MUHAMMAD
SHAWKAT AUDAH (M.S. ODEH)
Oleh: M. Romli, S.HI
NIM: 135212019
A.
Pendahuluan
Mohammad Shawkat Odeh merupakan salah satu
pakar falak di dunia Islam yang memiliki perhatian besar terhadap persoalan
hisab, rukyah dan kalender hijriah. Ia mempunyai banyak kontribusi di bidang
pemikiran falak yang dibuktikan dengan berbagai tulisan tentang tema-tema
tersebut, dan keikutsertaannya di berbagai seminar internasional serta penyebaran
pemikiran melalui berbagai lembaga yang digelutinya. Oleh karena itu, kajian
atas pemikiran-pemikirannya menjadi sangat penting dilakukan. (Nashiruddin, 2010)
Di
antara pemikiran Odeh agar hasil rukyat bisa diterima, kriteria yang digunakan
haruslah yang secara statistik merupakan batas optimistik keberhasilan rukyat.
Batasan waktunya bukanlah saat maghrib, tetapi beberapa saat setelah maghrib
saat cahaya syafak mulai meredup yang dikenal sebagai “waktu terbaik” (best
time). Konsekuensinya, batas ketinggiannya menjadi lebih tinggi, dengan
ketinggian lebih dari 5 derajat dan beberapa syarat lainnya. Kriteria
optimistik seperti itu antara lain digunakan dalam kriteria SAAO,
Yallop, dan Shauwkat Odeh (Djamaluddin, 2013).
Untuk lebih menfokuskan pembahasan, makalah ini
akan membahas pemikiran Odeh dalam masalah sistem penanggalan hijriah secara
komprehensif yang merupakan perpaduan sistem penentuan awal bulan. Dalam
makalah ini juga akan dibahas sekelumit pemikiran Odeh tentang waktu salat.
B.
Sekilas
Profile
M. S. Odeh
1. Biografi
Singkat dan Genealogi Keilmuan M. S. Odeh
Nama lengkapnya Ir. Muhammad Syaukat ‘Audah (dalam
transliterasi Inggris ditulis Mohamed Shawkat Odeh). Dalam homepage-nya http://www.geocities.com/capecanaveral/1092/index.html, Odeh mengatakan bahwa ia berasal dari Nablus,
Palestina dan lahir di kota Kuwait, 6 Maret 1979. Ia tumbuh besar di kota Amman
ibukota negara Jordan. Ia menyelesaikan studi Mekanik dan Engineering di Universitas Jordan, Fakultas Sains
dan Teknologi pada tahun 2002. Di umurnya yang menginjak ke-20, tahun 1998,
Odeh mendirikan sebuah lembaga penelitian dan observasi hilal ICOP (Islamic
Crescents’ Observation Project). Hingga saat ini, lembaga tersebut
memiliki ratusan ilmuwan yang terdiri dari pakar ilmu falak dan
individu-individu yang intens dalam penelitian dan pengkajian hilal dari
berbagai negara di dunia. (Nashiruddin, 2010).
Odeh (2004: 2) mengatakan beberapa hal yang
mendorongnya mendirikan ICOP. Adanya perbedaan di antara umat Islam dalam
memulai bulan hijriah baru, terutama Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah, komentar sebagian
orang tentang tidak akuratnya ilmu hisab kontemporer dan diterimanya laporan
pengamatan hilal di saat hilal seharusnya tidak teramati sangat menggelisahkan
Odeh dan mendorongnya untuk meneliti kemungkinan kesalahan dalam memulai bulan
baru di Yordania. Hal tersebut dilakukan dengan mengumpulkan surat kabar yang
terbit antara tahun 1953-1999, meneliti pengumuman pemerintah Yordania dalam
memulai bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijjah kemudian membandingkannya dengan
permulaan bulan baru yang seharusnya, sesuai dengan perhitungan hisab
kontemporer. Tugas itulah yang kemudian diemban oleh ICOP dan menghasilkan
kesimpulan yang sangat mengejutkan.[1]
2. Karya-karya
M. S. Odeh
Di antara beberapa karya tulis Odeh yang
berkaitan dengan ilmu falak dan penulis unduh dari website ICOP adalah:
a. Taqwi>m
Nasb al-Khata’ fi Tah}di>d Awail al-Asyhur al-Hijriyyah (fi al-Urdun),
b. al-Farq
Bain al-Hila>l wa Tawallud al-Hila>l,
c. al-Hila>l
Bain H{isa>ba>t al-Falakiyyah wa ar-Ru’yah,
d. Al-Farq
Bain At}wa>r al-Qamar al-Markaziyah wa as-Sat}h}iyyah,
e. Tat}bi>qa>t
Tiknulujiyya al-Ma’lu>mat li I’da>d Taqwim Hijriy ‘A<lamiy,
f. New Criterion for Lunar Crescent Visibility, yang merupakan artikel dalam Nidhal Guesseoum
& Mohammad Odeh (ed.),
g. Aplications of Astronomical Calculations to Islamic
Issues,
h. at-Taqwim
al-Hijri al-‘A<lami,
i.
Taqdi>r Mau’idai S{ala>t al-Fajr wa
al-‘Isya’ ‘inda Ikhtifa’ al-‘Ala>ma>t al-Falakiyyah fi al-Mantiqah Ma
Bain Khattai ‘Ard 48.6° wa 66.6°. dan
j.
Isyka>liyya>t
Falakiyyah wa Fiqhiyyah H{aula Tah}di>d Mawa>qi>t al-S}ala>t.
Dari makalah-makalah Odeh tersebut, nyaris
semuanya membahas penentuan awal bulan kamariah dan kalender hijriah, kecuali dua
judul terakhir yang membahas tentang permasalahan waktu salat.
C.
Pemikiran
M. S. Odeh Tentang Hisab
1.
Hisab
Awal Bulan Kamariah dan Faktor-faktornya
a.
Konjungsi dan Hilal
Pembahasan Odeh tentang konjungsi diperlukan
untuk memahami makna konjungsi dalam bahasa Arab karena adanya kesalahpahaman
dalam membuat kriteria awal terjadinya konjungsi. Salah satu yang dibahas oleh
Odeh adalah tentang makna tawallud
al-hilal.
b. Makna Tawallud al-hilal
Odeh memulai pembahasannya tentang makna tawallud
al-hilal dengan
mengatakan bahwa kebanyakan orang, bahkan sebagian ahli fikih menggunakan
istilah ini tidak pada tempatnya. Mereka beranggapan bahwa tawallud al-hilal adalah
permulaan penampakan hilal, padahal anggapan ini adalah salah. Bulan memiliki
beberapa fase atau bentuk, yakni al-muhaq,
al-hilal, at-tarbi’, al-uhdub dan al-badr. Ketika seorang pengamat melihat
seluruh permukaan bulan bersinar, saat itulah bulan dalam fase al-badr (purnama).
Saat bulan nampak bersinar separuhnya, saat itulah bulan dalam fase at-tarbi’ al-awwal (kwartir
pertama), atau at-tarbi’
al-tsa>ni (kwartir kedua) jika terjadi di akhir bulan.
Jika bulan terlihat bagaikan sabit, berarti bulan dinamakan dengan al-hilal, dan fase antara at-tarbi’ dan al-badr dinamakan
dengan uhdub.
Pada saat bulan dalam perputarannya berada di antara bumi dan matahari, maka
matahari akan menyinari bagian bulan yang menghadap ke matahari dan bagian
bulan yang menghadap ke bumi akan nampak gelap gulita karena tidak menerima
sinar matahari. Fase inilah yang dinamakan dengan fase al-muhaq (bulan
mati). Fase ini juga disebut dengan al-iqtiran atau al-istisrar atau tawallud al-hilal (Odeh,
2006a: 2).[2]
Inilah, menurut Odeh, yang menjadikan sebagian
besar orang bahkan sebagian ahli fikih yang tidak mengerti tentang falak
memiliki persepsi yang salah bahwa yang dimaksud dengan tawallud
al-hilal adalah fase
perpindahan antara fase muhaq ke fase hilal, padahal tawallud al-hilal adalah fase muhaq itu
sendiri. Oleh karena itu, Odeh menyarankan agar istilah tawallud al-hilal
ini tidak dipakai karena akan menyebabkan kesalahan persepsi dalam
memahami permulaan bulan hijriah. Istilah yang lebih baik dipakai adalah muhaq, iqtiran, atau istisrar (Odeh, 2006a: 2).
c. Kapan
bulan dalam fase hilal
?
Pertanyaan ini, menurut Odeh, merupakan
pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab karena membutuhkan ahli dalam
pengamatan hilal. Pengamatan terhadap hilal awal bulan, sebagaimana diketahui,
harus dilaksanakan setelah terbenamnya matahari karena bulan yang akan dilihat
sangat kecil dan redup sehingga tidak akan mungkin terlihat pada saat matahari
belum terbenam karena sinar matahari yang kuat akan menutupi atau mengalahkan
sinar hilal atau bintang lain. Akan tetapi, pengamatan terhadap hilal tidak
berlangsung dalam rentang waktu yang lama setelah terbenamnya matahari karena
bulan itu mengalami terbit dan tenggelam sebagaimana matahari. Hanya saja,
bulan selalu tenggelam terlambat setiap harinya kira-kira 50 menit. Artinya,
jika pada hari ini bulan tenggelam pada jam 17.00, maka besok bulan akan
tenggelam pada kira-kira jam 17.50, dan begitu seterusnya (Odeh, 2006a: 4)
Bulan pada tanggal 29 terkadang terbenam
sebelum matahari, bersamaan atau setelahnya dengan rentang waktu tidak lebih
dari satu jam. Rentang waktu antara terbenamnya matahari dengan terbenamnya
bulan ini dinamakan dengan mukus
al-qamar. Apabila hilal berhasil dilihat pada saat ini, maka hari
berikutnya dinyatakan sebagai permulaan hari untuk bulan baru berikutnya,
sedangkan apabila hilal sudah terbenam tanpa adanya keberhasilan rukyah
sebelumnya, maka hari berikutnya adalah hari ke-30 bulan saat ini. Artinya,
umur bulan saat pengamatan adalah 30 hari.
Dari penjelasan di atas, Mohammad Odeh
mengambil kesimpulan bahwasanya hilal hanya dapat dilihat pada tanggal 29
apabila terpenuhi dua syarat pokok yang apabila salah satu syarat tidak
terpenuhi, maka hilal tidak akan mungkin terlihat. Pertama, bulan sudah
mencapai fase muhaq (konjungsi)
sebelum terbenamnya matahari. Kedua, bulan terbenam setelah terbenamnya
matahari (Odeh, 2006a: 4). Waktu yang merentang antara terjadinya fase muhaq sampai saat pengamatan (misalnya saat
terbenam matahari) dinamakan dengan ‘umr
al-qamar (umur bulan). Misalnya, umur bulan saat fase purnama
kira-kira adalah 14 hari, sedangkan umur bulan saat fase muhaq atautawallud
al-hilal adalah
nol.
d. Apakah Muhaq Terjadi Bersamaan Secara Internasional
Odeh (2006a:5, 2006c: 1-5) mengatakan bahwa sebagian
besar orang berkeyakinan bahwa konjungsi terjadi pada saat bersamaan di seluruh
dunia. Keyakinan ini, menurutnya, tidak benar-benar akurat. Ada dua istilah
yang dipakai untuk menyebut konjungsi, yakni al-iqtiran
al-markazi (Geocentric
New Moon) dan al-iqtiran as-sathi (Toposentric
New Moon). Istilah pertama dipakai dengan mengandaikan bumi, bulan dan matahari
sebagai titik-titik atau markaz-markaz yang berjalan di langit. Apabila
markaz-markaz ini bertemu dalam satu garis bujur ekliptika yang sama dan bulan
berada di antara bumi dan matahari, terjadilah konjungsi. Bila istilah ini yang
dipakai, maka tentunya konjungsi terjadi secara bersamaan di seluruh dunia.
Akan tetapi, pengamatan hilal terjadi dari permukaan bumi dan bukan dari markaz
atau titik pusatnya. Yang terpenting bagi pengamat hilal adalah konjungsi
tersebut terjadi dalam pengamatan orang yang ada di permukaan bumi. Dan inilah
yang diselesaikan oleh istilah kedua. Istilah kedua ini mengibaratkan bumi,
bulan dan matahari sebagai bola yang berjalan di langit. Konjungsi terjadi
apabila titik pusat matahari dan bulan berada pada satu garis dilihat dari
pengamat yang ada di permukaan bumi. Bila hal ini yang dipakai, maka saat
konjungsi antara satu daerah dengan daerah lain akan berbeda. Dan sangat
disayangkan, kata Odeh (2006b: 5), sebagian besar penanggalan
yang ada di negara-negara Islam menggunakan Geocentric New Moon sebagai dasar dalam perhitungan mereka
dan bukan Toposentric
New Moon.
Perbedaan antara konjungsi geocentric dengan toposentric ini dalam
perhitungan juga akan menampakkan perbedaan. Walaupun secara teoritis konsep konjungsi topocentric agak sulit digambarkan, akan tetapi
secara praktis perhitungan keduanya berbeda. Sebagai misal, waktu konjungsi bulan Muharam
1431 H, apabila dihitung secara geocentric pada
program Accurate
Times adalah pada jam 19.02 LT (Surakarta). Waktu konjungsi ini
apabila dibandingkan dengan program lain tidak akan jauh berbeda, yakni jam
19.02 pada hitungan program Mawaqit
versi 2001.06 dan jam 19.03.48 pada hitungan Taqwim al-Falakiyah versi 02.00-2000.xls. Akan
tetapi, apabila konjungsi Muharam 1431 H ini dihitung secara topocentric dari program Accurate Times, maka waktu
konjungsi adalah 20.28 LT. Ini juga terjadi pada bulan-bulan lain semisal
Ramadan 1431 H. Waktu konjungsi geocentric pada bulan
tersebut adalah jam 10.08 pada program Accurate Times dan Mawaqit, 10.09.07 pada program Taqwim al-Falakiyah.
Sedangkan waktu konjungsi topocentric adalah jam
09.04. Artinya ada selisih waktu sekitar 30 menit antara konjungsi topocentric dengan geocentric. Hal ini menunjukkan bahwa Odeh
konsisten untuk membedakan kedua istilah tersebut dan bahwa keduanya memang
harus dibedakan dalam perhitungan penentuan awal bulan kamariah.
2.
Kriteria-kriteria
Rukyah al-Hilal
Sebelum mengetahui kemungkinan rukyah al-hilal setelah
tenggelam matahari di tanggal 29, terlebih dahulu harus diketahui dengan pasti
bahwa bulan pada hari itu akan tenggelam setelah tenggelamnya matahari dan
konjungsi terjadi sebelum terbenamnya matahari melalui perhitungan hisab yang
telah dipersiapkan sebelumnya. Dari data itulah akan diketahui apakah hilal
mungkin dirukyah atau tidak.
Dan untuk menentukan hal tersebut, diperlukan kriteria-kriteria yang dikenal
dengan kriteria melihat hilal. Ada beberapa kriteria yang disebutkan oleh Odeh
(2006a: 5-9) dalam tulisannya, antara lain:
Pertama, Kriteria
Terbenamnya Bulan Setelah Matahari dan Konjungsi Sebelum terbenamnya Matahari
Penganut kriteria ini mengatakan bahwa apabila
bulan terbenam setelah matahari pada tanggal 29 walaupun selisih satu menit,
dan konjungsi terjadi sebelum terbenam matahari walupun selisih satu menit,
maka hilal mungkin dilihat pada saat itu. Oleh karena itu, hari selanjutnya
sudah dihitung sebagai permulaan bulan hijiriah baru. Kriteria inilah yang
dipakai oleh Kalender Ummul Qura Saudi mulai tahun 1423 H, juga dipakai dalam
kalender Negara-negara teluk selain Kerajaan Oman, Mesir dan beberapa Negara
Islam lain. Kriteria ini, menurut Odeh, adalah kriteria yang buruk dalam
mengetahui kemungkinan dilihatnya hilal. Alasannya adalah sebagai berikut;
a.
Konjungsi yang terhitung dalam hisab adalah
konjungsigeocentric dan bukan toposentric, sehingga
konjungsi bisa saja terjadi bila dihitung dari titik pusat bumi, akan tetapi
belum terjadi konjungsi bila dihitung dari permukaan bumi pengamat.
b.
Ketika dikatakan bahwa Matahari atau Bulan
sudah terbenam, maka ini berarti bahwa piringan atas dari lingkaran Matahari
atau Bulan telah berada di bawah ufuk. Hanya saja hilal –andaikan saja dianggap
sudah wujud pada kondisi seperti ini- adalah berada di piringan bawah lingkaran
Bulan. Karena Bulan memantulkan cahaya Matahari dan Matahari berada di bawah
Bulan, maka bagian Bulan yang bersinar adalah bagian bawahnya. Padahal bagian
bawah Bulan tentunya terbenam terlebih dahulu daripada bagian atasnya. Ini
berarti bahwa selisih waktu yang diperlukan agar hilal bisa dilihat setelah
terbenamnya Matahari menjadi lebih lama, tidak cukup dengan satu atau dua
menit.
c.
Bahkan jika saja sudah dilakukan koreksi
perhitungan atas waktu terjadinya konjungsi dan terbenamnya Bulan, kriteria ini
tetap tidak akurat karena hanya memperhitungkan terjadinya konjungsi tanpa
memperhatikan fase terbentuknya hilal.
Akan tetapi, perbedaan yang terjadi dalam hal
ini melahirkan beberapa aliran dalam kajian ilmu falak. Susiknan Azhari (2007:
109-111) mengatakan bahwa kriteria ijtimak dan posisi hilal ini terbagi menjadi
tiga cabang. Masing-masing memberikan interpretasi yang berbeda terhadap
kriteria posisi hilal di atas ufuk. Perbedaan ini selain disebabkan ufuk (horizon)
yang menjadi batas untuk mengukur apakah hilal sudah berada di atas atau masih
di bawahnya pada saat terbenam, juga berkaitan dengan fisik maupun penampakan
hilal yang harus dijadikan ukuran (visibilitas hilal). Dari hal
inilah, lahir tiga cabang aliran ini, yaitu pertama,
ijtimak sebelum terbenam matahari dan hilal sudah di atas ufuk hakiki (true horizon), kedua, ijtimak sebelum terbenam matahari dan
hilal sudah berada di atas ufuk
hissi (astronomical horizon), dan ketiga, ijtimak sebelum terbenam matahari dan
hilal mungkin untuk dirukyat (imkanur ru’yah) sehingga
diharapkan awal bulan kamariah yang dihitung sesuai dengan penampakan hilal
sebenarnya (actual sighting).
Kedua, Kriteria
Umur Bulan
Kriteria ini dipakai karena lebih mudah.
Misalnya ada yang berpendapat bahwa apabila umur bulan saat terbenamnya
matahari lebih dari 12 jam, maka hilal mungkin dilihat saat itu. Akan tetapi,
menurut Odeh (2006a: 8), dengan berdasar pada hasil pengamatan hilal antara
tahun 1859–2005 dapat diketahui bahwa umur bulan terkecil yang berhasil dilihat
dengan mata telanjang adalah 15 jam 33 menit oleh Pierce pada tanggal 25
Pebruari 1990, adapun umur Bulan terkecil yang berhasil dilihat dengan
menggunakan teropong adalah 13 jam 14 menit oleh Stamm pada tanggal 20 Januari
1996.
Hanya saja, kata Odeh, kriteria ini juga belum
begitu akurat untuk mengetahui kemungkinan terlihatnya hilal. Hal ini
dikarenakan teori ini tidak bisa membuat kriteria bahwa hilal akan mungkin
terlihat dengan mata telanjang bila umurnya lebih dari 15 jam. Berdasarkan pada
data pengamatan hilal di atas, umur bulan ada yang sudah mencapai 24 jam atau
lebih dan tidak berhasil dilihat bahkan dengan teropong sekalipun sebagaimana
dikatakan oleh Schaefer.
Ketiga, Kriteria Mukus al-Qamar (lama hilal di atas ufuk)
Kriteria ini dipakai dengan menghitung selisih
waktu antara terbenamnya matahari samapai terbenamnya bulan. Ada yang
berpendapat bahwa apabila nilai mukus
Bulan lebih dari 30 menit, maka hilal mungkin dilihat. Lagi-lagi
dengan melihat hasil pengamatan di atas, Odeh (2006a: 8) berpendapat bahwa
kriteria ini pun kurang akurat. Berdasarkan data pengamatan yang ada,mukus| hilal
terendah yang berhasil dilihat dengan mata telanjang adalah 29 menit, yakni di
Palestina pada tanggal 20 September 1990, sedangkan dengan teropong adalah 21
menit oleh Stamm pada tanggal 20 November 2005. Bakan data yang dimiliki
Schaefer menunjukkan bahwa hilal dengan mukus 75 menit atau lebih pun
tidak terlihat oleh teropong.
Keempat, Kriteria Elongasi (Istitalah/Qaus an-Nur)
Elongasi adalah jarak dari titik pusat Bulan ke
titik pusat Matahari di pandang dari Bumi dengan menggunakan ukuran derajat.
Elongasi bulan saat gerhana matahari adalah 0°, saat purnama adalah 180°, dan
saat kuarter pertama adalah 90°. Semakin besar nilai elongasi, maka semakin
besar cahaya bulan yang dapat dilihat dari bumi sehingga kemungkinan rukyah pun semakin
besar.
Pada tahun 1936, Danjon mengatakan bahwa
apabila nilai elongasi kurang dari 7°, maka nilai cahaya bulan yang dapat
dilihat dari pengamat di permukaan bumi adalah nol. Akan tetapi, dengan
kemajuan peralatan pengamatan saat ini dan juga semakin banyaknya
observatorium, nilai elongasi dari Danjon tersebut sekarang bisa berubah
menjadi 6,4°. Dengan melihat hasil pengamatan tahun 1859 – 2005 di atas,
didapatkan data bahwa nilai elongasi minimal saat hilal berhasil dilihat dengan
mata telanjang adalah 7,7° oleh Pierce pada tanggal 20 Februari 1990, sedangkan
bila menggunakan teropong adalah 6,4° oleh Stamm pada tanggal 13 Oktober 2004
(Odeh, 2006a: 9).
Kriteria ini bisa saja dijadikan sebagai batas
minimal elongasi yang memungkinkan nampaknya hilal, walupun tidak bisa
diberlakukan sebaliknya. Artinya, tidak berarti bahwa bila elongasi bernilai
lebih dari 6 derajat, maka otomatis hilal bisa dilihat.
Kelima, Kriteria Imkan ar-Ru’yah (Visibilitas Hilal)
Dari berbagai kriteria di atas, Odeh (2007b:
2-3) mengatakan bahwa kriteria-kriteria di atas tidak bisa berdiri sendiri.
Oleh karena itu, Odeh mengatakan bahwa perhitungan falak (al-hisab
al-falakiyah) saat ini sudah bisa dijadikan dasar untuk menentukan
kemungkinan dilihatnya hilal karena lebih teliti. Di antara negara-negara Islam
yang menggunakan perhitungan falak untuk menentukan kemungkinan hilal terlihat
adalah Turki, Iran, Kerajaan Oman, Yordania, Aljazair dan Maroko.
Ada beberapa kriteria yang juga disampaikan
oleh Odeh tentang visibilitas hilal yang merupakan tawaran dari beberapa orang
atau kelompok yang sebagiannya bisa dijadikan pegangan ketika melakukan rukyah.
Antara lain:
a.
Kriteria Lama
Kriteria Babilonia menetapkan bahwa rukyah itu
mungkin apabila umur bulan saat terbenam matahari lebih dari 24 jam, dan bulan
terbenam (moonset)
setelah 48 menit dari terbenamnya matahari (sunset). Al-Battani mengusulkan
kemungkinan hilal bisa dirukyah apabila kerendahan matahari saat terbenamnya
bulan adalah antara 8 sampai 10 derajat di bawah ufuq. Keduanya, menurut Odeh
belum merupakan kriteria yang akurat karena data hasil rukyah yang dia miliki
tidak mendukung kriteria ini.
b.
Kriteria Ilyas
Ilyas mengemukakan kriteria visibiltas hilal
dengan menghubungkan antara Geocentric Relative Altitude (al-Irtifa’
az-Zawi al-Markazi Bain asy-Syams wa al-Qamar Waqt al-Ghuru>b) dengan Relative Azimuth (Farq
as-Samt Bain asy-Syams wa al-Qamar Waqt al-Ghuru>b). Ia mengatakan bahwa jarak sudut
bulan-matahari haruslah mencapai 10,5 derajat pada beda azimut 0 derajat agar
hilal dapat dilihat.[3] Kriteria ini menurut Odeh hanya memperhitungkan
visibilitas hilal dengan pengamatan mata telanjang saja dan tidak bisa dipakai
bila pengamatan dilakukan dengan teropong.
c.
Kriteria SAAO (The South African Astronomical
Observatory/Marsad Janub Ifriqiya al-Falaki)
Kriteria SAAO merupakan kriteria terbaru yang
dianggap sudah akurat. Kriteria ini menghubungkan antara Toposentric Altitude (Irtifa’
Sathi li Haffah Qars al-Qamar Waqt al-Ghurub) dengan Relative
Azimuth. Kriteria ini bisa dipakai juga untuk pengamatan dengan teropong.
Kriteria tersebut adalah sebagai berikut: (Odeh, t.t: 21).
Beda
Azimuth Bulan-Matahari
|
Rukyah
Tidak Mungkin (Walau dengan Teropong) Bila Tinggi Hilal Kurang Dari
|
Rukyah
dengan Mata Telanjang Kemungkinan Kecil Berhasil Bila Tinggi Hilal Kurang
Dari
|
0°
|
6,3°
|
8,2°
|
5°
|
5,9°
|
7,8°
|
10°
|
4,9°
|
6,8°
|
15°
|
3,8°
|
5,7°
|
20°
|
2,6°
|
4,5°
|
d.
Kriteria Yallop
Kriteria Yallop juga merupakan kriteria yang
akurat. Dia menghubungkan antara beda Geocentric Relative Altitude (al-Irtifa’
az-Zawi al-Markazi Bain asy-Syams wa al-Qamar) dengan Toposentric
Crescent Widht (as-Samk as-Sathi li al-Hilal).
Kriteria ini membagi kemungkinan hilal bisa dilihat dalam beberapa keadaan: (1)
Hanya mungkin dilihat dengan teropong saja, (2) Bisa menggunakan teropong, (3)
Bisa dengan mata telanjang bila udara bersih, dan (4) Mudah dilihat dengan mata
telanjang (Yallop, 2004: 11).
e.
Kriteria Odeh
Odeh mengemukakan kriteria visibilitas hilal
dengan menggabungkan hasil-hasil observasi yang dilakukan oleh Schaefer, Yallop
dan SAAO yang mencapai 336 observasi dan membentang antara tahun 1859 sampai
2005, dan masih ditambah dengan hasil pengamatan dari ICOP yang berjumlah 401.
Secara keseluruhan jumlah hasil observasi itu adalah 737 hasil pengamatan. Dia
menggabungkan antara Topocentric
Relative Altitude dengan Toposentric Crescent Widht.
Ada beberapa variabel yang biasanya digunakan
untuk menentukan kriteria visibilitas hilal menurut Odeh. Dan diantara
variabel-veriabel tersebut, dua di antaranya dipakai untuk menentukan kriteria
visibilitas hilal yang akurat. Diantaranya adalah: Umur Bulan (Moon’s Age/Age), Mukus| Bulan (Moon’s lag time/Lag), Moon’s Altitude (Tinggi
Bulan), Elongasi (Arc of light/ARCL), Busur Rukyah (Arc of
vision/ARCV),
Beda Azimut (Relative Azimuth/DAZ), dan Lebar Hilal (Crencent
Widht/W)
Variabel-variabel untuk memprediksi penampakan
hilal
Dalam kriteria baru yang ditawarkannya, Odeh
mengatakan bahwa visibilitas hilal dibagi dalam beberapa zona;
• Zona A (ARCV ³ ARCV3): Hilal mudah dilihat dengan mata
telanjang.
• Zona B (ARCV ³ ARCV2): Hilal mudah dilihat dengan alat optik
dan mungkin dengan mata telanjang dalam cuaca yang bersih.
• Zona C (ARCV ³ ARCV1): Hilal hanya dapat dilihat dengan alat
optik.
• Zona D (ARCV ARCV1); Hilal tidak
mungkin dilihat walaupun dengan alat optik.[4]
D.
Pemikiran
Odeh tentang Waktu Salat
1.
Makalah berjudul
“Problematika Astronomis dan Fiqh tentang Batasan Waktu Salat”.
(Odeh, 2010) dalam abstraknya menjelaskan
tentang waktu Subuh dan memetakan secara rinci perbedaan antara dua bentuk Fajr (S}a>diq dan Ka>dzib) dalam perspektif fiqh dan astronomi. Dari
sini muncul perbincangan rincian antara makna Ghalas (Dark Fajr)
dan Isfar (Bright Fajr) dan dari makna-makna tersebut akan
menjadi pertimbangan untuk menentukan permulaan waktu Fajr yang valid. Dari hal
itu dapat diketahui pendapat astronom klasik terkemuka tentang detik-detik sudut
waktu Fajr, juga studi terbaru yang dilakukan untuk menentukan sudut Fajr.
Makalah ini mengemukakan prosedur yang berguna untuk pembatasan sudut waktu
fajar secara detail. Kemudian, ditambah dengan dalil hadits tentang salat Isya
sebagai penjelas pemisah antara Twilight Merah dan Twilight Putih
disertai dengan pendapat-pendapat astronom klasik tentang seputar sudut waktu Isya
dan studi terbaru yang saling berkaitan.
Pembahasan makalah ini dilanjutkan pada
pembahasan waktu Z{uhur,
makna Zawal, perbedaan pendapat tentang awal waktu Zawal dan dalil awal waktu
Ashar berikut perbedaan madzhab Hanafi dari madzhab-madzhab yang lain dalam
menetapkan dalil awal waktu Ashar. Terakhir, makalah ini membahas waktu Maghrib
dan efek ketinggian dari permukaan laut pada waktu matahari terbenam, serta
efek dari jauh ketinggian pada cakrawala pada waktu Maghrib.
2.
Makalah
berjudul “Eksplanasi ketetapan waktu salat Isya` dan Subuh tatkala kondisi
astronomis ubnormal pada koordinat 48,6° s.d 66,6° LU”.
(Odeh, 2009: 3)
mengatakan, ditinjau dari segi iklim, secara umum di atas bumi ini terbagi atas
tiga garis lintang:
a. Dari garis katulistiwa
sampai koordinat 48,6° LU dan LS, di
daerah ini semua tanda-tanda alam berjalan dengan normal (iklim tropis. Pen)
b. Dari koordinat 48,6° sampai dengan
66,6° LU dan LS, di
daerah ini ada fenomena tidak terdeteksinya waktu salat Isya` dan Subuh pada
hari-hari tertentu (iklim sub tropis. Pen)
c. Dari koordinat 66,6° LU dan LS ke
atas, di daerah ini terjadi fenomena terjadinya waktu siang berkepanjangan dan
demikian halnya waktu malam, sehingga tanda-tanda alam tidak dapat digunakan
sebagai pedoman waktu salat (iklim dingin. Pen)
Muhammad Syaukat ‘Audah (Odeh), dalam makalah
seminar internasional di Burksel-Belgia oleh Divisi Fiqih dan Hukum Islam
Rabithah al-A’lam al-Islamy pada tanggal 21-22 Mei 2009 yang kemudian menjadi
rekomendasi, bahwa bagi umat muslim yang tinggal di kawasan koordinat lintang
48° LU atau 48° LS tetap harus menjalankan salat pada waktunya menurut
ketentuan syara’. Hanya saja, bagi mereka yang mengalami kesulitan untuk
menentukan kapan masuknya waktu salat Isya karena sebab hilangnya twilight
sunset dan twilight sunrise maka penentuan waktu Isya’ dapat dijamak
(taqdim) antara Maghrib dan Isya’, ini pun jika dirasa perlu.[5]
E.
Simpulan
Dari diskripsi pemikiran Odeh di atas dapat
dilihat bahwa Odeh merupakan salah satu tokoh falak yang berusaha untuk
menggabungkan antara hisab dengan rukyah. Kriteria baru visibilitas hilal yang
ditawarkannya adalah bukti atas hal tersebut. Ia membagi wilayah visibilitas
hilal dalam lima zona, yaitu zona A (hilal mudah dilihat dengan mata
telanjang), zona B (hilal bisa dilihat dengan teleskop atau dengan mata
telanjang jika cuaca bersih), zona C (hilal hanya dapat dilihat dengan
teleskop), zona D (hilal tidak mungkin dilihat) dan zona E (hilal mustahil
terlihat). Zona A, B dan C merupakan zona dapat dimulainya bulan baru hijriah.
Ia memberikan kritikan keras pada sebagian ulama atau pengambil keputusan yang
hanya memakai hisab untuk menetapkan permulaan bulan baru hijriah. Penggunaan
hisab semata tanpa ada rukyah hakiki akan menjadikan ummat Islam berkeyakinan
tidak mungkinnya dilakukan rukyah, padahal rukyah hakikilah yang dipakai oleh
generasi Islam pada masa Nabi SAW yang belum didukung oleh sarana modern untuk
melakukan rukyah sebagaimana yang ada saat ini. Pandangan Odeh tersebut, dalam
pandangan penulis, akan menjadikan fungsi observatorium yang ada di dunia Islam
menjadi lebih maksimal dan bermakna. Data tentang hilal diperoleh dari umat
Islam sendiri dan dengan pengamatan senyatanya.
Tentang waktu Subuh, Odeh memetakan secara
rinci perbedaan antara dua bentuk Fajr (S}a>diq dan Ka>dzib) dalam perspektif fiqh dan astronomi. Dari
sini muncul perbincangan rinci antara makna Ghalas (Dark Fajr)
dan Isfar (Bright Fajr). Dalam masalah waktu salat di koordinat lintang 48° LU
atau 48° LS, menurut Odeh umat Islam tetap harus menjalankan
salat menurut ketentuan syara’. Hanya saja, bagi mereka yang mengalami
kesulitan untuk menentukan kapan masuknya waktu salat Isya karena sebab
hilangnya twilight sunset dan twilight sunrise maka penentuan
waktu Isya’ dapat dijamak (taqdim) antara Maghrib dan Isya’, ini pun jika
dirasa perlu.
Akhirnya penulis sangat
mengapresiasi, bahwa apa yang dilakukan Odeh merupakan hasil karya yang luar
biasa yang harus direspons dengan baik, baik yang setuju ataupun yang
menolaknya dalam rangka memperkaya khazanah pengetahuan astronomi Islam.
Wallahu A’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Azhari, Susiknan, 2007, Ilmu Falak, Perjumpaan Khazanah Islam dan
Sains Modern, Yogyakarta, Suara Muhammadiyah.
Djamaluddin, T, 2013, Peran Astronomi dalam Penyatuan Penetapan Awal
Bulan Qamariyah, diakses dari http://tdjamaluddin.wordpress.com/category/2
-hisab-rukyat/ tanggal 18 Mei 2014.
Khazin, Muhyiddin, 2004, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik, cet. I,
Yogyakarta: Buana Pustaka
Nashiruddin, Muh, 2010, Penanggalan Hijriyah Muhammad Shawkat Odeh, diakses
dari http://sofianasma.wordpress.com/tag/hilal/ tanggal 17 Mei 2014.
Odeh, Mohammad Shawkat, 2004, Taqwi>m
Nasb al-Khata’ fi Tah}di>d Awail al-Asyhur al-Hijriyyah (fi al-Urdun) diakses dari www.icoproject.org
tanggal 28 April 2014.
———-,2006a, al-Farq
Bain al-Hila>l wa Tawallud al-Hila>l, www.icoproject.org.
Diakses tanggal 28 April 2014.
———-,2006b, al-Hila>l Bain H{isa>ba>t
al-Falakiyyah wa ar-Ru’yah,
Makalah dipresentasikan pada seminar ahli Falak untuk menentukan awal bulan
kamariah yang diadakan di Rabat, Maroko pada tanggal 8-10 Nopember 2006,
diakses tanggal 1 April 2014dari www.icoproject.org.
———-, 2006c, Al-Farq Bain At}wa>r
al-Qamar al-Markaziyah wa as-Sat}h}iyyah, makalah yang dipresentasikan di Muktamar Falak
Emirat I di Abu Dhabi, UEA pada 13-14 Desember 2006, diakses dari www.icoproject.org tanggal 28 April 2014.
———-, t.t “New Criterion for Lunar Crescent Visibility”
dalam Nidhal Guesseoum & Mohammad Odeh (ed.), Aplications of Astronomical Calculations to
Islamic Issues, t.t.t: Markaz al-Wasaiq wa al-Buhus diakses
pada tanggal 28 April 2014.
———–, 2007, Tat}bi>qa>t
Tiknulujiyya al-Ma’lu>mat li I’da>d Taqwim Hijriy ‘A<lamiy, Makalah dipresentasikan pada Simposium
Internasional Penyatuan Kalender Islam di Jakarta, 4-6 September 2007, diakses
dari www.icoproject.org pada tanggal 28 September 2009.
———–, 2009, Taqdi>r
Mau’idai S{ala>t al-Fajr wa al-‘Isya’ ‘inda Ikhtifa’ al-‘Ala>ma>t
al-Falakiyyah fi al-Mantiqah Ma Bain Khattai ‘Ard 48.6° wa 66.6°, makalah seminar
internasional di Burksel-Belgia oleh Divisi Fiqih dan Hukum Islam Rabithah
al-A’lam al-Islamy pada tanggal 21-22 Mei 2009, diakses dari www.icoproject.org pada tanggal 28 Maret 2014.
———–, 2010, Isyka>liyya>t Falakiyyah wa Fiqhiyyah
H{aula Tah}di>d Mawa>qi>t al-S}ala>t, makalah seminar Astronom Emirat ke-2, di Abu Dabi pada tanggal 30 Mei s.d 01
Juni 2010,
diakses dari www.icoproject.org pada tanggal 28 Maret 2014.
Yallop,
BD, 2004, A
Method for Predicting the First Sighting of the New Crescent Moon, diakses dari http://www.icoproject.org
Makalah Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Hisab Kontemporer
Dosen Pengampu :
DR. Rupi’i, M.Ag
Oleh :
M. R O M L I
NIM : 135212019
PROGRAM PASCASARJANA (PPs)
KONSENTRASI ILMU FALAK
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
WALI SONGO SEMARANG
2014
Dilampirkan Untuk Melengkapi Tugas Makalah
Hisab Kontemporer
Dosen Pengampu :
DR. Rupi’i, M.Ag
Oleh :
M. R O M L I
NIM : 135212019
PROGRAM PASCASARJANA (PPs)
KONSENTRASI ILMU FALAK
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
WALI SONGO SEMARANG
2014
[1] Diantara hasil penelitian tersebut adalah; a.
untuk bulan Ramadan tahun 1954-1999 yang berjumlah 47 bulan, 60% (28 bulan)
diantaranya bulan baru dimulai padahal hilal mustahil dirukyah (di bawah ufuk),
36% (17 bulan) hilal tidak mungkin dirukyah, dan hanya 1% (1 bulan) bulan
mungkin dirukyah dengan alat optik dan 1% (1 bulan) mungkin dirukyah dengan
mata telanjang. Yang juga mengejutkan adalah bahwa permulaan baru di saat-saat
itu selalu ditetapkan dengan adanya laporan keberhasilan rukyah. b. untuk bulan
Syawal (47 bulan), 68% (32 bulan) diantaranya hilal mustahil dirukyah, 30% (14
bulan) hilal tidak mungkin dirukyah, dan hanya 2% (1 bulan) hilal mungkin
dirukyah dengan alat optik. c. Untuk bulan Zulhijjah (48 bulan), dalam hal ini
pemerintah Yordania selalu mengikuti Arab Saudi, hasilnya adalah 35% (17 bulan)
hilal mustahil dirukyah, 44% (21 bulan) hilal tidak mungkin dirukyah, dan 21%
(10 bulan) hilal mungkin dirukyah 6 bulan diantaranya dengan alat optik dan 4
bulan dengan mata telanjang.
[3] Penjelasan tentang
pikiran-pikirannya tentang Kalender Islam dan juga Garis Tanggal Kamariyah
dapat dilihat dalam Mohammad Ilyas, 1997, Astronomy
of Islamic Calendar, Kuala Lumpur: A.S. NOORDEEN.
[4] Kalau
dilihat pada program Accurate
Times ada zona E
yang merupakan zona hilal mustahil dilihat, yakni wilayah yang syarat
terpenuhinya bulan baru belum terpenuhi semisal belum terjadi konjungsi saat
terbenam matahari atau bulan terbenam sebelum matahari.
[5] Rekomendasi
hasil seminar internasional di Burksel-Belgia berikut Makalahnya dalam bentuk
PDF, dapat di download di www.icoproject.org/pdf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar