Dr. H. Ahmad Izzuddin, M.Ag
Kasubdit Pembinaan Syariah dan Hisab Rukyat kemenag RI,
Ketua Umum Asosiasi Dosen Falak Indonesia,
Email : izzuddin_2008@yahoo.com HP.
08122828471
Pada dasarnya
persoalan hisab rukyah tidak hanya persoalan penentuan awal bulan Qamariyah
(dalam hal ini penentuan awal Ramadan, Syawal dan Dulhijjah)1).
Namun karena persoalan penentuan awal bulan Qamariyah ini lebih mempunyai greget – lebih berpotensi menimbulkan
perbedaan - maka wajar jika ia lebih
mendapatkan perhatian dan lebih dikenal
sebagai persoalan hisab rukyah dari pada persoalan lainnya. Berpijak
pada alur logika tersebut agar tidak melebar maka penulis mengfokuskan pada
pemikiran (hisab rukyah) penentuan awal bulan Qamariyah (dalam hal ini awal Ramadan, Syawal dan Dulhijjah).
Muara perbedaan
pemikiran hisab rukyah di Indonesia pada dasarnya tidak berbeda dengan muara
perbedaan pemikiran para fuqaha (terdahulu) yakni pada perbedaan pemahaman hadis-hadis hisab rukyah2). Hanya saja dalam wacana pemikiran hisab rukyah di
Indonesia, ragam pemikirannya lebih majemuk dibanding ragam pemikiran dalam
wacana hisab rukyah pada kalangan para fuqaha (terdahulu). Hal ini karena
sentuhan Islam sebagai “great tradition”
dan budaya lokal atau little tradition
yang sering menimbulkan corak budaya tersendiri yang di luar dugaan. Dalam
konteks ini disebut sebagai paham keislaman yang bersifat lokal, seperti Islam
Jawa – atau dalam bahasa Geertz
disebut “Religion of Java” 3). Islam jawa ternyata berkembang dan mempunyai
praktek-praktek keagamaan yang khas dan berbeda dengan mainstream Islam pada umumnya. Fenomena semacam inilah yang sering
melahirkan pemikiran tersendiri, dalam
pemikiran hisab rukyah seperti pemikiran hisab rukyah “Aboge” atau “Asapon”.
Mazhab-mazhab Hisab Rukyah di Indonesia
Pada dasarnya
sejarah pemikiran Islam sejak awal pertumbuhannya adalah sejarah aliran – mazhab - firqah4.
Sejarah fiqh Hisab Rukyah (termasuk penetapan
awal bulan Qamariyah) juga tidak lepas dari persoalan aliran atau
mazhab. Dalam wacana pemikiran Islam, aliran pemikiran itu biasanya disebut
mazhab. Kata mazhab biasanya digunakan dalam term fiqh yakni suatu cabang ilmu
keislaman yang mempelajari tentang
hukum-hukum agama (meminjam istilah Nurcholis
Madjid : jurisprudensi hukum). Memang jika kita tilik dalam kamus fiqh,
istilah itu terkesan hanya terfokus pada istilah empat mazhab yang ada dalam
sejarah Islam. Namun kalau kita berpijak pada pemikiran Islam secara umum
sebagaimana dalam buku The Concise
Encyclopedia of Islam, istilah itu diartikan sebagai sistem berfikir -- a system of thought ---. Dalam buku A Populer Dictonary of Islam, Ian Rechard Newton memberikan tafsiran
sebagai kelompok pemikir atau kelompok penulis yang berkecimpung dalam hukum
(school of law).5 Sehingga dalam pilahan pemikiran dalam fiqh
hisab rukyah ini, penulis dalam kerangka makro memilah dalam mazhab-mazhab6.
Pemikiran-pemikiran
hisab rukyah di Indonesia tersebut di antaranya :
1.
Pemikiran hisab rukyah “Mazhab”
Tradisional ala Islam Jawa
Pemikiran ini
sering disebut dengan pemikiran “Aboge”
atau “Asapon” yakni cara penentuan awal
Ramadan, Syawal dan Dulhijjah dengan bersandarkan pada perhitungan tahun Jawa
lama (khuruf Aboge atau khuruf Asapon)
dan rukyatul hilal (observasi dengan mata telanjang saat tenggelamnya matahari)4)
Dalam pemikiran
“Aboge” ada beberapa prinsip utama,
yakni, pertama, prinsip penentuan tanggal selain berdasarkan kalender
Hindu-Muslim-Jawa, adalah “dina niku
tukule enjing lan ditanggal dalu” (hari itu lahirnya pagi dan diberi
tanggal malam harinya)5).
Kedua, bahwa
jumlah hari dari bulan puasa menurut cara perhitungan “Aboge” selalu genap 30 hari, tidak pernah 29 hari seperti pada cara
perhitungan hari Falak (versi pemerintah). Adapun istilah “Aboge” dapat dirinci bahwa “a”
berasal dari alip, salah satu dari delapan tahun siklus windu; “bo” mengacu pada rebo (hari Rabu); dan “ge” berasal dari wage, salah satu dari
hari pasaran yang lima. Ini berarti bahwa tahun alip selalu dimulai pada hari
Rabu Wage, dengan mengetahui ini maka akan dapat menghitung hari jatuh riyaya (hari lebaran) setiap tahun. Cara
yang lebih singkat adalah mengambil hari permulaan tahun (1 sura) dan
menggunakan rumus “waljiro”. “Wal” adalah bulan Syawal, “ji”
berarti tanggal siji (satu),
dan “ro” adalah berarti loro (dua), yaitu hari pasarannya. Ini
berarti bahwa hari lebaran jatuh pada tanggal 1 Syawal dihitung dengan
menghitung satu dari hari mingguan dan dua dari hari pasaran pada permulaan
tahun. Misalnya, kalau permulaan tahun itu Ehe,
dan tanggal 1 Sura pada hari Ngahad
Pon, maka hari lebaran akan jatuh pada hari Ngahad Wage.6)
Ketiga,
penentuan awal bulan puasa dan awal bulan Syawal digunakan istilah ”pletek”
yang berarti terbukti atau semua masyarakat telah melihat bulan dengan
mata telanjang, sebagaimana dasar dari hadis-hadis
hisab rukyah.7) Sehingga wajar jika pengikut pemikiran ini, memulai
puasa atau lebaran selalu setelah satu hari dari penetapan pemerintah.
Sebagaimana hasil penelitian Andy Ahmad
Zaelany, bahwa pemikiran hisab rukyah “Mazhab”
Tradisional ala Islam Jawa selama ini sebagaimana yang dipraktekkan di
masyarakat dusun Golak desa Genteng kecamatan Ambarawa Semarang Jawa Tengah.
Namun jika ditilik dari perjalanan historis
pemikiran hisab rukyah “mazhab” Tradisional ala Islam Jawa, ternyata berasal
dari pemikiran hisab rukyah (kalender) Saka8)
yang diperbaharui oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo9)
yakni disesuaikan dengan perhitungan lunar (Qamariyah) tidak lagi menggunakan
sistem perhitungan solar (Syamsiyyah).
Peralihan tersebut terjadi pada tanggal 1 Sura tahun Alip 1555 (Tahun Jawa)
yang bertepatan dengan tanggal 8 Juli 1633 M yakni hari Jum’at Legi.10)
Dari tahun 1633 M sampai sekarang, kalender ini sudah tiga kali mengalami
penyesuaian kalender, sehingga sampai sekarang sudah mengalami perubahan empat
kali dasar permulaan awal tahun yakni mulai dengan pemikiran hisab rukyah “Ajumgi” (tahun alip mulai pada hari
Jum’at Legi), kemudian “Akawon”
(tahun alip mulia pada hari Kamis Kliwon), kemudian “Aboge” (tahun alip mulai pada hari Rebu Wage), kemudian “Asapon” (tahun alip mulai pada hari
Selasa Pon).11)
Metode yang terakhir inilah ( (pemikiran “Asapon”)
yang sampai sekarang ini dipegangi oleh mayoritas umat Islam Jawa (Kejawen)
terutama di kalangan lingkungan kraton Yogyakarta.12)
Melihat realita
tersebut, nampak bahwa sampai saat ini ternyata tidak hanya pemikiran “Aboge” saja yang hidup di masyarakat
sebagaimana dikatakan Andy Ahmad Zaelany
dalam penelitiannya di dusun Golak desa
Genteng, Ambarawa. Namun pemikiran “Asapon” yang nota bene pemikiran hisab
rukyah “Mazhab” Tradisional yang terbaru juga hidup di masyarakat. Malahan
menurut perhitungan kalender Jawa, pemikiran “Aboge” sudah harus diganti dengan pemikiran “Asapon”,13) tapi dalam dataran realitas ternyata pemikiran “Aboge” masih berlaku juga di kalangan
umat Islam Jawa sebagaimana tersebut di atas. Berangkat dari pemikiran tersebut
penulis berasumsi bahwa tidak menutup
kemungkinan pemikiran-pemikiran yang
lain yakni “Akawon” dan “Ajumgi” juga masih berlaku di masyarakat
Jawa (Kejawen), hanya saja sampai saat ini penulis belum menemukan jejak
pemberlakuanya di masyarakat.
2. Pemikiran hisab rukyah “mazhab” Rukyah
Dalam wacana
hisab rukyah di Indonesia, “mazhab” rukyah ini selalu diidentikkan dengan
pemikiran hisab rukyah Nahdlatul Ulama. Namun pengidentikkan ini kiranya tidak
dapat diterima seratus persen kebenarannya. Karena pada dasarnya dalam “mazhab
rukyah” terdapat beberapa “mazhab-mazhab” kecil yang mempunyai
perbedaan-perbedaan yang prinsipil, dan Nahdlatul Ulama sendiri termasuk salah
satu dari “mazhab” kecil tersebut. “mazhab-mazhab” kecil tersebut muncul karena
adanya perbedaan pemahaman term rukyah. Di antaranya dalam hal :
a.
Dalam pemahaman mathla’14.
Ada yang berpendapat bahwa hasil rukyah di
suatu tempat berlaku untuk seluruh dunia. Dengan argumentasi bahwa hadis-hadis
hisab rukyah khithabnya ditujukan pada seluruh umat Islam di dunia, tidak
dibedakan oleh perbedaan geografis dan batas-batas daerah kekuasaan. Pemikiran
inilah yang terkenal dengan “Rukyah
Internasional” yang dipegang oleh Komisi Penyatuan Kalender Hijriyyah
Internasional, di mana dalam konteks ke-Indonesia-an adalah kelompok Hizbut Tahrir15).
Hizbut Tahrir di Indonesia, sejauh
pengamatan penulis ternyata mempunyai beberapa lembaga dakwah yang hidup di
masyarakat seperti : Lembaga Dakwah al-Misykah
di Semarang, Lembaga Dakwah al-Ihtikam
di Surabaya, dan Inqiyad di Jawa
Barat. Selama ini, mereka sering kali mengkampanyekan pemikirannya dalam beberapa forum diskusi panel.16)
Di samping itu,
ada pula yang berpendapat bahwa hasil rukyah di suatu tempat hanya berlaku bagi
suatu daerah kekuasaan hakim yang mengisbatkan hasil rukyah tersebut. Pemikiran
ini terkenal dengan “Rukyah fi wilayatil
hukmi” sebagaimana pemikiran yang selama ini dipegangi oleh Nahdlatul Ulama
secara institusi.17) Penulis memberi qayyid Nahdlatul Ulama secara
institusi atau struktural, karena dalam Nahdlatul Ulama secara kultural
terdapat pemikiran yang beragam yang demokratis.18) Selain itu,
juga ada pendapat yang hanya memberlakukan rukyah sebatas pada daerah yang
dianggap memang memungkinkan adanya rukyah. Dalam konteks ke-Indonesia-an,
pemikiran ini kiranya tidak berkembang, dan kalaupun ada mungkin hanya
perseorangan saja.
b.
Dalam pemahaman “keadilan” dalam persaksian rukyah.
Dalam hal ini,
semestinya tidak murni permasalahan rukyah, namun sangat terkait dengan
permasalahan hisab. Karena penilaian bahwa seseorang “adil” dalam hal melihat
hilal, orang menilainya sangat terkaitan dengan perhitungan hisab di mana hilal
itu dilihat. Permasalahan ini sebagaimana dicontohkan Taufik : dalam kasus 1
Syawal 1412, 1413, dan 1414 merupakan contoh kasus tidak dapat diterimanya
laporan rukyah karena masih di bawah ufuk.
Kemudian tahun 1418 juga terulang lagi, hanya saja terdapat perbedaan yakni
untuk 1418 pada waktu itu semua sistem sepakat bahwa pada saat matahari
terbenam tanggal 28 Januari 1998 hilal awal Syawal sudah wujud (di atas ufuk
0-1,5 derajat), tetapi belum imkanurrukyah. Berkaitan dengan itu, Muker hisab
rukyah tahun 1996/1997 dan 1998 belum dapat memutuskan awal Syawal 1418
berdasarkan perhitungan yang ada, dan pada akhir Ramadan tersebut memang ada
laporan rukyah dari Bawean dan Cakung, tetapi ditolak oleh Menteri Agama
setelah memperhatikan pandangan sebagian besar peserta sidang isbat. Dalam
sidang tersebut, di antara ormas Islam hanya Muhammadiyah yang meminta supaya
laporan kesaksian tersebut diterima, dan yang lain menolak dengan alasan belum
imkanurrukyah.19)
Melihat fenomena
tersebut, penulis beranggapan bahwa kasus 1418/1998 merupakan proses penetapan
yang sarat dengan muatan politis. Sebagaimana diakui sendiri oleh Basith Wahid
bahwa pada dasarnya selama orde baru, Muhammadiyah selalu paralel dengan
pemerintah19,
namun karena waktu itu pemerintah baru bermasalah dengan Amin Rais (saat itu
sebagai Ketua Umum
Muhammadiyah), maka dalam penentuan awal
Ramadan waktu itu
pemerintah berusaha untuk merangkul Nahdlatul Ulama. Walaupun
pada waktu itu Menteri Agama (dr.
Tarmidzi Tahir) tidak dari unsur NU, ia berpedoman istikmal (rukyah
dinyatakan tidak berhasil), walaupun ada yang melaporkan adanya keberhasilan
rukyatul hilal. Sehingga waktu itu Pemerintah berbeda dengan Muhammadiyah,
namun bersamaan dengan Nahdlatul Ulama. Dari fenomena tersebut penulis
berkesimpulan bahwa penentuan awal Ramadan waktu itu sarat muatan politik.20)
Berangkat dari
permasalahan “mazhab-mazhab” kecil rukyah di Indonesia tersebut, menurut hemat
penulis pada dasarnya merupakan jelmaan dari ragam pemikiran “mazhab” rukyah
pada kalangan fuqaha (terdahulu)21).
3. Pemikiran Hisab Rukyah “Mazhab”
Hisab
Sebagaimana
dalam pemikiran “mazhab” rukyah, dalam
“mazhab” hisabpun terdapat ragam pemikiran “mazhab-mazhab” kecil sebagai
dampak dari adanya perbedaan sistem yang dipakai atau yang dipegangi. Di
Indonesia sistem hisab yang berkembang pada dasarnya banyak sekali, hanya saja
jika ditilik dari dasar pijakannya terbagi dalam dua macam yakni hisab urfi22)
dan hisab hakiki23).
Hisab urfi dalam
konteks ke-Indonesia-an sebagaimana dalam pemikiran hisab rukyah “mazhab”
tradisional ala Islam Jawa yang terekam dalam sistem “Aboge” dan sistem ”Asapon”.
Sedangkan mengenai hisab hakiki dapat dipilah pada pendirian yang mendasarkan
pada ijtima’ yakni sistem yang berpendapat bahwa hakekat bulan Qamariyah itu
dimulai sejak terjadinya ijtima’. Dalam kalangan pemikir hisab terkenal dengan
istilah “Ijtima’un Nayyirain Isbatun
Bainasy-syahrain”, yang sesuai dengan ketentuan astronomi bahwa konjungsi
merupakan batas antar dua lunar months.
Oleh karena ijtima itu hanya terjadi sekali dalam sebulan dan tidak ada
hubungannya dengan tempat-tempat di muka bumi, maka saat ijtima dialami secara
berlainan menurut perhitungan waktu setempat. Ijtima bisa terjadi pada pagi
hari pada suatu tempat, yang dalam waktu bersamaan saat itu sedang siang hari
atau malam hari di tempat lain. Oleh karena itu dalam prakteknya awal bulan
Qamariyah ditetapkan berdasarkan ijtima yang terjadi sebelum matahari terbenam
atau sebelum tengah malam, atau sebelum terbit fajar, sesuai dengan perbedaan
pandangan tentang kapan dimulainya hari.24)
Inilah sistem
yang dipakai oleh Muhammad Manshur dalam karya monumentalnya “Sullamun Nayyirain”. Di mana sampai
sekarang mengkristal dalam “mazhab” kecil yakni mazhab (kalender) Manshuriyyah,
yang banyak dikiblat oleh kalangan hasib-hasib Jawa Timur.25)
Sistem hisab
yang mendasarkan pada posisi hilal, yakni penentuan awal bulan Qamariyah tidak
hanya didasarkan pada ijtima’ melainkan harus diperhatikan posisi hilal di atas
ufuk saat terbenam setelah terjadinya ijtima’26).
Dalam sistem ini
terbagi menjadi tiga yakni :
1. Sistem yang berpedoman pada
ufuk hakiki yakni ufuk yang berjarak 90 derajat dari titik zenith. Prinsip utama
dalam sistem ini adalah sudah masuk bulan baru, bila hasil hisab menyatakan
hilal sudah di atas ufuk hakiki (positif) walaupun tidak imkanurrukyah.
Sehingga sistem ini dikenal dengan sistem hisab wujudul hilal sebagaimana
prinsip yang dipegang Muhammadiyah secara institusi. 27)
2. Sistem yang berpedoman pada
ufuk mar’i yakni ufuk hakiki dengan mempertimbangkan refraksi (bias cahaya) dan tinggi tempat observasi, sebagaimana
pendapat yang dipegang “mazhab” kecil (kalender) Menara Kudus.28)
3. Sistem yang berpedoman pada imkanurrukyah dalam
posisi hilal sudah wujud di atas ufuk hakiki atau mar’i, maka awal bulan
Qamariyah masih tetap belum dapat ditetapkan, kecuali apabila hilal sudah
mencapai posisi yang dinyatakan dapat dilihat.29)
Mengenai sistem
imkanurrukyah, pada bulan Maret 1998 para ulama ahli hisab dan rukyah
dan para perwakilan organisasi masyarakat Islam mengadakan musyawarah kriteria imkanurrukyah untuk Indonesia.
Di mana keputusan musyawarahnya baru
dihasilkan pada tanggal 28 September 1998. Keputusannya adalah :
1. Penentuan awal bulan Qamariyah
didasarkan pada sistem hisab hakiki tahkiki dan atau rukyah .
2. Penentuan awal bulan Qamariyah yang terkait
dengan pelaksanaan ibadah mahdhah yaitu
awal Ramadan, Syawal dan awal Dulhijjah ditetapkan dengan memperhitungkan hisab
hakiki tahkiki dan rukyah.
3. Kesaksian rukyah dapat diterima
apabila ketinggian hilal 2 derajat dan jarak ijtima ke ghurub matahari minimal
8 jam.
4. Kesaksian rukyah hilal dapat diterima
apabila ketinggian hilal kurang dari dua derajat maka awal bulan ditetapkan
berdasarkan istikmal.
5. Apabila ketinggian hilal 2 derajat
atau lebih, awal bulan dapat ditetapkan.
6. Kriteria imkanurrukyah tersebut di
atas akan dilakukan penelitian lebih lanjut.
7. Menghimbau kepada seluruh pimpinan
organisasi kemasyarakatan Islam mensosialisasikan keputusan ini.
8.
Dalam
melaksanakan isbat, pemerintah mendengarkan pendapat-pendapat dari organisasi kemasyarakatan
Islam dan para ahli.30)
Lahirnya sistem
imkanurrukyah di Indonesia itu, penulis menduga karena terilhami adanya batas imkanurrukyah 2 derajat yang lebih awal diputuskan oleh
komite Penyelarasan Rukyah dan Taqwim Islam MABIMS
(Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura)33)
Fenomena Yang Unik
Mazhab
Imkanurrukyah ini merupakan mazhab tawaran Pemerintah dalam rangka menyatukan
perbedaan pemikiran dalam hisab rukyah di Indonesia (dalam hal ini penetapan
awal bulan Ramadan, Syawal Dulhijjah). Di mana dengan tawaran kekuasaan isbat
diserahkan penuh kepada Pemerintah atas
dasar Hukmul Hakim Ilzamun Wa Yarfaul
khilaf, dengan harapan dapat tercapai kesatuan beribadah.
Namun dalam
dataran realitasnya terdapat fenomena yang menarik -- sebagaimana disampaikan
oleh Taufik -- bahwa walau sudah disepakati adanya batasan minimal imkanur rukyah, namun ternyata belum disepakati tentang
boleh dan tidaknya penetapan awal bulan dengan berdasarkan pada imkanur rukyah. Di mana Nahdlatul
Ulama masih “sudah berusaha menerima”, sementara Muhammadiyah juga masih berpegang pada hisab wujudul
hilal. Walaupun dalam muker 1999/2000, baik Nahdlatul Ulama maupun Muhammadiyah
menyatakan akan membahas masalah kriteria imkanurrukyah tersebut pada
muktamarnya masing-masing31), namun sampai
sekarang juga masih berpegang pada prinsipnya masing-masing. Sehingga
sekarang sistem imkanur rukyah ini terkesan
sebagai mazhab tersendiri yakni “mazhab” pemerintah32).
Bahkan fenomena
ini menjadi unik, di mana walaupun dalam setiap kali sidang isbat Pemerintah,
berbagai pihak menempatkan – menghadirkan utusan dalam sidang isbat tersebut
namun tetap saja mengeluarkan ketetapan sendiri-sendiri. Sehingga apapun
istilahnya manakala masih mengikhbarkan atau mengeluarkan putusan
sendiri-sendiri, sulit kiranya menghindari adanya perbedaan.
Ditambah lagi
dengan adanya golongan An-Nadhir dan Thariqah Naqsabandiyah yang makin
meramaikan perbedaan awal bulan Qomariyah. Golongan An-Nadhir memiliki kriteria
penentuan awal bulan Qomariyah sendiri, yaitu dengan melihat pasang surutnya
air laut. Jika pada saat maghrib pada tanggal 29 itu air laut pasang, maka
besoknya mereka berlebaran, dan jika sebaliknya maka hari esok masih berpuasa.
Berbeda dengan golongan Thariqah Naqsabandiyah yang berada di Padang Sumatera,
mereka menetapkan awal bulan Qomariyah dengan rukyah namun dengan metode
perhitungan tersendiri yang disebut dengan Putaran Golek 5.33)
Oleh karena itu,
dalam menyikapi fenomena ini kiranya yang perlu dikedepankan adalah perlu
membangun kesepakatan untuk bersama dulu. Dalam konteks
apapun, sebenarnya kebersamaan lebih maslahah. Apalagi ada fatwa MUI no 2 tahun
2004 yang jelas-jelas mengamanatkan kepada Pemerintah cq Menteri Agama untuk
mengisbatkan 1 Ramadan, Syawal dan Dulhijjah. Semangat membangun kebersamaan
ini kiranya tak henti-hentinya diupayakan oleh menteri Agama dengan berupaya
semaksimal mungkin bagaimana sidang isbat dilaksanakan dengan mendengar
pendapat tokoh-tokoh ormas dan para pakar, dan bahkan berupaya memberikan
informasi edukatif kepada masyarakat derngan mengadakan sarasehan pra sidang
isbat. Semoga kedepan dengan lahirnya ahli Falak yang prospektif futuristik,
dapat membangun suasana kebersamaan ini lebih baik lagi.amin
Wa Allahu A’lam
bishshowab.
1) Di antara kedua belas bulan hijriyah yang paling mendapat perhatian
umat Islam adalah bulan Ramadan, Syawal dan Dulhijjah, sebab di dalamnya
terdapat kewajiban berpuasa dan haji atas umat Islam. Lihat Q.S. Al-Baqarah : 185 dan 197. Penetapan
awal bulan hijriyah selain ketiga bulan tersebut dapat dipakai hisab karena dalam hal ini
tidak diperlukan “isbat al-Qadli”. Penetapan bulan ini semata-mata untuk perhitungan waktu tidak benar-benar untuk kepentingan
ibadah. Baca Imam Abu Al-Hayyan, Al-Bahr al-Muhith, Kairo : Bairut,
jilid II, h. 62.
2) Memang banyak hadis-hadis hisab rukyah yang
secara redaksional berbeda-beda tetapi secara esensial tidak jauh berbeda, di
antaranya redaksinya: “Shumu
lirukyatihi wa afthiru lirukyatihi fa in
ghumma faqduru lahu” Baca Abu Husen Muslim bin al-Hajjaj, Shahih
Muslim, Kairo, t.th, h. 481 .
3) Mengenai pemikiran
Islam Jawa dapat dibaca dalam Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam
Masyarakat Jawa, Jakarta :
Pustaka Jaya, 1981.
5 Ini sebagaimana dilakukan oleh para sarjana
di Jerman pada tahun 1923 mendirikan mazhab Frankfurt (Die Frankfurter Schule) oleh Felix Weil yang anggotanya kebanyakan
berfanatik Marsixme. Begitu para
parak intelektual Ciputat sebagai basis liberalisasi pemikiran Islam memilih
urgensi mazhab untuk melegitimasi arus pemikirannya yang berkembang dari sarang
kampus IAIN yakni mazhab Ciputat yang lahir dari sosok Nurcholis Madjid, baca
Edy A. Effendy (ed.), Dekontruksi Islam
Mazhab Ciputat, Jakarta : Zaman Wacana Mulia, cet. I. 1999, h. 1-6.
6 Sebagaimana dikemukakan Zalbawi Suyuti dalam
makalahnya dalam buku Tehnologi Rukyah oleh
ICMI Jakarta, Januari 1994.
4) Menurut hasil penelitian Andy Ahmad Zaelany,
bahwa penentuan hari raya lebaran secara tradisional ala Islam Jawa sudah dikenal lama oleh masyarakat Jawa. Hampir
semua masyarakat Jawa mengenalnya – atau paling tidak mendegarnya – sebagaimana
yang dipraktekkan oleh pendudukan yang tinggal di dusun Golak, terletak di desa
Genteng Kecamatan Ambarawa Semarang, Jawa Tengah. Hasil penelitian ini dapat
dilihat dalam Andy Ahmad Zaelany, Menentukan Hari Lebaran Ala Islam Jawa Kasus
Dusun Golak, Ambahrawa, pada
Journal Ulumul Qur’an, no, Vol. VI,
tahun 1996, h. 62-70.
5) Sebagaimana
dikatakan umat Islam di dusun Golak ketika ditanya tentang prinsip menentukan
hari lebaran. Seperti ketika versi pemerintah, suatu pagi ditentukan tanggal 1
Ramadan, maka bagi mereka tanggal 1 Ramadan baru jatuh pada hari berikut (yakni
tgl 2 Ramadan versi pemerintah), ibid,.
6) Clifford Geertz, Op. Cit., h. 510. Dan bandingkan juga
dengan Slamet Hambali, Almanak Sepanjang
Masa, Semarang : Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 1978, h. 7-10.
7) Istilah “pletek” di sini dapat dikaitkan dengan
prinsip yang pertama, yaitu bahwa tanggal dihitung mulai maghrib hari itu.
Menurutnya hilal itu sangat sulit dilihat dengan mata telanjang ; hilal baru
akan terlihat agak jelas pada tanggal dua Ramadan. Karena itu tidaklah
mengherankan bila pendudukan dusun yang mengikuti mazhab ini baru mulai puasa
sehari setelah hari puasa nasional dimulai dan ini berakibat pula hari lebaran
akan jatuh sesudah hari lebaran nasional. Semisal hari lebaran nasional jatuh
pada hari Kamis, sekitar pukul 18.00 yang ditandai dengan takbiran dan sesajen.
Adapun shalat Ied diselenggarakan keesokan harinya, yakni Jum’at pagi.
Perbedaan ini bisa menjadi dua hari bila bulan Ramadan hanya 29 hari. Hal ini
disebabkan dalam kalender Hijriyyah-Jawa bulan puasa selalu berjumlah 30 hari.
Lihat Andy Ahmad Zaelany, Op. Cit.,
h. 67
8) Saka secara bahasa
(Jawa) berarti perbuatan, berasal dari kata Sansekerta Syaka yang berarti bangsa
seyth. Sedangkan menurut kamus Jawa Kuno (Kawi) : Soko atau sakabda yang berarti tahun saka (mulai tahun 76 M oleh
Sahwaha) yakni perhitungan menurut perjalanan matahari, atau dalam arti tahun
Hindu yang dimulai bertahtanya Adji Saka. Lihat C. C. Berg, Penulisan Sejarah Jawa, Terj. S.
Gunawan, Jakarta : Bratara Karya Aksara, 1985, h. 93, bandingkan L.
Wardiwarsito, Kamus Jawa Kuno (Kawi) –
Indonesia, Jakarta : Nusa Indah, 1978, h. 330, bandingkan juga S. Prawiro
Atmojoyo, Bausastra Jawa – Indonesia,
jilid II, Jakarta : Masagung, 1980, h. 158 - 159.
9) Sri Sultan Muhammad
Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo adalah raja pada kerajaan Mataram II pada
tahun 1613 – 1645 M, lihat MUI Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalender Islam Sultan Agung adalah Kalender Nasional, Yogyakarta :
Offset, 1987, h. 12.
10) Kartono Kamajaya
Partokusumo, Kebudayaan Jawa Perpaduannya
Dengan Islam, Yogyakarta : Aditya Media, 1995, h. 200.
11) Mengenai prinsip
perhitungan kalender Jawa baik pemikiran
“Ajumgi”, Akawon”, “Aboge” dan “Asapon”
pada dasarnya sama hanya berbeda dalam penentuan awal tahun Alipnya. Sedangkan
lacakan sejarah perubahan ini
sebagaimana penulis temukan dalam Slamet Hambali, Loc. Cit. Namun untuk istilah “Ajumgi”
dan “Akawon” adalah hanya merupakan
kreasi penulis dalam rangka untuk mempermudah
dengan cara berpedoman pada istilah yang selama ini sudah baku yakni “Aboge” dan “Asapon”. Karena penulis tidak menemukan istilah untuk dua pedoman tersebut.
12) Tjokorda rai
Sudharta, I Gusti Oka Hermawan, W. Winda Winaban, Kalender 301 Tahun, Jakarta : Balai Pustaka, 1984, h.22.
13) Mengenai alasan
mengapa harus terjadi perubahan (penyesuaian) kalender dalam kalender Jawa dan
mengenai perhitungan penentuan kalender Jawa. Dapat dilihat dalam Slamet
Hambali, Loc. Cit. Dan bandingkan
juga dalam H. G. Den Hollander, Beknopt
Leerboekje der Cosmografie, Terj. I Made sugita, Jakarta : J. B. Wolters
Groningen, 1951, h. 81-83.
15) Jika dilihat tapak
tilas sejarah menurut hemat penulis
Hizbut Tahrir adalah Jama’atul
Muslimin Hizbullah yang mengkampanyekan daulah islamiyyah, lihat Wali al-Fatah,
Khilafah Ala Minhajin Nubuwah ,
Jakarta : Al-Jama’ah, 1990, h. 83.
16) Hizbut Tahrir
memang akhir-akhir ini sering kali mengadakan diskusi panel menghadapi Ramadan
dengan tema “Kesatuan Awal dan Akhir
Ramadan Menuju Kesatuan Ummat”, sebagaimana yang pernah penulis ikuti di
Semarang yang diselenggarakan oleh lembaga dakwah al-Misykah, November
2000.
18) Sisi
demokratisnya nampak dari adanya
kebebasan warga NU dalam memegang pemikiran Hisab Rukyah, sebagaimana dalam
banyak pesantren yang nota bene basic Nahdlatul ulama malahan banyak yang
memegang pemikiran hisab murni, seperti Pondok Pesantren al-Falah Ploso Mojo
Kediri. Di samping memang NU sendiri memang memberi kebebasan berpikir
dalam hal ini, namun selagi tidak difatwakan kepada masyarakat awam, lihat
Abdul Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan
Nahdlatul ulama (Hasil Muktamar Dan Munas Ulama ke- 1 th 1926 sampai dengan ke-
29 tahun 1994), Surabaya : PP RMI bekerja sama dengan Dinamika Pres, 1997,
h. 301.
19) Taufik, Loc. Cit. Mengenai keputusan Menteri
Agama tentang penetapan 1 Syawal 1412, 1413, 1414, 1418 dapat dilihat dalam
Depag, Himpunan Keputusan Menteri Agama tentang Penetapan Tanggal 1 Ramadan dan
1 Syawal tahun 1381 –1418 h / 1962-1997 M
20) Baca artikel Ahmad
Izzuddin, Awal Akhir Ramadan yang
Kompromistis, Suara Merdeka, 1 Desember 1999, h. 4.
21) Mengenai ragam
pemikiran “Mazhab” rukyah pada kalangan fuqaha dapat dilihat tuntas dalam
Syihabuddin Ahmad bin Hajar al-Haitami, Tuhfah
al-Muhtaj, jilid III, Kairo : Baerut, t.th., h. 382, dan bandingkan juga
Abdul Hamid al-Syarwani, Hasyiyah
al-Syarwani, jilid III, Kairo : Baerut, t. th., h. 332.
22) Hisab urfi adalah
sistem hisab penentuan awal bulan qamariyah yang didasarkan pada waktu
rata-rata peredaran bulan, lihat Taufik, Loc.
Cit., bandingkan dengan Muhammad Nur, Pedoman
Perhitungan awal Bulan Qamariyah, Jakarta : depag RI, 1983, h. 7.
23) Hisab Hakiki adalah
sistem hisab yang didasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya, Ibid. Sedangkan mengenai istilah hisab
hakiki dan pengelompokannya dalam hisab hakiki taqribi, hakiki tahkiki dan
hakiki kontemporer adalah merujuk pada hasil seminar sehari Hisab Rukyah pada
tanggal 27 April 1992 di Tugu Bogor. Walaupun pada dasarnya embrio pemilahan
itu sudah ada sejak dulu zaman KH Manshur dalam kitab Sullamun Nayyirain dan KH Zubaer Umar Al-Jaelany (mantan Rektor
IAIN Walisongo) dalam kitab Al-Khulashatul
Wafiyah.
25) “Mazhab” kecil Manshuriyyah adalah aliran
hisab yang tidak begitu besar dan tidak begitu banyak pengikutnya, bahkan
markas Manshuriyyah sendiri terkesan sudah pudar, ini nampak adanya sudah
pudarnya Pondok Pesantren yang dulu merupakan pusat hisab Sullamun Nayyirain.
Namun sampai sekarang masih sering kali diperhitungkan dalam putusan sidang
ithbat yang diselenggarakan oleh pemerintah, ini terbukti masukl dalam berita
acara sidang isbat.
27) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majlis Tarjih Muhamadiyyah,
cet. III, t.th., h. 291-292. Bandingkan Oman Fathurrahman, Penentuan Awal Ramadan dan Syawal 1418/1998 yang disampaikan dalam
acara lokakarya imsakiyyah PPM IAIN
Walisongo Semarang, 20 November 1997
28) Pendapat ini
dipegang oleh ulama karismatik
(almarhum) KH Turaihan Kudus yang begitu disegani dan banyak
pengikutnya, baca Slamet Hambali, Penentuan 1 Syawal 1414 H/1994, dalam Al-Ahkam, no.10, Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang, 1993.
30) Hasil musyawarah
ulama, ahli hisab dan rukyah dan ormas Islam tentang kriteria imkanurrukyah
yang dilaksanakan pada tanggal 24-26 Maret 1998 / 25-27 Dulqa’dah 1418 di
hotel USSU , Cisarua Bogor.
33) Komite ini lahir berawal dari pertemuan
tahunan tidak resmi Menteri-Menteri Agama negara Brunei, Indonesia, Malaysia
dan Singapura sejak 1991.
32) Sebagaimana sering disinggung oleh Slamet
Hambali dalam setiap tulisannya tentang ada dan tidaknya perbedaan antara
Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan
Pemerintah. Dan informasi terakhir (19 Maret 2002 ketika pertemuan tokoh hisab
rukyah di Jakarta), akan direncanakan
adanya Muktamar Bersama antara Nahdlatul Ulama dengan Muhammadiyah dan
ormas-ormas yang lain dalam membahas hisab rukyah ini.
33) Perhitungan awal
Ramadhan tahun sekarang ditetapkan berdasarkan perhitungan awal Ramadhan tahun
lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar