TAWARIKH Al-MUTUN
Oleh: Imam Labib
Hibaurrohman, Lc
Pendahuluan
Diskursus terhadap hadis, nampaknya selalu
menarik perhatian banyak orang baik dari kalangan muslim maupun non muslim.
Terbukti, banyak sekali kajian-kajian terhadap hadis baik yang menyangkut
kritik terhadap otentisitasnya, maupun metodologi pemahamannya yang terus
berkembang. Hadis atau sunnah adalah segala sesuatu yang di nisbatkan kepada
Nabi Muhammad Saw baik berupa perkataan (Qaul), perbuatan (Fi’lun),
ketetapan (Taqrir), sifat akhlak nabi (Khuluqiyah), sifat ciptaan
atau bentuk tubuh nabi (Khalqiyah) sebelum bi’tsah diutusnya
menjadi nabi.[1]
Secara
epistimologis, hadis juga dipandang
sebagai sebuah teks normatif kedua (The second teks) setelah al-Qur’an yang mewartakan akan prinsip dan doktrin ajaran
Islam karena ia merupakan bayan (keterangan) terhadap ayat-ayat al
qur’an yang sifatnya masih mujmal (global), ‘am (umum), dan yang mutlaq
(tanpa batasan). Bahkan secara mandiri hadis dapat berfungsi sebagai penetap (muqarrir)
suatu hukum yang belum ditetapkan oleh al Qur’an.[2] Hadis tidaklah sama dengan al-Qur’an dalam beberapa aspek, seperti dalam
tingkatan kepastian teks (qathi al-wurūd), maupun pada taraf kepastian
argumen yang diajukan (qathi al-dalālah). Kenyataannya, hadis dihadapkan
pada fakta tidak adanya jaminan otentik yang secara eksplisit menjamin
kepastian teks, sebagaimana yang dimiliki oleh al-Qur’an. Konsep ini kemudian
menjadi rahim lahirnya beberapa disiplin ilmu. Namun ada juga beberapa aspek
yang memiliki kesamaan antara kajian al-Qur’an dan hadis, yaitu aspek
historisitas. Pendekatan
aspek historis, sosiologis dan antropologis[3] juga
sangat diharapkan untuk dapat memberikan pemahaman dalam studi hadis yang
relatifnya lebih tepat, apresiatif dan akomodatif terhadap perubahan masyarakat
(Social Change) dan perkembangan zaman.[4]
Sederhananya, setiap teks
yang disampaikan oleh al-Qur’an dan hadis selalu memiliki sejarah lahirnya teks
tersebut. Sehingga ada beberapa kalangan yang menganggap bahwa dalam proses
kerjanya ilmu tawarikh al-mutun serupa dengan kerja ilmu asbabun
nuzul dalam kajian al-Qur’an dan
Ilmu asbabul wurud dalam kajian teks hadis.
Definisi Tawarikh al-Mutun
Tawarikh al-mutun merupakan
disiplin ilmu yang membahas tentang sejarah matan-matan hadis nabi Muhammad
Saw. Al-Mutun adalah jamak dari al-Matan. Pengertian al-Matan
sendiri dalam kerangka etimologi adalah punggung jalan atau tanah yang keras
dan tinggi.[5]
Menurut al-Thiby seperti yang dinukil oleh Musfir al-Damini, adalah :
الفاظ الحديث
التي تتقوم بها المعانى
“Kata-kata hadis yang dengannya terbentuk akan
makna-makna”[6]
Ibnu Atsir Jazari (w.606H) mengatakan bahwa
setiap matan hadis tersusun atas elemen lafal (teks) dan elemen makna
(konsep).[7]
Dengan demikian komposisi ungkapan matan hadis pada hakikatnya adalah
pencerminan konsep idea yang intinya dirumuskan berbentuk teks. Teks matan juga
disebut dengan Nash al-hadis atau Nash al-Riwayah.[8]
Dalam pengertian lain matan dalam Ilmu hadis adalah ma yantahiya
ilaihi as-sanad min al-kalam (tidak bersifat komentar dan bukan
tambah-tambahan penjelasan).[9]
Ilmu ini seimbang dengan ilmu tawarikhil
nuzul yang sering dipakai dalam istilah ilmu al Qur’an, dalam definisinya
menurut M. Hasbi ash-Shiddieqy dikatakan:
علم تاريخ
المتون هو علم يعرف به تاريخ ورود الحديث الشريف
“Ilmu Tawarikh al-mutun adalah ilmu yang mana
dengan dia bisa diketahui akan sejarah datangnya hadis nabi yang mulia (nabi
menyabdakan hadisnya)”[10]
Dalam konteks ilmu tawarikh al-Mutun
sebenarnya perlu juga dikembangkan teori kategori hadis-hadis makkiyah
dan madaniyah, sebagaimana dengan kajian ulumul qur’an. Sebab
boleh jadi masing-masing redaksional memiliki kekhususan redaksi maupun isi
kandungan. Hal ini akan membantu mencari mana hadis yang nasakh dan mansukh.
Disamping itu, pengetahuan haidts makkiyah dan madaniyah juga
akan memberikan informasi tentang bagaimana evolusi perkembangan syariat Islam.[11]
Sedangkan asbabul wurud[12]
yang memiliki kedekatan dengan ilmu tawarikh al-mutun secara etimologi-nya
merupakan susunan idhafah (baca: kata majemuk) yang berasal dari kata asbab
dan al-wurud. Kata asbab adalah bentuk jamak dari sabab yang
berarti segala sesuatu yang dapat menghubungkan kepada sesuatu yang lain atau
penyebab yang lain. Sedangkan kata wurud merupakan bentuk isim masdar
(kata benda abstrak) dari warada, yaridu, wurudan yang
berarti datang atau sampai. Dengan demikian, secara sederhana dapat diartikan
bahwa asbabul wurud adalah sebab-sebab datangnya sesuatu atau sebab-sebab
(latar belakang) munculnya suatu hadis.
Imam
as-Suyuthi mendefinisikannya:
أنه ما يكون طريقا لتحديد المراد من الحديث من عموم أو خصوص أو إطلاق
أو تقييد أو نسخ أو نحو ذلك
“Sesuatu
yang menjadi thariq (methode) untuk menentukan maksud suatu hadis yang bersifat
umum atau khusus, mutlak atau muqayyad dan untuk menentukan ada tidaknya nasakh
(pembatalan) dalam suatu hadit”
Said
Agil Husin Munawar menyebutkan definisi yang dilontarkan oleh Imam as-Suyuthi
kurang tepat karena lebih mengacu kepada fungsi asbab al-wurud itu
sendiri yaitu untuk menentukan takhsis
(pengkhususan) dari yang ‘am (umum), membatasi yang mutlak serta
menentukan ada tidaknya nasakh dan mansukh dalam hadis. [13] Beliau lebih mengacu kepada definisi Hasbi ash-Shiddieqy tentang asbab
al-wurud sebagai berikut:
علم يعرف به
أسباب ورود الحديث ومناسباته
“Ilmu yang menerangkan sebab datangnya hadis
dan munasabah-munasabahnya (menerangkan akan situasi, suasana dan masa-masa
nabi ketika menyabdakan hadisnya)”[14]
Obyek Tawarikh al-Mutun
Untuk menetapkan poin-poin
yang menjadi obyek dari disiplin ilmu tawarikh al-mutun, kita dapat
menengok pengertian dari tawarikh al-mutun itu sendiri. Definisi
tersebut di atas menetapkan hikayat sejarah satu teks matan hadis serta matan
itu sendiri sebagai obyek atau sasaran kajian. Titik perbedaannya dengan asbabul
wurud adalah jika tawarikh al-mutun lebih dekat kepada dominasi konteks
sejarahnya, kapan dan dimana lahirnya sebuah hadis akan tetapi jika asbabul
wurud lebih berkonsentrasi pada motif atau latar belakang yang mendorong
lahirnya sebuah hadis dan biasanya dalam tawarikh al-mutun bisa
diketahui dari dalam matan sebuah hadis itu sendiri.[15] Seperti
hadis dari Abu Hamamah al-Banili;
سمعت رسول الله
ص م يقول فى خطبة عام حجة الوداع : لا تنفيق إمرأة شيئا من بيت زوجها إلا بإذن
زوجها قيل : يا رسول الله : ولا طعام ؟ قال : ذالك أفضل أموالنا
“Saya mendengar
Rasulullah Saw, mengatakan dalam khutbahnya pada tahun haji wada’:
janganlah seorang wanita menafkahkan sesuatu dari harta suaminya melainkan
dengan seizin suaminya. Seorang berkata: Ya Rasulullah, walaupun makanan? Nabi
menjawab: itu, seutama-utama harta kita” ( HR. Turmudzi dan Ibnu Majah)
Hadis ini dengan jelas dan tegas menerangkan
sejarah akan adanya hadis dan menunjukkan
bahwasanya historis atau tarikh (sejarah) sebagai salah satu metodologi
untuk memahami hadis.[16] yaitu pada
saat nabi menyabdakan hadisnya ketika beliau sedang khutbah haji wada’ yang
dilakukan pada tahun 10 hijriyah.
Metodologi Tawarikh
al-Mutun
Salah satu pertanyaan yang sangat substantif dalam kajian tarik al-mutun adalah tentang kapan pertama
kali Nabi mengeluarkan sebuah hadis. Para ulama sendiri berbeda pendapat
mengenai kapan permulaan terjadinya hadis. Sebagian ulama berpendapat, hadis
Nabi mulai terjadi pada masa kenabian (al-nubuwwah). Sifat-sifat luhur
pribadi Nabi yang tampak sebelum masa kenabian diposisikan sebagai sebuah
anutan atau teladan. Adapun aktivitas Nabi sebelum masa kenabian dan tidak
dicontohkan lagi pada masa kenabian, misalnya kegiatan menyepi (al-tahannus)
di Gua Hira, tidak dijadikan sebagai anutan. Sebagian ulama lagi menyatakan, hadis
Nabi telah terjadi sebelum dan dalam masa kenabian.[17]
Ibnu Taymiyah mengatakan apa yang termuat dalam
kitab-kitab hadis berkenaan dengan diri Rasulullah maka itu adalah berita
tentang diri Nabi yang khususnya terjadi pada masa kenabian. Sehingga
pernyataan Ibnu Taymiyah tersebut memberikan sinyal bahwa apa yang disebut
dengan hadis nabi adalah berita tentang nabi yang terjadi pada masa kenabian.
Menurut Abdul Mustaqim
pendekatan secara historis (tarikh) adalah suatu upaya untuk memahami hadis
dengan cara mempertimbangkan kondisi historis-empiris pada saat hadis itu
disampaikan nabi Muhammad Saw. Dengan kata kata lain pendekatan ini merupakan
metode pendekatan yang dilakukan dengan cara mengkaitkan antara ide atau
gagasan yang terdapat dalam hadis dengan determinasi-determinasi sosial dan
situasi historis kultural yang mengitarinya. Pendekatan secara historis ini
menekankan pada pertanyaan mengapa nabi bersabda demikian? Bagaimana kondisi
historis sosio-kultural masyarakat dan bahkan politik pada saat itu?, dll.[18]
Dalam kajian tawarikh
al-mutun, terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengetahui
sejarah kemunculan sebuah teks hadis. Pertama, pendataan teks-teks hadis shahih
atau matan-matan hadis yang benar-benar bersumber dari Nabi. Kedua,
penelitian sejarah, dalam hal ini selalu bersinggungan dengan disiplin asbabul
wurud sebuah hadis. Hal ini disebabkan oleh keterkaitan antara unsur-unsur
yang memiliki andil dalam kelahiran sebuah matan hadis, seperti latar
belakang, waktu, tempat, serta sahabat yang menerima matan tersebut.
Lebih lanjut, sejarah lahirnya sebuah teks atau matan hadis dapat
ditempuh dengan jalan-jalan berikut :
1.
Dengan terdapat perkataan:
اوَل ما كان كذا
“Permulaan
yang terjadi adalah begini”
Seperti hadis
yang diriwayatkan oleh Aisyah yaitu:
أوَل ما بدئ به رسول الله ص م من الوحي الرؤيا
الصالح
“Permulaan
wahyu, yang dengan wahyu itu dimulaikannya kepada Rasulullah Saw, adalah mimpi
yang benar” (HR. Bukhari-Muslim)
Dan seperti hadis:
أوَل ما نهنى ربَى بعد عبادة الأوثان شرب الخمر
وملاحات الرجال
“Permulaan
yang dilarang aku daripadanya oleh Tuhanku sesudah dilarang menyembah berhala,
ialah: meminum arak dan mempermainkan orang lelaki”
(HR. Ibnu
Majah)
2.
Dengan disebut lafadh “Qablu” seperti hadis
yang diriwayatkan oleh Jabir yaitu:
كان رسول الله ص م نهى ان نستدبر القبلة او
نستقبلها بفروجنا إذا إهرقنا الماء ثم رإيته قبل عام عن وفاته يستبلها
“Rasullullah
melarang kami untuk membelakangi kiblat atau menghadapnya dengan
kemaluan-kemaluan kami saat buang air. Kemudian aku melihat nabi , setahun
sebelum beliau wafat, beliau menghadap kiblat ketika buang air” (HR. Ahmad)
3.
Dengan perkataan “ba’du” seperti hadis
diriwayatkan oleh Bukhari;
إنَ جريرا رأى النَبىَ ص م يمسح على الخفَ فقيل
له : أقبل نزول المائدة أم بعدها فقال : ما أسلمت إلا بعد نزول المائدة
“Sesungguhnya
Jarir telah melihat Nabi Muhammad Saw mengusap atas Khuffnya. Maka seseorang
bertanya : Apakah sebelum turun surat al Maidah ataukah sesudahnya? Maka Jarir
menjawab: aku tiada memeluk agama Islam melainkan sesudah turun surah al
Maidah”
(HR. Bukhari)
4.
Dengan perkataan “akhirul amraini” seperti
dalam hadis Jabir bin Abdullah :
كان اخر الأمرين من رسول الله ص م ترك الوضوء
ممَا مسَت النَار
“Menjadikan dua hal yang terakhir dari
urusan Rasulullah adalah tidak berwudhu karena memakan daging yang disentuh
api” (HR. Abu Daud)
5.
Dengan adanya kalimat “bi syahrin” seperti
hadis Abdullah bin Ukaeini:
اتانا كتاب رسول الله ص م قبل موته شهرين أن لا
تنتفعوا من الميتة بإهاب ولا غصب
“Telah
datang kepada kami kitab Rasulullah dua bulan sebelum wafatnya, yaitu : Janganlah
kamu mengambil manfa’at dari bangkai, baik kulitnya maupun uratnya” (HR. Abu Daud,
Nasa’I, At Turmudzi dan Ibnu Majah).
Imam Sirajuddin Abu Hafash
Umar bin Salar al Bulqani dalam kitabnya Mahasinul Istilah mengatakan:
diantara sebagian para ulama menjadikan pembahasan ini sebagai suatu ilmu dari
ilmu-ilmu hadis yang dikaitkan dengan hubungannya terhadap Nasakh dan Mansukh.[19]
Urgensi Tawarikh
al-Mutun
Tawarikh al-mutun mempunyai peranan penting dalam
rangka memahami suatu hadis. Sebab biasanya hadis disampaikan oleh nabi
Muhammad Saw bersifat kasuistik, kultural bahkan temporal. Oleh karenanya,
memperhatikan konteks historisitas sebuah matan hadis sangatlah penting,
karena paling tidak akan dapat menghindarkan kesalahpahaman dalam menangkap
maksud suatu hadist dan tidak terjebak pada teksnya saja sementara konteksnya
kita abaikan. Pemahaman hadis yang mengabaikan peranan tawarikh mutun
dan asbabul wurud akan cenderung bersifat kaku, literalis-skriptualis, bahkan
terkadang kurang akomodatif terhadap perkembangan zaman. Adapun urgensi dan
signifikansi tawarikh al-mutun dan asbabul wurud, antara lain: [20]
1. Sebagai pisau analisis
dalam menentukan hadis bersifat umum atau khusus, mutlak atau muqayad.
2. Mengetahui secara detail kapan dan dimana sebuah matan
hadis dikeluarkan oleh nabi Muhammad Saw
3. Berperan penting dalam
studi nasakh dan mansukh hadis
4. Menjamin otensitas hadis[21] dengan
melihat latar belakang sejarah kemunculan matan.
5. Memperkaya Khazanah
keilmuan Islam, khususnya dalam kajian hadis nabi Muhammad Saw
6. Mengetahui cara-cara
menyelesaikan problem hadis maqbul [22]
yang saling berlawanan
7. Agar terhindar dari
kesalahpahaman (misunderstanding) dalam menangkap maksud suatu hadis.[23]
8. Sebagai wasilah (alat)
dalam memahami hadis.
Aplikasi Tawarikh
al-Mutun
Sebagai bentuk aplikasi tawarikh
al-mutun ada beberapa hadis yang telah diketahui akan historisnya dan
penulis akan mencoba untuk berinterpretasi hadis dibawah ini:
Contoh :
عن ابن عباس قال
: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لا تقدموا الشهر بصيام يوم ولا يومين
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau
berkata: Rasulullah Saw bersabda : janganlah kamu sekalian mendahului Ramadhan
dengan melakukan puasa sehari atau dua hari” (HR. Abu Dawud dan al-Baihaqi)
Asbabul Wurud:
Diriwayatkan oleh Ibnu Najjar dalam kitab tarikh-nya
dari Ibnu Abbas:
قال رسول الله ص
م : صوموا لرؤية الهلال وافطروا لرؤيته فإن غم عليكم فعدوا ثلاثين. قلنا : يا رسول
الله أولا نتقدم قبله بيوم أو بيومين فغضب وقال : "لا"
“Berpuasalah kamu sekalian karena melihat
hilal dan berbukalah kamu sekalian karean melihat hilal. Apabila kamu sekalian
tertutup oleh mendung, sehingga kalian tidak dapat melihat hilal, maka
hitunglah tiga puluh hari (artinya menggenapkan bulan Sya’ban itu sampai tiga
puluh hari), kami waktu itu bertanya : apakah tidak sebaiknya kita mendahului
puasa sehari atau dua hari sebelumnya ya Rasulullah. Mendengar pertanyaan itu
beliau langsung marah dan menjawab: “Tidak””
‘Ilat dari hadis diatas adalah dalam permasalahan
penentuan Ramadhan dengan menggunakan metode rukyat atau hisab? Sebagian ulama
mentafsiri makna rukyat adalah melihat hilal secara kasat mata atau sesuai
dengan pemahaman yang dipahami secara tekstual. Atau dalam penentuan ramadhan
yang dimaksud oleh hadis adalah menggunakan metode hisab atau rukyah bil ilmi
(melihat hilal dengan ilmu pengetahua) sebagai interpretasi khasanah keilmuan
hadis yang modern, kontemporer dan bisa dikatakan sebagai rekonstruksi baru
akan pemahaman sebuah hadist yang telah di kontekstualisasi dalam pemaknaan dan
pemahaman.
Dalam hal ini, penulis melihat bahwa hadis tersebut
harus diinterpretasi dalam hal pemaknaan yang disesuaikan dengan perkembangan
zaman sekarang yang ditinjau secara historis munculnya hadis atau sebab adanya
hadis itu. Sebenarnya jika ditinjau secara historisnya pada zaman sebelum atau
pas nabi Muhammad masih hidup bangsa Arab sudah mengenal dengan apa yang
namanya ilmu falak karena dalam kebiasaan bangsa Arab senantiasa menggunakan
fenomena alam untuk menentukan waktu ibadah, terjadinya musim panas, dingin,
semi dan rontok serta bagaimana mereka memanfaatkan fenomena alam untuk
dijadikan patokan mereka dalam menentukan arah dalam perjalanan mereka ketika
melakukan perdagangan. Bahkan Ahmad Amin menyatakan dalam bukunya Fajrul
Islam bahwa pada zaman sebelum nabi Muhammad ada (lahir) peradaban keilmuan
bangsa Arab sudah sangatlah maju dibuktikan dengan catatan sejarah jika tanah
Arab merupakan pusat perdagangan dari berbagai penjuru dunia bahkan sampai
sekarang. Maka tidak dinafikkan jika ada sebagian ulama yang mentafsiri rukyah
dalam hadis tersebut adalah melihat dengan ilmu pengetahuan sebagai
interpretasi dan kontekstualisasi pemahaman hadis yang disesuaikan dengan khasanah
keilmuan pada masa sekarang.
Oleh karena itu, hemat penulis pentafsiran nash
atau matan hadis tersebut harus dirubah dalam pemaknaanya dengan
menggabungkan makna rukyah traditionalis dan makna rukyah modernis
karena bagaimanpaun antara kedua metode itu tidak bisa dipisah-pisahkan dan
tidak bisa berdiri sendiri (keduanya saling melengkapi dan menyempurnakan). Rukyah
modernis lahir dari rukyah traditionalis.
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1.
Tawarikh
al-Mutun dan
asbabul wurud merupakan konteks historitas yang melatarbelakangi
munculnya suatu hadis.
2.
Memiliki peranan yang signifikan dalam memahami
maksud hadis secara lebih baik dan tidak kaku
3.
Menentukan ada tidaknya ‘am dan khas,
nasakh-mansukh dalam hadis serta menjelaskan hadis yang musykil..
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid
Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: AMZAH, 2009)
Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ani al-hadis, (Yogyakarta : Idea
Press, 2008)
Abdul Mustaqim, Paradigma Integrasi-Interkoneksi
Dalam Memahami Hadis, (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008
AlFatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Teras,
2010)
Arnold W. Green, Sociology
An Analysis Of Live In Modern Society, (New York: Toroto, 1960)
Hasjim Abbas, Kritik
Matan Hadis,(Yogyakarta: Teras, 2004)
Ibnu al-Atsir, al-Nihayah Fi Gharib al-Hadis wa al-Atsar,
(Mesir: Isa al-Bab, 1963)
Ibnu Mandzur, Lisan al- Arab, (Beirut: Dar Lisan al-Arab,tt)
Jalaludin
as-Suyuti, al-Luma’ Fi Asbabil Hadis, (Beirut: Dar al-Fikr)
Kamaruddin
Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, (Jakarta: Penerbit
Hikmah PT Mizan, 2009)
M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1958)
Musfir al-Damini, Maqayis Naqd Mutun al-Sunnah, (Riyadh :
Jami’ah Ibnu Sa’ud, 1984)
Said Agil Husin Munawwar, Asbabul Wurud, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001)
Shalahuddin al-Idlibi, Manhaj Naqd al-Matan, (Beirut: Dar
al-Afaq al-Jadidah, 1983)
Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang,
1995)
Thahir
al-Jawabi, Juhud al-Muhadditsin Fi Naqdi Matni al-Hadis al-Nabawiy al-Syarif,
(Tunisia: Muassasah ‘Abd Karim, 1986)
Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (editor), Metodologi
Penelitian Agama; Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991)
[1] Said Agil Husin Munawwar, Asbabul Wurud, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 23
[2] Thahir
al-Jawabi, Juhud al-Muhadditsin Fi Naqdi Matni al-Hadis al-Nabawiy al-Syarif,
(Tunisia: Muassasah ‘Abd Karim, 1986), hlm. 6
[3] Yang dimaksud
dengan pendekatan historis adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara
mengkaitkan antara ide atau gagasan yang terdapat dalam hadis dengan determinasi-determinasi
social dan situasi dan situasi historis cultural yang mengitarinya. Pendekatan
secara sosiologi adalah pendekatan yang dilakukan dengan menyoroti atau menimbang dari sudut posisi manusia yang
membawanya kepada perilaku itu. Sosiologi didefinisikan sebagai; “The
Sythesizing and generalizing science of man in all his social relationships.
The focus of attention upon social relationship make sociology a distincitive
field”. (Arnold W. Green, Sociology
An Analysis Of Live In Modern Society, (New York: Toroto, 1960),
hlm. 1-5. Sedangkan pendekatan antropologi adalah pendekatan dengan
memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku itu pada tatanan nilai yang
dianut dalam kehidupan masyarakat manusia. (Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim
(editor), Metodologi Penelitian Agama; Sebuah Pengantar, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1991), hlm. 1.
[4] Said Agil Husin Munawwar, Asbabul Wurud, hlm.
28
[5] Ibnu Mandzur, Lisan al- Arab, (Beirut:
Dar Lisan al-Arab,tt), hlm. 434-435
[6] Musfir al-Damini, Maqayis Naqd Mutun
al-Sunnah, (Riyadh : Jami’ah Ibnu Sa’ud, 1984), hlm. 50
[7] Ibnu al-Atsir, al-Nihayah Fi Gharib
al-Hadis wa al-Atsar, (Mesir: Isa al-Bab, 1963), V.1, hlm. 4
[8] Shalahuddin
al-Idlibi, Manhaj Naqd al-Matan, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1983),
hlm.30
[9] AlFatih
Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 36
[10] M. Hasbi
ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu
Dirayah Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1958), hlm. 302
[11] Abdul
Mustaqim, Ilmu Ma’ani al-hadis, (Yogyakarta : Idea Press, 2008), hlm. 16
[12] Imam Suyuthi dalam kitabnya al Luma’ Fi Asbab al Hadis dan Asbab
Wurud Hadis mengatakan bahwasanya sebab munculnya hadis terbagi menjadi dua
macam, yaitu: Pertama, disebabkan turunnya ayat al qur’an dan Kedua,
disebabkan adanya hadis yang musykil yang perlu adanya jawaban atau
keterangan dari Rosulullah. Ketiga, sebab yang berupa sesuatu yang
berkaitan dengan para pendengar dikalangan sahabat. (Lihat: Jalaludin
as-Suyuti, al-Luma’ Fi Asbabil Hadis, (Beirut: Dar al-Fikr), hlm. 11-17)
[14] M. Hasbi
ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu
Dirayah Hadis, hlm. 296
[15] Abdul Mustaqim menyebutkan
model pendekatan hadis secara historis sudah dirintis oleh para ulama hadis
yaitu dengan munculnya ilmu Asbab al-Wurud, yaitu, suatu ilmu yang
menerangkan sebab-sebab mengapa nabi Muhammad Saw menuturkan sabdanya dan waktu
munturkannya. (Lihat: Abdul
Mustaqim, Paradigma Integrasi-Interkoneksi Dalam Memahami Hadis,
(Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm. 7
[16] Guna memahami
dan menganalisa hadis perlu adanya konteks historitas hadis sebagai mata pisau
analisis baik berupa peristiwa, pertanyaan atau lainnya yang terjadi pada saat
hadis itu disampaikan oleh nabi Muhammad Saw. Hasjim Abbas mengatakan dalam penelitian
kritik matan hadis ada beberapa model matan yang perlu diketahui
antara lain: (a) Sabda penuturan Nabi (Hadis Qauli), termasuk pernyataan
yang mengulas kejadian atau peristiwa dan penceritaan tentang historitas nabi
maupun norma syari’ah yang diberlakukan sebelum periode nubuwwah. (b) surat-surat yang dibuat atas perintah
Nabi dan selanjutnya dikirim kepada petugas di daerah atau kepada pihak-pihak
diluar Islam, termasuk juga fakta perjanjian yang melibatkan nabi. (c) Firman
Allah selain al Qur’an yang disampaikan kepada dengan bahasa tutur nabi (Hadis
Qudsi). (d) Pemberitaan yang terkait dengan al Qur’an seperti interpretasi nabi
atas ayat-ayat tertentu (tafsir nabawiy) atau asbab an-nuzul. (e)
Perbuatan atau tindakan yang dilakukan nabi dan diriwayatkan kembali oleh
sahabat (hadis Fi’li/hadis ‘amali). (f) Sifat dan hal ihwal pribadi nabi
(hadis khalqi). (g) perilaku dan kebiasaan nabi dalam tata kehidupan
sehari-hari (hadis Khuluqiyah), serta pengalaman dalam dinamika
perjalanan kepemimpinan atau kemanusiaan nabi (sirah nabawiyah). (h)
sesuatu yang direncanakan dan ancaman yang ditujukan kepada orang lain atau
kelompok walaupun tidak terlaksanakan (hadis hammi). (i) perbuatan atau
sikap terbuka sahabat dimana nabi mengetahuinya dan beliau bersikap membiarkan
tanpa menegur atau melarangnya (hadis taqriry). (j) riwayat hidup
sahabat karean data hubungan khusus dengan nabi (hadis manaqiby). (k)
prediksi atau ramalan keadaan yang kelak terjadi seperti hadis tentang prediksi
fitnah dan gejala datangnya hari kiamat. (l) kejadian dan kebijakan sahabat
sepeninggal nabi yang berpotensi sebagai penjabaran ajaran nabi atau berkait
dengan eksistensi kesumberan ajaran Islam dan pelestarian sunnah nabawiyah. (Lihat
: Said Agil Husin Munawwar, Asbabul Wurud, hlm. 9, Hasjim Abbas, Kritk
Matan Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2004), hlm. 15)
[19] M. Hasbi
ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu
Dirayah Hadis, hlm. 302-304
[20] Menurut Imam Suyuthi urgensi dan signifikasi asbabul wurud adalah
sebagai berikut: (a) menentukan adanya takhshish hadis yang bersifat
umum. (b) membatasi pengertian hadis yang masih mutlak. (c) mentafshil
(memerinci) hadis yang bersifat global. (d) menentukan ada atau tidak adanya nasakh-mansukh
dalam hadis. (e) menjelaskan ‘illat (sebab-sebab) ditetapkannya suatu hukum.
(f) menjelaskan maksud suatu hadis yang masih musykil (sulit dipahami).
(Lihat: Said
Agil Husin Munawwar, Asbabul Wurud, hlm. 13)
[21] Metode Nashiruddin Al Bani dalam menentukan autentisitas dan kepalsuan
hadis tertentu, terutama berdasarkan pada analisis isnad dengan
menggunakan informasi yang terdapat dalam kamus-kamus biografi. (Lihat:
Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis,
(Jakarta: Penerbit Hikmah PT Mizan, 2009), hlm. 74)
[22] Dalam bahasa kata maqbul artinya diterima. Hadis dapat diterima
sebagai hujjah dalam Islam jika sudah memenuhi beberapa kriteria persyaratan
baik yang menyangkut sanad dan matan. Adapaun dalam istilahnya
hadis maqbul adalah hadis yang unggul pembenaran pemberitaannya.
Keunggulan pembenaran berita ada proses awal adanya dua dugaan antara benar dan
salah. Karena adanya bukti-bukti yang memperkuat atau mendukung adanya dugaan
yang benar maka hadis bisa disebut sebagai hadis yang maqbul (diterima).
(Lihat: Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: AMZAH, 2009), hlm.
148-149)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar