Senin, 26 Mei 2014

Mengawali dan Mengakhiri Puasa Ramadhan dengan Ru’yat Hilal dalam Perspektif Al-Qur”an (Kajian Q.S. Al Baqarah : 185)

Mengawali dan Mengakhiri Puasa Ramadhan dengan Ru’yat Hilal
dalam Perspektif Al-Qur”an (Kajian Q.S. Al Baqarah : 185)
Dosen : Dr. KH. Sya’roni , M.H.I
Oleh : Abdulloh Hasan,S.Pd.I

A.    PENDAHULUAN
Al Qur’an merupakan kalamulloh yang mengandung butiran hikmah dan pengetahuan yang tiada batasnya untuk kehidupan manusia, baik dalam tatanan ‘ubudiyah, social kemasyarakatan, budaya, pengetahuan, sains dan dalam mengatur norma dan tatanan hidup manusia. Kompleksitas Al Qur’an dalam memberikan tuntunan tersebut tidak akan terungkap dengan seksama kecuali dengan menggunakan pengetahuan khusus untuk memahaminya. Sehingga mucullah berbagai macam tafsir terkait membedah dan mengkaji lebih mendalam akan keagungan Al Quran. Muncullah Tafsir Jalalain, karya Syekh Jalaludin Muhammad bin Ahmad Mahalli dan Syekh Jalaludin Abdurrohman bin Abi Bakar As Suyuti, Tafsir Ibnu Katsir Abul Fuda’ Isma’il bin Umar Ibn Katsir Al Qusyi Al Dimasyqi dan masih banyak lagi tafsir lainnya Tafsir Al Manar, Tafsir Maraghi, Tafsir Munir, Tafsir Tahtawi. Kemunculan kitab-kitab tafsir tersebut dalam rangka untuk memberikan interpretasi terhadap ayat- ayat Al Qur’an yang merupakan sebuah mu’jizat bagi yang memahaminya.
Pembahasan yang dikaji dalam Al Qur’an meliputi Akidah, hukum syari’ah, sejarah, ibadah, sains dan tekhnologi serta masih banyak lagi kandungan di dalamnya. Diantara pembahasan tersebut adalah masalah ibadah yang erat dengan rukun Islam yaitu syahadat, sholat, puasa, dan haji. Banyak sekali ayat Al Qur’an yang menerangkan tentang ibadah tersebut, baik secara dhahir hukumnya maupun memerlukan sebuah kajian tersendiri dalam mengungkap tafsir sebuah ayat dalam Al Qur’an.
Dewasa sekarang ini problematika ‘ubudiyah yang sangat urgen dan menjadi perbincangan yang hangat di Indonesia adalah terkait pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan sebagai konsekuensi salah satu dari rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam mukallaf. Yang menjadi perdebatan dalam permasalahan ini adalah terkait masalah waktu mengawali dan mengakhiri puasa. Karena puasa ini wajib dilaksanakan pada bulan ramadhan yang merupakan salah satu dari bulan Qomariah yang dalam penentuannya menggunakan periode revolusi bulan terhadap bumi, maka sangatlah memerlukan kajian tersendiri. Terkait dengan ayat Al Qur’an yang berkenaan dengan hal tersebut, hanya secara implisit memerintahkan kepada umat islam untuk melakukan kajian lebih mendalam tentang awal waktu Ramadhan tersebut.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan mencoba mengkaji tentang upaya mengawali dan mengakhiri Puasa Ramadhan dalam perspektif Al Qur’an sebagai wujud interpretasi terhadap Q.S Al Baqarah ayat 185. Sebagai salah satu ayat yang dijadikan sebagai dasar dalam mengawali puasa Ramadhan, banyak terjadi kesimpang siuran terhadap penentuan awal ramadhan dengan berbagai macam sudut pandangnya.

B.     PEMBAHASAN
Perintah berpuasa telah dituangkan Alloh dalam QS. Al Baqarah ayat 183 dan pada ayat 184 yang didalamnya memuat lafadz "أيّاما مــعـدو دات   apabila dikaji dalam makna memiliki arti “ Pada hari-hari yang telah ditentukan “. Hari-hari yang ditentukan dalam petikan ayat tersebut adalah bulan Ramadhan yang telah ditunjukkan Alloh SWT dalam ayat berikutnya yaitu dalam QS. Al Baqarah ayat 185 :
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (١٨٥)

“Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”

1.      Dalam Kajian Lughah dan Tafsir
{ شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَ انُ }
"(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan, (permulaan) al-Qur'an", maksudnya adalah bahwa pelaksanaan puasa yang diwajibkan adalah puasa Ramadhan yaitu bulan yang agung, bulan di mana di dalamnya terapat kemuliaan yang besar dari Allah Ta’ala, yaitu diturunkannya Al-Qur'anul Karim yang mengandung petunjuk bagi kemaslahatan manusia, baik untuk agama maupun dunia, dan sebagai penjelas kebenaran dengan sejelas-jelasnya, sebagai pembeda antara yang benar dan yang batil, petunjuk dan kesesatan, orang-orang yang bahagia dan orang-orang yang sengsara,[1] maka patutlah keutamaan ini ditujukan bagi bulan tersebut, dengan menjadikan bulan ini sebagai suatu musim bagi hamba yang diwajibkan padanya berpuasa.
Disisi lain kalimat pembuka dari ayat tersebut adalah lafadz “شهــر رمـضان ” sebagai salah satu dari nama bulan dalam tahun Hijriyah. Lafadz tersebut juga merupakan jawaban dari ayat sebelumnya “أيّاما مــعـدو دات  “ bahwa waktu- waktu yang tertentu tersebut (waktu diwajibkan untuk berpuasa) berada didalam bulan Ramadhan. Hal ini mengimplikasikan bahwa dari seluruh ibadah puasa yang ada, hanya puasa dalam bulan Romadhan yang memiliki kedudukan wajib, dan apabila tidak dilaksanakan bagi seorang mukallaf akan mendapatkan dosa. Oleh karena itu, dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan haruslah tepat, sehingga dari seluruh rangkaian puasa yang dilaksanakan tidak ada yang tertinggal dan menjadi dosa ataupun dilaksanakan sebelum waktunya.[2]
شهــر رمـضان” merupakan mubtada’ yang khobarnya adalah lafadz sesudahnya, atau khobar yang mubtada’nya dibuang taqdirnya. Lafadz شهــر رمـضان tersebut bisa juga merupakan badal dari lafadz الصيام pada ayat sebelumnya dengan membuang mudhafnya yaitu dari كتب عليكم الصيام صيام شهر رمضان .[3] Ketika lafadz tersebut dibaca nasab berarti posisinya menyimpan lafadz ”صـوموا “ atau maf’ul dari “تصوموا أن " yang di dalamnya lemah. Ataupun merupakan badal dari “أيّاما مــعـدو دات  “. [4]
Lafadz  شهر رمضان  menurut Akhfasy kalimat ini menjadi rofa’ karena menafsiri lafadz أياماً .    رمضان  berasal dari kata الرّمض, yang berarti panas. Dinamakan ramadlan karena membakar dosa-dosa.[5] Imam Ath Thabari menjelaskan, “الشهر /asy syahr/ (bulan) dikatakan oleh sebagian ulama, berasal dari kata الشهرة /asy-syuhrah/ artinya dikenal banyak orang. Jika dikatakan قد شَهر فلانٌ سَيْفه /qad syahara fulanun saifahu/ artinya ‘fulan telah mengeluarkan pedang dari sarungnya lalu mengarahkannya kepada orang yang ingin diserang’. Jika dikatakan يشهرُه شهرًا /yasyharuhu syahran/ atau شَهر الشهر /syahira syahran/ artinya hilal telah nampak. Jika dikatakan أشهرْنا نحن /asy-harna nahnu/ artinya kita telah memasuki suatu bulan”.[6] Yang namanya شَهر ( satu bulan), dalam perhitungan bulan qmariah (lunar system) hanya dua kemungkinan antara 29 atau 30 hari, tidak mungkin kurang dan juga tidaak akan lebih.[7]
 Pemaknaan الذي أُنزل فيه القرآن  yaitu bahwa Al Qur’an diturunkan pada bulan itu, mengenai hal ini ada tiga pendapat, menurut  Ibnu Abbas yaitu ketika alqur’an turun secara sekaligus dari Baitul Izzah menuju langit dunia itulah yang dinamakan Lailatul Qadar. Menurut mujahid dan Dhohak yaitu turunnya alqur’an bersamaan dengan diwajibkannya puasa. Sedangkan menurut Ibnu Ishaq dan Abu Sulaiman Ad-Dimasyqi adalah yang dinamakan awal diturunkannya Al Qur’an ketika ia disampaikan kepada nabi Muhammad SAW.[8] Imam Ath Thabari membawakan riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa maksud dari ‘kami turunkan ia (Al Qur’an) di malam lailatul qadr‘ adalah: Al Qur’an diturunkan di malam lailatul qadar dari lauhul mahfudz ke langit dunia.[9] Imam Ibnu Katsir memaparkan, “Allah Ta’ala memuji bulan Ramadhan diantara bulan-bulan lainnya.” Yaitu dengan memilihnya sebagai bulan diturunkannya Al Qur’an Al Azhim
هُدًى لّلنَّاسِ : memberi petunjuk dari kegelapan,[10] dibaca nashob karena menjadi hal. Ayat ini menjelaskan bahwa turunnya Al Qur’an telah memberi petunjuk manusia kepada kebenaran.
وبينات مِّنَ الهدى وَالْفُرْقَان : kalimat ini disebutkan setelah هُدًى لّلنَّاسِ , menunjukkan bahwa Allah menjelaskan beberapa petunjuk yang Dia berikan melalui wahyu yang telah diberikan kepada utusannya, melalui kitab-kitab-Nya, yang disana telah dijelaskan antara yang haq dan bathil, antara petunjuk dan kesesatan. Menurut Jalalain lafadz الهدى yang kedua menunjukkan hukum-hukum yang haq.[11]
Dalam ayat berikutnya Alloh SWT berfirman  فمن شهد منكم الشهر فليصمه. Para ulama ahli tafsir dan ahli bahasa memberikan berbagai macam definisi dan maksud yang dikandung oleh ayat tersebut. Dalam tata bahasa Arab susunan kalimat dengan di dahului  مَنْ , merupakan rangkaian kalimat yang menjadi syarta terhadap suatu perkara yang disebutkan sesudahnya. Setelah lafadz من terdapat  jumlah fi’liyah شهد منكم الشهر  yang mana banyak ahli lughah dan ahli tafsir memahami makna lafadz ini dengan cara pandang yang berbeda. Imam At Thobari menyampaikan bahwa makna dari lafadz شهد adalah orang yang hadir dalam bulan tersebut, menyaksikannya dan tidak dalam perjalanan.[12] Selain itu juga beliau menyampaikan bahwa yang dimaksud hadir dan menyaksikan disini adalah melihat hilal awal bulan.[13]
Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan bahwa makna شَهِدَ /syahida/ di sini adalah حَضَرَ /hadhara/ artinya tidak sedang bersafar.[14] Ibnu Katsir menerangkan bahwa makna شَهِدَ  adalah melihat istihlal (munculnya hilal) di bulan itu, dan ia orang yang muqim (tidak sedang safar) ketika memasuki bulan itu, dan badannya sehat. [15]الشَّهْرَ /asy syahra/ di sini merupakan zharf zaman atau keterangan waktu, sehingga yang dimaksud adalah orang yang tidak bersafar dan sehat ketika bulan Ramadhan. Lalu di sini digunakan kata perintah فَلْيَصُمْ  /falyashum/ dan kaidah fiqhiyyah mengatakan bahwa ‘hukum asal dari perintah adalah wajib‘. Sehingga ayat ini adalah dalil wajibnya berpuasa bagi orang yang tidak sedang bersafar dan sehat.
Menurut penafsiran yang lain شَهِدَ /syahida/ di sini memiliki dua pengertian, pertama bermakna seseorang yang hadir dalam suatu daerah atau mukim dan tidak sedang dalam perjalanan. Kedua bermakna melihat dan menyaksikan bulan dengan akalnya dan mengetahui (memahami) telah masuknya bulan, seperti ketika menyaksikan waktu Ashar.[16] Selain menyaksikan hilal awal bulan dengan hadir juga dengan keyakinan serta persaksian terhadap kemunculan hilal berdasarkan tanda– tanda serta wasilah-wasilah yang lain berkenaan dengan masuknya awal bulan ramadhan.[17]
2.      Kajian Pemahaman Ayat
Dari berbagai macam uraian tentang pemaknaan dan pemahaman ayat menurut ulama ahli tafsir dalam berbagai sudut pandangnya, yang paling utama untuk dipahami adalah ayat ini merupakan syarat dalam pelaksanaan ibadah puasa. Syarat ini tidak bisa di abaikan begitu saja, dikarenakan akan menjadikan kerancuan dan ketimpangan dalam masalah ibadah kepada Alloh SWT. Banyak sekali hadist yang menerangkan kepada umat islam untuk melaksanakan puasa setelah melihat hilal Ramadhan. Dalam Kitabus Shiyam disampaikan kewajiban hokum melaksanakan puasa adalah ketika sudah melihat hilal ramadhan,[18] karena hal ini sesuai dengan hadist Nabi Muhammad SAW :
لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه فإن غم عليكم فاقدروا له
“ Janganlah kamu sekalian berpuasa sehingga kamu sekalian melihat hilal dan janganlah berbuka sehingga melihatnya, maka jika terhalang olehmu maka tetapkanlah padanya.”
                 لاَ تَصُومُوا حتى تَرَوْا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حتى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ
“ Janganlah kamu sekalian berpuasa sehingga kamu sekalian melihat hilal dan janganlah berbuka sehingga melihatnya, maka jika terhalang olehmu maka sempurnakanlah bilangganya menjadi 30 hari.”
Dengan menelaah dari uraian ayat dan hadist yang berkenaan dengan puasa, sesuai dengan ayat tersebut bahwa puasa ramadhan hukumnya wajib dilaksanakan dengan syarat yang sudah ditentukan. Syarat yang paling utama dalam pelaksanaannya adalah telah masuknya bulan ramadhan. Karena tidak diperbolehkan berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dengan maksud berjaga-jaga agar ketika bulan Ramadhan telah masuk pada satu atau dua hari sementara mereka tidak mengetahuinya. Adapun  kalau berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan karena bertepatan dengan kebiasaannya seperti puasa Senin-Kamis, puasa Daud dan lain-lain, maka hal tersebut diperbolehkan.[19] Dalam QS Al Baqarah ; 184 disampaikan kewajiban untuk melaksanakan puasa pada hari-hari yang sudah ditentukan (           أيّاما مــعـدو دات  ) yaitu dijelaskan pada surat yang sama ayat 185, yang diawali dengan “شهر“ yang bermakna bulan. Dimaksudkan bahwa hari- hari yang diwajibkan dalam berpuasa tersebut adalah pada bulan tertentu yaitu bulan ramadhan. Dapat dipahami dengan seksama bahwa ketepatan dalam penentuan awal dan Akhir bulan Ramadhan sangatlah urgen terhadap pelaksanaan ibadah puasa. Sehubungan bahwa bulan Ramadhan merupakan salah satu dari bulan Qomariyah, ini mengindikasikan bahwa penetapan awal bulan berdasarkan system peredaran bulan mengelilingi bumi.
                 Dalam sejarah penanggalan kalender dan system penanggalan kalender Qamariah bahwa jumlah hari dalam satu bulan adalah berkisar antara 29 dan 30 hari, yang hal ini sesuai dengan hadist Nabi SAW :
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لاَ تَصُومُوا حتى تَرَوْا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حتى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ
                 Yang menjadi dasar bahwa dalam penanggalan bulan Qamariyah jumlah hari berkisar antara 29 dan 30 hari[20] begitupun juga bulan Sya’ban, Ramadhan, Syawal dan sebagainya. Menjadi problematika yang memerlukan kajian yang mendalam tentang hokum pelaksanaan puasa jika dilaksanakan kurang dari 29/ 30 hari ataupun dilakasanakan ketika belum masuk awal bulan ramadhan dan mengakhiri ramadhan akan tetapi awal bulan Syawal masih belum muncul. Rosululloh SAW berpuasa dengan jumlah hari lebih banyak sejumlah 29 hari. Beliau hanya satu atau dua kali saja berpuasa 30 hari sejak turunnya perintah berpuasa pada tahun kedua Hijriyah, hingga beliau wafat pada tahun kesepuluh Hijriyah (9 kali puasa, dua diantaranya 30 hari). [21]
                 Semua ahli fiqih sepakat bahwa mulai awal bulan Qomariyah adalah ketika hilal sudah tampak dan dapat diamati dengan mata telanjang, Dalam historis penetapan awal bulan hijriyah yang mana dalam penentuannya ditentukan dengan penetapan hilal yang  sudah tampak, dapat diketahui berbagai macam metode dalam menentukan penampakan dari hilal. Dalam hal ini, pada masa sekarang ini muncul berbagai macam pendapat dan metode yang dimunculkan dalam rangka untuk menentukan keakuratan dalam penentuan hilal sebagai tanda awal bulan Qomariyah. Adapun cara-cara penentuan awal Ramadhan dan Syawal adalah [22]:
1.      Rukyah (Ru’yatul Hilal, bukan Wujudul Hilal)
a.       Rukyah tanpa alat
b.      Rukyah dengan alat ; yaitu rukyah yang dilakukan oleh seorang yang adil dan Rukyah yang dilakukan oleh beberapa orang yang adil.
c.       Rukyah harus sesuai dengan ilmu dan Rukyah tidak harus sesuai dengan ilmu
d.      Berlaku di daerah qashar sholat, berlaku lebih dari 8 derajat, berlaku dalam wilayah hokum, berlaku untuk seluruh dunia.
2.      Hisab ( bermakna melihat dengan ilmu atau perhitungan)
a.       Hisab ‘Urfi (berdasarkan sifat tahun qamariah atau system kalender)
b.      Hisab Tahqiqi (berdasarkan posisi hilal)
·         Haqiqi Taqribi (Menggunakan table posisi dari data tradisional dengan koreksi)
·         Haqiqi Tahqiqi (memperhitungkan ketinggian hilal, posisi pengamat dan pembiasan di Atmosfer).
3.      Kajian Penentuan Awal dan Akhir Ramadhan
Terlihatnya hilal merupakan penetetapan awal bulan, sebagaimana dikutip dalam hadist diatas. Pemahaman ayat tentang  فمن شهد منكم الشهر فليصمه , bahwa lafadz الشهر diartikan sebagai bulan yaitu bulan Ramadhan yang merupakan salah satu bulan Qomariyah yang dalam penetapannya dengan melihat revolusi bulan mengelilingi bumi. Sedangkan fase awal bulan mengelilingi bumi dapat diketahui dengan melihat fase awal bulan yaitu pada fase New Moon atau bulan baru yang akan mulai terlihat pada tanggal satu settiap bulan. Oleh karena itu penetapan awal Ramadhan adalah ketika hilal tanggal satu sudah mulai tampak dan terlihat.
Hilal adalah bulan sabit yang pertama kali diamati dengan mata telanjang setelah melewati masa ijtima’ atau lonungsi. Dengan tampaknya hilal dari suatu tempat dengan pengamatan mata merupakan tanda pergantian bulan islam(di suatu tempat).[23]Dalam Kamus Al Munawir kata “ Hilal” sendiri memiliki banyak makna, yaitu 1) Bulan Sabit, 2) Cap, selar pada unta, 3) Bulan yang terlihat pada awal bulan, 4) Unta yang kurus, 5) Curah Hujan, 6) Kulit kerongsong Ular. [24] Dalam hal ini penulis lebih cenderung memilih bahwa hilal adalah bulan sabit/ bulan yang terlihat pada awal bulan.
Dari pengamatan hilal ini muncul berbagai macam persoalan tentang penampakan hilal pada saat awal bulan, sehingga memunculkan berbagai macam metode yang sudah disebutkan diatas. Penyebabnya adalah karena tidak adanya ayat Al Qur’an yang secara tegas menggariskan cara yang wajib dipakai. Seperti halnya dalam kutipan ayat  فمن شهد منكم الشهر فليصمه disebutkan barang siapa hadir (terj. Bahasa Indonesia) pada bulan itu … dapat memunculkan argument bahwa makna dari lafadz شهد sebagai persyaratan untuk mengetahui الشهر dapat dipahami dengan berbagai macam makna. Dalam uraian pendapat ahli tafsir diatas disebutkan bahwa makna شهد bisa memiliki makna hadir dan juga memiliki makna melihat bulan (awal bulan : hilal). Selain itu seperti dalam ladadz syahadat أشـهـد  memiliki arti meyakini dalam hati. Hal inilah yang mendasari bahwa pemahaman ayat tersebut memicu munculnya pemahaman ayat bahwa dalam penentuan awal ramadhan dapat diketahui dengan metode tertentu.
Sebagian fuqaha berpendapat bahwa penentuan awal bulan Ramadhan, Syawal dan bulan-bulan lainnya berdasarkan rukyatul hilal, hal ini berdasarkan metode mengqiyaskan hokum bulan selain selain bulan ramadhan dan syawal dengan hokum kedua bulan tersebut yang hukumnya berdasarkan hadist Nabi SAW tentang rukyat dan adat kebiasaan bangsa Arab dalam penentuan awal bulan. Fuqaha lainnya berpendapat bahwa penentuan awal bulan selain Ramadhan dan Syawal adalah berdasarkan hisab ‘urfi atau hisab hakiki sebagaimana diisyaratkan dalam Al Qur’an.[25] Kelompok yang muncul dari masalah penentuan hilal ini adalah [26]:
1.      Kelompok pertama ialah mereka yang memberikan kedudukan serta peran utama bagi rukyat dengan mata telanjang dengan mengesampingkan sama sekali kedudukan serta peran hisab.[27]
2.      Kelompok kedua yang memberi kedudukan serta peran utama kepada rukyat sedang kedudukan serta peran hisab sebagai pelengkap.[28]
3.      Kelompok ketiga yang member kedudukan serta peran utama kepada hisab sedang kedudukan rukyah sebagai pelengkap.[29]
4.      Kelompok keempat memberikan kedudukan serta peran utama kepada hisab dan mengesampingkan sama sekali rukyah bagi penetapan awal Ramadhan dan Syawal. Dasar penentuan awal Ramadhan adalah wujudnya hilal, sebagian lain berpendapat bahwa dasar kedua bulan tersebut adalah imkanurrukyah.[30]
Akan tetapi dalam kenyataannya, masyarakat pada umumnya berpegang kepada hisab, karena dalam penentuan rukyah memerlukan ilmu hisab untuk dijadikan pedoman dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan. Perbedaan – perbedaan yang mucul dewasa ini disebabkan adanya perbedaan system hisab.
Perhitungan awal bulan berdasarkan perhitungan (hisab) bahwa umur bulan ganjil 30 dan umur bulan genap adalah 29 hari merupakan perhitungan dengan menghitung umur rata-rata bulan adalah 29,5 hari. Perhitungan ini merupakan perhitungan secara taqribi. Sedangkan penghitungan lain penentuan awal bulan berdasarkan posisi bulan pada akhir bulan; yaitu untuk menentukan awal bulan diperhitungkan terlebih dahulu posisi posisi rata-rata matahari dan bulan dan kecepatannya rata-rata pada akhir bulan. Kemudian tinggi hilal ditentukan dari segi kehalusan perhitungan. Tehnik hisab ini disebut dengan hisab hakiki yang pada perkembangannya dapat dikategorikan menjadi hisab hakiki taqribi, hisab haqiqi bit tahkik, hisab hakiki kontemporer.
Pada garis besarnya, system hisab di Indonesia ada dua macam yaitu hisab ‘urfi dan hisab haqiqi. Hisab ‘urfi adalah system perhitungan awal Qamariyah yang didasarkan pada rata-rata peredaran bulan dan bumi mengelilingi matahari. System ini menetapkan bahwa umur satu tahun qamariahadalah 354 11/30 hari, sehingga satu siklus qamariah ditentukan 30 tahun. 11 kali ditentukan sebagai tahun kabisat berumur 355 hari, sedang sisanya tahun biasa berumur 354 hari. Untuk bulan genap berumur 29 hari kecuali bulan yang kedua belas pada tahun kabisat berumur 30 hari. [31]Hisab Hakiki adalah system hisab yang memperhitungkan posisi hilal atau saat ijtima’. Cara penentuan awal bulan Qamariah dengan hisab hakiki ini adalah system ijtima’ sebelum matahari terbenam, wujudul hilal di atas ufuk hakiki, wujudul hilal diatas ufuk mar’I, dan imkanurrukyah.
Dari pemahaman akan makna dari ayat dan hadist berkenaan perintah puasa ketika sudah masuk awal Ramadhan yang pada dasarnya hanya kepada rukyatul hilal, memunculkan pemikiran diperlukannya alternative lain selain rukyah dalam menentukan awal bulan Qamariyah. Bahkan ahli fiqih memberikan kesempatan kepada ahli hisab untuk mengamalkan ilmunya dengan pertimbangan bahwa apa yang dilakukannya tidak terlepas dari ilmu pengetahuan yang dijadikannya rujukannya. Akan tetapi menguatnya metode hisab sebagai penentu selain rukyah dapat menimbulkan terjadinya perbedaan dalam memulai atau mengakhiri ibadah puasa, semisal Indonesia.[32]Pada perkembangan selanjutnya memunculkan metode dengan melakukan pendekatan antara keduanya yaitu imkanurrukyah yang memunculkan metode kemungkinan hilal dapat dilihat. Misalkan apabila berdasarkan pengalaman hilal dapat dirukyah akan tetapi karena cuaca mendung tidak dapat dilakukan pengamatan, maka metode ini dapat dipergunakan.
Dalam menanggapi berbagai macam metode yang dipergunakan untuk melihat hilal, Pemerintah Indonesia bekerjasama dengan MABIMS, membuat sebuah keputusan bahwa dalam pelaksanaan hisab, berdasarkan Garis Panduan Hisab Rukyah. Di dalam Garis Panduan tersebut memuat uraian bahwa penyusunan taqwim Hijriyah berdasarkan pada perhitungan hisab yang berpedoman pada tinggi bulan minimal 2 derajat untuk seluruh wilayah Negara Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura dengan jarak matahari dan bulan minimal 3 derajat serta umur bulan 8 jam setelah ijtima’.[33] Dalam buku Panduan Tersebut disampaikan bahwa kesaksian rukyah dapat diterima sepanjang sesuai dengan Ilmu Hisab Syar’I dan Ilmu Astronomi. Inilah metodee yang digunakan dalam imkanurrukyah guna pendekatan dengan metode hisab dan rukyah. Dalam penetapan awal bulan Qomariyah yang diadakan di Turki tahun 1978, dinyatakan bahwa untuk dapat terlihatnya hilal ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu ketinggian hilal di atas ufuk tidak kurang dari 5 derajat dan sudut pandang antara hilal dan matahari tidak kurang dari 8 derajat.[34]
Para ahli telah berusaha merumuskan beberapa hal yang dapat mempengaruhi imkanurrukyah untuk hilal (bulan sabit), antara lain :
a.       Umur bulan sejak ijtima’ (konjungsi), hal ini mempengaruhi ketinggian hilal pada saat matahari terbenam.
b.      Beda azimuth matahari (saat terbenam) dengan azimuth bulan/ hilal. Bila jarak antara bulan/ hilal dan matahari terlalu dekat, maka warna hilal sulit untuk dibedakan dengan warna awan yang berada di sekitar hilal tersebut, sebab hilal tersebut tidak mengeluarkan cahaya, tetapi hanya memantulkan cahaya matahari, jadi sama halnya dengan awan disekitarnya dan karena pantulan awan lebih kuat, maka cahaya hilal kalah dengan cahaya yang dipantulkan awan sehingga sulit untuk dilihat.
c.       Tempat melakukan pengamatan, seperti tinggi rendahnya tempat pelaksanaan rukyat, jarak antara tempat rukyat dengan khatulistiwa dan lain sebagainya.
d.      Peralatan yang digunakan
e.       Tingkat kecerahan ufuk.
Dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang lebih akurat menurut penulis penetapan awal Ramadhan perlu dikorelasikan lebih lanjut antara penggunaan metode hisab dengan pembuktian melalui rukyah. Hal ini sesuai dengan hasil keputusan musyawarah imkanurrukyah antara pimpinan Ormas Islam dan MUI tingkat pusat dengan Menteri Agama, pada hari Senin, 28 September 1998/ 7 Jumadil Tsani 1419 H di Jakarta yang memutuskan bahwa: 1) Penentuan Awal bulan Qomariyah didasarkan pada Sistem Hisab Hakiki Tahkiki dan atau Rukyah. 2) Penentuan Awal Bulan Qomariyah yang terkait dengan pelaksanaan Ibadah Mahdhah yaitu awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah ditetapkan dengan mempertimbangkan hisab hakiki tahkiki dan rukyat. 3)Kesaksian rukyat hilal dapat diterima apabila ketinggian hilal 2 derajat dan jarak ijtima’ ke ghurub matahari minimal 8 jam. 4) Kesaksian rukyat hilal dapat diterima, apabila ketinggian hilal kurang dari 2 derajat, maka awal bulan ditentukan berdasarkan istikmal. 5) Apabila ketinggian hilal 2 derajat atau lebih, awal bulan dapat ditetapkan.[35]
Hal ini merupakan beberapa langkah yang ditempuh oleh pemerintah dalam rangka mempersatukan umat terkait penentuan awal dan akhir Ramadhan yang merupakan implikasi dari QS. Al Baqarah : 185 yang menyampaikan bahwa dalam pelaksanaan puasa, haruslah terpenuhi syarat sudah masuk bulan Ramadhan yang dapat diketahui dengan tampaknya hilal awal bulan.

C.    KESIMPULAN
Pemahaman akan tafsir dari QS. Al Baqarah : 185 dapat ditarik kesimpulan bahwa pelaksanaan puasa wajib dilaksanakan ketika sudah terpenuhi syarat yaitu apabila seseorang telah melihat awal bulan Ramadhan dan tidak dalam perjalanan. Dalam memenuhi syarat melihat awal bulan dapat ditentukan dengan praktik melalui rukyah, dengan perhitungan melalui hisab ataupun dengan melalui perhitungan dan pengamatan (imkanurrukyah).







D.    DAFTAR PUSTAKA
Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin ‘arafah Al Waraghmiy, Tafsir Thobari , Maktabah Syamilah, Tunisia, 1986
Abul Fuda’ Isma’il bin Umar bin Katsir Al Qurasyiy, Tafsir Ibnu Katsir,Daarut Thaibah,Maktabah Syamilah, 1999
Ahmad Wason Munawir, kamus Al Munawir, Presindo Persada, Surabaya, 2002
BJ Habibi, Rangkuman Diskusi Panel Teknologi Rukyah,: Upaya mencari kesamaan pendapat, Gema Insani, Jakarta, 1994
Departemen Agama RI, Jurnal Hisab Rukyat, Dirjen Kelembagaan Agama Islam Dirjen Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1999/ 2000
Dzulqarnain Bin Muhammad Sunusi Al-Atsary, Panduan Puasa Ramadhan Di Bawah Naungan Al-Qur`an Dan As-Sunnah, Majalah An Nasihah Vol. 07, 2008
H.M. Barmawi, Menuju Kesatuan Hari Raya, Makalah : Hisab Kontemporer Upaya Penyatuan Kalender Hijriyah Bahan Acuan dalam Era Globalisasi, Bina Ilmu, Surabaya, 1995
Jalalain As Suyuti dan Jalalain Al Muthy, Tafsir Jalalain Juz 1, Maktabah Syamilah
Kementerian Agama RI, Almanak Hisab Rukyat, Direjen Bimas, 2010
Keputusan Hassil Musyawarah Imkanurrukyah Antara Pimpinan Ormas Islam dan MUI Tingkat Pusat dengan Menteri Agama, Senin, 28 September 1998, Jakarta
Muhammad Ali As Saisi, Tafsir Ayat Ahkam, Maktabah ‘Asriyyah, Maktabah Syamilah, Juz 2002
Muhammad bin Idris Syafi’i, Al Umm, Daarul Ma’rifah, Beirut, 1393, Maktabah syamilah, Juz 2
Sayyid Qutub Ibrahim, Tafsir fi Dzilalil Qur’an, Daarusy Syuruq, Maktabah Syamilah, Juz 1
Sriyatin Shadiq, Makalah : Perkembangan Hisab Rukyat dan Penetapan Awal Bulan Qamariyah; Menuju Kesatuan Hari Raya, Bina Ilmu, Surabaya, 1995
Syekh Khalid bin Usman, Masail Fiqhiyah, Ahkamu Shiam, Maktabah Syamilah
Wahyu Widiana, Kriteria Imkanurrukyah menurut Kerjasama Negara-Negara MABIS, Jurnal Hisab Rukyah, Departemen Agama RI, Dirjen Bimbaga Islam, Dirjen BPA Islam, 199/ 2000
Wahyu Widiana,Makalah: Proses pengambilan keputusan depatemen agama tentang penentuan awal dan akhir ramadhan, Rukyah dengan tekhnologi, Gema Insani Press, 1994




[1] Jalalain As Suyuti dan Jalalain Al Muthy, Tafsir Jalalain Juz 1, Maktabah Syamilah, hlm 193
[2] Dzulqarnain Bin Muhammad Sunusi Al-Atsary, Panduan Puasa Ramadhan Di Bawah Naungan Al-Qur`an Dan As-Sunnah, Majalah An Nasihah Vol. 07, 2008. hlm 2
[3] Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin ‘arafah Al Waraghmiy, Tafsir Thobari , Maktabah Syamilah, Tunisia, 1986 hlm.464
[4] Ibid hlm 464
[5] Tafsir Ayat Ahkam, Maktabah Syamilah, Juz 1, hlm 79
[8] Maktabah Syamilah, Zad Al-muyassir : 180
[9] Abu Abdillah Muhammad bin ‘Arafah Al Warghami, Tafsir Thobari, Maktabah Syamilah hlm.464-467
[10] Tafsir Jalalain Juz 1, Maktabah Syamilah, hlm 193
[11] Ibid
[12] Tafsir Thobari hlm.464-467
[13] ibid
[14] Tafsir Jalalain Juz 1 hlm 38
[15] Tafsir Ibni Katsir, 1/503. Lihat juga Tafsir Maraghi, hal. 74 juz 2  
[16] Tafsir Miftahul Ghaib, Maktabah Syamilah, Juz 3. Hlm. 75
[17] Tafsir fi Dzilalil Qur’an, Maktabah Syamilah, Juz 1 hlm. 172
[18] Syekh Khalid bin Usman, Masail Fiqhiyah, Ahkamu Shiam, Maktabah Syamilah hlm. 11
[19] Dzulkarnain Bin Muhammad Sunusi Al Atsary, Panduan Puasa di Bawah Naungan Al AQuran dan As Sunnah, Majalah An Nasihah, Vol.07, 2008, hlm 1
[20] Al Umm, Fiqih Syafi’i, Maktabah syamilah, juz 2 hlm 174
[21] H.M. Barmawi, Menuju Kesatuan Hari Raya, Makalah : Hisab Kontemporer Upaya Penyatuan Kalender Hijriyah Bahan Acuan dalam Era Globalisasi, Bina Ilmu, Surabaya, 1995. Hlm.40
[22] BJ Habibi, Rangkuman Diskusi Panel Teknologi Rukyah,: Upaya mencari kesamaan pendapat, Gema Insani, Jakarta, 1994 hlm 19
[23] Departemen Agama RI, Jurnal Hisab Rukyat, Dirjen Kelembagaan Agama Islam Dirjen Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1999/ 2000, hlm 6
[24] Ahmad Wason, kamus Al Munawir, p. 1616
[25] Kementerian Agama RI, Almanak Hisab Rukyat,Direjen Bimas, 2010, hlm 34
[26] Ibid, hlm 36
[27] Kelompok ini termasuk fuqaha malikiyah, Hanafiyah, Hanbaliyah, dan penganut Ibnu Hajar dari kalangan Syafi’iyah. Rukyah tersebut dapat diterima meskipun bertentangan dengan ilmu hisab, ilmu hisab hanya dijadikan pedoman bagi dirinya sendiri. Puasa berdasarkan hisab tidak sah. (Al Manak Hisab Rukyat, hlm 36) Lihat I’anah Thalibin 2 hlm 219.
[28] Penganut kelompok ini adalah Imam Ramli dari kalangan Syafi’iyah.
[29] Menurut kelompok ini rukyat dapat diterima apabila tidak bertentangan dengan hisab, jika hilal mungkin dapat dilihat jika tidak terhalang mendung, maka hari berikutnya merupakan awal Ramadhan atau Syawal. Lihat Qolyubi, hlm 49
[30] Adapun criteria yang dimunculkan bahwa umur bulan 14 jam, lama hilal dapat dilihat 42 menit, tinggi hilal 5 derajat dengan sudut sinar 8 derajat,  tinggi hilal 2 derajat dan tinggi hilal 2 derajat dengan umur 8 jam. (Alamanak Hisab Rukyat RI, hlm 38).
[31] Wahyu Widiana,Makalah: Proses pengambilan keputusan depatemen agama tentang penentuan awal dan akhir ramadhan, Rukyah dengan tekhnologi, Gema Insani Press, 1994, hlm 80
[32] Wahyu Widiana, Kriteria Imkanurrukyah menurut Kerjasama Negara-Negara MABIS, Jurnal Hisab Rukyah, Departemen Agama RI, Dirjen Bimbaga Islam, Dirjen BPA Islam, 199/ 2000, hlm 20
[33] Ibid, hlm 22
[34] Sriyatin Shadiq, Makalah : Perkembangan Hisab Rukyat dan Penetapan Awal Bulan Qamariyah; Menuju Kesatuan Hari Raya, Bina Ilmu, Surabaya, 1995.
[35] Keputusan Hassil Musyawarah Imkanurrukyah Antara Pimpinan Ormas Islam dan MUI Tingkat Pusat dengan Menteri Agama, Senin, 28 September 1998, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar