Senin, 26 Mei 2014

Kajian Fiqih Kalender Perspektif PERSIS dan Hizbut Tahrir

Kajian Fiqih Kalender Perspektif PERSIS dan Hizbut Tahrir
Makalah ini disusun untuk pemenuhan tugas mata kuliah
Fiqih Miqat



Dosen Pengampu:
Dr. H. Abd. Salam Nawawi, M.Ag

Oleh :
Muthi’ah Hijriyati : 12.6.1.0292
      

UNIVERSITAS SUNAN GIRI
PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN KADER ULAMA’
JURUSAN HUKUM ISLAM
KONSENTRASI ILMU FALAK
JOMBANG

2013


BAB I
PENDAHULUAN
Penentuan awal ramadhan dan idhul fitri agaknya masih menjadi sesuatu hal yang kontradiktif dan debatable di masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak, dua moment besar bagi umat islam ini memang bukan hanya bersifat ibadah ritual saja, namun juga berfungsi sebagai syiar persatuan umat. Dalam kegiatan yang bersifat ritual-keagamaan seperti diatas, digunakan sistem kalender bulan karena memang dianggap lebih cocok daripada kalender matahari, dengan kalender bulan pergantian hari bisa diikuti secara jelas dan penentuan harinya bisa lebih pasti.
Tidak hanya umat islam, umat hindu dalam menentukan Hari raya nyepi, umat Budha dalam peringatan hari raya Waisak atau umat Kristen dalam penentuan paskah juga bergantung pada gerak bulan[1]. Dan dalam prakteknya, seiring berkembangnya ilmu astronomi berkembang pula pemahaman, metode serta aplikasi dalam melihat awal bulan. Dalam sistem kalender islam yang berpola pada gerak bulan mengelilingi bumi ini setidaknya terdapat dua metode dalam penentuannya, yakni madzhab hisab dan madzhab ru’yah. Keduanya merupakan hasil ijtihad yang menariknya, tetap terdapat perbedaan pandangan atau hasil meski sama-sama hisab atau sama-sama rukyah.
Sebagaimana Hizbut Tahrir dan PERSIS yang merupakan bagian dari kelompok atau paham keislaman di Indonesia yang meski memakai sistem ini, namun berbeda dengan NU atau Muhammadiyah yang notabene adalah kelompok besar di Indonesia.  
Makalah sederhana ini secara ringkas akan menjelaskan tentang penentuan awal bulan qamariyyah dalam perspektif Hizbut Tahrir dan PERSIS. Yakni memuat pembahasan terkait selayang pandang kedua kelompok ini, pemaknaan kalender islam, dan tentunya konsep awal bulan keduanya. Semoga bermanfaat..
BAB II
Kajian Fiqih Kalender Perspektif PERSIS dan Hizbut Tahrir
A.    Tentang PERSIS dan Hizbut Tahrir
Sebagai aliran yang cukup mewarnai perbedaan ragam keislaman di Indonesia, PERSIS (Persatuan Islam) dan Hizbut Tahrir memiliki sejarah kelahiran dan arah pemikiran yang berbeda. Secara ringkas, berikut dipaparkan tentang apa dan bagaimana paham ideologi keduanya.
1.      Selayang pandang PERSIS
PERSIS adalah singkatan dari Persatuan Islam, yang didirikan oleh H. Zamzam bersama H. Muhammad Yunus pada 12 september 1923 di Bandung. H. Zamzam sendiri adalah alumnus Da>r al’Ulu>m Makkah yang banyak terinspirasi dari pemikiran Muhammad Abduh. Hal ini terlihat dari ungkapan Abduh dalam majalah al-Manar yang banyak dikutip oleh H. Zamzam, yakni al-Isla>m mah}ju>bun bil Muslimin (islam tertutup oleh kaum muslimin). Ungkapan ini yang menginspirasi umat islam –termasuk pendiri PERSIS- untuk menghidupkan kembali ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah[2].
Dari sini, dapat dicermati jika PERSIS -yang lahir di tengah bergejolaknya pergerakan islam- menjadi warna baru. Di Indonesia saat itu memang banyak bermunculan kelompok keagamaan seperti Jami’ah al-Khair, al-Irsyad, Muhammadiyyah dan belakangan kemudian lahir pula Nahd}atul Ulama’. 
PERSIS sebagai sebuah kelompok terlihat memiliki pandangan modernis-liberal, tercermin dari namanya yang berupa bahasa latin dan dianggap sebagai pengaruh Belanda, terlebih di masa itu sakralitas dan identifikasi islam dengan arab masih lekat di masyarakat pribumi.
Dari sisi ini, ideologi PERSIS terbaca bahwa mereka menghendaki pemilahan antara apa yang seharusnya dan yang tidak seharusnya disakralkan. Seiring berjalannya waktu, PERSIS menjelma menjadi organisasi paling ekstrim dan liberal. PERSIS menentang tradisi keislaman yang dianggap sebagai konsep bid’ah, khurafat dan tahayyul[3]. Tak terkecuali dalam konsep kalender islam, PERSIS menggunakan metode hisab dengan kajian ilmu-ilmu astronomi sebagai rujukan utama.
2.    Selayang pandang Hizbut Tahrir
Hizbut Tahrir yang berarti partai pembebasan adalah partai berideologi islam yang didirikan pada tahun 1952 di al-Quds oleh Taqiyuddin al-Nabha>ni> (1905-1978). Hizbut Tahrir (selanjutnya disebut HTI) secara umum dikenal dengan slogan menegakkan khilafah dan tersebar di banyak Negara berpenduduk muslim, tak terkecuali Indonesia.
HTI didirikan  dengan maksud membangkitkan kembali umat islam dari kemerosotan, membebaskan umat dari ide, sistem perundang-undangan dan hukum kufur. Dan ideologi utama kelompok ini adalah membangun kembali daulah islamiyyah di muka bumi demi berlakunya hukum Allah. Bagi kelompok ini, Allah telah mewajibkan umat islam untuk selalu terikat dengan hukum islam secara keseluruhan, baik pada ranah vertikal (hubungan manusia dengan Allah) ataupun wilayah horizontal (terkait masalah mu’amalah, hubungan sosial termasuk aturan berpolitik dan perundang-undangan)[4]. Kewajiban ini bersifat total dan menyeluruh berdasar ayat:
!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ $]%Ïd|ÁãB $yJÏj9 šú÷üt/ Ïm÷ƒytƒ z`ÏB É=»tGÅ6ø9$# $·YÏJøygãBur Ïmøn=tã ( Nà6÷n$$sù OßgoY÷t/ !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# ( Ÿwur ôìÎ6®Ks? öNèduä!#uq÷dr& $£Jtã x8uä!%y` z`ÏB Èd,ysø9$# 4 [5]
Menurut HTI, semua ideologi politik seperti kapitalisme, sosialisme dan juga demokrasi adalah ideologi merusak yang bertentangan dengan fitrah kemanusiaan. HTI senantiasa merujuk pada sejarah besar Islam dalam Negara Madinah yang dipimpin Nabi hingga Khalifah Rasyidah dan khalifah-khalifah selanjutnya. Hingga didirikannya daulah khilafah dengan pimpinan seorang khalifah adalah langkah awal dalam mengaplikasikan aturan Allah di muka bumi, baik dalam persoalan teologis, sosial, kenegaraan dan juga keagamaan[6].
Di Indonesia, HTI menyebarkan ideologinya dalam bentuk buku, selebaran dan forum-forum diskusi panel. HTI juga mempunyai beberapa lembaga da’wah seperti Lembaga Da’wah al-Misykah di Semarang, Lembaga Da’wah al-Ihtikam di Surabaya dan al-Inqiyad di Jawa Barat[7].
Dan jika ditilik arah ideologi kelompok ini, secara umum diketahui jika organisasi keagamaan di Indonesia terbagi dalam islam modernis atau tradisionalis, Hizbut Tahrir yang notabene bukan produk budaya Islam-Indonesia memiliki prinsip ideologi yang sedikit berbeda.  Jika menggunakan pembagian Khalid Aboe el-Fad}l, maka kelompok ini bisa dikatakan sebagai bagian dari kelompok islam puritan.
B.     Fiqih Kalender Perspektif PERSIS dan Hizbut Tahrir
Sebagaimana diketahui, Islam mempunyai sistem kalender berdasar fase perputaran bulan terhadap bumi yang disebut dengan kalender hijriyah[8]. Dan dalam penentuan awal bulan hijriyah, terdapat dua paham atau metode yang sering digunakan. Pertama, paham hisab yang dimotori oleh Muhammadiyah dan digunakan pula oleh PERSIS. Kedua, paham ru’yah yang diyakini oleh NU (Nahd}atul ‘Ulama’) dan digunakan pula oleh Hizbut Tahrir. Namun secara aplikatif, PERSIS dan Hizbut Tahrir memiliki konsep dan dasar masing-masing, yakni sebagaimana berikut:
1.      Fiqih Kalender Perspektif PERSIS
PERSIS sebagaimana dijelaskan sebelumnya, adalah pengejawantahan dari kelompok modernis yang cenderung liberalis di Indonesia. Tidak heran jika dalam penetapan awal bulan, PERSIS cenderung menggunakan metode hisab dengan dasar perkembangan ilmu astronomi. Berbeda dengan Muhammadiyyah yang dalam hisabnya menggunakan acuan wujudul hilal, hisab yang digunakan oleh PERSIS adalah hisab hakiki dengan acuan imka>nur ru’yah[9]. Dalam penggunaan imka>nur ru’yah sendiri, terdapat kriteria penting yang dijadikan pedoman, yakni[10]:
a.       Tinggi hilal minimum 2 derajat
b.      Jarak sudut antara bulan dan matahari (elongasi) minimum 3 derajat
c.       Umur bulan dihitung saat ijtima’ atau bulan baru atau jarak ijtima’ dengan matahari minimal 8 jam
Kriteria ini adalah yang disepakati oleh MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura) dan dianggap sebagai langkah kompromi antara kriteria ilmu astronomi dan data pengamatan di Indonesia. Dalam perkembangan astronomi selanjutnya pun, PERSIS terlihat “mengamini” temuan Prof Thomas Jamaluddin dari LAPAN yang kemudian menetapkan ketinggian hilal lebih dari 4 derajat dan elongasi 6,4 derajat[11].
Tegasnya, PERSIS melalui dewan Hisab dan Ru’yah memilah otoritas ahli fiqih dan astronomi dalam persoalan ini, ahli fiqih memiliki ranah ijtihad terkait apakah hisab ataukah ru’yah sebagai metode tepat dalam penentuan awal bulan. PERSIS mengambil sikap hisab dengan acuan visibilitas hilal yang dalam prakteknya adalah masuk otoritas keilmuan astronomi. Disinilah batas otoritas fuqaha menurut PERSIS, karena fuqaha’ berada pada ranah ijtihad bagaimana menentukan awal hilal, sementara syarat visibilitas hilal menjadi wilayah ahli astronomi[12].
Dari sini, terkesan adanya dikotomi antara ulama’ fiqih dan ahli astronomi dalam pandangan PERSIS, juga terbaca ketergantungan ahli fiqih dengan hasil penelitian astronomi. Hingga sebagai implikasinya, setiap terdapat penemuan baru dalam ilmu astronomi, setiap kali itu pulalah system dan pola konsep ijtihad fuqaha’ berubah sebagai bentuk penyesuian diri dengan ilmu pengetahuan.
2.      Fiqih Takwim Perspektif Hizbut Tahrir
Dalam masalah penentuan awal bulan qamariyah (kalender hijriyah), HTI berpendapat bahwa hal tersebut hanya bisa diketahui dengan ru’yatul hilal dari suatu tempat di bumi, baik ru’yah tersebut dilakukan dengan mata telanjang (bil ‘ain bashariyyah) atau dengan bantuan alat. Hal ini ditegaskan HTI dalam nashrah (selebaran) tertanggal 25 sya’ban 1419 H (14 desember 1998) dengan pernyataan sebagai berikut:
والرؤية المعتبرة هي الرؤية البصرية، ولا اعتبار للحسابات الفلكية إذا لم تثبت الرؤية بالعين البصرية، إذ لا قيمة شرعية للحسابات الفلكية في إثبات الصوم والإفطار، لأنّ السبب الشرعي للصوم أو الإفطار هو رؤية الهلال بالعين

“Rukyat yang sah (mu’tabar) adalah rukyat dengan mata, hisab tidak dapat dijadikan dasar jika rukyat tidak terbukti dengan mata. Karena hisab tidak memiliki nilai secara syar’i dalam menetapkan puasa dan berbuka (berhari raya). Hal ini dikarenakan sebab syar’i untuk berpuasa dan berhari raya hanyalah karena rukyatul hilal bil ‘ain (melihat bulan sabit dengan mata)..”[13].

Pandangan HTI ini didasarkan pada sebab shar’i untuk berpuasa dan berhari raya adalah karena melihat bulan sabit langsung dengan mata, hal ini sesuai dengan hadith nabi dari riwayat Abu> Hurairah sebagai berikut:
صُومُوا لِرُؤْيَتِه، وأفطروا لِرُؤْيَتِه، فإنْ غُمَّ عليكم فأكملوا عدّة شعبان  ثلاثين[14]
“Berpuasalah kamu sekalian karena melihat hilal (ramad}an) dan berbukalah kamu sekalian karena melihat hilal (syawal), jika tertutup atas kamu sekalian maka sempurnakanlah bilangan bulan sya’ban menjadi tiga puluh hari”.

Dengan redaksi yang berbeda, hadith senada diriwayatkan pula oleh Ibnu ‘Umar sebagai berikut:
لا تصوموا حتي ترووا الهلال ولا تفطروا حتي تروه فإن غمّ عليكم فاقدروا له[15]
“Janganlah kau berpuasa sebelum melihat hilal (ramadhan) dan janganlah kamu sekalian berbuka sebelum melihat hilal (syawal), jika tertutup atas kalian maka perkirakanlah”.

Berdasar hadith-hadith tersebut dan banyak hadith senada dengan teks dan jalur periwayatan yang beragam,  dipahami jika terdapat petunjuk atau dilalah  yang jelas (s}arih) bahwa sebab shar’i untuk puasa ramadhan dan id}ul fitri adalah hanya karena ru’yatul hilal. Ru’yatul hilal yang dimaksud disini adalah bukan ru’yah lokal yang berlaku dalam satu mat}la’ sebagaimana pendapat al-Sha>fi’i, melainkan ru’yah global atau internasional. Ru’yah ini dipegang oleh Komisi Penyatuan Kalender Hijriah Internasional dengan berpatokan pada Makkah Arab Saudi[16]. Artinya, ru’yatul hilal di sebuah Negara islam berlaku pula untuk kaum muslimin di Negara-negara lain di seluruh penjuru dunia.
Hal ini berdasar argumentasi bahwa hadith-hadith tentang hisab ru’yat diatas secara keseluruhan menggunakan khita>b jama’ mudhakkar salim, ini diartikan bahwa seruan ini ditujukan untuk seluruh umat islam di dunia denga tanpa dibedakan oleh letak geografis dan batas daerah kekuasaan[17]. Inilah yang membedakan pendapat golongan ini dengan NU, karena dalam NU system yang dipakai adalah ru’yah fi> wila>yatil hukmi (keberhasilan menyaksikan hilal di suatu daerah berlaku untuk satu Negara). Pendapat HTI tertuang tegas dalam Nashrah yang sama sebagai berikut:
وخطاب الشارع في هذه الأحاديث موجه إلى جميع المسلمين لا فرق بين شامي وحجازي ولا بين إندونيسي وعراقي، فألفاظ الأحاديث جاءت عامّة، لأن ضمير الجماعة في: (صوموا… وأفطروا) يدلّ على عموم المسلمين، وكذلك لفظ: (رؤيته) فهو اسم جنس مضاف إلى ضمير، يدلّ على رؤية الهلال من أي إنسان

“Seruan Pembuat Hukum dalam hadits-hadits ini (seperti dua hadits di atas) diarahkan kepada seluruh kaum muslimin, tidak ada bedanya antara orang Syam dengan orang Hijaz, antara orang Indonesia dengan orang Irak. Sebab lafaz}-lafaz} hadith tersebut datang dalam bentuk umum, karena kata ganti untuk orang banyak (dhamir jama’, yakni wawu) pada hadits “s}u>mu> wa aft}iru>” menunjukkan umumnya kaum muslimin. kata ganti), menunjukkan rukyatul hilal dari manusia siapa pun juga dia…”[18].

Sedang terkait awal bulan dhulhijjah yang terkait dengan pelaksanaan haji dan id}ul adha, HTI berpendapat bahwa ru’yatul hilal yang digunakan sebagai patokan adalah hanya ru’yah penguasa Makkah. Kecuali jika penguasa Makkah tidak dapat meru’yah hilal, barulah ru’yah Negara lain dapat dijadikan patokan.
3.      Sikap HTI terhadap Hisab
HTI sendiri menganggap hisab tidak dapat digunakan dalam penetapan awal bulan qamariyah, sebagaimana ungkapan Syaikh At}a’ bin Khalil yang  merupakan Amir Hizbut tahrir saat ini[19]:
نقول بعدم جواز الحسابات الفلكية في الصوم والفطر بل الرؤية فقط لأنها الواردة في النصوص

“Kami berpendapat tidak boleh menggunakan hisab dalam shaum dan Idul Fitri/Idul Adha, melainkan rukyatul hilal saja [yang dibolehkan], sebab rukyat itulah yang terdapat dalam nash-nash.”

Hingga jika misalkan hilal syawal tidak dapat dilihat karena tertutup awan, maka puasa digenapkan hingga 30 hari meski andaikata secara faktual hilal telah wujud. Hal ini terlihat dari pernyataan Shaikh At}a’ bin Khalil sebagai berikut:
من هذا يتبين أننا لا نصوم ونفطر لحقيقة الشهر بل لرؤية الهلال فإذا رأيناه صمنا وإن لَم نره: لا نَصُمْ حتى وإن كان الشهر قد بدأ فعلاً بالحساب.

“Dari sini jelaslah bahwa kita tidak berpuasa dan juga tidak berhari raya karena hakikat bulan (syahr) itu sendiri, melainkan karena rukyatul hilalnya. Maka jika kita melihat hilal, kita berpuasa. Jika tidak melihat hilal, kita tidak berpuasa hatta meskipun bulan (syahr) benar-benar telah mulai berdasarkan hisab”.

Pendapat ini menurut HTI, didasarkan pada pendapat jumhur ulama’ Hanafiyyah, Malikiyyah, Shafi’iyyah dan Hanabilah. Argumentasi penolakan HTI atas keberadaan perhitungan astronomi antara lain adalah[20]:
1.    Hisab tidak diperintahkan dalam nas al-Qur’an maupun hadith, begitupula dengan qiyas atau ijma’ sahabat
2.    Ilmu hisab dibangun berdasarkan asumsi lahirnya anak bulan (tawallud al-hilal), hingga dari sini dimungkinkan kaum muslimin di dunia bagian barat akan berpuasa lebih dahulu dari muslim di bagian timur. Ini berarti hisab justru membawa kaum muslimin pada perpecahan, dan ini berbeda jika yang diterapkan adalah ru’yatul hilal dengan wihdatul mat}a>li’ (kesatuan atau globalnya mat}la’).
Dari sini, HTI menganalisa bahwa permasalahan perbedaan umat islam dalam berpuasa dan berhari raya adalah karena ketiadaan Negara khilafah. Kondisi saat ini umat islam terpecah dalam sekitar 50 negara yang masing-masing mempunyai cara dan ijtihad sendiri dalam menentukan awal bulan qamariyyah. Hingga bagi HTI, jika terdapat khalifah maka terdapat satu sistem ijtihad yang dipakai dan wajib diamalkan oleh seluruh kaum muslimin di bagian bumi manapun.











BAB III
Penutup
Persoalan penetapan awal bulan dalam kalender hijriyah memang hal menarik untuk diteliti dan diperdebatkan. Di Indonesia sendiri, terdapat madzhab ru’yah dan madzhab hisab yang secara aplikatif sangat berbeda dan tidak jarang memberikan hasil yang berbeda pula. Tak terkecuali dalam PERSIS dan Hizbut tahrir yang notabene tidak “sebesar” organisasi NU dan Muhammadiyyah. Keduanya memiliki sikap dan cara pandang ijtihad masing-masing dalam menentukan sistem kalender islam.
PERSIS sebagai organisasi yang lahir dan besar di Jawa Barat memiliki pandangan hisab dengan acuan visibilitas hilal atau imka>nurru’yah, aplikasinya teori ahli astronomi sangat dibutuhkan dalam menentukan syarat hilal bisa diamati atau tidak. Sedangkan Hizbut Tahrir yang merupakan doktrin Syaikh Taqiyyuddin al-Nabha>ni> meyakini ru’yah internasional sebagai metode dalam penentuan awal bulan, hal ini didasari pada teks-teks hadith yang harus dimaknai secara tekstual dan berdasar pendapat ulama’ madzhab Maliki.
Hizbut Tahrir bahkan memberikan solusi atas perbedaan madzhab dan pendapat terkait awal bulan adalah dengan adanya khalifah yang memimpin semua umat muslim di muka bumi, hingga “keterwakilan” Tuhan menjadi nyata dan berada pada satu pintu. Namun jika diamati lebih lanjut, perbedaan metode penentuan juga diimbangi dengan upaya ijtihad-ijtihad baru dalam penyatuan pendapat. Upaya ini patut diapresiasi meskipun bukan hal yang mudah, mengingat sebuah maqa>l yang masyhur “likulli ra’sin ra’yun”, dan bagaimanapun juga dahulukan akhlak diatas fiqih yang merupakan ungkapan Jalaluddin Rahmat agaknya tepat digunakan untuk sejenak cooling down dari perdebatan panjang ini. Wallahu a’lam..



Daftar Pustaka
Ahmad Izzudin. Fiqih Hisab Rukyah. Jakarta: Erlangga. 2007
Islahuddin berdasar wawancara dengan Thomas Djamaluddin, Ilmu Astronomi bisa Tentukan awal bulan sesuai dalil rukyat. Dalam Merdeka.com. (diakses pada 06 maret 2013
M. Shiddiq al-Jawi, al-Khilafah: Penentuan Awal Bulan Kamariah Perspektif Hizbut Tahrir Indonesia, dalam kuliahfiqih.blogspot.com./2010/08/al-khilafah-penentuan-awal-bulan.html?m=1. Diakses pada 06 Maret 2013
Pimpinan Pusat Persatuan Islam, “Sejarah PERSIS”, dalam http://www.persatuanislam.or.id/home/front/detail/profile/sejarah-singkat. diakses pada 07 Maret 2013
Setyady, “Sejarah Persatuan Islam”, dalam http://setyadyc.blogspot.com/2012/03/sejarah-persis-persatuan-islam.html, diakses pada 07 Maret 2013
Slamet Hambali. Almanak Sepanjang Masa. (Semarang: Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang. 2011
Wikipedia, “Hizbut Tahrir”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Hizbut_Tahrir, diakses pada 07 Maret 2013
Zainul Arifin. Ilmu Falak. (Yogyakarta: Lukita. 2012



[1]Islahuddin berdasar wawancara dengan Thomas Djamaluddin, Ilmu Astronomi bisa Tentukan awal bulan sesuai dalil rukyat. Dalam Merdeka.com. (diakses pada 06 maret 2013)
[2]Pimpinan Pusat Persatuan Islam, “Sejarah PERSIS”, dalam http://www.persatuanislam.or.id/home/front/detail/profile/sejarah-singkat. diakses pada 07 Maret 2013
[3]Setyady, “Sejarah Persatuan Islam”, dalam http://setyadyc.blogspot.com/2012/03/sejarah-persis-persatuan-islam.html, diakses pada 07 Maret 2013
[4]Wikipedia, “Hizbut Tahrir”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Hizbut_Tahrir, diakses pada 07 Maret 2013
[5] QS al-Ma>idah: 44
[6]Khususnya dalam masalah penetapan awal bulan ramad}an dan Syawwal yang memiliki kaitan penting dengan ibadah puasa serta id}ul Fitri yang menjadi fokus bahasan dalam makalah ini.
[7] Ahmad Izzudin. Fiqih Hisab Rukyah. (Jakarta: Erlangga. 2007), 86
[8]Kalender islam ini ditetapkan pada masa Khalifah Umar bin Khattab yang dimulai dari hijrahnya nabi saw dari Makkah ke Madinah. Meski sejak sebelumnya umat islam memang telah mengenal pergantian hari secara konvensional, yakni dengan mengingat suatu masa dengan peristiwa besar di masa tersebut, seperti tahun gajah dan sebagainya. Lihat dalam Slamet Hambali. Almanak Sepanjang Masa. (Semarang: Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang. 2011), 13-15
[9]Secara leksikal Imka>nurru’yah bermakna posisi hilal mungkin dilihat, ini adalah pendapat al-Qalyu>bi yang menyatakan bahwa idealnya dalam ru’yah harus ada dugaan kuat (dzan) bahwa hilal ada diatas ufuk yang mungkin dapat dilihat, karena itu awal bulan menurutnya dapat ditetapkan berdasarkan hisab qat}’i yang menyatakan demikian. Lihat dalam Ahmad Izzudin. Ilmu Falak Praktis. (Semarang:PT. Pustaka Rizki Putra. 2012), 92
[10] Zainul Arifin. Ilmu Falak. (Yogyakarta: Lukita. 2012), 81
[11] Zainul Arifin. Ilmu Falak…, 78
[12] Islahuddin berdasar wawancara dengan Thomas Djamaluddin, Ilmu Astronomi bisa Tentukan awal bulan sesuai dalil rukyat. Dalam Merdeka.com. (diakses pada 06 maret 2013)
[13]Nasyrah Hizbut Tahrir, Shuumu Li Ru`yatihi wa Afthiru Li Ru`yatihi, 25 Sya’ban 1419 H (14 Dsember 1998). Sebagaimana dikutip dari M. Shiddiq al-Jawi, al-Khilafah: Penentuan Awal Bulan Kamariah Perspektif Hizbut Tahrir Indonesia, dalam kuliahfiqih.blogspot.com./2010/08/al-khilafah-penentuan-awal-bulan.html?m=1. Diakses pada 06 Maret 2013
[14]Hadith S{ah}i>h} berdasar riwayat imam al-Bukha>ri> dalam S{ahi>h al-Bukhari Kitab al-S{au>m nomor indeks 1909, Imam Muslim dalam S{ahi>h Muslim kitab al-Siya>m nomor indeks 1081, al-Nasa’i dalam Sunan al-Nasa’i kitab al-Siya>m nomor indeks 2116, Ahmad bin H{ambal dalam musnadnya dengan nomor indeks 9892. Selain itu hadith ini juga diriwayatkan oleh al-Tirmi>dzi, Ibnu Ma>jah, al-Da>rimi dan sebagainya berdasar banyak jalur periwayatan.
[15] Berkualitas S{ahih dan termuat dalam S{ahi>h Muslim
[16] Ahmad Izzudin. Fiqih Hisab Rukyah. (Jakarta: Erlangga. 2007), 86
[17] Zainul Arifin. Ilmu Falak. (Yogyakarta: Lukita. 2012), 80
[18] Nasyrah Hizbut Tahrir, Shuumu Li Ru`yatihi wa Afthiru Li Ru`yatihi…..
[19]M. Shiddiq al-Jawi, al-Khilafah: Penentuan Awal Bulan Kamariah Perspektif Hizbut Tahrir Indonesia, dalam kuliahfiqih.blogspot.com./2010/08/al-khilafah-penentuan-awal-bulan.html?m=1. Diakses pada 06 Maret 2013

[20]M. Shiddiq al-Jawi, al-Khilafah: Penentuan Awal Bulan Kamariah Perspektif …

Tidak ada komentar:

Posting Komentar