Kajian
Fiqih Kalender Perspektif PERSIS dan Hizbut Tahrir
Makalah ini disusun
untuk pemenuhan tugas mata kuliah
Fiqih Miqat
Dosen Pengampu:
Dr. H. Abd.
Salam Nawawi, M.Ag
Oleh :
Muthi’ah Hijriyati : 12.6.1.0292
UNIVERSITAS SUNAN GIRI
PROGRAM PASCASARJANA
PENDIDIKAN KADER ULAMA’
JURUSAN HUKUM ISLAM
KONSENTRASI ILMU FALAK
JOMBANG
|
BAB I
PENDAHULUAN
Penentuan
awal ramadhan dan idhul fitri agaknya masih menjadi sesuatu hal yang
kontradiktif dan debatable di masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak, dua
moment besar bagi umat islam ini memang bukan hanya bersifat ibadah ritual
saja, namun juga berfungsi sebagai syiar persatuan umat. Dalam kegiatan yang
bersifat ritual-keagamaan seperti diatas, digunakan sistem kalender bulan
karena memang dianggap lebih cocok daripada kalender matahari, dengan kalender
bulan pergantian hari bisa diikuti secara jelas dan penentuan harinya bisa
lebih pasti.
Tidak
hanya umat islam, umat hindu dalam menentukan Hari raya nyepi, umat Budha dalam
peringatan hari raya Waisak atau umat Kristen dalam penentuan paskah juga
bergantung pada gerak bulan[1].
Dan dalam prakteknya, seiring berkembangnya ilmu astronomi berkembang pula
pemahaman, metode serta aplikasi dalam melihat awal bulan. Dalam sistem
kalender islam yang berpola pada gerak bulan mengelilingi bumi ini setidaknya terdapat
dua metode dalam penentuannya, yakni madzhab hisab dan madzhab ru’yah. Keduanya
merupakan hasil ijtihad yang menariknya, tetap terdapat perbedaan pandangan
atau hasil meski sama-sama hisab atau sama-sama rukyah.
Sebagaimana
Hizbut Tahrir dan PERSIS yang merupakan bagian dari kelompok atau paham
keislaman di Indonesia yang meski memakai sistem ini, namun berbeda dengan NU
atau Muhammadiyah yang notabene adalah kelompok besar di Indonesia.
Makalah
sederhana ini secara ringkas akan menjelaskan tentang penentuan awal bulan
qamariyyah dalam perspektif Hizbut Tahrir dan PERSIS. Yakni memuat pembahasan
terkait selayang pandang kedua kelompok ini, pemaknaan kalender islam, dan
tentunya konsep awal bulan keduanya. Semoga bermanfaat..
BAB II
Kajian Fiqih Kalender Perspektif
PERSIS dan Hizbut Tahrir
A.
Tentang PERSIS dan Hizbut Tahrir
Sebagai
aliran yang cukup mewarnai perbedaan ragam keislaman di Indonesia, PERSIS
(Persatuan Islam) dan Hizbut Tahrir memiliki sejarah kelahiran dan arah
pemikiran yang berbeda. Secara ringkas, berikut dipaparkan tentang apa dan
bagaimana paham ideologi keduanya.
1.
Selayang
pandang PERSIS
PERSIS adalah singkatan dari
Persatuan Islam, yang didirikan oleh H. Zamzam bersama H. Muhammad Yunus pada
12 september 1923 di Bandung. H. Zamzam sendiri adalah alumnus Da>r
al’Ulu>m Makkah yang banyak terinspirasi dari pemikiran Muhammad Abduh. Hal
ini terlihat dari ungkapan Abduh dalam majalah al-Manar yang banyak dikutip
oleh H. Zamzam, yakni al-Isla>m mah}ju>bun bil Muslimin (islam
tertutup oleh kaum muslimin). Ungkapan ini yang menginspirasi umat islam
–termasuk pendiri PERSIS- untuk menghidupkan kembali ajaran al-Qur’an dan
al-Sunnah[2].
Dari sini, dapat dicermati jika PERSIS -yang lahir di tengah
bergejolaknya pergerakan islam- menjadi warna baru. Di Indonesia saat itu
memang banyak bermunculan kelompok keagamaan seperti Jami’ah al-Khair,
al-Irsyad, Muhammadiyyah dan belakangan kemudian lahir pula Nahd}atul
Ulama’.
PERSIS sebagai sebuah kelompok terlihat memiliki pandangan
modernis-liberal, tercermin dari namanya yang berupa bahasa latin dan dianggap
sebagai pengaruh Belanda, terlebih di masa itu sakralitas dan identifikasi
islam dengan arab masih lekat di masyarakat pribumi.
Dari sisi ini, ideologi PERSIS terbaca bahwa mereka menghendaki
pemilahan antara apa yang seharusnya dan yang tidak seharusnya disakralkan.
Seiring berjalannya waktu, PERSIS menjelma menjadi organisasi paling ekstrim
dan liberal. PERSIS menentang tradisi keislaman yang dianggap sebagai konsep
bid’ah, khurafat dan tahayyul[3].
Tak terkecuali dalam konsep kalender islam, PERSIS menggunakan metode hisab
dengan kajian ilmu-ilmu astronomi sebagai rujukan utama.
2.
Selayang
pandang Hizbut Tahrir
Hizbut Tahrir yang berarti partai
pembebasan adalah partai berideologi islam yang didirikan pada tahun 1952 di
al-Quds oleh Taqiyuddin al-Nabha>ni> (1905-1978).
Hizbut Tahrir (selanjutnya disebut HTI) secara umum dikenal dengan slogan
menegakkan khilafah dan tersebar di banyak Negara berpenduduk muslim, tak
terkecuali Indonesia.
HTI didirikan dengan maksud
membangkitkan kembali umat islam dari kemerosotan, membebaskan umat dari ide,
sistem perundang-undangan dan hukum kufur. Dan ideologi utama kelompok ini
adalah membangun kembali daulah islamiyyah di muka bumi demi berlakunya hukum
Allah. Bagi kelompok ini, Allah telah mewajibkan umat islam untuk selalu
terikat dengan hukum islam secara keseluruhan, baik pada ranah vertikal
(hubungan manusia dengan Allah) ataupun wilayah horizontal (terkait masalah
mu’amalah, hubungan sosial termasuk aturan berpolitik dan perundang-undangan)[4].
Kewajiban ini bersifat total dan menyeluruh berdasar ayat:
!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ $]%Ïd|ÁãB $yJÏj9 ú÷üt/ Ïm÷yt z`ÏB É=»tGÅ6ø9$# $·YÏJøygãBur Ïmøn=tã ( Nà6÷n$$sù OßgoY÷t/ !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# ( wur ôìÎ6®Ks? öNèduä!#uq÷dr& $£Jtã x8uä!%y` z`ÏB Èd,ysø9$# 4 [5]
Menurut
HTI, semua ideologi politik seperti kapitalisme, sosialisme dan juga demokrasi
adalah ideologi merusak yang bertentangan dengan fitrah kemanusiaan. HTI
senantiasa merujuk pada sejarah besar Islam dalam Negara Madinah yang dipimpin
Nabi hingga Khalifah Rasyidah dan khalifah-khalifah selanjutnya. Hingga
didirikannya daulah khilafah dengan pimpinan seorang khalifah adalah langkah
awal dalam mengaplikasikan aturan Allah di muka bumi, baik dalam persoalan
teologis, sosial, kenegaraan dan juga keagamaan[6].
Di
Indonesia, HTI menyebarkan ideologinya dalam bentuk buku, selebaran dan
forum-forum diskusi panel. HTI juga mempunyai beberapa lembaga da’wah seperti
Lembaga Da’wah al-Misykah di Semarang, Lembaga Da’wah al-Ihtikam di Surabaya
dan al-Inqiyad di Jawa Barat[7].
Dan jika
ditilik arah ideologi kelompok ini, secara umum diketahui jika organisasi
keagamaan di Indonesia terbagi dalam islam modernis atau tradisionalis, Hizbut
Tahrir yang notabene bukan produk budaya Islam-Indonesia memiliki prinsip
ideologi yang sedikit berbeda. Jika menggunakan
pembagian Khalid Aboe el-Fad}l, maka kelompok ini bisa dikatakan sebagai bagian
dari kelompok islam puritan.
B.
Fiqih Kalender Perspektif PERSIS dan Hizbut Tahrir
Sebagaimana
diketahui, Islam mempunyai sistem kalender berdasar fase perputaran bulan
terhadap bumi yang disebut dengan kalender hijriyah[8].
Dan dalam penentuan awal bulan hijriyah, terdapat dua paham atau metode yang
sering digunakan. Pertama, paham hisab yang dimotori oleh Muhammadiyah dan
digunakan pula oleh PERSIS. Kedua, paham ru’yah yang diyakini oleh NU (Nahd}atul
‘Ulama’) dan digunakan pula oleh Hizbut Tahrir. Namun secara aplikatif, PERSIS
dan Hizbut Tahrir memiliki konsep dan dasar masing-masing, yakni sebagaimana
berikut:
1.
Fiqih Kalender Perspektif
PERSIS
PERSIS sebagaimana dijelaskan
sebelumnya, adalah pengejawantahan dari kelompok modernis yang cenderung
liberalis di Indonesia. Tidak heran jika dalam penetapan awal bulan, PERSIS
cenderung menggunakan metode hisab dengan dasar perkembangan ilmu astronomi. Berbeda
dengan Muhammadiyyah yang dalam hisabnya menggunakan acuan wujudul hilal,
hisab yang digunakan oleh PERSIS adalah hisab hakiki dengan acuan imka>nur
ru’yah[9].
Dalam penggunaan imka>nur ru’yah sendiri, terdapat kriteria penting
yang dijadikan pedoman, yakni[10]:
a.
Tinggi hilal minimum 2
derajat
b.
Jarak sudut antara bulan dan
matahari (elongasi) minimum 3 derajat
c.
Umur bulan dihitung saat
ijtima’ atau bulan baru atau jarak ijtima’ dengan matahari minimal 8 jam
Kriteria ini adalah yang
disepakati oleh MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan
Singapura) dan dianggap sebagai langkah kompromi antara kriteria ilmu astronomi
dan data pengamatan di Indonesia. Dalam perkembangan astronomi selanjutnya pun,
PERSIS terlihat “mengamini” temuan Prof Thomas Jamaluddin dari LAPAN yang
kemudian menetapkan ketinggian hilal lebih dari 4 derajat dan elongasi 6,4 derajat[11].
Tegasnya, PERSIS melalui
dewan Hisab dan Ru’yah memilah otoritas ahli fiqih dan astronomi dalam
persoalan ini, ahli fiqih memiliki ranah ijtihad terkait apakah hisab ataukah
ru’yah sebagai metode tepat dalam penentuan awal bulan. PERSIS mengambil sikap
hisab dengan acuan visibilitas hilal yang dalam prakteknya adalah masuk
otoritas keilmuan astronomi. Disinilah batas otoritas fuqaha menurut PERSIS,
karena fuqaha’ berada pada ranah ijtihad bagaimana menentukan awal hilal,
sementara syarat visibilitas hilal menjadi wilayah ahli astronomi[12].
Dari sini, terkesan adanya
dikotomi antara ulama’ fiqih dan ahli astronomi dalam pandangan PERSIS, juga
terbaca ketergantungan ahli fiqih dengan hasil penelitian astronomi. Hingga
sebagai implikasinya, setiap terdapat penemuan baru dalam ilmu astronomi,
setiap kali itu pulalah system dan pola konsep ijtihad fuqaha’ berubah sebagai
bentuk penyesuian diri dengan ilmu pengetahuan.
2.
Fiqih Takwim Perspektif
Hizbut Tahrir
Dalam masalah penentuan awal
bulan qamariyah (kalender hijriyah), HTI berpendapat bahwa hal tersebut hanya
bisa diketahui dengan ru’yatul hilal dari suatu tempat di bumi, baik
ru’yah tersebut dilakukan dengan mata telanjang (bil ‘ain bashariyyah) atau
dengan bantuan alat. Hal ini ditegaskan HTI dalam nashrah (selebaran)
tertanggal 25 sya’ban 1419 H (14 desember 1998) dengan pernyataan sebagai
berikut:
والرؤية
المعتبرة هي الرؤية البصرية، ولا اعتبار للحسابات الفلكية إذا لم تثبت الرؤية
بالعين البصرية، إذ لا قيمة شرعية للحسابات الفلكية في إثبات الصوم والإفطار، لأنّ
السبب الشرعي للصوم أو الإفطار هو رؤية الهلال بالعين…
“Rukyat yang sah (mu’tabar)
adalah rukyat dengan mata, hisab tidak dapat dijadikan dasar jika rukyat tidak
terbukti dengan mata. Karena hisab tidak memiliki nilai secara syar’i dalam
menetapkan puasa dan berbuka (berhari raya). Hal ini dikarenakan sebab syar’i
untuk berpuasa dan berhari raya hanyalah karena rukyatul hilal bil ‘ain
(melihat bulan sabit dengan mata)..”[13].
Pandangan HTI
ini didasarkan pada sebab shar’i untuk berpuasa dan berhari raya adalah karena
melihat bulan sabit langsung dengan mata, hal ini sesuai dengan hadith nabi
dari riwayat Abu> Hurairah sebagai berikut:
“Berpuasalah kamu sekalian
karena melihat hilal (ramad}an) dan berbukalah kamu sekalian karena melihat
hilal (syawal), jika tertutup atas kamu sekalian maka sempurnakanlah bilangan
bulan sya’ban menjadi tiga puluh hari”.
Dengan redaksi
yang berbeda, hadith senada diriwayatkan pula oleh Ibnu ‘Umar sebagai berikut:
لا تصوموا حتي ترووا الهلال ولا تفطروا حتي تروه فإن غمّ عليكم
فاقدروا له[15]
“Janganlah kau berpuasa sebelum melihat
hilal (ramadhan) dan janganlah kamu sekalian berbuka sebelum melihat hilal
(syawal), jika tertutup atas kalian maka perkirakanlah”.
Berdasar
hadith-hadith tersebut dan banyak hadith senada dengan teks dan jalur periwayatan
yang beragam, dipahami jika terdapat
petunjuk atau dilalah yang jelas
(s}arih) bahwa sebab shar’i untuk puasa ramadhan dan id}ul fitri adalah
hanya karena ru’yatul hilal. Ru’yatul hilal yang dimaksud disini adalah bukan
ru’yah lokal yang berlaku dalam satu mat}la’ sebagaimana pendapat
al-Sha>fi’i, melainkan ru’yah global atau internasional. Ru’yah ini dipegang
oleh Komisi Penyatuan Kalender Hijriah Internasional dengan berpatokan pada
Makkah Arab Saudi[16]. Artinya, ru’yatul hilal
di sebuah Negara islam berlaku pula untuk kaum muslimin di Negara-negara lain
di seluruh penjuru dunia.
Hal ini
berdasar argumentasi bahwa hadith-hadith tentang hisab ru’yat diatas secara
keseluruhan menggunakan khita>b jama’ mudhakkar salim, ini diartikan
bahwa seruan ini ditujukan untuk seluruh umat islam di dunia denga tanpa
dibedakan oleh letak geografis dan batas daerah kekuasaan[17]. Inilah yang membedakan
pendapat golongan ini dengan NU, karena dalam NU system yang dipakai adalah ru’yah
fi> wila>yatil hukmi (keberhasilan menyaksikan hilal di suatu daerah
berlaku untuk satu Negara). Pendapat HTI tertuang tegas dalam Nashrah yang sama
sebagai berikut:
وخطاب الشارع في هذه الأحاديث موجه إلى جميع المسلمين لا فرق بين شامي
وحجازي ولا بين إندونيسي وعراقي، فألفاظ الأحاديث جاءت عامّة، لأن ضمير الجماعة
في: (صوموا… وأفطروا) يدلّ على عموم المسلمين، وكذلك لفظ: (رؤيته) فهو اسم جنس
مضاف إلى ضمير، يدلّ على رؤية الهلال من أي إنسان…
“Seruan Pembuat Hukum dalam
hadits-hadits ini (seperti dua hadits di atas) diarahkan kepada seluruh kaum
muslimin, tidak ada bedanya antara orang Syam dengan orang Hijaz, antara orang
Indonesia dengan orang Irak. Sebab lafaz}-lafaz} hadith tersebut datang dalam
bentuk umum, karena kata ganti untuk orang banyak (dhamir jama’, yakni wawu)
pada hadits “s}u>mu> wa aft}iru>” menunjukkan umumnya kaum muslimin. kata
ganti), menunjukkan rukyatul hilal dari manusia siapa pun juga dia…”[18].
Sedang terkait
awal bulan dhulhijjah yang terkait dengan pelaksanaan haji dan id}ul adha, HTI
berpendapat bahwa ru’yatul hilal yang digunakan sebagai patokan adalah hanya ru’yah
penguasa Makkah. Kecuali jika penguasa Makkah tidak dapat meru’yah hilal, barulah
ru’yah Negara lain dapat dijadikan patokan.
3.
Sikap HTI
terhadap Hisab
HTI sendiri menganggap hisab tidak dapat digunakan
dalam penetapan awal bulan qamariyah, sebagaimana ungkapan Syaikh At}a’ bin
Khalil yang merupakan Amir Hizbut tahrir
saat ini[19]:
نقول بعدم جواز
الحسابات الفلكية في الصوم والفطر بل الرؤية فقط لأنها الواردة في النصوص
“Kami
berpendapat tidak boleh menggunakan hisab dalam shaum dan Idul Fitri/Idul Adha,
melainkan rukyatul hilal saja [yang dibolehkan], sebab rukyat itulah yang
terdapat dalam nash-nash.”
Hingga jika
misalkan hilal syawal tidak dapat dilihat karena tertutup awan, maka puasa
digenapkan hingga 30 hari meski andaikata secara faktual hilal telah wujud. Hal
ini terlihat dari pernyataan Shaikh At}a’ bin Khalil sebagai berikut:
من هذا يتبين أننا لا نصوم ونفطر لحقيقة الشهر بل لرؤية الهلال فإذا رأيناه صمنا وإن لَم نره: لا نَصُمْ حتى وإن كان الشهر قد بدأ فعلاً بالحساب.
من هذا يتبين أننا لا نصوم ونفطر لحقيقة الشهر بل لرؤية الهلال فإذا رأيناه صمنا وإن لَم نره: لا نَصُمْ حتى وإن كان الشهر قد بدأ فعلاً بالحساب.
“Dari sini
jelaslah bahwa kita tidak berpuasa dan juga tidak berhari raya karena hakikat
bulan (syahr) itu sendiri, melainkan karena rukyatul hilalnya. Maka jika kita
melihat hilal, kita berpuasa. Jika tidak melihat hilal, kita tidak berpuasa
hatta meskipun bulan (syahr) benar-benar telah mulai berdasarkan hisab”.
Pendapat ini menurut
HTI, didasarkan pada pendapat jumhur ulama’ Hanafiyyah, Malikiyyah, Shafi’iyyah
dan Hanabilah. Argumentasi penolakan HTI atas keberadaan perhitungan astronomi
antara lain adalah[20]:
1.
Hisab tidak
diperintahkan dalam nas al-Qur’an maupun hadith, begitupula dengan qiyas atau
ijma’ sahabat
2.
Ilmu hisab
dibangun berdasarkan asumsi lahirnya anak bulan (tawallud al-hilal), hingga
dari sini dimungkinkan kaum muslimin di dunia bagian barat akan berpuasa lebih
dahulu dari muslim di bagian timur. Ini berarti hisab justru membawa kaum
muslimin pada perpecahan, dan ini berbeda jika yang diterapkan adalah ru’yatul
hilal dengan wihdatul mat}a>li’ (kesatuan atau globalnya mat}la’).
Dari sini, HTI menganalisa bahwa permasalahan
perbedaan umat islam dalam berpuasa dan berhari raya adalah karena ketiadaan
Negara khilafah. Kondisi saat ini umat islam terpecah dalam sekitar 50 negara
yang masing-masing mempunyai cara dan ijtihad sendiri dalam menentukan awal
bulan qamariyyah. Hingga bagi HTI, jika terdapat khalifah maka terdapat satu
sistem ijtihad yang dipakai dan wajib diamalkan oleh seluruh kaum muslimin di
bagian bumi manapun.
BAB III
Penutup
Persoalan
penetapan awal bulan dalam kalender hijriyah memang hal menarik untuk diteliti
dan diperdebatkan. Di Indonesia sendiri, terdapat madzhab ru’yah dan madzhab
hisab yang secara aplikatif sangat berbeda dan tidak jarang memberikan hasil
yang berbeda pula. Tak terkecuali dalam PERSIS dan Hizbut tahrir yang notabene
tidak “sebesar” organisasi NU dan Muhammadiyyah. Keduanya memiliki sikap dan
cara pandang ijtihad masing-masing dalam menentukan sistem kalender islam.
PERSIS
sebagai organisasi yang lahir dan besar di Jawa Barat memiliki pandangan hisab
dengan acuan visibilitas hilal atau imka>nurru’yah, aplikasinya
teori ahli astronomi sangat dibutuhkan dalam menentukan syarat hilal bisa
diamati atau tidak. Sedangkan Hizbut Tahrir yang merupakan doktrin Syaikh
Taqiyyuddin al-Nabha>ni> meyakini ru’yah internasional sebagai metode
dalam penentuan awal bulan, hal ini didasari pada teks-teks hadith yang harus
dimaknai secara tekstual dan berdasar pendapat ulama’ madzhab Maliki.
Hizbut
Tahrir bahkan memberikan solusi atas perbedaan madzhab dan pendapat terkait
awal bulan adalah dengan adanya khalifah yang memimpin semua umat muslim di
muka bumi, hingga “keterwakilan” Tuhan menjadi nyata dan berada pada satu
pintu. Namun jika diamati lebih lanjut, perbedaan metode penentuan juga
diimbangi dengan upaya ijtihad-ijtihad baru dalam penyatuan pendapat. Upaya ini
patut diapresiasi meskipun bukan hal yang mudah, mengingat sebuah maqa>l
yang masyhur “likulli ra’sin ra’yun”, dan bagaimanapun juga dahulukan
akhlak diatas fiqih yang merupakan ungkapan Jalaluddin Rahmat agaknya tepat
digunakan untuk sejenak cooling down dari perdebatan panjang ini.
Wallahu a’lam..
Daftar Pustaka
Ahmad
Izzudin. Fiqih Hisab Rukyah. Jakarta: Erlangga. 2007
Islahuddin
berdasar wawancara dengan Thomas Djamaluddin, Ilmu Astronomi bisa Tentukan
awal bulan sesuai dalil rukyat. Dalam Merdeka.com. (diakses pada 06 maret
2013
M.
Shiddiq al-Jawi, al-Khilafah: Penentuan Awal Bulan Kamariah Perspektif
Hizbut Tahrir Indonesia, dalam kuliahfiqih.blogspot.com./2010/08/al-khilafah-penentuan-awal-bulan.html?m=1.
Diakses pada 06 Maret 2013
Pimpinan
Pusat Persatuan Islam, “Sejarah PERSIS”, dalam http://www.persatuanislam.or.id/home/front/detail/profile/sejarah-singkat. diakses pada 07 Maret 2013
Setyady,
“Sejarah Persatuan Islam”, dalam http://setyadyc.blogspot.com/2012/03/sejarah-persis-persatuan-islam.html, diakses pada 07 Maret 2013
Slamet
Hambali. Almanak Sepanjang Masa. (Semarang: Program Pascasarjana IAIN
Walisongo Semarang. 2011
Wikipedia,
“Hizbut Tahrir”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Hizbut_Tahrir, diakses pada 07 Maret 2013
Zainul
Arifin. Ilmu Falak. (Yogyakarta: Lukita. 2012
[1]Islahuddin
berdasar wawancara dengan Thomas Djamaluddin, Ilmu Astronomi bisa Tentukan
awal bulan sesuai dalil rukyat. Dalam Merdeka.com. (diakses pada 06 maret
2013)
[2]Pimpinan Pusat Persatuan Islam,
“Sejarah PERSIS”, dalam http://www.persatuanislam.or.id/home/front/detail/profile/sejarah-singkat.
diakses pada 07 Maret 2013
[3]Setyady, “Sejarah Persatuan
Islam”, dalam http://setyadyc.blogspot.com/2012/03/sejarah-persis-persatuan-islam.html,
diakses pada 07 Maret 2013
[4]Wikipedia, “Hizbut Tahrir”,
dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Hizbut_Tahrir,
diakses pada 07 Maret 2013
[5]
QS al-Ma>idah: 44
[6]Khususnya dalam
masalah penetapan awal bulan ramad}an dan
Syawwal yang memiliki kaitan penting dengan ibadah puasa serta id}ul Fitri yang
menjadi fokus bahasan dalam makalah ini.
[8]Kalender islam ini ditetapkan
pada masa Khalifah Umar bin Khattab yang dimulai dari hijrahnya nabi saw dari
Makkah ke Madinah. Meski sejak sebelumnya umat islam memang telah mengenal
pergantian hari secara konvensional, yakni dengan mengingat suatu masa dengan
peristiwa besar di masa tersebut, seperti tahun gajah dan sebagainya. Lihat
dalam Slamet Hambali. Almanak Sepanjang Masa. (Semarang: Program
Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang. 2011), 13-15
[9]Secara leksikal Imka>nurru’yah
bermakna posisi hilal mungkin dilihat, ini adalah pendapat al-Qalyu>bi yang
menyatakan bahwa idealnya dalam ru’yah harus ada dugaan kuat (dzan) bahwa hilal
ada diatas ufuk yang mungkin dapat dilihat, karena itu awal bulan menurutnya
dapat ditetapkan berdasarkan hisab qat}’i yang menyatakan demikian. Lihat dalam
Ahmad Izzudin. Ilmu Falak Praktis. (Semarang:PT. Pustaka Rizki Putra.
2012), 92
[12]
Islahuddin
berdasar wawancara dengan Thomas Djamaluddin, Ilmu Astronomi bisa Tentukan
awal bulan sesuai dalil rukyat. Dalam Merdeka.com. (diakses pada 06 maret
2013)
[13]Nasyrah Hizbut Tahrir, Shuumu
Li Ru`yatihi wa Afthiru Li Ru`yatihi, 25 Sya’ban 1419 H (14 Dsember 1998).
Sebagaimana dikutip dari M. Shiddiq al-Jawi, al-Khilafah: Penentuan Awal
Bulan Kamariah Perspektif Hizbut Tahrir Indonesia, dalam kuliahfiqih.blogspot.com./2010/08/al-khilafah-penentuan-awal-bulan.html?m=1.
Diakses pada 06 Maret 2013
[14]Hadith S{ah}i>h} berdasar
riwayat imam al-Bukha>ri> dalam S{ahi>h al-Bukhari Kitab al-S{au>m
nomor indeks 1909, Imam Muslim dalam S{ahi>h Muslim kitab al-Siya>m nomor
indeks 1081, al-Nasa’i dalam Sunan al-Nasa’i kitab al-Siya>m nomor indeks
2116, Ahmad bin H{ambal dalam musnadnya dengan nomor indeks 9892. Selain itu
hadith ini juga diriwayatkan oleh al-Tirmi>dzi, Ibnu Ma>jah,
al-Da>rimi dan sebagainya berdasar banyak jalur periwayatan.
[16]
Ahmad Izzudin. Fiqih
Hisab Rukyah. (Jakarta: Erlangga. 2007), 86
[17]
Zainul Arifin. Ilmu
Falak. (Yogyakarta: Lukita. 2012), 80
[19]M. Shiddiq al-Jawi, al-Khilafah:
Penentuan Awal Bulan Kamariah Perspektif Hizbut Tahrir Indonesia, dalam
kuliahfiqih.blogspot.com./2010/08/al-khilafah-penentuan-awal-bulan.html?m=1.
Diakses pada 06 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar