Senin, 26 Mei 2014

BAYANG-BAYANG ASHAR : Kajian Fiqh al-Miqat Waktu Shalat Ashar

BAYANG-BAYANG ASHAR : Kajian Fiqh al-Miqat Waktu Shalat Ashar
Oleh: Badrun Tamam, S,HI.

A.    Pendahuluan
Persoalan shalat adalah merupakan persoalan fundamental dan signifikan dalam Islam. Dalam menunaikan kewajiban shalat, kaum muslimin terikat pada waktu-waktu yang sudah ditentukan. Shalat lima waktu tidak bisa dilakukan dalam sembarang waktu, tetapi harus mengikuti atau berdasarkan dalil-dalil baik dari al-Quran maupun al-Hadith. Dari ketentuan yang termuat dalam al-Quran dan hadis dapat dipahami bahwa ketentuan shalat tersebut berkaitan dengan posisi matahari pada bola langit.
Begitu banyaknya hadis yang meriwayatkan tentang waktu shalat ternyata telah menuai beberapa persilangan pendapat. Makalah ini akan membahas bagaimana pandangan para ulama’ dalam menyikapi teks hadis yang “saling bertentangan” dalam hal waktu-waktu shalat tersebut. Fokus kajian kali ini kami spesifikkan pada kajian waktu shalat ashar, dengan memaparkan pendapat-pendapat ulama dalam memahami bayang-bayang ashar.
Dalam membahas, penulis paparkan hadis-hadis yang berhubungan dengan kajian, kemudian pendapat para fuqaha’ dalam memahami hadis-hadis tersebut, kemudian kompromi di antara hadis yang ta’arudl, jika memang terjadi pertentangan di antara hadis-hadis tersebut.
Kajian ini akan penulis bagi pada tiga bab, yaitu, 1) Pendahuluan, 2) pembahasan, yang berisi subbab nas-nas yang menerangkan tentang shalat ashar, pendapat-pendapat ulama’, serta kompromi pendapat-pendapat tersebut, 3) kesimpulan.
Adapun metode yang digunakan ialah analisis-deskriptif. Dan pendekatan yang penulis lakukan adalah pendekatan fiqh muqaran.





B. Pembahasan
1. Dasar Hukum Waktu Shalat Ashar
Ada beberapa ayat Alquran dan al-Hadith yang menyebutkan tentang waktu-waktu shalat Ashar. Di antaranya,
a.       Al-Rum, 17-18.
فَسُبْحَانَ اللهِ حِيْنَ تُمْسُوْنَ وَ حِيْنَ تُسْبِحُوْنَ (17) وَلَهُ الْحَمْدُ فِي السَّمَوَاتِ وَاْلاَرْضِ وَعَشِيًّا وَحِيْنَ تُظْهِرُوْنَ (18)

“Maka bertasbihlah kepada Allah di waktu kamu berada di petang hari dan waktu kamu berada di waktu subuh, dan bagi-Nyalah segala puji di langit dan di bumi dan di waktu kamu berada pada petang hari dan di waktu kamu berada di waktu Zuhur.

Ayat ini merupakan perintah dari Allah Ta’ala kepada para umat Islam untuk melakukan ibadah dan menjaga shalat-shalat yang telah diwajibkan kepada kita tepat pada waktunya. Berkenaan dengan hadis ini Ibnu Abbas ra mengatakan,
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ فِي اْلقُرْأَنِ، قِيْلَ لَهُ, أَيْنَ؟ قَالَ, قَالَ اللهُ تَعَالَى, " فَسُبْحَانَ اللهِ حِيْنَ تُمْسُوْنَ" صَلاَةُ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ، " وَ حِيْنَ تُسْبِحُوْنَ" صَلاَةُ الْفَجْرِ، "وَعَشِيًّا" الْعَصْرُ، "وَحِيْنَ تُظْهِرُوْنَ" الظُّهْرُ. [1]
Artinya, Shalat lima waktu ada dalam Alquran, dia ditanya,”di mana?”, dia menjawab, Allah Ta’ala berfirman, “فَسُبْحَانَ اللهِ حِيْنَ تُمْسُوْنَialah shalat maghrib dan Isya’, “وَ حِيْنَ تُسْبِحُوْنَ”ialah shalat fajar, “وَعَشِيًّا”ialah shalat Ashar, “وَحِيْنَ تُظْهِرُوْنَ” ialah shalat Dhuhur.”
b.      Hud, 113.
وَأَقِمِ الصَّلاَةَ طَرَفَيِ النَّهاَرِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِيْنَ (هود, 114)

dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.”

Menurut Ibn Abbas, ayat pertama mengingatkan pada empat waktu shalat, yaitu maghrib, shubuh, Ashar dan Dhuhur, sedangkan shalat Isya’ ditunjukkan dalam ayat kedua, yaitu “وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ. [2]
c.       Al-Isra’, 78.
أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوْكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ الَّليْلِ وَقُرْأَنَ الْفَجْرِ، إِنَّ قُرْأَنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُوْدًا (الاسراء, 78)

“dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh]. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).”[3]


d.      Hadis Ibnu Abbas
عن ابن عباس رضي الله عنه قال, قال رسول الله صلى الله عليه وسلم, أَمَّنِيْ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ عِنْدَ الْبَيْتِ مَرَّتَيْنِ، فَصَلَى الظُّهْرَ فِيْ الْاُوْلَى مِنْهُمَا حِيْنَ كَانَ الْفَيْءُ مِثْلَ الشِّرَاكِ، ثُمَّ صّلَّى الْعَصْرَ حِيْنَ كَانَ كُلُّ شَيْءٍ مِثْلَ ظِلِّهِ، ثُمَّ صَلَّي الْمَغْرِبَ حِيْنَ وَجَبَتِ الشَّمْسُ، وَأَفْطَرَ الصَّائِمُ، ثُمَّ صَلَّى الْعِشاَءَ حِيْنَ غابت الشفق ثم صلى الفجر حين برق الفجر وحرم الطعام على الصائم، وصلى المرة الثانية الظهر حين كان كل شيء مثله – لوقت العصر بالامس – ثم صلى العصر حين كان ظل كل شيء مثليه، ثم صلى المغرب لوقته الاول، ثم صلى العشاء الاخرة حين ذهب ثلث الليل، ثم صلى الصبح حين أسفرت الارض، ثم التفت إليَّ جبريل فقال, يا محمد، هذا وقت الأنبياء من قبلك، والوقت فيما بين هذين الوقتين.[4]
“Dari Ibnu Abbas ra; Rasulullah saw bersabda; Jibril as telah mengimami (shalat)ku ketika di rumah sebanyak dua kali, maka ia shalat dhuhur pada  yang pertama dari kedua waktu tersebut, ketika panjang bayang-bayang matahari setelah zawal (condongnya matahari ke arah barat) sama dengan panjangnya tali sandal, kemudian ia (Jibril as) shalat ashar ketika setiap benda sama panjang dengan bayangannya, kemudian shalat maghrib ketika matahari telah jatuh (tenggelam) dan orang yang berpuasa berbuka, kemudian shalat isya ketika syafaq (mega) telah hilang, kemudian shalat shubuh ketika fajar telah bersinar dan diharamkan makan bagi orang yang puasa; dan ia (Jibril as) shalat dhuhur pada kesempatan kedua ketika bayangan setiap benda sama panjang dengan bendanya – untuk waktu ashar pada kesempatan pertama kemarin – kemudian shalat ashar ketika bayangan setiap benda dua kali panjang bendanya, kemudian shalat maghrib pada waktu yang pertama (sama dengan kemarin), kemdian shalat isya yang akhir ketika telah melewati sepertiga malam, kemudian shalat shubuh ketika bumi telah menguning; kemudian ia menoleh dan berkata “ hai Muhammad, ini adalah waktu para nabi sebelummu, dan waktu itu adalah di antara dua waktu ini”.

e.       Hadis Abdullah ibn Amr ibn Ash.
وروى مسلم رحمه الله في صحيحه عن عبد الله بن عمرو بن العاص أنه قال, سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن وقت الصلوات، فقال, "وقت صلاة الفجر ما لم يطلع قرن الشمس الأول، ووقت صلاة الظهر إذا زالت الشمس عن بطن السماء ما لم يحضر العصر، ووقت صلاة العصر ما لم تصفر الشمس، ويسقط قرنها الأول، ووقت صلاة المغرب إذا غابت الشمس ما لم يسقط الشفق، ووقت صلاة العشاء إلى نصف الليل.[5]

”Imam Muslim meriwayatkan di shahihnya dari Abdillah ibn Amr ibn al-‘Ash sesungguhnya ia berkata; Rasulullah saw telah ditanya tentang waktu shalat. Maka beliau menjawab “waktu shalat fajar ialah selagi matahari belum terbit, waktu shalat dhuhur ialah ketika matahari sudah condong (zawal) dari perut langit dan selama belum masuk waktu ashar, waktu shalat ashar ialah selama matahari belum menguning dan priringan pertama mataharai tenggelam, waktu shalat maghrib ialah ketika matahari telah tenggelam dan selama mega belum tenggelam, dan waktu shalat isya; ialah hingga setengah malam.

2.  Awal Waktu Ashar
Awal waktu untuk shalat Ashar telah diinformasikan oleh hadis Ibnu Abbas di atas. Namun ada perbedaan informasi yang ditangkap dari hadis tersebut, yaitu pertama, awal waktu shalat ashar adalah ketika panjang bayang-bayang suatu benda sama dengan bendanya ditambah dengan panjang bayang-bayang saat matahari berkulminasi. Kedua, Nabi saw. diajak oleh shalat Ashar oleh malaikat Jibril as ketika panjang bayangan dua kali tinggi benda sebenarnya, selain bayang-bayang saat matahari berkulminasi (dhil al-istiwa’). Shalat kedua ini dilakukan keesokan harinya setelah shalat pertama.[6]
Pendapat pertama merupakan pendapat para jumhur fuqaha’. Pendapat ini didasarkan kepada hadis Ibn Abbas di atas, bahwa pada hari pertama Rasulullah bersama malaikat jibril shalat dhuhur setelah zawal dan pada hari kedua ketika bayangan benda sama panjang dengan bendanya. Ini menandakan bahwa waktu dhuhur adalah di antara dua waktu itu, yaitu setelah zawal matahari hingga bayangan benda sama panjang dengan bendanya. Dengan penjelasan ini, dapat dihasilkan penjelasan tentang akhir waktu dhuhur dan awal waktu ashar. Awal waktu ashar yaitu setelah akhir shalat dhuhur, setelah panjang bayangan melebihi panjang bendanya.[7]
Sedangkan yang kedua adalah pendapat Imam Abu Hanifah.[8] Untuk mendukung pendapatnya ini, Imam Abu Hanifah mendasarkannya juga pada hadis Nabi saw, ,
عن أبي ذرَ رضي الله عنه أنه قال, كنا مع النبي صلى الله عليه وسلم في سفر، فأراد المؤذن أن يؤذن للظهر، فقال النبي صلى الله عليه وآله وسلم, "أبرد"، ثم أراد أن يؤذن، فقال له, "أبرد" حتى رأينا فيء التلول – وفي رواية أخرى للبخاري - ,"حتى ساوى الظل التلول"، فقال النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم, إن شدة الحر من فيح جهنم، فإذا اشتد الحر فأبردوا بالصلاة. (رواه البخاري ومسلم رحمها الله تعالى)[9]

Hadis Abi Dzar di atas menginformsikan bahwa Nabi saw pernah memerintahkan untuk menunda shalat dhuhur ketika cuaca sangat panas, hingga bayang-bayang suatu benda telah sama dengan bendanya. Dari ini dapat diketahui bahwa waktu shalat dhuhur belum habis, sehingga belum masuk shalat ashar ketika bayang-bayang benda sepanjang bendanya.
Nazar Mahmud Qasim menyikapi kontradiksi ini dengan menyatakan bahwa ada waktu pemisah antara bayang-bayang benda sepanjang bendanya dan bayang-bayang benda dua kali panjang bendanya. Sebagai sampel, ia menyebutkan dua hari dalam satu tahun yang mempunyai waktu siang yang berbeda, yaitu hari yang siangnya terpendek dan hari yang siangnya terpanjang. Dengan mengetahui kedua hari ini dapat dikira-kirakan batas terpendek dan terpanjang untuk waktu pemisah tersebut. Ia menemukan bahwa selisih waktu antara kedua jenis bayangan tersebut untuk hari yang siangnya terpendek ialah 39 menit, dan untuk hari yang siangnya terpanjang ialah 1 jam 15 menit.
Lebih lanjut, ia berpendapat bahwa selisih waktu ini berlaku untuk seluruh tempat yang terhampar di permukaan bumi, kecuali tempat-tempat di daerah kutub utara yang tidak bersela antara siang dan malam. Untuk teknis pelaksanaan shalat dhuhur, orang yang menginginkan shalat dhuhur setelah bayang-bayang benda sepanjang bendanya, harus mengetahui waktu sampainya bayang-bayang benda dua kali panjang bendanya. Jika ia tidak mengetahui hal tersebut, ia shalat dhuhur sebelum melebihi 39 menit dari permulaan bayang-bayang benda sepanjang bendanya, dan diyakini kalau shalat yang ia lakukan dapat termuat pada waktu sebelum melebihi batas tersebut. Hal ini karena haram mengakhirkan shalat pada waktu yang diragukan keluarnya waktu tersebut.
Sedangkan orang yang menginginkan shalat setelah bayang-bayang benda dua kali panjang benda dan ia tidak mempunyai taqwim, ia harus shalat setelah 1 jam 15 menit sejak bayang-bayang benda sepanjang bendanya.

3. Akhir Waktu Ashar
Informasi tentang akhir waktu ashar dapat digali dari beberapa hadis Nabi saw sebagai berikut,
عن أبي هريرة رضي الله عنه أنه قال, قال رسول الله صلى الله عليه وسلم , "من أدرك من الصبح ركعة – وفي رواية أخرى عند البخاري و مسلم رحمها الله, "سجدة" – قبل أن تطلع الشمس فقد أدرك الصبح، ومن أدرك ركعة – وفي رواية أخرى عند البخاري و مسلم رحمها الله, "سجدة" – من العصر قبل أن تغرب الشمس فقد أدرك العصر"[10]

وعن عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنهما أنه قال, قال رسول الله صلى الله عليه وعلى آله و سلم, "فإذا صليتم العصر فإنه وقت إلى أن تصفرّ الشمس"[11]

عن ابن عباس رضي الله عنهما أنه قال, قال رسول الله صلى الله عليه و على آله وسلم, "أمني جبريل عليه السلام عند البيت مرتين ... ... ... ثم صلى (أي في المرة الثانية) العصر حين كل شيء مثليه".[12]
                       
Hadis-hadis di atas menuai beberapa kesepakatan dan hal-hal yang kontradiktif di antara para ulama fiqh. Merupakan suatu kesepakatan bahwa orang yang shalat ashar ketika matahari masih putih dan bersih, ia telah melakukan shalatnya tepat pada waktunya, didasarkan pada hadis Abdullah Ibn Amr Ibn ‘Ash di atas.[13] Adapun yang menuai ketidaksepakatan ialah tentang akhir waktu shalat Ashar. Ada beberapa qaul tentang akhir waktu shalat Ashar yang kontradiktif dengan didasarkan pada beberapa hadis yang memang memberikan informasi yang kontradiktif pula terhadap hal tersebut.
Pendapat pertama mengatakan bahwa akhir waktu shalat Ashar ialah ketika terbenamnya matahari di ufuk barat. Pendapat dianggap sebagai pendapat yang shahih oleh para Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah, dengan mendasarkannya pada hadis Abu Hurairah ra dan yang lain di atas.[14] Hadis itu menginformasikan bahwa mendapatkan satu rakaat shalat sebelum tenggelamnya matahari sudah terhitung mendapatkan shalat Ashar. Sehingga dapat dipahami bahwa waktu satu rakaat tersebut masih termasuk waktu shalat Ashar, yaitu sebelum tenggelamnya matahari.
Pendapat kedua, yaitu pendapat yang dianggap rajih oleh ulama Hanabilah dan Malikiyah, bahwa waktu Ashar berakhir dengan menguningnya matahari (Ishfirar al-Syamsi). Pendapat ini didasarkan pada hadis Abdullah Ibn Amr Ibn ‘Ash ra yang menginformasikan dengan redaksinya “فإنه وقت إلى أن تصفرّ الشمس , , sesungguhnya Ashar ialah waktu hingga menguningnya matahari.[15] Hadis lain yang menunjukkan berakhirnya waktu Ashar dimuali dengan menguningnya matahari ialah Hadis Buraidah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, sebagai berikut,
عن بريدة رضي الله عنه أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم فسأله عن مواقيت الصلاة ، ... وفي هذا الحديث قال – فم أمره بالعصر (أي في المرة الثانية) والشمس بيضاء نقية لم تخالطها صفرة ... وفي أخره قال صلى الله عليه وسلم , "ما بين ما رأيت وقت"

4. Al-Tarjih Wa al-Jam’u Baina al-Riwayat (Kompromi Hadis)
Telah banyak hadis-hadis yang mengisyarahkan bahwa sesungguhnya shalatnya Nabi saw untuk shalat ashar adalah sebelum menguningnya matahari. Di samping itu ada hadis yang menyebutkan bahwa Nabi saw shalat ashar sebelum ghurub, atau setelah menguningnya matahari. Sehingga jika hadis-hadis yang saling bertentangan tersebut dikompromikan, maka hadis pertama yang menerangkan waktu ashar berakhir ketika menguningnya matahari kita bawa pada waktu yang mustahab, dan tidak makruh. Sedangkan hadis kedua yang menerangkan waktu shalat ashar berakhir sebelum ketika terbenamnya matahari kita bawa pada waktu yang dlarurat atau waktu karahah.[16]



C.    Kesimpulan
Ada dua pendapat mengenai awal waktu shalat ashar, pertama, bahwa waktu shalat ashar yaitu waktu setelah bayang-bayang benda sama panjang dengan bendanya, selain baying-bayang istiwa’, dan kedua adalah waktu setelah baying-bayang benda dua kali panjang bendanya, ditambah dengan baying-bayang waktu istiwa’ . Pendapat pertama adalah pendapat jumhur, sedangkan kedua adalah pendapat Abu Hanifah.
Ada waktu pemisah antara bayang-bayang benda sepanjang bendanya dan bayang-bayang benda dua kali panjang bendanya. selisih waktu antara kedua jenis bayangan tersebut untuk hari yang siangnya terpendek ialah 39 menit, dan untuk hari yang siangnya terpanjang ialah 1 jam 15 menit.
Selisih waktu ini berlaku untuk seluruh tempat yang terhampar di permukaan bumi, kecuali tempat-tempat di daerah kutub utara yang tidak bersela antara siang dan malam. Orang yang menginginkan shalat setelah bayang-bayang benda dua kali panjang benda dan ia tidak mempunyai taqwim, ia harus shalat setelah 1 jam 15 menit sejak bayang-bayang benda sepanjang bendanya.
Mengenai akhir waktu ashar, hadis-hadis yang saling bertentangan tersebut dikompromikan,sehingga hadis pertama yang menerangkan waktu ashar berakhir ketika menguningnya matahari kita bawa pada waktu yang mustahab, dan tidak makruh. Sedangkan hadis kedua yang menerangkan waktu shalat ashar berakhir sebelum ketika terbenamnya matahari kita bawa pada waktu yang dlarurat atau waktu karahah.







DAFTAR PUSTAKA
Al-Qurthuby, al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, Juz 14, Beirut, Dar al-Kitab al-‘Araby, 1907,
Muslim, Shahih Muslim, Beirut, Dar al-Ma’rifah, 1995
Al-Bukhary, Shahih al-Bukhary, Riyadl, Dar al-Afkar al-Dauliyyah, 1998.
Qasim, Nazar Mahmud, al-Ma’ayir al-FIqhiyyah wa al-Falakiyyah fi I’dad al-Taqawim al-Hijriyyah, Beirut, Dar al-Basyair al-Islamiyyah, 2009.
Ibn Najim, al-Bahr al-Raqiq Syarh Kanz al-Daqaiq, tt
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Beirut, al-Maktabah al-‘Ashriyyah, tt.
Tirmidzy, Sunan al-Tirmidy,Kairo, Dar al-Hadith, tt.
Ibnu Qudamah, Al-Mughzny, Kairo, Dar al-Hadith, 1996.
Abu Bakr Ibn Mas’ud al-Kasany al-Hanafy, Badai’ al-Shanai’ fi Tartib al-Syarai’, ,Beirut, Dar al-Kitab al-‘Araby, 1984
al-Nawawy, Muhyiddin Ibn Syaraf, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab li al-Nawawy, Dar Ihya’ al-Turats al-‘Araby.
Al-Syarbiny,  Syamsuddin Muhammad ibn al-Khathib, Mughni al-Muhtaj Ila Ma’rifat alfadh al-Minhaj, Beirut, Dar al-Fikr, 1995.
Jamaluddin Ibn Umar Ibn al-Hajib al-Maliky, Jami’ al-Ummahat, Beirut, Dar al-Yamamah, 1998.
Ahmad Dardiri, al-Syarh al-Kabir, Beirut, Dar al-Fikr, tt.
Al-Syarnablaly, Hasan Ibn Ammar, Muraqy al-Falah Syarh Nur al-Idlah, 1990







[1] Lihat al-Qurthuby, al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, Juz 14, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Araby, 1907), h. 14.
[2] Lihat Lihat al-Qurthuby, al-Jami’ ,,,,, Juz 14,  h. 14.
[3] Imam Malik meriwayatkan dari Ibnu Abbas radliyallahu Anhu, bahwa yang dimaksud dengan duluk al-syamsi adalah mailuha (condongnya matahari ke arah barat), dan yang dimaksud dengan ghasaq al-lail adalah ijtima’ al-lail wa dhulmatuh (berkumpulnya dan gelapnya malam). Lihat al-Qurthuby, al-Jami’ ,,, ,,, , Juz 10, h. 304.
[4] HR (Abu Dawud, Kitab al-Shalah, Bab fi al-Mawaqit, Juz 1, no 393; al-Tirmidzy (139), Abwab Mawaqit al-Shalah, Bab Ma Ja’a fi al-Mawaqit. Al-Tirmidzy menilai hadis ini hasan shahih; Ahmad (333).
[5] Muslim (616, Kitab al-Masajid wa Mawadli’ al-Shalah, Bab Awqat al-Shalawat al-Khams).
[6] Nazar Mahmud Qasim, al-Ma’ayir al-FIqhiyyah wa al-Falakiyyah fi I’dad al-Taqawim al-Hijriyyah, (Beirut: Dar al-Basyair al-Islamiyyah, 2009), h. 21.
[7] Al-Nawawy, al-Majmu’ Syarh Muhaddzb, Juz 3, tt, h.22
[8] Ibn Najim, al-Bahr al-Raqiq Syarh Kanz al-Daqaiq, juz 2, tt, h. 467
[9] Al-Bukhari (539); Muslim (616).
[10] Al-Bukhary (579, 556); Muslim (608, 609)
[11] Muslim (612).
[12] Abu Dawud (393); Tirmidzy (149).
[13] Ibnu Qudamah, Al-Mughny, Juz 1, (Kairo: Dar al-Hadith, 1996), h. 506
[14] Lihat Abu Bakr Ibn Mas’ud al-Kasany al-Hanafy, Badai’ al-Shanai’ fi Tartib al-Syarai’, juz 1 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Araby, 1984), h.123., Muhyiddin Ibn Syaraf al-Nawawy, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab li al-Nawawy, juz 3, (Dar Ihya’ al-Turats al-‘Araby), h. 31., Syamsuddin Muhammad ibn al-Khathib al-Syarbiny, Mughni al-Muhtaj Ila Ma’rifat alfadh al-Minhaj, juz 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), h. 171.
[15] Lihat Jamaluddin Ibn Umar Ibn al-Hajib al-Maliky, Jami’ al-Ummahat, (Beirut: Dar al-Yamamah, 1998), h. 80, Ahmad Dardiri, al-Syarh al-Kabir, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h. 178.
[16] Lihat Hasan Ibn Ammar Al-Syarnablaly, Muraqy al-Falah Syarh Nur al-Idlah, 1990, h. 212-213, al-Nawawy, al-Majmu’ ,,,, Juz 3, h.31-32. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar