BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Kalender Hijriyah (dalam Bahasa Arab: التقويم الهجري;
at-taqwim al-hijri)
merupakan sebuah system kalender yang digunakan
oleh umat Islam, termasuk
dalam menentukan tanggal atau bulan yang berkaitan dengan ritual ibadah serta hari-hari besar islam lainnya.
Kalender ini disebut Kalender Hijriyah,
karena pengambilan tahun pertama kalender ini adalah tahun dimana terjadi
peristiwa Hijrah-nya Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah, yakni pada
tahun 622 M.
Kalender
Hijriyah disusun berdasarkan
rata-rata silkus sinodik bulan kalender lunar (qomariyah), dan memiliki 12 bulan dalam setahun.
Dengan menggunakan siklus sinodik bulan, bilangan hari dalam satu tahunnya
adalah (12 x 29,53059 hari = 354,36708 hari).Hal inilah yang menjelaskan 1
tahun Kalender Hijriah lebih pendek sekitar 11 hari dibanding dengan 1 tahun
Kalender Maseh atau miladiyah
Penetapan
kalender Hijriyah terjadi pada jaman
Khalifah Umar bin Khatab, yang menetapkan peristiwa hijrahnya Rasulullah saw
dari Mekah ke Madinah. Kalender Hijriyah juga terdiri dari 12 bulan, dengan
jumlah hari berkisar 29-30 hari. Penetapan 12 bulan ini sesuai dengan firman
Allah Subhana Wata'ala: ”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua
belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di
antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka
janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah
kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan
ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS : At
Taubah(9):36). Sebelumnya, orang Arab pra-kerasulan Rasulullah Muhammad SAW
telah menggunakan bulan-bulan dalam kalender hijriyah ini. Hanya saja mereka
tidak menetapkan ini tahun berapa, tetapi tahun apa. Misalnya saja kita
mengetahui bahwa kelahiran Rasulullah SAW adalah pada tahun gajah.Abu Musa
Al-Asyári sebagai salah satu gubernur di zaman Khalifah Umar r.a. menulis surat
kepada Amirul Mukminin yang isinya menanyakan surat-surat dari khalifah yang
tidak ada tahunnya, hanya tanggal dan bulan saja, sehingga membingungkan.
Khalifah Umar lalu mengumpulkan beberapa sahabat senior waktu itu. Mereka
adalah Utsman bin Affan r.a., Ali bin Abi Thalib r.a., Abdurrahman bin Auf
r.a., Sa’ad bin Abi Waqqas r.a., Zubair bin Awwam r.a., dan Thalhan bin
Ubaidillah r.a. Mereka bermusyawarah mengenai kalender Islam. Ada yang mengusulkan
berdasarkan milad Rasulullah saw. Ada juga yang mengusulkan berdasarkan
pengangkatan Muhammad saw menjadi Rasul. Dan yang diterima adalah usul dari Ali
bin Abi Thalib r.a. yaitu berdasarkan momentum hijrah Rasulullah SAW dari
Makkah ke Yatstrib (Madinah). Maka semuanya setuju dengan usulan Ali r.a. dan
ditetapkan bahwa tahun pertama dalam kalender Islam adalah pada masa hijrahnya
Rasulullah saw. Sedangkan nama-nama bulan dalam kalender hijriyah ini diambil
dari nama-nama bulan yang telah ada dan berlaku pada masa itu di wilayah Arab.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa makna hilal secara bahasa?
2. Apa makna hilal secara syar’i?
3. Bagaimana konsep permulaan awal
bulan dalamtinjauan syari’at?
C. Tujuan
Pembahasan
1. Mengetahui makna hilal secara bahasa
2. Mengetahui makna hilal secara syar’i
3. Mengetahui konsep permulaan awal
bulan dalam tinjauan syari’at
BAB II
KONSEP HILAL
A.
Definisi Hilal
1.
Hilal menurut bahasa
Al-Hilâl berasal dari akar kata ( هَلَّ – أَهَلَّ) halla, ahalla artinya : “tampak atau
terlihat.” Dinamakan demikian, hal ini karena merupakan bentuk Bulan Sabit yang
pertama kali tampak pada awal bulan.[1]
Dengan
kata lain Hilal dalam bahasa arab merupakan sepatah kata isim yang
terbentuk dari 3 huruf asal, yaitu ha-lam-lam (هـ –
ل- ل), sama dengan asal terbentuknya fi’il (kata kerja) هل dan tashrifnya اهل. Hilal (jamaknya ahillah) artinya bulan sabit, suatu
nama bagi cahaya bulan yang nampak seperti sabit. هل dan اهل
dalam konteks hilal mempunyai arti bervariasi sesuai dengan kata lain
yang mendampinginya yang membentuk isthilahi (idiom). Bangsa arab sering
mengucapkan :
-
هل الهلال dan اهل الهلال
artinya bulan sabit tampak.
-
هل الرجل artinya seorang
laki-laki melihat/memandang bulan sabit.
-
اهل القوم الهلال
artinya orang banyak teriak ketika melihat bulan sabit.
-
هل الشــهر artinya
bulan (baru) mulai dengan tampaknya bulan sabit.
2.
Hilal menurut syar’I dalam tinjauan ulama
·
Hilal dalam persfektif al-Qur’an
Al-Quran
surat al-Baqarah ayat 189 mengemukakan pertanyaan para sahabat kepada nabi
tentang ahillah (jamak dari hilal) :
يســألونك عن
الأهــلة قل هي مواقيت للنــاس والحج ……..
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit;
katakanlah : bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi
ibadah) haji…”
Ayat ini menunjukkan bahwa ahillah atau hilal
itu sebagai kalender bagi ibadah dan aktivitas manusia termasuk haji.
Pertanyaan itu muncul karena sebelumnya para sahabat telah melihat penampakkan hilal
atau dengan kata lain hilal telah tampak terlihat oleh para sahabat.
Para mufassir telah mendefinisikan, bahwa hilal
itu pasti tampak terlihat. Al-Maraghi dalam tafsirnya jilid I halaman 84
mengemukakan sebuah riwayat dari Abu Na’im dan Ibnu Asakir dari Abu Sholih dan
Ibnu Abbas menceritakan :
ان معاذ بن جبل
وثعلبة بن غبيمة قـالا : يارســول الله ما بال الهلال يبـــدو دقيقا مثل الخيط ثم
يزيد حتي يعظم ويســتوي , ويسـتدير, ثم لا يزال ينقص ويــدق حتي يعود
كمــا كان, لايكون علي حــال….
“bahwa Mu’adz bin Jabal dan Tsa’labah bin
Ghunaimah beranya : ya Rasulullah, mengapa keadaan hilal itu tampak lembut
cahayanya laksana benang, kemudian bertambah sehingga membesar, merata dan
bundar, dan kemudian berangsur-angsur menyusut dan melembut sehingga kembali
seperti keadaan semula, tidak dalam satu bentuk …..”
As-Shabun[2]i dalam
tafsirnya Shafwatuttafasir juz I halaman 125 mengemukakan tafsir ayat
tersebut sebagai berikut :
يســألونك
يامحمد عن الأهـلة لم يبـــدو دقيـقا مثل الخيط ثم يعظم ويســتدير ثم ينقص ويدق
حتي يعود كما كـان
“Mereka bertanya kepadamu hai Muhammad tentang
hilal mengapa ia tampak lembut semisal benang, selanjutnya membesar dan terus
membulat kemudian menyusut dan melembut sehingga kembali seperti semula”.
Dalam pada itu, Sayyid Quthub[3]
dalam tafsirnya fii Zhilalilqur’an juz I halaman 256 menafsirkan ayat tersebut
sebagai berikut :
فهم يسـألون عن
الأهلـة… ماسـأنها ؟ ما بال القمر يبدو هــلالا ثم يكبر يســتدير بـدرا ثم يأخــذ
في التناقص حتي يرتـــد هـلالا ثم يختفي
ليظـهر هـلالا من جديــد ؟
“Maka mereka bertanya tentang ahillah (hilal)…
bagaimana keadaan ahillah (hilal) ? mengapa keadaan qamar (bulan) menampakkan
hilal lalu membesar sehingga bulat menjadi purnama, selanjutnyaberangsur
menyusut sehingga kembali menjadi hilal lagi dan kemudian
menghilang tidak tampak untuk selanjutnya
menampakkan hilal dari (bulan) baru ?”
Jelaslah menurut ayat tersebut dan tafsirnya,
bahwa hilal atau bulan sabit itu pasti tampak terlihat.
·
Hilal dalam persfektif As-Sunnah
Dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dari Rib’i bin Hirasy
dari salah seorang sahabat Rasulullah yang mengatakan adanya perbedaan di
kalangan para sahabat mengenai akhir ramadhan kemudian dua orang A’rabi datang
menghadap Rasulullah seraya mengatakan :
بالله لأهــل
الهـلال امس عشــية
“demi Allah sungguh telah tampak hilal kemarin
sore”
Atas
laporan itu maka Rasulullah memerintahkan berbuka dan shalat ‘Ied hari esoknya
(karena ketika itu sudah memasuki waktu zhuhur).
Hadits
ini menyatakan bahwa hilal itu pasti tampak terlihat. Demikian pula
dalam hadits-hadits yang lain seperti haditsnya Mu’adz bin Jabal dan Tsa’labah
bin Ghunaimah tersebut diatas :يارســول الله,
مابال الهلال يبـدو دقيـــقا مثل الخيط.
B.
Telaah Konsep
Hilal
Pengamatan
terhadap penampakkan hilal telah membudaya di kalangan sahabat bahkan
pengamatan itu dilakukan terhadap manzilah-manzilah bulan berikutnya
sebagaimana diisyaratkan oleh hadits Mu’adz bin Jabal dan Tsa’labah bin
Ghunaimah dan riwayat lain yang diungkapkan oleh para mufassir seperti
As-Shabuni dan Sayyid Quthub dalam tafsir mereka.
Al-Maraghi
pun tertarik mengadakan pengamatan terhadap awal bulan dan manzilah-manzilah
berikutnya sebagaimana ia ungkapkan ketika menafsirkan “waqaddarahu
manaazila” dalam Q.S. yunus (10) : 5.
Al-Maraghi
[4]dalam
tafsirnya jilid 4 halaman 67 mengemukakan maksud ayat ini :
وقـدر سـير
القمر في فلكه منازل ينزل كل ليـــلة في واحـد منها لايجاوزها ولايقصــر دونهــا
وهي ثمابيــة وعشـرون يري القمر فيها بالأبصــار, وليـة او ليلتــان يحتجب فيهما
فلايـــــري
“Allah menetapkan perjalanan bulan pada orbitnya
beberapa manzilah; setiap malam menempati satu manzilah; tidak akan melampaui
dan tidak berkurang dari padanya. Adapun manzilah-manzilah itu ialah 28
manzilah yang didalamnya bulan terlihat oleh mata, dan satu malam atau dua
malam bulan tertutup, maka tidak dapat dilihat.”
Penafsiran ini mengisyaratkan bahwa dari
observasi bulan ia berkesimpulan :
- Awal bulan ditandai dengan penampakkan hilal yang dapat
dilihat dengan mata di awal malam (sesaat setelah matahari terbenam).
- 27 manzilah berikutnya, yakni tanggal 2 sampai 28, bulan dapat
dilihat dengan mata.
- Manzilah ke-29 atau ke-30, bulan tidak dapat dilihat dengan
mata.
- Umur bulan adakalanya 29 hari, adakalanya 30 hari, sejalan
dengan hadits :
….الشهـــــر هكذا
وهكذا (متفق عليه). قال البخـــــاري : يعني مرة تســـعة وعشــرين ومرة
ثلاثـــــين
“…..umur bulan itu sekian dan sekian” (HR.
Bukhari dan Muslim). Menurut Al-Bukhori sekian-sekian ialah kadang 29 hari dan
kadang 30 hari.”
Penafsiran secara empirik dari pengamatan bulan
tersebut juga dilakukan oleh Al-Maraghi ketika menafsirkan Q.S. Yasin (36) :
39.
والقمــــرقدرناه
منازل حتي عاد كالعــــرجون القديــم
“Dan telah Kami tetapkan bagi bulan
manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai manzilah yang terakhir)
kembalilah ia sebagai bentuk tandan yang tua.”
Menyaksikan
penampakkan hilal di awal bulan sangatlah penting untuk mengetahui
pergantian bulan terutama ketika akan digunakan untuk beribadah sebagaimana
yang diisyaratkan oleh Al-Maraghi ketika menafsirkan Q.S. Al-Baqarah (2) : 185
……..فمن
شـــــهدمنكم الشهرفايصمـــــه……..
yang ia pahami dengan makna sebagai berikut :
“barang siapa menyaksikan masuknya bulan ramadhan dengan melihat hilal sedang
ia tidak bepergian, maka wajib berpuasa.”
Dr.
Abdusalam Nawawi dalam bukunya rukyat hisab dikalangan NU Muhammadiyah, menyatakan
bahwa konsep pendefinisian hilal dikalangan ahli rukyat dan hisab berbeda.
Hilal dalam pandangan ahli rukyat yakni bulan sabit yang dilihat pertama kali
sesaat setelah ghurub matahari pasca ijtima’, sementara ahli hisab
mnedefinisikan hilal adalah bulan yang posisinya sudah diatas ufuk pada saat
ghurub setelah berlangsungnya ijtima’.[5]
Disisi
lain beliau juga memberikan jalan tengah mengenai konsep hilal dengan
memberikan suatu pernyataan seandainya dua madzhab di atas (rukyat dan hisab)
mau berkompromi maka dapat diambil pernyataan bahwa yang dimaksud hilal adalah
bulan yang pada saat ghurub matahari pasca ijtima’ sudah mungkin atau visible
untuk dirukyat menurut hisab dan senyatanya memang berhasil dirukyat. [6]
Sementara Prof. Thomas Djamaludin pakar
astrofisika menyebutkan bahwa Definisi hilal bisa beragam, tetapi bila itu
bagian dari riset ilmiah, semua definisi itu semestinya saling melengkapi.
Bukan dipilih definisi parsial. Hilal harus didefinisikan mulai dari metode
sederhana rukyat tanpa alat bantu sampai dengan alat canggih hasil teknologi
terbaru. Hilal juga terdefinisi dalam dalam kriteria hisab yang menjelaskan
hasil observasi. Walhasil dapatlah kita ungkapkan sebagaimana penjelasan
professor Thomas tersebut bahwa: Hilal adalah bulan sabit pertama yang
teramati di ufuk barat sesaat setelah matahari terbenam, tampak sebagai goresan
garis cahaya yang tipis, dan bila menggunakan teleskop dengan pemroses citra
bisa tampak sebagai garis cahaya tipis di tepi bulatan bulan yang mengarah ke
matahari. Dari data-data rukyatul hilal jangka panjang, keberadaan hilal
dibatasi oleh kriteria hisab tinggi minimal sekian derajat bila jaraknya dari
matahari sekian derajat dan beda waktu terbenam bulan-matahari sekian menit.
[7]
Atau juga dapat
dirumuskan bahwa hilal merupakan sebuah kilatan cahaya dari bulan sabit yang
lembut laksana benang, teramati di ufuk barat
sesaat setelah terbenamnya matahari pasca proses ijtima’.
Fenomena rukyat dan hisab seperti
itu harus saling mengisi, sehingga dapat saling menggantikan dalam kondisi
tertentu, baik kondisi alamiah maupun kondisi pemikiran (misalnya pemilihan
hisab saja atau rukyat saja seperti terjadi sekarang).
C.
Implementasi Hilal Dalam Ibadah
Hilal
yang sering disebut dengan“bulan sabit”, yaitu bagian bulan yang tampak terang
dari bumi sebagai akibat dari cahaya matahari yang dipantulkan olehnya pada
hari terjadinya ijtima’, sesaat setelah matahari terbenam. Dan bulan sabit
inilah yang menjadi acuan penetapan awal bulan kamariah dalam agama islam.
Apabila setelah matahari terbenam hilal tampak, maka malam itu dan keesokan
harinya merupakan tanggal satu bulan berikutnya. Dalam dunia astronomi, hilal
dikenal dengan sebutan new moon atau crescent.
Hilal dalam al-Qur’an merupakan alat penunjuk waktu bagi manusia. Di
dalam agama islam hilal diposisikan sebagai waktu untuk beribadah haji, memulai
puasa dan mengakhirinya.Allah swt. Berfirman:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿189﴾
Artinya:”Mereka berkata kepadamu tentang bulan sabit? Katakanlah: Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.” (QS. Al-Baqarah:189)
Dalam memahami ayat di atas, kami mengambil dua pendapat Ulama’:
a. Imam Ibnu Katsir Rahimahullah
Beliau
mengatakan bahwa ayat tersebut menjadi sebuah ketetapan agama dalam mengetahui
waktu ‘iddah bagi wanita-wanita dan waktu haji mereka. Hal ini sejalan dengan
sabda Nabi saw:” Allah swt. Menjadikan hilal untuk tanda-tanda waktu bagi
manusia. Maka berpuasalah (berniat puasa) karena melihatnya, dan berbukalah
(berhari rayalah) larena melihatnya. Jika terhalang atasmu maka hitunglah
menjadi 30 hari.”(Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak dengan sanad
shahih, namun tidak dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim)
B. Syaikh Islam Ibnu Taimiyah
Rahimahullah
Allah
telah menjadikan hilal sebagai tanda waktu bagi manusia pada hukum-hukum yang
ditetapkan dengan syariat, seperti halnya puasa, haji, masa ‘ila, ‘iddah dan
kafarat puasa. Kelima hal ini disebutkan dalam Al-Qur’an. Selain itu termasuk
juga puasa nadzar, hutang-piutang, zakat, jizyah, sumpah, perjanjian damai dan
hukum-hukum lainnya.
Di
lain tempat Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tanda-tanda waktu bagi manusia itu
dibatasi dengan sesuatu yang nampak dan jelas. Bermula dari sinilah akhirnya
orang mengatakan bahwa dalam menentukan awal bulan puasa harus berpegang kepada
Rukyatul-hilal, bukan dengan berpegang kepada hisab. Karena melihat hilal dapat
dilakukan oleh semua orang, berbeda dengan hisab yang hanya dapat diketahui
oleh orang-orang tertentu. Kemudian beliau juga merekomendasikan bahwa hilal
tidak akan dinamakan hilal meski telah terbit di langit, tetapi tidak nampak
dari permukaan bumi. Dinamakan hilal bila telah terlihat dan diberitahukan kepada
khalayak ramai.
Adapun
hadis yang mendasari wajibnya seorang muslim berpuasa dan berbuka adalah hadis
Nabi saw:
صوموﺍ لرﺅيته ﻭﺃﻔﻁﺭﻭا لرﺅيته ﻔﺈﻥﻏﻡ ﻋﻠﻴﮑﻡ ﻔﺄﻜﻤﻠﻭﺍ ﻋﺩﺓ ﺸﻌﺒﺎن ﺜﻼﺜﻴﻥ
[8](ﺭواهﺍﻠﺒﺨﺎﺭﻯوﻤﺴﻠﻡ)
Artinya: “Berpuasalah kalian karena
melihat (ru’yah) hilal, dan berbukalah karena melihat hilal. Maka jika ia
tertutup awan bagimu, maka sempurnkanlah bilangan Sya’ban tiga puluh.”
(HR.Bukhori dan Muslim)
Demikian
juga Mâlik dalam Al-Muwaththa` no. 557; Ahmad (II/63)[9]
« الشهر تسع وعشرون، فلا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى
تروه، فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين »
“Satu
bulan itu dua puluh sembilan hari. Maka janganlah kalian memulai ibadah shaum
sampai kalian melihat Al-Hilâl, dan janganlah kalian ber’idul fitri sampai
kalian melihatnya. Jika terhalang atas kalian maka sempurnakanlah bilangan
(bulan menjadi) tiga puluh (hari).”
Hadis
Nabi saw dari shahabat Abû Hurairah
bahwa Rasulullah e
bersabda :
« إذا رأيتم الهلال فصوموا، وإذا
رأيتموه فأفطروا، فإن غم عليكم فصوموا ثلاثين يوماً »
“Jika
kalian telah melihat Al-Hilâl maka bershaumlah kalian, dan jika kalian telah
melihat Al-Hilâl maka ber’idul fitrilah kalian. Namun jika (Al-Hilâl) terhalang
atas kalian, maka bershaumlah kalian selama 30 hari.”[10]
D. Problematika
Hilal
Dalam menetapkan tanggal satu
Ramadhan sering terjadi perbedaan antara Muhammadiyah dan NU, juga pemerintah.
Muhammadiyah dengan dasar hisab wujud al- hilal[11]
yang meskipun secara “hisab” juga dapat diketahui bahwa hilal belum dapat
dilihat, jauh-jauh hari sudah berani menetapkan dan memberitahukannya kepada
masyarakat.
Pemerintah Republik Indonesia, dalam
hal ini Menteri Agama, menggunakan sistem imkanurl-rukyah[12]
atau perhitungan kemungkinannya hilal dapat dirukyah, jadi, hisab tetap
dipakai, tetapi karena secara “hisab” hasil perhitungan ijtima’ (konjungsi)
berkisar -0˚ 34’ untuk Merauke dan +0˚ 31’untuk Sabang, juga tidak mungkin atau
sangat sulit dilihat, maka tetap menunggu rukyah.[13]
Nahdhatul
Ulama’ (NU) yang dikenal dengan sistem rukyahnya, kenyataannya tidak bisa
meninggalkan hisab. Bahkan mungkin banyak memiliki para pakar dan ahli hisab.
Karena untuk melaksanakan perintah rukyah, para ulama melakukan hisab terlebih
dahulu, untuk mengetahui seberapa tinggi hilal pada saat ijtima’ (konjungsi).
Sebagaimana penegasan Rasulullah SAW:
صوموﺍ لرﺅيته ﻭﺃﻔﻁﺭﻭا لرﺅيته ﻔﺈﻥﻏﻡ ﻋﻠﻴﮑﻡ ﻔﺄﻜﻤﻠﻭﺍ ﻋﺩﺓ ﺸﻌﺒﺎن ﺜﻼﺜﻴﻥ
(ﺭواهﺍﻠﺒﺨﺎﺭﻯوﻤﺴﻠﻡ)
Artinya: “Berpuasalah kalian karena
melihat (ru’yah) hilal, dan berbukalah karena melihat hilal. Maka jika ia
tertutup awan bagimu, maka sempurnkanlah bilangan Sya’ban tiga puluh.” (HR.Bukhori
dan Muslim) Banyak perbedaan pemahaman terhadap hadits di atas. Hal inilah yang
menjadi akar lahirnya mazhab-mazhab dalam penetapan awal bulan Qamariah. Tapi
jika kita analisis lebih dalam, hadits diatas dapat dipahami dan kita jadikan
patokan dalam mengawali atau mengakhiri bulan qamariah. Karena masalah ini
terkait dengan persoalan ibadah maka nilai kepatuhan (ta’abbud) itu terletak
pada ketaatan atas suatu perintah. Karena itu, jika hadits diatas merupakan
hadis qauli (ucapan) Rasulullah SAW, maka peringkat akurasi keshahihannya tidak
diragukan lagi. Di sisi lain kualifikasinya shahih dan besar kemungkinan
derajat hadis ini mutawatir, karena hampir semuanya termasuk dalam sembilan
kitab hadis (Al-Kutub al-Tis’ah).
Rasulullah SAW bersabda:
صوموﺍ لرﺅيته ﻭﺃﻔﻁﺭﻭا لرﺅيته ﻔﺈﻥﻏﻡ ﻋﻠﻴﮑﻡ ﻔﺄﻜﻤﻠﻭﺍ ﻋﺩﺓ ﺸﻌﺒﺎن ﺜﻼﺜﻴﻥ
(ﺭواهﺍﻠﺒﺨﺎﺭﻯوﻤﺴﻠﻡ)
Artinya: “Berpuasalah kalian karena melihat (ru’yah) hilal, dan berbukalah karena melihat hilal. Maka jika ia tertutup awan bagimu, maka sempurnkanlah bilangan Sya’ban tiga puluh.” (HR.Bukhori dan Muslim)
Dalam
hadits tersebut digunakan kata kerja perintah (fi’il amar) “صوموﺍ” (berpuasalah) dan “ﻭﺃﻔﻁﺭﻭا”
(berbukalah atau berlebaranlah) dan indikasi (qarinah)-nya “لرﺅيته” (karena melihat bulan). Dalam kajian
Ushul Fiqh, “melihat bulan” ini disebut dengan sebab. Dan kata “صوموﺍ”dan
“ﻭﺃﻔﻁﺭﻭا” ini secara umum
ditujukan untuk umat muslim seluruhnya. Para ulama’ sepakat bahwa “perintah itu
menunjukkan suatu kewajiban” (al-ashl fi al-amar li al- wujub). Dan perintah
hadits itu ditujukan pada seluruh umat Islam di dunia. Namun pelaksanaan
rukyahnya tidak diwajibkan kepada seluruhnya bahkan mungkin hanya perseorangan.
Secara lahiriah hadits di atas menunjukkan bahwa perintah melakukan rukyah itu
ditujukan bagi setiap umat Islam. Namun dalam realitasnya tidak demikian, tidak
semua orang muslim memulai puasa dengan melihat hilal terlebih dahulu, bahkan
mayoritas orang berpuasa berdasarkan pada berita tentang terlihatnya hilal dari
orang lain. Dengan kata lain, berdasarkan seseorang atau beberapa orang yang
mengaku melihat hilal.
Ibnu
Hajar al-Asqalani[14]
mengatakan bahwa sabda Rasuluulah SAW itu tidaklah mewajibkan rukyah untuk
setiap orang yang hendak memulai puasa Ramadhan. Akan tetapi, hanyalah
ditujukan kepada salah seorang atau sebagian orang dari mereka. Rukyah hilal
cukup dilakukan oleh seseorang yansliming adil, demikian pendapat jumhur
ulama’. Pendapat lain mengharuskan dua orang yang adil. As-San’ani mengatakan,
bahwa menurut lahirnya hadits itu mengisyaratkan rukyah bagi segenap orang,
tetapi telah terjadi ijma’ yang menetapkan bahwa rukyah itu cukup dicapai oleh
seseorang atau dua orang yang adil. An-Nawawi juga menerangkan bahwa rukyah itu
cukup dicapai oleh dua orang yang adil di antara kaum muslimin tidak
disyaratkan setiap orang harus melakukan rukyah.
dalam
menyikapi persoalan kontroversi atau khilafiah di dalam menentukan awal bulan
qamariah, maka dengan merujuk kepada perintah Rasulullah SAW diatas, maka
rukyah dilakukan tidak semata-mata pemahaman tekstual hadits, tetapi juga
sebagai bentuk akurasi pemahaman sebab, ketika suatu perintah ibadah itu
dijalankan Tetapi ada juga yang menyatakan bahwa perintah rukyah itu
dikeluarkan Rasulullah SAW pada saat itu, karena teknologi dan sains belum
maju. Jawabannya tentu saja ya, tetapi ibadah adalah ibadah, yang rumusnya
secara aksiomotik adalah kepatuhan (al-ta’abbud). Sebagaimana dinyatakan Imam
Abu Ishaq al-Syatiby dalam al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, sebagai berikut
“al-ashl fid al-‘ibadat bi al-nisbah ila al-mukallaf al-ta’abbud duna
al-iltifat ila al-ma’any” (prinsipnya dalam urusan ibadah bagi mukallaf adalah
penghambaan bukan berpaling pada rasionalisasi makna). Menurut ulama’
kontemporer, Wahbah al-Zuhaily dalam al-Fiqh al-Islamy wa Adilatahu, mayoritas
ulama’ menegaskan bahwa kewajiban puasa dan berbuka bagi seluruh kaum muslimin
digantungkan pada rukyah secara mutlak (muthlaq al-ru’yah).[15]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jadi menurut bahasa arab, hilal
adalah bulan sabit yang tampak pada awal bulan dan dapat dilihat. Kebiasaan
orang arab berteriak kegirangan ketika melihat hilal.
sementara hilal menurut
al-Qur’an/tafsir dan as-Sunnah adalah bulan sabit yang cahayanya lembut laksana
benang yang tampak dan terlihat di awal blan, menjadi petunjuk datangnya bulan
baru atau pergantian bulan.
Atau juga dapat dikatakan bahwa
hilal merupakan sebuah kilatan cahaya dari bulan sabit yang lembut laksana
benang, teramati di ufuk barat sesaat
setelah terbenamnya matahari pasca
proses ijtima’.
Dalam ketentuan Syari’at Islam, masuknya bulan baru tidak
semata-mata ditandai dengan wujûd (keberadaan) Al-Hilâl di atas ufuk, yaitu
kondisi ketika Matahari tenggelam lebih dahulu daripada Bulan setelah peristiwa
ijtimâ’ (ijtimak/kunjungsi) ). Tapi masuknya bulan baru dalam ketentuan
Syari’at Islam ditandai dengan terlihatnya Al-Hilâl. Meskipun secara
perhitungan Al-Hilâl sudah wujud namun pada kenyataannya tidak terlihat, maka
berarti belum masuk bulan baru.
B. Saran- saran
Masalah perbedaan dalam penentuan awal
bulan hijiriyah tentu membingungkan banyak orang, terutama orang awam yang
tidak tahu-menahu tentang seluk-beluk tata cara penentuan tersebut, diperparah
lagi oleh sikap fanatisme yang kadang sampai pada titik mnenghujat satu sama
lain. Karena hal tersebut, sikap yang pantas diambil oleh kebanyakan masyarakat
umum (awam) adalah mengikuti maklumat yang ditetapkan oleh pemerintah yang
diwakili oleh Departemen Agama. Karena sikap ini lebih maslahat untuk
merekatkan persaudaraan antar sesama, juga merupakan cerminan atas wahyu Allah
SWT. surat An-Nisa ayat 59:
A. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ
أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً.
“Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.”
Wallahul Muwafiq Ila Aqwamit Thariq
DAFTAR PUSTAKA
·
Al-Qur’an
dan terjemahan Depag RI
·
Abd.salam Nawawi, rukyat hisab
dikalangan Nu Muhammadiyah, diantama: surabaya, 2004
·
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathu al-Bari Syarh Sahih Bukhori,
cet.I, juz IV,Dar al-Kutub: Beirut,1989
·
http://ads6.kompasads.com/new/www/delivery/avw.php?zoneid=471&cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE&n=a22ad6b1'
border='0' alt='' /></a>
[1] Yang dinamakan dengan Al-Hilâl
adalah khusus untuk bulan sabit pada malam pertama dan kedua saja, ada juga
yang berpendapat hingga malam ketiga, ada pula yang berpendapat hingga malam
ke-7. Adapun selebihnya tidak dinamakan dengan Al-Hilâl. Lihat juga fakhrudi ar
razi dalam mafatih al-ghainb nya. http://nahdhayatullah.blogspot.com/2011/01/memahami-hadis-hisab-dan-rukyah.html diakses 13 februari 2013
[3]
Sayyid Qutub, fidzalil Qur’an, juz 1 hal,256
[4]
Al-maraghi, tafsir maraghi, jiz 4 hal 67
e-mail: t_djamal@bdg.lapan.go.id, t_djamal@hotmail.com;
http://media.isnet.org/isnet/Djamal/
[8]
dalam menafsirkan sabda Nabi فاقدروا
له (Perkirakanlah) bahwa yang
dimaksud yakni istikmal 30 hari . Karena makna lafazh tersebut telah
ditafsirkan oleh Nabi sendiri, yaitu maknanya adalah menggenapkan bilangan
bulan menjadi 30 hari. Tentunya yang paling mengerti tentang makna dan maksud
sabda Nabi adalah beliau sendiri. Sebaik-baik tafsir tentang makna dan maksud
suatu hadits adalah hadits yang lainnya. Sebgaimana ditegaskan Al-Imâm Ibnu
Khuzaimah :
باب ذكر الدليل على أن الأمر بالتقدير
للشهر إذا غم أن يعد شعبان ثلاثين يوما ثم يصام
Bab
: Penyebutan dalil bahwa perintah untuk memperkirakan bilangan bulan apabila
al-hilâl terhalangi (tidak terlihat) maksudnya adalah dengan menggenapkan
bilangan bulan Sya’bân menjadi 30 hari, kemudian (esok harinya) bershaum. Lebih
terang lagi Al-Imâm Ibnu Hibbân mengungkapakn dalam :
باب ذكر البيان بأن قوله : ( فاقدروا
له ) أراد به أعداد الثلاثين
Bab
: “Penyebutan dalil bahwa makna sabda Nabi (فاقدروا له ) (perkirakanlah) adalah dengan
menggenapkan menjadi 30 hari.
[10]
Diriwayatkan oleh Muslim v 1081
An-Nasâ`i no. 2119; Ibnu Mâjah no. 1655; dan Ahmad (II/263, 281).
[11] KriteriaWujudul Hilal menyatakan bahwa : Jika pada hari
terjadinya konjungsi (ijtimak) telah memenuhi 2 (dua) kondisi, yaitu:
(1) Konjungsi (ijtimak) telah terjadi sebelumMatahari tenggelam,
(2) Bulan tenggelam setelah Matahari,
Maka mulai sore itu dinyatakan sebagai awal bulan Hijriyah.
[12] Kriteria yang dipakaai tersebut bahwa hilal dianggap terlihat
apabila memenuhi salah satu syarat-syarat berikut:
(1)· Ketika matahari
terbenam, ketinggian bulan di atas horison tidak kurang daripada
2° dan jarak
lengkung bulan-matahari (sudut elongasi) tidak kurang daripada 3°.
Atau (2)· Ketika bulan terbenam, umur bulan tidak kurang daripada
8 jam selepas
ijtimak/konjungsi berlaku.
[13]'http://ads6.kompasads.com/new/www/delivery/avw.php?zoneid=471&cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE&n=a22ad6b1'
border='0' alt='' /></a>
[14]
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathu al-Bari Syarh Sahih Bukhori,
cet.I, juz IV,Dar al-Kutub: Beirut,1989
[15] http://nahdhayatullah.blogspot.com/2011/01/memahami-hadis-hisab-dan-rukyah.html diakses 13 februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar