Senin, 02 Juni 2014

PEMIKIRAN HISAB SAADOEDDIN DJAMBEK


PEMIKIRAN HISAB SAADOEDDIN DJAMBEK
Oleh: Muhtarom, S.Pd


A.      Pendahuluan
Ilmu falak yang disebut juga sebagai Ilmu hisab (Khazin, 2011: 1) sebagaimana ilmu-ilmu yang lain terus mengalami dinamika dan proses terus menerus dari waktu ke waktu. Ilmu Falak mulai berkembang di Indonesia tahun 1633 M (Izzudin, 2012: 12) yang kemudian berkembang terus sampai saat ini.
Di Indonesia telah berkembang berbagai ragam hisab. Dengan melihat pada
metode yang digunakan
, Azhari (2002: 2) membagi setidak-tidaknya ada tiga kelompok, yaitu metode konvensional, semi modern dan modern yang menggunakan bantuan komputer. Metode konvensional diwakili oleh Al-Qowa’idul Falakiyaah karya Abdul Fatah as-Sayyid at-Tukhy al-Falaky, al-Khulasatu al-Wafiyyah karya Kiyai Zubeir, Sulamun al-Nayyirain karya Muhammad Mansur bin Abdul Hamid bin Muhammad Damiri al-Batawi, almanak Falakiyah, Farhu ar-Rauf al-Manan karya Abu Hamdan Abdul Jalil bin Abdul Hamid (Ichtiyanto, 1981: 38). Metode semi modern diwakili oleh New Comb dan Jean Meuus. Sedangkan yang menggunakan sistem modern adalah Mawaqit yang dibuat olch Astronomical Club al-Farghani, ICMI Orsat Belanda, Indonesia Perpetual Calendar yang dibuat oleh E. Panjaitan, Observatorium Bosscha ITB. Tiap-tiap metode tersebul mcmpunyai ciri yang khas, yang pada akhirnya memunculkan perbedaan dalam perhitungan.
Ketiga metode di atas ditampung oleh Departemen Agama melaui Badan Hisab Rukyat, tetapi yang banyak dikembangkan dan digunakan adalah metode kedua dan ketiga karena dalam wilayah empiriknya kedua metode itu dianggap lebih teliti.
Selain perbedaan-perbedaan dalam hasil perhitungan, mereka juga berbeda dalam merumuskan konsep-konsep dalam hisab. Misalnya konsep tinggi hilal. Di dalam Sulamun al-Nayyirain dinyatakan bahwa tinggi hilal adalah selisih antara saat ijtimak dengan saat terbenam matahari dibagi 2 (dua) dan dijadikan dalam bentuk derajat, menit dan detik. Hal ini berbeda dengan konsep yang dikemukakan dalam Khulasatu al-Wafiyyah dan New Comb bahwa ketinggian hilal diukur melalui lingkaran vertikal.
Munculnya Saadoeddin Djambek dalam dunia pemikiran hisab membawa pengaruh yang besar terhadap perkembangan Ilmu Hisab di Indonesia. Keahliannya dibidang falak ditambah kepakaannya  dibidang ilmu eksak dan astronomi menghasilkan metode perhitungan yang memiliki keakuratan tinggi, menjadikan pemikiran hisab yang diusungnya memperoleh tanggapan yang sangat baik di kalangan ahli Hisab. Sehingga metode yang dibawanya diakui dikalangan ahli hisab dan metode itu dinamakan metode Saadoeddin Djambek (Ichtiyanto, 1981: 41).

B. Tentang Saadoeddin Djamek
1. Silsilah Singkat Saadoeddin Djambek
Saadoeddin Djambek mempunyai nama asli Datuk Sampono Radjo, dilahirkan di Bukit Tinggi pada tanggal 24 Maret 1911 M, bertepatan dengan 23 Rabiul Awal 1329 H dari keluarga besar Jambek yang merupakan keluarga terpelajar, islami, dan dihormati masyarakat pada saat itu. Ia adalah putra dari Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860-1947 M/1277-1367 H), yang mana ia merupakan seorang ahli falak di ranah Minangkabau pada masanya (Azhari, 2002: 53). Saadoeddin Djambek meninggal dunia pada hari Selasa 22 Nopember 1977 bertepatan dengan tanggal 11 Zulhijjah 1397 H di Jakarta.

2. Genealogi Keilmuan
Saadoeddin Djambek memulai pendidikan formalnya ketika memperoleh pendidikan pertamanya di HIS (Hollands Inlandsche School). Setelah menamatkan studinya di HIS pada tahun 1924 M/1343 H, ia meneruskan lagi studinya ke sekolah pendidikan guru, HIK (Hollands Inlandsche Kweekschool) di Bukittinggi hingga tamat tahun 1927. Tidak cukup disitu ia meneruskan lagi ke sekolah pendidikan guru atas, HKS (Hogere Kweekschool), di Bandung, Jawa Barat, hingga tamat dan memperoleh Ijazah dari sekolah itu tahun 1930 M/1349 H. Setelah menyelesaikan sekolah di HKS ia kemudian diberi tugas mengajar di Gouvernements Schakelschool di Perbaungan, Palembang. Ia mengajukan permohonan untuk dipindahtugaskan ke Jakarta dengan maksud agar ia bisa melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Di Jakarta Saadoeddin mengajar di di sekolah Gouvernement HIS nomor 1 selama satu tahun. Pada tahun 1935 ia melanjutkan pendidikan ke Indische Hoofdakte (program diploma pendidikan) di Bandung dan lulus serta mendapat ijazah pada tahun 1937 M. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Bandung ia kembali ke kampung halaman dan mendapat tugas mengajar sebagai guru Gouvernement HIS di Simpang Lima, Sumatera Timur. Karirnya dalam bidang pendidikan terus meningkat mulai dari guru sekolah dasar sampai menjadi dosen perguruaan tinggi dan terakhir menjadi pegawai tinggi di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta (Azhari, 2005: 133).
Pergulatannya dalam dunia Ilmu Falak dimulai dari pelajaran non formal yang ia terima dari ayahnya, sebagai seorang ulama yang juga ahli dalam bidang Ilmu Falak ayah Saadoedin Djambek (Syekh Muhammad Djamil Djambek) mengajarinya Ilmu Falak. Ia sudah sangat tertarik dengan Ilmu Falak ketika ia masih berumur 18 tahun. Buku-buku yang ia pelajar di antaranya adalah Pati Kiraan karangan Syaik Thahir Djalaludin, Almanak Jamiliyah karya Syaikh Jambek, Hisab Hakiki karangan K.H. Ahmad Badawi dan lain sebagainya (Azhari, 2002: 49).
Dalam rangka menambah pengetahuanya di bidang ilmu falak, pada tahun 1941-1942 Saadoedin mengikuti kursus Legere Akte Ilmu Pasti di Yogyakarta dan memperdalamnya lagi dengan masuk kuliah ilmu pasti alam dan astronomi pada Fakultas Ilmu Pasti dan Alam (FIPIA) Bandung pada tahun 1954-1955. Teori-teori ilmu alam dan astronomi yang semasa kuliah itu ia terapkan pada teori ilmu hisab. Ia mengembangkan metode penghitungan dalam Ilmu Falak menggunakan teori-teori Spherical Trigonometry (segitiga bola). 
Keahliannya di bidang ilmu pasti dan ilmu falak dikembangkannya melalui tugas yang dilaksanakannya di beberapa tempat. Pada tahun 1995 sampai dengan 1956 menjadi Lektor kepala dalam mata kuliah ilmu pasti pada PTPG (Perguruan Tinggi Pendidikan Guru) di Batusangkar, Sumatera Barat. Kemudian ia memberi kuliah ilmu falak sebagai dosen tidak tetap di Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mulai tahun 1959 samapi dengan tahun 1961 (Musonnif, 2011: 24).
Selain sebagai ahli falak, di antara aktivitas paling dominan yakni dalam pendidikan melalui Muhammadiyah. Aktivitasnya tersebut pada gilirannya memperoleh pengakuan dari warga Muhammadiyah, sehingga pada tahun 1969 diberi kepercayaan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sebagai seorang tokoh pendidikan sekaligus ahli hisab, Saadoedin Djambek tidak jarang mendapatkan kepercayaan dari berbagai pihak. Pada tahun 1969 ia dipercayai oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk menjadi ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Pendidikan dan Pengajaran di Jakarta periode 1969-1973 (Azhari, 2002: 52). Ia juga pernah diberi kepercayaan untuk menjadi staf ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Kepakaran Saadoedin Djambek dalam keilmuan ditunjukkan pula oleh kunjungan-kunjungan yang pernah ia lakukan ke luar negeri, yaitu antara lain menghadiri konferensi Mathematical Education di India pada tahun 1958, mempelajari System Comprehensive School di negara-negara seperti India, Thailand, Swedia, Belgia, Inggris, Amerika Serikat, dan Jepang tahu 1971, penelitian/survey mengembangkan ilmu hisab dan rukyat dan kehidupan sosial di Tanah Suci Mekah dan menghadiri First World Conference on Muslim Education di Mekah tahun 1977 (Azhari, 2001: 82).
Pada usianya yang ke 40-an Saadoedin Djambek mulai menulis karya-karya  ilmiah di bidang ilmu falak. Meskipun mulai menulis di usia yang tidak muda lagi namun karya-karya yang dihasilkannya cukup banyak. Hal ini bisa menjadi bahan pertimbangan akan kualitas keilmuannyan. Di antara hasil karyanya adalah : 1) Waktu dan Penjelasan Populer Mengenai Perjalanan Bumi, Bulan dan Matahari, buku ini diterbitkan oleh Penerbit Tintamas tahun 1373. Buku ini berisi tentang konsep waktu yang dibahas secara komprehensif. 2) Almanak Djamiliyah (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas tahun 1953). Buku ini merupakan lanjutan dari buku pertama, buku yang di karang oleh bapaknya, Syaikh Djambek. Buku ini dibagi kedalam dua bagian. Bagian pertama memuat kalender tahun Masehi 1953, kalender tahun Arab 1372-1373 dan kalender tahun Djawa 1884-1885. Sedangkan bagian ke dua memuat jadwal waktu shalat lima waktu. Akan tetapi hanya untuk tanggal 1, 5, 9, 13, 17, 25 dan 29 tiap-tiap bulan masehi. Yang mana buku ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran gurunya, Syaikh Thahir Djalaluddin. 3) Perbandingan Tarich (diterbit kan oleh penerbit Tintamas pada tahun 1968). Secara umum buku ini berisi penjelasan tentang metode perbandingan tarich, baik kalender Masehi, kalender Hijriyah maupun kalender jawa. Buku ini sangat membantu dalam penentuan hari, pasaran, tanggal, bulan dan tahun yang belum diketahui. 4) Pedoman Waktu Sholat Sepanjang Masa (diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang pada tahun 1974). 5) Sholat dan Puasa di daerab Kutub (diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang pada tahun 1974). Dan 6) Hisab Awal bulan Qamariyah (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas pada tahun 1976). Buku ini merupakan hasil pemikiran-pemikiran beliau dalam penentuan awal bulan qomariyah.
Dari semua judul karya yang dihasilkan di atas, nampak jelas bahwa fokus yang menjadi pusat perhatian Saadoedin Djambek terpusat adalah pada permasalahan pada ranah Ilmu Falak. Saadoedin menuangkan ide-ide hisabnya, yang merupakan pengembangan dan kolaborasi antara Ilmu Falak yang ia peroleh   dari ayahnya dan gurunya, Saikh Thaher DJalaluddin, dengan Ilmu Astronomi yang ia peroleh selama kuliah di FIPIA Bandung, sehingga menghasilkan  karya-karya pemikiran yang representatif yang merupakan kontribusi yang bcrharga untuk pengembangan pemikiran hisab di Indonesia.
Pergulatan pemikiran Saadoeddin Djambek dalam pengembangan Ilmu Falak merupakan sintesis ilmiah antara ilmu hisab yang ia peroleh dari ayahnya dan gurunya, Syaikh M.Thaher Djalaluddin, dengan teori-teori yang ia pelajar dari guru-gurunya selama kuliah di Bandung, diantaranya adalah Prof. Dr. J. Hins, Prof. Dr. The Pik Sin dan Prof. Dr. G. B. Ban Albada, Prof. Dr. G. B. Ban Albada sendiri merupakan direktur pada Observatorium Bosscha tahun 1949 – 1958 (Azhari, 2002: 58). Sehingga tidak mengherankan bahwa hasil hisabnya lebih akurat dibanding dengan perhitungan model tradisional.





C. Pemikiran Hisab Saadoeddin Djambek
1. Awal Bulan
Sebagaimana dijelaskan di atas, pemikiran hisab Saadoeddin Djambek terkonstruksi oleh teori-teori astronomi modern yang ia pelajari selama kuliah di Bandung, karenanya penentuan awal bulan qamariah yang ditawarkan Saadoeddin Djambek menggunakan sistem hisab hakiki.
Dalam penetapan awal bulan kamariah dengan sistem hisab hakiki paling tidak ada dua aliran besar, yaitu aliran yang berpegang teguh pada ijtimak semata, dan aliran yang berpegang teguh pada posisi hilal di atas ufuk (Azhari, 2007: 106). Kelompok yang berpegang pada ijtimak semata berpendirian bahwa apabila ijtimak terjadi sebelum matahari tenggelam maka hari besoknya sudah dianggap masuk bulan baru, tapi belum memasuki bulan baru apabila ijtimak terjadi setelah matahari tenggelam (dirjenbimasi, 2010: 94).
Dengan berpegangan pada firman Allah Surat Yasin ayat 32 yang artinya Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua”, Saadoeddin berpendapat bahwa bulan baru yaitu apabila bulan telah kembali pada bentuknya yang paling kecil, dan bentuk bulan yang paling kecil itu  dicapai sekitar saat ijtimak antara matahari dan bulan (Fathurohman 2004: 99).
Dalam hisab awal bulan qamariyah Saadoeddin membawakan toeri yang berbeda dari teori-teori yang sudah ada sebelumnya. Teori tersebut diberi nama Ijtimak dan Ufuq Mar’i. Dengan teori ini Saadoedin mengatakan bahwa awal bulan qamariyah dimulai saat terbenam matahari setelah terjadi Ijtimak dan pada saat itu bulan masih berada di atas ufuq mar’i (visible horizon). Adapun yang dimaksud dengan ufuq mar’i adalah bidang datar yang merupakan batas pandangan mata si pengamat. Semakin tinggi kedudukan si pengamat di atas permukaan bumi maka ufuq mar’inya akan semakin rendah. Lingkaran ufuq mar’i ini nampak sebagai pertemuan antara dinding bola langit dengan permukaan bumi.
Teori Saadoedin Djambek untuk penentuan awal bulan ini (Ijtimak dan Ufuq Mar’i) termasuk dalam kategori aliran yang berpegang pada posisi hilal di atas ufuq sesuai pembagian di atas. Selain teori Ijtimak dan Ufuq Mar’i-nya Saadoedin Djambek ada tiga cabang aliran lain yang berpegang pada kedudukan hilal di atas ufuq, yaitu Ijtimak dan Ufuq Hakiki, Ijtimak dan Ufuq Hissi, dan Ijtimak dan Imkanur Rukyat  (Azhari, 2007: 110).
Perbedaan antara ufuq mar’i dengan ufuq hakiki dan ufuq hissi terletak pada kerendahan ufuq (dip). Ufuk hakiki (true horizon) dibentuk oleh bidang yang melalui titik pusat bumi tegak lurus terhadap garis vertikal pengamat dan ufuq hissi (sensibel horizon) dibentuk oleh bidang yang sejajar dengan bidang ufuk hakiki melalui permukaan bumi tempat pengamat.
Ringkasnya, menurut teori ini awal bulan qamariyah dimulai saat tenggelam matahari setelah terjadi ijtimak dan posisi piringan atas bulan masih berada di atas ufuk mar’i.
Dalam melakukan perhitungan posisi bulan terhadap ufuk, Saadoeddin disamping memberikan koreksi parallaks terhadap hasil perhitungan menurut aliran ijtimak dan ufuk hakiki, juga memberikan koreksi kerendahan ufuk (dip), refraksi bulan dan semi diameter bulan. Koreksi parallaks ini dikurangkan terhadap hasil perhitungan, sedangkan kerendahan ufuk, refraksi dan semi diameter ditambahkan.
Azhari (2002 : 90) mengatakan bahwa akar perbedaan antara Saadoeddin dengan  ahli hisab pada masa itu, selain terletak pada sistem perhitungan yang dipergunakan, juga pada dua permasalahan pokok yaitu pada konsep permulaan hari (International lunardateline) dan konsep hilal (visibilitas hilal).
Ia menyatakan bahwa Saadoeddin berlainan pendapat dengan para ahli hisab dalam pemaknaan benang putih (khaith al-abyad) dan benang hitam (khaith al-aswad) dalam Alquran surat Al baqarah ayat 187:
....”وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى
الَّليْلِ  “ ....-١٨٧-
“..... dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam ... “

Dalam ayat di atas, benang putih (khaith al-abyad) menunjuk pada siang hari dan benang hitam (khaith al-aswad) menunjuk pada siang hari. Kelompok yang memegang aliran ijtimak qabla al-fajr menganggap bahwa permulaan hari adalah saat terbit fajar. Sementara itu, Saadoeddin berpendapat bahwa hari dimulai pada saat matahari terbenam, dengan mendasarkan pada firman Allah Q.S. Yasin ayat 40:
لَا الشَّمْسُ يَنبَغِي لَهَا أَن تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ -٤٠-
Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya

Dalam ayat di atas lafaz lail disebutkan terlebih dahulu daripada nahar. Hal ini memperkuat pendapat bahwa permulaan hari adalah malam yang diawali dengan tenggelamnya matahari, bukan siang. Karena waktu terbenamnya matahari antara satu tempat dengan tempat lain berbeda-beda, maka permulaan hari bagi tempat-tempat itu akan berbeda-beda pula (Khazin, 2009: 16)
Perbedaan kedua tentang konsep hilal, kelompok pertama menetapkan hilal harus wujud (memenuhi kriteria). Kelompok pertama ini sering disebut sebagai penganut kriteria imkanurru’yah. Kelompok kedua memegang teori bahwa yang penting hilal sudah berada di atas ufuk ketika matahari tenggelam, tidak harus wujud. Saadoeddin memegang teori yang dikembangkannya (ijtima’ dan ufuk mar’i), ia termasuk dalam kelompok kedua yang menganut teori ijtima’ dan posisi hilal di atas ufuk. Thomas Djamaluddin (2004: 240) menyebut kelompok kedua di atas sebagai penganut kriteria wujudul hilal.

2. Arab Kiblat
Dalam bukunya, Arah Kiblat dan Cara Menghitungnya dengan Jalan Ilmu Ukur Segitiga Bola, Saadoedin Djambek memulai dengan penjelasan tentang pengukuran jarak di permukaan bumi dan pada bab pembahasan arah kiblat ia teori-teori spherical trigonometri yang menggunakan great circle pada bola bumi untuk  menghitung sudut-sudut yang dibentuk oleh great circle yang melalui kota – kota tertentu dengan Kakbah. Hal ini menunjukkan betapa teori-teori astronomi umum sangat berpengaruh dalam sistem hisab yang digunakan Saaadoeddin dalam penentuan arah kiblat.
Saadoedin memberikan beberapa contoh perhitungan arah kiblat untuk beberapa kota dengan cara dan rumus yang berbeda-beda, diantaranya adalah menggunakan rumus berikut:

Rumus di atas merupakan rumus yang biasa dipakai dalam penghitungan arah kiblat dalam buku-buku falak kontemporer yang dalam aplikasinya bisa dengan mudah menggunakan kalkulator. Selain memakai rumus di atas ia juga mencontohkan penggunaan rumus yang lebih rumit yang perhitungannya menggunakan nilai logaritma, yaitu rumus

  ............ (1)
Text Box: .................. (2)dan juga
 
 

yang mana penghitungan arah kiblat melalui kedua rumus di atas menggunakan logaritma. Saadoeddin juga menggunakan rumus (2) di atas, yang merupakan rumus analogi Napier (Smart, 1989: 22), untuk membuat garis lingkaran besar yang menghubungkan suatu kota dengan Makkah.
Dalam buku tersebut Saadoeddin menyebutkan bahwa lintang Makkah adalah 21o20’ Lintang Utara dan bujurnya 40o14’ Bujur Timur (Djambek, 2004: 20). Sedangkan  data lintang dan bujur Makkah yang dipakai Kementerian Agama sekarang adalah 21o25’ Lintang Utara dan 39o50’ Bujur Timur (Dirjenbimasi, 2010: 146) yang juga merupakan hasil dari pengukuran Saadoedin Djambek ketika ia mendapatkan tugas dari Menteri Agama untuk mengadakan penelitian dan survey pengembangan Hisab Rukyat dan kehidupan sosial di Tanah Suci Mekkah pada tahun 1972 (Azhari, 2002: 60). Data lintang dan bujur yang sama juga dipakai dalam hisab Muhammadiyah (2009: 36).


3. Awal Waktu Shalat
Waktu-waktu pelaksanaan salat telah diisyaratkan oleh Allah SWT dalam ayat-ayat al-Quran, yang kemudian dijelaskan oleh Nabi SAW dengan amal perbuatannya sebagaimana hadist-hadist yang telah ada. Hanya saja waktu-waktu salat yang telah ditunjukan oleh Allah SWT dan hadis Nabi SAW berupa fenomena alam, yang kalau pelaksanaannya murni observasi lapangan tidak menggunakan ilmu falak dalam hal ini hisab maka akan mengalami kesulitan dalam menentukan awal waktu-waktu salat. Padahal dari salah satu syarat sahnya salat adalah mengetahui telah masuk waktunya.
Di dalam Al-quran waktu-waktu salat disebutkan secara implisit, sedangkan di dalam hadits penetapan waktu-waktu salat dinyatakan secara eksplisit. Kaum muslimin sepakat bahwa salat lima waktu harus dikerjakan pada waktunya, dalilnya adalah firman Allah Swt :
إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَاباً مَوْقُوتاً

“Sesungguhnya salat itu adalah fardhu/wajib yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. [QS. An Nisa’ (4) : 103].

Sebagaimana para pembaharu lain yang memerlukan tahapan-tahapan perkembangan pemikiran, Saadoeddin sebagai seorang pemikir pembaharu juga mengalami tahapan-tahapan pemikiran untuk kemudi berhasil mengemukakan solusi bagi pemikiran hisab dan permasalahan yang timbul bersamanya.
Sebagai seorang yang terlahir dan dididik dalam keluarga ulama’ yang kuat memegang agama, Saadoeddin selain menguasai ilmu-ilmu syar’i sudah tentu juga mempunyai kesalehan spiritual yang tinggi. Ditambah dengan latar belakang  pendidikan formalnya, ia mengambil penafsiran para ulama’ pada nash-nash  Alquran untuk ia padukan dengan teori-teori dan perhitungan astronomi untuk menentukan awal waktu-waktu salat.
Dalam pelaksanaan ibadah salat, yang pertama kali dilakukan adalah salat Duhur, baru kemudian salat Ashar, Magrib, Isya dan yang terakhir salat Subuh. Hal ini berdasarkan hadis yang terkenal dengan “Hadis Jibril” yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan beberapa lainnya (Hambali, 2011: 103). Namun dalam bukunya, Shalat dan Puasa di Daerah Kutub, Saadoeddin menyebutkan urutan waktu-waktu salat dengan dimulai dari salat Subuh, kemudian Dzuhur, Asar, Magrib dan terakhir Isya.

a.      Waktu Subuh
Saadoeddin berpendapat bahwa awal waktu subuh dimulai dari terbitnya fajar di atas ufuk sebelah timur dan berakhir sampai terbit matahari (1974: 8). Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Izzuddin (2012: 83) dan juga Maskufa (2010: 98). Sementara Jamil (2009: 46) mengatakan bahwa waktu subuh ditandai oleh kenampakan fajar shadiq, yaitu ketika matahari berada 20o di bawah ufuk timur. Dalam buku-buku fiqh dikenal Istllah fajar shadiq dan fajar kadzib (Zuhaili, 1985: 507). Fajar kadzib ini nampak sebelum fajar sidiq.
Untuk ketinggian matahari pada awal waktu Subuh, Saadoeddin menyatakan adanya perbedaan pendapat di kalangan ahli hisab. Dari mereka ada yang menetapkan tinggi matahari 18o, 19o, dan ada pula yang menetapkan 17o di bawah ufuk. Namun ia menetapkan nilai ketinggian matahari 20o di bawah ufuk untuk tetap dipegangi sebagai awal waktu salat subuh, sesuai dengan nilai yang ditetapkan  oleh gurunya, Syekh M. Thaher Djalaluddin.

b. Waktu Zuhur
Saadoeddin mengatakan bahwa masuknya waktu zuhur ditandai oleh tergelincirnya matahari pada tengah hari tepat. Dalil yang ia jadikan sebagai  dasar pendapat ini adalah Alquran surat al-Isra’ ayat 78:
أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ -٧٨-
....dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir.
Dalam kitab-kitab fiqh ketika membicarakan awqatu shalawat jarang ditemukan uraian yang bersifat astronomis. Kebanyakan fuqaha menganalisa dan segi bahasa saja. Dan sini lah Saadoeddin mencoba menterjemahkan bahasa-bahasa fiqh kedalam bahasa astronomi. Kaitannya dengan awal waktu zuhur, contohnya adalah saat tergelincir atau setelahmeridian pass.


3. Waktu Asar
Pada mulanya perintah shalat sebelum Isra’ dan Mi’raj hanya dua kali. Pertama qabla thulu’ al-syams yang dilakukan pada waktu fajar (subuh). Kedua qabla al-ghurub yang dilakukan pada saat asar. Akan tetapi setelah Isra’ dan Mi’raj ketentuan tersebut bertambah menjadi lima kali. Di antaranya adalah subuh dan asar yang dilakukan pada saat sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam matahari Hal ini didasarkan pada AI-Quran surat Qaf ayat 39:
فَاصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ -٣٩-
Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam(nya)
Saadoe’ddin menjadikan ayat tersebut sebagai dasar landasan awal waktu asar. Hanya saja yang menjadi persoalan adalah kapan waktu asar itu dimulai, karena ayat tersebut bersifat general. Dalam hal ini para fuqaha berbeda pendapat. Imam Malik dan Asy-Syafi’i berpendapat bahwa awal waktu asar adalah ketika bayangan suatu benda telah sepanjang benda tersebut dan pendapat ini diikuti Jumhur (Ibnu Rusyd, 1975: 92). Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa awal waktu asar adalah panjang bayang-bayang benda pada awal zuhur ditambah panjang bendanya atau dua kali panjangnya benda (Wahbah, 1985: 509). Pendapat kedua inilah yang diikuti Saadoe’ddin. Alasannya jika pendapat pertama yang digunakan maka akan terdapat kesulitan ketika membahas awal waktu asar di daerah-daerah kutub (Djambek, 1979: 9). Pada daerah-daerah yang jauh dari khatulistiwa (daerah – daerah dengan nilai lintang tinggi), apalagi ketika posisi matahari berada pada deklinasi yang berlawanan dengan belahan bumi daerah tersebut bisa jadi bayang-bayang benda selalu lebih panjang dari pada benda aslinya.  Sehingga pendapat yang mengatakan bahwa waktu asar adalah waktu dimana panjang bayang-bayang benda dua kali panjang benda diambil untuk mengatasi masalah panjang bayangan benda pada musim dingin, yaitu musim dimana matahari berada pada deklinasi yang berlawanan yang mengakibatkan benda mempunyai bayangan yang panjang. Dalam kitab-kitab fikih shalat asar sering juga disebut dengan shalat wustha. 


4. Waktu Maghrib
Untuk dasar penetapan awal waktu magrib Saadoediin mengambil salah satu penafsiran ulama atas lafaz zulafan minallail pada ayat 114 Surat Al-Hud:
وَأَقِمِ الصَّلاَةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفاً مِّنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّـيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ
Seperti diketahui, dikalangan mufassir terdapat perbedaan mengenai penafsiran ayat zulafan minallail pada ayat di atas. Kelompok pertama berpendapat bahwa maksud dan zulafan minallail adalah waktu isya. Pendapat ini berasal dan al-Hasan dan Ibn Abbas (Ibnu Katsir, 1999: 355). Kelompok kedua berpendapat bahwa maksud dan ayat tersebut adalah waktu maghrib dan isya’  Pendapat ini berasal dari Mujahid dan Qatadah.
Kelompok ketiga berpendapat bahwa zulafan minallail berarti awal waktu magrib. Pendapat ketiga inilah yang diikuti Saadoe’ddin. Menurutnya waktu magrib masuk bila matahani terbenam. Dengan perkataan lain bila matahari terbenam artinya bila tepi piringan matahari berada di sebelah atas ufuk mar’i, jadi titik pusatnya berkedudukan sebanyak satu jari-jari piringan matahari di bawah garis ufuk mar’i. Konsep inilah nantinya yang mcwamai corak pemikiran hisab awal bulannya Saadoeddin Djambek.

5. Waktu Isya’
Para ulama berpendapat bahwa awal waktu shalat Isya’ adalah pada saat hilangnya asy-syafak al-Ahmar (warna merah pada awan) di bagian langit sebelah barat. Pendapat ini diikuti oleh Saadoe’ddin. Untuk memudahkan pemahaman kapan waktu hilangnya asy-syafak al-ahmar Saadoe’ddin mengatakan bahwa zulafan minallail hilang bila matahan berkedudukan 18° di bawah ufuk (horison).

D. Penutup
Pemikiran Saadoeddin Djambek sampai saat ini masih dipergunakan oleh Badan Hisab dan Rukyat Kementerian Agama RI sebagai bahan pertimbangan bersama-sama dengan metode-metode yang lain. Hal ini dikarenakan data-data yang ia tampilkan sangat akurat, misalnya data lintang dan bujur Makkah.
Keakuratan data-data, metode, dan hasil perhitungan hisab Saadoeddin Djambek merupakan hasil dari penggabungan ilmu astronomi modern dengan ilmu hisab seperti rumus-rumus trigonometri dan segitiga bola. Karenanya metode hisab Saadoeddin dinilai sebagai metode paling akurat saat itu dan ia dianggap sebagai Mujaddid al-Hisab di Indonesia.
Pemikiran hisab Saadoeddin sangat relevan dengan konteks kekinian. Hal ini terlihat dari kesadarannya terhadap realitas adanya problem-problem yang muncul dengan adanya peningkatan kecerdasan umat sehingga ia memunculkan metode pengukuran arah kiblat yang lebih akurat dibandingkan hasil hisab menggunakan metode yang ada pada saat itu. Selain itu ia juga memunculkan pemikiran baru dalam dunia Ilmu Falak yaitu tentang salat di daerah dekat kutub.
Disamping itu, ada juga kelemahan teori hisab Saadoeddin yang bisa saja menimbulkan permasalahan tersendiri. Berkenaan dengan tinggi hilal, pada teori hisab awal bulan Saadoeddin tidak memberi batasan irtifa’ hilal sehingga menyulitkan untuk diwujudkan adanya Kalender Islam Nasional. Selain itu, ia juga menetapkan bahwa bulan baru sudah masuk dengan syarat telah terjadi ijtima’ dan piringan atas bulan masih berada di atas ufuk mar’i ketika matahari tenggelam. Hal ini dapat menimbulkan kebingungan karena bisa diartikan bahwa saat itu sebenarnya hilal belum wujud karena yang ada di atas ufuk mar’i adalah piringan atas bulan, sedangkan hilal terletak pada piringan bawahnya.














DAFTAR PUSTAKA



Azhari, Susiknan, 2002, Pembaharuan Pemikiran Hisab di Indonesia studi Atas Pemikiran Saadoeddin Djambek, Yogyakarta: IAIn Yogyakarta.

______________, 2005, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Djambek, Saadoeddin, 1974, Pedoman Waktu Shalat Sepanjang Masa, Jakarta: Bulan Bintang.

__________________, 1974, Sholat dan Puasa di Daerah Kutub, Jakarta: Bulan Bintang.

Fathorrohman, Oman, 2004, Saadoe’ddin Djambekdan Hisab Awal Bulannya, dalam Choirul Fuad Yusuf & Bashori A Hakim, (Ed.), Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Departemen Agama RI, 92-123.

Hambali, Slamet, 2011, Ilmu Falak Penentuan Awal Waktu Shalat & Arah Kiblat Seluruh Dunia, Semarang: Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang.

Ibnu Katsir, 1999, Tafsir Al-Quranul ‘Adzim, TTP; Darut Tayyoibah (Software Maktabah Syamilah).

Ibnu Rusyd, 1975, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Mesir: Mathbaah Mushtofa. (Software Maktabah Syamilah).

Izzudin, Ahmad, 2012, Ilmu Falak Praktis Metode Hisab-Rkyat Praktis dan Solusi Permasalahannya, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra.

Jamil, A. 2009, Ilmu Falak (Teori dan Aplikasi) Arah Kiblat, Awal Waktu dan Awal Tahun (HisabKontemporer), Jakarta: AMZAH.

Khazin, Muhyidin, 2009, 99 Tanya Jawab Masalah Hisab & Rukyat, Yogyakarta: Ramadhan Press.

Khazin, Muhyidin, 2011, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka.

Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2209, Pedoman Hisab Muhammadiyah, Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.

Maskufa, 2010, Ilmu Falak, Jakarta: Gaung Persada (GP Press).

Musonnif, Ahmad, 2011, Ilmu Falak Metode Hisab Awal Waktu Shalat, Arah Kiblat, Hisab Urfi dan Hisab Hakiki Awal Bulan, Yogyakarta: Teras.

Smart, W.M., 1989, Text Book on Spherical Astronomy, New York: Cambridge University Press.

Zuhaili, Wahbah, 1985, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Beirut: Darul Fikr.































LAMPIRAN








































Tidak ada komentar:

Posting Komentar