KONSEP AL-AYYAM
PERSPEKTIF AL-QUR’AN
(Tafsir
Tematik Ayat-Ayat Astronomis Tentang Hari)
Oleh: Badrun Tamam
A. Pendahuluan
Al-Quran
Al-Karim, yang terdiri atas 6.236 ayat itu,[1]
menguraikan berbagai persoalan hidup dan kehidupan, antara lain menyangkut alam
raya dan fenomenanya. Uraian-uraian sekitar persoalan tersebut sering disebut
ayat-ayat kawniyyah. Tidak kurang dari 750 ayat yang secara tegas menguraikan
hal-hal di atas.[2]
Jumlah ini tidak termasuk ayat-ayat yang menyinggungnya secara tersirat.[3]
Seperti dikemukakan di atas bahwa Al-Quran berbicara
tentang alam dan fenomenanya.
Salah
satu fenomena kauniah yang sering kita temukan di dalam ayat-ayat Alquran ialah
konsep hari (yaum, al-ayyam). Kata “hari” dan “yaum” pun sering
kita temukan dan bahkan tidak pernah kita berpisah dengan hari. Hal ini karena
kita melakukan aktifitas apapun senantiasa berada dalam suatu waktu yang sering
kita sebut dengan hari atau “yaum”. Dengan ini kajian tentang yaum
dinilai sangat urgen. Untuk itu, Bagaimana konsep Alquran tentang “hari” adalah
focus kajian makalah ini. Akan tetapi focus itu penulis spesifikkan pada kajian al-ayyam,
bentuk plural dari yaum, dengan tujuan pengkajian masalah yang tidak melebar
tapi mendalam.
Kajian
ini sebenarnya merupakan studi tafsir ayat-ayat tentang hari, sehingga
pendekatan material yang digunakan ialah pendakatan astronomis, karena hari
atau yaum secara spesifik dipelajari dalam ilmu astronomi. Sedangkan
metode tafsir yang digunakan ialah cenderung ke metode tafsir tematik (mawdlu’iy).[4]
Kata kunci pelacakan ayat tentang hari yang penulis gunakan
ialah kata “yaum”, “yaumaini” dan “ayyam”. Hasil pelacakan
menunjukkan bahwa ayat yang terdapat kata “yaum” sebanyak 377 ayat, yang
terdapat kata yaumaini sebanyak 3 ayat, sedangkan yang terdapat kata ayyam
sebanyak 23 ayat. Berdasarkan focus permasalahan, ayat-ayat yang kami tampilkan
adalah yang hanya menyebutkan kata al-ayyam. Akan tetapi, mengingat al-ayyam
adalah bentuk plural dari yaum, kami sajikan sebagai pijakan analisis
awal gambaran secara global tentang penunjukan makna lafadz yaum
tersebut.
kata يَوْمٌ (pluralnya أَيَّام)dalam
Al-Qur’an ternyata menyatakan waktu yang beraneka ragam, yaitu; masa yang abadi
dan tidak terhingga panjangnya (Al-Fatihah (1): 3) atau 50.000 tahun
(Al-Ma`arij (70): 4), atau 1000 tahun (As-Sajdah (32): 5), atau satu zaman (Ali
Imran (3): 140), atau satu hari (Al-Baqarah (2): 184), atau sekejap mata (Al-Qamar
(54): 50), atau masa yang lebih singkat dari sekejap mata (An-Nahl (16): 77),
atau masa yang tidak terhingga singkatnya (Ar-Rahman (55): 29).
Kata ayyâm (أَيَّام)
adalah bentuk jamak (plural) dari kata yaum (يَوْمٌ). Kata ini di dalam Alquran disebut
sebanyak 23 kali dan tidak pernah berdiri sendiri. Berikut ayat-ayat tersebut:
البقرة
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى
لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ
الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ
الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ
وَلِتُكَبِّرُواْ اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (البقرة:185)
فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلاَ
تَحْلِقُواْ رُؤُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَن كَانَ مِنكُم
مَّرِيضاً أَوْ بِهِ أَذًى مِّن رَّأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِّن صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ
أَوْ نُسُكٍ فَإِذَا أَمِنتُمْ فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ
فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا
رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَن لَّمْ يَكُنْ أَهْلُهُ
حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاتَّقُواْ اللَّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللَّهَ
شَدِيدُ الْعِقَابِ (البقرة :196)
وَاذْكُرُواْ اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَّعْدُودَاتٍ فَمَن تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلاَ إِثْمَ
عَلَيْهِ وَمَن تَأَخَّرَ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى وَاتَّقُواْ
اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ (البقرة :203)
قَالَ رَبِّ اجْعَل لِّيَ آيَةً قَالَ آيَتُكَ أَلاَّ تُكَلِّمَ
النَّاسَ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ
إِلاَّ رَمْزًا وَاذْكُر رَّبَّكَ كَثِيرًا وَسَبِّحْ بِالْعَشِيِّ وَالإِبْكَارِ
(أل عمران:41)
لاَ يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِن
يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ الأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ
مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ
تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ
إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُواْ أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ
لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (المائدة:89)
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ
فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ
وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَالأَمْرُ تَبَارَكَ
اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ (الاعراف:54)
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ
فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
يُدَبِّرُ الأَمْرَ مَا مِن شَفِيعٍ إِلاَّ مِن بَعْدِ إِذْنِهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ
رَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ أَفَلاَ تَذَكَّرُونَ (3)
فَهَلْ يَنتَظِرُونَ إِلاَّ مِثْلَ أَيَّامِ الَّذِينَ خَلَوْاْ مِن قَبْلِهِمْ قُلْ فَانتَظِرُواْ إِنِّي
مَعَكُم مِّنَ الْمُنتَظِرِينَ (يونس:102)
وَهُوَ الَّذِي خَلَق السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاء
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَلَئِن قُلْتَ إِنَّكُم مَّبْعُوثُونَ
مِن بَعْدِ الْمَوْتِ لَيَقُولَنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ إِنْ هَذَا إِلاَّ سِحْرٌ
مُّبِينٌ (هود:7)
فَعَقَرُوهَا فَقَالَ تَمَتَّعُواْ فِي دَارِكُمْ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ ذَلِكَ وَعْدٌ غَيْرُ مَكْذُوبٍ (هود:65)
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم
مِّن بَهِيمَةِ الأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
(27)
الَّذِي خَلَقَ
السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ الرَّحْمَنُ فَاسْأَلْ بِهِ
خَبِيرًا (59)
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ
السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ مَا لَكُم مِّن دُونِهِ مِن
وَلِيٍّ وَلا شَفِيعٍ أَفَلا تَتَذَكَّرُونَ (4)
وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ
مِن فَوْقِهَا وَبَارَكَ فِيهَا وَقَدَّرَ فِيهَا أَقْوَاتَهَا فِي أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ سَوَاء لِّلسَّائِلِينَ (10)
فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ
رِيحًا صَرْصَرًا فِي أَيَّامٍ نَّحِسَاتٍ لِّنُذِيقَهُمْ عَذَابَ الْخِزْيِ فِي الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا وَلَعَذَابُ الآخِرَةِ أَخْزَى وَهُمْ لا يُنصَرُونَ (16)
قُل لِّلَّذِينَ آمَنُوا
يَغْفِرُوا لِلَّذِينَ لا يَرْجُون أَيَّامَ اللَّهِ لِيَجْزِيَ قَوْمًا بِما كَانُوا يَكْسِبُونَ (14)
وَلَقَدْ خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي
سِتَّةِ أَيَّامٍ وَمَا مَسَّنَا مِن لُّغُوبٍ (38)
هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنزِلُ مِنَ
السَّمَاء وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ وَاللَّهُ
بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (الحديد:4)
سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ حُسُومًا فَتَرَى الْقَوْمَ فِيهَا
صَرْعَى كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَةٍ (الحاقة:7)
( إِن يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ
الْقَوْمَ قَرْحٌ مِّثْلُهُ وَتِلْكَ الأيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ الَّذِينَ
آمَنُواْ وَيَتَّخِذَ مِنكُمْ شُهَدَاء وَاللَّهُ لاَ يُحِبُّ الظَّالِمِينَ (140)
كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا أَسْلَفْتُمْ فِي الأَيَّامِ الْخَالِيَةِ (الحاقة:24)
Kata al-ayyam tersebut selalu berada di dalam
rangkaian kata-kata lainnya yang mengacu pada pengertian yang bermacam-macam.
Empat kali di antaranya dihubungkan dengan kata tsalâtsun (ثَلاَثٌ) sehingga membentuk kalimat tsalâtsatu
ayyâm (ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ)
yang berarti ‘tiga hari’. Rangkaian kata ini selanjutnya digunakan untuk
menyebutkan bilangan hari berpuasa sebagai kafarat bagi orang yang melakukan
pelanggaran (Al-Baqarah (2): 196).
Ada pula kata ayyâm (أَيَّام)
yang didahului oleh kata sittatun (ستَّةٌ)
sehingga membentuk frasa sittatu ayyâm (سِتَّةُ
أَيَّامٍ). Kata ini di dalam Alquran diulang sebanyak 7 kali dan selalu
digunakan untuk menerangkan bilangan masa atau periode penciptaan langit dan
bumi beserta isinya. (Al-A‘raf (7): 54, Al-Furqan (25): 59, Hud (11): 7,
As-Sajadah (32): 4, dan Al-Hadid (57): 4). Kata ayyâm (أَيَّام) yang didahului oleh kata sittatun
(سِتَّةٌ) itu tidak diartikan
‘beberapa hari’, tetapi diartikan ‘periode’ atau ‘masa’, yaitu masa atau
periode penciptaan langit dan bumi beserta isinya.
Selain itu, ada pula kata ayyâm (أَيَّام) yang didahului oleh kata arba‘ah (أَرْبَعَةٌ) sehingga susunan frasanya menjadi arba‘atu
ayyâm (أَرْبَعَةُ أَيَّامٍ)
yang artinya ‘empat hari’. Di dalam Alquran kata tersebut hanya disebut sekali
dan digunakan untuk menyebutkan bilangan hari di dalam menentukan kadar
makanan. (Fushshilat (41): 10).
Pada bagian lain, terdapat pula kata ayyâm (أَيَّام) yang didahului oleh kata tsamâniyah
(ثَمَانِيَةٌ), sehingga susunan
frasanya menjadi tsamâniyatu ayyâm (ثمَانِيَةُ
أَيَّامٍ) yang berarti ‘delapan hari’. Kata ini hanya disebut sekali di
dalam Alquran dan digunakan untuk menerangkan bilangan hari (lamanya angin
topan yang menimpa kaum ‘Ad) (Al-Haqqah (69): 7).
Selanjutnya, terdapat pula kata ayyâm (أَيَّام) yang dihubungkan dengan kata Allah
(الله) sehingga menjadi ayyâmullâh (أَيَّامُ اللهِ). Kata yang artinya ‘hari-hari Allah’ ini
hanya disebut sekali dan digunakan untuk menerangkan hari-hari yang digunakan
Allah untuk menjatuhkan siksaan kepada orang-orang yang ingkar kepada
ajaran-Nya (Al-Jatsiyah (45): 14).
Selain itu, masih terdapat kata ayyâm (أَيَّام) yang diberi sifat bermacam-macam.
Misalnya ayyâm ma‘lûmah (أَيَّامٌ مَعْلُوْمَةٌ)
yang berarti ‘beberapa hari yang ditentukan’. Kata ini disebut sekali dan
digunakan untuk menerangkan bilangan hari untuk berzikir kepada Allah Swt.
Selanjutnya ada pula kata ayyâm (أَيَّام)
yang diikuti oleh kata ukhar (أُخَرُ)
yang artinya ‘beberapa hari dari hari lainnya’. Kata ini di dalam Alquran hanya
disebut sekali dan digunakan untuk meng-qadha’ (membayar utang) puasa
yang ditinggalkan oleh orang-orang yang mendapat uzur syar‘i saat bulan
Ramadan (QS. Al-Baqarah (2): 183-185).
Selanjutnya, ada pula kata ayyâm (أَيَّام) yang dihubungkan dengan kata al-ladzîna
khalau min qablihim (الَّذِيْنَ خَلَوْا مِنْ
قَبْلِهِمْ) artinya (yang sama) dengan kejadian-kejadian yang menimpa
orang sebelum mereka. Kata ini digunakan untuk menerangkan sifat bencana yang
menimpa orang-orang yang durhaka. (Yûnus (10): 102).
Selain itu, ada pula yang dihubungkan dengan kata al-khâliyah
(الْخَالِيَةُ) sehingga susunannya
menjadi ayyâm al-khâliyah (أَيَّامُ
الْخَالِيَةِ) yang berarti “hari-hari yang telah berlalu”. Kata ini di dalam
Alquran digunakan untuk menerangkan hari yang dilalui oleh para penghuni surga
sewaktu berada atau hidup di dalamnya (Al-Hâqqah (69): 24).
Bentuk tunggal dari kata ayyâm (أَيَّام) adalah yaum (يَوْمٌ) yang berarti “hari”. Kata yaum (يَوْمٌ) di dalam Alquran disebut sebanyak 373
kali. Kata ini kadang-kadang digunakan untuk menerangkan perjalanan waktu mulai
dari terbit matahari sampai terbenamnya dan kadang-kadang digunakan untuk
menunjukkan zaman, masa, atau periode.
Sama halnya dengan kata ayyâm (أَيَّام), kata yaum (يَوْمٌ) pun penggunaannya selalu dirangkaikan
dengan kata lain di dalam Alquran. Misalnya, dirangkaikan dengan kata al-âkhir
(اَلْآخِرُ) sehingga susunannya
menjadi al-yaum ul-âkhir (اَلْيَوْمُ
اْلآخِرُ), yang digunakan untuk menerangkan saat mana tidak ada hari
lain setelah hari akhir tersebut. Ada pula kata yaum (يَوْمٌ) yang dirangkaikan dengan kata ad-dîn
(الدِّيْنُ) sehingga menjadi yaum
ad-dîn (يَوْمُ الدِّيْنِ),
yang digunakan untuk menerangkan hari ketika segala amal perbuatan manusia
sewaktu hidup di dunia diperhitungkan.
Selain itu, kata tersebut ada yang dihubungkan dengan kata al-hisâb
(اَلْحِسَابُ) sehingga menjadi yaum
al-hisâb (يَوْمُ الْحِسَابِ).
Kata ini digunakan untuk menerangkan hari ketika manusia diperhitungkan segala
amal perbuatannya yang dilakukan sewaktu hidup di dunia.
Di samping itu, kata yaum (يَوْمٌ) ada yang dihubungkan dengan kata ath-thalâq
(الطَّلاَقُ), sehingga menjadi yaum
ath-thalâq (يَوْمُ الطَّلاَقِ).
Kata ini digunakan untuk menerangkan keadaan manusia yang dipertemukan di
antara satu dan lainnya oleh Tuhan. Selanjutnya, ada pula kata yaum (يَوْمٌ) yang dihubungkan dengan kata al-khulûd
(اَلْخُلُوْدُ) sehingga menjadi yaum
al-khulûd (يَوْمُ الْخُلُوْدِ)
yang berarti “hari yang kekal”. Kata ini digunakan untuk menerangkan sifat hari
akhirat sebagai hari yang kekal.
Selanjutnya, kata yaum (يَوْمٌ)
ada yang dihubungkan dengan kata al-khurûj (اَلْخُرُوْجُ = keluar), al-ba‘ts (اَلْبَعْثُ =
bangkit), al-mahsyar (اَلْمَحْشَرُ = tempat berkumpul), al-âzifah (اَْلآزِفَةُ =
mendekat), dan at-taghâbun (اَلتَّغَابُنُ = terbuka). Semua kata yang berada di
belakang kata yaum (يَوْمٌ)
tersebut menunjukkan sifat atau keadaan yang terjadi pada hari kiamat. Pada
hari itu manusia dikeluarkan dari kubur, kemudian dibangkitkan, dikumpulkan,
mendekat pada Tuhan, dan dibuka atau diperiksa segala amal ibadahnya.
Yang terakhir, kata yaum (يَوْمٌ) dihubungkan dengan kata kâna miqdâruhu
khamsîna alfa sanah (كَانَ مِقْدَارُهُ
خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَة =
ukurannya lima puluh ribu tahun). Kata ini digunakan untuk menerangkan ukuran
hari yang digunakan oleh Tuhan di dalam menciptakan langit dan bumi.
C. Hari (Siang dan Malam) Perspektif Istilahi dan Syar’i
Telah diketahui bahwa sinar matahari tidak akan mengenai semua
permukaan bumi pada saat yang sama karena bentuknya yang berupa bola bumi.
Bagian bumi yang terkena sinar matahari akan mencegah sampainya sinar matahari
pada bagian bumi yang lain, sehingga separuh bumi terang dan separuh lagi
gelap, hanya saja terang dan gelap itu tidak tetap atau konstan melainkan
secara beriringan berjalan mengenai bagian bumi satu ke bumi yang lain
disebabkan bentuk bumi yang bulat tadi.
Definisi “lail” (malam) secara istilah adalah masa
lamanya matahari berada di bawah ufuq, dan “nahar” (siang) secara
istilah adalah masa lamanya matahari berada di atas ufuq. Lamanya siang dan
malam itu berbeda-beda berdasarkan posisi lintang tempat di bumi. Sedangkan
definisi “yaum” secara istilah adalah masa satu kali berotasinya bumi
pada porosnya. Sehingga yang dimaksud “yaum” menurut istilah ini adalah susunan
dari lail dan nahar.[5]
Definisi Yaum
menurut epistemology syar’i
adalah interval waktu dari terbitnya fajar shadiq hingga terbenamnya matahari.[6]
Interval waktu ini sering disebut juga dengan “nahar” yang
ditranselitasikan ke bahasa Indonesia dengan “siang”.[7]
Setelah terbenamnya matahari, maka diganti dengan “lail”. Definisi lail
perspektif syar’i, adalah interval waktu dimulai dari terbenamnya matahari
hingga terbitnya fajar shadiq.[8]
Para fuqaha’
sepakat bahwa awal dari ‘nahar” dimulai dari terbitnya fajar shadiq dan
awal “lail” dimulai dari terbenamnya matahari.[9]
Adapun yang dimaksud dengan yaum bilailatih, adalah kumpulan yaum
dan lailah, dan dimulainya kumpulan itu adalah permulaan lail.[10]
D. Konsep Dasar Waktu Astronomis
Ketika berbicara tentang konsep hari, dalam
ilmu astronomi, maka hari merupakan sebagian dari berbagai macam jenis untuk
waktu berdasarkan panjang pendeknya rentangan waktu tersebut. Secara fisika,
waktu itu terjadi dalam pola hubungan realtif antara dua benda atau lebih yang
saling bergerak, ingat rumus t = S:V. dengan demikian elemen pembentuk waktu
adalah factor jarak dan gerak. Konsep hari, bulan, tahun yang merupakan
berbagai macam jenis waktu berdasarkan panjang rentang waktunya, lahir dari
factor jarak dan gerak. Konsep hari misalnya lahir dari gerak bumi yang
berotasi pada porosnya, konsep bulan lahir dari pergerakan bulan berevolusi
mengitari bumi, demikian pula konsep tahun terbentuk oleh pola hubungan bumi
dan matahari, yaitu satu kali bumi berevolusi terhadap matahari.

Gambar 1. Pola Rotasi dan Revolusi Bumi
beserta implikasinya terhadap satuan waktu yang disebut hari.
Konsep waktu dari benda-benda
langit berbeda-beda hakikatnya satu sama lain. Tahun venus berbeda dengan tahun
bumi,bahkan jika suatu ketika terjadi percepatan atau perlambatan dalam
revolusi bumi atas matahari hakikatnya waktu bumi pun berubah. Indikasi seperti
ini nyata, para ahli telah meneliti bahwa bulan setiap tahun rata-rata menjauh
dari bumi sekitar 3 cm, satu juta tahun kedepan
diprediksikan terdapat perlambatan rata-rata jari-jari lintasan bulan
dari pusat bumi sebesar 3000 km. jika demikian hakikat waktu satu bulan satu
juta tahun ke depan akan berbeda dengan waktu sebulan yang ada pada saat ini.
Waktu sebulan menjadi lebih panjang.
E. Hari dalam Pandangan Astronomi
Ada beberapa jenis hari
dalam pandangan ilmu astronomi. Hari di sini adalah yang biasa dimaksud dengan
“Day” jika ditransliterasi ke bahasa Inggris. Dalam Philip’s Astronomy Encyclopedia,
disebutkan bahwa:
“day
Time taken for the Earth to complete one rotation on its axis. It can be
measured in a number of different ways. A SIDEREAL DAY is the interval
between two successive passages across the MERIDIAN of the FIRST POINT OF ARIES
(the zero of RIGHT ASCENSION) and is equivalent to 23h 56m 4s.091. It is
considered to be a true measure of the rotation period because the stars, which
are used as reference points, are so far away that in this context they may be
regarded as infinitely remote. An apparent solar day is the interval
between two successive passages across the meridian of the true Sun. Its length
is not uniform, however. Due to the Earth’s elliptical orbit, and the fact that
the Sun appears to move along the ecliptic rather than the celestial equator,
an apparent solar day varies by as much as 16 minutes during the course of a
year (see APPARENT SOLAR TIME). A mean solar day is the interval between two successive
passages across the meridian of a fictitious, or MEAN SUN (see MEAN SOLAR
TIME). Because of the Sun’s movement relative to the background stars, at a
rate of about one degree per day in an easterly direction, the mean solar day
is slightly longer than a sidereal day, at 24h 3m 56s.555. A civil day
begins and ends at midnight and comprises two 12-hour periods, am and pm. These
are never used in an astronomical context, however, where the 24-hour clock is
always quoted.”
Dari kutipan di atas
diketahui bahwa hari adalah waktu yang diperlukan bumu berotasi pada porosnya
dari satu titik hingga kembali ke titik semula.. Hari yaitu panjang waktu yang
diperlukan bumi untuk menyelesaikan satu kali rotasi. Terdapat dua macam hari,
yaitu hari matahari (solar day) dan hari sideris (sidereal day). Hari matahari
acuannya adalah matahari, didefinisikan sebagai interval waktu dari saat
matahari terbit sampai pada matahari terbit berikutnya atau dari matahari
terbenam sampai matahari terbenam berikutnya. Sedangkan hari sideris acuannya
adalah bintang. Untuk memahaminya perhatikan gambar berikut
![]() |
||||
|
F. Efek Astronomis Rotasi Bumi Terhadap Hari
Kita telah tahu bahwa
bergesernya posisi bintang tiap menitnya merupakan akibat dari rotasi Bumi.
Jika kita mau mengukur periode dari suatu bintang berada di zenit sampai kembali
ke zenit lagi, maka akan didapatkan periodenya sekitar 23 jam 56 menit 4,1
detik atau disebut satu hari bintang (sideral time). Pergerakan semu
bintang-bintang ini dari timur ke barat, sehingga berdasarkan arah rotasi
relatif, maka gerak rotasi Bumi pastilah dari barat ke timur (direct). Namun
jika yang kita amati adalah Matahari, maka periode semu harian Matahari
bukanlah 23 jam 56 menit 4,1 detik, melainkan 24 jam. Perbedaan ini diakibatkan
periode sinodis antara rotasi Bumi dan revolusi Bumi terhadap Matahari yang
searah, sehingga periode semu harian Matahari menjadi lebih lambat sekitar 4
menit. Periode ini disebut satu hari Surya Benar. Sebenarnya panjang
satu hari Surya Benar ini tidak sama dari hari ke hari akibat orbit Bumi yang
elips, sehingga satu hari Surya Benar lebih singkat saat Bumi di perihelium (22
Desember) dibanding saat Bumi di aphelium (21 Juni). Rata-rata panjang hari
Surya dalam satu tahun disebt waktu surya rerata. Nah, dari dua macam periode
harian ini didapatkan dua definisi hari yakni
Satu hari bintang (sideral day) = 23h56m04s,0905
mean second
Satu hari Surya rerata (mean solar day) = 24h00m00s
mean second
Satu mean second
didefinisikan sebagai satu hari surya rerata dibagi 3600, sedangkan satu
sideral second didefinisikan sebagai satu hari bintang dibagi 3600, sehingga
satu sideral second = 0,997269565972 mean second. Perhitungan waktu astronomis
menggunakan standar waktu mean second, dan jika satu hari surya rerata
dinyatakan dalam sideral second didapatkan.

Untuk lebih jelasnya perhatikan gambar berikut

G. Zona Waktu
Perputaran Bumi pada
porosnya mengakibatkan peristiwa siang dan malam, dan tentunya jika suatu
daerah mengalami siang, maka daerah lain mengalami malam. Karena rotasi Bumi
adalah 24 jam, maka di Bumi ini terdapat 24 daerah waktu. Standar daerah waktu
di Bumi ialah bujur yang melalui kota Greenwich, Inggris, yang ditetapkan
sebagai bujur (longitude) 0°. Karena keliling Bumi 360°, maka tiap selisih 15°
terjadi selisih waktu 1 jam. Perbedaan waktu antara suatu daerah terhadap
Greenwich dinyatakan dalam selisihnya dengan Greenwich Mean Time atau GMT,
misalkan zona waktu Makassar adalah WITA tidak lain adalah GMT+8.
Zona waktu GMT+8
berpatokan pada bujur 8 ´ 15 = 120° BT. Jadi dari bujur 112,5 BT
sampai dengan 127,5 BT merupakan zona waktu GMT+8. Namun rumus ini hanya dapat
digunakan secara teori, karena secara hukum, garis-garis waktu dapat saja
dibelokkan dengan alasan-alasan tertentu, misalkan agar suatu negara memiliki
zona waktu sesedikit mungkin.
Meskipun dalam berbagai
kebutuhan praktis metode zana waktu seperti ini sudah cukup baik, namun dalam
beberapa urusan zona waktu ini tidak teliti. Misalkan kota A pada bujur 112,5
BT , kota B pada bujur 120 BT dan kota C pada bujur 127,5 BT yang keduanya
terletak di dekat ekuator, zona waktu keduanya adalah GMT+8. Bagi pengamat di
kota B, Matahari terbit tepat pukul 06.00 waktu lokal sedangkan bagi pengamat
di kota A Matahari baru akan terbit pukul 06.30 waktu lokal dan kota C Matahari
telah terbit setengah jam yang lalu pada pukul 05.30 waktu lokal. Dapat dilihat
juga bahwa kota A dan kota C yang sebenarnya memiliki selisih waktu satu jam
ternyata memiliki zona waktu yang sama. Karena alasan ini, penentuan waktu
shalat harus ditentukan berdasarkan bujurnya agar lebih teliti.
|

H.
Analisa
Kata al-ayyam tersebut selalu
berada di dalam rangkaian kata-kata lainnya yang mengacu pada pengertian yang
bermacam-macam seperti:1) ‘tiga hari’. untuk menyebutkan bilangan hari
berpuasa sebagai kafarat bagi orang yang melakukan pelanggaran, 2) “enam
hari” untuk menerangkan bilangan masa atau periode penciptaan langit dan
bumi beserta isinya, 3) “empat hari” untuk menyebutkan bilangan hari di
dalam menentukan kadar makanan, 4) ‘delapan hari’ untuk menerangkan
bilangan hari (lamanya angin topan yang menimpa kaum ‘Ad, 5) ‘hari-hari Allah’ untuk menerangkan
hari-hari yang digunakan Allah untuk menjatuhkan siksaan kepada orang-orang
yang ingkar kepada ajaran-Nya, 6) ‘beberapa
hari yang ditentukan’ untuk menerangkan bilangan hari untuk berzikir kepada
Allah Swt, 7) ‘beberapa hari dari hari lainnya’ digunakan untuk meng-qadha’
(membayar utang) puasa yang ditinggalkan oleh orang-orang yang mendapat uzur syar‘i
saat bulan Ramadan, 8) “hari (yang sama) dengan kejadian-kejadian yang
menimpa orang sebelum mereka” untuk menerangkan sifat bencana yang menimpa
orang-orang yang durhaka, 9) “hari-hari yang telah berlalu” untuk
menerangkan hari yang dilalui oleh para penghuni surga sewaktu berada atau
hidup di dalamnya.
Maka al-ayyam bisa diartikan
sebagai 1) hari penuh (siang dan malam), 2) hari dalam arti siang, 3) masa, dan
4) periode. Jika dihubungkan dengan teori astronomis dan syar’i, maka yang
dimaksud adalah arti pertama dan kedua. Arti pertama digunakan sebagai tinjauan
hari dari perspektif astronomis, yaitu hari adalah waktu yang diperlukan bumi
berotasi pada porosnya sebanyak satu kali yang berefek pada pergantian siang
dan malam, dan arti kedua digunakan sebagai tinjauan hari dari perspektif syar’i,
yaitu waktu dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, jadi hanya
separoh hari astronomis.
I.
Kesimpulan
1.
Yaum, (jamaknya
adalah Al-Ayyam) bisa diartikan sebagai hari (siang dan malam), hari
(dalam arti siang), masa, dan periode.
2.
Yaum, (jamaknya
adalah Al-Ayyam) dalam perspektif astronomis adalah hari dalam artian
kumpulan siang (yaum) dan malam (lail).
3.
Yaum, (jamaknya
adalah Al-Ayyam) dalam perspektif syar’i adalah yaum dalam artian
“nahar”, yaitu mulai terbitnya fajar shadiq hingga terbenamnya matahari.
4.
Makna hari yang telah disebutkan di dalam al-Qur’an telah
meliputi makna hari baik secara astronomis maupun syar’i.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Farmawiy,
'Abdul Hay, Al-Bidayah fi Tafsir Al-Mawdhu'iy, Al-Hadharah Al-'Arabiyah, Kairo,
cetakan II, 1977.
al-Jailani, Zubair
Umar, al-Khulashah al-Wafiyah fi al-falak bi jadwal al-logharitmiyyah, Kudus, Menara Kudus, tt.
Jauhari,
Thanthawi, Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur'an, Kairo, 1350 H
al-Mabrakaty, Muhammad
‘Amim al-Ihsan al-Mujaddidy, al-Ta’rifat al-Fiqhiyyah, Pakistan: karatisy, 1986.
Qasim, Nazar Mahmud, al-Ma’ayir
al-Fiqhiyyah wa al-Falakiyyah fi I’dad al-Taqawim al-Hijriyyah, Mesir: Dar al-Basyair al-Islamiyyah al-Subki, Fatawi
al-Subki, Beirut, Dar al-Jail, 1995
al-Tahanawi, Muhammad Ali, Kassyaf Istilahat al-funun
wa al-ulum ,Beirut, Maktabah Libanon Nasyirun, 1996.
[1] Jumlah ini
adalah yang populer di samping jumlah 6.666 ayat. Tetapi, masih ada
pendapat-pendapat lain. Lebih jauh dapat dilihat dalam Al-Zarkasyi, Al-Burhan
fi 'Ulum Al-Qur'an, Al-Halabiy, Kairo 1957, jilid I, h. 249.
[2] Lihat,
antara lain, Thanthawi Jauhari, Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur'an, Kairo,
1350 H, jilid I, h. 3.
1.
Al-Quran
memerintahkan atau menganjurkan kepada manusia untuk memperhatikan dan
mempelajari alam raya dalam rangka memperoleh manfaat dan kemudahan-kemudahan
bagi kehidupannya, serta untuk mengantarkannya kepada kesadaran akan Keesaan
dan Kemahakuasaan Allah SWT.
2.
Alam
dan segala isinya beserta hukum-hukum yang mengaturnya, diciptakan, dimiliki,
dan di bawah kekuasaan Allah SWT serta diatur dengan sangat teliti. Alam raya
tidak dapat melepaskan diri dari ketetapan-ketetapan tersebut --kecuali jika
dikehendaki oleh Tuhan. Dari sini tersirat bahwa:
a.
Alam
raya atau elemen-elemennya tidak boleh disembah, dipertuhankan atau
dikultuskan.
b.
Manusia
dapat menarik kesimpulan-kesimpulan tentang adanya ketetapan-ketetapan yang
bersifat umum dan mengikat bagi alam raya dan fenomenanya (hukum-hukum alam).
3.
Redaksi
ayat-ayat kawniyyah bersifat ringkas, teliti lagi padat, sehingga pemahaman
atau penafsiran terhadap ayat-ayat tersebut dapat menjadi sangat bervariasi,
sesuai dengan tingkat kecerdasan dan pengetahuan masing-masing penafsir
[4] Beberapa langkah metode tafsir maudlu’iy yang digunakan
penulis adalah sebagaimana yang telah disebutkan pada tahun oleh Prof. Dr.
Abdul Hay Al-Farmawiy, yang juga menjabat guru besar pada Fakultas Ushuluddin
Al-Azhar, dalam bukunya Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Mawdhu'i sebagai berikut:
1.
Menetapkan
masalah yang akan dibahas (topik);
2.
Menghimpun
ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut;
3.
Menyusun
runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab
al-nuzul-nya;
4.
Memahami
korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing;
5.
Menyusun
pembahasan dalam kerangka yang sempurna (outline);
6.
Melengkapi
pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan;
7.
Mempelajari
ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang
mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang 'am (umum) dan
yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya
bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan
atau pemaksaan.lihat Al-Farmawiy,
'Abdul Hay, Al-Bidayah fi Tafsir Al-Mawdhu'iy, Al-Hadharah Al-'Arabiyah, Kairo,
cetakan II, 1977, h. 62.
[5] Zubair Umar
al-Jailani, al-Khulashah al-Wafiyah fi al-falak bi jadwal al-logharitmiyyah
(Kudus: Menara Kudus, tt), h. 56.
[6]
Lihat Muhammad Ali al-Tahanawi, Kassyaf Istilahat al-funun wa al-ulum
(Beirut: Maktabah Libanon Nasyirun, 1996), h. 1815., al-Subki, Fatawi
al-Subki (Beirut: Dar al-Jail, 1995), h. 981., dan Muhammad ‘Amim al-Ihsan
al-Mujaddidy al-Mabrakaty, al-Ta’rifat al-Fiqhiyyah (Pakistan: karatisy,
1986,), h. 557.
[8]
Nazar Mahmud Qasim, al-Ma’ayir al-Fiqhiyyah wa al-Falakiyyah fi I’dad
al-Taqawim al-Hijriyyah (Mesir: Dar al-Basyair al-Islamiyyah), h. 124.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar