu Falak yaitu
tentang salat di daerah dekat kutub.
Disamping itu, ada
juga kelemahan teori hisab Saadoeddin yang bisa saja menimbulkan permasalahan
tersendiri. Berkenaan dengan tinggi hilal, pada teori hisab awal bulan
Saadoeddin tidak memberi batasan irtifa’ hilal sehingga menyulitkan
untuk diwujudkan adanya Kalender Islam Nasional. Selain itu, ia juga menetapkan
bahwa bulan baru sudah masuk dengan syarat telah terjadi ijtima’ dan piringan
atas bulan masih berada di atas ufuk mar’i ketika matahari tenggelam. Hal ini
dapat menimbulkan kebingungan karena bisa diartikan bahwa saat itu sebenarnya
hilal belum wujud karena yang ada di atas ufuk mar’i adalah piringan atas
bulan, sedangkan hilal terletak pada piringan bawahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Azhari, Susiknan, 2002, Pembaharuan Pemikiran Hisab di Indonesia studi
Atas Pemikiran Saadoeddin Djambek, Yogyakarta: IAIn Yogyakarta.
______________, 2005, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Djambek, Saadoeddin, 1974, Pedoman Waktu Shalat Sepanjang Masa,
Jakarta: Bulan Bintang.
__________________, 1974, Sholat dan Puasa di Daerah Kutub, Jakarta:
Bulan Bintang.
Fathorrohman, Oman, 2004, Saadoe’ddin Djambekdan Hisab Awal Bulannya, dalam
Choirul Fuad Yusuf & Bashori A Hakim, (Ed.), Hisab Rukyat dan
Perbedaannya, Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Departemen
Agama RI, 92-123.
Hambali, Slamet, 2011, Ilmu Falak Penentuan Awal Waktu Shalat & Arah
Kiblat Seluruh Dunia, Semarang: Program Pascasarjana IAIN Walisongo
Semarang.
Ibnu Katsir, 1999, Tafsir Al-Quranul ‘Adzim, TTP; Darut Tayyoibah
(Software Maktabah Syamilah).
Ibnu Rusyd, 1975, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Mesir:
Mathbaah Mushtofa. (Software Maktabah Syamilah).
Izzudin, Ahmad, 2012, Ilmu Falak Praktis Metode Hisab-Rkyat Praktis dan
Solusi Permasalahannya, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra.
Jamil, A. 2009, Ilmu Falak (Teori dan Aplikasi) Arah
Kiblat, Awal Waktu dan Awal Tahun (HisabKontemporer), Jakarta: AMZAH.
Khazin, Muhyidin, 2009, 99 Tanya Jawab Masalah Hisab & Rukyat,
Yogyakarta: Ramadhan Press.
Khazin, Muhyidin, 2011, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktek,
Yogyakarta: Buana Pustaka.
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2209, Pedoman
Hisab Muhammadiyah, Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.
Maskufa, 2010, Ilmu Falak, Jakarta: Gaung Persada (GP Press).
Musonnif, Ahmad, 2011, Ilmu Falak Metode Hisab Awal Waktu Shalat, Arah
Kiblat, Hisab Urfi dan Hisab Hakiki Awal Bulan, Yogyakarta: Teras.
Smart, W.M., 1989, Text Book on Spherical Astronomy, New York:
Cambridge University Press.
Zuhaili, Wahbah, 1985, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Beirut: Darul
Fikr.
LAMPIRAN





























Tidak ada komentar:
Posting Komentar