Senin, 26 Mei 2014

kalender hijriyah (Kusdiyana)

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
            Kalender Hijriyah (dalam Bahasa Arab: التقويم الهجري; at-taqwim al-hijri) merupakan sebuah system kalender yang digunakan oleh umat Islam, termasuk dalam menentukan tanggal atau bulan yang berkaitan dengan ritual ibadah serta hari-hari besar islam lainnya. Kalender ini disebut  Kalender Hijriyah, karena pengambilan tahun pertama kalender ini adalah tahun dimana terjadi peristiwa Hijrah-nya Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah, yakni pada tahun 622 M.
            Kalender Hijriyah disusun berdasarkan rata-rata silkus sinodik bulan kalender lunar (qomariyah), dan memiliki 12 bulan dalam setahun. Dengan menggunakan siklus sinodik bulan, bilangan hari dalam satu tahunnya adalah (12 x 29,53059 hari = 354,36708 hari).Hal inilah yang menjelaskan 1 tahun Kalender Hijriah lebih pendek sekitar 11 hari dibanding dengan 1 tahun Kalender Maseh atau miladiyah
            Penetapan kalender Hijriyah terjadi pada jaman Khalifah Umar bin Khatab, yang menetapkan peristiwa hijrahnya Rasulullah saw dari Mekah ke Madinah. Kalender Hijriyah juga terdiri dari 12 bulan, dengan jumlah hari berkisar 29-30 hari. Penetapan 12 bulan ini sesuai dengan firman Allah Subhana Wata'ala: ”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS : At Taubah(9):36). Sebelumnya, orang Arab pra-kerasulan Rasulullah Muhammad SAW telah menggunakan bulan-bulan dalam kalender hijriyah ini. Hanya saja mereka tidak menetapkan ini tahun berapa, tetapi tahun apa. Misalnya saja kita mengetahui bahwa kelahiran Rasulullah SAW adalah pada tahun gajah.Abu Musa Al-Asyári sebagai salah satu gubernur di zaman Khalifah Umar r.a. menulis surat kepada Amirul Mukminin yang isinya menanyakan surat-surat dari khalifah yang tidak ada tahunnya, hanya tanggal dan bulan saja, sehingga membingungkan. Khalifah Umar lalu mengumpulkan beberapa sahabat senior waktu itu. Mereka adalah Utsman bin Affan r.a., Ali bin Abi Thalib r.a., Abdurrahman bin Auf r.a., Sa’ad bin Abi Waqqas r.a., Zubair bin Awwam r.a., dan Thalhan bin Ubaidillah r.a. Mereka bermusyawarah mengenai kalender Islam. Ada yang mengusulkan berdasarkan milad Rasulullah saw. Ada juga yang mengusulkan berdasarkan pengangkatan Muhammad saw menjadi Rasul. Dan yang diterima adalah usul dari Ali bin Abi Thalib r.a. yaitu berdasarkan momentum hijrah Rasulullah SAW dari Makkah ke Yatstrib (Madinah). Maka semuanya setuju dengan usulan Ali r.a. dan ditetapkan bahwa tahun pertama dalam kalender Islam adalah pada masa hijrahnya Rasulullah saw. Sedangkan nama-nama bulan dalam kalender hijriyah ini diambil dari nama-nama bulan yang telah ada dan berlaku pada masa itu di wilayah Arab.  
B.       Rumusan Masalah
1.      Apa makna hilal secara bahasa?
2.      Apa makna hilal secara syar’i?
3.      Bagaimana konsep permulaan awal bulan dalamtinjauan syari’at?

C.      Tujuan Pembahasan
1.      Mengetahui makna hilal secara bahasa
2.      Mengetahui makna hilal secara syar’i
3.      Mengetahui konsep permulaan awal bulan dalam tinjauan syari’at



BAB II
KONSEP HILAL
A.  Definisi Hilal

1.      Hilal menurut bahasa
            Al-Hilâl berasal dari akar kata ( هَلَّ – أَهَلَّ) halla, ahalla artinya : “tampak atau terlihat.” Dinamakan demikian, hal ini karena merupakan bentuk Bulan Sabit yang pertama kali tampak pada awal bulan.[1]
            Dengan kata lain Hilal dalam bahasa arab merupakan sepatah kata isim yang terbentuk dari 3 huruf asal, yaitu ha-lam-lam (هـ – ل- ل), sama dengan asal terbentuknya fi’il (kata kerja) هل dan tashrifnya  اهل. Hilal (jamaknya ahillah) artinya bulan sabit, suatu nama bagi cahaya bulan yang nampak seperti sabit.  هل dan  اهل dalam konteks hilal mempunyai arti bervariasi sesuai dengan kata lain yang mendampinginya yang membentuk isthilahi (idiom). Bangsa arab sering mengucapkan :
-          هل الهلال dan  اهل الهلال  artinya bulan sabit tampak.
-          هل الرجل  artinya seorang laki-laki melihat/memandang bulan sabit.
-          اهل القوم الهلال    artinya orang banyak teriak ketika melihat bulan sabit.
-          هل الشــهر   artinya bulan (baru) mulai dengan tampaknya bulan sabit.

2.      Hilal menurut syar’I dalam tinjauan ulama 
·         Hilal dalam persfektif al-Qur’an
            Al-Quran surat al-Baqarah ayat 189 mengemukakan pertanyaan para sahabat kepada nabi tentang ahillah (jamak dari hilal) :
يســألونك عن الأهــلة قل هي مواقيت للنــاس والحج ……..
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit; katakanlah : bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji…”
Ayat ini menunjukkan bahwa ahillah atau hilal itu sebagai kalender bagi ibadah dan aktivitas manusia termasuk haji. Pertanyaan itu muncul karena sebelumnya para sahabat telah melihat penampakkan hilal atau dengan kata lain hilal telah tampak terlihat oleh para sahabat.
Para mufassir telah mendefinisikan, bahwa hilal itu pasti tampak terlihat. Al-Maraghi dalam tafsirnya jilid I halaman 84 mengemukakan sebuah riwayat dari Abu Na’im dan Ibnu Asakir dari Abu Sholih dan Ibnu Abbas menceritakan :
ان معاذ بن جبل وثعلبة بن غبيمة قـالا : يارســول الله ما بال الهلال يبـــدو دقيقا مثل الخيط ثم يزيد حتي يعظم ويســتوي , ويسـتدير, ثم لا يزال ينقص ويــدق حتي يعود كمــا كان, لايكون علي حــال….
“bahwa Mu’adz bin Jabal dan Tsa’labah bin Ghunaimah beranya : ya Rasulullah, mengapa keadaan hilal itu tampak lembut cahayanya laksana benang, kemudian bertambah sehingga membesar, merata dan bundar, dan kemudian berangsur-angsur menyusut dan melembut sehingga kembali seperti keadaan semula, tidak dalam satu bentuk …..”
As-Shabun[2]i dalam tafsirnya Shafwatuttafasir juz I halaman 125 mengemukakan tafsir ayat tersebut sebagai berikut :
يســألونك يامحمد عن الأهـلة لم يبـــدو دقيـقا مثل الخيط ثم يعظم ويســتدير ثم ينقص ويدق حتي يعود كما كـان
“Mereka bertanya kepadamu hai Muhammad tentang hilal mengapa ia tampak lembut semisal benang, selanjutnya membesar dan terus membulat kemudian menyusut dan melembut sehingga kembali seperti semula”.
Dalam pada itu, Sayyid Quthub[3] dalam tafsirnya fii Zhilalilqur’an juz I halaman 256 menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut :
فهم يسـألون عن الأهلـة… ماسـأنها ؟ ما بال القمر يبدو هــلالا ثم يكبر يســتدير بـدرا ثم يأخــذ في التناقص حتي يرتـــد هـلالا ثم يختفي ليظـهر هـلالا من جديــد ؟
“Maka mereka bertanya tentang ahillah (hilal)… bagaimana keadaan ahillah (hilal) ? mengapa keadaan qamar (bulan) menampakkan hilal lalu membesar sehingga bulat menjadi purnama, selanjutnyaberangsur  menyusut  sehingga kembali menjadi hilal lagi dan  kemudian  menghilang  tidak  tampak  untuk selanjutnya  menampakkan  hilal   dari (bulan) baru ?”
Jelaslah menurut ayat tersebut dan tafsirnya, bahwa hilal atau bulan sabit itu pasti tampak terlihat.
·         Hilal dalam persfektif As-Sunnah
            Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dari Rib’i bin Hirasy dari salah seorang sahabat Rasulullah yang mengatakan adanya perbedaan di kalangan para sahabat mengenai akhir ramadhan kemudian dua orang A’rabi datang menghadap Rasulullah seraya mengatakan :
بالله لأهــل الهـلال امس عشــية
“demi Allah sungguh telah tampak hilal kemarin sore”
            Atas laporan itu maka Rasulullah memerintahkan berbuka dan shalat ‘Ied hari esoknya (karena ketika itu sudah memasuki waktu zhuhur).
            Hadits ini menyatakan bahwa hilal itu pasti tampak terlihat. Demikian pula dalam hadits-hadits yang lain seperti haditsnya Mu’adz bin Jabal dan Tsa’labah bin Ghunaimah tersebut diatas :يارســول الله, مابال الهلال يبـدو دقيـــقا مثل الخيط.
B.  Telaah Konsep Hilal
            Pengamatan terhadap penampakkan hilal telah membudaya di kalangan sahabat bahkan pengamatan itu dilakukan terhadap manzilah-manzilah bulan berikutnya sebagaimana diisyaratkan oleh hadits Mu’adz bin Jabal dan Tsa’labah bin Ghunaimah dan riwayat lain yang diungkapkan oleh para mufassir seperti As-Shabuni dan Sayyid Quthub dalam tafsir mereka.
            Al-Maraghi pun tertarik mengadakan pengamatan terhadap awal bulan dan manzilah-manzilah berikutnya sebagaimana ia ungkapkan ketika menafsirkan “waqaddarahu manaazila” dalam Q.S. yunus (10) : 5.
            Al-Maraghi [4]dalam tafsirnya jilid 4 halaman 67 mengemukakan maksud ayat ini :
وقـدر سـير القمر في فلكه منازل ينزل كل ليـــلة في واحـد منها لايجاوزها ولايقصــر دونهــا وهي ثمابيــة وعشـرون يري القمر فيها بالأبصــار, وليـة او ليلتــان يحتجب فيهما فلايـــــري
Allah menetapkan perjalanan bulan pada orbitnya beberapa manzilah; setiap malam menempati satu manzilah; tidak akan melampaui dan tidak berkurang dari padanya. Adapun manzilah-manzilah itu ialah 28 manzilah yang didalamnya bulan terlihat oleh mata, dan satu malam atau dua malam bulan tertutup, maka tidak dapat dilihat.”
Penafsiran ini mengisyaratkan bahwa dari observasi bulan ia berkesimpulan :
  1. Awal bulan ditandai dengan penampakkan hilal yang dapat dilihat dengan mata di awal malam (sesaat setelah matahari terbenam).
  2. 27 manzilah berikutnya, yakni tanggal 2 sampai 28, bulan dapat dilihat dengan mata.
  3. Manzilah ke-29 atau ke-30, bulan tidak dapat dilihat dengan mata.
  4. Umur bulan adakalanya 29 hari, adakalanya 30 hari, sejalan dengan hadits :
….الشهـــــر هكذا وهكذا (متفق عليه). قال البخـــــاري : يعني مرة تســـعة وعشــرين ومرة ثلاثـــــين
“…..umur bulan itu sekian dan sekian” (HR. Bukhari dan Muslim). Menurut Al-Bukhori sekian-sekian ialah kadang 29 hari dan kadang 30 hari.”
Penafsiran secara empirik dari pengamatan bulan tersebut juga dilakukan oleh Al-Maraghi ketika menafsirkan Q.S. Yasin (36) : 39.
والقمــــرقدرناه منازل حتي عاد كالعــــرجون القديــم
“Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai manzilah yang terakhir) kembalilah ia sebagai bentuk tandan yang tua.”
            Menyaksikan penampakkan hilal di awal bulan sangatlah penting untuk mengetahui pergantian bulan terutama ketika akan digunakan untuk beribadah sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Maraghi ketika menafsirkan Q.S. Al-Baqarah (2) : 185
……..فمن شـــــهدمنكم الشهرفايصمـــــه……..
yang ia pahami dengan makna sebagai berikut : “barang siapa menyaksikan masuknya bulan ramadhan dengan melihat hilal sedang ia tidak bepergian, maka wajib berpuasa.”
            Dr. Abdusalam Nawawi dalam bukunya rukyat hisab dikalangan NU Muhammadiyah, menyatakan bahwa konsep pendefinisian hilal dikalangan ahli rukyat dan hisab berbeda. Hilal dalam pandangan ahli rukyat yakni bulan sabit yang dilihat pertama kali sesaat setelah ghurub matahari pasca ijtima’, sementara ahli hisab mnedefinisikan hilal adalah bulan yang posisinya sudah diatas ufuk pada saat ghurub setelah berlangsungnya ijtima’.[5]
            Disisi lain beliau juga memberikan jalan tengah mengenai konsep hilal dengan memberikan suatu pernyataan seandainya dua madzhab di atas (rukyat dan hisab) mau berkompromi maka dapat diambil pernyataan bahwa yang dimaksud hilal adalah bulan yang pada saat ghurub matahari pasca ijtima’ sudah mungkin atau visible untuk dirukyat menurut hisab dan senyatanya memang berhasil dirukyat. [6]
            Sementara Prof. Thomas Djamaludin pakar astrofisika menyebutkan bahwa Definisi hilal bisa beragam, tetapi bila itu bagian dari riset ilmiah, semua definisi itu semestinya saling melengkapi. Bukan dipilih definisi parsial. Hilal harus didefinisikan mulai dari metode sederhana rukyat tanpa alat bantu sampai dengan alat canggih hasil teknologi terbaru. Hilal juga terdefinisi dalam dalam kriteria hisab yang menjelaskan hasil observasi. Walhasil dapatlah kita ungkapkan sebagaimana penjelasan professor Thomas tersebut bahwa: Hilal adalah bulan sabit pertama yang teramati di ufuk barat sesaat setelah matahari terbenam, tampak sebagai goresan garis cahaya yang tipis, dan bila menggunakan teleskop dengan pemroses citra bisa tampak sebagai garis cahaya tipis di tepi bulatan bulan yang mengarah ke matahari. Dari data-data rukyatul hilal jangka panjang, keberadaan hilal dibatasi oleh kriteria hisab tinggi minimal sekian derajat bila jaraknya dari matahari sekian derajat dan beda waktu terbenam bulan-matahari sekian menit. [7]
            Atau juga dapat dirumuskan bahwa hilal merupakan sebuah kilatan cahaya dari bulan sabit yang lembut laksana benang, teramati di ufuk barat  sesaat setelah terbenamnya matahari pasca  proses ijtima’.
            Fenomena rukyat dan hisab seperti itu harus saling mengisi, sehingga dapat saling menggantikan dalam kondisi tertentu, baik kondisi alamiah maupun kondisi pemikiran (misalnya pemilihan hisab saja atau rukyat saja seperti terjadi sekarang).
C.  Implementasi Hilal Dalam Ibadah
            Hilal yang sering disebut dengan“bulan sabit”, yaitu bagian bulan yang tampak terang dari bumi sebagai akibat dari cahaya matahari yang dipantulkan olehnya pada hari terjadinya ijtima’, sesaat setelah matahari terbenam. Dan bulan sabit inilah yang menjadi acuan penetapan awal bulan kamariah dalam agama islam. Apabila setelah matahari terbenam hilal tampak, maka malam itu dan keesokan harinya merupakan tanggal satu bulan berikutnya. Dalam dunia astronomi, hilal dikenal dengan sebutan new moon atau crescent.  Hilal dalam al-Qur’an merupakan alat penunjuk waktu bagi manusia. Di dalam agama islam hilal diposisikan sebagai waktu untuk beribadah haji, memulai puasa dan mengakhirinya.Allah swt. Berfirman:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿189﴾

Artinya:”Mereka berkata kepadamu tentang bulan sabit? Katakanlah: Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.” (QS. Al-Baqarah:189)
Dalam memahami ayat di atas, kami mengambil dua pendapat Ulama’:
a. Imam Ibnu Katsir Rahimahullah
            Beliau mengatakan bahwa ayat tersebut menjadi sebuah ketetapan agama dalam mengetahui waktu ‘iddah bagi wanita-wanita dan waktu haji mereka. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi saw:” Allah swt. Menjadikan hilal untuk tanda-tanda waktu bagi manusia. Maka berpuasalah (berniat puasa) karena melihatnya, dan berbukalah (berhari rayalah) larena melihatnya. Jika terhalang atasmu maka hitunglah menjadi 30 hari.”(Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak dengan sanad shahih, namun tidak dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim)
B. Syaikh Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
            Allah telah menjadikan hilal sebagai tanda waktu bagi manusia pada hukum-hukum yang ditetapkan dengan syariat, seperti halnya puasa, haji, masa ‘ila, ‘iddah dan kafarat puasa. Kelima hal ini disebutkan dalam Al-Qur’an. Selain itu termasuk juga puasa nadzar, hutang-piutang, zakat, jizyah, sumpah, perjanjian damai dan hukum-hukum lainnya.
            Di lain tempat Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tanda-tanda waktu bagi manusia itu dibatasi dengan sesuatu yang nampak dan jelas. Bermula dari sinilah akhirnya orang mengatakan bahwa dalam menentukan awal bulan puasa harus berpegang kepada Rukyatul-hilal, bukan dengan berpegang kepada hisab. Karena melihat hilal dapat dilakukan oleh semua orang, berbeda dengan hisab yang hanya dapat diketahui oleh orang-orang tertentu. Kemudian beliau juga merekomendasikan bahwa hilal tidak akan dinamakan hilal meski telah terbit di langit, tetapi tidak nampak dari permukaan bumi. Dinamakan hilal bila telah terlihat dan diberitahukan kepada khalayak ramai.
            Adapun hadis yang mendasari wajibnya seorang muslim berpuasa dan berbuka adalah hadis Nabi saw:

صوموﺍ لرﺅيته ﻭﺃﻔﻁﺭﻭا لرﺅيته ﻔﺈﻥﻏﻡ ﻋﻠﻴﮑﻡ ﻔﺄﻜﻤﻠﻭﺍ ﻋﺩﺓ ﺸﻌﺒﺎن ﺜﻼﺜﻴﻥ
[8](ﺭواهﺍﻠﺒﺨﺎﺭﻯوﻤﺴﻠﻡ)

Artinya: “Berpuasalah kalian karena melihat (ru’yah) hilal, dan berbukalah karena melihat hilal. Maka jika ia tertutup awan bagimu, maka sempurnkanlah bilangan Sya’ban tiga puluh.” (HR.Bukhori dan Muslim)
Demikian juga Mâlik dalam Al-Muwaththa` no. 557; Ahmad (II/63)[9]
« الشهر تسع وعشرون، فلا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه، فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين »
“Satu bulan itu dua puluh sembilan hari. Maka janganlah kalian memulai ibadah shaum sampai kalian melihat Al-Hilâl, dan janganlah kalian ber’idul fitri sampai kalian melihatnya. Jika terhalang atas kalian maka sempurnakanlah bilangan (bulan menjadi) tiga puluh (hari).”
Hadis Nabi saw dari shahabat Abû Hurairah  bahwa Rasulullah e bersabda :
« إذا رأيتم الهلال فصوموا، وإذا رأيتموه فأفطروا، فإن غم عليكم فصوموا ثلاثين يوماً »
“Jika kalian telah melihat Al-Hilâl maka bershaumlah kalian, dan jika kalian telah melihat Al-Hilâl maka ber’idul fitrilah kalian. Namun jika (Al-Hilâl) terhalang atas kalian, maka bershaumlah kalian selama 30 hari.”[10]

D.   Problematika Hilal
            Dalam menetapkan tanggal satu Ramadhan sering terjadi perbedaan antara Muhammadiyah dan NU, juga pemerintah. Muhammadiyah dengan dasar hisab wujud al- hilal[11] yang meskipun secara “hisab” juga dapat diketahui bahwa hilal belum dapat dilihat, jauh-jauh hari sudah berani menetapkan dan memberitahukannya kepada masyarakat.
            Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini Menteri Agama, menggunakan sistem imkanurl-rukyah[12] atau perhitungan kemungkinannya hilal dapat dirukyah, jadi, hisab tetap dipakai, tetapi karena secara “hisab” hasil perhitungan ijtima’ (konjungsi) berkisar -0˚ 34’ untuk Merauke dan +0˚ 31’untuk Sabang, juga tidak mungkin atau sangat sulit dilihat, maka tetap menunggu rukyah.[13]
            Nahdhatul Ulama’ (NU) yang dikenal dengan sistem rukyahnya, kenyataannya tidak bisa meninggalkan hisab. Bahkan mungkin banyak memiliki para pakar dan ahli hisab. Karena untuk melaksanakan perintah rukyah, para ulama melakukan hisab terlebih dahulu, untuk mengetahui seberapa tinggi hilal pada saat ijtima’ (konjungsi). Sebagaimana penegasan Rasulullah SAW:

صوموﺍ لرﺅيته ﻭﺃﻔﻁﺭﻭا لرﺅيته ﻔﺈﻥﻏﻡ ﻋﻠﻴﮑﻡ ﻔﺄﻜﻤﻠﻭﺍ ﻋﺩﺓ ﺸﻌﺒﺎن ﺜﻼﺜﻴﻥ
(ﺭواهﺍﻠﺒﺨﺎﺭﻯوﻤﺴﻠﻡ)
Artinya: “Berpuasalah kalian karena melihat (ru’yah) hilal, dan berbukalah karena melihat hilal. Maka jika ia tertutup awan bagimu, maka sempurnkanlah bilangan Sya’ban tiga puluh.” (HR.Bukhori dan Muslim) Banyak perbedaan pemahaman terhadap hadits di atas. Hal inilah yang menjadi akar lahirnya mazhab-mazhab dalam penetapan awal bulan Qamariah. Tapi jika kita analisis lebih dalam, hadits diatas dapat dipahami dan kita jadikan patokan dalam mengawali atau mengakhiri bulan qamariah. Karena masalah ini terkait dengan persoalan ibadah maka nilai kepatuhan (ta’abbud) itu terletak pada ketaatan atas suatu perintah. Karena itu, jika hadits diatas merupakan hadis qauli (ucapan) Rasulullah SAW, maka peringkat akurasi keshahihannya tidak diragukan lagi. Di sisi lain kualifikasinya shahih dan besar kemungkinan derajat hadis ini mutawatir, karena hampir semuanya termasuk dalam sembilan kitab hadis (Al-Kutub al-Tis’ah).
 Rasulullah SAW bersabda:

صوموﺍ لرﺅيته ﻭﺃﻔﻁﺭﻭا لرﺅيته ﻔﺈﻥﻏﻡ ﻋﻠﻴﮑﻡ ﻔﺄﻜﻤﻠﻭﺍ ﻋﺩﺓ ﺸﻌﺒﺎن ﺜﻼﺜﻴﻥ
(ﺭواهﺍﻠﺒﺨﺎﺭﻯوﻤﺴﻠﻡ)

Artinya: “Berpuasalah kalian karena melihat (ru’yah) hilal, dan berbukalah karena melihat hilal. Maka jika ia tertutup awan bagimu, maka sempurnkanlah bilangan Sya’ban tiga puluh.” (HR.Bukhori dan Muslim)
            Dalam hadits tersebut digunakan kata kerja perintah (fi’il amar) “صوموﺍ (berpuasalah) dan “ﻭﺃﻔﻁﺭﻭا” (berbukalah atau berlebaranlah) dan indikasi (qarinah)-nya “لرﺅيته(karena melihat bulan). Dalam kajian Ushul Fiqh, “melihat bulan” ini disebut dengan sebab. Dan kata “صومو”dan “ﻭﺃﻔﻁﺭﻭا” ini secara umum ditujukan untuk umat muslim seluruhnya. Para ulama’ sepakat bahwa “perintah itu menunjukkan suatu kewajiban” (al-ashl fi al-amar li al- wujub). Dan perintah hadits itu ditujukan pada seluruh umat Islam di dunia. Namun pelaksanaan rukyahnya tidak diwajibkan kepada seluruhnya bahkan mungkin hanya perseorangan. Secara lahiriah hadits di atas menunjukkan bahwa perintah melakukan rukyah itu ditujukan bagi setiap umat Islam. Namun dalam realitasnya tidak demikian, tidak semua orang muslim memulai puasa dengan melihat hilal terlebih dahulu, bahkan mayoritas orang berpuasa berdasarkan pada berita tentang terlihatnya hilal dari orang lain. Dengan kata lain, berdasarkan seseorang atau beberapa orang yang mengaku melihat hilal.
            Ibnu Hajar al-Asqalani[14] mengatakan bahwa sabda Rasuluulah SAW itu tidaklah mewajibkan rukyah untuk setiap orang yang hendak memulai puasa Ramadhan. Akan tetapi, hanyalah ditujukan kepada salah seorang atau sebagian orang dari mereka. Rukyah hilal cukup dilakukan oleh seseorang yansliming adil, demikian pendapat jumhur ulama’. Pendapat lain mengharuskan dua orang yang adil. As-San’ani mengatakan, bahwa menurut lahirnya hadits itu mengisyaratkan rukyah bagi segenap orang, tetapi telah terjadi ijma’ yang menetapkan bahwa rukyah itu cukup dicapai oleh seseorang atau dua orang yang adil. An-Nawawi juga menerangkan bahwa rukyah itu cukup dicapai oleh dua orang yang adil di antara kaum muslimin tidak disyaratkan setiap orang harus melakukan rukyah.
            dalam menyikapi persoalan kontroversi atau khilafiah di dalam menentukan awal bulan qamariah, maka dengan merujuk kepada perintah Rasulullah SAW diatas, maka rukyah dilakukan tidak semata-mata pemahaman tekstual hadits, tetapi juga sebagai bentuk akurasi pemahaman sebab, ketika suatu perintah ibadah itu dijalankan Tetapi ada juga yang menyatakan bahwa perintah rukyah itu dikeluarkan Rasulullah SAW pada saat itu, karena teknologi dan sains belum maju. Jawabannya tentu saja ya, tetapi ibadah adalah ibadah, yang rumusnya secara aksiomotik adalah kepatuhan (al-ta’abbud). Sebagaimana dinyatakan Imam Abu Ishaq al-Syatiby dalam al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, sebagai berikut “al-ashl fid al-‘ibadat bi al-nisbah ila al-mukallaf al-ta’abbud duna al-iltifat ila al-ma’any” (prinsipnya dalam urusan ibadah bagi mukallaf adalah penghambaan bukan berpaling pada rasionalisasi makna). Menurut ulama’ kontemporer, Wahbah al-Zuhaily dalam al-Fiqh al-Islamy wa Adilatahu, mayoritas ulama’ menegaskan bahwa kewajiban puasa dan berbuka bagi seluruh kaum muslimin digantungkan pada rukyah secara mutlak (muthlaq al-ru’yah).[15]

















BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
            Jadi menurut bahasa arab, hilal adalah bulan sabit yang tampak pada awal bulan dan dapat dilihat. Kebiasaan orang arab berteriak kegirangan ketika melihat hilal.
            sementara hilal menurut al-Qur’an/tafsir dan as-Sunnah adalah bulan sabit yang cahayanya lembut laksana benang yang tampak dan terlihat di awal blan, menjadi petunjuk datangnya bulan baru atau pergantian bulan.
            Atau juga dapat dikatakan bahwa hilal merupakan sebuah kilatan cahaya dari bulan sabit yang lembut laksana benang, teramati di ufuk barat  sesaat setelah terbenamnya matahari pasca  proses ijtima’.
      Dalam ketentuan Syari’at Islam, masuknya bulan baru tidak semata-mata ditandai dengan wujûd (keberadaan) Al-Hilâl di atas ufuk, yaitu kondisi ketika Matahari tenggelam lebih dahulu daripada Bulan setelah peristiwa ijtimâ’ (ijtimak/kunjungsi) ). Tapi masuknya bulan baru dalam ketentuan Syari’at Islam ditandai dengan terlihatnya Al-Hilâl. Meskipun secara perhitungan Al-Hilâl sudah wujud namun pada kenyataannya tidak terlihat, maka berarti belum masuk bulan baru.
B. Saran- saran
      Masalah perbedaan dalam penentuan awal bulan hijiriyah tentu membingungkan banyak orang, terutama orang awam yang tidak tahu-menahu tentang seluk-beluk tata cara penentuan tersebut, diperparah lagi oleh sikap fanatisme yang kadang sampai pada titik mnenghujat satu sama lain. Karena hal tersebut, sikap yang pantas diambil oleh kebanyakan masyarakat umum (awam) adalah mengikuti maklumat yang ditetapkan oleh pemerintah yang diwakili oleh Departemen Agama. Karena sikap ini lebih maslahat untuk merekatkan persaudaraan antar sesama, juga merupakan cerminan atas wahyu Allah SWT. surat An-Nisa ayat 59:
A.    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Wallahul Muwafiq Ila Aqwamit Thariq













DAFTAR PUSTAKA
·         Al-Qur’an dan terjemahan Depag RI
·         Abd.salam Nawawi, rukyat hisab dikalangan Nu Muhammadiyah, diantama: surabaya, 2004
·         Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathu al-Bari Syarh Sahih Bukhori, cet.I, juz IV,Dar al-Kutub: Beirut,1989
·         http://ads6.kompasads.com/new/www/delivery/avw.php?zoneid=471&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE&amp;n=a22ad6b1' border='0' alt='' /></a>




[1] Yang dinamakan dengan Al-Hilâl adalah khusus untuk bulan sabit pada malam pertama dan kedua saja, ada juga yang berpendapat hingga malam ketiga, ada pula yang berpendapat hingga malam ke-7. Adapun selebihnya tidak dinamakan dengan Al-Hilâl. Lihat juga fakhrudi ar razi dalam mafatih al-ghainb nya. http://nahdhayatullah.blogspot.com/2011/01/memahami-hadis-hisab-dan-rukyah.html diakses 13 februari 2013

               
[2] As-Shobuni,Shafwatuttafasir, juz I halaman 125
[3] Sayyid Qutub, fidzalil Qur’an, juz 1 hal,256
[4] Al-maraghi, tafsir maraghi, jiz 4 hal 67
                [5] Abd.salam Nawawi, rukyat hisab dikalangan Nu Muhammadiyah, diantama: surabaya, 2004. Hal 56
                [6] Ibid, hal 56
[7]  Bidang Matahari dan Antariksa, LAPAN Bandung, Telepon: 022-601-2602, 603-8060 (K), 607-7680 (R)
e-mail: t_djamal@bdg.lapan.go.id, t_djamal@hotmail.com; http://media.isnet.org/isnet/Djamal/  
[8] dalam menafsirkan sabda Nabi فاقدروا له (Perkirakanlah) bahwa yang dimaksud yakni istikmal 30 hari . Karena makna lafazh tersebut telah ditafsirkan oleh Nabi sendiri, yaitu maknanya adalah menggenapkan bilangan bulan menjadi 30 hari. Tentunya yang paling mengerti tentang makna dan maksud sabda Nabi adalah beliau sendiri. Sebaik-baik tafsir tentang makna dan maksud suatu hadits adalah hadits yang lainnya. Sebgaimana ditegaskan Al-Imâm Ibnu Khuzaimah :
باب ذكر الدليل على أن الأمر بالتقدير للشهر إذا غم أن يعد شعبان ثلاثين يوما ثم يصام
Bab : Penyebutan dalil bahwa perintah untuk memperkirakan bilangan bulan apabila al-hilâl terhalangi (tidak terlihat) maksudnya adalah dengan menggenapkan bilangan bulan Sya’bân menjadi 30 hari, kemudian (esok harinya) bershaum. Lebih terang lagi Al-Imâm Ibnu Hibbân mengungkapakn dalam :
باب ذكر البيان بأن قوله : ( فاقدروا له ) أراد به أعداد الثلاثين
Bab : “Penyebutan dalil bahwa makna sabda Nabi (فاقدروا له ) (perkirakanlah) adalah dengan menggenapkan menjadi 30 hari.
[9] Al-Muwaththa` no. 557; Ahmad (II/63)
[10] Diriwayatkan oleh Muslim v 1081 An-Nasâ`i no. 2119; Ibnu Mâjah no. 1655; dan Ahmad (II/263, 281).
[11] KriteriaWujudul Hilal menyatakan bahwa : Jika pada hari terjadinya konjungsi (ijtimak) telah memenuhi 2 (dua) kondisi, yaitu:
(1) Konjungsi (ijtimak) telah terjadi sebelumMatahari tenggelam,
(2) Bulan tenggelam setelah Matahari,
Maka mulai sore itu dinyatakan sebagai awal bulan Hijriyah.

[12] Kriteria yang dipakaai tersebut bahwa hilal dianggap terlihat apabila memenuhi salah satu syarat-syarat berikut:
(1)· Ketika matahari
terbenam, ketinggian bulan di atas horison tidak kurang daripada 2° dan jarak
lengkung bulan-matahari (sudut elongasi) tidak kurang daripada 3°.
Atau (2)· Ketika bulan terbenam, umur bulan tidak kurang daripada 8 jam selepas
ijtimak/konjungsi berlaku.

[13]'http://ads6.kompasads.com/new/www/delivery/avw.php?zoneid=471&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE&amp;n=a22ad6b1' border='0' alt='' /></a>
[14] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathu al-Bari Syarh Sahih Bukhori, cet.I, juz IV,Dar al-Kutub: Beirut,1989

Tidak ada komentar:

Posting Komentar