Senin, 26 Mei 2014

AWARIKH Al-MUTUN

TAWARIKH Al-MUTUN
Oleh: Imam Labib Hibaurrohman, Lc

Pendahuluan
Diskursus terhadap hadis, nampaknya selalu menarik perhatian banyak orang baik dari kalangan muslim maupun non muslim. Terbukti, banyak sekali kajian-kajian terhadap hadis baik yang menyangkut kritik terhadap otentisitasnya, maupun metodologi pemahamannya yang terus berkembang. Hadis atau sunnah adalah segala sesuatu yang di nisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw baik berupa perkataan (Qaul), perbuatan (Fi’lun), ketetapan (Taqrir), sifat akhlak nabi (Khuluqiyah), sifat ciptaan atau bentuk tubuh nabi (Khalqiyah) sebelum bi’tsah diutusnya menjadi nabi.[1]
Secara epistimologis, hadis juga dipandang sebagai sebuah teks normatif kedua (The second teks) setelah al-Qur’an yang mewartakan akan prinsip dan doktrin ajaran Islam karena ia merupakan bayan (keterangan) terhadap ayat-ayat al qur’an yang sifatnya masih mujmal (global), ‘am (umum), dan yang mutlaq (tanpa batasan). Bahkan secara mandiri hadis dapat berfungsi sebagai penetap (muqarrir) suatu hukum yang belum ditetapkan oleh al Qur’an.[2] Hadis tidaklah sama dengan al-Qur’an dalam beberapa aspek, seperti dalam tingkatan kepastian teks (qathi al-wurūd), maupun pada taraf kepastian argumen yang diajukan (qathi al-dalālah). Kenyataannya, hadis dihadapkan pada fakta tidak adanya jaminan otentik yang secara eksplisit menjamin kepastian teks, sebagaimana yang dimiliki oleh al-Qur’an. Konsep ini kemudian menjadi rahim lahirnya beberapa disiplin ilmu. Namun ada juga beberapa aspek yang memiliki kesamaan antara kajian al-Qur’an dan hadis, yaitu aspek historisitas. Pendekatan aspek historis, sosiologis dan antropologis[3] juga sangat diharapkan untuk dapat memberikan pemahaman dalam studi hadis yang relatifnya lebih tepat, apresiatif dan akomodatif terhadap perubahan masyarakat (Social Change) dan perkembangan zaman.[4]
Sederhananya, setiap teks yang disampaikan oleh al-Qur’an dan hadis selalu memiliki sejarah lahirnya teks tersebut. Sehingga ada beberapa kalangan yang menganggap bahwa dalam proses kerjanya ilmu tawarikh al-mutun serupa dengan kerja ilmu asbabun nuzul  dalam kajian al-Qur’an dan Ilmu asbabul wurud dalam kajian teks hadis.

Definisi Tawarikh al-Mutun
Tawarikh al-mutun merupakan disiplin ilmu yang membahas tentang sejarah matan-matan hadis nabi Muhammad Saw. Al-Mutun adalah jamak dari al-Matan. Pengertian al-Matan sendiri dalam kerangka etimologi adalah punggung jalan atau tanah yang keras dan tinggi.[5] Menurut al-Thiby seperti yang dinukil oleh Musfir al-Damini, adalah :
الفاظ الحديث التي تتقوم بها المعانى  
“Kata-kata hadis yang dengannya terbentuk akan makna-makna”[6]
Ibnu Atsir Jazari (w.606H) mengatakan bahwa setiap matan hadis tersusun atas elemen lafal (teks) dan elemen makna (konsep).[7] Dengan demikian komposisi ungkapan matan hadis pada hakikatnya adalah pencerminan konsep idea yang intinya dirumuskan berbentuk teks. Teks matan juga disebut dengan Nash al-hadis atau Nash al-Riwayah.[8] Dalam pengertian lain matan dalam Ilmu hadis adalah ma yantahiya ilaihi as-sanad min al-kalam (tidak bersifat komentar dan bukan tambah-tambahan penjelasan).[9] 
Ilmu ini seimbang dengan ilmu tawarikhil nuzul yang sering dipakai dalam istilah ilmu al Qur’an, dalam definisinya menurut M. Hasbi ash-Shiddieqy dikatakan:
علم تاريخ المتون هو علم يعرف به تاريخ ورود الحديث الشريف
“Ilmu Tawarikh al-mutun adalah ilmu yang mana dengan dia bisa diketahui akan sejarah datangnya hadis nabi yang mulia (nabi menyabdakan hadisnya)”[10]
Dalam konteks ilmu tawarikh al-Mutun sebenarnya perlu juga dikembangkan teori kategori hadis-hadis makkiyah dan madaniyah, sebagaimana dengan kajian ulumul qur’an. Sebab boleh jadi masing-masing redaksional memiliki kekhususan redaksi maupun isi kandungan. Hal ini akan membantu mencari mana hadis yang nasakh dan mansukh. Disamping itu, pengetahuan haidts makkiyah dan madaniyah juga akan memberikan informasi tentang bagaimana evolusi perkembangan syariat Islam.[11]
Sedangkan asbabul wurud[12] yang memiliki kedekatan dengan ilmu tawarikh al-mutun secara etimologi-nya merupakan susunan idhafah (baca: kata majemuk) yang berasal dari kata asbab dan al-wurud. Kata asbab adalah bentuk jamak dari sabab yang berarti segala sesuatu yang dapat menghubungkan kepada sesuatu yang lain atau penyebab yang lain. Sedangkan kata wurud merupakan bentuk isim masdar (kata benda abstrak) dari warada, yaridu, wurudan yang berarti datang atau sampai. Dengan demikian, secara sederhana dapat diartikan bahwa asbabul wurud adalah sebab-sebab datangnya sesuatu atau sebab-sebab (latar belakang) munculnya suatu hadis.
Imam as-Suyuthi mendefinisikannya:
أنه ما يكون طريقا لتحديد المراد من الحديث من عموم أو خصوص أو إطلاق أو تقييد أو نسخ أو نحو ذلك
“Sesuatu yang menjadi thariq (methode) untuk menentukan maksud suatu hadis yang bersifat umum atau khusus, mutlak atau muqayyad dan untuk menentukan ada tidaknya nasakh (pembatalan) dalam suatu hadit”
Said Agil Husin Munawar menyebutkan definisi yang dilontarkan oleh Imam as-Suyuthi kurang tepat karena lebih mengacu kepada fungsi asbab al-wurud itu sendiri  yaitu untuk menentukan takhsis (pengkhususan) dari yang ‘am (umum), membatasi yang mutlak serta menentukan ada tidaknya nasakh dan mansukh dalam hadis. [13] Beliau lebih mengacu kepada definisi Hasbi ash-Shiddieqy tentang asbab al-wurud sebagai berikut:
علم يعرف به أسباب ورود الحديث ومناسباته
“Ilmu yang menerangkan sebab datangnya hadis dan munasabah-munasabahnya (menerangkan akan situasi, suasana dan masa-masa nabi ketika menyabdakan hadisnya)”[14]
   
Obyek Tawarikh al-Mutun
Untuk menetapkan poin-poin yang menjadi obyek dari disiplin ilmu tawarikh al-mutun, kita dapat menengok pengertian dari tawarikh al-mutun itu sendiri. Definisi tersebut di atas menetapkan hikayat sejarah satu teks matan hadis serta matan itu sendiri sebagai obyek atau sasaran kajian. Titik perbedaannya dengan asbabul wurud adalah jika tawarikh al-mutun lebih dekat kepada dominasi konteks sejarahnya, kapan dan dimana lahirnya sebuah hadis akan tetapi jika asbabul wurud lebih berkonsentrasi pada motif atau latar belakang yang mendorong lahirnya sebuah hadis dan biasanya dalam tawarikh al-mutun bisa diketahui dari dalam matan sebuah hadis itu sendiri.[15] Seperti hadis dari  Abu Hamamah al-Banili;

سمعت رسول الله ص م يقول فى خطبة عام حجة الوداع : لا تنفيق إمرأة شيئا من بيت زوجها إلا بإذن زوجها قيل : يا رسول الله : ولا طعام ؟ قال : ذالك أفضل أموالنا

“Saya mendengar Rasulullah Saw, mengatakan dalam khutbahnya pada tahun haji wada’: janganlah seorang wanita menafkahkan sesuatu dari harta suaminya melainkan dengan seizin suaminya. Seorang berkata: Ya Rasulullah, walaupun makanan? Nabi menjawab: itu, seutama-utama harta kita” ( HR. Turmudzi dan Ibnu Majah)

Hadis ini dengan jelas dan tegas menerangkan sejarah akan adanya hadis dan menunjukkan bahwasanya historis atau tarikh (sejarah) sebagai salah satu metodologi untuk memahami hadis.[16] yaitu pada saat nabi menyabdakan hadisnya ketika beliau sedang khutbah haji wada’ yang dilakukan pada tahun 10 hijriyah.

Metodologi Tawarikh al-Mutun
Salah satu pertanyaan yang sangat substantif dalam kajian tarik al-mutun adalah tentang kapan pertama kali Nabi mengeluarkan sebuah hadis. Para ulama sendiri berbeda pendapat mengenai kapan permulaan terjadinya hadis. Sebagian ulama berpendapat, hadis Nabi mulai terjadi pada masa kenabian (al-nubuwwah). Sifat-sifat luhur pribadi Nabi yang tampak sebelum masa kenabian diposisikan sebagai sebuah anutan atau teladan. Adapun aktivitas Nabi sebelum masa kenabian dan tidak dicontohkan lagi pada masa kenabian, misalnya kegiatan menyepi (al-tahannus) di Gua Hira, tidak dijadikan sebagai anutan. Sebagian ulama lagi menyatakan, hadis Nabi telah terjadi sebelum dan dalam masa kenabian.[17]
Ibnu Taymiyah mengatakan apa yang termuat dalam kitab-kitab hadis berkenaan dengan diri Rasulullah maka itu adalah berita tentang diri Nabi yang khususnya terjadi pada masa kenabian. Sehingga pernyataan Ibnu Taymiyah tersebut memberikan sinyal bahwa apa yang disebut dengan hadis nabi adalah berita tentang nabi yang terjadi pada masa kenabian.
Menurut Abdul Mustaqim pendekatan secara historis (tarikh) adalah suatu upaya untuk memahami hadis dengan cara mempertimbangkan kondisi historis-empiris pada saat hadis itu disampaikan nabi Muhammad Saw. Dengan kata kata lain pendekatan ini merupakan metode pendekatan yang dilakukan dengan cara mengkaitkan antara ide atau gagasan yang terdapat dalam hadis dengan determinasi-determinasi sosial dan situasi historis kultural yang mengitarinya. Pendekatan secara historis ini menekankan pada pertanyaan mengapa nabi bersabda demikian? Bagaimana kondisi historis sosio-kultural masyarakat dan bahkan politik pada saat itu?, dll.[18]
Dalam kajian tawarikh al-mutun, terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengetahui sejarah kemunculan sebuah teks hadis. Pertama, pendataan teks-teks hadis shahih atau matan-matan hadis yang benar-benar bersumber dari Nabi. Kedua, penelitian sejarah, dalam hal ini selalu bersinggungan dengan disiplin asbabul wurud sebuah hadis. Hal ini disebabkan oleh keterkaitan antara unsur-unsur yang memiliki andil dalam kelahiran sebuah matan hadis, seperti latar belakang, waktu, tempat, serta sahabat yang menerima matan tersebut. Lebih lanjut, sejarah lahirnya sebuah teks atau matan hadis dapat ditempuh dengan jalan-jalan berikut :
1.      Dengan terdapat perkataan:
اوَل ما كان كذا
“Permulaan yang terjadi adalah begini”

Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah yaitu:                  
أوَل ما بدئ به رسول الله ص م من الوحي الرؤيا الصالح
“Permulaan wahyu, yang dengan wahyu itu dimulaikannya kepada Rasulullah Saw, adalah mimpi yang benar” (HR. Bukhari-Muslim)

Dan seperti hadis:
أوَل ما نهنى ربَى بعد عبادة الأوثان شرب الخمر وملاحات الرجال
“Permulaan yang dilarang aku daripadanya oleh Tuhanku sesudah dilarang menyembah berhala, ialah: meminum arak dan mempermainkan orang lelaki”
(HR. Ibnu Majah)
2.      Dengan disebut lafadh “Qablu” seperti hadis yang diriwayatkan oleh Jabir yaitu:
كان رسول الله ص م نهى ان نستدبر القبلة او نستقبلها بفروجنا إذا إهرقنا الماء ثم رإيته قبل عام عن وفاته يستبلها
“Rasullullah melarang kami untuk membelakangi kiblat atau menghadapnya dengan kemaluan-kemaluan kami saat buang air. Kemudian aku melihat nabi , setahun sebelum beliau wafat, beliau menghadap kiblat ketika buang air” (HR. Ahmad)
3.      Dengan perkataan “ba’du” seperti hadis diriwayatkan oleh Bukhari;
إنَ جريرا رأى النَبىَ ص م يمسح على الخفَ فقيل له : أقبل نزول المائدة أم بعدها فقال : ما أسلمت إلا بعد نزول المائدة
“Sesungguhnya Jarir telah melihat Nabi Muhammad Saw mengusap atas Khuffnya. Maka seseorang bertanya : Apakah sebelum turun surat al Maidah ataukah sesudahnya? Maka Jarir menjawab: aku tiada memeluk agama Islam melainkan sesudah turun surah al Maidah” (HR. Bukhari)
4.      Dengan perkataan “akhirul amraini” seperti dalam hadis Jabir bin Abdullah :
كان اخر الأمرين من رسول الله ص م ترك الوضوء ممَا مسَت النَار
“Menjadikan dua hal yang terakhir dari urusan Rasulullah adalah tidak berwudhu karena memakan daging yang disentuh api” (HR. Abu Daud)
5.      Dengan adanya kalimat “bi syahrin” seperti hadis Abdullah bin Ukaeini:
اتانا كتاب رسول الله ص م قبل موته شهرين أن لا تنتفعوا من الميتة بإهاب ولا غصب
“Telah datang kepada kami kitab Rasulullah dua bulan sebelum wafatnya, yaitu : Janganlah kamu mengambil manfa’at dari bangkai, baik kulitnya maupun uratnya” (HR. Abu Daud, Nasa’I, At Turmudzi dan Ibnu Majah).

Imam Sirajuddin Abu Hafash Umar bin Salar al Bulqani dalam kitabnya Mahasinul Istilah mengatakan: diantara sebagian para ulama menjadikan pembahasan ini sebagai suatu ilmu dari ilmu-ilmu hadis yang dikaitkan dengan hubungannya terhadap Nasakh dan Mansukh.[19]



Urgensi Tawarikh al-Mutun
Tawarikh al-mutun mempunyai peranan penting dalam rangka memahami suatu hadis. Sebab biasanya hadis disampaikan oleh nabi Muhammad Saw bersifat kasuistik, kultural bahkan temporal. Oleh karenanya, memperhatikan konteks historisitas sebuah matan hadis sangatlah penting, karena paling tidak akan dapat menghindarkan kesalahpahaman dalam menangkap maksud suatu hadist dan tidak terjebak pada teksnya saja sementara konteksnya kita abaikan. Pemahaman hadis yang mengabaikan peranan tawarikh mutun dan asbabul wurud akan cenderung bersifat kaku, literalis-skriptualis, bahkan terkadang kurang akomodatif terhadap perkembangan zaman. Adapun urgensi dan signifikansi tawarikh al-mutun dan asbabul wurud, antara lain: [20]  
1.      Sebagai pisau analisis dalam menentukan hadis bersifat umum atau khusus, mutlak atau muqayad.
2.      Mengetahui  secara detail kapan dan dimana sebuah matan hadis dikeluarkan oleh nabi Muhammad Saw
3.      Berperan penting dalam studi nasakh dan mansukh hadis
4.      Menjamin otensitas hadis[21] dengan melihat latar belakang sejarah kemunculan matan.
5.      Memperkaya Khazanah keilmuan Islam, khususnya dalam kajian hadis nabi Muhammad Saw
6.      Mengetahui cara-cara menyelesaikan problem hadis maqbul [22] yang saling berlawanan
7.      Agar terhindar dari kesalahpahaman (misunderstanding) dalam menangkap maksud suatu hadis.[23]
8.      Sebagai wasilah (alat) dalam memahami hadis.

Aplikasi Tawarikh al-Mutun
Sebagai bentuk aplikasi tawarikh al-mutun ada beberapa hadis yang telah diketahui akan historisnya dan penulis akan mencoba untuk berinterpretasi hadis dibawah ini:
Contoh :
عن ابن عباس قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لا تقدموا الشهر بصيام يوم ولا يومين
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau berkata: Rasulullah Saw bersabda : janganlah kamu sekalian mendahului Ramadhan dengan melakukan puasa sehari atau dua hari” (HR. Abu Dawud dan al-Baihaqi)
Asbabul Wurud:
Diriwayatkan oleh Ibnu Najjar dalam kitab tarikh-nya dari Ibnu Abbas:
قال رسول الله ص م : صوموا لرؤية الهلال وافطروا لرؤيته فإن غم عليكم فعدوا ثلاثين. قلنا : يا رسول الله أولا نتقدم قبله بيوم أو بيومين فغضب وقال : "لا"
“Berpuasalah kamu sekalian karena melihat hilal dan berbukalah kamu sekalian karean melihat hilal. Apabila kamu sekalian tertutup oleh mendung, sehingga kalian tidak dapat melihat hilal, maka hitunglah tiga puluh hari (artinya menggenapkan bulan Sya’ban itu sampai tiga puluh hari), kami waktu itu bertanya : apakah tidak sebaiknya kita mendahului puasa sehari atau dua hari sebelumnya ya Rasulullah. Mendengar pertanyaan itu beliau langsung marah dan menjawab: “Tidak””
‘Ilat dari hadis diatas adalah dalam permasalahan penentuan Ramadhan dengan menggunakan metode rukyat atau hisab? Sebagian ulama mentafsiri makna rukyat adalah melihat hilal secara kasat mata atau sesuai dengan pemahaman yang dipahami secara tekstual. Atau dalam penentuan ramadhan yang dimaksud oleh hadis adalah menggunakan metode hisab atau rukyah bil ilmi (melihat hilal dengan ilmu pengetahua) sebagai interpretasi khasanah keilmuan hadis yang modern, kontemporer dan bisa dikatakan sebagai rekonstruksi baru akan pemahaman sebuah hadist yang telah di kontekstualisasi dalam pemaknaan dan pemahaman.
Dalam hal ini, penulis melihat bahwa hadis tersebut harus diinterpretasi dalam hal pemaknaan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman sekarang yang ditinjau secara historis munculnya hadis atau sebab adanya hadis itu. Sebenarnya jika ditinjau secara historisnya pada zaman sebelum atau pas nabi Muhammad masih hidup bangsa Arab sudah mengenal dengan apa yang namanya ilmu falak karena dalam kebiasaan bangsa Arab senantiasa menggunakan fenomena alam untuk menentukan waktu ibadah, terjadinya musim panas, dingin, semi dan rontok serta bagaimana mereka memanfaatkan fenomena alam untuk dijadikan patokan mereka dalam menentukan arah dalam perjalanan mereka ketika melakukan perdagangan. Bahkan Ahmad Amin menyatakan dalam bukunya Fajrul Islam bahwa pada zaman sebelum nabi Muhammad ada (lahir) peradaban keilmuan bangsa Arab sudah sangatlah maju dibuktikan dengan catatan sejarah jika tanah Arab merupakan pusat perdagangan dari berbagai penjuru dunia bahkan sampai sekarang. Maka tidak dinafikkan jika ada sebagian ulama yang mentafsiri rukyah dalam hadis tersebut adalah melihat dengan ilmu pengetahuan sebagai interpretasi dan kontekstualisasi pemahaman hadis yang disesuaikan dengan khasanah keilmuan pada masa sekarang.
Oleh karena itu, hemat penulis pentafsiran nash atau matan hadis tersebut harus dirubah dalam pemaknaanya dengan menggabungkan makna rukyah traditionalis dan makna rukyah modernis karena bagaimanpaun antara kedua metode itu tidak bisa dipisah-pisahkan dan tidak bisa berdiri sendiri (keduanya saling melengkapi dan menyempurnakan). Rukyah modernis lahir dari rukyah traditionalis.

Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Tawarikh al-Mutun dan asbabul wurud merupakan konteks historitas yang melatarbelakangi munculnya suatu hadis.
2.      Memiliki peranan yang signifikan dalam memahami maksud hadis secara lebih baik dan tidak kaku
3.      Menentukan ada tidaknya ‘am dan khas, nasakh-mansukh dalam hadis serta menjelaskan hadis yang musykil..     
DAFTAR PUSTAKA


Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: AMZAH, 2009)

Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ani al-hadis, (Yogyakarta : Idea Press, 2008)

Abdul  Mustaqim, Paradigma Integrasi-Interkoneksi Dalam Memahami Hadis, (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008

AlFatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2010)

Arnold W. Green, Sociology  An Analysis Of Live In Modern Society, (New York: Toroto, 1960)

Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis,(Yogyakarta: Teras, 2004)

Ibnu al-Atsir, al-Nihayah Fi Gharib al-Hadis wa al-Atsar, (Mesir: Isa al-Bab, 1963)

Ibnu Mandzur, Lisan al- Arab, (Beirut: Dar Lisan al-Arab,tt)

Jalaludin as-Suyuti, al-Luma’ Fi Asbabil Hadis, (Beirut: Dar al-Fikr)

Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, (Jakarta: Penerbit Hikmah PT Mizan, 2009)

M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok  Ilmu Dirayah Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1958)

Musfir al-Damini, Maqayis Naqd Mutun al-Sunnah, (Riyadh : Jami’ah Ibnu Sa’ud, 1984)

Said Agil Husin Munawwar, Asbabul Wurud, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001)

Shalahuddin al-Idlibi, Manhaj Naqd al-Matan, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1983)

Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995)

Thahir al-Jawabi, Juhud al-Muhadditsin Fi Naqdi Matni al-Hadis al-Nabawiy al-Syarif, (Tunisia: Muassasah ‘Abd Karim, 1986)

Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (editor), Metodologi Penelitian Agama; Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991)        






[1]   Said Agil Husin Munawwar, Asbabul Wurud, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 23
[2] Thahir al-Jawabi, Juhud al-Muhadditsin Fi Naqdi Matni al-Hadis al-Nabawiy al-Syarif, (Tunisia: Muassasah ‘Abd Karim, 1986), hlm. 6
[3] Yang dimaksud dengan pendekatan historis adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara mengkaitkan antara ide atau gagasan yang terdapat dalam hadis dengan determinasi-determinasi social dan situasi dan situasi historis cultural yang mengitarinya. Pendekatan secara sosiologi adalah pendekatan yang dilakukan dengan menyoroti  atau menimbang dari sudut posisi manusia yang membawanya kepada perilaku itu. Sosiologi didefinisikan sebagai; “The Sythesizing and generalizing science of man in all his social relationships. The focus of attention upon social relationship make sociology a distincitive field”. (Arnold W. Green, Sociology  An Analysis Of Live In Modern Society, (New York: Toroto, 1960), hlm. 1-5. Sedangkan pendekatan antropologi adalah pendekatan dengan memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku itu pada tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan masyarakat manusia. (Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (editor), Metodologi Penelitian Agama; Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hlm. 1.
[4]  Said Agil Husin Munawwar, Asbabul Wurud, hlm. 28
[5]  Ibnu Mandzur, Lisan al- Arab, (Beirut: Dar Lisan al-Arab,tt), hlm. 434-435
[6]  Musfir al-Damini, Maqayis Naqd Mutun al-Sunnah, (Riyadh : Jami’ah Ibnu Sa’ud, 1984), hlm. 50
[7]  Ibnu al-Atsir, al-Nihayah Fi Gharib al-Hadis wa al-Atsar, (Mesir: Isa al-Bab, 1963), V.1, hlm. 4 
[8] Shalahuddin al-Idlibi, Manhaj Naqd al-Matan, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1983), hlm.30
[9] AlFatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 36
[10] M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok  Ilmu Dirayah Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1958), hlm. 302
[11] Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ani al-hadis, (Yogyakarta : Idea Press, 2008), hlm. 16
[12] Imam Suyuthi dalam kitabnya al Luma’ Fi Asbab al Hadis dan Asbab Wurud Hadis mengatakan bahwasanya sebab munculnya hadis terbagi menjadi dua macam, yaitu: Pertama, disebabkan turunnya ayat al qur’an dan Kedua, disebabkan adanya hadis yang musykil yang perlu adanya jawaban atau keterangan dari Rosulullah. Ketiga, sebab yang berupa sesuatu yang berkaitan dengan para pendengar dikalangan sahabat. (Lihat: Jalaludin as-Suyuti, al-Luma’ Fi Asbabil Hadis, (Beirut: Dar al-Fikr), hlm. 11-17)
[13] Said Agil Husin Munawwar, Asbabul Wurud, hlm. 7.
[14] M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok  Ilmu Dirayah Hadis, hlm. 296
[15] Abdul Mustaqim menyebutkan model pendekatan hadis secara historis sudah dirintis oleh para ulama hadis yaitu dengan munculnya ilmu Asbab al-Wurud, yaitu, suatu ilmu yang menerangkan sebab-sebab mengapa nabi Muhammad Saw menuturkan sabdanya dan waktu munturkannya. (Lihat: Abdul  Mustaqim, Paradigma Integrasi-Interkoneksi Dalam Memahami Hadis, (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm. 7
[16] Guna memahami dan menganalisa hadis perlu adanya konteks historitas hadis sebagai mata pisau analisis baik berupa peristiwa, pertanyaan atau lainnya yang terjadi pada saat hadis itu disampaikan oleh nabi Muhammad Saw. Hasjim Abbas mengatakan dalam penelitian kritik matan hadis ada beberapa model matan yang perlu diketahui antara lain: (a) Sabda penuturan Nabi (Hadis Qauli), termasuk pernyataan yang mengulas kejadian atau peristiwa dan penceritaan tentang historitas nabi maupun norma syari’ah yang diberlakukan sebelum periode nubuwwah.  (b) surat-surat yang dibuat atas perintah Nabi dan selanjutnya dikirim kepada petugas di daerah atau kepada pihak-pihak diluar Islam, termasuk juga fakta perjanjian yang melibatkan nabi. (c) Firman Allah selain al Qur’an yang disampaikan kepada dengan bahasa tutur nabi (Hadis Qudsi). (d) Pemberitaan yang terkait dengan al Qur’an seperti interpretasi nabi atas ayat-ayat tertentu (tafsir nabawiy) atau asbab an-nuzul. (e) Perbuatan atau tindakan yang dilakukan nabi dan diriwayatkan kembali oleh sahabat (hadis Fi’li/hadis ‘amali). (f) Sifat dan hal ihwal pribadi nabi (hadis khalqi). (g) perilaku dan kebiasaan nabi dalam tata kehidupan sehari-hari (hadis Khuluqiyah), serta pengalaman dalam dinamika perjalanan kepemimpinan atau kemanusiaan nabi (sirah nabawiyah). (h) sesuatu yang direncanakan dan ancaman yang ditujukan kepada orang lain atau kelompok walaupun tidak terlaksanakan (hadis hammi). (i) perbuatan atau sikap terbuka sahabat dimana nabi mengetahuinya dan beliau bersikap membiarkan tanpa menegur atau melarangnya (hadis taqriry). (j) riwayat hidup sahabat karean data hubungan khusus dengan nabi (hadis manaqiby). (k) prediksi atau ramalan keadaan yang kelak terjadi seperti hadis tentang prediksi fitnah dan gejala datangnya hari kiamat. (l) kejadian dan kebijakan sahabat sepeninggal nabi yang berpotensi sebagai penjabaran ajaran nabi atau berkait dengan eksistensi kesumberan ajaran Islam dan pelestarian sunnah nabawiyah. (Lihat : Said Agil Husin Munawwar, Asbabul Wurud, hlm. 9, Hasjim Abbas, Kritk Matan Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2004), hlm. 15)        
[17] Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 28
[18] Abdul  Mustaqim, Paradigma Integrasi-Interkoneksi Dalam Memahami Hadis, hlm. 7-8.
[19] M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok  Ilmu Dirayah Hadis, hlm. 302-304
[20] Menurut Imam Suyuthi urgensi dan signifikasi asbabul wurud adalah sebagai berikut: (a) menentukan adanya takhshish hadis yang bersifat umum. (b) membatasi pengertian hadis yang masih mutlak. (c) mentafshil (memerinci) hadis yang bersifat global. (d) menentukan ada atau tidak adanya nasakh-mansukh dalam hadis. (e) menjelaskan ‘illat (sebab-sebab) ditetapkannya suatu hukum. (f) menjelaskan maksud suatu hadis yang masih musykil (sulit dipahami). (Lihat: Said Agil Husin Munawwar, Asbabul Wurud, hlm. 13)
[21] Metode Nashiruddin Al Bani dalam menentukan autentisitas dan kepalsuan hadis tertentu, terutama berdasarkan pada analisis isnad dengan menggunakan informasi yang terdapat dalam kamus-kamus biografi. (Lihat: Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, (Jakarta: Penerbit Hikmah PT Mizan, 2009), hlm. 74)
[22] Dalam bahasa kata maqbul artinya diterima. Hadis dapat diterima sebagai hujjah dalam Islam jika sudah memenuhi beberapa kriteria persyaratan baik yang menyangkut sanad dan matan. Adapaun dalam istilahnya hadis maqbul adalah hadis yang unggul pembenaran pemberitaannya. Keunggulan pembenaran berita ada proses awal adanya dua dugaan antara benar dan salah. Karena adanya bukti-bukti yang memperkuat atau mendukung adanya dugaan yang benar maka hadis bisa disebut sebagai hadis yang maqbul (diterima). (Lihat: Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: AMZAH, 2009), hlm. 148-149)
[23] Said Agil Husin Munawwar, Asbabul Wurud, hlm. 6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar