Senin, 26 Mei 2014

Gerhana

A.    Pendahuluan
Fungsi petunjuk ilahiyah baik dari Al Qur’an maupun As-Sunnah berlaku bagi konstruksi ilmu pengetahuan dengan member petunjuk tentang prinsip-prinsip ilmu alam atau sains yang selalu dikaitkan dengan pengetahuan metafisik dan spiritual. Artinya dalam epistemologi Islam, wahyu dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi bagi bangunan ilmu pengetahuan. Jelas ini bertentangan dengan sains modern yang pada awal kelahirannya dengan terang-terangan memproklamasikan perlawanan terhadap doktrin gereja, dan wahyu tidak mendapat dalam bangunan sains[1].

B.     Pembahasan
1.      Gerhana menurut bahasa
Gerhana, dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah “Eclipse” dan dalam bahasa Arab dikenal dengan “Khusuf”. Pada dasarnya istilah كسوف dan خسوف dapat dipergunakan untuk menyebut gerhana matahari maupun gerhana bulan. Hanya saja, kata “كسوف” lebih dikenal untuk menyebut gerhana matahari, sedangkan kata “خسوف” untuk gerhana bulan.
            Kusuf berarti “menutupi”. Ini menggambarkan adanya fenomena alam bahwa (dilihat dari bumi) bulan menutupi matahari, sehingga terjadi gerhana matahari. Sedangkan khusuf berarti “memasuki” menggambarkan adanya fenomena alam bahwa bulan memasuki bayangan bumi, sehingga terjadi gerhana bulan.
            Semakna dengan keterangan di atas Wahbah Zuhaili mendefinisikan gerhana matahari dan gerhana bulan sebagai berikut:
الكُسُوْفُ هُوَ ذِهَابُ ضَوْءِ الشَّمْسِ اَوْ بعضِه فى النَّهَارِ لِحَيْلُوْلَةِ ظُلمَةِ الْقَمَرِ بَيْنَ الشّمْسِ وَاْلأَرْضِ (اجتماع النيّرَيْنِ)
والخُسُوْفُ هُوَ ذِهَابُ ضَوْءِ القَمَرِ اَوْ بَعْضِه لَيْلًا لِحَيْلُولَةِ ظِلِّ الأرْضِ بَينَ الشمْسِ والقمرِ (مقابلة النيّرَينِ)[2]

2.      Gerhana secara astronomi
a)      Gerhana Matahari
Peristiwa gerhana secara umum adalah peristiwa jatuhnya bayangan sebuah benda langit ke benda langit lain, akibat tertutupnya sebagian cahaya Matahari kearah benda langit tersebut. Pada kasus gerhana matahari, bayangan Bulan jatuh kepermukaan Bumi dan Bulan menutupi sebagian atau seluruh cahaya Matahari yang kearah Bumi. (Sebagian atau seluruh di sini bergantung jenis gerhana mataharinya). Gerhana matahari akan terjadi hanya pada saat ijtima’ atau konjungsi (sekitar tanggal 29 atau 30 bulan qomariyah) yaitu ketika bulan dan matahari berada di salah satu titik simpul atau di dekatnya Karena bulan lebih kecil daripada bumi sehingga kerucut bayang-bayang inti bulan tidak dapat menutupi seluruh permukaan bumi yang saat itu menghadap matahari. Oleh karenanya ketika terjadi gerhana matahari hanya daerah-daerah yang dilewati oleh kerucut bayangan inti bulan yang dapat menyaksikannya,
b)      Gerhana Bulan
Sedangkan pada peristiwa gerhana bulan, bayangan Bumi akan jatuh ke permukaan Bulan,  dan sebagian atau seluruh cahaya Matahari ke arah Bulan akan di halangi oleh Bumi. Akibatnya kita akan melihat cahaya Bulan menjadi lebih redup. Gerhana bulan hanya terjadi saat matahari dan bulan beroposisi, sehingga gerhana bulan akan terjadi pada saat bulan purnama (full moon)
            Gerhana menjadi fenomena menarik diamati dari Bumi, karena suatu kebetulan yang menakjubkan: ukuran Matahari kira-kira 400 kali lebih besar dari ukuran Bulan, dan jarak Matahari-Bumi juga kira-kira 400 kali lebih jauh dari jarak Bumi-Bulan. Akibatnya: piringan Bulan dan piringan Matahari di langit (dilihat dari Bumi) kurang lebih sama besar. Namun karena orbit Bulan mengelilingi Matahari berbentuk elips, maka ukuran piringan Bulan yang teramati dari Bumi mengalami sedikit variasi.
            Demikian pula halnya dengan orbit Bumi mengelilingi Matahari yang juga berbentuk elips, menyebabkan ukuran piringan Matahari pun sedikit bervariasi. Variasi-variasi inilah (di samping beberapa hal lainnya) yang menyebabkan penampakan gerhana menjadi berbeda-beda[3]
           
            Untuk lebih jelasnya, peristiwa gerhana dapat dilihat pada visualisasi gambar di bawah ini.
                       






Gambar gerhana matahari.
Description: G:\gerhana-bulan.jpg









Gambar gerhana bulan
c)      Gerhana dalam mitos

            CHINA, Kebudayaan kuno China meyakini bahwa gerhana bulan terjadi karena seekor naga raksasa murka dan memangsa bulan. Fenomena ini mereka sebut ” CHIH ” yang artinya memangsa. Untuk mengusir naga, mereka membuat keributan dengan cara membunyikan petasan agar sang naga pergi. Hingga kini, meski sudah tidak diyakini lagi, guna melestarikan kebudayaan, pembunyian petasan
masih saja dilakukan saat gerhana terjadi
JEPANG, Orang Jepang Jadul menganggap bahwa saat terjadi gerhana para dewa menebarkan racun hitam pekat ke dunia, karena itu mereka selanjutnya berbondong-bondong menutupi sumur-sumur mereka dengan benda apa saja hingga gerhanabulan berakhir
PRANCIS, Diceritakan bahwa Raja Louis akhirnya meninggal dalam histeria dan ketakutan yang amat sangat menyadari suatu malam dunia begitu gelap tanpa bulan pada tahun 840. Menurutnya setan sebentar lagi turun ke dunia.
            JAMAICA, Suatu kali Colombus terdampar di Jamaica karena kerusakan kapal yang cukup parah sehingga membutuhkan perbaikan yang akan memakan waktu lama. Untuk
memenuhi kebutuhan makan minum, Colombus menggunakan ilmu pengetahuannya tentang gerhana untuk membohongi penduduk pribumi. Diakatakan bahwa para dewa akan marah jika para pribumi tidak memberi para awak kapal makan minum selama proses perbaikan kapal. Semula penduduk tak percaya, namun ketika bulan benar-benar lenyap total, mereka menjadi ketakutan dan esok harinya mulai secara sukarela melayani colombus dkk dalam hal makan minum
            JAWA -INDONESIA, mungkin kita sudah banyak yang tahu bahwa penduduk jawa dahulu saat gerhana tiba berbondong-bondong menyembunyikan balita mereka di dalam tempayan, kolong tempat tidur dan tempat aman lain demi menghindarkan bocah-bocah itu dari shang Batara Kala, raksasa dalam cerita pewayangan. Sementara
itu kaum laki-laki beranjak memukul kentongan beramai ramai untuk mengusir sang kala sesegera mungkin.
d)     Gerhana perspektif Agama
Penulis fokuskan kajian ini dalam study hadis. Dalam ilmu hadis (diroyah), muhaddisin awalnya menetapkan kitab-kitab induk berjumlah 5 buah, yaitu: shahih bukhary, shahih muslim, sunan abi daud, sunan an-nasa’iy, dan sunan at-tirmidzy. Kelima kitab tersebut mereka namai ushulul khamsah atau alkutubul khamsah, kemudian muhaddisin mutaakhkhirin memasukkan satu lagi kitab hadis, sunan ibnu majah, sehingga kotab induk hadis terkenal dengan alkutubus sittah.
Diantara kitab di atas, ulama’ menetapkan bahwa kitab shahih bukhory merupakan kitab yang paling shahih setelah Al-Qur’an. Demikian pendapat yang masyhur dan berkembang dalam dunia islam.[4]
- حدثنا مسدَّدٌ قال حدّثنا يَحْيى عَنْ إسماعيلَ قالَ حدّثنى قيسٌ عنْ أبى مَسعودٍ قال قالَ رسولُ اللهِ صلّى اللهُ عليه وسلّمَ "الشمسُ والقمرُ لا يَنكسِفانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ ولا لِحياتِه ولكنّهُما آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللهِ فاذَا رَأيتُمُوهُمَا فَصَلُّوْا"(رواه البخاري)[5]
-إنَّ الشَّمْسَ وَالقمرَ  آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أحدٍ ولَا لِحَيَاتِهِ فإِذَا رَأَيتُمُوهُمَا فَافْزَعُوا إلَى الصَّلَاةِ (رواه البخاريُّ)
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan) Allah ‘Azza wa Jalla, tiadalah terjadinya gerhana matahari dan bulan itu karena matinya seseorang dan juga bukan karena kelahiran seseorang, maka apabila kamu melihatnya, segeralah kamu melaksanakan sholat”. (H.R. Bukhori)
Sebab wurud kedua hadis ini adalah ketika wafatnya Sayyid Ibrahim, putra Nabi Muhammad SAW, secara kebetulan pada saat itu terjadi gerhana matahari.Kemudian terjadilah perbincangan di masyarakat yang menghubungkan terjadinya gerhana tersebut karena wafatnya putra Nabi. Tetapi Allah melalui otoritas Rasulullah menepis pemahaman tersebut dengan hadis di atas[6].
Terjadinya gerhana tidak terkait dengan ketentuan buruk ataupun ketentuan baik seseorang, fenomena alam ini berdasarkan kehendak Allah, untuk memperlihatkan kekuasaan Allah pada makhluk-Nya, apakah dengan terjadinya gerhana mereka mengingatakan kebesaran Allah atau meyakini mitos yang dibuat-buat oleh mereka sendiri atau hanya menganggap fenomena alam biasa.
Oleh Karena itu agama member petunjuk kepada kita, bahwa tidak ada kejadian sekecil apapun  di alam semesta ini melainkan atas kehendak Allah. Dan ketika terjadi gerhana supaya segera mendekatkan diri kepada-Nya dengan bertasbih, dan melaksanakan ibadah. Diantara ibadah tersebut seperti melaksanakan sholat gerhana sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah melalui hadisnya yang berbunyi: 
حدّثنا عبدُ الله بنُ محمدٍ قال حدّثنا هشامٌ أخبرنا معمرٌ عن الزهري  وهشامٍ بن عروةَ عن عروةَ عن عائشةَ رضى الله عنها قالت " كسَفَتِ الشمسُ على عهدِ رسولِ اللهِ فقامَ النبيُ صلى اللهُ عليهِ وسلَّمَ فصلّى بالناسِ فأطالَ القراءةَ ثمَّ ركعَ فأطالَ الرُّكوعَ ثمّ رفعَ رأسَه فأطالَ القراءةَ وهِيَ دونَ قراءةِ الأًولى ثمّ ركعَ فأطالَ الرّكوعَ دونَ ركوعِه الأوّلِ ثم رفعَ رأسَه فسجدَ سَجْدَتَينِ ثمّ قامَ فصنعَ فى الرَّكعةِ الثانيةِ مثلَ ذلك ثمّ قامَ فقالَ "إنَّ الشّمسَ والقمرَ لا يَسْجُدَانِ لِمَوْتِ أحدٍ ولا لِحَيَاتِه ولكنّهُما آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللهِ  يُرِيْهِما عبادَه فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذلكَ فافْزَعُوْا إلَى الصَّلَاةِ"
            Hadis di atas menjelaskan tata cara pelaksanaan sholat gerhana, yaitu: melaksanakan sholat gerhana dengan 2 raka’at, pada setiap raka’at terdapat dua kali ruku’, dan melaksanakan khutbah setelah salam.[7]

C.    Kesimpulan
Dari kacamata antropologi, setiap masyarakat memiliki budaya dan adat istiadat yang berbeda-beda yang bersumber dari etika local dan mitos, ini banyak ditemukan khususnya pada masyarakat tradisional. Peristiwa tertentu acapkali dihubungkan pada dimensi metafisika, sehingga astrologi merupakan ilmu tertua dalam sejarah peradaban manusia.
Dalam astronomi, dijelaskan bahwa bidang ellips lintasan bumi dengan bidang ekliptika membentuk sudut 0̊ karena bidang ini berimpit. Sedangkan bidang lintasan bulan dan bidang ekliptika tidak berimpit, melainkan membentuk sudut sebesar 5̊ 8’, maka tidak setiap ijtima’ akan terjadi gerhana matahari, begitu pula tidak setiap istiqbal akan terjadi gerhana bulan.[8]
Peristiwa alam seperti: gerhana, silih bergantinya musim, terjadinya hujan, arah hembusan angin di laut, adanya siang dan malam dan lain sebagainya adalah sunnatullah (عادة الله فى العالم), tidak ada kaitannya dengan keberuntungan ataupun nasib malang yang menimpa seseorang sebagaimana hadis shohih yang termaktub dalam shohih bukhory di atas yang menolak terjadinya gerhana karena kematian sayyid Ibrahim bin rasulillah
Jika hakekat gerhana dijelaskan ketika sains sudah hampir mencapai titik sempurna seperti saat ini, tidaklah menakjubkan bagi banyak orang, tetapi Allah telah menyingkap tabir gerhana ini jauh sebelumnya, ketika kehidupan tehnologi dan sains masih tertatih-tatih yaitu ketika fenomena langit dipahami dan diartikan sebatas mitos-mitos belaka (astrologi). Subhanallah ini berarti Allah dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah jauh sebelumnya memberikan spirit kemajuan peradaban bagi mereka yang mau menggali pesan-pesan ilahiyah pada masa-masa akan datang.






















DAFTAR PUSTAKA
Al’Asqalany, Ahmad bin ‘Ali bin Hajar, Fathul Bari Juz II, , Beirut: .darul .fikr
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2009
Khazin, Muhyiddin, Ilmu falak dalam teori dan praktik, Yogyakarta, Buana Pustaka, 2011.
Purwanto, Agus, Ayat-ayat semesta, sisi sisi Al Qur’an yang terlupakan, Bandung, Mizan, 2011.
Zuhaily, Wahbah, Al Fiqhul Islamy wa Adillatuhu Juz II, (Dimasyqy: DarulFikr)







                                                                                           





















Gerhana
(kajian dalam studi astronomi dan hadis)



Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Studi Al-Qur’an danHadis
Program PascaSarjana Magister Hukum Islam KonsentrasiIlmuFalakUniversitasSunanGiri Surabaya
Dosen:Dr. H. MohmmadSya’roni, M.Ag
Oleh    : ShohabilMahalli, S.Pd.I
Description: E:\Logo\Logo Unsuri.jpg



Program Pasca Sarjana Magister Hukum Islam
Konsentrasi IlmuFalakUniversitas Sunan Giri Surabaya
2013















[1]AgusPurwanto, ayat- ayatsemesta, (Bandung, Mizan,2011), hlm. 193
[2]Wahbah Zuhaily Al Fiqhul Islamy wa AdillatuhuJuz II, , (Dimasyqy: DarulFikr) thn. 2007 hlm. 1421
[4] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009),  hlm. 71-72
[5]Ahmad bin ‘Ali bin HajarAl’Asqalany, Fathul Bari Juz II, (Beirut: Darul Fikr, tth), hlm. 545.
[6]Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Al’Asqalany, Fathul Bari Juz II, (Beirut: .darul fikr, tth), hlm. 547
[7]Wahbah Zuhaily, Al Fiqhul Islamy wa Adillatuhu, Juz II, (Dimasyqy: Darul Fikr, 2007) hlm. 1425
[8] Muhyiddin khazin, Ilmu falak dalam teori dan praktik, (Yogyakarta: Buana Pustaka, 2011), hlm. 187-188. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar