BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Tuhan mewahyukan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW, bukan
sekedar sebagai inisiasi kerasulan, apalagi suvenir atau nomenklatur. Secara
praktis, Al-Qur’an bagi Nabi Muhammad SAW, merupakan inspirasi etik pembebasan
yang menyinari kesadaran dan gerakan sosial dalam membangun masyarakat yang
sejahtera, adil dan manusiawi.
Al-Qur’an yang merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW,
sekaligus petunjuk untuk umat manusia kapan dan di mana pun, memiliki berbagai
macam keistemewaan. Keistimewaan tersebut, antara lain, susunan bahasanya yang
indah, dan pada saat yang sama mengandung makna-makna yang dapat dipahami oleh
siapa pun yang memahami bahasanya, walaupun tentunya tingkat pemahaman mereka
akan berbeda-beda akibat berbagai faktor. Redaksi ayat-ayat Al-Qur’an,
sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat dijangkau
maksudnya secara pasti, kecuali oleh pemilik redaksi tersebut. Hal inilah yang
kemudian menimbulkan keanekaragaman penafsiran.
Ketika kita berbicara
mengenai ayat-ayat yang terkandung di dalam Al-Qur’an, sebenarnya dari semua
ayat yang ada didalam Al-Qur’an tersebut tidak semuanya memberikan
arti/pemahaman yang jelas terhadap kita. Jika kita mau telusuri, ternyata
banyak sekali ayat-ayat yang masih butuh penjelasan yang lebih mendalam
mengenai hukum yang tersimpan dalam ayat tersebut.
Oleh karena itu, supaya
kita dapat memahami dan mengetahui hukum/makna yang terdapat didalam ayat-ayat
Al-Qur’an, penulis akan menjelaskan sedikit mengenai pengertian, pembagian Mantuq
sampai contoh dari ayat-ayat tersebut.
2.
Rumusan
Masalah
Dalam penyusunan makalah ini dapat disimpulkan beberapa
permasalahan yang berkaitan dengan materi pembahasan,diantaranya:
- Apa yang dimaksud dengan Mantuq
?
- Ada Berapakah Bentuk-Bentuk
Mantuq dalam istinbat ahkam?
3.
Tujuan Penulisan
Dengan disusunnya makalah ini ada
beberapa tujuan yang hendak dicapai sesuai dengan permasalahan yang telah
dirumuskan diatas, yaitu :
1. Mengetahui
Apa yang dimaksud dengan Mantuq
- Mengetahui bagaimana
Bentuk-Bentuk Mantuq dalam istinbat
ahkam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN MANTUQ
Ketika kita berbicara
mengenai ayat-ayat yang terkandung di dalam Al-Qur’an, sebenarnya dari semua
ayat yang ada didalam Al-Qur’an tersebut tidak semuanya memberikan
arti/pemahaman yang jelas terhadap kita. Jika kita mau telusuri, ternyata
banyak sekali ayat-ayat yang masih butuh penjelasan yang lebih mendalam
mengenai hukum yang tersimpan dalam ayat tersebut.
Oleh karena itu, agar kita
semua dapat memahami dan mengetahui hukum/makna yang terdapat didalam ayat-ayat
Al-Qur’an, penulis akan memaparkan sedikit penjelasan mengenai pengertian,
pembagian mantuq sampai contoh dari ayat-ayat tersebut.
1.
Pengertian Lafal Mantuq
Suatu lafadz bila ditinjau dari cara menunjukan suatu makna, menurut
Hanafiyyah terbagi dalam empat bagian, yaitu ibarat nash, isyarat
nash, dilalah nash,dan iqtida’
nash .Sedangkan menurut Syafiiyyah
terbagi kedalam mantuq dan mafhum. Kata mantuq secara
bahasa berarti sesuatu yang ditunjukkan oleh lafal ketika diucapkan. Secara
istilah dilalah mantuq adalah petunjuk lafadz pada hukum yang disebut oleh lafadz itu sendiri ¹.
Sedangkan dalam sumber yang lain disebutkan
bahwa.
دلالة المنطوق هي دلالة اللفظ على حكم شيئ مذ كور في الكلم
“Dilalah mantuq adalah penunjukkan lafal
terhadap hukum sesuatu yang disebutkan dalam pembicaraan (lafal)”[1].
Dari definisi ini diketahui bahwa apabila suatu
hukum dipahami langsung lafal yang tertulis, maka cara seperti ini disebut
pemahaman secara mantuq. Misalnya, hukum yang dipahami langsung dari
teks firman Allah pada S. Al-Isra’ : 23 yang berbunyi :
فلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا
قَوْلاً كَرِيمًا
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka”.
Dengan menggunakan pemahaman secara mantuq ayat
ini menunjukkan haramnya mengucapkan kata “ah” dan membentak kedua orang
tua. Larangan atau haramnya hal tersebut langsung tertulis dan ditunjukkan
dalam ayat ini.
2.
Pembagian Mantuq menurut Ahli Ushul Fiqih
Para ahli ushul fiqh membagi mantuq kepada
dua macam, yaitu mantuq sharih dan mantuq ghairu sharih. Mantuq
sharih secara bahasa berarti sesuatu yang diucapkan secara tegas. Adapun
definisi mantuq sharih secara istilah adalah:
المنطوق الصريح هوما وضغ اللفظ له فيد ل عليه بالمطابقة او
بالتضمن
“Mantuq sharih adalah makna yang secara tegas
yang ditunjukkan suatu lafal sesuai dengan penciptaannya, baik secara penuh
atau berupa bagiannya”[2].
Untuk memahami definisi ini dengan baik perlu
dikemukakan contoh penggunaan dilalah mantuq sharih pada firman Allah S.
Al-Baqarah : 175 yang berbunyi :
وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba”.
Ayat ini menunjukkan secara jelas dan tegas
melalui mantuq sharih tentang kehalalan jual beli dan keharaman riba.
Adapun mantuq ghairu sharih adalah :
المنطوق غير صريح هو مالم يوضع اللفظ له بل هولا زم لما وضع
“Mantuq ghairu sharih adalah pengertian yang
ditarik bukan dari makna asli dari suatu lafal, sebagai konsekuensi dari suatu
ucapan”[3].
Dari definisi ini jelas bahwa apabila
penunjukkan suatu hukum didasarkan pada konsekuensi dari suatu ucapan (lafal),
bukan ditunjukkan secara tegas oleh suatu lafal sejak penciptaannya, baik
secara penuh atau bagiannya disebut dilalah mantuq ghairu sharih[4].
Misalnya, firman Allah S. Al-Baqarah : 233 yang
berbunyi :
n?tãur Ïqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%øÍ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/
“Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
ma’ruf”.
Dari ayat ini dipahami bahwa nasab seorang anak
dihubungkan kepada bapak bukan kepada ibu karena tanggung jawab nafkah anak
berada di tangan bapak. Kesimpulan seperti ini diambil dengan cara mantuq
ghairu sharih dari ayat di atas.
Sedangkan Manna’ Khalil Al-Qatthan membagi
Mantuq kedalam tiga bagian, yaitu ada yang berupa nass, dzohir, dan mu’awwal.
Nass adalah lafadz yang bentuknya sendiri ttelah dapat menunjukan makana
yang dimaksud secara tegas (sharih), tidak mengandung kemungkinan makna
lain. Misalnya firman Alloh:
`yJsù öN©9 ôÅgs ãP$uÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$r& Îû Ædkptø:$# >pyèö7yur #sÎ) öNçF÷èy_u 3 y7ù=Ï? ×ou|³tã ×'s#ÏB%x. 3
“Maka
wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu
telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna”. Penyipatan “sepuluh” dengan “sempurna” telah mematahakan
kemungkinan sepuluh ini diartikan secara majaz (metafora). Inilah yang dimaksud
dengan nass[5].
Dzahir
ialah lafadz yang menunjukan suatu makna yang segera difahami ketika ia diucapkan
tetapi disertai dengan kemungkinan makna lain yang lemah (marjuh). Jadi,
dzahir itu sama dengan nass dalam hal penunjukan kepada makna yang berdasarkan
pada ucapan. Namun dari segi lain ia berbeda dengan nass karena nass
menunjukan suatu makna secara tegas dan tidak mengandung kemungkinan menerima
makna lain, sedangkan dzahir disamping menunjukan suatu makan ketika
diucapkan juga disertai dengan kemungkinan menerima makna lain meskipun lemah.
Misalnya firman Alloh SWT :
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ÍÌYÏø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ¾ÏmÎ/ ÎötóÏ9 «!$# ( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uöxî 8ø$t/ wur 7$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOÏm§ ÇÊÐÌÈ
“Sesungguhnya
Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang
(ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah[108]. tetapi Barangsiapa dalam
Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”.
Lafadz “al-bag”
digunakan untuk makana “al-jahil”( bodoh, tidak tahu) dan “adz-dzolim” (melampaui batas,
dzalim). Tetapi pemakaian untuk makana yang kedua lebih tegas dan popular
sehingga makna kedua lebih tegas dan popular sehingga makna inilah yang kuat (rajih),
sedangkan makna yang pertama lemah (marjuh).
Muawwal adalah
lafadz yang diartikan dengan makna marjuh karena ada suatu dalil yang
menghalangi dimaksudkannya makna yang rajih. Muawwal berbeda dengan dzahir;
dzahir diartikan dengan makna yang rajih sebab tidak ada dalil yang
memalingkannya kepada yang marjuh, sedangkan muawwal diartikan dengan makna
marjuh karena ada dalil yang memalingkannya dari makna rajih. Akan tetapi
masing- masing kedua makna itu ditunjukan oleh lafadz menurut bunyi ucapannya.
Misalny firman Alloh SWT:
ôÙÏÿ÷z$#ur $yJßgs9 yy$uZy_ ÉeA%!$# z`ÏB ÏpyJôm§9$# @è%ur Éb>§ $yJßg÷Hxqö$# $yJx. ÎT$u/u #ZÉó|¹ ÇËÍÈ
“dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya,
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".
Lafadz
“janah adz-dzulli” diartikan dengan ‘tunduk, tawadu’dan bergaul secara baik
dengan kedua orang tua, tidak diartikan “sayap” karena mustahil manusia
mempunyai sayap.
Dilalah mantuq ghairu sharih sendiri terbagi
menjadi tiga bagian, yaitu dilalah iqtidha’, dilalah ima’ dan dilalah
isyarat.
a) Dilalah Iqtidha’
Adapun yang dimaksud dengan dilalah iqtidha’
adalah :
دلالة الاقتضاء هى دلالة اللفظ على ما يكون مقصودا للمتكلم و
يتوقف عليه صدق الكلام او صحته عقلا او سرعا
“Dilalah iqtidha’ adalah pengertian yang
dimaksudkan oleh pembicara dan kebenaran atau ketepatan pengertian ucapan itu
bergantung pada akal atau syara’[6].
Definisi ini mengisyaratkan bahwa untuk
memahami dilalah iqtidha’ diperlukan pengertian kata yang disisipkan
secara tersirat dalam pemahaman (akal) untuk memudahkan memahami suatu redaksi.
Tanpa pengertian kata yang disisipkan tersebut agak sulit memahami sebuah
redaksi secara apa adanya. Misalnya, firman Allah dalam S. Al-Baqarah : 184
yang berbunyi :
BQ$r& tyzé&`ÏiBo£Ïèsù 4xÿyn?tã÷rr&$³ÒÍ£DNä3ZÏB c%x.`yJsù
“Maka
barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak tiga hari yang ditinggalkan
itu pada hari-hari yang lain”.
Untuk dapat memahami ayat ini secara benar
perlu disisipkan kata aftara setelah kata safarin. Dengan
demikian, ayat ini menjelaskan bahwa siapa yang sakit atau berada dalam
perjalanan, lalu ia berbuka puasa (tidak berpuasa) pada siang Ramadhan, maka
hendaklah ia mengganti puasa yang ditinggalkan tersebut pada hari yang lain.
Inilah makna dimana nash sendiri tidak
mengatakan apa- apa , tetapi harus dibaca sepeti itu demi memenuhi tujuan hakikatnya.
Contohnya, Al-quran menentukan jenis-jenis perkawinan yang dilarang:
wur (#qßsÅ3Zs? $tB yxs3tR Nà2ät!$t/#uä ÆÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# wÎ) $tB ôs% y#n=y 4 ¼çm¯RÎ) tb$2 Zpt±Ås»sù $\Fø)tBur uä!$yur ¸xÎ6y ÇËËÈ
’Diharamkan bagimu ibu- ibumu dan saudara-saudara
perempuanmu.
Nass ini tidak menyebut kata “mengawini” namun
harus dibaca seperti itu untuk melengkap maknanya. Demkian juga dalam ayat yang
lain:
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ÍÌYÏø:$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/
“ diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,
(daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah”.
Dalam ayat ini tidak disebutkan bahwa ini haram
dimakan. Tetapi nass itu menghendaki agar unsur yang kurang dimasukan kedalam urutan nass sehingga
makananya lengkap[7]. Contoh
dari dilalah iqtida yang sedikit bebeda dapat kita lihat pada hadits yang
menyatakan: “Tidak ada puasa bagi orang yang tidak meniatkannaya dari malam
sebelumnya”. Unsur yang kurang mungkin berupa pernyataan bahwa ‘puasa tidak
sah’ atau ‘tidak sempurna’. Para ulama Hanafi mengakui yang terakhir, sedangkan
ulama- ulama Syafi’i membaca makna yang peratma kedalam hadits ini. Yang
manapun diikuti maka konsekuensinya akan membawa makna ayang berbeda[8].
Kesimpulanya, nass syar’i biaas
diinterpretasikan dengan satu atau lebih dari empat implikasi- implikasi
tekstual. Makna yang harus dibaca bias jadi sudah ditunjukan dalam kata- kata
nass dengan tanda- tanda yang terdapat didalamnya, melalui inferensiatau melengkapi
unsur yang kurang lengkap. Metode- metode konstruksi ini dapat diterapkan
secara terpisah atau kolektif, dan semuanya diarahkan untuk membawa nass itu
kepada kesimpulan yang logis dan tepat.
b) Dilalah Ima’
Untuk memahami dilalah ima’ dapat diamati dari
definisi yang dikemukakan para ahli ushul fiqh berikut :
دلالة الايماء هى دلالة اللفظ على لازم مقصود للمتكلم لا يتوقف
عليه صدق الكلام او صحته عقلا او سرعا بسبب اقتران الحكم بوصف
“Dilalah ima’ adalah pengertian yang lazim
menjadi maksud pembicara, dimana kebenaran atau ketepatan pengertian ucapan itu
tidak bergantung pada akal atau syara’ karena penyebutan suatu hukum sesudah
menyebutkan suatu sifat ”[9].
Penerapan dilalah ima’ dapat diamati
dari firman Allah S. Al-Maidah : 38 yang berbunyi :
-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtÏ÷r& Lä!#ty_ $yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur îÍtã ÒOÅ3ym ÇÌÑÈ
“Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah”.
Perintah memotong tangan yang terdapat dalam
ayat ini terkait dengan sifat yang disebutkan pada ayat ini, yaitu pencurian.
c) Dilalah Isyarat
Ahli ushul fiqh mendefinisikan dilalah isyarat
adalah :
دلالة الاشارة هي دلالة اللفظ على لازم غير مقصود للمتكلم
“Suatu pengertian yang ditunjukkan suatu
redaksi yang bukan maksud asli dari pembicara”[10]
Definisi ini menjelaskan bahwa suatu redaksi
menunjukkan suatu pengertian, tetapi bukan pengertian aslinya melainkan suatu
konsekuensi hukum yang ditunjukkan redaksi itu. Karena erat kaitannya dengan
hukum yang jelas dalam mantuq, maka hukum yang diambil dari dilalah isyarat dipandang
sebagai hukum yang ditunjuk oleh matuq secara tidak tegas.
Penerapan dilalah isyarat dapat diamati dari
kasus berikut. Dalam S. Al-Ahkaaf : 15 yang berbunyi :
ä$uZø¢¹urur z`»|¡SM}$# Ïm÷yÏ9ºuqÎ/ $·Z»|¡ômÎ) ( çm÷Fn=uHxq ¼çmBé& $\döä. çm÷Gyè|Êurur $\döä. ( ¼çmè=÷Hxqur ¼çmè=»|ÁÏùur tbqèW»n=rO #·öky
“Kami
perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya,
ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah
(pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan”.
Dalam S. Luqman : 14 yang berbunyi :
$uZø¢¹urur z`»|¡SM}$# Ïm÷yÏ9ºuqÎ/ çm÷Fn=uHxq ¼çmBé& $·Z÷dur 4n?tã 9`÷dur ¼çmè=»|ÁÏùur Îû Èû÷ütB%tæ Èbr& öà6ô©$# Í< y7÷yÏ9ºuqÎ9ur ¥n<Î) çÅÁyJø9$#
“Dan
kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya,
ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan
menyapihnya dalam dua tahun”.
Mantuq yang terdapat dalam S. Al-Ahkaaf : 15
menegaskan bahwa jumlah masa kandungan dan menyusukan anak selama 30 bulan.
Sedangkan pada S. Luqman : 14 menjelaskan masa menyusukan anak selama dua tahun
atau dua puluh empat bulan. Dari kedua ayat ini dapat digunakan dilalah
isyarat, yaitu sisa waktu selama enam ulan adalah minimal dalam kandungan. Masa
minimal kandungan selama enam bulan bukan dimaksudkan oleh turunnya kedua ayat
tersebut, tetapi merupakan konsekuensi logis dari ketegasan kedua ayat itu.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Kata mantuq secara bahasa berarti
sesuatu yang ditunjukkan oleh lafal ketika diucapkan. Secara istilah dilalah
mantuq adalah petunjuk lafadz pada hukum yang disebut oleh lafadz itu sendiri
2.
Pembagian Mantuq menurut ahli ushul fiqih,
yaitu :
a.
Mantuq sharih secara bahasa
berarti sesuatu yang diucapkan secara tegas. Adapun menurut istilah , mantuq
sharih adalah makna yang secara tegas yang ditunjukkan suatu lafal sesuai
dengan penciptaannya, baik secara penuh atau berupa bagiannya
b.
Mantuq ghairu sharih adalah
pengertian yang ditarik bukan dari makna asli dari suatu lafal, sebagai
konsekuensi dari suatu ucapan.
Mantuq ghairu sharih memiliki tiga macam
dilalah, yaitu:
1)
dilalah iqtidha
2)
dilalah ima dan,
3)
dilalah isyarat
3.
Pembagian Mantuk lainnya adalah, nass,
dzahir, dan muawwal.
B.
Saran
Al-Quran dan As-Sunnah merupakan sumber rujukan hukum dalam
islam, yang mana dari keduanya pasti ada yang membuat bingung dalam memahami
apa maksud dari sebagian ayat tersebut, oleh karena itu ilmu Ushul Fiqih
berguna untuk mengetahui apa yang tersirat dalam ayat, maka kita harus memahami
dengan benar ilmu Ushul Fiqih tersebut sebelum menafsirkan ayat-ayat, sehingga
terhindar dari menafsirkan ayat yang asal-asalan. Diantaranya bahasan yang
telah kami paparkan diatas tentang Mantuq dan bentuknya dalam istinbat
al-ahkam.
DAFTAR PUSTAKA
Khallaf, Abdul Wahhab. 1998. Ilmu Ushul
Fikih. Jakarta. Rineka Cipta.
A. Hanafi. 1961. Usul Fiqh. Jakarta.
Wijaya.
Hadi, Saiful. 2009. Ushul Fiqh.
Yogyakarta. Sabda media.
M. Umar, dkk. 1984. Fiqih-Ushul
Fiqih-Mantiq. Jakarta. Departemen Agama RI.
Firdaus. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta.
Zikrul
Syafe’i, Rachmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung.
Pustaka Setia.
Hasyim,kamali, Muhammad,1996. Prinsip dan teori-teori
hukum islam.Yogyakarta. Pustaka
Pelajar Offset.
Al-khattan, manna’ khalil, 2012. Studi-studi Ilmu Al-qur’an.
Terjemah Oleh. Mudzakir. Bogor.Pustaka Litera Nusa.
[1]Khallaf, Abdul
Wahhab. 1998. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta. Rineka Cipta.Hal.65
.
[5]
Al-khattan, manna’ khalil, 2012. Studi-studi
Ilmu Al-qur’an. Terjemah Oleh. Mudzakir. Bogor.Pustaka Litera Nusa, Hal:
358
[7] Hasyim,kamali, Muhammad,1996. Prinsip dan
teori-teori hukum islam.Yogyakarta. Pustaka Pelajar Offset.Hal.164
[8] Ibnu majah,Sunan, hadits no. 1700; Badrun,
Ushul,Hal : 154
Tidak ada komentar:
Posting Komentar