BAYANG-BAYANG ASHAR : Kajian Fiqh al-Miqat Waktu Shalat Ashar
Oleh:
Badrun Tamam, S,HI.
A.
Pendahuluan
Persoalan shalat adalah merupakan
persoalan fundamental dan signifikan dalam Islam. Dalam menunaikan kewajiban
shalat, kaum muslimin terikat pada waktu-waktu yang sudah ditentukan. Shalat
lima waktu tidak bisa dilakukan dalam sembarang waktu, tetapi harus mengikuti
atau berdasarkan dalil-dalil baik dari al-Quran maupun al-Hadith. Dari
ketentuan yang termuat dalam al-Quran dan hadis dapat dipahami bahwa ketentuan
shalat tersebut berkaitan dengan posisi matahari pada bola langit.
Begitu banyaknya hadis yang
meriwayatkan tentang waktu shalat ternyata telah menuai beberapa persilangan
pendapat. Makalah ini akan membahas bagaimana pandangan para ulama’ dalam
menyikapi teks hadis yang “saling bertentangan” dalam hal waktu-waktu shalat
tersebut. Fokus kajian kali ini kami spesifikkan pada kajian waktu shalat
ashar, dengan memaparkan pendapat-pendapat ulama dalam memahami bayang-bayang
ashar.
Dalam membahas, penulis paparkan hadis-hadis
yang berhubungan dengan kajian, kemudian pendapat para fuqaha’ dalam memahami
hadis-hadis tersebut, kemudian kompromi di antara hadis yang ta’arudl, jika
memang terjadi pertentangan di antara hadis-hadis tersebut.
Kajian ini akan penulis bagi pada
tiga bab, yaitu, 1) Pendahuluan, 2) pembahasan, yang berisi subbab nas-nas yang
menerangkan tentang shalat ashar, pendapat-pendapat ulama’, serta kompromi
pendapat-pendapat tersebut, 3) kesimpulan.
Adapun metode yang digunakan ialah
analisis-deskriptif. Dan pendekatan yang penulis lakukan adalah pendekatan fiqh
muqaran.
B. Pembahasan
1. Dasar Hukum Waktu Shalat Ashar
Ada beberapa ayat Alquran dan al-Hadith yang
menyebutkan tentang waktu-waktu shalat Ashar. Di antaranya,
a. Al-Rum, 17-18.
فَسُبْحَانَ اللهِ حِيْنَ تُمْسُوْنَ وَ حِيْنَ تُسْبِحُوْنَ (17) وَلَهُ
الْحَمْدُ فِي السَّمَوَاتِ وَاْلاَرْضِ وَعَشِيًّا وَحِيْنَ تُظْهِرُوْنَ (18)
“Maka bertasbihlah kepada Allah di waktu kamu berada di petang hari dan
waktu kamu berada di waktu subuh, dan bagi-Nyalah segala puji di langit dan di
bumi dan di waktu kamu berada pada petang hari dan di waktu kamu berada di
waktu Zuhur.
Ayat ini merupakan perintah dari Allah Ta’ala
kepada para umat Islam untuk melakukan ibadah dan menjaga shalat-shalat yang
telah diwajibkan kepada kita tepat pada waktunya. Berkenaan dengan hadis ini
Ibnu Abbas ra mengatakan,
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ فِي اْلقُرْأَنِ، قِيْلَ لَهُ, أَيْنَ؟ قَالَ, قَالَ
اللهُ تَعَالَى, " فَسُبْحَانَ اللهِ حِيْنَ تُمْسُوْنَ" صَلاَةُ الْمَغْرِبِ
وَالْعِشَاءِ، " وَ حِيْنَ تُسْبِحُوْنَ" صَلاَةُ الْفَجْرِ،
"وَعَشِيًّا" الْعَصْرُ، "وَحِيْنَ تُظْهِرُوْنَ" الظُّهْرُ. [1]
Artinya, Shalat lima waktu ada dalam Alquran, dia ditanya,”di mana?”, dia
menjawab, Allah Ta’ala berfirman, “فَسُبْحَانَ اللهِ حِيْنَ تُمْسُوْنَ” ialah shalat maghrib dan Isya’, “وَ حِيْنَ تُسْبِحُوْنَ”ialah
shalat fajar, “وَعَشِيًّا”ialah shalat Ashar, “وَحِيْنَ تُظْهِرُوْنَ” ialah
shalat Dhuhur.”
b. Hud, 113.
وَأَقِمِ الصَّلاَةَ طَرَفَيِ النَّهاَرِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ
الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِيْنَ (هود, 114)
“dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang)
dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan
yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah
peringatan bagi orang-orang yang ingat.”
Menurut Ibn Abbas, ayat pertama mengingatkan
pada empat waktu shalat, yaitu maghrib, shubuh, Ashar dan Dhuhur, sedangkan
shalat Isya’ ditunjukkan dalam ayat kedua, yaitu “وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ” . [2]
c. Al-Isra’, 78.
أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوْكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ الَّليْلِ وَقُرْأَنَ
الْفَجْرِ، إِنَّ قُرْأَنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُوْدًا (الاسراء, 78)
“dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir
sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh]. Sesungguhnya shalat
subuh itu disaksikan (oleh malaikat).”[3]
d. Hadis Ibnu Abbas
عن ابن عباس رضي الله عنه قال, قال رسول الله صلى الله عليه وسلم, أَمَّنِيْ
جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ عِنْدَ الْبَيْتِ مَرَّتَيْنِ، فَصَلَى الظُّهْرَ
فِيْ الْاُوْلَى مِنْهُمَا حِيْنَ كَانَ الْفَيْءُ مِثْلَ الشِّرَاكِ، ثُمَّ
صّلَّى الْعَصْرَ حِيْنَ كَانَ كُلُّ شَيْءٍ مِثْلَ ظِلِّهِ، ثُمَّ صَلَّي
الْمَغْرِبَ حِيْنَ وَجَبَتِ الشَّمْسُ، وَأَفْطَرَ الصَّائِمُ، ثُمَّ صَلَّى
الْعِشاَءَ حِيْنَ غابت الشفق ثم صلى الفجر حين برق الفجر وحرم الطعام على الصائم،
وصلى المرة الثانية الظهر حين كان كل شيء مثله – لوقت العصر بالامس – ثم صلى العصر
حين كان ظل كل شيء مثليه، ثم صلى المغرب لوقته الاول، ثم صلى العشاء الاخرة حين
ذهب ثلث الليل، ثم صلى الصبح حين أسفرت الارض، ثم التفت إليَّ جبريل فقال, يا
محمد، هذا وقت الأنبياء من قبلك، والوقت فيما بين هذين الوقتين.[4]
“Dari Ibnu Abbas ra; Rasulullah saw
bersabda; Jibril as telah mengimami (shalat)ku ketika di rumah sebanyak dua
kali, maka ia shalat dhuhur pada yang
pertama dari kedua waktu tersebut, ketika panjang bayang-bayang matahari
setelah zawal (condongnya matahari ke arah barat) sama dengan panjangnya tali
sandal, kemudian ia (Jibril as) shalat ashar ketika setiap benda sama panjang
dengan bayangannya, kemudian shalat maghrib ketika matahari telah jatuh
(tenggelam) dan orang yang berpuasa berbuka, kemudian shalat isya ketika syafaq
(mega) telah hilang, kemudian shalat shubuh ketika fajar telah bersinar dan
diharamkan makan bagi orang yang puasa; dan ia (Jibril as) shalat dhuhur pada
kesempatan kedua ketika bayangan setiap benda sama panjang dengan bendanya –
untuk waktu ashar pada kesempatan pertama kemarin – kemudian shalat ashar ketika
bayangan setiap benda dua kali panjang bendanya, kemudian shalat maghrib pada
waktu yang pertama (sama dengan kemarin), kemdian shalat isya yang akhir ketika
telah melewati sepertiga malam, kemudian shalat shubuh ketika bumi telah
menguning; kemudian ia menoleh dan berkata “ hai Muhammad, ini adalah waktu
para nabi sebelummu, dan waktu itu adalah di antara dua waktu ini”.
e. Hadis Abdullah ibn Amr ibn Ash.
وروى مسلم رحمه الله في صحيحه عن عبد الله بن عمرو بن العاص أنه قال, سئل رسول
الله صلى الله عليه وسلم عن وقت الصلوات، فقال, "وقت صلاة الفجر ما لم يطلع
قرن الشمس الأول، ووقت صلاة الظهر إذا زالت الشمس عن بطن السماء ما لم يحضر العصر،
ووقت صلاة العصر ما لم تصفر الشمس، ويسقط قرنها الأول، ووقت صلاة المغرب إذا غابت
الشمس ما لم يسقط الشفق، ووقت صلاة العشاء إلى نصف الليل.[5]
”Imam Muslim meriwayatkan di shahihnya dari Abdillah ibn Amr ibn
al-‘Ash sesungguhnya ia berkata; Rasulullah saw telah ditanya tentang waktu
shalat. Maka beliau menjawab “waktu shalat fajar ialah selagi matahari belum
terbit, waktu shalat dhuhur ialah ketika matahari sudah condong (zawal) dari
perut langit dan selama belum masuk waktu ashar, waktu shalat ashar ialah
selama matahari belum menguning dan priringan pertama mataharai tenggelam,
waktu shalat maghrib ialah ketika matahari telah tenggelam dan selama mega
belum tenggelam, dan waktu shalat isya; ialah hingga setengah malam.
2. Awal Waktu
Ashar
Awal waktu untuk shalat Ashar telah diinformasikan oleh hadis Ibnu Abbas di atas. Namun ada perbedaan informasi yang ditangkap dari hadis tersebut,
yaitu pertama, awal waktu shalat ashar adalah ketika panjang bayang-bayang
suatu benda sama dengan bendanya ditambah dengan panjang bayang-bayang saat
matahari berkulminasi. Kedua, Nabi saw. diajak oleh shalat Ashar oleh malaikat
Jibril as ketika panjang bayangan dua kali tinggi benda sebenarnya, selain
bayang-bayang saat matahari berkulminasi (dhil al-istiwa’). Shalat kedua
ini dilakukan keesokan harinya setelah shalat pertama.[6]
Pendapat pertama merupakan pendapat para jumhur fuqaha’. Pendapat ini didasarkan kepada hadis Ibn Abbas di atas, bahwa
pada hari pertama Rasulullah bersama malaikat jibril shalat dhuhur setelah
zawal dan pada hari kedua ketika bayangan benda sama panjang dengan bendanya.
Ini menandakan bahwa waktu dhuhur adalah di antara dua waktu itu, yaitu setelah
zawal matahari hingga bayangan benda sama panjang dengan bendanya. Dengan
penjelasan ini, dapat dihasilkan penjelasan tentang akhir waktu dhuhur dan awal
waktu ashar. Awal waktu ashar yaitu setelah akhir shalat dhuhur, setelah panjang
bayangan melebihi panjang bendanya.[7]
Sedangkan yang kedua adalah pendapat Imam Abu Hanifah.[8]
Untuk mendukung pendapatnya ini, Imam Abu Hanifah mendasarkannya juga pada hadis
Nabi saw, ,
عن أبي ذرَ رضي الله عنه أنه قال, كنا مع النبي صلى الله عليه وسلم في سفر،
فأراد المؤذن أن يؤذن للظهر، فقال النبي صلى الله عليه وآله وسلم,
"أبرد"، ثم أراد أن يؤذن، فقال له, "أبرد" حتى رأينا فيء
التلول – وفي رواية أخرى للبخاري - ,"حتى ساوى الظل التلول"، فقال النبي
صلى الله عليه وعلى آله وسلم, إن شدة الحر من فيح جهنم، فإذا اشتد الحر فأبردوا
بالصلاة. (رواه البخاري ومسلم رحمها الله تعالى)[9]
Hadis Abi Dzar di atas menginformsikan bahwa Nabi saw pernah memerintahkan
untuk menunda shalat dhuhur ketika cuaca sangat panas, hingga bayang-bayang
suatu benda telah sama dengan bendanya. Dari ini dapat diketahui bahwa waktu
shalat dhuhur belum habis, sehingga belum masuk shalat ashar ketika
bayang-bayang benda sepanjang bendanya.
Nazar Mahmud Qasim menyikapi kontradiksi ini
dengan menyatakan bahwa ada waktu pemisah antara bayang-bayang benda sepanjang
bendanya dan bayang-bayang benda dua kali panjang bendanya. Sebagai sampel, ia
menyebutkan dua hari dalam satu tahun yang mempunyai waktu siang yang berbeda,
yaitu hari yang siangnya terpendek dan hari yang siangnya terpanjang. Dengan
mengetahui kedua hari ini dapat dikira-kirakan batas terpendek dan terpanjang
untuk waktu pemisah tersebut. Ia menemukan bahwa selisih waktu antara kedua
jenis bayangan tersebut untuk hari yang siangnya terpendek ialah 39 menit, dan
untuk hari yang siangnya terpanjang ialah 1 jam 15 menit.
Lebih lanjut, ia berpendapat bahwa selisih
waktu ini berlaku untuk seluruh tempat yang terhampar di permukaan bumi,
kecuali tempat-tempat di daerah kutub utara yang tidak bersela antara siang dan
malam. Untuk teknis pelaksanaan shalat dhuhur, orang yang menginginkan shalat
dhuhur setelah bayang-bayang benda sepanjang bendanya, harus mengetahui waktu
sampainya bayang-bayang benda dua kali panjang bendanya. Jika ia tidak
mengetahui hal tersebut, ia shalat dhuhur sebelum melebihi 39 menit dari
permulaan bayang-bayang benda sepanjang bendanya, dan diyakini kalau shalat
yang ia lakukan dapat termuat pada waktu sebelum melebihi batas tersebut. Hal
ini karena haram mengakhirkan shalat pada waktu yang diragukan keluarnya waktu
tersebut.
Sedangkan orang yang menginginkan shalat
setelah bayang-bayang benda dua kali panjang benda dan ia tidak mempunyai
taqwim, ia harus shalat setelah 1 jam 15 menit sejak bayang-bayang benda
sepanjang bendanya.
3. Akhir Waktu Ashar
Informasi tentang akhir waktu ashar dapat
digali dari beberapa hadis Nabi saw sebagai berikut,
عن أبي هريرة رضي الله عنه أنه قال, قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ,
"من أدرك من الصبح ركعة – وفي رواية أخرى عند البخاري و مسلم رحمها الله,
"سجدة" – قبل أن تطلع الشمس فقد أدرك الصبح، ومن أدرك ركعة – وفي رواية
أخرى عند البخاري و مسلم رحمها الله, "سجدة" – من العصر قبل أن تغرب
الشمس فقد أدرك العصر"[10]
وعن عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنهما أنه قال, قال رسول الله صلى
الله عليه وعلى آله و سلم, "فإذا صليتم العصر فإنه وقت إلى أن تصفرّ
الشمس"[11]
عن ابن عباس رضي الله عنهما أنه قال, قال رسول الله صلى الله عليه و على آله
وسلم, "أمني جبريل عليه السلام عند البيت مرتين ... ... ... ثم صلى (أي في
المرة الثانية) العصر حين كل شيء مثليه".[12]
Hadis-hadis di atas menuai beberapa kesepakatan dan hal-hal yang
kontradiktif di antara para ulama fiqh. Merupakan suatu kesepakatan bahwa orang
yang shalat ashar ketika matahari masih putih dan bersih, ia telah melakukan
shalatnya tepat pada waktunya, didasarkan pada hadis Abdullah Ibn Amr Ibn ‘Ash
di atas.[13]
Adapun yang menuai ketidaksepakatan ialah tentang akhir waktu shalat Ashar. Ada
beberapa qaul tentang akhir waktu shalat Ashar yang kontradiktif dengan
didasarkan pada beberapa hadis yang memang memberikan informasi yang
kontradiktif pula terhadap hal tersebut.
Pendapat pertama mengatakan bahwa akhir waktu shalat Ashar ialah
ketika terbenamnya matahari di ufuk barat. Pendapat dianggap sebagai pendapat
yang shahih oleh para Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah, dengan mendasarkannya
pada hadis Abu Hurairah ra dan yang lain di atas.[14]
Hadis itu menginformasikan bahwa mendapatkan satu rakaat shalat sebelum
tenggelamnya matahari sudah terhitung mendapatkan shalat Ashar. Sehingga dapat
dipahami bahwa waktu satu rakaat tersebut masih termasuk waktu shalat Ashar,
yaitu sebelum tenggelamnya matahari.
Pendapat kedua, yaitu pendapat yang dianggap rajih oleh ulama
Hanabilah dan Malikiyah, bahwa waktu Ashar berakhir dengan menguningnya
matahari (Ishfirar al-Syamsi). Pendapat ini didasarkan pada hadis
Abdullah Ibn Amr Ibn ‘Ash ra yang menginformasikan dengan redaksinya “فإنه وقت إلى أن تصفرّ الشمس , ,
sesungguhnya Ashar ialah waktu hingga menguningnya matahari.[15]
Hadis lain yang menunjukkan berakhirnya waktu Ashar dimuali dengan menguningnya
matahari ialah Hadis Buraidah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, sebagai
berikut,
عن بريدة
رضي الله عنه أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم فسأله عن مواقيت
الصلاة ، ... وفي هذا الحديث قال – فم أمره بالعصر
(أي في المرة الثانية) والشمس بيضاء نقية لم تخالطها صفرة ... وفي أخره قال صلى
الله عليه وسلم , "ما بين ما رأيت وقت"
4. Al-Tarjih
Wa al-Jam’u Baina al-Riwayat (Kompromi Hadis)
Telah banyak hadis-hadis yang mengisyarahkan bahwa sesungguhnya
shalatnya Nabi saw untuk shalat ashar adalah sebelum menguningnya matahari. Di
samping itu ada hadis yang menyebutkan bahwa Nabi saw shalat ashar sebelum
ghurub, atau setelah menguningnya matahari. Sehingga jika hadis-hadis yang
saling bertentangan tersebut dikompromikan, maka hadis pertama yang menerangkan
waktu ashar berakhir ketika menguningnya matahari kita bawa pada waktu yang mustahab,
dan tidak makruh. Sedangkan hadis kedua yang menerangkan waktu shalat ashar
berakhir sebelum ketika terbenamnya matahari kita bawa pada waktu yang dlarurat
atau waktu karahah.[16]
C.
Kesimpulan
Ada dua pendapat mengenai awal waktu shalat ashar, pertama, bahwa
waktu shalat ashar yaitu waktu setelah bayang-bayang benda sama panjang dengan
bendanya, selain baying-bayang istiwa’, dan kedua adalah waktu setelah
baying-bayang benda dua kali panjang bendanya, ditambah dengan baying-bayang
waktu istiwa’ . Pendapat pertama adalah pendapat jumhur, sedangkan kedua adalah
pendapat Abu Hanifah.
Ada waktu pemisah antara bayang-bayang benda
sepanjang bendanya dan bayang-bayang benda dua kali panjang bendanya. selisih
waktu antara kedua jenis bayangan tersebut untuk hari yang siangnya terpendek
ialah 39 menit, dan untuk hari yang siangnya terpanjang ialah 1 jam 15 menit.
Selisih waktu ini berlaku untuk seluruh tempat
yang terhampar di permukaan bumi, kecuali tempat-tempat di daerah kutub utara
yang tidak bersela antara siang dan malam. Orang yang menginginkan shalat
setelah bayang-bayang benda dua kali panjang benda dan ia tidak mempunyai
taqwim, ia harus shalat setelah 1 jam 15 menit sejak bayang-bayang benda
sepanjang bendanya.
Mengenai akhir waktu ashar, hadis-hadis yang
saling bertentangan tersebut dikompromikan,sehingga hadis pertama yang
menerangkan waktu ashar berakhir ketika menguningnya matahari kita bawa pada
waktu yang mustahab, dan tidak makruh. Sedangkan hadis kedua yang
menerangkan waktu shalat ashar berakhir sebelum ketika terbenamnya matahari
kita bawa pada waktu yang dlarurat atau waktu karahah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qurthuby,
al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, Juz 14, Beirut, Dar al-Kitab al-‘Araby,
1907,
Muslim, Shahih
Muslim, Beirut, Dar al-Ma’rifah, 1995
Al-Bukhary,
Shahih al-Bukhary, Riyadl, Dar al-Afkar al-Dauliyyah, 1998.
Qasim,
Nazar Mahmud, al-Ma’ayir al-FIqhiyyah wa al-Falakiyyah fi I’dad al-Taqawim
al-Hijriyyah, Beirut, Dar al-Basyair al-Islamiyyah, 2009.
Ibn Najim, al-Bahr
al-Raqiq Syarh Kanz al-Daqaiq, tt
Abu Dawud,
Sunan Abu Dawud, Beirut, al-Maktabah al-‘Ashriyyah, tt.
Tirmidzy, Sunan
al-Tirmidy,Kairo, Dar al-Hadith, tt.
Ibnu Qudamah, Al-Mughzny,
Kairo, Dar al-Hadith, 1996.
Abu
Bakr Ibn Mas’ud al-Kasany al-Hanafy, Badai’ al-Shanai’ fi Tartib al-Syarai’,
,Beirut, Dar al-Kitab al-‘Araby, 1984
al-Nawawy,
Muhyiddin Ibn Syaraf, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab li al-Nawawy, Dar
Ihya’ al-Turats al-‘Araby.
Al-Syarbiny,
Syamsuddin Muhammad ibn al-Khathib,
Mughni al-Muhtaj Ila Ma’rifat alfadh al-Minhaj, Beirut, Dar al-Fikr, 1995.
Jamaluddin
Ibn Umar Ibn al-Hajib al-Maliky, Jami’ al-Ummahat, Beirut, Dar
al-Yamamah, 1998.
Ahmad
Dardiri, al-Syarh al-Kabir, Beirut, Dar al-Fikr, tt.
Al-Syarnablaly,
Hasan Ibn Ammar, Muraqy al-Falah Syarh Nur al-Idlah, 1990
[1] Lihat al-Qurthuby,
al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, Juz 14, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Araby,
1907), h. 14.
[3] Imam Malik meriwayatkan dari Ibnu Abbas
radliyallahu Anhu, bahwa yang dimaksud dengan duluk al-syamsi adalah mailuha
(condongnya matahari ke arah barat), dan yang dimaksud dengan ghasaq al-lail
adalah ijtima’ al-lail wa dhulmatuh (berkumpulnya dan gelapnya malam).
Lihat
al-Qurthuby, al-Jami’ ,,, ,,, , Juz 10, h. 304.
[4] HR (Abu Dawud,
Kitab al-Shalah, Bab fi al-Mawaqit, Juz 1, no 393; al-Tirmidzy (139), Abwab
Mawaqit al-Shalah, Bab Ma Ja’a fi al-Mawaqit. Al-Tirmidzy menilai hadis ini
hasan shahih; Ahmad (333).
[5] Muslim (616,
Kitab al-Masajid wa Mawadli’ al-Shalah, Bab Awqat al-Shalawat al-Khams).
[6] Nazar Mahmud
Qasim, al-Ma’ayir al-FIqhiyyah wa al-Falakiyyah fi I’dad al-Taqawim
al-Hijriyyah, (Beirut: Dar al-Basyair al-Islamiyyah, 2009), h. 21.
[7]
Al-Nawawy, al-Majmu’
Syarh Muhaddzb, Juz 3, tt, h.22
[8] Ibn Najim, al-Bahr
al-Raqiq Syarh Kanz al-Daqaiq, juz 2, tt, h. 467
[10] Al-Bukhary
(579, 556); Muslim (608, 609)
[11] Muslim (612).
[12] Abu Dawud
(393); Tirmidzy (149).
[13] Ibnu Qudamah, Al-Mughny,
Juz 1, (Kairo: Dar al-Hadith, 1996), h. 506
[14] Lihat Abu Bakr
Ibn Mas’ud al-Kasany al-Hanafy, Badai’ al-Shanai’ fi Tartib al-Syarai’,
juz 1 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Araby, 1984), h.123., Muhyiddin Ibn Syaraf
al-Nawawy, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab li al-Nawawy, juz 3, (Dar Ihya’
al-Turats al-‘Araby), h. 31., Syamsuddin Muhammad ibn al-Khathib al-Syarbiny,
Mughni al-Muhtaj Ila Ma’rifat alfadh al-Minhaj, juz 1 (Beirut: Dar al-Fikr,
1995), h. 171.
[15]
Lihat
Jamaluddin Ibn Umar Ibn al-Hajib al-Maliky, Jami’ al-Ummahat, (Beirut:
Dar al-Yamamah, 1998), h. 80, Ahmad Dardiri, al-Syarh al-Kabir, (Beirut:
Dar al-Fikr, tt), h. 178.
[16]
Lihat Hasan Ibn
Ammar Al-Syarnablaly, Muraqy al-Falah Syarh Nur al-Idlah, 1990, h.
212-213, al-Nawawy, al-Majmu’ ,,,, Juz 3, h.31-32.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar