Senin, 26 Mei 2014

Mantuq

BAB I
PENDAHULUAN

1.    Latar Belakang
Tuhan mewahyukan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW, bukan sekedar sebagai inisiasi kerasulan, apalagi suvenir atau nomenklatur. Secara praktis, Al-Qur’an bagi Nabi Muhammad SAW, merupakan inspirasi etik pembebasan yang menyinari kesadaran dan gerakan sosial dalam membangun masyarakat yang sejahtera, adil dan manusiawi.
Al-Qur’an yang merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW, sekaligus petunjuk untuk umat manusia kapan dan di mana pun, memiliki berbagai macam keistemewaan. Keistimewaan tersebut, antara lain, susunan bahasanya yang indah, dan pada saat yang sama mengandung makna-makna yang dapat dipahami oleh siapa pun yang memahami bahasanya, walaupun tentunya tingkat pemahaman mereka akan berbeda-beda akibat berbagai faktor. Redaksi ayat-ayat Al-Qur’an, sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti, kecuali oleh pemilik redaksi tersebut. Hal inilah yang kemudian menimbulkan keanekaragaman penafsiran.
Ketika kita berbicara mengenai ayat-ayat yang terkandung di dalam Al-Qur’an, sebenarnya dari semua ayat yang ada didalam Al-Qur’an tersebut tidak semuanya memberikan arti/pemahaman yang jelas terhadap kita. Jika kita mau telusuri, ternyata banyak sekali ayat-ayat yang masih butuh penjelasan yang lebih mendalam mengenai hukum yang tersimpan dalam ayat tersebut.
Oleh karena itu, supaya kita dapat memahami dan mengetahui hukum/makna yang terdapat didalam ayat-ayat Al-Qur’an, penulis akan menjelaskan sedikit mengenai pengertian, pembagian Mantuq sampai contoh dari ayat-ayat tersebut.

2.    Rumusan Masalah
Dalam penyusunan makalah ini dapat disimpulkan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan materi pembahasan,diantaranya:
  1. Apa yang dimaksud dengan Mantuq ?
  2. Ada Berapakah Bentuk-Bentuk Mantuq  dalam istinbat ahkam?

3.    Tujuan Penulisan
Dengan disusunnya makalah ini ada beberapa tujuan yang hendak dicapai sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan diatas, yaitu :
1.      Mengetahui Apa yang dimaksud dengan Mantuq
  1. Mengetahui bagaimana Bentuk-Bentuk Mantuq  dalam istinbat ahkam?























BAB II
PEMBAHASAN

A.  PENGERTIAN MANTUQ
Ketika kita berbicara mengenai ayat-ayat yang terkandung di dalam Al-Qur’an, sebenarnya dari semua ayat yang ada didalam Al-Qur’an tersebut tidak semuanya memberikan arti/pemahaman yang jelas terhadap kita. Jika kita mau telusuri, ternyata banyak sekali ayat-ayat yang masih butuh penjelasan yang lebih mendalam mengenai hukum yang tersimpan dalam ayat tersebut.
Oleh karena itu, agar kita semua dapat memahami dan mengetahui hukum/makna yang terdapat didalam ayat-ayat Al-Qur’an, penulis akan memaparkan sedikit penjelasan mengenai pengertian, pembagian mantuq sampai contoh dari ayat-ayat tersebut.
1.    Pengertian Lafal Mantuq
            Suatu lafadz bila ditinjau dari cara menunjukan suatu makna, menurut Hanafiyyah terbagi dalam empat bagian, yaitu ibarat nash, isyarat nash, dilalah nash,dan  iqtida’ nash .Sedangkan menurut Syafiiyyah  terbagi kedalam mantuq dan mafhum. Kata mantuq secara bahasa berarti sesuatu yang ditunjukkan oleh lafal ketika diucapkan. Secara istilah dilalah mantuq adalah petunjuk lafadz pada hukum  yang disebut oleh lafadz itu sendiri ¹.
Sedangkan dalam sumber yang lain disebutkan bahwa.
دلالة المنطوق هي دلالة اللفظ على حكم شيئ مذ كور في الكلم
“Dilalah mantuq adalah penunjukkan lafal terhadap hukum sesuatu yang disebutkan dalam pembicaraan (lafal)”[1].
Dari definisi ini diketahui bahwa apabila suatu hukum dipahami langsung lafal yang tertulis, maka cara seperti ini disebut pemahaman secara mantuq. Misalnya, hukum yang dipahami langsung dari teks firman Allah pada S. Al-Isra’ : 23 yang berbunyi :
فلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka”.
Dengan menggunakan pemahaman secara mantuq ayat ini menunjukkan haramnya mengucapkan kata “ah” dan membentak kedua orang tua. Larangan atau haramnya hal tersebut langsung tertulis dan ditunjukkan dalam ayat ini.
2.    Pembagian Mantuq menurut Ahli Ushul Fiqih
Para ahli ushul fiqh membagi mantuq kepada dua macam, yaitu mantuq sharih dan mantuq ghairu sharih. Mantuq sharih secara bahasa berarti sesuatu yang diucapkan secara tegas. Adapun definisi mantuq sharih secara istilah adalah:
المنطوق الصريح هوما وضغ اللفظ له فيد ل عليه بالمطابقة او بالتضمن
“Mantuq sharih adalah makna yang secara tegas yang ditunjukkan suatu lafal sesuai dengan penciptaannya, baik secara penuh atau berupa bagiannya”[2].
Untuk memahami definisi ini dengan baik perlu dikemukakan contoh penggunaan dilalah mantuq sharih pada firman Allah S. Al-Baqarah : 175 yang berbunyi :
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Ayat ini menunjukkan secara jelas dan tegas melalui mantuq sharih tentang kehalalan jual beli dan keharaman riba.
Adapun mantuq ghairu sharih adalah :
المنطوق غير صريح هو مالم يوضع اللفظ له بل هولا زم لما وضع
“Mantuq ghairu sharih adalah pengertian yang ditarik bukan dari makna asli dari suatu lafal, sebagai konsekuensi dari suatu ucapan”[3].
Dari definisi ini jelas bahwa apabila penunjukkan suatu hukum didasarkan pada konsekuensi dari suatu ucapan (lafal), bukan ditunjukkan secara tegas oleh suatu lafal sejak penciptaannya, baik secara penuh atau bagiannya disebut dilalah mantuq ghairu sharih[4].
Misalnya, firman Allah S. Al-Baqarah : 233 yang berbunyi :
n?tãur ÏŠqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%øÍ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/
 “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf”.
Dari ayat ini dipahami bahwa nasab seorang anak dihubungkan kepada bapak bukan kepada ibu karena tanggung jawab nafkah anak berada di tangan bapak. Kesimpulan seperti ini diambil dengan cara mantuq ghairu sharih dari ayat di atas.
Sedangkan Manna’ Khalil Al-Qatthan membagi Mantuq kedalam tiga bagian, yaitu ada yang berupa nass, dzohir, dan mu’awwal. Nass adalah lafadz yang bentuknya sendiri ttelah dapat menunjukan makana yang dimaksud secara tegas (sharih), tidak mengandung kemungkinan makna lain. Misalnya firman Alloh:
 `yJsù öN©9 ôÅgs ãP$uÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$­ƒr& Îû Ædkptø:$# >pyèö7yur #sŒÎ) öNçF÷èy_u 3 y7ù=Ï? ×ouŽ|³tã ×'s#ÏB%x. 3
“Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna”. Penyipatan “sepuluh” dengan “sempurna” telah mematahakan kemungkinan sepuluh ini diartikan secara majaz (metafora). Inilah yang dimaksud dengan nass[5].
Dzahir ialah lafadz yang menunjukan suatu makna yang segera difahami ketika ia diucapkan tetapi disertai dengan kemungkinan makna lain yang lemah (marjuh). Jadi, dzahir itu sama dengan nass dalam hal penunjukan kepada makna yang berdasarkan pada ucapan. Namun dari segi lain ia berbeda dengan nass karena nass menunjukan suatu makna secara tegas dan tidak mengandung kemungkinan menerima makna lain, sedangkan dzahir disamping menunjukan suatu makan ketika diucapkan juga disertai dengan kemungkinan menerima makna lain meskipun lemah. Misalnya firman Alloh SWT :
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøŠyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ͍ƒÌYÏø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ¾ÏmÎ/ ÎŽötóÏ9 «!$# ( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOŠÏm§ ÇÊÐÌÈ      
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah[108]. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
            Lafadz “al-bag” digunakan untuk makana “al-jahil”( bodoh, tidak tahu)  dan “adz-dzolim” (melampaui batas, dzalim). Tetapi pemakaian untuk makana yang kedua lebih tegas dan popular sehingga makna kedua lebih tegas dan popular sehingga makna inilah yang kuat (rajih), sedangkan makna yang pertama lemah (marjuh). 
            Muawwal adalah lafadz yang diartikan dengan makna marjuh karena ada suatu dalil yang menghalangi dimaksudkannya makna yang rajih. Muawwal berbeda dengan dzahir; dzahir diartikan dengan makna yang rajih sebab tidak ada dalil yang memalingkannya kepada yang marjuh, sedangkan muawwal diartikan dengan makna marjuh karena ada dalil yang memalingkannya dari makna rajih. Akan tetapi masing- masing kedua makna itu ditunjukan oleh lafadz menurut bunyi ucapannya. Misalny firman Alloh SWT:
ôÙÏÿ÷z$#ur $yJßgs9 yy$uZy_ ÉeA%!$# z`ÏB ÏpyJôm§9$# @è%ur Éb>§ $yJßg÷Hxqö$# $yJx. ÎT$u­/u #ZŽÉó|¹ ÇËÍÈ  
“dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".
Lafadz “janah adz-dzulli” diartikan dengan ‘tunduk, tawadu’dan bergaul secara baik dengan kedua orang tua, tidak diartikan “sayap” karena mustahil manusia mempunyai sayap. 
Dilalah mantuq ghairu sharih sendiri terbagi menjadi tiga bagian, yaitu dilalah iqtidha’, dilalah ima’ dan dilalah isyarat.
a) Dilalah Iqtidha’
Adapun yang dimaksud dengan dilalah iqtidha’ adalah :
دلالة الاقتضاء هى دلالة اللفظ على ما يكون مقصودا للمتكلم و يتوقف عليه صدق الكلام او صحته عقلا او سرعا
“Dilalah iqtidha’ adalah pengertian yang dimaksudkan oleh pembicara dan kebenaran atau ketepatan pengertian ucapan itu bergantung pada akal atau syara’[6].
Definisi ini mengisyaratkan bahwa untuk memahami dilalah iqtidha’ diperlukan pengertian kata yang disisipkan secara tersirat dalam pemahaman (akal) untuk memudahkan memahami suatu redaksi. Tanpa pengertian kata yang disisipkan tersebut agak sulit memahami sebuah redaksi secara apa adanya. Misalnya, firman Allah dalam S. Al-Baqarah : 184 yang berbunyi :
 BQ$­ƒr& tyzé&`ÏiBo£Ïèsù 4xÿyn?tã÷rr&$³ÒƒÍ£DNä3ZÏB šc%x.`yJsù 
 “Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak tiga hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”.
Untuk dapat memahami ayat ini secara benar perlu disisipkan kata aftara setelah kata safarin. Dengan demikian, ayat ini menjelaskan bahwa siapa yang sakit atau berada dalam perjalanan, lalu ia berbuka puasa (tidak berpuasa) pada siang Ramadhan, maka hendaklah ia mengganti puasa yang ditinggalkan tersebut pada hari yang lain.
Inilah makna dimana nash sendiri tidak mengatakan apa- apa , tetapi harus dibaca sepeti itu demi memenuhi tujuan hakikatnya. Contohnya, Al-quran menentukan jenis-jenis perkawinan yang dilarang:
Ÿwur (#qßsÅ3Zs? $tB yxs3tR Nà2ät!$t/#uä šÆÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# žwÎ) $tB ôs% y#n=y 4 ¼çm¯RÎ) tb$Ÿ2 Zpt±Ås»sù $\Fø)tBur uä!$yur ¸xÎ6y ÇËËÈ  
’Diharamkan bagimu ibu- ibumu dan saudara-saudara perempuanmu.
Nass ini tidak menyebut kata “mengawini” namun harus dibaca seperti itu untuk melengkap maknanya. Demkian juga dalam ayat yang lain:
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ͍ƒÌYσø:$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎŽötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/
“ diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah”.
Dalam ayat ini tidak disebutkan bahwa ini haram dimakan. Tetapi nass itu menghendaki agar unsur  yang  kurang dimasukan kedalam urutan nass sehingga makananya lengkap[7]. Contoh dari dilalah iqtida yang sedikit bebeda dapat kita lihat pada hadits yang menyatakan: “Tidak ada puasa bagi orang yang tidak meniatkannaya dari malam sebelumnya”. Unsur yang kurang mungkin berupa pernyataan bahwa ‘puasa tidak sah’ atau ‘tidak sempurna’. Para ulama Hanafi mengakui yang terakhir, sedangkan ulama- ulama Syafi’i membaca makna yang peratma kedalam hadits ini. Yang manapun diikuti maka konsekuensinya akan membawa makna ayang berbeda[8].
Kesimpulanya, nass syar’i biaas diinterpretasikan dengan satu atau lebih dari empat implikasi- implikasi tekstual. Makna yang harus dibaca bias jadi sudah ditunjukan dalam kata- kata nass dengan tanda- tanda yang terdapat didalamnya, melalui inferensiatau melengkapi unsur yang kurang lengkap. Metode- metode konstruksi ini dapat diterapkan secara terpisah atau kolektif, dan semuanya diarahkan untuk membawa nass itu kepada kesimpulan yang logis dan tepat.
b) Dilalah Ima’
Untuk memahami dilalah ima’ dapat diamati dari definisi yang dikemukakan para ahli ushul fiqh berikut :
دلالة الايماء هى دلالة اللفظ على لازم مقصود للمتكلم لا يتوقف عليه صدق الكلام او صحته عقلا او سرعا بسبب اقتران الحكم بوصف
“Dilalah ima’ adalah pengertian yang lazim menjadi maksud pembicara, dimana kebenaran atau ketepatan pengertian ucapan itu tidak bergantung pada akal atau syara’ karena penyebutan suatu hukum sesudah menyebutkan suatu sifat ”[9].
Penerapan dilalah ima’ dapat diamati dari firman Allah S. Al-Maidah : 38 yang berbunyi :
-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtƒÏ÷ƒr& Lä!#ty_ $yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur îƒÍtã ÒOŠÅ3ym ÇÌÑÈ
 “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah”.
Perintah memotong tangan yang terdapat dalam ayat ini terkait dengan sifat yang disebutkan pada ayat ini, yaitu pencurian.
c) Dilalah Isyarat
Ahli ushul fiqh mendefinisikan dilalah isyarat adalah :
دلالة الاشارة هي دلالة اللفظ على لازم غير مقصود للمتكلم
“Suatu pengertian yang ditunjukkan suatu redaksi yang bukan maksud asli dari pembicara”[10]
Definisi ini menjelaskan bahwa suatu redaksi menunjukkan suatu pengertian, tetapi bukan pengertian aslinya melainkan suatu konsekuensi hukum yang ditunjukkan redaksi itu. Karena erat kaitannya dengan hukum yang jelas dalam mantuq, maka hukum yang diambil dari dilalah isyarat dipandang sebagai hukum yang ditunjuk oleh matuq secara tidak tegas.
Penerapan dilalah isyarat dapat diamati dari kasus berikut. Dalam S. Al-Ahkaaf : 15 yang berbunyi :
ä$uZøŠ¢¹urur z`»|¡SM}$# Ïm÷ƒyÏ9ºuqÎ/ $·Z»|¡ômÎ) ( çm÷Fn=uHxq ¼çmBé& $\döä. çm÷Gyè|Êurur $\döä. ( ¼çmè=÷Hxqur ¼çmè=»|ÁÏùur tbqèW»n=rO #·öky­
 “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan”.
Dalam S. Luqman : 14 yang berbunyi :
$uZøŠ¢¹urur z`»|¡SM}$# Ïm÷ƒyÏ9ºuqÎ/ çm÷Fn=uHxq ¼çmBé& $·Z÷dur 4n?tã 9`÷dur ¼çmè=»|ÁÏùur Îû Èû÷ütB%tæ Èbr& öà6ô©$# Í< y7÷ƒyÏ9ºuqÎ9ur ¥n<Î) 玍ÅÁyJø9$#
 “Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun”.
Mantuq yang terdapat dalam S. Al-Ahkaaf : 15 menegaskan bahwa jumlah masa kandungan dan menyusukan anak selama 30 bulan. Sedangkan pada S. Luqman : 14 menjelaskan masa menyusukan anak selama dua tahun atau dua puluh empat bulan. Dari kedua ayat ini dapat digunakan dilalah isyarat, yaitu sisa waktu selama enam ulan adalah minimal dalam kandungan. Masa minimal kandungan selama enam bulan bukan dimaksudkan oleh turunnya kedua ayat tersebut, tetapi merupakan konsekuensi logis dari ketegasan kedua ayat itu.





























BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
1.      Kata mantuq secara bahasa berarti sesuatu yang ditunjukkan oleh lafal ketika diucapkan. Secara istilah dilalah mantuq adalah petunjuk lafadz pada hukum  yang disebut oleh lafadz itu sendiri
2.      Pembagian Mantuq menurut ahli ushul fiqih, yaitu :
a.       Mantuq sharih secara bahasa berarti sesuatu yang diucapkan secara tegas. Adapun menurut istilah , mantuq sharih adalah makna yang secara tegas yang ditunjukkan suatu lafal sesuai dengan penciptaannya, baik secara penuh atau berupa bagiannya
b.      Mantuq ghairu sharih adalah pengertian yang ditarik bukan dari makna asli dari suatu lafal, sebagai konsekuensi dari suatu ucapan.
Mantuq ghairu sharih memiliki tiga macam dilalah, yaitu:
1)      dilalah iqtidha
2)      dilalah ima dan,
3)      dilalah isyarat
3.      Pembagian Mantuk lainnya adalah, nass, dzahir, dan muawwal.
B.  Saran
Al-Quran dan As-Sunnah merupakan sumber rujukan hukum dalam islam, yang mana dari keduanya pasti ada yang membuat bingung dalam memahami apa maksud dari sebagian ayat tersebut, oleh karena itu ilmu Ushul Fiqih berguna untuk mengetahui apa yang tersirat dalam ayat, maka kita harus memahami dengan benar ilmu Ushul Fiqih tersebut sebelum menafsirkan ayat-ayat, sehingga terhindar dari menafsirkan ayat yang asal-asalan. Diantaranya bahasan yang telah kami paparkan diatas tentang Mantuq dan bentuknya dalam istinbat al-ahkam.




































DAFTAR PUSTAKA

Khallaf, Abdul Wahhab. 1998. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta. Rineka Cipta.
A. Hanafi. 1961. Usul Fiqh. Jakarta. Wijaya.
Hadi, Saiful. 2009. Ushul Fiqh. Yogyakarta. Sabda media.
M. Umar, dkk. 1984. Fiqih-Ushul Fiqih-Mantiq. Jakarta. Departemen Agama RI.
Firdaus. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta. Zikrul
Syafe’i, Rachmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung. Pustaka Setia.
Hasyim,kamali, Muhammad,1996. Prinsip dan teori-teori hukum islam.Yogyakarta.      Pustaka Pelajar Offset.
Al-khattan, manna’ khalil, 2012. Studi-studi Ilmu Al-qur’an. Terjemah Oleh. Mudzakir. Bogor.Pustaka Litera Nusa.





[1]Khallaf, Abdul Wahhab. 1998. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta. Rineka Cipta.Hal.65
.
[2] Hadi, Saiful. 2009. Ushul Fiqh. Yogyakarta. Sabda media.Hal.67
[3] Khallaf, Abdul Wahhab. 1998. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta. Rineka Cipta.67
[4] Firdaus, 2008 Ushul Fiqh. Jakarta. Zikrul  Hal. 172
[5] Al-khattan, manna’ khalil, 2012. Studi-studi Ilmu Al-qur’an. Terjemah Oleh. Mudzakir. Bogor.Pustaka Litera Nusa, Hal: 358
[6] Khallaf, Abdul Wahhab. 1998. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta. Rineka Cipta.Hal. 88


[7] Hasyim,kamali, Muhammad,1996. Prinsip dan teori-teori hukum islam.Yogyakarta. Pustaka Pelajar Offset.Hal.164
[8] Ibnu majah,Sunan, hadits no. 1700; Badrun, Ushul,Hal : 154
[9] Khallaf, Abdul Wahhab. 1998. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta. Rineka Cipta.Hal. 89

[10] Khallaf, Abdul Wahhab. 1998. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta. Rineka Cipta.Hal:90

Tidak ada komentar:

Posting Komentar