Senin, 26 Mei 2014

KAJIAN TENTANG ZAWAL DAN GHURUB SEBAGAI PERTANDA MASUKNYA AWAL WAKTU SHALAT

KAJIAN TENTANG ZAWAL DAN GHURUB
SEBAGAI PERTANDA MASUKNYA AWAL WAKTU SHALAT
Dosen : Dr. KH. Abdus Salam Nawawi, MAg
Oleh: Ayu Nurul Faizah

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Pengetahuan tentang letak, pergerakan dan sifat-sifat matahari, bulan, bintang, planet (termasuk bumi) disebut Astronomi. Ilmu Falak sebagai bagian dari ilmu Astronomi mempelajari yang berkaitan dengan benda-benda langit, baik dari segi bentuk, ukuran, fisik, posisi, gerakan maupun hubungan satu dengan lainnya.
Ilmu falak seperti dituturkan banyak praktisi merupakan cabang keilmuan Islam yang memiliki posisi istimewa. Ilmu ini adalah cabang ilmu yang tidak banyak mendapat penentangan dari umat muslim karena peranannya yang demikian signifikan dalam penentuan waktu ibadah. Sejak dahulu dan hingga kini, ilmu falak mendapat tempat terhormat dan dihargai oleh para ahli agama (fukaha) yang terus bertahan hingga era modern.
Di zaman tengah, selain disebut ilmu 'falak' dan 'haiah', ilmu ini di sebut juga ilmu observasi (ar-rashd) yang merupakan bagian integral dalam ilmu falak. Selain itu ilmu ini disebut juga ilmu waktu (miqat) karena ia berkaitan dengan penentuan waktu (khususnya waktu salat dan arah kiblat).
Dari sekian banyak cabang ilmu falak (astronomi), falak syar`i menempati posisi strategis dalam islam, ini terkait dengan beberapa ibadah yang secara langsung bersentuhan dengan falak syar`i. Obyek pembahasan utama ilmu falak syar'i dalam Islam adalah fenomena bulan dan matahari. Fenomena alamiah dari dua benda angkasa ini menjadi wasilah kebolehan dan batas waktu ibadah seorang muslim seperti batas waktu salat, puasa dan kiblat yang diperkuat oleh berbagai nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Pembahasan falak syar`î secara garis besar meliputi empat hal: (1) penetapan awal-awal bulan kamariah, (2) penetapan waktu-waktu salat, (3) penentuan arah dan bayang kiblat, dan (4) penentuan terjadinya gerhana (baik gerhana matahari maupun gerhana bulan).
Persoalan shalat adalah merupakan persoalan fundamental dan signifikan dalam Islam. Dalam menunaikan kewajiban shalat, kaum muslimin terikat pada waktu-waktu yang sudah ditentukan .
Alloh s.w.t. berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ 103 :
 …… 4 ¨bÎ) no4qn=¢Á9$# ôMtR%x. n?tã šúüÏZÏB÷sßJø9$# $Y7»tFÏ. $Y?qè%öq¨B ÇÊÉÌÈ  
Artinya :
“...Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang yang beriman”.[1]

Ayat tersebut mengindikasikan bahwa shalat itu harus dikerjakan sesuai dengan waktu-waktunya,  apabila tidak ada halangan yang sesuai dengan syara’. Dan secara implisit, ada larangan untuk menunda-nunda pelaksanaan shalat sampai habis waktunya.
Pada ayat lain, Allah SWT berfirman :
ÉOÏ%r& no4qn=¢Á9$# Ï8qä9à$Î! ħôJ¤±9$# 4n<Î) È,|¡xî È@ø©9$# tb#uäöè%ur ̍ôfxÿø9$# ( ¨bÎ) tb#uäöè% ̍ôfxÿø9$# šc%x. #YŠqåkôtB ÇÐÑÈ  
Artinya:
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)”.[2]

Ayat di atas mengindikasikan bahwa shalat itu wajib dikerjakan pada waktu matahari tergelincir (untuk shalat Dzuhur dan Ashar), waktu gelap malam (untuk shalat Maghrib dan Isya’) dan pada waktu fajar (untuk shalat Subuh).
Dari keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa peredaran matahari berperan penting sebagai pedoman atau pijakan dalam  penentuan awal dan akhir waktu shalat bagi umat Islam. Untuk itu, penulis mencoba memberikan kajian terkait dengan peredaran matahari  sebagai pedoman atau pijakan dalam penentuan awal waktu Sholat yang berjudul “Kajian Zawal & Ghurub Sebagai Pertanda Masuknya Awal Waktu Shalat”.

B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, pembahasan ini membahas masalah tentang
  1. Bagaimana proses terjadinya zawal sebagai pertanda masuknya awal waktu sholat?
  2. Bagaimana proses terjadinya ghurub sebagai pertanda masuknya awal waktu sholat?
C.      Tujuan Penelitian
  1. Untuk mengetahui proses terjadinya zawal sebagai pertanda masuknya awal waktu sholat.
  2. Untuk mengetahui proses terjadinya ghurub sebagai pertanda masuknya awal waktu sholat.
  3. Sebagai sumbangsih ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang ilmu falak yang berkaitan dengan zawal dan ghurub sebagai pertanda masuknya awal waktu sholat.
D.      Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menelaah atau mengkaji sumber kepustakaan berupa data-data yang relevan dengan pembahasan ini.








BAB II
PEMBAHASAN

A.      Makna Waktu Shalat
Untuk dapat mengetahui dan mengerti mengenai proses terjadinya zawal dan ghurub sebagai pertanda masuknya awal waktu sholat, maka terlebih dahulu perlu dipahami landasan teori mengenai waktu sholat.
Shalat menurut bahasa adalah do`a, sedangkan menurut terminologi syara` adalah sekumpulan ucapan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.[3]
Disebut shalat karena ia menghubungkan seorang hamba kepada penciptanya, dan shalat merupakan manifestasi penghambaan dan kebutuhan diri kepada Allah. Dari sini, maka shalat dapat menjadi media permohonan dan pertolongan untuk menyingkirkan segala bentuk kesulitan yang ditemui manusia dalam perjalanan hidupnya, sebagaimana firman Allah sebagai berikut :
$ygƒr'¯»tƒ z`ƒÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qãYÏètGó$# ÎŽö9¢Á9$$Î/ Ío4qn=¢Á9$#ur 4 ¨bÎ) ©!$# yìtB tûïÎŽÉ9»¢Á9$# ÇÊÎÌÈ  
 “Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”.[4]

Persoalan shalat adalah merupakan persoalan fundamental dan signifikan dalam Islam. Dalam menunaikan kewajiban shalat, kaum muslimin terikat pada waktu-waktu yang sudah ditentukan, sebagaimana firman Allah dalam panggalan surat al-isra` ayat 78 sebagai berikut:
¨bÎ) no4qn=¢Á9$# ôMtR%x. n?tã šúüÏZÏB÷sßJø9$# $Y7»tFÏ. $Y?qè%öq¨B ÇÊÉÌÈ
Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktu-waktunya atas orang-orang yang beriman”.[5]
Konsekuensi logis dari ayat ini adalah shalat tidak bisa dilakukan dalam sembarang waktu, tetapi harus mengikuti atau berdasharkan dalil-dalil baik dari Al-Qur’an maupun Al-Hadis. Waktu merupakan penyebab dzahir diwajibkannya shalat, sementara penyebab hakikinya adalah perintah atau ketetapan dari Allah. Penetapan kewajiban (al ijab) disandarkan kepada Allah, sedangkan kewajiban (al wujub) disandarkan pada perbuatan hamba, yaitu shalat.[6]
B.       Korelasi Waktu Shalat dengan Peredaran Matahari
   Di dalam literatur-literatur kitab fiqih, waktu shalat selalu diterangkan pertama kali oleh pengarang kitab sebelum membahas persoalan shalat yang lain. Sebab di antara persoalan-persoalan di dalam shalat itu yang paling penting ialah mengetahui waktu shalat. Jika waktu shalat telah masuk, maka kewajiban melakukan shalat telah masuk. Dan jika waktu shalat telah keluar, maka shalatnya menjadi hilang. Jadi, mengetahui waktu-waktu shalat merupakan salah satu syarat sah shalat yang paling penting di antara syarat-syarat yang lain.
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis dapat dipahami bahwa ketentuan shalat berkaitan dengan posisi matahari dan (atau) peristiwa peredaran semu matahari relatif terhadap bumi. Dikatakan gerak semu, karena matahari sebenarnya tidak bergerak, melainkan bumilah yang berputar pada sumbunya dari  barat ke timur sehingga terlihat matahari bergerak dari timur ke barat.
Imam Nawawi al Jawi memberikan catatan bahwa waktu-waktu shalat itu pada setiap daerah itu berbeda-beda menurut posisi  dan ketinggian matahari di daerah-daerah tersebut. Ada kalanya posisi matahari di suatu daerah sedang tergelincir, padahal di daerah lain justru matahari sedang terbit (thulu’).[7] Hal ini mengindikasikan bahwa bagaimanapun juga posisi dan ketinggian matahari sangat mempengaruhi penentuan awal dan akhir waktu shalat.
Banyak petunjuk yang diberikan mengenai ketentuan waktu shalat ini, baik di dalam Al-Qur’an maupun hadits-hadits Rasulullah s.a.w. Hadits yang secara lengkap menjelaskan tentang waktu shalat antara lain diterima dari Sulaiman bin Buraidah, dari ayahnya yang menceritakan sebagai berikut :
عن النبى ص.م. اَنَّ رَجُلاً  سَاَلَهُ عَنِ الْوَقْتِ الصَّلاَةِ فقال له : صَلِّ مَعَنَا هَذَيْنِ (يَعْنِى اليَوْمَيْنِ) فَلَمَّا زَالَتِ السَّمْشُ أَمَرَ بِلاَلاً فَأذَّنَ. ثُمَّ اَمَرَ فَاَقَامَ الظُّهْرَ. ثُمَّ اَمَرَهُ فَاَقَامَ العَصْرَ, وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ بَيْضَاءُ نَقِيَّةٌ. ثُمَّ اَمَرَهُ فَاَقَامَ الْمَغْرِبَ حِيْنِ غَابَتِ الشَّمْسُ. ثُمَّ اَمَرَهُ فَاَقَامَ الْعِشَاءَ خِيْنَ غَابَتِ الشَّفَقُ. ثُمَّ اَمَرَهُ فَاَقَامَ الْفَجْرَ حِيْنَ طَلَعَ الفَجْرُ. فَلَمَّا اِنْ كَانَ الْيَوْمُ الثَّانِى أَمَرَهُ فَاَبْرَدَ بِالظُّهْرِ. فَأَبْرَدَ بِهَا. فَأَنْعَمَ اَنْ يُبْرَدَ بِهَا. وَ صَلَّى الْعَصْرَ وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ. أَخَّرَهَا فَوْقَ الَّذِى كَانَ. وَ صَلَّى الْمَغْرِبِ قَبْلَ اَنْ يَغِيْبَ الشَّفَقُ. وَ صَلَّى الْعِشَاءَ بَعْدَ مَا ثُلُثُ الَّيْلِ. وَ صَلَّى الْفَجْرَ فَأَسْفَرَ بِهَا. ثُمَّ قَالَ : اَيْنَ السَّائِلُ عَنْ وَقْتِ الصَّلاَةِ ؟ فَقَالَ رَجُلٌ : اَنَا, يَا رَسُوْلَ اللهِ ! قَالَ : وَقْتُ صَّلاَتِكُمْ بَيْنَ مَا رَأَيْتُمْ (رواه المسلم)
Artinya :
Dari Nabi s.a.w., seorang lelaki bertanya kepada beliau soal waktu shalat. Nabi bersabda : “Shalatlah bersama kami pada dua hari ini.”. Ketika matahari mulai tergelincir ke arah barat, Rasulullah menyuruh Bilal untuk mengumandangkan adzan, kemudian beliau menyuruhnya untuk iqamah sebelum dilaksanakan shalat dhuhur. Kemudian beliau menyuruh mengiqamati shalat ashar, sementara pada waktu itu matahari naik dan berwarna putih bersih. Kemudian beliau menyuruh Bilal mengiqamati shalat maghrib ketika matahari sudah terbenam. Kemudian beliau menyuruh Bilal mengiqamati isya’ ketika awan merah telah benar-benar hilang. Dan kemudian beliau menyuruh Bilal mengiqamati shalat shubuh ketika suasana fajar sudah mulai merekah. Ketika memasuki hari kedua Rasulullah menyuruh Bilal untuk agak menangguhkan shalat dhuhur, dan itu dilaksanakan oleh Bilal. Selanjutnya Rasulullah melaksanakan shalat ashar ketika matahari sudah kian condong ke barat, jadi beliau menangguhkannya daripada kemarinnya. Beliau shalat maghrib sebelum mega menjadi hilang. Beliau shalat isya’ setelah lewat  sepertiga malam, dan beliau shalat shubuh ketika hari sudah remang-remang. Kemudian beliau bersabda : “Dimana orang yang bertanya mengenai waktu shalat ? Laki-laki tadi menjawab :”Saya, ya Rasulullah !” Rasulullah bersabda : Waktu shalatmu ialah seperti yang kamu lihat.” (H.R.Muslim) [8]
Hadits di atas memberikan penjelasan mengenai awal dan akhir waktu sholat, seluruhnya ditentukan menggunakan cahaya dan efek dari cahaya Matahari. Efek pergerakan Matahari diantaranya adalah berubahnya panjang bayangan benda, terbit dan terbenamnya Matahari, munculnya mega merah di waktu fajar dan berakhirnya mega merah di malam hari.
Dalam hadis yang lainya, Nabi  Muhammad SAW juga menjelaskan Secara detil mengenai waktu-waktu shalat fardlu, adapun penjelasannya adalah sebagai berikut :

  1. Waktu Dzuhur 
Imam Taqiyuddin Abi Bakar Muhammad Al Husaini  dalam  kitab Kifayatul Akhyar fi Halli Gayatul Ikhtisar, yang diterjemahkan oleh KH. Syarifuddin Anwar dan KH. Misbah Musthafa, menyatakan:
الظهور أول وقتها زوال الشمس وأخره إذا صار ظل كل شيء مثله بعد ظل الزوال
"Permulaan waktu Dhuhur adalah sejak tergelincirnya matahari. Dan akhir waktu Dzuhur  adalah jika bayang-bayang suatu benda telah sepadan dengan benda itu selain bayang-bayang yang telah ada sejak matahari tergelincir (istiwa`)”.[9]

Yang dimaksud  Zawal al Syamsi (tergelincirnya matahari) ialah apa yang tampak oleh kita, dan bukan yang berlaku dalam kenyataan. Sebab yang biasa terjadi di banyak negara, jika matahari tepat berada di tengah-tengah langit, yakni pada waktu istiwa`, orang masih melihat sisa-sisa bayangan suatu benda.
  1. Waktu Ashar  
Menurut Al Husaini memberikan batasan waktu shalat  Ashar sebagai berikut:
والعصر أول وقتها الزيادة على ظل المثل وأخره الاختيار في ظل المثلين، وفي الجواز إلى غروب الشمس.
“Awal waktu Ashar adalah bertambahnya bayang-bayang suatu benda sama dengan panjang benda tersebut. Dan akhir waktu Ashar adalah tenggelamnya matahari”.[10]
Jika bayang-bayang suatu benda telah sepadan dengan panjang benda itu, maka itu yang dikatakan akhir waktu Dzuhur dan permulaan waktu Ashar (menurut hadis Nabi).
3.      Waktu Maghrib 
Untuk waktu Maghrib, para fuqaha memberikan batasan yang sangat mudah. Misalnya Imam Nawawi memberikan batasan  "Awal waktu Maghrib adalah terbenamnya matahari. Dan akhir waktu Maghrib adalah hilangnya mega (cahaya) merah."
عن عبد الله بن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: .... ووقت المغرب إذا غابت الشمس ما لم يسقط الشفق..... ) رواه مسلم(
Artinya : “Waktu Maghrib ialah ketika matahari terbenam selama mega merah belum lenyap” (Riwayat Muslim).

  1. Waktu Isya’
Batasan waktu shalat Ashar, menurut Imam Taqiyuddin Abi Bakar Muhammad Al Husaini :                                                      
والعشاء وأول وقتها إذا غابت الشفق الأحمر وأخره في الاختيار إلى ثلث الليل، وفي الجواز إلى طلوع الفجر الثاني
Permulaan waktu Isya’ ialah ketika mega merah telah lenyap. Dan akhir waktunya di dalam waktu ikhtiar, hingga sepertiga malam. Dan akhir waktunya di dalam waktu jawaz hingga munculnya fajar yang kedua”.[11]
Masuknya waktu Isya’ bersama dengan hilangnya mega  merah, menurut beberapa hadis. Ibnu Rif’ah mengatakan, ketetapan tersebut berdasarkan Ijmak Ulama’. Waktu ikhtiar untuk shalat Isya’, yaitu sebelum lewat sepertiga malam, karena Hadisnya Jibril a.s. Di dalam satu qaul dikatakan bahwa waktu ikhtiar untuk shalat Isya’ itu hingga lewat separuh malam.
  1. Waktu Subuh
Permulaan waktu Subuh ialah munculnya fajar. Dan akhir waktunya di dalam waktu ikhtiar ialah hingga remang-remang pagi. Dan akhir waktunya di dalam waktu jawaz ialah hingga munculnya matahari.[12]
والصبح ووأول وقتها طلوع الفجر وأخره في الاختيار إلى الإسفار وفي الجواز إلى طلوع الشمس.
Yang dimaksud dengan dengan permulaan waktu Subuh ialah munculnya fajar, fajar di sini yang dimaksudkan adalah fajar shadiq. Fajar shadiq ialah fajar yang terangnya menyebar dan melintang di ufuk timur. Fajar ini ialah fajar yang kedua. Adapun fajar pertama tidak merupakan permulaan masuknya waktu Subuh. Fajar itu warnanya abu-abu, bentuknya memanjang ke  atas. Fajar ini juga dikatakan sebagai fajar kadzib, karena dia bersinar lalu menghitam lagi.
Dengan demikian berdasarkan keterangan hadist tersebut diatas, bahwa posisi matahari sangat berperan penting dalam persoalan penentuan awal dan akhir waktu sholat. seluruhnya ditentukan menggunakan efek dari cahaya Matahari dan pergerakannya.
Pada zaman Rasulullah SAW, penentuan awal dan akhir waktu sholat menggunakan pengamatan atau observasi terhadap gejala alam dengan melihat langsung Matahari. Seiring perkembangan zaman, berkembang pula cara menentukan waktu sholat, yakni dengan dibuatnya Jam Surya atau Jam Matahari serta Jam Istiwa atau sering disebut Tongkat Istiwa dengan kaidah bayangan Matahari. Namun dengan kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan, meski tanpa melihat posisi Matahari, ummat Islam kini sudah dapat mengetahui awal dan akhir waktu sholat.
C.      Proses Terjadinya Zawal Sebagai Pertanda Masuknya Awal Waktu Sholat
Berdasarkan kajian pustaka tersebut diatas dapat dipahami bahwa peristiwa zawal erat kaitanya dengan pertanda awal masuknya sholat dzuhur. Diperjelas dengan adanya hadis nabi Muhammad saw seperti berikut:
الظهور أول وقتها زوال الشمس وأخره إذا صار ظل كل شيء مثله بعد ظل الزوال
"Permulaan waktu Dhuhur adalah sejak tergelincirnya matahari. Dan akhir waktu Dzuhur  adalah jika bayang-bayang suatu benda telah sepadan dengan benda itu selain bayang-bayang yang telah ada sejak matahari tergelincir (istiwa`)”.[13]

Imam Nawawi mengatakan “Para sahabat kami mengatakan, tergelincirnya matahari (Zawal Al Syams) adalah condongnya matahari dari pertengahan langit di waktu siang. Adapun tandanya adalah dengan bertambahnya bayangan setelah sebelumnya sempat berkurang. Hal itu dikarenakan bayangan seseorang di waktu pagi memanjang dan semakin pendek setiap kali matahari naik. Pada pertengahan bayangan itu berhenti, dan ketika matahari mulai tergelincir bayangan itu kembali bertambah panjang.[14]
Sehingga secara Astronomi Proses terjadinya zawal sebagai awal masuknya sholat dzuhur dapat disimpulkan sebagai berikut:
Ø  Shalat dhuhur dimulai saat matahari tergelincir (zawal) ke arah barat. Ini berarti bahwa secara astronomis matahari telah melampaui garis meredian (Merpass). Perlu dipahami bahwa secara astronomis, keadaan Merpass ini tidak selalu matahari berhimpit dengan titik zenit (tepat di atas kepala kita). Hal ini disebabkan pergeseran matahari dari khatulistiwa, ke lintang utara, ke tengah dan ke lintang selatan selalu bergerak secara konstan dan tidak pernah berhenti. [15]
Perhatikan gambar berikut ini :

         
             23°27’LU
                                                                                          Lintasan Matahari
                                                                                           
             0°
                                                                                       Garis Bujur
                                                                                         Kota ttt.
            23°27’LS

Yang dimaksud Zawal al Syamsi (tergelincirnya matahari), kata "zawal" secara harfiah berarti waktu ketika matahari bergerak menjauh dari meridian pusat atau bergesernya matahari –tergelincirnya matahari- dari titik pusat kulminasi atas kearah barat.
Sehingga dapat digambarkan sebagai berikut:
Dengan demikian, dapat di simpulkan bahwa proses terjadinya zawal adalah peristiwa tergelincirnya piringan matahari dari titik pusat kulminasi atas kearah barat. Sehingga Proses terjadinya zawal tersebut adalah sebagai tanda awal masuknya sholat dzuhur.
D.      Proses Terjadinya Ghurub Sebagai Pertanda Masuknya Awal Waktu Sholat
Demikian halnya dengan zawal, bahwa peristiwa ghurub erat kaitanya dengan pertanda awal waktu sholat, khususnya awal waktu sholat maghrib. Secara umum Ghurub Al Syamsi adalah matahari terbenam, yang dalam astronomi dikenal dengan sunset.[16]
Dalam ilmu falak pertanda awal masuknya sholat maghrib berarti saat Ghurub al Syamsi (terbenam matahari), yang proses terjadinya adalah pada saat seluruh piringan bagian atas matahari telah melampaui garis horizon, sebagaimana kita lihat pada gambar berikut ini :
B                                                                                                        O
P

Keterangan :
B = titik arah barat
P = titik pusat matahari
O = tempat pengamat
Sudut BOP = saat terbenam matahari
Ketika ghurub atau matahari terbenam adalah piringan atas matahari telah bersinggungan dengan ufuk barat. Sehingga didefinisikan matahari terbenam saat jarak zenith berada pada posisi 90o ditambah 1o bila memasukkan koreksi kerendahan ufuk akibat ketinggian pengamat 30 meter dari permukaan tanah, [17] sehingga ketinggian matahari pada waktu maghrib bernilai - 1o . nilai ketinggian matahari bernilai negative disebabkan pada saat peristiwa ghurub posisi matahari berada di bawah ufuk sehingga bernilai negative.
Dengan demikian semakin jelas, bahwa proses terjadinya Zawal dan ghurub adalah suatu peristiwa yang berkaitan dengan waktu sholat, yang diakibatkan oleh pengaruh posisi dan ketinggian matahari, serta efek cahaya matahari akibat pergerakannya. Sehingga mempengaruhi berubahnya panjang bayangan benda, serta terbit dan terbenamnya matahari, mengakibatkan munculnya mega putih di waktu fajar dan berakhirnya mega merah di senja hari.

E.       KESIMPULAN
Dari berbagai pemaparan yang telah di jelaskan dan dibahas pada bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut :
  1. Proses terjadinya zawal adalah ketika matahari bergerak menjauh dari meridian pusat atau bergesernya matahari –tergelincirnya matahari- dari titik pusat kulminasi atas kearah barat. Sehingga Proses terjadinya zawal tersebut adalah sebagai tanda awal masuknya sholat dzuhur.
  2. Dalam ilmu falak pertanda awal masuknya sholat maghrib berarti saat Ghurub al Syamsi (terbenam matahari), yang proses terjadinya adalah pada saat seluruh piringan bagian atas matahari telah melampaui garis horizon.



DAFTAR PUSTAKA
Al Husaini, Imam Taqiyuddin Abi Bakar Bin Muhammad  (2007)  Kifayatul Akhyar fi Halli Gayatul Ikhtisar diterjemahkan oleh KH. Syarifuddin Anwar dan K.H. Mishbah Musthafa dengan judul Kifayatul Akhyar (Kelengkapan Orang Saleh). Surabaya : CV Bina Iman.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya, juz 1-30. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, 2005.




[1] Al-Qur’an dan Terjemahannya – Departemen Agama RI, 1983. p. 138
[2] Ibid., hal. 436
[3] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas,  Fiqih Ibadah, (Jakarta: Amzah, 2009) 154.
[4]Departemen Agama RI, al-Qur’an …, al Baqarah, 153.
[5]Ibid., al-Isra` ayat 78.
[6] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, ,  Fiqih Ibadah, hal.154.
[7] Al Syekh al Imam al Alim al Fadhil Abu Abdul Mu’thi Muhammad al Nawawi al Jawi (selanjutnya disebut Imam Nawawi al Jawi), Syarh Kasyifah al Saja ala Safinah al Naja fi Ushul al Din wa al Fiqh, (Surabaya : al Hidayah, tt), 66.
[8] Musthafa, K.H.Adib Bisri – Tarjamah Shohih Muslim Jilid 1 – Semarang, As-Syifa’, 1992. p. 728 – 729.
[9]Imam Taqiyuddin Abi Bakar Bin Muhammad Al-Husaini,  Kifayatul Akhyar fi Halli Gayatul Ikhtisar diterjemahkan oleh KH. Syarifuddin Anwar dan K.H. Mishbah Musthafa dengan judul Kifayatul Akhyar (Kelengkapan Orang Saleh). (Surabaya : CV Bina Iman, 2007), 182. 
[10] Al-Husaini, 82.
[11]Al-Husaini, 185, 
[12]Al-Husaini, 186.
[13]Imam Taqiyuddin Abi Bakar Bin Muhammad Al-Husaini,  Kifayatul Akhyar fi Halli Gayatul Ikhtisar diterjemahkan oleh KH. Syarifuddin Anwar dan K.H. Mishbah Musthafa dengan judul Kifayatul Akhyar (Kelengkapan Orang Saleh). (Surabaya : CV Bina Iman, 2007), 182. 
[14]Imam Abu Zakariya bin Yahya bin Syaraf al-Nawawi al-Dimasyqi, “Raudhah al Thalibin”, diterjemahkan H. Muhyiddin Mas Rida dkk,  Raudhah al Thalibin, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2007),  414.
[15]Drs. Fathurrahman Sani, M.Psi, “Awal Waktu Shalat dan Penghitunganya”, disampaikan pada mata kuliah Hisab Kontemporer I, tgl 13 November 2010
[16] Muhyiddin Khozin, “Kamus ilmu Falak” (Yogyakarta: Buana Pustaka, 2005), hal.27
SEBAGAI PERTANDA MASUKNYA AWAL WAKTU SHALAT
Dosen : Dr. KH. Abdus Salam Nawawi, MAg
Oleh: Ayu Nurul Faizah

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Pengetahuan tentang letak, pergerakan dan sifat-sifat matahari, bulan, bintang, planet (termasuk bumi) disebut Astronomi. Ilmu Falak sebagai bagian dari ilmu Astronomi mempelajari yang berkaitan dengan benda-benda langit, baik dari segi bentuk, ukuran, fisik, posisi, gerakan maupun hubungan satu dengan lainnya.
Ilmu falak seperti dituturkan banyak praktisi merupakan cabang keilmuan Islam yang memiliki posisi istimewa. Ilmu ini adalah cabang ilmu yang tidak banyak mendapat penentangan dari umat muslim karena peranannya yang demikian signifikan dalam penentuan waktu ibadah. Sejak dahulu dan hingga kini, ilmu falak mendapat tempat terhormat dan dihargai oleh para ahli agama (fukaha) yang terus bertahan hingga era modern.
Di zaman tengah, selain disebut ilmu 'falak' dan 'haiah', ilmu ini di sebut juga ilmu observasi (ar-rashd) yang merupakan bagian integral dalam ilmu falak. Selain itu ilmu ini disebut juga ilmu waktu (miqat) karena ia berkaitan dengan penentuan waktu (khususnya waktu salat dan arah kiblat).
Dari sekian banyak cabang ilmu falak (astronomi), falak syar`i menempati posisi strategis dalam islam, ini terkait dengan beberapa ibadah yang secara langsung bersentuhan dengan falak syar`i. Obyek pembahasan utama ilmu falak syar'i dalam Islam adalah fenomena bulan dan matahari. Fenomena alamiah dari dua benda angkasa ini menjadi wasilah kebolehan dan batas waktu ibadah seorang muslim seperti batas waktu salat, puasa dan kiblat yang diperkuat oleh berbagai nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Pembahasan falak syar`î secara garis besar meliputi empat hal: (1) penetapan awal-awal bulan kamariah, (2) penetapan waktu-waktu salat, (3) penentuan arah dan bayang kiblat, dan (4) penentuan terjadinya gerhana (baik gerhana matahari maupun gerhana bulan).
Persoalan shalat adalah merupakan persoalan fundamental dan signifikan dalam Islam. Dalam menunaikan kewajiban shalat, kaum muslimin terikat pada waktu-waktu yang sudah ditentukan .
Alloh s.w.t. berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ 103 :
 …… 4 ¨bÎ) no4qn=¢Á9$# ôMtR%x. n?tã šúüÏZÏB÷sßJø9$# $Y7»tFÏ. $Y?qè%öq¨B ÇÊÉÌÈ  
Artinya :
“...Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang yang beriman”.[1]

Ayat tersebut mengindikasikan bahwa shalat itu harus dikerjakan sesuai dengan waktu-waktunya,  apabila tidak ada halangan yang sesuai dengan syara’. Dan secara implisit, ada larangan untuk menunda-nunda pelaksanaan shalat sampai habis waktunya.
Pada ayat lain, Allah SWT berfirman :
ÉOÏ%r& no4qn=¢Á9$# Ï8qä9à$Î! ħôJ¤±9$# 4n<Î) È,|¡xî È@ø©9$# tb#uäöè%ur ̍ôfxÿø9$# ( ¨bÎ) tb#uäöè% ̍ôfxÿø9$# šc%x. #YŠqåkôtB ÇÐÑÈ  
Artinya:
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)”.[2]

Ayat di atas mengindikasikan bahwa shalat itu wajib dikerjakan pada waktu matahari tergelincir (untuk shalat Dzuhur dan Ashar), waktu gelap malam (untuk shalat Maghrib dan Isya’) dan pada waktu fajar (untuk shalat Subuh).
Dari keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa peredaran matahari berperan penting sebagai pedoman atau pijakan dalam  penentuan awal dan akhir waktu shalat bagi umat Islam. Untuk itu, penulis mencoba memberikan kajian terkait dengan peredaran matahari  sebagai pedoman atau pijakan dalam penentuan awal waktu Sholat yang berjudul “Kajian Zawal & Ghurub Sebagai Pertanda Masuknya Awal Waktu Shalat”.

B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, pembahasan ini membahas masalah tentang
  1. Bagaimana proses terjadinya zawal sebagai pertanda masuknya awal waktu sholat?
  2. Bagaimana proses terjadinya ghurub sebagai pertanda masuknya awal waktu sholat?
C.      Tujuan Penelitian
  1. Untuk mengetahui proses terjadinya zawal sebagai pertanda masuknya awal waktu sholat.
  2. Untuk mengetahui proses terjadinya ghurub sebagai pertanda masuknya awal waktu sholat.
  3. Sebagai sumbangsih ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang ilmu falak yang berkaitan dengan zawal dan ghurub sebagai pertanda masuknya awal waktu sholat.
D.      Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menelaah atau mengkaji sumber kepustakaan berupa data-data yang relevan dengan pembahasan ini.







BAB II
PEMBAHASAN

A.      Makna Waktu Shalat
Untuk dapat mengetahui dan mengerti mengenai proses terjadinya zawal dan ghurub sebagai pertanda masuknya awal waktu sholat, maka terlebih dahulu perlu dipahami landasan teori mengenai waktu sholat.
Shalat menurut bahasa adalah do`a, sedangkan menurut terminologi syara` adalah sekumpulan ucapan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.[3]
Disebut shalat karena ia menghubungkan seorang hamba kepada penciptanya, dan shalat merupakan manifestasi penghambaan dan kebutuhan diri kepada Allah. Dari sini, maka shalat dapat menjadi media permohonan dan pertolongan untuk menyingkirkan segala bentuk kesulitan yang ditemui manusia dalam perjalanan hidupnya, sebagaimana firman Allah sebagai berikut :
$ygƒr'¯»tƒ z`ƒÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qãYÏètGó$# ÎŽö9¢Á9$$Î/ Ío4qn=¢Á9$#ur 4 ¨bÎ) ©!$# yìtB tûïÎŽÉ9»¢Á9$# ÇÊÎÌÈ  
 “Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”.[4]

Persoalan shalat adalah merupakan persoalan fundamental dan signifikan dalam Islam. Dalam menunaikan kewajiban shalat, kaum muslimin terikat pada waktu-waktu yang sudah ditentukan, sebagaimana firman Allah dalam panggalan surat al-isra` ayat 78 sebagai berikut:
¨bÎ) no4qn=¢Á9$# ôMtR%x. n?tã šúüÏZÏB÷sßJø9$# $Y7»tFÏ. $Y?qè%öq¨B ÇÊÉÌÈ
Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktu-waktunya atas orang-orang yang beriman”.[5]
Konsekuensi logis dari ayat ini adalah shalat tidak bisa dilakukan dalam sembarang waktu, tetapi harus mengikuti atau berdasharkan dalil-dalil baik dari Al-Qur’an maupun Al-Hadis. Waktu merupakan penyebab dzahir diwajibkannya shalat, sementara penyebab hakikinya adalah perintah atau ketetapan dari Allah. Penetapan kewajiban (al ijab) disandarkan kepada Allah, sedangkan kewajiban (al wujub) disandarkan pada perbuatan hamba, yaitu shalat.[6]
B.       Korelasi Waktu Shalat dengan Peredaran Matahari
   Di dalam literatur-literatur kitab fiqih, waktu shalat selalu diterangkan pertama kali oleh pengarang kitab sebelum membahas persoalan shalat yang lain. Sebab di antara persoalan-persoalan di dalam shalat itu yang paling penting ialah mengetahui waktu shalat. Jika waktu shalat telah masuk, maka kewajiban melakukan shalat telah masuk. Dan jika waktu shalat telah keluar, maka shalatnya menjadi hilang. Jadi, mengetahui waktu-waktu shalat merupakan salah satu syarat sah shalat yang paling penting di antara syarat-syarat yang lain.
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis dapat dipahami bahwa ketentuan shalat berkaitan dengan posisi matahari dan (atau) peristiwa peredaran semu matahari relatif terhadap bumi. Dikatakan gerak semu, karena matahari sebenarnya tidak bergerak, melainkan bumilah yang berputar pada sumbunya dari  barat ke timur sehingga terlihat matahari bergerak dari timur ke barat.
Imam Nawawi al Jawi memberikan catatan bahwa waktu-waktu shalat itu pada setiap daerah itu berbeda-beda menurut posisi  dan ketinggian matahari di daerah-daerah tersebut. Ada kalanya posisi matahari di suatu daerah sedang tergelincir, padahal di daerah lain justru matahari sedang terbit (thulu’).[7] Hal ini mengindikasikan bahwa bagaimanapun juga posisi dan ketinggian matahari sangat mempengaruhi penentuan awal dan akhir waktu shalat.
Banyak petunjuk yang diberikan mengenai ketentuan waktu shalat ini, baik di dalam Al-Qur’an maupun hadits-hadits Rasulullah s.a.w. Hadits yang secara lengkap menjelaskan tentang waktu shalat antara lain diterima dari Sulaiman bin Buraidah, dari ayahnya yang menceritakan sebagai berikut :
عن النبى ص.م. اَنَّ رَجُلاً  سَاَلَهُ عَنِ الْوَقْتِ الصَّلاَةِ فقال له : صَلِّ مَعَنَا هَذَيْنِ (يَعْنِى اليَوْمَيْنِ) فَلَمَّا زَالَتِ السَّمْشُ أَمَرَ بِلاَلاً فَأذَّنَ. ثُمَّ اَمَرَ فَاَقَامَ الظُّهْرَ. ثُمَّ اَمَرَهُ فَاَقَامَ العَصْرَ, وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ بَيْضَاءُ نَقِيَّةٌ. ثُمَّ اَمَرَهُ فَاَقَامَ الْمَغْرِبَ حِيْنِ غَابَتِ الشَّمْسُ. ثُمَّ اَمَرَهُ فَاَقَامَ الْعِشَاءَ خِيْنَ غَابَتِ الشَّفَقُ. ثُمَّ اَمَرَهُ فَاَقَامَ الْفَجْرَ حِيْنَ طَلَعَ الفَجْرُ. فَلَمَّا اِنْ كَانَ الْيَوْمُ الثَّانِى أَمَرَهُ فَاَبْرَدَ بِالظُّهْرِ. فَأَبْرَدَ بِهَا. فَأَنْعَمَ اَنْ يُبْرَدَ بِهَا. وَ صَلَّى الْعَصْرَ وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ. أَخَّرَهَا فَوْقَ الَّذِى كَانَ. وَ صَلَّى الْمَغْرِبِ قَبْلَ اَنْ يَغِيْبَ الشَّفَقُ. وَ صَلَّى الْعِشَاءَ بَعْدَ مَا ثُلُثُ الَّيْلِ. وَ صَلَّى الْفَجْرَ فَأَسْفَرَ بِهَا. ثُمَّ قَالَ : اَيْنَ السَّائِلُ عَنْ وَقْتِ الصَّلاَةِ ؟ فَقَالَ رَجُلٌ : اَنَا, يَا رَسُوْلَ اللهِ ! قَالَ : وَقْتُ صَّلاَتِكُمْ بَيْنَ مَا رَأَيْتُمْ (رواه المسلم)
Artinya :
Dari Nabi s.a.w., seorang lelaki bertanya kepada beliau soal waktu shalat. Nabi bersabda : “Shalatlah bersama kami pada dua hari ini.”. Ketika matahari mulai tergelincir ke arah barat, Rasulullah menyuruh Bilal untuk mengumandangkan adzan, kemudian beliau menyuruhnya untuk iqamah sebelum dilaksanakan shalat dhuhur. Kemudian beliau menyuruh mengiqamati shalat ashar, sementara pada waktu itu matahari naik dan berwarna putih bersih. Kemudian beliau menyuruh Bilal mengiqamati shalat maghrib ketika matahari sudah terbenam. Kemudian beliau menyuruh Bilal mengiqamati isya’ ketika awan merah telah benar-benar hilang. Dan kemudian beliau menyuruh Bilal mengiqamati shalat shubuh ketika suasana fajar sudah mulai merekah. Ketika memasuki hari kedua Rasulullah menyuruh Bilal untuk agak menangguhkan shalat dhuhur, dan itu dilaksanakan oleh Bilal. Selanjutnya Rasulullah melaksanakan shalat ashar ketika matahari sudah kian condong ke barat, jadi beliau menangguhkannya daripada kemarinnya. Beliau shalat maghrib sebelum mega menjadi hilang. Beliau shalat isya’ setelah lewat  sepertiga malam, dan beliau shalat shubuh ketika hari sudah remang-remang. Kemudian beliau bersabda : “Dimana orang yang bertanya mengenai waktu shalat ? Laki-laki tadi menjawab :”Saya, ya Rasulullah !” Rasulullah bersabda : Waktu shalatmu ialah seperti yang kamu lihat.” (H.R.Muslim) [8]
Hadits di atas memberikan penjelasan mengenai awal dan akhir waktu sholat, seluruhnya ditentukan menggunakan cahaya dan efek dari cahaya Matahari. Efek pergerakan Matahari diantaranya adalah berubahnya panjang bayangan benda, terbit dan terbenamnya Matahari, munculnya mega merah di waktu fajar dan berakhirnya mega merah di malam hari.
Dalam hadis yang lainya, Nabi  Muhammad SAW juga menjelaskan Secara detil mengenai waktu-waktu shalat fardlu, adapun penjelasannya adalah sebagai berikut :

  1. Waktu Dzuhur 
Imam Taqiyuddin Abi Bakar Muhammad Al Husaini  dalam  kitab Kifayatul Akhyar fi Halli Gayatul Ikhtisar, yang diterjemahkan oleh KH. Syarifuddin Anwar dan KH. Misbah Musthafa, menyatakan:
الظهور أول وقتها زوال الشمس وأخره إذا صار ظل كل شيء مثله بعد ظل الزوال
"Permulaan waktu Dhuhur adalah sejak tergelincirnya matahari. Dan akhir waktu Dzuhur  adalah jika bayang-bayang suatu benda telah sepadan dengan benda itu selain bayang-bayang yang telah ada sejak matahari tergelincir (istiwa`)”.[9]

Yang dimaksud  Zawal al Syamsi (tergelincirnya matahari) ialah apa yang tampak oleh kita, dan bukan yang berlaku dalam kenyataan. Sebab yang biasa terjadi di banyak negara, jika matahari tepat berada di tengah-tengah langit, yakni pada waktu istiwa`, orang masih melihat sisa-sisa bayangan suatu benda.
  1. Waktu Ashar  
Menurut Al Husaini memberikan batasan waktu shalat  Ashar sebagai berikut:
والعصر أول وقتها الزيادة على ظل المثل وأخره الاختيار في ظل المثلين، وفي الجواز إلى غروب الشمس.
“Awal waktu Ashar adalah bertambahnya bayang-bayang suatu benda sama dengan panjang benda tersebut. Dan akhir waktu Ashar adalah tenggelamnya matahari”.[10]
Jika bayang-bayang suatu benda telah sepadan dengan panjang benda itu, maka itu yang dikatakan akhir waktu Dzuhur dan permulaan waktu Ashar (menurut hadis Nabi).
3.      Waktu Maghrib 
Untuk waktu Maghrib, para fuqaha memberikan batasan yang sangat mudah. Misalnya Imam Nawawi memberikan batasan  "Awal waktu Maghrib adalah terbenamnya matahari. Dan akhir waktu Maghrib adalah hilangnya mega (cahaya) merah."
عن عبد الله بن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: .... ووقت المغرب إذا غابت الشمس ما لم يسقط الشفق..... ) رواه مسلم(
Artinya : “Waktu Maghrib ialah ketika matahari terbenam selama mega merah belum lenyap” (Riwayat Muslim).

  1. Waktu Isya’
Batasan waktu shalat Ashar, menurut Imam Taqiyuddin Abi Bakar Muhammad Al Husaini :                                                      
والعشاء وأول وقتها إذا غابت الشفق الأحمر وأخره في الاختيار إلى ثلث الليل، وفي الجواز إلى طلوع الفجر الثاني
Permulaan waktu Isya’ ialah ketika mega merah telah lenyap. Dan akhir waktunya di dalam waktu ikhtiar, hingga sepertiga malam. Dan akhir waktunya di dalam waktu jawaz hingga munculnya fajar yang kedua”.[11]
Masuknya waktu Isya’ bersama dengan hilangnya mega  merah, menurut beberapa hadis. Ibnu Rif’ah mengatakan, ketetapan tersebut berdasarkan Ijmak Ulama’. Waktu ikhtiar untuk shalat Isya’, yaitu sebelum lewat sepertiga malam, karena Hadisnya Jibril a.s. Di dalam satu qaul dikatakan bahwa waktu ikhtiar untuk shalat Isya’ itu hingga lewat separuh malam.
  1. Waktu Subuh
Permulaan waktu Subuh ialah munculnya fajar. Dan akhir waktunya di dalam waktu ikhtiar ialah hingga remang-remang pagi. Dan akhir waktunya di dalam waktu jawaz ialah hingga munculnya matahari.[12]
والصبح ووأول وقتها طلوع الفجر وأخره في الاختيار إلى الإسفار وفي الجواز إلى طلوع الشمس.
Yang dimaksud dengan dengan permulaan waktu Subuh ialah munculnya fajar, fajar di sini yang dimaksudkan adalah fajar shadiq. Fajar shadiq ialah fajar yang terangnya menyebar dan melintang di ufuk timur. Fajar ini ialah fajar yang kedua. Adapun fajar pertama tidak merupakan permulaan masuknya waktu Subuh. Fajar itu warnanya abu-abu, bentuknya memanjang ke  atas. Fajar ini juga dikatakan sebagai fajar kadzib, karena dia bersinar lalu menghitam lagi.
Dengan demikian berdasarkan keterangan hadist tersebut diatas, bahwa posisi matahari sangat berperan penting dalam persoalan penentuan awal dan akhir waktu sholat. seluruhnya ditentukan menggunakan efek dari cahaya Matahari dan pergerakannya.
Pada zaman Rasulullah SAW, penentuan awal dan akhir waktu sholat menggunakan pengamatan atau observasi terhadap gejala alam dengan melihat langsung Matahari. Seiring perkembangan zaman, berkembang pula cara menentukan waktu sholat, yakni dengan dibuatnya Jam Surya atau Jam Matahari serta Jam Istiwa atau sering disebut Tongkat Istiwa dengan kaidah bayangan Matahari. Namun dengan kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan, meski tanpa melihat posisi Matahari, ummat Islam kini sudah dapat mengetahui awal dan akhir waktu sholat.
C.      Proses Terjadinya Zawal Sebagai Pertanda Masuknya Awal Waktu Sholat
Berdasarkan kajian pustaka tersebut diatas dapat dipahami bahwa peristiwa zawal erat kaitanya dengan pertanda awal masuknya sholat dzuhur. Diperjelas dengan adanya hadis nabi Muhammad saw seperti berikut:
الظهور أول وقتها زوال الشمس وأخره إذا صار ظل كل شيء مثله بعد ظل الزوال
"Permulaan waktu Dhuhur adalah sejak tergelincirnya matahari. Dan akhir waktu Dzuhur  adalah jika bayang-bayang suatu benda telah sepadan dengan benda itu selain bayang-bayang yang telah ada sejak matahari tergelincir (istiwa`)”.[13]

Imam Nawawi mengatakan “Para sahabat kami mengatakan, tergelincirnya matahari (Zawal Al Syams) adalah condongnya matahari dari pertengahan langit di waktu siang. Adapun tandanya adalah dengan bertambahnya bayangan setelah sebelumnya sempat berkurang. Hal itu dikarenakan bayangan seseorang di waktu pagi memanjang dan semakin pendek setiap kali matahari naik. Pada pertengahan bayangan itu berhenti, dan ketika matahari mulai tergelincir bayangan itu kembali bertambah panjang.[14]
Sehingga secara Astronomi Proses terjadinya zawal sebagai awal masuknya sholat dzuhur dapat disimpulkan sebagai berikut:
Ø  Shalat dhuhur dimulai saat matahari tergelincir (zawal) ke arah barat. Ini berarti bahwa secara astronomis matahari telah melampaui garis meredian (Merpass). Perlu dipahami bahwa secara astronomis, keadaan Merpass ini tidak selalu matahari berhimpit dengan titik zenit (tepat di atas kepala kita). Hal ini disebabkan pergeseran matahari dari khatulistiwa, ke lintang utara, ke tengah dan ke lintang selatan selalu bergerak secara konstan dan tidak pernah berhenti. [15]
Perhatikan gambar berikut ini :

         
             23°27’LU
                                                                                          Lintasan Matahari
                                                                                           
             0°
                                                                                       Garis Bujur
                                                                                         Kota ttt.
            23°27’LS

Yang dimaksud Zawal al Syamsi (tergelincirnya matahari), kata "zawal" secara harfiah berarti waktu ketika matahari bergerak menjauh dari meridian pusat atau bergesernya matahari –tergelincirnya matahari- dari titik pusat kulminasi atas kearah barat.
Sehingga dapat digambarkan sebagai berikut:
Dengan demikian, dapat di simpulkan bahwa proses terjadinya zawal adalah peristiwa tergelincirnya piringan matahari dari titik pusat kulminasi atas kearah barat. Sehingga Proses terjadinya zawal tersebut adalah sebagai tanda awal masuknya sholat dzuhur.
D.      Proses Terjadinya Ghurub Sebagai Pertanda Masuknya Awal Waktu Sholat
Demikian halnya dengan zawal, bahwa peristiwa ghurub erat kaitanya dengan pertanda awal waktu sholat, khususnya awal waktu sholat maghrib. Secara umum Ghurub Al Syamsi adalah matahari terbenam, yang dalam astronomi dikenal dengan sunset.[16]
Dalam ilmu falak pertanda awal masuknya sholat maghrib berarti saat Ghurub al Syamsi (terbenam matahari), yang proses terjadinya adalah pada saat seluruh piringan bagian atas matahari telah melampaui garis horizon, sebagaimana kita lihat pada gambar berikut ini :
B                                                                                                        O
P

Keterangan :
B = titik arah barat
P = titik pusat matahari
O = tempat pengamat
Sudut BOP = saat terbenam matahari
Ketika ghurub atau matahari terbenam adalah piringan atas matahari telah bersinggungan dengan ufuk barat. Sehingga didefinisikan matahari terbenam saat jarak zenith berada pada posisi 90o ditambah 1o bila memasukkan koreksi kerendahan ufuk akibat ketinggian pengamat 30 meter dari permukaan tanah, [17] sehingga ketinggian matahari pada waktu maghrib bernilai - 1o . nilai ketinggian matahari bernilai negative disebabkan pada saat peristiwa ghurub posisi matahari berada di bawah ufuk sehingga bernilai negative.
Dengan demikian semakin jelas, bahwa proses terjadinya Zawal dan ghurub adalah suatu peristiwa yang berkaitan dengan waktu sholat, yang diakibatkan oleh pengaruh posisi dan ketinggian matahari, serta efek cahaya matahari akibat pergerakannya. Sehingga mempengaruhi berubahnya panjang bayangan benda, serta terbit dan terbenamnya matahari, mengakibatkan munculnya mega putih di waktu fajar dan berakhirnya mega merah di senja hari.

E.       KESIMPULAN
Dari berbagai pemaparan yang telah di jelaskan dan dibahas pada bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut :
  1. Proses terjadinya zawal adalah ketika matahari bergerak menjauh dari meridian pusat atau bergesernya matahari –tergelincirnya matahari- dari titik pusat kulminasi atas kearah barat. Sehingga Proses terjadinya zawal tersebut adalah sebagai tanda awal masuknya sholat dzuhur.
  2. Dalam ilmu falak pertanda awal masuknya sholat maghrib berarti saat Ghurub al Syamsi (terbenam matahari), yang proses terjadinya adalah pada saat seluruh piringan bagian atas matahari telah melampaui garis horizon.


DAFTAR PUSTAKA
Al Husaini, Imam Taqiyuddin Abi Bakar Bin Muhammad  (2007)  Kifayatul Akhyar fi Halli Gayatul Ikhtisar diterjemahkan oleh KH. Syarifuddin Anwar dan K.H. Mishbah Musthafa dengan judul Kifayatul Akhyar (Kelengkapan Orang Saleh). Surabaya : CV Bina Iman.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya, juz 1-30. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, 2005.



[1] Al-Qur’an dan Terjemahannya – Departemen Agama RI, 1983. p. 138
[2] Ibid., hal. 436
[3] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas,  Fiqih Ibadah, (Jakarta: Amzah, 2009) 154.
[4]Departemen Agama RI, al-Qur’an …, al Baqarah, 153.
[5]Ibid., al-Isra` ayat 78.
[6] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, ,  Fiqih Ibadah, hal.154.
[7] Al Syekh al Imam al Alim al Fadhil Abu Abdul Mu’thi Muhammad al Nawawi al Jawi (selanjutnya disebut Imam Nawawi al Jawi), Syarh Kasyifah al Saja ala Safinah al Naja fi Ushul al Din wa al Fiqh, (Surabaya : al Hidayah, tt), 66.
[8] Musthafa, K.H.Adib Bisri – Tarjamah Shohih Muslim Jilid 1 – Semarang, As-Syifa’, 1992. p. 728 – 729.
[9]Imam Taqiyuddin Abi Bakar Bin Muhammad Al-Husaini,  Kifayatul Akhyar fi Halli Gayatul Ikhtisar diterjemahkan oleh KH. Syarifuddin Anwar dan K.H. Mishbah Musthafa dengan judul Kifayatul Akhyar (Kelengkapan Orang Saleh). (Surabaya : CV Bina Iman, 2007), 182. 
[10] Al-Husaini, 82.
[11]Al-Husaini, 185, 
[12]Al-Husaini, 186.
[13]Imam Taqiyuddin Abi Bakar Bin Muhammad Al-Husaini,  Kifayatul Akhyar fi Halli Gayatul Ikhtisar diterjemahkan oleh KH. Syarifuddin Anwar dan K.H. Mishbah Musthafa dengan judul Kifayatul Akhyar (Kelengkapan Orang Saleh). (Surabaya : CV Bina Iman, 2007), 182. 
[14]Imam Abu Zakariya bin Yahya bin Syaraf al-Nawawi al-Dimasyqi, “Raudhah al Thalibin”, diterjemahkan H. Muhyiddin Mas Rida dkk,  Raudhah al Thalibin, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2007),  414.
[15]Drs. Fathurrahman Sani, M.Psi, “Awal Waktu Shalat dan Penghitunganya”, disampaikan pada mata kuliah Hisab Kontemporer I, tgl 13 November 2010
[16] Muhyiddin Khozin, “Kamus ilmu Falak” (Yogyakarta: Buana Pustaka, 2005), hal.27

Tidak ada komentar:

Posting Komentar