Mengawali dan Mengakhiri Puasa Ramadhan dengan Ru’yat
Hilal
dalam Perspektif Al-Qur”an (Kajian Q.S. Al Baqarah :
185)
Dosen : Dr. KH. Sya’roni , M.H.I
Oleh : Abdulloh Hasan,S.Pd.I
A. PENDAHULUAN
Al Qur’an merupakan kalamulloh yang
mengandung butiran hikmah dan pengetahuan yang tiada batasnya untuk kehidupan
manusia, baik dalam tatanan ‘ubudiyah, social kemasyarakatan, budaya,
pengetahuan, sains dan dalam mengatur norma dan tatanan hidup manusia. Kompleksitas
Al Qur’an dalam memberikan tuntunan tersebut tidak akan terungkap dengan
seksama kecuali dengan menggunakan pengetahuan khusus untuk memahaminya.
Sehingga mucullah berbagai macam tafsir terkait membedah dan mengkaji lebih
mendalam akan keagungan Al Quran. Muncullah Tafsir Jalalain, karya Syekh
Jalaludin Muhammad bin Ahmad Mahalli dan Syekh Jalaludin Abdurrohman bin Abi
Bakar As Suyuti, Tafsir Ibnu Katsir Abul Fuda’ Isma’il bin Umar Ibn
Katsir Al Qusyi Al Dimasyqi dan masih banyak lagi tafsir lainnya Tafsir Al
Manar, Tafsir Maraghi, Tafsir Munir, Tafsir Tahtawi. Kemunculan kitab-kitab
tafsir tersebut dalam rangka untuk memberikan interpretasi terhadap ayat- ayat
Al Qur’an yang merupakan sebuah mu’jizat bagi yang memahaminya.
Pembahasan yang dikaji dalam Al
Qur’an meliputi Akidah, hukum syari’ah, sejarah, ibadah, sains dan tekhnologi
serta masih banyak lagi kandungan di dalamnya. Diantara pembahasan tersebut
adalah masalah ibadah yang erat dengan rukun Islam yaitu syahadat, sholat,
puasa, dan haji. Banyak sekali ayat Al Qur’an yang menerangkan tentang ibadah
tersebut, baik secara dhahir hukumnya maupun memerlukan sebuah kajian
tersendiri dalam mengungkap tafsir sebuah ayat dalam Al Qur’an.
Dewasa sekarang ini problematika
‘ubudiyah yang sangat urgen dan menjadi perbincangan yang hangat di Indonesia
adalah terkait pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan sebagai konsekuensi salah satu
dari rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam mukallaf. Yang menjadi
perdebatan dalam permasalahan ini adalah terkait masalah waktu mengawali dan
mengakhiri puasa. Karena puasa ini wajib dilaksanakan pada bulan ramadhan yang
merupakan salah satu dari bulan Qomariah yang dalam penentuannya menggunakan
periode revolusi bulan terhadap bumi, maka sangatlah memerlukan kajian
tersendiri. Terkait dengan ayat Al Qur’an yang berkenaan dengan hal tersebut,
hanya secara implisit memerintahkan kepada umat islam untuk melakukan kajian
lebih mendalam tentang awal waktu Ramadhan tersebut.
Oleh karena itu, dalam makalah ini
akan mencoba mengkaji tentang upaya mengawali dan mengakhiri Puasa Ramadhan
dalam perspektif Al Qur’an sebagai wujud interpretasi terhadap Q.S Al Baqarah
ayat 185. Sebagai salah satu ayat yang dijadikan sebagai dasar dalam mengawali
puasa Ramadhan, banyak terjadi kesimpang siuran terhadap penentuan awal
ramadhan dengan berbagai macam sudut pandangnya.
B. PEMBAHASAN
Perintah
berpuasa telah dituangkan Alloh dalam QS. Al Baqarah ayat 183 dan pada ayat 184
yang didalamnya memuat lafadz "أيّاما
مــعـدو دات “ apabila dikaji dalam makna memiliki arti “ Pada
hari-hari yang telah ditentukan “. Hari-hari yang ditentukan dalam petikan
ayat tersebut adalah bulan Ramadhan yang telah ditunjukkan Alloh SWT dalam ayat
berikutnya yaitu dalam QS. Al Baqarah ayat 185 :
شَهْرُ رَمَضَانَ
الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى
وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى
سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا
يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ
عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (١٨٥)
“Beberapa hari yang ditentukan itu ialah)
bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur.”
1.
Dalam
Kajian Lughah dan Tafsir
{ شَهْرُ
رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَ انُ }
"(Beberapa
hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan, (permulaan) al-Qur'an", maksudnya adalah bahwa pelaksanaan puasa yang diwajibkan
adalah puasa Ramadhan yaitu bulan yang agung, bulan di mana di dalamnya terapat
kemuliaan yang besar dari Allah Ta’ala, yaitu diturunkannya Al-Qur'anul Karim
yang mengandung petunjuk bagi kemaslahatan manusia, baik untuk agama maupun
dunia, dan sebagai penjelas kebenaran dengan sejelas-jelasnya, sebagai pembeda
antara yang benar dan yang batil, petunjuk dan kesesatan, orang-orang yang
bahagia dan orang-orang yang sengsara,[1]
maka patutlah keutamaan ini ditujukan bagi bulan tersebut, dengan menjadikan
bulan ini sebagai suatu musim bagi hamba yang diwajibkan padanya berpuasa.
Disisi
lain kalimat pembuka dari ayat tersebut adalah lafadz “شهــر رمـضان ” sebagai salah satu dari nama bulan dalam
tahun Hijriyah. Lafadz tersebut juga merupakan jawaban dari ayat sebelumnya “أيّاما
مــعـدو دات “ bahwa
waktu- waktu yang tertentu tersebut (waktu diwajibkan untuk berpuasa) berada didalam
bulan Ramadhan. Hal ini mengimplikasikan bahwa dari seluruh ibadah puasa
yang ada, hanya puasa dalam bulan Romadhan yang memiliki kedudukan wajib, dan
apabila tidak dilaksanakan bagi seorang mukallaf akan mendapatkan dosa. Oleh
karena itu, dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan haruslah tepat,
sehingga dari seluruh rangkaian puasa yang dilaksanakan tidak ada yang
tertinggal dan menjadi dosa ataupun dilaksanakan sebelum waktunya.[2]
“شهــر رمـضان” merupakan mubtada’ yang khobarnya adalah
lafadz sesudahnya, atau khobar yang mubtada’nya dibuang taqdirnya. Lafadz شهــر رمـضان tersebut bisa juga merupakan badal dari
lafadz الصيام pada ayat sebelumnya dengan membuang mudhafnya yaitu dari كتب عليكم الصيام صيام شهر رمضان .[3] Ketika lafadz
tersebut dibaca nasab berarti posisinya menyimpan lafadz ”صـوموا “ atau maf’ul dari “تصوموا أن " yang di
dalamnya lemah. Ataupun merupakan badal dari “أيّاما
مــعـدو دات “. [4]
Lafadz شهر رمضان menurut Akhfasy kalimat ini menjadi rofa’ karena menafsiri lafadz أياماً . رمضان berasal dari kata الرّمض, yang berarti panas.
Dinamakan ramadlan karena membakar dosa-dosa.[5]
Imam Ath Thabari menjelaskan, “الشهر /asy syahr/
(bulan) dikatakan oleh sebagian ulama, berasal dari kata الشهرة /asy-syuhrah/
artinya dikenal banyak orang. Jika dikatakan قد شَهر فلانٌ سَيْفه /qad
syahara fulanun saifahu/ artinya ‘fulan telah mengeluarkan pedang dari
sarungnya lalu mengarahkannya kepada orang yang ingin diserang’. Jika dikatakan
يشهرُه
شهرًا /yasyharuhu syahran/ atau شَهر الشهر /syahira
syahran/ artinya hilal telah nampak. Jika dikatakan أشهرْنا نحن /asy-harna
nahnu/ artinya kita telah memasuki suatu bulan”.[6]
Yang namanya شَهر ( satu bulan), dalam perhitungan bulan
qmariah (lunar system) hanya dua kemungkinan antara 29 atau 30 hari, tidak
mungkin kurang dan juga tidaak akan lebih.[7]
Pemaknaan الذي أُنزل فيه القرآن yaitu bahwa Al Qur’an diturunkan
pada bulan itu, mengenai hal ini ada tiga pendapat, menurut Ibnu Abbas yaitu ketika alqur’an turun secara
sekaligus dari Baitul Izzah menuju langit dunia itulah yang dinamakan Lailatul
Qadar. Menurut mujahid dan Dhohak yaitu turunnya alqur’an bersamaan dengan diwajibkannya puasa. Sedangkan
menurut Ibnu Ishaq dan Abu Sulaiman Ad-Dimasyqi adalah yang dinamakan awal
diturunkannya Al Qur’an ketika ia disampaikan kepada nabi Muhammad SAW.[8] Imam Ath
Thabari membawakan riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa maksud dari ‘kami
turunkan ia (Al Qur’an) di malam lailatul qadr‘ adalah: Al Qur’an
diturunkan di malam lailatul qadar dari lauhul mahfudz ke
langit dunia.[9] Imam Ibnu Katsir memaparkan, “Allah
Ta’ala memuji bulan Ramadhan diantara bulan-bulan lainnya.” Yaitu dengan memilihnya sebagai
bulan diturunkannya Al Qur’an Al Azhim”
هُدًى لّلنَّاسِ : memberi petunjuk dari kegelapan,[10]
dibaca nashob karena menjadi hal. Ayat ini menjelaskan bahwa turunnya Al Qur’an telah memberi
petunjuk manusia kepada kebenaran.
وبينات مِّنَ الهدى وَالْفُرْقَان : kalimat ini disebutkan setelah هُدًى لّلنَّاسِ , menunjukkan bahwa
Allah menjelaskan beberapa petunjuk yang Dia berikan melalui wahyu yang telah
diberikan kepada utusannya, melalui kitab-kitab-Nya, yang disana telah
dijelaskan antara yang haq dan bathil, antara petunjuk dan kesesatan. Menurut Jalalain
lafadz الهدى yang kedua
menunjukkan hukum-hukum yang haq.[11]
Dalam ayat berikutnya Alloh SWT
berfirman فمن شهد منكم الشهر فليصمه. Para
ulama ahli tafsir dan ahli bahasa memberikan berbagai macam definisi dan maksud
yang dikandung oleh ayat tersebut. Dalam tata bahasa Arab susunan kalimat
dengan di dahului مَنْ , merupakan rangkaian kalimat yang menjadi syarta terhadap suatu
perkara yang disebutkan sesudahnya. Setelah lafadz من terdapat jumlah fi’liyah شهد منكم الشهر yang mana banyak
ahli lughah dan ahli tafsir memahami makna lafadz ini dengan cara pandang yang
berbeda. Imam At Thobari menyampaikan bahwa makna dari lafadz شهد adalah orang yang hadir dalam bulan tersebut, menyaksikannya dan
tidak dalam perjalanan.[12]
Selain itu juga beliau menyampaikan bahwa yang dimaksud hadir dan menyaksikan
disini adalah melihat hilal awal bulan.[13]
Dalam
Tafsir Jalalain dijelaskan
bahwa makna شَهِدَ /syahida/ di sini adalah حَضَرَ /hadhara/ artinya tidak sedang
bersafar.[14] Ibnu Katsir menerangkan
bahwa makna شَهِدَ adalah melihat istihlal
(munculnya hilal) di bulan itu, dan ia orang yang muqim (tidak sedang
safar) ketika memasuki bulan itu, dan badannya sehat. [15]الشَّهْرَ /asy syahra/ di sini merupakan zharf
zaman atau keterangan waktu, sehingga yang dimaksud adalah orang yang
tidak bersafar dan sehat ketika bulan Ramadhan. Lalu di sini digunakan kata
perintah فَلْيَصُمْ /falyashum/ dan kaidah
fiqhiyyah mengatakan bahwa ‘hukum asal dari perintah adalah wajib‘.
Sehingga ayat ini adalah dalil wajibnya berpuasa bagi orang yang tidak sedang
bersafar dan sehat.
Menurut
penafsiran yang lain شَهِدَ /syahida/ di sini memiliki dua
pengertian, pertama bermakna seseorang yang hadir dalam suatu daerah atau mukim
dan tidak sedang dalam perjalanan. Kedua bermakna melihat dan
menyaksikan bulan dengan akalnya dan mengetahui (memahami) telah masuknya
bulan, seperti ketika menyaksikan waktu Ashar.[16]
Selain menyaksikan hilal awal bulan dengan hadir juga dengan keyakinan serta
persaksian terhadap kemunculan hilal berdasarkan tanda– tanda serta
wasilah-wasilah yang lain berkenaan dengan masuknya awal bulan ramadhan.[17]
2.
Kajian
Pemahaman Ayat
Dari berbagai macam uraian tentang
pemaknaan dan pemahaman ayat menurut ulama ahli tafsir dalam berbagai sudut
pandangnya, yang paling utama untuk dipahami adalah ayat ini merupakan syarat
dalam pelaksanaan ibadah puasa. Syarat ini tidak bisa di abaikan begitu saja,
dikarenakan akan menjadikan kerancuan dan ketimpangan dalam masalah ibadah
kepada Alloh SWT. Banyak sekali hadist yang menerangkan kepada umat islam untuk
melaksanakan puasa setelah melihat hilal Ramadhan. Dalam Kitabus Shiyam
disampaikan kewajiban hokum melaksanakan puasa adalah ketika sudah melihat
hilal ramadhan,[18] karena hal ini sesuai
dengan hadist Nabi Muhammad SAW :
لا
تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه فإن غم عليكم فاقدروا له
“ Janganlah kamu sekalian berpuasa sehingga kamu
sekalian melihat hilal dan janganlah berbuka sehingga melihatnya, maka jika terhalang
olehmu maka tetapkanlah padanya.”
لاَ تَصُومُوا حتى تَرَوْا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حتى تَرَوْهُ
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ
“ Janganlah kamu sekalian berpuasa sehingga kamu
sekalian melihat hilal dan janganlah berbuka sehingga melihatnya, maka jika
terhalang olehmu maka sempurnakanlah bilangganya menjadi 30 hari.”
Dengan menelaah dari uraian ayat
dan hadist yang berkenaan dengan puasa, sesuai dengan ayat tersebut bahwa puasa
ramadhan hukumnya wajib dilaksanakan dengan syarat yang sudah ditentukan.
Syarat yang paling utama dalam pelaksanaannya adalah telah masuknya bulan
ramadhan. Karena tidak diperbolehkan berpuasa sehari
atau dua hari sebelum Ramadhan dengan maksud berjaga-jaga agar ketika bulan Ramadhan
telah masuk pada satu atau dua hari sementara mereka tidak mengetahuinya. Adapun kalau berpuasa sehari atau dua hari sebelum
Ramadhan karena bertepatan dengan kebiasaannya seperti puasa Senin-Kamis, puasa
Daud dan lain-lain, maka hal tersebut diperbolehkan.[19]
Dalam QS Al Baqarah ; 184 disampaikan kewajiban untuk melaksanakan puasa pada
hari-hari yang sudah ditentukan ( أيّاما
مــعـدو دات )
yaitu dijelaskan pada surat yang sama ayat 185, yang
diawali dengan “شهر“ yang bermakna bulan. Dimaksudkan bahwa hari- hari yang
diwajibkan dalam berpuasa tersebut adalah pada bulan tertentu yaitu bulan
ramadhan. Dapat dipahami dengan seksama bahwa ketepatan dalam penentuan awal
dan Akhir bulan Ramadhan sangatlah urgen terhadap pelaksanaan ibadah puasa.
Sehubungan bahwa bulan Ramadhan merupakan salah satu dari bulan Qomariyah, ini
mengindikasikan bahwa penetapan awal bulan berdasarkan system peredaran bulan
mengelilingi bumi.
Dalam sejarah penanggalan
kalender dan system penanggalan kalender Qamariah bahwa jumlah hari dalam satu
bulan adalah berkisar antara 29 dan 30 hari, yang hal ini sesuai dengan hadist
Nabi SAW :
الشَّهْرُ تِسْعٌ
وَعِشْرُونَ لاَ تَصُومُوا حتى تَرَوْا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حتى
تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ
Yang menjadi dasar bahwa dalam
penanggalan bulan Qamariyah jumlah hari berkisar antara 29 dan 30 hari[20]
begitupun juga bulan Sya’ban, Ramadhan, Syawal dan sebagainya. Menjadi
problematika yang memerlukan kajian yang mendalam tentang hokum pelaksanaan
puasa jika dilaksanakan kurang dari 29/ 30 hari ataupun dilakasanakan ketika
belum masuk awal bulan ramadhan dan mengakhiri ramadhan akan tetapi awal bulan
Syawal masih belum muncul. Rosululloh SAW berpuasa dengan jumlah hari lebih
banyak sejumlah 29 hari. Beliau hanya satu atau dua kali saja berpuasa 30 hari
sejak turunnya perintah berpuasa pada tahun kedua Hijriyah, hingga beliau wafat
pada tahun kesepuluh Hijriyah (9 kali puasa, dua diantaranya 30 hari). [21]
Semua ahli fiqih sepakat bahwa
mulai awal bulan Qomariyah adalah ketika hilal sudah tampak dan dapat
diamati dengan mata telanjang, Dalam historis penetapan awal bulan hijriyah
yang mana dalam penentuannya ditentukan dengan penetapan hilal yang sudah tampak, dapat diketahui berbagai macam
metode dalam menentukan penampakan dari hilal. Dalam hal ini, pada masa
sekarang ini muncul berbagai macam pendapat dan metode yang dimunculkan dalam
rangka untuk menentukan keakuratan dalam penentuan hilal sebagai tanda awal
bulan Qomariyah. Adapun cara-cara penentuan awal Ramadhan dan Syawal adalah [22]:
1. Rukyah (Ru’yatul Hilal, bukan Wujudul Hilal)
a. Rukyah tanpa alat
b. Rukyah dengan alat ; yaitu rukyah yang dilakukan oleh seorang
yang adil dan Rukyah yang dilakukan oleh beberapa orang yang adil.
c. Rukyah harus sesuai dengan ilmu dan Rukyah tidak harus sesuai
dengan ilmu
d. Berlaku di daerah qashar sholat, berlaku lebih dari 8 derajat,
berlaku dalam wilayah hokum, berlaku untuk seluruh dunia.
2. Hisab ( bermakna melihat dengan ilmu atau perhitungan)
a. Hisab ‘Urfi (berdasarkan sifat tahun qamariah atau system
kalender)
b. Hisab Tahqiqi (berdasarkan posisi hilal)
·
Haqiqi Taqribi (Menggunakan
table posisi dari data tradisional dengan koreksi)
·
Haqiqi Tahqiqi
(memperhitungkan ketinggian hilal, posisi pengamat dan pembiasan di Atmosfer).
3.
Kajian Penentuan Awal dan
Akhir Ramadhan
Terlihatnya hilal merupakan penetetapan awal bulan, sebagaimana dikutip
dalam hadist diatas. Pemahaman ayat tentang
فمن شهد منكم الشهر فليصمه , bahwa
lafadz الشهر diartikan sebagai bulan yaitu
bulan Ramadhan yang merupakan salah satu bulan Qomariyah yang dalam
penetapannya dengan melihat revolusi bulan mengelilingi bumi. Sedangkan fase
awal bulan mengelilingi bumi dapat diketahui dengan melihat fase awal bulan
yaitu pada fase New Moon atau bulan baru yang akan mulai terlihat pada tanggal
satu settiap bulan. Oleh karena itu penetapan awal Ramadhan adalah ketika hilal
tanggal satu sudah mulai tampak dan terlihat.
Hilal adalah bulan sabit yang pertama kali diamati dengan mata telanjang
setelah melewati masa ijtima’ atau lonungsi. Dengan tampaknya hilal dari suatu
tempat dengan pengamatan mata merupakan tanda pergantian bulan islam(di suatu
tempat).[23]Dalam
Kamus Al Munawir kata “ Hilal” sendiri memiliki banyak makna, yaitu 1) Bulan
Sabit, 2) Cap, selar pada unta, 3) Bulan yang terlihat pada awal bulan, 4) Unta
yang kurus, 5) Curah Hujan, 6) Kulit kerongsong Ular. [24]
Dalam hal ini penulis lebih cenderung memilih bahwa hilal adalah bulan
sabit/ bulan yang terlihat pada awal bulan.
Dari pengamatan hilal ini muncul berbagai macam persoalan tentang
penampakan hilal pada saat awal bulan, sehingga memunculkan berbagai macam metode
yang sudah disebutkan diatas. Penyebabnya adalah karena tidak adanya ayat Al
Qur’an yang secara tegas menggariskan cara yang wajib dipakai. Seperti halnya
dalam kutipan ayat فمن شهد منكم
الشهر فليصمه disebutkan barang siapa hadir
(terj. Bahasa Indonesia) pada bulan itu … dapat memunculkan argument bahwa
makna dari lafadz شهد sebagai persyaratan untuk
mengetahui الشهر dapat dipahami dengan berbagai
macam makna. Dalam uraian pendapat ahli tafsir diatas disebutkan bahwa makna شهد bisa memiliki makna hadir dan juga memiliki makna melihat
bulan (awal bulan : hilal). Selain itu seperti dalam ladadz syahadat أشـهـد
memiliki arti meyakini dalam hati. Hal inilah yang
mendasari bahwa pemahaman ayat tersebut memicu munculnya pemahaman ayat bahwa
dalam penentuan awal ramadhan dapat diketahui dengan metode tertentu.
Sebagian fuqaha berpendapat bahwa penentuan
awal bulan Ramadhan, Syawal dan bulan-bulan lainnya berdasarkan rukyatul hilal,
hal ini berdasarkan metode mengqiyaskan hokum bulan selain selain bulan
ramadhan dan syawal dengan hokum kedua bulan tersebut yang hukumnya berdasarkan
hadist Nabi SAW tentang rukyat dan adat kebiasaan bangsa Arab dalam penentuan
awal bulan. Fuqaha lainnya berpendapat bahwa penentuan awal bulan selain
Ramadhan dan Syawal adalah berdasarkan hisab ‘urfi atau hisab hakiki
sebagaimana diisyaratkan dalam Al Qur’an.[25] Kelompok yang muncul dari
masalah penentuan hilal ini adalah [26]:
1.
Kelompok
pertama ialah mereka yang memberikan kedudukan serta peran utama bagi rukyat
dengan mata telanjang dengan mengesampingkan sama sekali kedudukan serta peran
hisab.[27]
2.
Kelompok
kedua yang memberi kedudukan serta peran utama kepada rukyat sedang kedudukan
serta peran hisab sebagai pelengkap.[28]
3.
Kelompok
ketiga yang member kedudukan serta peran utama kepada hisab sedang kedudukan
rukyah sebagai pelengkap.[29]
4.
Kelompok
keempat memberikan kedudukan serta peran utama kepada hisab dan mengesampingkan
sama sekali rukyah bagi penetapan awal Ramadhan dan Syawal. Dasar penentuan
awal Ramadhan adalah wujudnya hilal, sebagian lain berpendapat bahwa dasar
kedua bulan tersebut adalah imkanurrukyah.[30]
Akan tetapi dalam kenyataannya, masyarakat pada
umumnya berpegang kepada hisab, karena dalam penentuan rukyah memerlukan ilmu
hisab untuk dijadikan pedoman dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan.
Perbedaan – perbedaan yang mucul dewasa ini disebabkan adanya perbedaan system
hisab.
Perhitungan awal bulan berdasarkan perhitungan
(hisab) bahwa umur bulan ganjil 30 dan umur bulan genap adalah 29 hari
merupakan perhitungan dengan menghitung umur rata-rata bulan adalah 29,5 hari.
Perhitungan ini merupakan perhitungan secara taqribi. Sedangkan penghitungan
lain penentuan awal bulan berdasarkan posisi bulan pada akhir bulan; yaitu
untuk menentukan awal bulan diperhitungkan terlebih dahulu posisi posisi
rata-rata matahari dan bulan dan kecepatannya rata-rata pada akhir bulan.
Kemudian tinggi hilal ditentukan dari segi kehalusan perhitungan. Tehnik hisab
ini disebut dengan hisab hakiki yang pada perkembangannya dapat dikategorikan
menjadi hisab hakiki taqribi, hisab haqiqi bit tahkik, hisab hakiki
kontemporer.
Pada garis besarnya, system hisab di Indonesia
ada dua macam yaitu hisab ‘urfi dan hisab haqiqi. Hisab ‘urfi adalah system
perhitungan awal Qamariyah yang didasarkan pada rata-rata peredaran bulan dan
bumi mengelilingi matahari. System ini menetapkan bahwa umur satu tahun
qamariahadalah 354 11/30 hari, sehingga satu siklus qamariah ditentukan 30
tahun. 11 kali ditentukan sebagai tahun kabisat berumur 355 hari, sedang
sisanya tahun biasa berumur 354 hari. Untuk bulan genap berumur 29 hari kecuali
bulan yang kedua belas pada tahun kabisat berumur 30 hari. [31]Hisab Hakiki adalah system
hisab yang memperhitungkan posisi hilal atau saat ijtima’. Cara
penentuan awal bulan Qamariah dengan hisab hakiki ini adalah system ijtima’
sebelum matahari terbenam, wujudul hilal di atas ufuk hakiki, wujudul hilal
diatas ufuk mar’I, dan imkanurrukyah.
Dari pemahaman akan makna dari ayat dan hadist
berkenaan perintah puasa ketika sudah masuk awal Ramadhan yang pada dasarnya
hanya kepada rukyatul hilal, memunculkan pemikiran diperlukannya alternative
lain selain rukyah dalam menentukan awal bulan Qamariyah. Bahkan ahli fiqih
memberikan kesempatan kepada ahli hisab untuk mengamalkan ilmunya dengan
pertimbangan bahwa apa yang dilakukannya tidak terlepas dari ilmu pengetahuan
yang dijadikannya rujukannya. Akan tetapi menguatnya metode hisab sebagai
penentu selain rukyah dapat menimbulkan terjadinya perbedaan dalam memulai atau
mengakhiri ibadah puasa, semisal Indonesia.[32]Pada perkembangan
selanjutnya memunculkan metode dengan melakukan pendekatan antara keduanya
yaitu imkanurrukyah yang memunculkan metode kemungkinan hilal dapat dilihat.
Misalkan apabila berdasarkan pengalaman hilal dapat dirukyah akan tetapi karena
cuaca mendung tidak dapat dilakukan pengamatan, maka metode ini dapat
dipergunakan.
Dalam menanggapi berbagai macam metode yang
dipergunakan untuk melihat hilal, Pemerintah Indonesia bekerjasama dengan
MABIMS, membuat sebuah keputusan bahwa dalam pelaksanaan hisab, berdasarkan
Garis Panduan Hisab Rukyah. Di dalam Garis Panduan tersebut memuat uraian bahwa
penyusunan taqwim Hijriyah berdasarkan pada perhitungan hisab yang berpedoman
pada tinggi bulan minimal 2 derajat untuk seluruh wilayah Negara Indonesia,
Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura dengan jarak matahari dan bulan
minimal 3 derajat serta umur bulan 8 jam setelah ijtima’.[33] Dalam buku Panduan
Tersebut disampaikan bahwa kesaksian rukyah dapat diterima sepanjang sesuai
dengan Ilmu Hisab Syar’I dan Ilmu Astronomi. Inilah metodee yang digunakan
dalam imkanurrukyah guna pendekatan dengan metode hisab dan rukyah. Dalam
penetapan awal bulan Qomariyah yang diadakan di Turki tahun 1978, dinyatakan
bahwa untuk dapat terlihatnya hilal ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu
ketinggian hilal di atas ufuk tidak kurang dari 5 derajat dan sudut pandang
antara hilal dan matahari tidak kurang dari 8 derajat.[34]
Para ahli telah berusaha merumuskan beberapa hal yang dapat mempengaruhi
imkanurrukyah untuk hilal (bulan sabit), antara lain :
a. Umur bulan sejak ijtima’ (konjungsi), hal ini mempengaruhi
ketinggian hilal pada saat matahari terbenam.
b. Beda azimuth matahari (saat terbenam) dengan azimuth bulan/
hilal. Bila jarak antara bulan/ hilal dan matahari terlalu dekat, maka warna
hilal sulit untuk dibedakan dengan warna awan yang berada di sekitar hilal
tersebut, sebab hilal tersebut tidak mengeluarkan cahaya, tetapi hanya
memantulkan cahaya matahari, jadi sama halnya dengan awan disekitarnya dan
karena pantulan awan lebih kuat, maka cahaya hilal kalah dengan cahaya yang
dipantulkan awan sehingga sulit untuk dilihat.
c. Tempat melakukan pengamatan, seperti tinggi rendahnya tempat
pelaksanaan rukyat, jarak antara tempat rukyat dengan khatulistiwa dan lain
sebagainya.
d. Peralatan yang digunakan
e. Tingkat kecerahan ufuk.
Dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang lebih akurat menurut penulis
penetapan awal Ramadhan perlu dikorelasikan lebih lanjut antara penggunaan
metode hisab dengan pembuktian melalui rukyah. Hal ini sesuai dengan hasil
keputusan musyawarah imkanurrukyah antara pimpinan Ormas Islam dan MUI tingkat
pusat dengan Menteri Agama, pada hari Senin, 28 September 1998/ 7 Jumadil Tsani
1419 H di Jakarta yang memutuskan bahwa: 1) Penentuan Awal bulan Qomariyah
didasarkan pada Sistem Hisab Hakiki Tahkiki dan atau Rukyah. 2) Penentuan Awal
Bulan Qomariyah yang terkait dengan pelaksanaan Ibadah Mahdhah yaitu awal
Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah ditetapkan dengan mempertimbangkan hisab
hakiki tahkiki dan rukyat. 3)Kesaksian rukyat hilal dapat diterima apabila
ketinggian hilal 2 derajat dan jarak ijtima’ ke ghurub matahari minimal 8 jam.
4) Kesaksian rukyat hilal dapat diterima, apabila ketinggian hilal kurang dari
2 derajat, maka awal bulan ditentukan berdasarkan istikmal. 5) Apabila
ketinggian hilal 2 derajat atau lebih, awal bulan dapat ditetapkan.[35]
Hal ini merupakan beberapa langkah yang ditempuh oleh pemerintah dalam
rangka mempersatukan umat terkait penentuan awal dan akhir Ramadhan yang
merupakan implikasi dari QS. Al Baqarah : 185 yang menyampaikan bahwa dalam
pelaksanaan puasa, haruslah terpenuhi syarat sudah masuk bulan Ramadhan yang
dapat diketahui dengan tampaknya hilal awal bulan.
C. KESIMPULAN
Pemahaman akan tafsir dari QS. Al Baqarah : 185 dapat ditarik kesimpulan
bahwa pelaksanaan puasa wajib dilaksanakan ketika sudah terpenuhi syarat yaitu
apabila seseorang telah melihat awal bulan Ramadhan dan tidak dalam perjalanan.
Dalam memenuhi syarat melihat awal bulan dapat ditentukan dengan praktik
melalui rukyah, dengan perhitungan melalui hisab ataupun dengan melalui
perhitungan dan pengamatan (imkanurrukyah).
D. DAFTAR
PUSTAKA
Abu Abdillah Muhammad
bin Muhammad bin ‘arafah Al Waraghmiy, Tafsir Thobari , Maktabah
Syamilah, Tunisia, 1986
Abul Fuda’ Isma’il bin
Umar bin Katsir Al Qurasyiy, Tafsir Ibnu Katsir,Daarut Thaibah,Maktabah
Syamilah, 1999
Ahmad Wason Munawir, kamus
Al Munawir, Presindo Persada, Surabaya, 2002
BJ Habibi, Rangkuman
Diskusi Panel Teknologi Rukyah,: Upaya mencari kesamaan pendapat, Gema
Insani, Jakarta, 1994
Departemen Agama RI, Jurnal
Hisab Rukyat, Dirjen Kelembagaan Agama Islam Dirjen Pembinaan Badan Peradilan
Agama Islam, 1999/ 2000
Dzulqarnain Bin
Muhammad Sunusi Al-Atsary, Panduan Puasa Ramadhan Di Bawah Naungan Al-Qur`an
Dan As-Sunnah, Majalah An Nasihah Vol. 07, 2008
H.M. Barmawi, Menuju
Kesatuan Hari Raya, Makalah : Hisab Kontemporer Upaya Penyatuan Kalender
Hijriyah Bahan Acuan dalam Era Globalisasi, Bina Ilmu, Surabaya, 1995
http://muslim.or.id/tafsir/tafsir-surat-al-baqarah-185.html tanggal 12 Januari 2013
Jalalain As Suyuti dan
Jalalain Al Muthy, Tafsir Jalalain Juz 1, Maktabah Syamilah
Kementerian Agama RI, Almanak
Hisab Rukyat, Direjen Bimas, 2010
Keputusan Hassil
Musyawarah Imkanurrukyah Antara Pimpinan Ormas Islam dan MUI Tingkat Pusat
dengan Menteri Agama, Senin, 28 September 1998, Jakarta
Muhammad Ali As Saisi, Tafsir
Ayat Ahkam, Maktabah ‘Asriyyah, Maktabah Syamilah, Juz 2002
Muhammad bin Idris
Syafi’i, Al Umm, Daarul Ma’rifah, Beirut, 1393, Maktabah syamilah, Juz 2
Muhammad Rusli Malik, http://tafsir-albarru.com/id/al-baqarah/273-al-baqarah-ayat-185.html 17
Januari 2013
Sayyid Qutub Ibrahim, Tafsir
fi Dzilalil Qur’an, Daarusy Syuruq, Maktabah Syamilah, Juz 1
Sriyatin Shadiq, Makalah
: Perkembangan Hisab Rukyat dan Penetapan Awal Bulan Qamariyah; Menuju Kesatuan
Hari Raya, Bina Ilmu, Surabaya, 1995
Syekh Khalid bin Usman,
Masail Fiqhiyah, Ahkamu Shiam, Maktabah Syamilah
Wahyu Widiana, Kriteria
Imkanurrukyah menurut Kerjasama Negara-Negara MABIS, Jurnal Hisab Rukyah,
Departemen Agama RI, Dirjen Bimbaga Islam, Dirjen BPA Islam, 199/ 2000
Wahyu Widiana,Makalah:
Proses pengambilan keputusan depatemen agama tentang penentuan awal dan akhir
ramadhan, Rukyah dengan tekhnologi, Gema Insani Press, 1994
[1]
Jalalain As Suyuti dan Jalalain Al Muthy, Tafsir Jalalain Juz 1, Maktabah
Syamilah, hlm 193
[2]
Dzulqarnain Bin Muhammad Sunusi Al-Atsary, Panduan Puasa Ramadhan Di Bawah
Naungan Al-Qur`an Dan As-Sunnah, Majalah An Nasihah Vol. 07, 2008. hlm 2
[3]
Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin ‘arafah Al Waraghmiy, Tafsir Thobari
, Maktabah Syamilah, Tunisia, 1986 hlm.464
[4]
Ibid hlm 464
[5]
Tafsir Ayat Ahkam, Maktabah Syamilah, Juz 1, hlm 79
[7] Muhammad Rusli Malik http://tafsir-albarru.com/id/al-baqarah/273-al-baqarah-ayat-185.html 17 Januari 2013
[9]
Abu Abdillah Muhammad bin ‘Arafah Al Warghami, Tafsir Thobari, Maktabah
Syamilah hlm.464-467
[10]
Tafsir Jalalain Juz 1, Maktabah Syamilah, hlm 193
[11]
Ibid
[12]
Tafsir Thobari hlm.464-467
[13]
ibid
[14]
Tafsir Jalalain Juz 1 hlm 38
[16]
Tafsir Miftahul Ghaib, Maktabah Syamilah, Juz 3. Hlm. 75
[17]
Tafsir fi Dzilalil Qur’an, Maktabah Syamilah, Juz 1 hlm. 172
[18]
Syekh Khalid bin Usman, Masail Fiqhiyah, Ahkamu Shiam, Maktabah Syamilah hlm.
11
[19]
Dzulkarnain Bin Muhammad Sunusi Al Atsary, Panduan Puasa di Bawah Naungan Al
AQuran dan As Sunnah, Majalah An Nasihah, Vol.07, 2008, hlm 1
[20]
Al Umm, Fiqih Syafi’i, Maktabah syamilah, juz 2 hlm 174
[21]
H.M. Barmawi, Menuju Kesatuan Hari Raya, Makalah : Hisab Kontemporer Upaya
Penyatuan Kalender Hijriyah Bahan Acuan dalam Era Globalisasi, Bina Ilmu,
Surabaya, 1995. Hlm.40
[22]
BJ Habibi, Rangkuman Diskusi Panel Teknologi Rukyah,: Upaya mencari
kesamaan pendapat, Gema Insani, Jakarta, 1994 hlm 19
[23]
Departemen Agama RI, Jurnal Hisab Rukyat, Dirjen Kelembagaan Agama Islam
Dirjen Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1999/ 2000, hlm 6
[24]
Ahmad Wason, kamus Al Munawir, p. 1616
[25]
Kementerian Agama RI, Almanak Hisab Rukyat,Direjen Bimas, 2010, hlm 34
[26]
Ibid, hlm 36
[27]
Kelompok ini termasuk fuqaha malikiyah, Hanafiyah, Hanbaliyah, dan penganut
Ibnu Hajar dari kalangan Syafi’iyah. Rukyah tersebut dapat diterima meskipun
bertentangan dengan ilmu hisab, ilmu hisab hanya dijadikan pedoman bagi dirinya
sendiri. Puasa berdasarkan hisab tidak sah. (Al Manak Hisab Rukyat, hlm
36) Lihat I’anah Thalibin 2 hlm 219.
[28]
Penganut kelompok ini adalah Imam Ramli dari kalangan Syafi’iyah.
[29]
Menurut kelompok ini rukyat dapat diterima apabila tidak bertentangan dengan
hisab, jika hilal mungkin dapat dilihat jika tidak terhalang mendung, maka hari
berikutnya merupakan awal Ramadhan atau Syawal. Lihat Qolyubi, hlm 49
[30]
Adapun criteria yang dimunculkan bahwa umur bulan 14 jam, lama hilal dapat
dilihat 42 menit, tinggi hilal 5 derajat dengan sudut sinar 8 derajat, tinggi hilal 2 derajat dan tinggi hilal 2
derajat dengan umur 8 jam. (Alamanak Hisab Rukyat RI, hlm 38).
[31]
Wahyu Widiana,Makalah: Proses pengambilan keputusan depatemen agama tentang
penentuan awal dan akhir ramadhan, Rukyah dengan tekhnologi, Gema Insani
Press, 1994, hlm 80
[32]
Wahyu Widiana, Kriteria Imkanurrukyah menurut Kerjasama Negara-Negara MABIS,
Jurnal Hisab Rukyah, Departemen Agama RI, Dirjen Bimbaga Islam, Dirjen BPA
Islam, 199/ 2000, hlm 20
[33]
Ibid, hlm 22
[34]
Sriyatin Shadiq, Makalah : Perkembangan Hisab Rukyat dan Penetapan Awal
Bulan Qamariyah; Menuju Kesatuan Hari Raya, Bina Ilmu, Surabaya, 1995.
[35]
Keputusan Hassil Musyawarah Imkanurrukyah Antara Pimpinan Ormas Islam dan MUI
Tingkat Pusat dengan Menteri Agama, Senin, 28 September 1998, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar