Senin, 26 Mei 2014

METODE TAFSIR IJMALI (GLOBAL) Oleh: Muhtarom, S.Pd

METODE TAFSIR IJMALI (GLOBAL)
Oleh: Muhtarom, S.Pd

A.    Pembukaan.
Al-Qur’an merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW, sekaligus petunjuk untuk umat manusia kapan dan di mana pun, memiliki berbagai macam keistemewaan. Keistimewaan tersebut, di antaranya adalah susunan bahasanya yang indah, dan pada saat yang sama mengandung makna-makna yang dapat dipahami oleh siapa pun yang memahami bahasanya, walaupun tentunya tingkat pemahaman mereka akan berbeda-beda akibat berbagai faktor.
Keyakinan bahwa Al-Qur'an adalah wahyu Allah yang diyakini sebagai petunjuk bagi manusia telah  menempatkan kitab suci ini sebagai sumber pertama dan utama ajaran Islam. Kedudukannya sebagai kitab suci dan sumber dari agama yang telah dinyatakan sempurna mengandung pengertian bahwa ia mampu memberikan petunjuk atau jawaban terhadap berbagai persoalan hidup di sepanjang masa.
Keyakinan dan harapan untuk memperoleh petunjuk-petunjuk Al-Qur’an lebih dipahami dalam konteks bahwa Allah memberikan hidayah kepada manusia melalui Al-Qur’an dengan hidayah Aqidah dan syariat.  Selain itu Allah juga akan mengangkat derajat suatu kaum atau merendahkan kaum yang lain dengan Al-Quran.
Sebagai firman Allah, al-Qur’an juga merefleksikan pesan-pesan ilahiyah untuk umat manusia. Secara bahasa, al-Qur’an memang menggunakan bahasa manusia, karena al-Qur’an memang ditujukan kepada umat manusia sehingga harus bisa mengadaptasi bahasa yang menjadi objek dan sasaran al-Qur’an. Aka tetapi, di balik rangkaian ayat-ayat al-Qur’an tersebut, pesan substansial dari makna hakiki al-Qur’an tidak ditampakkan oleh Allah.
Para pembaca al-Qur’an masih harus mampu melakukan kerja-kerja penafsiran yang maksimal untuk menemukan petunjuk-petunjuk dan pesan ideal Allah di balik ayat al-Qur’an yang tersurat. Artinya, tanpa ada upaya menemukan petunjuk-petunjuk dan pesan-pesan tersebut, al-Qur’an hanya akan menjadi rangkaian ayat yang terdiam. Hal ini merupakan konsekuensi rasional dari asumsi bahwa al-Qur’an dalam pandangan kaum hermeneutis, merupakan teks diam dan tidak bisa berbicara dengan sendirinya, sementara al-Qur’an dibutuhkan untuk bisa berbicara guna menjawab setiap perjalanan zaman.
Berdasarkan paparan di atas maka jelaslah bahwa tafsir al-Qur’an adalah hal yang sangat penting dalam Islam. Hal ini dikarenakan al-Qur’an merupakan sumber pokok dari ajaran Islam dan seseorang tidak dapat memahaminya tanpa mengetahui makna-makna yang terkandung di dalamnya, ataupun seseorang tidak dapat mengetahui hukum-hukum yang ada di dalamnya tanpa memahami apa maksud dari lafadz yang ada di dalamnya. Allah SWT berfirman :
­
ë=»tGÏ. çm»oYø9tRr& y7øs9Î) Ô8t»t6ãB (#ÿr㍭/£uÏj9 ¾ÏmÏG»tƒ#uä t©.xtFuŠÏ9ur (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇËÒÈ
“  Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” ( Shad (38):29).

Ÿxsùr& tbr㍭/ytGtƒ šc#uäöà)ø9$# ôQr& 4n?tã A>qè=è% !$ygä9$xÿø%r& ÇËÍÈ
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?” (Muhammad (47) : 24)

Pada ayat yang pertama di atas Allah menjelaskan bahwa hikmah diturunkannya al-Qur’an adalah agar supaya manusia mentadaburi ayat-ayat yang ada di dalamnya. Sedangkan pada ayat yang kedua Allah mencela orang-orang yang tidak mau mentadaburi al-Qur’an. Sedangkan seseorang tidak dapat memtadaburi al-Qur’an tanpa mengetahui maksud-maksud dari lafadz-lafadz al-Qur’an, maka jelaslah bahwa tafsir al-Qur’an sagat penting adanya.
Tafsir, sebagai usaha memahami dan menerangkan maksud dan kandungan ayat-ayat suci al-Qur'an, telah mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Sebagai hasil karya manusia, terjadinya keanekaragaman dalam penafsiran adalah hal yang tak terhindarkan. Berbagai faktor dapat menimbulkan keragaman itu, misalnya perbedaaan kecenderungan,  motivasi mufassir, misi yang diemban, perbedaan kedalaman dan ragam ilmu yang dikuasai, dan perbedaan masa dan lingkungan yang mengitari.
Munculnya berbagai model dan metode penafsiran terhadap al-Qur’an dalam sepanjang sejarah umat Islam merupakan salah satu bentuk upaya membuka dan menyingkap petunjuk dan pesan-pesan teks secara optimal sesuai dengan kemampuan dan kondisi sosial sang mufasir. Salah satu metode penafsiran yang telah digunakan oleh sebagian mufasir dalam sejarah penafsiran umat Islam adalah metode ijmali, seperti yang akan diuraikan dalam tulisan ini. Metode tafsir ijmali merupakan salah satu dari 4 metode penafsiran (maudlu’i, muqaran dan tahlili) yang pernah berkembang di kalangan umat Islam dan diterapkan menjadi beberapa kitab tafsir.

B.     Pembahasan
 1.      Pengertian  Metode Ijmali (Global)
Yang dimaksud dengan metode al-Tafsir al-Ijmali (global) ialah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara singkat untuk mengemukakan makna global tanpa uraian panjang lebar. Pengertian tersebut menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca untuk memudahkan pemahaman. Sistematika penulisannya menurut susunan ayat-ayat di dalam mushaf.[1] Di samping itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa Al-Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar Al-Qur’an padahal yang didengarnya itu tafsirnya.

2.      Ciri-ciri Metode Ijmali
Dengan demikian, ciri-ciri dan jenis tafsir Ijmali mengikuti urut-urutan ayat demi ayat menurut tertib mushaf, seperti halnya tafsir tahlili. Perbedaannya dengan tafsir tahlili adalah dalam tafsir ijmali makna ayatnya diungkapkan secara ringkas dan global tetapi cukup jelas, sedangkan tafsir tahlili makna ayat diuraikan secara terperinci dengan tinjauan berbagai segi dan aspek yang diulas secara panjang lebar.
 Sebagai contoh: ”Penafsiran yang diberikan tafsir al-Jalalain terhadap 5 ayat pertama dari surat al-Baqarah, tampak tafsirnya sangat singkat dan global hingga tidak ditemui rincian atau penjelasan yang memadai. Penafsiran kalimat [Alif Lam Mim], misalnya, dia hanya berkata: Allah Maha Tahu maksudnya. Demikian pula penafsiran [Al-kitab], hanya dikatakan: Yang dibacakan oleh Muhammad[2]. Begitu seterusnya, tanpa ada rincian sehingga penafsiran lima ayat itu hanya dalam beberapa baris saja. Sedangkan tafsir tahlili [analitis], al-Maraghi, misalnya, untuk menjelaskan lima ayat pertama itu ia membutuhkan 7 halaman[3]. Hal ini disebabkan uraiannya bersifat analitis dengan mengemukakan berbagai pendapat dan didukung oleh fakta-fakta dan argumen-argumen, baik berasal dari al-Qur’an atau hadis-hadis Nabi serta pendapat para sahabat dan tokoh ulama, juga tidak ketinggalan argumen semantik.
 Dalam metode ijmali seorang mufasir langsung menafsirkan Al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Pola serupa ini tak  jauh berbeda dengan metode analitis, namun uraian di dalam Metode Analitis lebih rinci daripada di dalam metode global sehingga mufasir lebih banyak dapat mengemukakan pendapat dan ide-idenya. Sebaliknya di dalam metode global, tidak ada ruang bagi mufasir untuk mengemukakan pendapat serupa itu. Itulah sebabnya kitab-kitab tafsir ijmali seperti disebutkan di atas tidak memberikan penafsiran secara rinci, tapi ringkas dan umum sehingga seakan-akan kita masih membaca Al-Qur’an padahal yang dibaca tersebut adalah tafsirnya; namun pada ayat-ayat tertentu diberikan juga penafsiran yang agak luas, tapi tidak sampai pada wilayah tafsir analitis.
 Dengan kata lain, metode tafsir ijmali menempatkan setiap ayat hanya sekedar ditafsirkan dan tidak diletakkan sebagai obyek yang harus dianalisa secara tajam dan berwawasan luas, sehingga masih menyisakan sesuatu yang dangkal, karena penyajian yang dilakukan tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an, sehingga membaca tafsir yang dihasilkan dengan memakai metode ijmali, layaknya membaca ayat al-Qur’an. Uraian yang singkat dan padat membuat tafsir dengan metode ijmali tidak jauh beda dengan ayat yang ditafsirkan.
 Metode ijmali berbeda jauh dengan metode komparatif maupun metode tematik. Kedua metode tersebut lebih populer di kalangan dunia tafsir, sementara metode ijmali tidak sepopuler kedua metode tersebut. Ciri khas metode ijmali, antara lain:
a.       Mufasir langsung menafsirkan setiap ayat dari awal sampai akhir, tanpa memasukkan upaya perbandingan dan tidak disertai dengan penetapan judul.
b.      Penafsiran yang sangat ringkas dan bersifat umum, membuat metode ini lebih sangat tertutup bagi munculnya ide-ide yang lain selain sang mufassir untuk memperkaya wawasan penafsiran. Oleh karena itu, tafsir ijmali dilakukan secara rinci, tetapi ringkas, sehingga membaca tafsir dengan metode ini mengesankan persis sama dengan membaca al-Qur’an.
Dalam tafsir-tafsir ijmali tidak semua ayat ditafsirkan dengan penjelasan yang ringkas, terdapat beberapa ayat tertentu (sangat terbatas) yang ditafsirkan sedikit  luas, tetapi tidak sampai mengarah pada penafsiran yang bersifat analitis.
 Metode ijmali yang dipakai oleh para mufasir memang sangat mudah untuk dibaca karena tidak mengandalkan pendekatan analitis, tetapi dilakukan dengan pola tafsir yang mudah dan tidak berbelit-belit, walaupun masih menyisakan sesuatu yang harus ditelaah ulang. Metode ijmali memiliki tujuan dan target bahwa pembaca harus bisa memahami kandungan pokok al-Qur’an sebagai kitab suci yang memberikan petunjuk hidup.[4]

3.      Mekanisme Penafsiran
 Proses penafsiran dengan menggunakan metode ijmali sebenarnya tidak jauh beda dengan metode-metode yang lain, terutama dengan metode tahlili (analitis). Mekanisme penafsiran dengan metode ijmali dilakukan dengan cara menguraikan ayat demi ayat ayat serta surat demi surat yang ada dalam al-Qur’an secara sistematis. Semua ayat ditafsirkan secara berurutan dari awal sampai akhir secara ringkas dan padat dan bersifat umum. Uraian yang dilakukan dalam metode ini mencakup beberapa aspek uraian terkait dengan ayat-ayat yang ditafsirkan, antara lain[5] :
a.            Mengartikan setiap kosakata yang ditafsirkan dengan kosakata yang lain yang tidak jauh menyimpang dari kosa kata yang ditafsirkan.
b.            Menjelaskan konotasi setiap kalimat yang ditafsirkan sehingga menjadi jelas.
c.            Menyebutkan latar belakang turunnya (asbabun nuzul) ayat yang ditafsirkan, walaupun tidak semua ayat disertai dengan asbabun nuzul. Asbabun nuzul ini dijadikan sebagai pelengkap yang memotivasi turunnya ayat yang ditafsirkan. Asbabun nuzul menjadi sangat urgen, karena dalam asbabun nuzul mencakup beberapa hal yang berkaitan dengan peristiwa pelaku dan waktu.
d.           Memberikan penjelasan dengan pendapat-pendapat yang telah dikeluarkan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, Sahabat, Tabi’in maupun tokoh tafsir.

4.    Kritik Metodologis
 Sebagai sebuah metode penafsiran, metode ijmali di satu sisi memang merupakan bagian dari proses mencari makna di balik ayat-ayat al-Qur’an, yang tentu saja sah-sah saja diterapkan seperti metode-metode yang lain. Dalam upaya menafsirkan al-Qur’an, metode apapun bisa diterapkan selama dimaksudkan dalam rangka memahami al-Qur’an yang notabene memiliki makna dan pesan yang sangat universal. Dengan pesan yang universal tersebut, telah banyak melahirkan metode dan corak penafsiran. Inilah yang menjadi kekhasan al-Qur’an yang tidak dimiliki oleh teks-teks yang lain. Wacana al-Qur’an, merupakan firman yang luas maknanya dan beragam sisi signifikansinya. Ia merupakan firman yang tidak mungkin dibatasi makna dan signifikansinya.
 Menurut Nasr Hamid Abu Zaid, beragamnya tafsir dan interpretasi terhadap al-Qur’an, karena teks menjadi sentral suatu peradaban atau kebudayaan, dan keragaman ini terjadi menurut Nasr Hamid, karena beberapa faktor.
a.      Faktor ini oleh Nasr Hamid dianggap sebagai faktor yang penting, adalah sifat dan watak ilmu yang disentuh oleh teks. Artinya, disiplin tertentu sangat menentukan terhadap tujuan interpretasi dan pendekatannya.
b.    Horizon epistimologi yang dipergunakan oleh seorang ilmuwan dalam menangani teks. Dengan horizon tersebut, ia mengusahakan bagaimana teks bisa mengungkapkan dirinya.
Dalam beberapa kitab tafsir ditulis dengan metode ijmali, seperti Kitab Tafsir Al-Qur’an al-Karim, karya Muhammad Farid Wajdi, kitab Al-Tafsir al-Wasith, terbitan Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah, Taj al-Tafasir, karya Muhammad Ustman al-Mirghani, dan kitab Tafsir Jalalain, karya bersama Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi. Kitab-kitab tafsir ini secara metodis ditulis dengan metode yang sama, yaitu metode ijmali, sehingga paradigma dan corak tafsirnya tentu saja memiliki kesamaan. Namun demikian, seiring perkembangan zaman yang notabene menuntut adanya perubahan pola dan paradigma dalam melakukan proses penafsiran, metode ijmali dalam kenyataannya termasuk metode yang kurang disukai, terutama oleh mufasir-mufasir kontemporer.
 Dibandingkan metode komparatif dan metode analitis, metode ijmali (global) termasuk metode yang banyak menuai banyak kritik, dengan beberapa alasan, yaitu :
a.     Tekstualistik-skriptualitik.
Metode ijmali termasuk metode yang bersifat tekstualistik-skriptualistik. Tafsir tekstulis-skriptulistis lebih menekankan pada kualitas teks daripada substansi teks, sehingga memunculkan kesan tafsir tekstualis lebih akrab dengan apa yang ada pada teks secara dzohir, padahal makna yang seharusnya dikuak terkadang tidak bisa mencerminkan tujuan moral dari teks yang seharusnya dikuak. Bahkan, paradigma tekstualis-skriptualistik dalam penafsiran disinyalir tidak mampu menerjemahkan makna dasar dari sebuah ayat, karena logika penafsiran hanya bertumpu pada kekuataan teks, sehingga melahirkan tafsir tektualis (tradisional). Menurut Hasan Hanafi, tafsir tradisional seringkali terjebak pada penafsiran yang bertele-tele, menafsirkan teks secara umum tanpa memperhatikan apakah dibutuhkan penafsiran di situ atau tidak. Teks dijadikan sebagai obyek pembacaan apa adanya, tanpa mencoba membongkar makna-makna yang tersimpan di balik teks. Teks hanya dipandang pada sisi dzohir, bukan pada sisi terdalam sebuah teks. Cara pandang tekstualis dalam memahami al-Qur’an ini, pada akhirnya melahirkan kesimpulan yang tidak dalam, sehingga masih menyimpan pertanyaan-pertanyaan tentang pesan-pesan yang sebenarnya akan disampaikan oleh teks. Artinya, pendekatan tekstualis dalam memahami teks, cenderung menciptakan satu kondisi dimana realitas makna yang tersimpan atau pesan moral di balik teks yang memaksa untuk mengkuti apa yang tampak pada teks secara dzohir. Metode ijmali memakai pendekatan yang analitis sempit, yaitu tidak hanya sebatas gambaran-gambaran singkat dan umum, sehingga tidak menyentuh pada substansi teks, misalnya dalam tafsir jalalain yang ditulis dengan metode ijmali. Dalam tafsir Jalalain setiap ayat hanya ditafsirkan dengan tetap terpaku pada kekuatan teks dan tidak dilakukan pada usaha untuk membongkar teks secara analitis yang mendalam. Ada asumsi yang menyebutkan bahwa Jalalain merupakan tafsir yang mengedepankan corak “bertolak dari teks, berakhir pada teks dan atas petunjuk teks” dan belum mempertimbangkan realitas sebagai penghantar pada pencapaian makna. Walaupun memang dalam metode ini, asbabun nuzul juga menjadi sesuatu yang tidak dinafikan, tetapi asbabun nuzul disebutkan “terkesan hanya sekedar” dijadikan sebagai pelengkap, karena tidak ada analisa filosofis terhadap asbabun nuzul tersebut, padahal asbabun nuzul merupakan landasan pijak bagi sebuah ayat. Menurut Fazlurrahman, dalam memahami teks-teks al-Qur’an harus dilihat dalam konteks sosio-historisnya (asbabun nuzul) secara tepat.


b.     Hegemoni penafsir.
Dalam tafsir dengan metode ijmali dimana uraian dan pembahasan tafsir hanya dilakukan dengan cara yang singkat dan global, sehingga tidak membuka ruang yang lebar untuk memasukkan ide-ide dari pihak lain, sehingga melahirkan paradigma hegemoni penafsiran yang berlebihan. Walaupun memang, dalam setiap penafsiran setiap mufasir memiliki hal subyektif dalam memahami al-Qur’an, tetapi dalam metode ijmali (salah satu contohnya Tafsir Jalalain), berbeda dengan tafsir-tafsir yang memakai metode non-ijmali. 
5.    Kelebihan dan Kekurangan Metode Ijmali
Setiap metode tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga dalam menguak makna al-Qur’an ada yang tidak bisa secara utuh menyentuh makna dan pesan dasar yang ingin disampaikan oleh al-Qur’an.
a.      Kelebihan
Metode ijmali, sebagai salah satu metode penafsiran Al Qur'an memiliki beberaa keistimewaan yang tidak dimiliki oleh tafsir-tafsir lainnya, diantara keistimewaan ini adalah;
1)             Praktis dan mudah di pahami.
Hal ini terletak pada proses penafisran ayat yang tidak terbelit-belit dan bentuknya yang mudah dipahami, selain itu  pesan-pesan yang terkandung dalam tafsir ini juga sangat mudah ditangkap oleh pembaca.
2)             Bebas dari penafsiran israiliyat.
Pengaruh penfsiran isra’iliyat dalam metode ijmali bisa diantisipasi, karena pembahasan tafsir yang ringkas dan padat, sehingga sangat tidak memungkinkan seorang mufasir memasukkan unsur-unsur lain, seperti penafsiran dengan cerita-cerita isra’iliyat menyatu ke dalam tafsirannya. Selain pemikiran-pemikiran Israiliyat, dengan metode ini dapat dibendung pemikiran-pemikiran yang kadang-kadang terlalu jauh dari pemahaman ayat-ayat Al Qur’an seperti pemikiran-pemikiran spekulatif yang dikembangkan oleh penganut teologi, sufi, dan lain-lain.
3)             Akrab dengan bahasa  Al Qur’an.
Uraian yang singkat dan padat menjadi sebab tidak adanya penafsiran ayat-ayat Al Qur’an yang keluar dari kosa kataayat tersebut. Metode ini lebih mengedepankan makna sinonim dari kata-kata yang bersangkutan, sehingga pembaca akan  merasa bahwa dirinya sedang membaca Al Qur’an dan bukan membaca suatu tafsir.
b.  Kekurangan
1)             Menjadikan petunjuk al- Quran bersifat parsial.
Penafsiran yang ringkas dan pendek membuat pesan Al Qur’an tersebut tidak utuh dan terpecah-pecah. Menurut Subhi saleh kandungan ayat-ayat Al Qur’an mempunyai keistimewaan dalam hal kecermatan dan cakupannya yang menyeluruh. Setiap kita menemukan ayat yang bersifat umum yang memerlukan makna lebih lanjut, kita pasti menemukan pada bagian yang lain, baik yang bersifat membatasi maupun memperjelas secara rinci.[6] Al Qur’an merupakan satu kesatuan yang utuh, sehingga satu ayat dengan ayat yang lain membentuk satu pengertian yang utuh, tidak terpecah-pecah dan berarti. Hal-hal yang global atau samar-samar dalam suatu ayat, maka pada ayat yang lain ada penjelasan yang lebih rinci. Dengan menggabungkan kedua ayat tersebut akan diperoleh suatu pemahaman yang utuh dan dapat terhindar dari kekeliruan.[7]
2)             Terlalu dangkal dan berwawasan sempit.
Tafsir ini tidak menyediakan ruangan untuk memberikan uraian atau pembahasan yang memuaskan berkenaan dengan pemahaman suatu ayat. Oleh karena itu, jika menginginkan adanya analisis yang rinci, metode ijmali tidak dapat diandalkan.

6.   Urgensi metode ijmali
Manusia diciptakan Allah SWT dalam berbagai tingkatan dan strata sosial. Pebedaan  semacam itu juga terlihat pada tingkatan-tingkatan kecerdasan dan daya nalar mereka. Untuk memahami al- Quran secara baik dan benar diperlukan penafsiran yang tepat.
Dengan demikian, tafsir dengan metode ini sangat urgen bagi mereka yang berada pada tahap permulaan mempelajari tafsir al- Quran dan merka yang sibuk mencari kehidupanya.
  



C.    PENUTUP
Kesimpulan
Terlepas dari beberapa permasalahan yang terdapat dalam metode ijmali, dalam sejarah penafsiran metode ini tetap menjadi salah satu konsep penafsiran yang layak diapreasiasi, karena berbagai kekurangan yang dimiliki oleh setiap metode tentu pasti ada. Berbagai kitab tafsir yang ditulis dengan menggunakan metode ijmali yang muncul dalam dinamika penafsiran umat Islam terhadap al-Qur’an tetap menjadi khazanah yang sangat berarti.
Metode apapun yang dilahirkan dalam menafsirkan al-Qur’an tetap bukan harga mati yang harus menjadi satu-satunya pilihan atau sesuatu yang terbenarkan secara mutlak. Setiap metode tetap memiliki kekurangan dan kelebihan yang tidak bisa dinafikan. Dan, setiap individu yang punya kapasitas berhak melahirkan metode-metode baru yang sesuai dengan kemampuan dirinya, karena al-Qur’an bukan hanya menjadi hak otoritas satu dan beberapa orang, tetapi menjadi hak dan miliki semua orang.
Aal-Qur’an akan selalu menjadi sesuatu yang menarik, karena ayat-ayatnya yang universal dan global, memungkinkan setiap mufasir baru untuk  menyusun langkah-langkah metodis yang kreatif guna menemukan inti dan gagasan yang ingin disampaikan oleh al-Qur’an. Oleh karena itu, sikap kritis terhadap setiap penafsiran merupakan sebuah keniscayaan yang bisa dilakukan, karena mufasir bukanlah manusia sempurna yang luput dari kesalahan, tetapi mereka juga manusia biasa yang tidak bebas dari kelemahan.










DAFTAR PUSTAKA


Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur’an . cet. Ke- 1. Yogjakarta : Pustaka Pelajar, 1998.

Rahman, Fazlur . Tema Pokok Al-Qur’an. Bandung : Pustaka, 1996

 Al Qurthuby, Imam, Al Jami’u-l-Ahkami-l-Quran, Asalibu-t-Tafsir. http://faculty.ksu.edu.s 

Muhammad, Jalaludin Bin Ahmad al Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman Bin Abu Bakar As Suyuthi, Tafsir Al-Jalalain, h. 9 - 11

Subhi Salih, Mabahis fi Ulumil Qur’an, terjemah tim Pustaka Firdaus, cet. kedelapan, Jakarta: Pustaka Firdaus, h. 299

Mustafa, Syaikh Ahmad Al Maraghi,Tafsir Al Maraghi, Mesir: Daar An Nashr, h. 39 – 44













[1] Imam Al Qurthuby, Al Jami’u-l-Ahkami-l-Quran, Asalibu-t-Tafsir. http://faculty.ksu.edu.s 
[2] Jalaludin Muhammad Bin Ahmad al Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman Bin Abu Bakar As Suyuthi, Tafsir Al-Jalalain, h. 9 - 11
[3] Syaikh Ahmad Mustafa Al Maraghi,Tafsir Al Maraghi, Mesir: Daar An Nashr, h. 39 - 44
[6] Subhi Salih, Mabahis fi Ulumil Qur’an, terjemah tim Pustaka Firdaus, cet. kedelapan, Jakarta: Pustaka Firdaus, h. 299
[7] Sebagai contoh: perhatikan firman Allah dalam ayat 11 surah ar-Ra’du dan ayat 53 surah al-Anfal sebagai berikut:
3 žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3
y7Ï9ºsŒ  cr'Î/ ©!$# öNs9 à7tƒ #ZŽÉitóãB ºpyJ÷èÏoR $ygyJyè÷Rr& 4n?tã BQöqs% 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/  
Kedua ayat itu ditafsirkan oleh al-jalalain sebagai berikut:
"إنَّ اللَّه لَا يُغَيِّر مَا بِقَوْمٍ" لَا يَسْلُبهُمْ نِعْمَته "حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ" مِنْ الْحَالَة الْجَمِيلَة بِالْمَعْصِيَةِ [sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang ada pada suatu kaum] tidak mencabut nikmatnya dari mereka [kecuali mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka], dari sifat-sifat bagus dan terpuji menjadi perbuatan maksiat.
"ذَلِكَ" أَيْ تَعْذِيب الْكَفَرَة "بِأَنْ" أَيْ بِسَبَبِ أَنَّ "اللَّه لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَة أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْم" مُبَدِّلًا لَهَا بِالنِّقْمَةِ "حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ" يُبَدِّلُوا نِعْمَتهمْ كُفْرًا كَتَبْدِيلِ كُفَّار مَكَّة إطْعَامهمْ مِنْ جُوع وَأَمْنهمْ مِنْ خَوْف وَبَعْث النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إلَيْهِمْ بِالْكُفْرِ وَالصَّدّ عَنْ سَبِيل اللَّه وَقِتَال الْمُؤْمِنِينَ
 [Yang demikian itu] yakni menyiksa orang-orang kafir [dikarenakan] sesungguhnya [Allah selamanya tak pernah mengubah nikmat yang telah dianugrahkan-Nya kepada suatu kaum] dengan menggantikannya dengan kutukan [kecuali mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka], yakni mereka mengganti nikmat itu dengan kekufuran seperti perbuatan para kafir Mekkah yang menukar anugerah makanan, kemanan dan kebangkitan Nabi dengan bersikap ingkar, menghalang-halangi agama Allah, dan memerangi umat Islam. Kedua penafsiran yang diberikan itu tampaak tidak sinkron. Di dalam ayat pertama ia [al-Suyuthi]- menafsirkan [4(öNÍkŦàÿRr'Î/$tB#rçŽÉitóãƒÓ®Lym] itu dengan: mengubah sifat-sifat yang baik dengan perbuatan maksiat. Sementara pada ayat kedua untuk ungkapan yang sama dia memberikan penafsiran yang berbeda seperti dikatakannya: “menggaanti nikmat itu dengan kekufuran”. Jadi penafsiran yang pertama bersifat abstrak dan yang kedua bersifat konkret.

                                                                                                                                        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar