Senin, 02 Juni 2014

MUHAMMAD SHAWKAT AUDAH (M.S. ODEH)
Oleh: M. Romli, S.HI
NIM: 135212019

A.    Pendahuluan
Mohammad Shawkat Odeh merupakan salah satu pakar falak di dunia Islam yang memiliki perhatian besar terhadap persoalan hisab, rukyah dan kalender hijriah. Ia mempunyai banyak kontribusi di bidang pemikiran falak yang dibuktikan dengan berbagai tulisan tentang tema-tema tersebut, dan keikutsertaannya di berbagai seminar internasional serta penyebaran pemikiran melalui berbagai lembaga yang digelutinya. Oleh karena itu, kajian atas pemikiran-pemikirannya menjadi sangat penting dilakukan. (Nashiruddin, 2010)
Di antara pemikiran Odeh agar hasil rukyat bisa diterima, kriteria yang digunakan haruslah yang secara statistik merupakan batas optimistik keberhasilan rukyat. Batasan waktunya bukanlah saat maghrib, tetapi beberapa saat setelah maghrib saat cahaya syafak mulai meredup yang dikenal sebagai “waktu terbaik” (best time). Konsekuensinya, batas ketinggiannya menjadi lebih tinggi, dengan ketinggian lebih dari 5 derajat dan beberapa syarat lainnya. Kriteria optimistik seperti itu antara lain digunakan dalam kriteria SAAO, Yallop, dan Shauwkat Odeh (Djamaluddin, 2013).
Untuk lebih menfokuskan pembahasan, makalah ini akan membahas pemikiran Odeh dalam masalah sistem penanggalan hijriah secara komprehensif yang merupakan perpaduan sistem penentuan awal bulan. Dalam makalah ini juga akan dibahas sekelumit pemikiran Odeh tentang waktu salat.

B.     Sekilas Profile M. S. Odeh
1.   Biografi Singkat dan Genealogi Keilmuan M. S. Odeh
Nama lengkapnya Ir. Muhammad Syaukat ‘Audah (dalam transliterasi Inggris ditulis Mohamed Shawkat Odeh). Dalam homepage-nya http://www.geocities.com/capecanaveral/1092/index.html, Odeh mengatakan bahwa ia berasal dari Nablus, Palestina dan lahir di kota Kuwait, 6 Maret 1979. Ia tumbuh besar di kota Amman ibukota negara Jordan. Ia menyelesaikan studi Mekanik dan Engineering di Universitas Jordan, Fakultas Sains dan Teknologi pada tahun 2002. Di umurnya yang menginjak ke-20, tahun 1998, Odeh mendirikan sebuah lembaga penelitian dan observasi hilal ICOP (Islamic Crescents’ Observation Project). Hingga saat ini, lembaga tersebut memiliki ratusan ilmuwan yang terdiri dari pakar ilmu falak dan individu-individu yang intens dalam penelitian dan pengkajian hilal dari berbagai negara di dunia. (Nashiruddin, 2010).
Odeh (2004: 2) mengatakan beberapa hal yang mendorongnya mendirikan ICOP. Adanya perbedaan di antara umat Islam dalam memulai bulan hijriah baru, terutama Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah, komentar sebagian orang tentang tidak akuratnya ilmu hisab kontemporer dan diterimanya laporan pengamatan hilal di saat hilal seharusnya tidak teramati sangat menggelisahkan Odeh dan mendorongnya untuk meneliti kemungkinan kesalahan dalam memulai bulan baru di Yordania. Hal tersebut dilakukan dengan mengumpulkan surat kabar yang terbit antara tahun 1953-1999, meneliti pengumuman pemerintah Yordania dalam memulai bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijjah kemudian membandingkannya dengan permulaan bulan baru yang seharusnya, sesuai dengan perhitungan hisab kontemporer. Tugas itulah yang kemudian diemban oleh ICOP dan menghasilkan kesimpulan yang sangat mengejutkan.[1]

2.   Karya-karya M. S. Odeh
Di antara beberapa karya tulis Odeh yang berkaitan dengan ilmu falak dan penulis unduh dari website ICOP adalah:
a.       Taqwi>m Nasb al-Khata’ fi Tah}di>d Awail al-Asyhur al-Hijriyyah (fi al-Urdun), 
b.      al-Farq Bain al-Hila>l wa Tawallud al-Hila>l,
c.       al-Hila>l Bain H{isa>ba>t al-Falakiyyah wa ar-Ru’yah,
d.      Al-Farq Bain At}wa>r al-Qamar al-Markaziyah wa as-Sat}h}iyyah,
e.       Tat}bi>qa>t Tiknulujiyya al-Ma’lu>mat li I’da>d Taqwim Hijriy ‘A<lamiy,
f.       New Criterion for Lunar Crescent Visibility, yang merupakan artikel dalam Nidhal Guesseoum & Mohammad Odeh (ed.), 
g.      Aplications of Astronomical Calculations to Islamic Issues,
h.      at-Taqwim al-Hijri al-‘A<lami,
i.        Taqdi>r Mau’idai S{ala>t al-Fajr wa al-‘Isya’ ‘inda Ikhtifa’ al-‘Ala>ma>t al-Falakiyyah fi al-Mantiqah Ma Bain Khattai ‘Ard 48.6° wa 66.6°. dan
j.        Isyka>liyya>t Falakiyyah wa Fiqhiyyah H{aula Tah}di>d Mawa>qi>t al-S}ala>t.

Dari makalah-makalah Odeh tersebut, nyaris semuanya membahas penentuan awal bulan kamariah dan kalender hijriah, kecuali dua judul terakhir yang membahas tentang permasalahan waktu salat.

C.    Pemikiran M. S. Odeh Tentang Hisab
1.      Hisab Awal Bulan Kamariah dan Faktor-faktornya
a.       Konjungsi dan Hilal
Pembahasan Odeh tentang konjungsi diperlukan untuk memahami makna konjungsi dalam bahasa Arab karena adanya kesalahpahaman dalam membuat kriteria awal terjadinya konjungsi. Salah satu yang dibahas oleh Odeh adalah tentang makna tawallud al-hilal.
b.   Makna Tawallud al-hilal
Odeh memulai pembahasannya tentang makna tawallud al-hilal dengan mengatakan bahwa kebanyakan orang, bahkan sebagian ahli fikih menggunakan istilah ini tidak pada tempatnya. Mereka beranggapan bahwa tawallud al-hilal adalah permulaan penampakan hilal, padahal anggapan ini adalah salah. Bulan memiliki beberapa fase atau bentuk, yakni al-muhaq, al-hilal, at-tarbi’, al-uhdub dan al-badr. Ketika seorang pengamat melihat seluruh permukaan bulan bersinar, saat itulah bulan dalam fase al-badr (purnama). Saat bulan nampak bersinar separuhnya, saat itulah bulan dalam fase at-tarbi’ al-awwal (kwartir pertama), atau at-tarbi’ al-tsa>ni (kwartir kedua) jika terjadi di akhir bulan. Jika bulan terlihat bagaikan sabit, berarti bulan dinamakan dengan al-hilal, dan fase antara at-tarbi’ dan al-badr dinamakan dengan uhdub. Pada saat bulan dalam perputarannya berada di antara bumi dan matahari, maka matahari akan menyinari bagian bulan yang menghadap ke matahari dan bagian bulan yang menghadap ke bumi akan nampak gelap gulita karena tidak menerima sinar matahari. Fase inilah yang dinamakan dengan fase al-muhaq (bulan mati). Fase ini juga disebut dengan al-iqtiran atau al-istisrar atau tawallud al-hilal (Odeh, 2006a: 2).[2]
Inilah, menurut Odeh, yang menjadikan sebagian besar orang bahkan sebagian ahli fikih yang tidak mengerti tentang falak memiliki persepsi yang salah bahwa yang dimaksud dengan tawallud al-hilal adalah fase perpindahan antara fase muhaq ke fase hilal, padahal tawallud al-hilal adalah fase muhaq itu sendiri. Oleh karena itu, Odeh menyarankan agar istilah tawallud al-hilal ini tidak dipakai karena akan menyebabkan kesalahan persepsi dalam memahami permulaan bulan hijriah. Istilah yang lebih baik dipakai adalah muhaq, iqtiran, atau istisrar (Odeh, 2006a: 2).
c.   Kapan bulan dalam fase hilal ?
Pertanyaan ini, menurut Odeh, merupakan pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab karena membutuhkan ahli dalam pengamatan hilal. Pengamatan terhadap hilal awal bulan, sebagaimana diketahui, harus dilaksanakan setelah terbenamnya matahari karena bulan yang akan dilihat sangat kecil dan redup sehingga tidak akan mungkin terlihat pada saat matahari belum terbenam karena sinar matahari yang kuat akan menutupi atau mengalahkan sinar hilal atau bintang lain. Akan tetapi, pengamatan terhadap hilal tidak berlangsung dalam rentang waktu yang lama setelah terbenamnya matahari karena bulan itu mengalami terbit dan tenggelam sebagaimana matahari. Hanya saja, bulan selalu tenggelam terlambat setiap harinya kira-kira 50 menit. Artinya, jika pada hari ini bulan tenggelam pada jam 17.00, maka besok bulan akan tenggelam pada kira-kira jam 17.50, dan begitu seterusnya (Odeh, 2006a: 4)
Bulan pada tanggal 29 terkadang terbenam sebelum matahari, bersamaan atau setelahnya dengan rentang waktu tidak lebih dari satu jam. Rentang waktu antara terbenamnya matahari dengan terbenamnya bulan ini dinamakan dengan mukus al-qamar. Apabila hilal berhasil dilihat pada saat ini, maka hari berikutnya dinyatakan sebagai permulaan hari untuk bulan baru berikutnya, sedangkan apabila hilal sudah terbenam tanpa adanya keberhasilan rukyah sebelumnya, maka hari berikutnya adalah hari ke-30 bulan saat ini. Artinya, umur bulan saat pengamatan adalah 30 hari.
Dari penjelasan di atas, Mohammad Odeh mengambil kesimpulan bahwasanya hilal hanya dapat dilihat pada tanggal 29 apabila terpenuhi dua syarat pokok yang apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, maka hilal tidak akan mungkin terlihat. Pertama, bulan sudah mencapai fase muhaq (konjungsi) sebelum terbenamnya matahari. Kedua, bulan terbenam setelah terbenamnya matahari (Odeh, 2006a: 4). Waktu yang merentang antara terjadinya fase muhaq sampai saat pengamatan (misalnya saat terbenam matahari) dinamakan dengan ‘umr al-qamar (umur bulan). Misalnya, umur bulan saat fase purnama kira-kira adalah 14 hari, sedangkan umur bulan saat fase muhaq atautawallud al-hilal  adalah nol.
d.   Apakah Muhaq Terjadi Bersamaan Secara Internasional
Odeh (2006a:5, 2006c: 1-5) mengatakan bahwa sebagian besar orang berkeyakinan bahwa konjungsi terjadi pada saat bersamaan di seluruh dunia. Keyakinan ini, menurutnya, tidak benar-benar akurat. Ada dua istilah yang dipakai untuk menyebut konjungsi, yakni al-iqtiran al-markazi (Geocentric New Moon) dan al-iqtiran as-sathi (Toposentric New Moon). Istilah pertama dipakai dengan mengandaikan bumi, bulan dan matahari sebagai titik-titik atau markaz-markaz yang berjalan di langit. Apabila markaz-markaz ini bertemu dalam satu garis bujur ekliptika yang sama dan bulan berada di antara bumi dan matahari, terjadilah konjungsi. Bila istilah ini yang dipakai, maka tentunya konjungsi terjadi secara bersamaan di seluruh dunia. Akan tetapi, pengamatan hilal terjadi dari permukaan bumi dan bukan dari markaz atau titik pusatnya. Yang terpenting bagi pengamat hilal adalah konjungsi tersebut terjadi dalam pengamatan orang yang ada di permukaan bumi. Dan inilah yang diselesaikan oleh istilah kedua. Istilah kedua ini mengibaratkan bumi, bulan dan matahari sebagai bola yang berjalan di langit. Konjungsi terjadi apabila titik pusat matahari dan bulan berada pada satu garis dilihat dari pengamat yang ada di permukaan bumi. Bila hal ini yang dipakai, maka saat konjungsi antara satu daerah dengan daerah lain akan berbeda. Dan sangat disayangkan, kata Odeh (2006b: 5), sebagian besar penanggalan yang ada di negara-negara Islam menggunakan Geocentric New Moon sebagai dasar dalam perhitungan mereka dan bukan Toposentric New Moon.
Perbedaan antara konjungsi geocentric dengan toposentric ini dalam perhitungan juga akan menampakkan perbedaan. Walaupun secara teoritis konsep konjungsi topocentric agak sulit digambarkan, akan tetapi secara praktis perhitungan keduanya berbeda. Sebagai misal, waktu konjungsi bulan Muharam 1431 H, apabila dihitung secara geocentric pada program Accurate Times adalah pada jam 19.02 LT (Surakarta). Waktu konjungsi ini apabila dibandingkan dengan program lain tidak akan jauh berbeda, yakni jam 19.02 pada hitungan program Mawaqit versi 2001.06 dan jam 19.03.48 pada hitungan Taqwim al-Falakiyah versi 02.00-2000.xls. Akan tetapi, apabila konjungsi Muharam 1431 H ini dihitung secara topocentric dari program Accurate Times, maka waktu konjungsi adalah 20.28 LT. Ini juga terjadi pada bulan-bulan lain semisal Ramadan 1431 H. Waktu konjungsi geocentric pada bulan tersebut adalah jam 10.08 pada program Accurate Times dan Mawaqit, 10.09.07 pada program Taqwim al-Falakiyah.
Sedangkan waktu konjungsi topocentric adalah jam 09.04. Artinya ada selisih waktu sekitar 30 menit antara konjungsi topocentric dengan geocentric. Hal ini menunjukkan bahwa Odeh konsisten untuk membedakan kedua istilah tersebut dan bahwa keduanya memang harus dibedakan dalam perhitungan penentuan awal bulan kamariah.

2.      Kriteria-kriteria Rukyah al-Hilal
Sebelum mengetahui kemungkinan rukyah al-hilal setelah tenggelam matahari di tanggal 29, terlebih dahulu harus diketahui dengan pasti bahwa bulan pada hari itu akan tenggelam setelah tenggelamnya matahari dan konjungsi terjadi sebelum terbenamnya matahari melalui perhitungan hisab yang telah dipersiapkan sebelumnya. Dari data itulah akan diketahui apakah hilal mungkin dirukyah atau tidak. Dan untuk menentukan hal tersebut, diperlukan kriteria-kriteria yang dikenal dengan kriteria melihat hilal. Ada beberapa kriteria yang disebutkan oleh Odeh (2006a: 5-9) dalam tulisannya, antara lain:
Pertama, Kriteria Terbenamnya Bulan Setelah Matahari dan Konjungsi Sebelum terbenamnya Matahari
Penganut kriteria ini mengatakan bahwa apabila bulan terbenam setelah matahari pada tanggal 29 walaupun selisih satu menit, dan konjungsi terjadi sebelum terbenam matahari walupun selisih satu menit, maka hilal mungkin dilihat pada saat itu. Oleh karena itu, hari selanjutnya sudah dihitung sebagai permulaan bulan hijiriah baru. Kriteria inilah yang dipakai oleh Kalender Ummul Qura Saudi mulai tahun 1423 H, juga dipakai dalam kalender Negara-negara teluk selain Kerajaan Oman, Mesir dan beberapa Negara Islam lain. Kriteria ini, menurut Odeh, adalah kriteria yang buruk dalam mengetahui kemungkinan dilihatnya hilal. Alasannya adalah sebagai berikut;
a.       Konjungsi yang terhitung dalam hisab adalah konjungsigeocentric dan bukan toposentric, sehingga konjungsi bisa saja terjadi bila dihitung dari titik pusat bumi, akan tetapi belum terjadi konjungsi bila dihitung dari permukaan bumi pengamat.
b.      Ketika dikatakan bahwa Matahari atau Bulan sudah terbenam, maka ini berarti bahwa piringan atas dari lingkaran Matahari atau Bulan telah berada di bawah ufuk. Hanya saja hilal –andaikan saja dianggap sudah wujud pada kondisi seperti ini- adalah berada di piringan bawah lingkaran Bulan. Karena Bulan memantulkan cahaya Matahari dan Matahari berada di bawah Bulan, maka bagian Bulan yang bersinar adalah bagian bawahnya. Padahal bagian bawah Bulan tentunya terbenam terlebih dahulu daripada bagian atasnya. Ini berarti bahwa selisih waktu yang diperlukan agar hilal bisa dilihat setelah terbenamnya Matahari menjadi lebih lama, tidak cukup dengan satu atau dua menit.
c.       Bahkan jika saja sudah dilakukan koreksi perhitungan atas waktu terjadinya konjungsi dan terbenamnya Bulan, kriteria ini tetap tidak akurat karena hanya memperhitungkan terjadinya konjungsi tanpa memperhatikan fase terbentuknya hilal.
Akan tetapi, perbedaan yang terjadi dalam hal ini melahirkan beberapa aliran dalam kajian ilmu falak. Susiknan Azhari (2007: 109-111) mengatakan bahwa kriteria ijtimak dan posisi hilal ini terbagi menjadi tiga cabang. Masing-masing memberikan interpretasi yang berbeda terhadap kriteria posisi hilal di atas ufuk. Perbedaan ini selain disebabkan ufuk (horizon) yang menjadi batas untuk mengukur apakah hilal sudah berada di atas atau masih di bawahnya pada saat terbenam, juga berkaitan dengan fisik maupun penampakan hilal yang harus dijadikan ukuran (visibilitas hilal). Dari hal inilah, lahir tiga cabang aliran ini, yaitu pertama, ijtimak sebelum terbenam matahari dan hilal sudah di atas ufuk hakiki (true horizon), kedua, ijtimak sebelum terbenam matahari dan hilal sudah berada di atas ufuk hissi (astronomical horizon), dan ketiga, ijtimak sebelum terbenam matahari dan hilal mungkin untuk dirukyat (imkanur ru’yah) sehingga diharapkan awal bulan kamariah yang dihitung sesuai dengan penampakan hilal sebenarnya (actual sighting).
Kedua, Kriteria Umur Bulan
Kriteria ini dipakai karena lebih mudah. Misalnya ada yang berpendapat bahwa apabila umur bulan saat terbenamnya matahari lebih dari 12 jam, maka hilal mungkin dilihat saat itu. Akan tetapi, menurut Odeh (2006a: 8), dengan berdasar pada hasil pengamatan hilal antara tahun 1859–2005 dapat diketahui bahwa umur bulan terkecil yang berhasil dilihat dengan mata telanjang adalah 15 jam 33 menit oleh Pierce pada tanggal 25 Pebruari 1990, adapun umur Bulan terkecil yang berhasil dilihat dengan menggunakan teropong adalah 13 jam 14 menit oleh Stamm pada tanggal 20 Januari 1996.
Hanya saja, kata Odeh, kriteria ini juga belum begitu akurat untuk mengetahui kemungkinan terlihatnya hilal. Hal ini dikarenakan teori ini tidak bisa membuat kriteria bahwa hilal akan mungkin terlihat dengan mata telanjang bila umurnya lebih dari 15 jam. Berdasarkan pada data pengamatan hilal di atas, umur bulan ada yang sudah mencapai 24 jam atau lebih dan tidak berhasil dilihat bahkan dengan teropong sekalipun sebagaimana dikatakan oleh Schaefer.
Ketiga, Kriteria Mukus al-Qamar (lama hilal di atas ufuk)
Kriteria ini dipakai dengan menghitung selisih waktu antara terbenamnya matahari samapai terbenamnya bulan. Ada yang berpendapat bahwa apabila nilai mukus Bulan lebih dari 30 menit, maka hilal mungkin dilihat. Lagi-lagi dengan melihat hasil pengamatan di atas, Odeh (2006a: 8) berpendapat bahwa kriteria ini pun kurang akurat. Berdasarkan data pengamatan yang ada,mukus| hilal terendah yang berhasil dilihat dengan mata telanjang adalah 29 menit, yakni di Palestina pada tanggal 20 September 1990, sedangkan dengan teropong adalah 21 menit oleh Stamm pada tanggal 20 November 2005. Bakan data yang dimiliki Schaefer menunjukkan bahwa hilal dengan mukus 75 menit atau lebih pun tidak terlihat oleh teropong.
Keempat, Kriteria Elongasi (Istitalah/Qaus an-Nur)
Elongasi adalah jarak dari titik pusat Bulan ke titik pusat Matahari di pandang dari Bumi dengan menggunakan ukuran derajat. Elongasi bulan saat gerhana matahari adalah 0°, saat purnama adalah 180°, dan saat kuarter pertama adalah 90°. Semakin besar nilai elongasi, maka semakin besar cahaya bulan yang dapat dilihat dari bumi sehingga kemungkinan rukyah pun semakin besar.
Pada tahun 1936, Danjon mengatakan bahwa apabila nilai elongasi kurang dari 7°, maka nilai cahaya bulan yang dapat dilihat dari pengamat di permukaan bumi adalah nol. Akan tetapi, dengan kemajuan peralatan pengamatan saat ini dan juga semakin banyaknya observatorium, nilai elongasi dari Danjon tersebut sekarang bisa berubah menjadi 6,4°. Dengan melihat hasil pengamatan tahun 1859 – 2005 di atas, didapatkan data bahwa nilai elongasi minimal saat hilal berhasil dilihat dengan mata telanjang adalah 7,7° oleh Pierce pada tanggal 20 Februari 1990, sedangkan bila menggunakan teropong adalah 6,4° oleh Stamm pada tanggal 13 Oktober 2004 (Odeh, 2006a: 9).
Kriteria ini bisa saja dijadikan sebagai batas minimal elongasi yang memungkinkan nampaknya hilal, walupun tidak bisa diberlakukan sebaliknya. Artinya, tidak berarti bahwa bila elongasi bernilai lebih dari 6 derajat, maka otomatis hilal bisa dilihat.
Kelima, Kriteria Imkan ar-Ru’yah (Visibilitas Hilal)
Dari berbagai kriteria di atas, Odeh (2007b: 2-3) mengatakan bahwa kriteria-kriteria di atas tidak bisa berdiri sendiri. Oleh karena itu, Odeh mengatakan bahwa perhitungan falak (al-hisab al-falakiyah) saat ini sudah bisa dijadikan dasar untuk menentukan kemungkinan dilihatnya hilal karena lebih teliti. Di antara negara-negara Islam yang menggunakan perhitungan falak untuk menentukan kemungkinan hilal terlihat adalah Turki, Iran, Kerajaan Oman, Yordania, Aljazair dan Maroko.
Ada beberapa kriteria yang juga disampaikan oleh Odeh tentang visibilitas hilal yang merupakan tawaran dari beberapa orang atau kelompok yang sebagiannya bisa dijadikan pegangan ketika melakukan rukyah. Antara lain:
a.       Kriteria Lama
Kriteria Babilonia menetapkan bahwa rukyah itu mungkin apabila umur bulan saat terbenam matahari lebih dari 24 jam, dan bulan terbenam (moonset) setelah 48 menit dari terbenamnya matahari (sunset). Al-Battani mengusulkan kemungkinan hilal bisa dirukyah apabila kerendahan matahari saat terbenamnya bulan adalah antara 8 sampai 10 derajat di bawah ufuq. Keduanya, menurut Odeh belum merupakan kriteria yang akurat karena data hasil rukyah yang dia miliki tidak mendukung kriteria ini.
b.      Kriteria Ilyas
Ilyas mengemukakan kriteria visibiltas hilal dengan menghubungkan antara Geocentric Relative Altitude (al-Irtifa’ az-Zawi al-Markazi Bain asy-Syams wa al-Qamar Waqt al-Ghuru>b) dengan Relative Azimuth (Farq as-Samt Bain asy-Syams wa al-Qamar Waqt al-Ghuru>b). Ia mengatakan bahwa jarak sudut bulan-matahari haruslah mencapai 10,5 derajat pada beda azimut 0 derajat agar hilal dapat dilihat.[3] Kriteria ini menurut Odeh hanya memperhitungkan visibilitas hilal dengan pengamatan mata telanjang saja dan tidak bisa dipakai bila pengamatan dilakukan dengan teropong.
c.       Kriteria SAAO (The South African Astronomical Observatory/Marsad Janub Ifriqiya al-Falaki)
Kriteria SAAO merupakan kriteria terbaru yang dianggap sudah akurat. Kriteria ini menghubungkan antara Toposentric Altitude (Irtifa’ Sathi li Haffah Qars al-Qamar Waqt al-Ghurub) dengan Relative Azimuth. Kriteria ini bisa dipakai juga untuk pengamatan dengan teropong. Kriteria tersebut adalah sebagai berikut: (Odeh, t.t: 21).

Beda Azimuth Bulan-Matahari
Rukyah Tidak Mungkin (Walau dengan Teropong) Bila Tinggi Hilal Kurang Dari
Rukyah dengan Mata Telanjang Kemungkinan Kecil Berhasil Bila Tinggi Hilal Kurang Dari
0°
6,3°
8,2°
5°
5,9°
7,8°
10°
4,9°
6,8°
15°
3,8°
5,7°
20°
2,6°
4,5°

d.      Kriteria Yallop
Kriteria Yallop juga merupakan kriteria yang akurat. Dia menghubungkan antara beda Geocentric Relative Altitude (al-Irtifa’ az-Zawi al-Markazi Bain asy-Syams wa al-Qamar) dengan Toposentric Crescent Widht (as-Samk as-Sathi li al-Hilal). Kriteria ini membagi kemungkinan hilal bisa dilihat dalam beberapa keadaan: (1) Hanya mungkin dilihat dengan teropong saja, (2) Bisa menggunakan teropong, (3) Bisa dengan mata telanjang bila udara bersih, dan (4) Mudah dilihat dengan mata telanjang (Yallop, 2004: 11).
e.       Kriteria Odeh
Odeh mengemukakan kriteria visibilitas hilal dengan menggabungkan hasil-hasil observasi yang dilakukan oleh Schaefer, Yallop dan SAAO yang mencapai 336 observasi dan membentang antara tahun 1859 sampai 2005, dan masih ditambah dengan hasil pengamatan dari ICOP yang berjumlah 401. Secara keseluruhan jumlah hasil observasi itu adalah 737 hasil pengamatan. Dia menggabungkan antara Topocentric Relative Altitude dengan Toposentric Crescent Widht.
Ada beberapa variabel yang biasanya digunakan untuk menentukan kriteria visibilitas hilal menurut Odeh. Dan diantara variabel-veriabel tersebut, dua di antaranya dipakai untuk menentukan kriteria visibilitas hilal yang akurat. Diantaranya adalah: Umur Bulan (Moon’s Age/Age), Mukus| Bulan (Moon’s lag time/Lag), Moon’s Altitude (Tinggi Bulan), Elongasi (Arc of light/ARCL), Busur Rukyah (Arc of vision/ARCV), Beda Azimut (Relative Azimuth/DAZ), dan Lebar Hilal (Crencent Widht/W)
Variabel-variabel untuk memprediksi penampakan hilal
Dalam kriteria baru yang ditawarkannya, Odeh mengatakan bahwa visibilitas hilal dibagi dalam beberapa zona;
• Zona A (ARCV ³ ARCV3): Hilal mudah dilihat dengan mata telanjang.
• Zona B (ARCV ³ ARCV2): Hilal mudah dilihat dengan alat optik dan mungkin dengan mata telanjang dalam cuaca yang bersih.
• Zona C (ARCV ³ ARCV1): Hilal hanya dapat dilihat dengan alat optik.
• Zona D (ARCV  ARCV1); Hilal tidak mungkin dilihat walaupun dengan alat optik.[4]

D.    Pemikiran Odeh tentang Waktu Salat
1.      Makalah berjudul “Problematika Astronomis dan Fiqh tentang Batasan Waktu Salat”.
(Odeh, 2010) dalam abstraknya menjelaskan tentang waktu Subuh dan memetakan secara rinci perbedaan antara  dua bentuk Fajr (S}a>diq dan Ka>dzib) dalam perspektif fiqh dan astronomi. Dari sini muncul perbincangan rincian antara makna Ghalas (Dark Fajr) dan Isfar (Bright Fajr) dan dari makna-makna tersebut akan menjadi pertimbangan untuk menentukan permulaan waktu Fajr yang valid. Dari hal itu dapat diketahui pendapat astronom klasik terkemuka tentang detik-detik sudut waktu Fajr, juga studi terbaru yang dilakukan untuk menentukan sudut Fajr. Makalah ini mengemukakan prosedur yang berguna untuk pembatasan sudut waktu fajar secara detail. Kemudian, ditambah dengan dalil hadits tentang salat Isya sebagai penjelas pemisah antara Twilight Merah dan Twilight Putih disertai dengan pendapat-pendapat astronom klasik tentang seputar sudut waktu Isya dan studi terbaru yang saling berkaitan.
Pembahasan makalah ini dilanjutkan pada pembahasan waktu Z{uhur, makna Zawal, perbedaan pendapat tentang awal waktu Zawal dan dalil awal waktu Ashar berikut perbedaan madzhab Hanafi dari madzhab-madzhab yang lain dalam menetapkan dalil awal waktu Ashar. Terakhir, makalah ini membahas waktu Maghrib dan efek ketinggian dari permukaan laut pada waktu matahari terbenam, serta efek dari jauh ketinggian pada cakrawala pada waktu Maghrib.
2.      Makalah berjudul “Eksplanasi ketetapan waktu salat Isya` dan Subuh tatkala kondisi astronomis ubnormal pada koordinat 48,6° s.d 66,6° LU”.
(Odeh, 2009: 3) mengatakan, ditinjau dari segi iklim, secara umum di atas bumi ini terbagi atas tiga garis lintang:
a.    Dari garis katulistiwa sampai koordinat 48,6° LU dan LS, di daerah ini semua tanda-tanda alam berjalan dengan normal (iklim tropis. Pen)
b.    Dari koordinat 48,6° sampai dengan 66,6° LU dan LS, di daerah ini ada fenomena tidak terdeteksinya waktu salat Isya` dan Subuh pada hari-hari tertentu (iklim sub tropis. Pen)
c.    Dari koordinat 66,6° LU dan LS ke atas, di daerah ini terjadi fenomena terjadinya waktu siang berkepanjangan dan demikian halnya waktu malam, sehingga tanda-tanda alam tidak dapat digunakan sebagai pedoman waktu salat (iklim dingin. Pen)
Muhammad Syaukat ‘Audah (Odeh), dalam makalah seminar internasional di Burksel-Belgia oleh Divisi Fiqih dan Hukum Islam Rabithah al-A’lam al-Islamy pada tanggal 21-22 Mei 2009 yang kemudian menjadi rekomendasi, bahwa bagi umat muslim yang tinggal di kawasan koordinat lintang 48° LU atau 48° LS tetap harus menjalankan salat pada waktunya menurut ketentuan syara’. Hanya saja, bagi mereka yang mengalami kesulitan untuk menentukan kapan masuknya waktu salat Isya karena sebab hilangnya twilight sunset dan twilight sunrise maka penentuan waktu Isya’ dapat dijamak (taqdim) antara Maghrib dan Isya’, ini pun jika dirasa perlu.[5]

E.     Simpulan
Dari diskripsi pemikiran Odeh di atas dapat dilihat bahwa Odeh merupakan salah satu tokoh falak yang berusaha untuk menggabungkan antara hisab dengan rukyah. Kriteria baru visibilitas hilal yang ditawarkannya adalah bukti atas hal tersebut. Ia membagi wilayah visibilitas hilal dalam lima zona, yaitu zona A (hilal mudah dilihat dengan mata telanjang), zona B (hilal bisa dilihat dengan teleskop atau dengan mata telanjang jika cuaca bersih), zona C (hilal hanya dapat dilihat dengan teleskop), zona D (hilal tidak mungkin dilihat) dan zona E (hilal mustahil terlihat). Zona A, B dan C merupakan zona dapat dimulainya bulan baru hijriah. Ia memberikan kritikan keras pada sebagian ulama atau pengambil keputusan yang hanya memakai hisab untuk menetapkan permulaan bulan baru hijriah. Penggunaan hisab semata tanpa ada rukyah hakiki akan menjadikan ummat Islam berkeyakinan tidak mungkinnya dilakukan rukyah, padahal rukyah hakikilah yang dipakai oleh generasi Islam pada masa Nabi SAW yang belum didukung oleh sarana modern untuk melakukan rukyah sebagaimana yang ada saat ini. Pandangan Odeh tersebut, dalam pandangan penulis, akan menjadikan fungsi observatorium yang ada di dunia Islam menjadi lebih maksimal dan bermakna. Data tentang hilal diperoleh dari umat Islam sendiri dan dengan pengamatan senyatanya.
Tentang waktu Subuh, Odeh memetakan secara rinci perbedaan antara  dua bentuk Fajr (S}a>diq dan Ka>dzib) dalam perspektif fiqh dan astronomi. Dari sini muncul perbincangan rinci antara makna Ghalas (Dark Fajr) dan Isfar (Bright Fajr). Dalam masalah waktu salat di koordinat lintang 48° LU atau 48° LS, menurut Odeh umat Islam tetap harus menjalankan salat menurut ketentuan syara’. Hanya saja, bagi mereka yang mengalami kesulitan untuk menentukan kapan masuknya waktu salat Isya karena sebab hilangnya twilight sunset dan twilight sunrise maka penentuan waktu Isya’ dapat dijamak (taqdim) antara Maghrib dan Isya’, ini pun jika dirasa perlu.
Akhirnya penulis sangat mengapresiasi, bahwa apa yang dilakukan Odeh merupakan hasil karya yang luar biasa yang harus direspons dengan baik, baik yang setuju ataupun yang menolaknya dalam rangka memperkaya khazanah pengetahuan astronomi Islam.
Wallahu A’lam.




DAFTAR PUSTAKA


Azhari, Susiknan, 2007, Ilmu Falak, Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Yogyakarta, Suara Muhammadiyah.

Djamaluddin, T, 2013, Peran Astronomi dalam Penyatuan Penetapan Awal Bulan Qamariyah, diakses dari http://tdjamaluddin.wordpress.com/category/2 -hisab-rukyat/ tanggal 18 Mei 2014.

Khazin, Muhyiddin, 2004, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik, cet. I, Yogyakarta: Buana Pustaka

Nashiruddin, Muh, 2010, Penanggalan Hijriyah Muhammad Shawkat Odeh, diakses dari http://sofianasma.wordpress.com/tag/hilal/ tanggal 17 Mei 2014.

Odeh, Mohammad Shawkat, 2004, Taqwi>m Nasb al-Khata’ fi Tah}di>d Awail al-Asyhur al-Hijriyyah (fi al-Urdun) diakses dari www.icoproject.org tanggal 28 April 2014.

———-,2006a, al-Farq Bain al-Hila>l wa Tawallud al-Hila>l, www.icoproject.org. Diakses tanggal 28 April 2014.

———-,2006b, al-Hila>l Bain H{isa>ba>t al-Falakiyyah wa ar-Ru’yah, Makalah dipresentasikan pada seminar ahli Falak untuk menentukan awal bulan kamariah yang diadakan di Rabat, Maroko pada tanggal 8-10 Nopember 2006, diakses tanggal 1 April 2014dari www.icoproject.org.

———-, 2006c, Al-Farq Bain At}wa>r al-Qamar al-Markaziyah wa as-Sat}h}iyyah, makalah yang dipresentasikan di Muktamar Falak Emirat I di Abu Dhabi, UEA pada 13-14 Desember 2006, diakses dari www.icoproject.org tanggal 28 April 2014.

———-, t.t “New Criterion for Lunar Crescent Visibility” dalam Nidhal Guesseoum & Mohammad Odeh (ed.), Aplications of Astronomical Calculations to Islamic Issues, t.t.t: Markaz al-Wasaiq wa al-Buhus diakses pada tanggal 28 April 2014.
  
———–, 2007, Tat}bi>qa>t Tiknulujiyya al-Ma’lu>mat li I’da>d Taqwim Hijriy ‘A<lamiy, Makalah dipresentasikan pada Simposium Internasional Penyatuan Kalender Islam di Jakarta, 4-6 September 2007, diakses dari www.icoproject.org pada tanggal 28 September 2009.

———–, 2009, Taqdi>r Mau’idai S{ala>t al-Fajr wa al-‘Isya’ ‘inda Ikhtifa’ al-‘Ala>ma>t al-Falakiyyah fi al-Mantiqah Ma Bain Khattai ‘Ard 48.6° wa 66.6°, makalah seminar internasional di Burksel-Belgia oleh Divisi Fiqih dan Hukum Islam Rabithah al-A’lam al-Islamy pada tanggal 21-22 Mei 2009, diakses dari www.icoproject.org pada tanggal 28 Maret 2014.

———–, 2010, Isyka>liyya>t Falakiyyah wa Fiqhiyyah H{aula Tah}di>d Mawa>qi>t al-S}ala>t, makalah seminar Astronom Emirat ke-2, di Abu Dabi pada tanggal 30 Mei s.d 01 Juni 2010, diakses dari www.icoproject.org pada tanggal 28 Maret 2014.

Yallop, BD, 2004, A Method for Predicting the First Sighting of the New Crescent Moon, diakses dari http://www.icoproject.org






Makalah Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Hisab Kontemporer

Dosen Pengampu :

DR. Rupi’i, M.Ag











Oleh :

M.  R O M L I
NIM : 135212019


PROGRAM PASCASARJANA (PPs)
KONSENTRASI ILMU FALAK
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
WALI SONGO SEMARANG
2014


Dilampirkan Untuk Melengkapi Tugas Makalah
Hisab Kontemporer

Dosen Pengampu :

DR. Rupi’i, M.Ag











Oleh :

M.  R O M L I
NIM : 135212019


PROGRAM PASCASARJANA (PPs)
KONSENTRASI ILMU FALAK
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
WALI SONGO SEMARANG
2014



[1] Diantara hasil penelitian tersebut adalah; a. untuk bulan Ramadan tahun 1954-1999 yang berjumlah 47 bulan, 60% (28 bulan) diantaranya bulan baru dimulai padahal hilal mustahil dirukyah (di bawah ufuk), 36% (17 bulan) hilal tidak mungkin dirukyah, dan hanya 1% (1 bulan) bulan mungkin dirukyah dengan alat optik dan 1% (1 bulan) mungkin dirukyah dengan mata telanjang. Yang juga mengejutkan adalah bahwa permulaan baru di saat-saat itu selalu ditetapkan dengan adanya laporan keberhasilan rukyah. b. untuk bulan Syawal (47 bulan), 68% (32 bulan) diantaranya hilal mustahil dirukyah, 30% (14 bulan) hilal tidak mungkin dirukyah, dan hanya 2% (1 bulan) hilal mungkin dirukyah dengan alat optik. c. Untuk bulan Zulhijjah (48 bulan), dalam hal ini pemerintah Yordania selalu mengikuti Arab Saudi, hasilnya adalah 35% (17 bulan) hilal mustahil dirukyah, 44% (21 bulan) hilal tidak mungkin dirukyah, dan 21% (10 bulan) hilal mungkin dirukyah 6 bulan diantaranya dengan alat optik dan 4 bulan dengan mata telanjang.

[2] Lihat juga penjelasan tentang fase-fase bulan ini dalam Muhyiddin Khazin, (2004: 135-136).

[3] Penjelasan tentang pikiran-pikirannya tentang Kalender Islam dan juga Garis Tanggal Kamariyah dapat dilihat dalam Mohammad Ilyas, 1997, Astronomy of Islamic Calendar, Kuala Lumpur: A.S. NOORDEEN.
[4] Kalau dilihat pada program Accurate Times ada zona E yang merupakan zona hilal mustahil dilihat, yakni wilayah yang syarat terpenuhinya bulan baru belum terpenuhi semisal belum terjadi konjungsi saat terbenam matahari atau bulan terbenam sebelum matahari.
[5] Rekomendasi hasil seminar internasional di Burksel-Belgia berikut Makalahnya dalam bentuk PDF, dapat di download di www.icoproject.org/pdf.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar