KAJIAN TENTANG ZAWAL DAN GHURUB
SEBAGAI PERTANDA
MASUKNYA AWAL WAKTU SHALAT
Dosen
: Dr. KH. Abdus Salam Nawawi, MAg
Oleh: Ayu Nurul Faizah
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pengetahuan tentang letak, pergerakan dan sifat-sifat matahari, bulan, bintang,
planet (termasuk bumi) disebut Astronomi. Ilmu Falak sebagai bagian dari ilmu
Astronomi mempelajari yang berkaitan dengan benda-benda langit, baik dari segi
bentuk, ukuran, fisik, posisi, gerakan maupun hubungan satu dengan lainnya.
Ilmu falak seperti
dituturkan banyak praktisi merupakan cabang keilmuan Islam yang memiliki posisi
istimewa. Ilmu ini adalah cabang ilmu yang tidak banyak mendapat penentangan
dari umat muslim karena peranannya yang demikian signifikan dalam penentuan
waktu ibadah. Sejak dahulu dan hingga kini, ilmu falak mendapat tempat
terhormat dan dihargai oleh para ahli agama (fukaha) yang terus bertahan hingga
era modern.
Di zaman tengah, selain
disebut ilmu 'falak' dan 'haiah', ilmu ini di sebut juga ilmu observasi
(ar-rashd) yang merupakan bagian integral dalam ilmu falak. Selain itu ilmu ini
disebut juga ilmu waktu (miqat) karena ia berkaitan dengan penentuan waktu
(khususnya waktu salat dan arah kiblat).
Dari sekian banyak
cabang ilmu falak (astronomi), falak syar`i menempati posisi strategis dalam
islam, ini terkait dengan beberapa ibadah yang secara langsung bersentuhan
dengan falak syar`i. Obyek pembahasan utama ilmu falak syar'i dalam Islam
adalah fenomena bulan dan matahari. Fenomena alamiah dari dua benda angkasa ini
menjadi wasilah kebolehan dan batas waktu ibadah seorang muslim seperti batas
waktu salat, puasa dan kiblat yang diperkuat oleh berbagai nash al-Qur’an dan as-Sunnah.
Pembahasan falak syar`î secara garis besar meliputi empat hal: (1) penetapan
awal-awal bulan kamariah, (2) penetapan waktu-waktu salat, (3) penentuan arah
dan bayang kiblat, dan (4) penentuan terjadinya gerhana (baik gerhana matahari
maupun gerhana bulan).
Persoalan shalat adalah merupakan
persoalan fundamental dan signifikan dalam Islam. Dalam menunaikan kewajiban shalat,
kaum muslimin terikat pada waktu-waktu yang sudah ditentukan .
Alloh s.w.t.
berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ 103 :
……
4 ¨bÎ) no4qn=¢Á9$#
ôMtR%x. n?tã
úüÏZÏB÷sßJø9$#
$Y7»tFÏ. $Y?qè%öq¨B ÇÊÉÌÈ
Artinya
:
Ayat tersebut mengindikasikan bahwa shalat itu harus dikerjakan sesuai
dengan waktu-waktunya, apabila tidak ada
halangan yang sesuai dengan syara’. Dan secara implisit, ada larangan untuk
menunda-nunda pelaksanaan shalat sampai habis waktunya.
Pada ayat lain, Allah SWT berfirman :
ÉOÏ%r&
no4qn=¢Á9$# Ï8qä9à$Î! ħôJ¤±9$# 4n<Î) È,|¡xî È@ø©9$# tb#uäöè%ur Ìôfxÿø9$# ( ¨bÎ) tb#uäöè% Ìôfxÿø9$# c%x. #Yqåkô¶tB ÇÐÑÈ
Artinya:
“Dirikanlah
shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah
pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)”.[2]
Ayat di atas mengindikasikan bahwa shalat itu wajib dikerjakan pada waktu
matahari tergelincir (untuk shalat Dzuhur dan Ashar), waktu gelap malam (untuk
shalat Maghrib dan Isya’) dan pada waktu fajar (untuk shalat Subuh).
Dari keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa peredaran matahari berperan
penting sebagai pedoman atau pijakan dalam
penentuan awal dan akhir waktu shalat bagi umat Islam. Untuk itu,
penulis mencoba memberikan kajian terkait dengan peredaran matahari sebagai pedoman atau pijakan dalam penentuan
awal waktu Sholat yang berjudul “Kajian Zawal & Ghurub Sebagai Pertanda
Masuknya Awal Waktu Shalat”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah di atas, pembahasan ini membahas masalah tentang
- Bagaimana
proses terjadinya zawal sebagai pertanda masuknya awal waktu sholat?
- Bagaimana
proses terjadinya ghurub sebagai pertanda masuknya awal waktu sholat?
C. Tujuan Penelitian
- Untuk
mengetahui proses terjadinya zawal sebagai pertanda masuknya awal waktu
sholat.
- Untuk
mengetahui proses terjadinya ghurub sebagai pertanda masuknya awal waktu
sholat.
- Sebagai
sumbangsih ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang ilmu falak yang
berkaitan dengan zawal dan ghurub sebagai pertanda masuknya awal waktu
sholat.
D. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
pustaka (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara
menelaah atau mengkaji sumber kepustakaan berupa data-data yang relevan dengan
pembahasan ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Makna Waktu Shalat
Untuk dapat mengetahui dan mengerti mengenai proses
terjadinya zawal dan ghurub sebagai pertanda masuknya awal waktu sholat, maka terlebih dahulu perlu dipahami landasan
teori mengenai waktu sholat.
Shalat menurut bahasa
adalah do`a, sedangkan menurut terminologi syara` adalah sekumpulan ucapan dan
perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.[3]
Disebut shalat karena
ia menghubungkan seorang hamba kepada penciptanya, dan shalat merupakan
manifestasi penghambaan dan kebutuhan diri kepada Allah. Dari sini, maka shalat
dapat menjadi media permohonan dan pertolongan untuk menyingkirkan segala
bentuk kesulitan yang ditemui manusia dalam perjalanan hidupnya, sebagaimana
firman Allah sebagai berikut :
$ygr'¯»t z`Ï%©!$# (#qãZtB#uä (#qãYÏètGó$# Îö9¢Á9$$Î/ Ío4qn=¢Á9$#ur 4 ¨bÎ) ©!$# yìtB tûïÎÉ9»¢Á9$# ÇÊÎÌÈ
“Hai
orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu,
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”.[4]
Persoalan shalat adalah merupakan persoalan fundamental dan signifikan
dalam Islam. Dalam menunaikan kewajiban shalat, kaum muslimin terikat pada
waktu-waktu yang sudah ditentukan, sebagaimana firman Allah dalam panggalan
surat al-isra` ayat 78 sebagai berikut:
¨bÎ)… no4qn=¢Á9$# ôMtR%x. n?tã úüÏZÏB÷sßJø9$# $Y7»tFÏ. $Y?qè%öq¨B ÇÊÉÌÈ
“Sesungguhnya
shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktu-waktunya atas orang-orang
yang beriman”.[5]
Konsekuensi logis
dari ayat ini adalah shalat tidak bisa dilakukan dalam sembarang waktu, tetapi
harus mengikuti atau berdasharkan dalil-dalil baik dari Al-Qur’an maupun
Al-Hadis. Waktu merupakan penyebab dzahir diwajibkannya shalat, sementara
penyebab hakikinya adalah perintah atau ketetapan dari Allah. Penetapan
kewajiban (al ijab) disandarkan kepada Allah, sedangkan kewajiban (al wujub)
disandarkan pada perbuatan hamba, yaitu shalat.[6]
B. Korelasi Waktu Shalat dengan Peredaran Matahari
Di dalam
literatur-literatur kitab fiqih, waktu shalat selalu diterangkan pertama kali
oleh pengarang kitab sebelum membahas persoalan shalat yang lain. Sebab di
antara persoalan-persoalan di dalam shalat itu yang paling penting ialah
mengetahui waktu shalat. Jika waktu shalat telah masuk, maka kewajiban
melakukan shalat telah masuk. Dan jika waktu shalat telah keluar, maka
shalatnya menjadi hilang. Jadi, mengetahui waktu-waktu shalat merupakan salah
satu syarat sah shalat yang paling penting di antara syarat-syarat yang lain.
Berdasarkan ketentuan
yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis dapat dipahami bahwa ketentuan shalat
berkaitan dengan posisi matahari
dan (atau) peristiwa peredaran semu matahari relatif terhadap bumi. Dikatakan
gerak semu, karena matahari sebenarnya tidak bergerak, melainkan bumilah yang
berputar pada sumbunya dari barat ke
timur sehingga terlihat matahari bergerak dari timur ke barat.
Imam Nawawi al Jawi memberikan catatan bahwa waktu-waktu shalat itu pada
setiap daerah itu berbeda-beda menurut posisi
dan ketinggian matahari di daerah-daerah tersebut. Ada kalanya posisi
matahari di suatu daerah sedang tergelincir, padahal di daerah lain justru
matahari sedang terbit (thulu’).[7]
Hal ini mengindikasikan bahwa bagaimanapun juga posisi dan ketinggian matahari sangat
mempengaruhi penentuan awal dan akhir waktu shalat.
Banyak petunjuk yang diberikan mengenai ketentuan waktu shalat ini, baik di
dalam Al-Qur’an maupun hadits-hadits Rasulullah s.a.w. Hadits yang secara
lengkap menjelaskan tentang waktu shalat antara lain diterima dari Sulaiman bin
Buraidah, dari ayahnya yang menceritakan sebagai berikut :
عن
النبى ص.م. اَنَّ رَجُلاً سَاَلَهُ
عَنِ الْوَقْتِ الصَّلاَةِ فقال له : صَلِّ مَعَنَا هَذَيْنِ (يَعْنِى
اليَوْمَيْنِ) فَلَمَّا زَالَتِ السَّمْشُ أَمَرَ بِلاَلاً فَأذَّنَ. ثُمَّ اَمَرَ
فَاَقَامَ الظُّهْرَ. ثُمَّ اَمَرَهُ فَاَقَامَ العَصْرَ, وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ
بَيْضَاءُ نَقِيَّةٌ. ثُمَّ اَمَرَهُ فَاَقَامَ الْمَغْرِبَ حِيْنِ غَابَتِ
الشَّمْسُ. ثُمَّ اَمَرَهُ فَاَقَامَ الْعِشَاءَ خِيْنَ غَابَتِ الشَّفَقُ. ثُمَّ
اَمَرَهُ فَاَقَامَ الْفَجْرَ حِيْنَ طَلَعَ الفَجْرُ. فَلَمَّا اِنْ كَانَ
الْيَوْمُ الثَّانِى أَمَرَهُ فَاَبْرَدَ بِالظُّهْرِ. فَأَبْرَدَ بِهَا.
فَأَنْعَمَ اَنْ يُبْرَدَ بِهَا. وَ صَلَّى الْعَصْرَ وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ.
أَخَّرَهَا فَوْقَ الَّذِى كَانَ. وَ صَلَّى الْمَغْرِبِ قَبْلَ اَنْ يَغِيْبَ
الشَّفَقُ. وَ صَلَّى الْعِشَاءَ بَعْدَ مَا ثُلُثُ الَّيْلِ. وَ صَلَّى الْفَجْرَ
فَأَسْفَرَ بِهَا. ثُمَّ قَالَ : اَيْنَ السَّائِلُ عَنْ وَقْتِ الصَّلاَةِ ؟
فَقَالَ رَجُلٌ : اَنَا, يَا رَسُوْلَ اللهِ ! قَالَ : وَقْتُ صَّلاَتِكُمْ بَيْنَ
مَا رَأَيْتُمْ (رواه المسلم)
Artinya
:
Dari
Nabi s.a.w., seorang lelaki bertanya kepada beliau soal waktu shalat. Nabi
bersabda : “Shalatlah bersama kami pada dua hari ini.”. Ketika matahari
mulai tergelincir ke arah barat, Rasulullah menyuruh Bilal untuk
mengumandangkan adzan, kemudian beliau menyuruhnya untuk iqamah sebelum dilaksanakan
shalat dhuhur. Kemudian beliau menyuruh mengiqamati shalat ashar, sementara
pada waktu itu matahari naik dan berwarna putih bersih. Kemudian beliau
menyuruh Bilal mengiqamati shalat maghrib ketika matahari sudah
terbenam. Kemudian beliau menyuruh Bilal mengiqamati isya’ ketika
awan merah telah benar-benar hilang. Dan kemudian beliau menyuruh Bilal
mengiqamati shalat shubuh ketika suasana fajar sudah mulai merekah. Ketika
memasuki hari kedua Rasulullah menyuruh Bilal untuk agak menangguhkan shalat
dhuhur, dan itu dilaksanakan oleh Bilal. Selanjutnya Rasulullah melaksanakan
shalat ashar ketika matahari sudah kian condong ke barat, jadi beliau
menangguhkannya daripada kemarinnya. Beliau shalat maghrib sebelum mega menjadi
hilang. Beliau shalat isya’ setelah lewat
sepertiga malam, dan beliau shalat shubuh ketika hari sudah
remang-remang. Kemudian beliau bersabda : “Dimana orang yang bertanya mengenai
waktu shalat ? Laki-laki tadi menjawab :”Saya, ya Rasulullah !” Rasulullah
bersabda : Waktu shalatmu ialah seperti yang kamu lihat.” (H.R.Muslim) [8]
Hadits di atas memberikan penjelasan mengenai awal
dan akhir waktu sholat, seluruhnya ditentukan menggunakan cahaya dan efek dari
cahaya Matahari. Efek pergerakan Matahari diantaranya adalah berubahnya panjang
bayangan benda, terbit dan terbenamnya Matahari, munculnya mega merah di waktu
fajar dan berakhirnya mega merah di malam hari.
Dalam hadis yang
lainya, Nabi Muhammad SAW juga menjelaskan
Secara detil mengenai waktu-waktu
shalat fardlu, adapun penjelasannya
adalah sebagai berikut :
- Waktu Dzuhur
Imam Taqiyuddin Abi
Bakar Muhammad Al Husaini dalam kitab Kifayatul Akhyar fi Halli Gayatul
Ikhtisar, yang diterjemahkan oleh KH. Syarifuddin Anwar dan KH. Misbah
Musthafa, menyatakan:
الظهور أول وقتها زوال الشمس وأخره إذا صار ظل كل شيء مثله بعد ظل الزوال
"Permulaan waktu Dhuhur adalah sejak tergelincirnya
matahari. Dan akhir waktu Dzuhur adalah
jika bayang-bayang suatu benda telah sepadan dengan benda itu selain
bayang-bayang yang telah ada sejak matahari tergelincir (istiwa`)”.[9]
Yang dimaksud Zawal al Syamsi (tergelincirnya matahari)
ialah apa yang tampak oleh kita, dan bukan yang berlaku dalam kenyataan. Sebab
yang biasa terjadi di banyak negara, jika matahari tepat berada di tengah-tengah
langit, yakni pada waktu istiwa`, orang masih melihat sisa-sisa bayangan suatu
benda.
- Waktu Ashar
Menurut Al
Husaini memberikan batasan waktu shalat
Ashar sebagai berikut:
والعصر أول وقتها الزيادة على ظل المثل وأخره الاختيار في ظل المثلين، وفي الجواز إلى غروب الشمس.
“Awal waktu Ashar adalah bertambahnya bayang-bayang suatu
benda sama dengan panjang benda tersebut. Dan akhir waktu Ashar adalah
tenggelamnya matahari”.[10]
Jika bayang-bayang
suatu benda telah sepadan dengan panjang benda itu, maka itu yang dikatakan
akhir waktu Dzuhur dan permulaan waktu Ashar (menurut hadis Nabi).
3.
Waktu Maghrib
Untuk waktu Maghrib, para fuqaha memberikan batasan yang
sangat mudah. Misalnya Imam Nawawi memberikan batasan "Awal waktu Maghrib adalah terbenamnya
matahari. Dan akhir waktu Maghrib adalah hilangnya mega (cahaya) merah."
عن عبد الله بن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: .... ووقت المغرب إذا غابت الشمس ما لم يسقط الشفق..... ) رواه مسلم(
Artinya : “Waktu Maghrib ialah ketika matahari terbenam selama mega merah belum
lenyap” (Riwayat Muslim).
- Waktu Isya’
Batasan waktu
shalat Ashar, menurut Imam Taqiyuddin Abi Bakar Muhammad Al Husaini :
والعشاء وأول وقتها إذا غابت الشفق الأحمر وأخره في الاختيار إلى ثلث الليل، وفي الجواز إلى طلوع الفجر الثاني
“Permulaan
waktu Isya’ ialah ketika mega merah telah lenyap. Dan akhir waktunya di dalam waktu ikhtiar, hingga sepertiga
malam. Dan akhir waktunya di dalam waktu jawaz hingga munculnya fajar yang
kedua”.[11]
Masuknya waktu Isya’ bersama dengan hilangnya mega merah, menurut beberapa hadis. Ibnu Rif’ah
mengatakan, ketetapan tersebut berdasarkan Ijmak Ulama’. Waktu ikhtiar untuk
shalat Isya’, yaitu sebelum lewat sepertiga malam, karena Hadisnya Jibril a.s.
Di dalam satu qaul dikatakan bahwa waktu ikhtiar untuk shalat Isya’ itu hingga
lewat separuh malam.
- Waktu Subuh
Permulaan waktu
Subuh ialah munculnya fajar. Dan
akhir waktunya di dalam waktu ikhtiar ialah hingga remang-remang pagi. Dan
akhir waktunya di dalam waktu jawaz ialah hingga munculnya matahari.[12]
والصبح ووأول وقتها طلوع الفجر وأخره في الاختيار إلى الإسفار وفي الجواز إلى طلوع الشمس.
Yang dimaksud dengan dengan permulaan waktu Subuh ialah
munculnya fajar, fajar di sini yang dimaksudkan adalah fajar shadiq. Fajar
shadiq ialah fajar yang terangnya menyebar dan melintang di ufuk timur. Fajar
ini ialah fajar yang kedua. Adapun fajar pertama tidak merupakan permulaan
masuknya waktu Subuh. Fajar itu warnanya abu-abu, bentuknya memanjang ke atas. Fajar ini juga dikatakan sebagai fajar
kadzib, karena dia bersinar lalu menghitam lagi.
Dengan demikian berdasarkan keterangan hadist
tersebut diatas, bahwa posisi matahari sangat berperan penting dalam persoalan
penentuan awal dan akhir waktu sholat. seluruhnya ditentukan menggunakan efek
dari cahaya Matahari dan pergerakannya.
Pada zaman Rasulullah SAW, penentuan awal dan akhir
waktu sholat menggunakan pengamatan atau observasi terhadap gejala alam dengan
melihat langsung Matahari. Seiring perkembangan zaman, berkembang pula cara
menentukan waktu sholat, yakni dengan dibuatnya Jam Surya atau Jam Matahari
serta Jam Istiwa atau sering disebut Tongkat Istiwa dengan kaidah bayangan
Matahari. Namun dengan kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan, meski tanpa melihat
posisi Matahari, ummat Islam kini sudah dapat mengetahui awal dan akhir waktu
sholat.
C.
Proses Terjadinya Zawal
Sebagai Pertanda Masuknya Awal Waktu Sholat
Berdasarkan
kajian pustaka tersebut diatas dapat dipahami bahwa peristiwa zawal erat
kaitanya dengan pertanda awal masuknya sholat dzuhur. Diperjelas dengan adanya
hadis nabi Muhammad saw seperti berikut:
الظهور أول وقتها زوال الشمس وأخره إذا صار ظل كل شيء مثله بعد ظل الزوال
"Permulaan waktu Dhuhur adalah sejak
tergelincirnya matahari. Dan akhir waktu Dzuhur
adalah jika bayang-bayang suatu benda telah sepadan dengan benda itu
selain bayang-bayang yang telah ada sejak matahari tergelincir (istiwa`)”.[13]
Imam Nawawi mengatakan “Para sahabat kami mengatakan,
tergelincirnya matahari (Zawal Al Syams) adalah condongnya matahari dari
pertengahan langit di waktu siang. Adapun tandanya adalah dengan bertambahnya
bayangan setelah sebelumnya sempat berkurang. Hal itu dikarenakan bayangan
seseorang di waktu pagi memanjang dan semakin pendek setiap kali matahari naik.
Pada pertengahan bayangan itu berhenti, dan ketika matahari mulai tergelincir
bayangan itu kembali bertambah panjang.[14]
Sehingga secara Astronomi Proses terjadinya zawal sebagai
awal masuknya sholat dzuhur dapat disimpulkan sebagai berikut:
Ø Shalat dhuhur
dimulai saat matahari tergelincir (zawal) ke arah barat. Ini berarti bahwa
secara astronomis matahari telah melampaui garis meredian (Merpass). Perlu
dipahami bahwa secara astronomis, keadaan Merpass ini tidak selalu matahari
berhimpit dengan titik zenit (tepat di atas kepala kita). Hal ini
disebabkan pergeseran matahari dari khatulistiwa, ke lintang utara, ke tengah
dan ke lintang selatan selalu bergerak secara konstan dan tidak pernah
berhenti. [15]
Perhatikan
gambar berikut ini :

23°27’LU
Lintasan Matahari
0°
Garis Bujur
23°27’LS
Yang dimaksud Zawal al Syamsi (tergelincirnya matahari), kata "zawal" secara harfiah berarti waktu ketika matahari bergerak menjauh dari meridian pusat atau bergesernya matahari –tergelincirnya matahari- dari
titik pusat kulminasi atas kearah barat.
Sehingga dapat digambarkan sebagai berikut:


Dengan demikian, dapat di simpulkan bahwa proses terjadinya zawal
adalah peristiwa tergelincirnya piringan matahari dari titik pusat kulminasi
atas kearah barat. Sehingga Proses terjadinya zawal tersebut adalah sebagai tanda awal
masuknya sholat dzuhur.
D. Proses Terjadinya Ghurub Sebagai Pertanda Masuknya Awal Waktu
Sholat
Demikian halnya dengan zawal, bahwa peristiwa
ghurub erat kaitanya dengan pertanda awal waktu sholat, khususnya awal waktu
sholat maghrib. Secara umum Ghurub Al Syamsi adalah matahari terbenam, yang
dalam astronomi dikenal dengan sunset.[16]
Dalam ilmu falak pertanda awal masuknya
sholat maghrib berarti saat Ghurub al Syamsi (terbenam matahari), yang proses
terjadinya adalah pada saat seluruh piringan bagian atas matahari telah melampaui garis horizon, sebagaimana kita lihat
pada gambar berikut ini :

P
Keterangan :
B = titik arah barat
P = titik pusat matahari
O = tempat pengamat
Sudut
BOP = saat terbenam matahari
Ketika ghurub atau matahari terbenam
adalah piringan atas matahari telah bersinggungan dengan ufuk barat. Sehingga
didefinisikan matahari terbenam saat jarak zenith berada pada posisi 90o
ditambah 1o bila memasukkan koreksi kerendahan ufuk akibat
ketinggian pengamat 30 meter dari permukaan tanah, [17]
sehingga ketinggian matahari pada waktu maghrib bernilai - 1o .
nilai ketinggian matahari bernilai negative disebabkan pada saat peristiwa
ghurub posisi matahari berada di bawah ufuk sehingga bernilai negative.
Dengan demikian semakin
jelas, bahwa proses terjadinya Zawal dan ghurub adalah suatu peristiwa yang
berkaitan dengan waktu sholat, yang diakibatkan oleh pengaruh posisi dan ketinggian matahari, serta efek
cahaya matahari akibat pergerakannya. Sehingga mempengaruhi berubahnya panjang
bayangan benda, serta terbit dan terbenamnya matahari, mengakibatkan munculnya
mega putih di waktu fajar dan berakhirnya mega merah di senja hari.
E. KESIMPULAN
Dari berbagai pemaparan yang telah di jelaskan dan dibahas pada
bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut :
- Proses terjadinya zawal adalah ketika
matahari bergerak menjauh dari meridian pusat atau bergesernya matahari –tergelincirnya matahari-
dari titik pusat kulminasi atas kearah barat. Sehingga Proses terjadinya
zawal tersebut adalah sebagai tanda awal masuknya sholat dzuhur.
- Dalam ilmu
falak pertanda awal masuknya sholat maghrib berarti saat Ghurub al Syamsi
(terbenam matahari), yang proses terjadinya adalah pada saat seluruh
piringan bagian atas
matahari telah melampaui garis horizon.
DAFTAR
PUSTAKA
Al
Husaini, Imam Taqiyuddin Abi Bakar Bin Muhammad
(2007) Kifayatul Akhyar fi
Halli Gayatul Ikhtisar diterjemahkan oleh KH. Syarifuddin Anwar dan K.H.
Mishbah Musthafa dengan judul Kifayatul Akhyar (Kelengkapan Orang Saleh).
Surabaya : CV Bina Iman.
Departemen
Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya, juz 1-30. Jakarta: Yayasan
Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, 2005.
[1] Al-Qur’an dan Terjemahannya – Departemen
Agama RI, 1983. p. 138
[3] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed
Hawwas, Fiqih Ibadah, (Jakarta: Amzah, 2009)
154.
[4]Departemen Agama RI, al-Qur’an …, al Baqarah, 153.
[7] Al Syekh al Imam al Alim al Fadhil Abu Abdul
Mu’thi Muhammad al Nawawi al Jawi (selanjutnya disebut Imam Nawawi al Jawi),
Syarh Kasyifah al Saja ala Safinah al Naja fi Ushul al Din wa al Fiqh,
(Surabaya : al Hidayah, tt), 66.
[8] Musthafa, K.H.Adib Bisri – Tarjamah Shohih
Muslim Jilid 1 – Semarang, As-Syifa’, 1992. p. 728 – 729.
[9]Imam Taqiyuddin Abi Bakar Bin Muhammad
Al-Husaini, Kifayatul Akhyar fi Halli
Gayatul Ikhtisar diterjemahkan oleh KH. Syarifuddin Anwar dan K.H. Mishbah
Musthafa dengan judul Kifayatul Akhyar (Kelengkapan Orang Saleh). (Surabaya :
CV Bina Iman, 2007), 182.
[12]Al-Husaini, 186.
[13]Imam Taqiyuddin Abi Bakar Bin Muhammad
Al-Husaini, Kifayatul Akhyar fi Halli
Gayatul Ikhtisar diterjemahkan oleh KH. Syarifuddin Anwar dan K.H. Mishbah
Musthafa dengan judul Kifayatul Akhyar (Kelengkapan Orang Saleh). (Surabaya :
CV Bina Iman, 2007), 182.
[14]Imam Abu Zakariya bin Yahya bin Syaraf al-Nawawi
al-Dimasyqi, “Raudhah al Thalibin”, diterjemahkan H. Muhyiddin Mas Rida
dkk, Raudhah al Thalibin, (Jakarta :
Pustaka Azzam, 2007), 414.
[15]Drs. Fathurrahman Sani, M.Psi,
“Awal Waktu Shalat dan Penghitunganya”, disampaikan pada mata kuliah Hisab
Kontemporer I, tgl 13 November 2010
[17] http://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/04/19/matahari-dan-penentuan-jadwal-shalat/ tgl 23 Januari 2013 KAJIAN TENTANG ZAWAL DAN GHURUB
SEBAGAI PERTANDA
MASUKNYA AWAL WAKTU SHALAT
Dosen
: Dr. KH. Abdus Salam Nawawi, MAg
Oleh: Ayu Nurul Faizah
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pengetahuan tentang letak, pergerakan dan sifat-sifat matahari, bulan, bintang,
planet (termasuk bumi) disebut Astronomi. Ilmu Falak sebagai bagian dari ilmu
Astronomi mempelajari yang berkaitan dengan benda-benda langit, baik dari segi
bentuk, ukuran, fisik, posisi, gerakan maupun hubungan satu dengan lainnya.
Ilmu falak seperti
dituturkan banyak praktisi merupakan cabang keilmuan Islam yang memiliki posisi
istimewa. Ilmu ini adalah cabang ilmu yang tidak banyak mendapat penentangan
dari umat muslim karena peranannya yang demikian signifikan dalam penentuan
waktu ibadah. Sejak dahulu dan hingga kini, ilmu falak mendapat tempat
terhormat dan dihargai oleh para ahli agama (fukaha) yang terus bertahan hingga
era modern.
Di zaman tengah, selain
disebut ilmu 'falak' dan 'haiah', ilmu ini di sebut juga ilmu observasi
(ar-rashd) yang merupakan bagian integral dalam ilmu falak. Selain itu ilmu ini
disebut juga ilmu waktu (miqat) karena ia berkaitan dengan penentuan waktu
(khususnya waktu salat dan arah kiblat).
Dari sekian banyak
cabang ilmu falak (astronomi), falak syar`i menempati posisi strategis dalam
islam, ini terkait dengan beberapa ibadah yang secara langsung bersentuhan
dengan falak syar`i. Obyek pembahasan utama ilmu falak syar'i dalam Islam
adalah fenomena bulan dan matahari. Fenomena alamiah dari dua benda angkasa ini
menjadi wasilah kebolehan dan batas waktu ibadah seorang muslim seperti batas
waktu salat, puasa dan kiblat yang diperkuat oleh berbagai nash al-Qur’an dan as-Sunnah.
Pembahasan falak syar`î secara garis besar meliputi empat hal: (1) penetapan
awal-awal bulan kamariah, (2) penetapan waktu-waktu salat, (3) penentuan arah
dan bayang kiblat, dan (4) penentuan terjadinya gerhana (baik gerhana matahari
maupun gerhana bulan).
Persoalan shalat adalah merupakan
persoalan fundamental dan signifikan dalam Islam. Dalam menunaikan kewajiban shalat,
kaum muslimin terikat pada waktu-waktu yang sudah ditentukan .
Alloh s.w.t.
berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ 103 :
……
4 ¨bÎ) no4qn=¢Á9$#
ôMtR%x. n?tã
úüÏZÏB÷sßJø9$#
$Y7»tFÏ. $Y?qè%öq¨B ÇÊÉÌÈ
Artinya
:
Ayat tersebut mengindikasikan bahwa shalat itu harus dikerjakan sesuai
dengan waktu-waktunya, apabila tidak ada
halangan yang sesuai dengan syara’. Dan secara implisit, ada larangan untuk
menunda-nunda pelaksanaan shalat sampai habis waktunya.
Pada ayat lain, Allah SWT berfirman :
ÉOÏ%r&
no4qn=¢Á9$# Ï8qä9à$Î! ħôJ¤±9$# 4n<Î) È,|¡xî È@ø©9$# tb#uäöè%ur Ìôfxÿø9$# ( ¨bÎ) tb#uäöè% Ìôfxÿø9$# c%x. #Yqåkô¶tB ÇÐÑÈ
Artinya:
“Dirikanlah
shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah
pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)”.[2]
Ayat di atas mengindikasikan bahwa shalat itu wajib dikerjakan pada waktu
matahari tergelincir (untuk shalat Dzuhur dan Ashar), waktu gelap malam (untuk
shalat Maghrib dan Isya’) dan pada waktu fajar (untuk shalat Subuh).
Dari keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa peredaran matahari berperan
penting sebagai pedoman atau pijakan dalam
penentuan awal dan akhir waktu shalat bagi umat Islam. Untuk itu,
penulis mencoba memberikan kajian terkait dengan peredaran matahari sebagai pedoman atau pijakan dalam penentuan
awal waktu Sholat yang berjudul “Kajian Zawal & Ghurub Sebagai Pertanda
Masuknya Awal Waktu Shalat”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah di atas, pembahasan ini membahas masalah tentang
- Bagaimana
proses terjadinya zawal sebagai pertanda masuknya awal waktu sholat?
- Bagaimana
proses terjadinya ghurub sebagai pertanda masuknya awal waktu sholat?
C. Tujuan Penelitian
- Untuk
mengetahui proses terjadinya zawal sebagai pertanda masuknya awal waktu
sholat.
- Untuk
mengetahui proses terjadinya ghurub sebagai pertanda masuknya awal waktu
sholat.
- Sebagai
sumbangsih ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang ilmu falak yang
berkaitan dengan zawal dan ghurub sebagai pertanda masuknya awal waktu
sholat.
D. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
pustaka (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara
menelaah atau mengkaji sumber kepustakaan berupa data-data yang relevan dengan
pembahasan ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Makna Waktu Shalat
Untuk dapat mengetahui dan mengerti mengenai proses
terjadinya zawal dan ghurub sebagai pertanda masuknya awal waktu sholat, maka terlebih dahulu perlu dipahami landasan
teori mengenai waktu sholat.
Shalat menurut bahasa
adalah do`a, sedangkan menurut terminologi syara` adalah sekumpulan ucapan dan
perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.[3]
Disebut shalat karena
ia menghubungkan seorang hamba kepada penciptanya, dan shalat merupakan
manifestasi penghambaan dan kebutuhan diri kepada Allah. Dari sini, maka shalat
dapat menjadi media permohonan dan pertolongan untuk menyingkirkan segala
bentuk kesulitan yang ditemui manusia dalam perjalanan hidupnya, sebagaimana
firman Allah sebagai berikut :
$ygr'¯»t z`Ï%©!$# (#qãZtB#uä (#qãYÏètGó$# Îö9¢Á9$$Î/ Ío4qn=¢Á9$#ur 4 ¨bÎ) ©!$# yìtB tûïÎÉ9»¢Á9$# ÇÊÎÌÈ
“Hai
orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu,
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”.[4]
Persoalan shalat adalah merupakan persoalan fundamental dan signifikan
dalam Islam. Dalam menunaikan kewajiban shalat, kaum muslimin terikat pada
waktu-waktu yang sudah ditentukan, sebagaimana firman Allah dalam panggalan
surat al-isra` ayat 78 sebagai berikut:
¨bÎ)… no4qn=¢Á9$# ôMtR%x. n?tã úüÏZÏB÷sßJø9$# $Y7»tFÏ. $Y?qè%öq¨B ÇÊÉÌÈ
“Sesungguhnya
shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktu-waktunya atas orang-orang
yang beriman”.[5]
Konsekuensi logis
dari ayat ini adalah shalat tidak bisa dilakukan dalam sembarang waktu, tetapi
harus mengikuti atau berdasharkan dalil-dalil baik dari Al-Qur’an maupun
Al-Hadis. Waktu merupakan penyebab dzahir diwajibkannya shalat, sementara
penyebab hakikinya adalah perintah atau ketetapan dari Allah. Penetapan
kewajiban (al ijab) disandarkan kepada Allah, sedangkan kewajiban (al wujub)
disandarkan pada perbuatan hamba, yaitu shalat.[6]
B. Korelasi Waktu Shalat dengan Peredaran Matahari
Di dalam
literatur-literatur kitab fiqih, waktu shalat selalu diterangkan pertama kali
oleh pengarang kitab sebelum membahas persoalan shalat yang lain. Sebab di
antara persoalan-persoalan di dalam shalat itu yang paling penting ialah
mengetahui waktu shalat. Jika waktu shalat telah masuk, maka kewajiban
melakukan shalat telah masuk. Dan jika waktu shalat telah keluar, maka
shalatnya menjadi hilang. Jadi, mengetahui waktu-waktu shalat merupakan salah
satu syarat sah shalat yang paling penting di antara syarat-syarat yang lain.
Berdasarkan ketentuan
yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis dapat dipahami bahwa ketentuan shalat
berkaitan dengan posisi matahari
dan (atau) peristiwa peredaran semu matahari relatif terhadap bumi. Dikatakan
gerak semu, karena matahari sebenarnya tidak bergerak, melainkan bumilah yang
berputar pada sumbunya dari barat ke
timur sehingga terlihat matahari bergerak dari timur ke barat.
Imam Nawawi al Jawi memberikan catatan bahwa waktu-waktu shalat itu pada
setiap daerah itu berbeda-beda menurut posisi
dan ketinggian matahari di daerah-daerah tersebut. Ada kalanya posisi
matahari di suatu daerah sedang tergelincir, padahal di daerah lain justru
matahari sedang terbit (thulu’).[7]
Hal ini mengindikasikan bahwa bagaimanapun juga posisi dan ketinggian matahari sangat
mempengaruhi penentuan awal dan akhir waktu shalat.
Banyak petunjuk yang diberikan mengenai ketentuan waktu shalat ini, baik di
dalam Al-Qur’an maupun hadits-hadits Rasulullah s.a.w. Hadits yang secara
lengkap menjelaskan tentang waktu shalat antara lain diterima dari Sulaiman bin
Buraidah, dari ayahnya yang menceritakan sebagai berikut :
عن
النبى ص.م. اَنَّ رَجُلاً سَاَلَهُ
عَنِ الْوَقْتِ الصَّلاَةِ فقال له : صَلِّ مَعَنَا هَذَيْنِ (يَعْنِى
اليَوْمَيْنِ) فَلَمَّا زَالَتِ السَّمْشُ أَمَرَ بِلاَلاً فَأذَّنَ. ثُمَّ اَمَرَ
فَاَقَامَ الظُّهْرَ. ثُمَّ اَمَرَهُ فَاَقَامَ العَصْرَ, وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ
بَيْضَاءُ نَقِيَّةٌ. ثُمَّ اَمَرَهُ فَاَقَامَ الْمَغْرِبَ حِيْنِ غَابَتِ
الشَّمْسُ. ثُمَّ اَمَرَهُ فَاَقَامَ الْعِشَاءَ خِيْنَ غَابَتِ الشَّفَقُ. ثُمَّ
اَمَرَهُ فَاَقَامَ الْفَجْرَ حِيْنَ طَلَعَ الفَجْرُ. فَلَمَّا اِنْ كَانَ
الْيَوْمُ الثَّانِى أَمَرَهُ فَاَبْرَدَ بِالظُّهْرِ. فَأَبْرَدَ بِهَا.
فَأَنْعَمَ اَنْ يُبْرَدَ بِهَا. وَ صَلَّى الْعَصْرَ وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ.
أَخَّرَهَا فَوْقَ الَّذِى كَانَ. وَ صَلَّى الْمَغْرِبِ قَبْلَ اَنْ يَغِيْبَ
الشَّفَقُ. وَ صَلَّى الْعِشَاءَ بَعْدَ مَا ثُلُثُ الَّيْلِ. وَ صَلَّى الْفَجْرَ
فَأَسْفَرَ بِهَا. ثُمَّ قَالَ : اَيْنَ السَّائِلُ عَنْ وَقْتِ الصَّلاَةِ ؟
فَقَالَ رَجُلٌ : اَنَا, يَا رَسُوْلَ اللهِ ! قَالَ : وَقْتُ صَّلاَتِكُمْ بَيْنَ
مَا رَأَيْتُمْ (رواه المسلم)
Artinya
:
Dari
Nabi s.a.w., seorang lelaki bertanya kepada beliau soal waktu shalat. Nabi
bersabda : “Shalatlah bersama kami pada dua hari ini.”. Ketika matahari
mulai tergelincir ke arah barat, Rasulullah menyuruh Bilal untuk
mengumandangkan adzan, kemudian beliau menyuruhnya untuk iqamah sebelum dilaksanakan
shalat dhuhur. Kemudian beliau menyuruh mengiqamati shalat ashar, sementara
pada waktu itu matahari naik dan berwarna putih bersih. Kemudian beliau
menyuruh Bilal mengiqamati shalat maghrib ketika matahari sudah
terbenam. Kemudian beliau menyuruh Bilal mengiqamati isya’ ketika
awan merah telah benar-benar hilang. Dan kemudian beliau menyuruh Bilal
mengiqamati shalat shubuh ketika suasana fajar sudah mulai merekah. Ketika
memasuki hari kedua Rasulullah menyuruh Bilal untuk agak menangguhkan shalat
dhuhur, dan itu dilaksanakan oleh Bilal. Selanjutnya Rasulullah melaksanakan
shalat ashar ketika matahari sudah kian condong ke barat, jadi beliau
menangguhkannya daripada kemarinnya. Beliau shalat maghrib sebelum mega menjadi
hilang. Beliau shalat isya’ setelah lewat
sepertiga malam, dan beliau shalat shubuh ketika hari sudah
remang-remang. Kemudian beliau bersabda : “Dimana orang yang bertanya mengenai
waktu shalat ? Laki-laki tadi menjawab :”Saya, ya Rasulullah !” Rasulullah
bersabda : Waktu shalatmu ialah seperti yang kamu lihat.” (H.R.Muslim) [8]
Hadits di atas memberikan penjelasan mengenai awal
dan akhir waktu sholat, seluruhnya ditentukan menggunakan cahaya dan efek dari
cahaya Matahari. Efek pergerakan Matahari diantaranya adalah berubahnya panjang
bayangan benda, terbit dan terbenamnya Matahari, munculnya mega merah di waktu
fajar dan berakhirnya mega merah di malam hari.
Dalam hadis yang
lainya, Nabi Muhammad SAW juga menjelaskan
Secara detil mengenai waktu-waktu
shalat fardlu, adapun penjelasannya
adalah sebagai berikut :
- Waktu Dzuhur
Imam Taqiyuddin Abi
Bakar Muhammad Al Husaini dalam kitab Kifayatul Akhyar fi Halli Gayatul
Ikhtisar, yang diterjemahkan oleh KH. Syarifuddin Anwar dan KH. Misbah
Musthafa, menyatakan:
الظهور أول وقتها زوال الشمس وأخره إذا صار ظل كل شيء مثله بعد ظل الزوال
"Permulaan waktu Dhuhur adalah sejak tergelincirnya
matahari. Dan akhir waktu Dzuhur adalah
jika bayang-bayang suatu benda telah sepadan dengan benda itu selain
bayang-bayang yang telah ada sejak matahari tergelincir (istiwa`)”.[9]
Yang dimaksud Zawal al Syamsi (tergelincirnya matahari)
ialah apa yang tampak oleh kita, dan bukan yang berlaku dalam kenyataan. Sebab
yang biasa terjadi di banyak negara, jika matahari tepat berada di tengah-tengah
langit, yakni pada waktu istiwa`, orang masih melihat sisa-sisa bayangan suatu
benda.
- Waktu Ashar
Menurut Al
Husaini memberikan batasan waktu shalat
Ashar sebagai berikut:
والعصر أول وقتها الزيادة على ظل المثل وأخره الاختيار في ظل المثلين، وفي الجواز إلى غروب الشمس.
“Awal waktu Ashar adalah bertambahnya bayang-bayang suatu
benda sama dengan panjang benda tersebut. Dan akhir waktu Ashar adalah
tenggelamnya matahari”.[10]
Jika bayang-bayang
suatu benda telah sepadan dengan panjang benda itu, maka itu yang dikatakan
akhir waktu Dzuhur dan permulaan waktu Ashar (menurut hadis Nabi).
3.
Waktu Maghrib
Untuk waktu Maghrib, para fuqaha memberikan batasan yang
sangat mudah. Misalnya Imam Nawawi memberikan batasan "Awal waktu Maghrib adalah terbenamnya
matahari. Dan akhir waktu Maghrib adalah hilangnya mega (cahaya) merah."
عن عبد الله بن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: .... ووقت المغرب إذا غابت الشمس ما لم يسقط الشفق..... ) رواه مسلم(
Artinya : “Waktu Maghrib ialah ketika matahari terbenam selama mega merah belum
lenyap” (Riwayat Muslim).
- Waktu Isya’
Batasan waktu
shalat Ashar, menurut Imam Taqiyuddin Abi Bakar Muhammad Al Husaini :
والعشاء وأول وقتها إذا غابت الشفق الأحمر وأخره في الاختيار إلى ثلث الليل، وفي الجواز إلى طلوع الفجر الثاني
“Permulaan
waktu Isya’ ialah ketika mega merah telah lenyap. Dan akhir waktunya di dalam waktu ikhtiar, hingga sepertiga
malam. Dan akhir waktunya di dalam waktu jawaz hingga munculnya fajar yang
kedua”.[11]
Masuknya waktu Isya’ bersama dengan hilangnya mega merah, menurut beberapa hadis. Ibnu Rif’ah
mengatakan, ketetapan tersebut berdasarkan Ijmak Ulama’. Waktu ikhtiar untuk
shalat Isya’, yaitu sebelum lewat sepertiga malam, karena Hadisnya Jibril a.s.
Di dalam satu qaul dikatakan bahwa waktu ikhtiar untuk shalat Isya’ itu hingga
lewat separuh malam.
- Waktu Subuh
Permulaan waktu
Subuh ialah munculnya fajar. Dan
akhir waktunya di dalam waktu ikhtiar ialah hingga remang-remang pagi. Dan
akhir waktunya di dalam waktu jawaz ialah hingga munculnya matahari.[12]
والصبح ووأول وقتها طلوع الفجر وأخره في الاختيار إلى الإسفار وفي الجواز إلى طلوع الشمس.
Yang dimaksud dengan dengan permulaan waktu Subuh ialah
munculnya fajar, fajar di sini yang dimaksudkan adalah fajar shadiq. Fajar
shadiq ialah fajar yang terangnya menyebar dan melintang di ufuk timur. Fajar
ini ialah fajar yang kedua. Adapun fajar pertama tidak merupakan permulaan
masuknya waktu Subuh. Fajar itu warnanya abu-abu, bentuknya memanjang ke atas. Fajar ini juga dikatakan sebagai fajar
kadzib, karena dia bersinar lalu menghitam lagi.
Dengan demikian berdasarkan keterangan hadist
tersebut diatas, bahwa posisi matahari sangat berperan penting dalam persoalan
penentuan awal dan akhir waktu sholat. seluruhnya ditentukan menggunakan efek
dari cahaya Matahari dan pergerakannya.
Pada zaman Rasulullah SAW, penentuan awal dan akhir
waktu sholat menggunakan pengamatan atau observasi terhadap gejala alam dengan
melihat langsung Matahari. Seiring perkembangan zaman, berkembang pula cara
menentukan waktu sholat, yakni dengan dibuatnya Jam Surya atau Jam Matahari
serta Jam Istiwa atau sering disebut Tongkat Istiwa dengan kaidah bayangan
Matahari. Namun dengan kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan, meski tanpa melihat
posisi Matahari, ummat Islam kini sudah dapat mengetahui awal dan akhir waktu
sholat.
C.
Proses Terjadinya Zawal
Sebagai Pertanda Masuknya Awal Waktu Sholat
Berdasarkan
kajian pustaka tersebut diatas dapat dipahami bahwa peristiwa zawal erat
kaitanya dengan pertanda awal masuknya sholat dzuhur. Diperjelas dengan adanya
hadis nabi Muhammad saw seperti berikut:
الظهور أول وقتها زوال الشمس وأخره إذا صار ظل كل شيء مثله بعد ظل الزوال
"Permulaan waktu Dhuhur adalah sejak
tergelincirnya matahari. Dan akhir waktu Dzuhur
adalah jika bayang-bayang suatu benda telah sepadan dengan benda itu
selain bayang-bayang yang telah ada sejak matahari tergelincir (istiwa`)”.[13]
Imam Nawawi mengatakan “Para sahabat kami mengatakan,
tergelincirnya matahari (Zawal Al Syams) adalah condongnya matahari dari
pertengahan langit di waktu siang. Adapun tandanya adalah dengan bertambahnya
bayangan setelah sebelumnya sempat berkurang. Hal itu dikarenakan bayangan
seseorang di waktu pagi memanjang dan semakin pendek setiap kali matahari naik.
Pada pertengahan bayangan itu berhenti, dan ketika matahari mulai tergelincir
bayangan itu kembali bertambah panjang.[14]
Sehingga secara Astronomi Proses terjadinya zawal sebagai
awal masuknya sholat dzuhur dapat disimpulkan sebagai berikut:
Ø Shalat dhuhur
dimulai saat matahari tergelincir (zawal) ke arah barat. Ini berarti bahwa
secara astronomis matahari telah melampaui garis meredian (Merpass). Perlu
dipahami bahwa secara astronomis, keadaan Merpass ini tidak selalu matahari
berhimpit dengan titik zenit (tepat di atas kepala kita). Hal ini
disebabkan pergeseran matahari dari khatulistiwa, ke lintang utara, ke tengah
dan ke lintang selatan selalu bergerak secara konstan dan tidak pernah
berhenti. [15]
Perhatikan
gambar berikut ini :

23°27’LU
Lintasan Matahari
0°
Garis Bujur
23°27’LS
Yang dimaksud Zawal al Syamsi (tergelincirnya matahari), kata "zawal" secara harfiah berarti waktu ketika matahari bergerak menjauh dari meridian pusat atau bergesernya matahari –tergelincirnya matahari- dari
titik pusat kulminasi atas kearah barat.
Sehingga dapat digambarkan sebagai berikut:


Dengan demikian, dapat di simpulkan bahwa proses terjadinya zawal
adalah peristiwa tergelincirnya piringan matahari dari titik pusat kulminasi
atas kearah barat. Sehingga Proses terjadinya zawal tersebut adalah sebagai tanda awal
masuknya sholat dzuhur.
D. Proses Terjadinya Ghurub Sebagai Pertanda Masuknya Awal Waktu
Sholat
Demikian halnya dengan zawal, bahwa peristiwa
ghurub erat kaitanya dengan pertanda awal waktu sholat, khususnya awal waktu
sholat maghrib. Secara umum Ghurub Al Syamsi adalah matahari terbenam, yang
dalam astronomi dikenal dengan sunset.[16]
Dalam ilmu falak pertanda awal masuknya
sholat maghrib berarti saat Ghurub al Syamsi (terbenam matahari), yang proses
terjadinya adalah pada saat seluruh piringan bagian atas matahari telah melampaui garis horizon, sebagaimana kita lihat
pada gambar berikut ini :

P
Keterangan :
B = titik arah barat
P = titik pusat matahari
O = tempat pengamat
Sudut
BOP = saat terbenam matahari
Ketika ghurub atau matahari terbenam
adalah piringan atas matahari telah bersinggungan dengan ufuk barat. Sehingga
didefinisikan matahari terbenam saat jarak zenith berada pada posisi 90o
ditambah 1o bila memasukkan koreksi kerendahan ufuk akibat
ketinggian pengamat 30 meter dari permukaan tanah, [17]
sehingga ketinggian matahari pada waktu maghrib bernilai - 1o .
nilai ketinggian matahari bernilai negative disebabkan pada saat peristiwa
ghurub posisi matahari berada di bawah ufuk sehingga bernilai negative.
Dengan demikian semakin
jelas, bahwa proses terjadinya Zawal dan ghurub adalah suatu peristiwa yang
berkaitan dengan waktu sholat, yang diakibatkan oleh pengaruh posisi dan ketinggian matahari, serta efek
cahaya matahari akibat pergerakannya. Sehingga mempengaruhi berubahnya panjang
bayangan benda, serta terbit dan terbenamnya matahari, mengakibatkan munculnya
mega putih di waktu fajar dan berakhirnya mega merah di senja hari.
E. KESIMPULAN
Dari berbagai pemaparan yang telah di jelaskan dan dibahas pada
bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut :
- Proses terjadinya zawal adalah ketika
matahari bergerak menjauh dari meridian pusat atau bergesernya matahari –tergelincirnya matahari-
dari titik pusat kulminasi atas kearah barat. Sehingga Proses terjadinya
zawal tersebut adalah sebagai tanda awal masuknya sholat dzuhur.
- Dalam ilmu
falak pertanda awal masuknya sholat maghrib berarti saat Ghurub al Syamsi
(terbenam matahari), yang proses terjadinya adalah pada saat seluruh
piringan bagian atas
matahari telah melampaui garis horizon.
DAFTAR
PUSTAKA
Al
Husaini, Imam Taqiyuddin Abi Bakar Bin Muhammad
(2007) Kifayatul Akhyar fi
Halli Gayatul Ikhtisar diterjemahkan oleh KH. Syarifuddin Anwar dan K.H.
Mishbah Musthafa dengan judul Kifayatul Akhyar (Kelengkapan Orang Saleh).
Surabaya : CV Bina Iman.
Departemen
Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya, juz 1-30. Jakarta: Yayasan
Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, 2005.
[1] Al-Qur’an dan Terjemahannya – Departemen
Agama RI, 1983. p. 138
[3] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed
Hawwas, Fiqih Ibadah, (Jakarta: Amzah, 2009)
154.
[4]Departemen Agama RI, al-Qur’an …, al Baqarah, 153.
[7] Al Syekh al Imam al Alim al Fadhil Abu Abdul
Mu’thi Muhammad al Nawawi al Jawi (selanjutnya disebut Imam Nawawi al Jawi),
Syarh Kasyifah al Saja ala Safinah al Naja fi Ushul al Din wa al Fiqh,
(Surabaya : al Hidayah, tt), 66.
[8] Musthafa, K.H.Adib Bisri – Tarjamah Shohih
Muslim Jilid 1 – Semarang, As-Syifa’, 1992. p. 728 – 729.
[9]Imam Taqiyuddin Abi Bakar Bin Muhammad
Al-Husaini, Kifayatul Akhyar fi Halli
Gayatul Ikhtisar diterjemahkan oleh KH. Syarifuddin Anwar dan K.H. Mishbah
Musthafa dengan judul Kifayatul Akhyar (Kelengkapan Orang Saleh). (Surabaya :
CV Bina Iman, 2007), 182.
[12]Al-Husaini, 186.
[13]Imam Taqiyuddin Abi Bakar Bin Muhammad
Al-Husaini, Kifayatul Akhyar fi Halli
Gayatul Ikhtisar diterjemahkan oleh KH. Syarifuddin Anwar dan K.H. Mishbah
Musthafa dengan judul Kifayatul Akhyar (Kelengkapan Orang Saleh). (Surabaya :
CV Bina Iman, 2007), 182.
[14]Imam Abu Zakariya bin Yahya bin Syaraf al-Nawawi
al-Dimasyqi, “Raudhah al Thalibin”, diterjemahkan H. Muhyiddin Mas Rida
dkk, Raudhah al Thalibin, (Jakarta :
Pustaka Azzam, 2007), 414.
[15]Drs. Fathurrahman Sani, M.Psi,
“Awal Waktu Shalat dan Penghitunganya”, disampaikan pada mata kuliah Hisab
Kontemporer I, tgl 13 November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar