METODE TAFSIR IJMALI (GLOBAL)
Oleh: Muhtarom, S.Pd
A. Pembukaan.
Al-Qur’an merupakan bukti kebenaran Nabi
Muhammad SAW, sekaligus petunjuk untuk umat manusia kapan dan di mana pun,
memiliki berbagai macam keistemewaan. Keistimewaan tersebut, di antaranya adalah susunan
bahasanya yang indah, dan pada saat yang sama mengandung makna-makna yang dapat
dipahami oleh siapa pun yang memahami bahasanya, walaupun tentunya tingkat
pemahaman mereka akan berbeda-beda akibat berbagai faktor.
Keyakinan
bahwa Al-Qur'an adalah wahyu Allah yang diyakini sebagai petunjuk bagi manusia
telah menempatkan kitab suci ini sebagai
sumber pertama dan utama ajaran Islam. Kedudukannya sebagai kitab suci dan
sumber dari agama yang telah dinyatakan sempurna mengandung pengertian bahwa ia
mampu memberikan petunjuk atau jawaban terhadap berbagai persoalan hidup di
sepanjang masa.
Keyakinan
dan harapan untuk memperoleh petunjuk-petunjuk Al-Qur’an lebih dipahami dalam
konteks bahwa Allah memberikan hidayah kepada manusia melalui Al-Qur’an dengan
hidayah Aqidah dan syariat. Selain itu Allah juga
akan mengangkat derajat suatu kaum atau merendahkan kaum yang lain dengan
Al-Quran.
Sebagai firman Allah, al-Qur’an juga merefleksikan
pesan-pesan ilahiyah untuk umat manusia. Secara bahasa, al-Qur’an memang
menggunakan bahasa manusia, karena al-Qur’an memang ditujukan kepada umat
manusia sehingga harus bisa mengadaptasi bahasa yang menjadi objek dan sasaran
al-Qur’an. Aka tetapi, di balik rangkaian ayat-ayat al-Qur’an tersebut, pesan
substansial dari makna hakiki al-Qur’an tidak ditampakkan oleh Allah.
Para pembaca al-Qur’an masih harus mampu melakukan
kerja-kerja penafsiran yang maksimal untuk menemukan petunjuk-petunjuk dan pesan
ideal Allah di balik ayat al-Qur’an yang tersurat. Artinya, tanpa ada upaya
menemukan petunjuk-petunjuk dan pesan-pesan tersebut, al-Qur’an hanya akan menjadi
rangkaian ayat yang terdiam. Hal ini merupakan konsekuensi rasional dari asumsi
bahwa al-Qur’an dalam pandangan kaum hermeneutis, merupakan teks diam dan tidak
bisa berbicara dengan sendirinya, sementara al-Qur’an dibutuhkan untuk bisa
berbicara guna menjawab setiap perjalanan zaman.
Berdasarkan paparan di atas maka jelaslah bahwa
tafsir al-Qur’an adalah hal yang sangat penting dalam Islam. Hal ini
dikarenakan al-Qur’an merupakan sumber pokok dari ajaran Islam dan seseorang
tidak dapat memahaminya tanpa mengetahui makna-makna yang terkandung di
dalamnya, ataupun seseorang tidak dapat mengetahui hukum-hukum yang ada di
dalamnya tanpa memahami apa maksud dari lafadz yang ada di dalamnya. Allah SWT
berfirman :
ë=»tGÏ. çm»oYø9tRr& y7øs9Î) Ô8t»t6ãB (#ÿrã/£uÏj9 ¾ÏmÏG»t#uä t©.xtFuÏ9ur (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇËÒÈ
“
Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya
mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang
yang mempunyai fikiran.” ( Shad (38):29).
xsùr& tbrã/ytGt c#uäöà)ø9$# ôQr& 4n?tã A>qè=è% !$ygä9$xÿø%r& ÇËÍÈ
“Maka
apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?”
(Muhammad (47) : 24)
Pada ayat yang pertama di atas Allah menjelaskan
bahwa hikmah diturunkannya al-Qur’an adalah agar supaya manusia mentadaburi
ayat-ayat yang ada di dalamnya. Sedangkan pada ayat yang kedua Allah mencela
orang-orang yang tidak mau mentadaburi al-Qur’an. Sedangkan seseorang tidak
dapat memtadaburi al-Qur’an tanpa mengetahui maksud-maksud dari lafadz-lafadz
al-Qur’an, maka jelaslah bahwa tafsir al-Qur’an sagat penting adanya.
Tafsir, sebagai usaha
memahami dan menerangkan maksud dan kandungan ayat-ayat suci al-Qur'an, telah
mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Sebagai hasil karya manusia,
terjadinya keanekaragaman dalam penafsiran adalah hal yang tak terhindarkan.
Berbagai faktor dapat menimbulkan keragaman itu, misalnya perbedaaan
kecenderungan, motivasi mufassir, misi yang diemban, perbedaan kedalaman
dan ragam ilmu yang dikuasai, dan perbedaan masa dan lingkungan yang mengitari.
Munculnya berbagai model dan metode penafsiran
terhadap al-Qur’an dalam sepanjang sejarah umat Islam merupakan salah satu
bentuk upaya membuka dan menyingkap petunjuk dan pesan-pesan teks secara
optimal sesuai dengan kemampuan dan kondisi sosial sang mufasir. Salah satu
metode penafsiran yang telah digunakan oleh sebagian mufasir dalam sejarah
penafsiran umat Islam adalah metode ijmali, seperti yang akan diuraikan dalam
tulisan ini. Metode tafsir ijmali merupakan salah satu dari 4 metode penafsiran
(maudlu’i, muqaran dan tahlili) yang pernah berkembang di kalangan umat Islam
dan diterapkan menjadi beberapa kitab tafsir.
B.
Pembahasan
1. Pengertian Metode
Ijmali (Global)
Yang dimaksud dengan metode
al-Tafsir al-Ijmali (global) ialah suatu metode tafsir yang menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara singkat untuk mengemukakan makna global tanpa
uraian panjang lebar. Pengertian
tersebut menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan
bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca untuk memudahkan
pemahaman. Sistematika penulisannya menurut susunan ayat-ayat di dalam mushaf.[1] Di
samping itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa Al-Qur’an sehingga
pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar Al-Qur’an padahal
yang didengarnya itu tafsirnya.
2. Ciri-ciri
Metode Ijmali
Dengan demikian, ciri-ciri
dan jenis tafsir Ijmali mengikuti urut-urutan ayat demi ayat menurut tertib
mushaf, seperti halnya tafsir tahlili. Perbedaannya dengan tafsir tahlili
adalah dalam tafsir ijmali makna ayatnya diungkapkan secara ringkas dan global
tetapi cukup jelas, sedangkan tafsir tahlili makna ayat diuraikan secara
terperinci dengan tinjauan berbagai segi dan aspek yang diulas secara panjang
lebar.
Sebagai contoh: ”Penafsiran yang diberikan
tafsir al-Jalalain terhadap 5 ayat pertama dari surat al-Baqarah, tampak
tafsirnya sangat singkat dan global hingga tidak ditemui rincian atau
penjelasan yang memadai. Penafsiran kalimat [Alif Lam Mim], misalnya, dia hanya
berkata: Allah Maha Tahu maksudnya. Demikian pula penafsiran [Al-kitab], hanya
dikatakan: Yang dibacakan oleh Muhammad[2]. Begitu
seterusnya, tanpa ada rincian sehingga penafsiran lima ayat itu hanya dalam
beberapa baris saja. Sedangkan tafsir tahlili [analitis], al-Maraghi, misalnya,
untuk menjelaskan lima ayat pertama itu ia membutuhkan 7 halaman[3]. Hal ini
disebabkan uraiannya bersifat analitis dengan mengemukakan berbagai pendapat
dan didukung oleh fakta-fakta dan argumen-argumen, baik berasal dari al-Qur’an
atau hadis-hadis Nabi serta pendapat para sahabat dan tokoh ulama, juga tidak
ketinggalan argumen semantik.
Dalam metode ijmali seorang mufasir langsung
menafsirkan Al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan
judul. Pola serupa ini tak jauh berbeda
dengan metode analitis, namun uraian di dalam Metode Analitis lebih rinci
daripada di dalam metode global sehingga mufasir lebih banyak dapat
mengemukakan pendapat dan ide-idenya. Sebaliknya di dalam metode global, tidak
ada ruang bagi mufasir untuk mengemukakan pendapat serupa itu. Itulah sebabnya
kitab-kitab tafsir ijmali seperti disebutkan di atas tidak memberikan
penafsiran secara rinci, tapi ringkas dan umum sehingga seakan-akan kita masih
membaca Al-Qur’an padahal yang dibaca tersebut adalah tafsirnya; namun pada ayat-ayat
tertentu diberikan juga penafsiran yang agak luas, tapi tidak sampai pada
wilayah tafsir analitis.
Dengan kata lain, metode tafsir ijmali
menempatkan setiap ayat hanya sekedar ditafsirkan dan tidak diletakkan sebagai
obyek yang harus dianalisa secara tajam dan berwawasan luas, sehingga masih
menyisakan sesuatu yang dangkal, karena penyajian yang dilakukan tidak terlalu
jauh dari gaya bahasa al-Qur’an, sehingga membaca tafsir yang dihasilkan dengan
memakai metode ijmali, layaknya membaca ayat al-Qur’an. Uraian yang singkat dan
padat membuat tafsir dengan metode ijmali tidak jauh beda dengan ayat yang
ditafsirkan.
Metode ijmali berbeda jauh dengan metode
komparatif maupun metode tematik. Kedua metode tersebut lebih populer di
kalangan dunia tafsir, sementara metode ijmali tidak sepopuler kedua metode
tersebut. Ciri khas metode ijmali, antara lain:
a.
Mufasir langsung menafsirkan setiap ayat dari awal
sampai akhir, tanpa memasukkan upaya perbandingan dan tidak disertai dengan
penetapan judul.
b.
Penafsiran yang sangat ringkas dan bersifat umum,
membuat metode ini lebih sangat tertutup bagi munculnya ide-ide yang lain
selain sang mufassir untuk memperkaya wawasan penafsiran. Oleh karena itu,
tafsir ijmali dilakukan secara rinci, tetapi ringkas, sehingga membaca tafsir
dengan metode ini mengesankan persis sama dengan membaca al-Qur’an.
Dalam tafsir-tafsir ijmali tidak semua ayat
ditafsirkan dengan penjelasan yang ringkas, terdapat beberapa ayat tertentu
(sangat terbatas) yang ditafsirkan sedikit luas, tetapi tidak sampai
mengarah pada penafsiran yang bersifat analitis.
Metode ijmali yang dipakai oleh para mufasir
memang sangat mudah untuk dibaca karena tidak mengandalkan pendekatan analitis,
tetapi dilakukan dengan pola tafsir yang mudah dan tidak berbelit-belit,
walaupun masih menyisakan sesuatu yang harus ditelaah ulang. Metode ijmali
memiliki tujuan dan target bahwa pembaca harus bisa memahami kandungan pokok
al-Qur’an sebagai kitab suci yang memberikan petunjuk hidup.[4]
3. Mekanisme
Penafsiran
Proses penafsiran dengan menggunakan metode
ijmali sebenarnya tidak jauh beda dengan metode-metode yang lain, terutama
dengan metode tahlili (analitis). Mekanisme penafsiran dengan metode ijmali
dilakukan dengan cara menguraikan ayat demi ayat ayat serta surat demi surat
yang ada dalam al-Qur’an secara sistematis. Semua ayat ditafsirkan secara
berurutan dari awal sampai akhir secara ringkas dan padat dan bersifat umum.
Uraian yang dilakukan dalam metode ini mencakup beberapa aspek uraian terkait
dengan ayat-ayat yang ditafsirkan, antara lain[5] :
a.
Mengartikan setiap kosakata yang ditafsirkan dengan
kosakata yang lain yang tidak jauh menyimpang dari kosa kata yang ditafsirkan.
b.
Menjelaskan konotasi setiap kalimat yang
ditafsirkan sehingga menjadi jelas.
c.
Menyebutkan latar belakang turunnya (asbabun nuzul)
ayat yang ditafsirkan, walaupun tidak semua ayat disertai dengan asbabun nuzul.
Asbabun nuzul ini dijadikan sebagai pelengkap yang memotivasi turunnya ayat
yang ditafsirkan. Asbabun nuzul menjadi sangat urgen, karena dalam asbabun
nuzul mencakup beberapa hal yang berkaitan dengan peristiwa pelaku dan waktu.
d.
Memberikan penjelasan dengan pendapat-pendapat yang
telah dikeluarkan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang
disampaikan oleh Nabi, Sahabat, Tabi’in maupun tokoh tafsir.
4. Kritik Metodologis
Sebagai sebuah metode penafsiran, metode
ijmali di satu sisi memang merupakan bagian dari proses mencari makna di balik
ayat-ayat al-Qur’an, yang tentu saja sah-sah saja diterapkan seperti
metode-metode yang lain. Dalam upaya menafsirkan al-Qur’an, metode apapun bisa
diterapkan selama dimaksudkan dalam rangka memahami al-Qur’an yang notabene
memiliki makna dan pesan yang sangat universal. Dengan pesan yang universal
tersebut, telah banyak melahirkan metode dan corak penafsiran. Inilah yang
menjadi kekhasan al-Qur’an yang tidak dimiliki oleh teks-teks yang lain. Wacana
al-Qur’an, merupakan firman yang luas maknanya dan beragam sisi
signifikansinya. Ia merupakan firman yang tidak mungkin dibatasi makna dan
signifikansinya.
Menurut Nasr Hamid Abu Zaid, beragamnya
tafsir dan interpretasi terhadap al-Qur’an, karena teks menjadi sentral suatu
peradaban atau kebudayaan, dan keragaman ini terjadi menurut Nasr Hamid, karena
beberapa faktor.
a. Faktor
ini oleh Nasr Hamid dianggap sebagai faktor yang penting, adalah sifat dan
watak ilmu yang disentuh oleh teks. Artinya, disiplin tertentu sangat
menentukan terhadap tujuan interpretasi dan pendekatannya.
b. Horizon
epistimologi yang dipergunakan oleh seorang ilmuwan dalam menangani teks.
Dengan horizon tersebut, ia mengusahakan bagaimana teks bisa mengungkapkan
dirinya.
Dalam beberapa kitab tafsir ditulis dengan metode
ijmali, seperti Kitab Tafsir Al-Qur’an al-Karim, karya Muhammad Farid Wajdi,
kitab Al-Tafsir al-Wasith, terbitan Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah, Taj
al-Tafasir, karya Muhammad Ustman al-Mirghani, dan kitab Tafsir Jalalain, karya
bersama Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi. Kitab-kitab tafsir ini
secara metodis ditulis dengan metode yang sama, yaitu metode ijmali, sehingga
paradigma dan corak tafsirnya tentu saja memiliki kesamaan. Namun demikian, seiring
perkembangan zaman yang notabene menuntut adanya perubahan pola dan paradigma
dalam melakukan proses penafsiran, metode ijmali dalam kenyataannya termasuk
metode yang kurang disukai, terutama oleh mufasir-mufasir kontemporer.
Dibandingkan
metode komparatif dan metode analitis, metode ijmali (global) termasuk metode
yang banyak menuai banyak kritik, dengan beberapa alasan, yaitu :
a. Tekstualistik-skriptualitik.
Metode
ijmali termasuk metode yang bersifat tekstualistik-skriptualistik. Tafsir
tekstulis-skriptulistis lebih menekankan pada kualitas teks daripada substansi
teks, sehingga memunculkan kesan tafsir tekstualis lebih akrab dengan apa yang
ada pada teks secara dzohir, padahal makna yang seharusnya dikuak terkadang
tidak bisa mencerminkan tujuan moral dari teks yang seharusnya
dikuak. Bahkan, paradigma tekstualis-skriptualistik dalam penafsiran
disinyalir tidak mampu menerjemahkan makna dasar dari sebuah ayat, karena
logika penafsiran hanya bertumpu pada kekuataan teks, sehingga melahirkan
tafsir tektualis (tradisional). Menurut Hasan Hanafi, tafsir tradisional
seringkali terjebak pada penafsiran yang bertele-tele, menafsirkan teks secara
umum tanpa memperhatikan apakah dibutuhkan penafsiran di situ atau
tidak. Teks dijadikan sebagai obyek pembacaan apa adanya, tanpa mencoba
membongkar makna-makna yang tersimpan di balik teks. Teks hanya dipandang pada
sisi dzohir, bukan pada sisi terdalam sebuah teks. Cara pandang tekstualis
dalam memahami al-Qur’an ini, pada akhirnya melahirkan kesimpulan yang tidak
dalam, sehingga masih menyimpan pertanyaan-pertanyaan tentang pesan-pesan yang
sebenarnya akan disampaikan oleh teks. Artinya, pendekatan tekstualis dalam
memahami teks, cenderung menciptakan satu kondisi dimana realitas makna yang
tersimpan atau pesan moral di balik teks yang memaksa untuk mengkuti apa yang
tampak pada teks secara dzohir. Metode ijmali memakai pendekatan yang analitis
sempit, yaitu tidak hanya sebatas gambaran-gambaran singkat dan umum, sehingga
tidak menyentuh pada substansi teks, misalnya dalam tafsir jalalain yang
ditulis dengan metode ijmali. Dalam tafsir Jalalain setiap ayat hanya
ditafsirkan dengan tetap terpaku pada kekuatan teks dan tidak dilakukan pada
usaha untuk membongkar teks secara analitis yang mendalam. Ada asumsi yang menyebutkan
bahwa Jalalain merupakan tafsir yang mengedepankan corak “bertolak dari teks,
berakhir pada teks dan atas petunjuk teks” dan belum mempertimbangkan realitas
sebagai penghantar pada pencapaian makna. Walaupun memang dalam metode ini,
asbabun nuzul juga menjadi sesuatu yang tidak dinafikan, tetapi asbabun nuzul
disebutkan “terkesan hanya sekedar” dijadikan sebagai pelengkap, karena tidak ada
analisa filosofis terhadap asbabun nuzul tersebut, padahal asbabun nuzul
merupakan landasan pijak bagi sebuah ayat. Menurut Fazlurrahman, dalam memahami
teks-teks al-Qur’an harus dilihat dalam konteks sosio-historisnya (asbabun
nuzul) secara tepat.
b. Hegemoni
penafsir.
Dalam
tafsir dengan metode ijmali dimana uraian dan pembahasan tafsir hanya dilakukan
dengan cara yang singkat dan global, sehingga tidak membuka ruang yang lebar
untuk memasukkan ide-ide dari pihak lain, sehingga melahirkan paradigma
hegemoni penafsiran yang berlebihan. Walaupun memang, dalam setiap penafsiran
setiap mufasir memiliki hal subyektif dalam memahami al-Qur’an, tetapi dalam
metode ijmali (salah satu contohnya Tafsir Jalalain), berbeda dengan
tafsir-tafsir yang memakai metode non-ijmali.
5. Kelebihan dan Kekurangan
Metode Ijmali
Setiap metode tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan,
sehingga dalam menguak makna al-Qur’an ada yang tidak bisa secara utuh
menyentuh makna dan pesan dasar yang ingin disampaikan oleh al-Qur’an.
a. Kelebihan
Metode
ijmali, sebagai salah satu metode penafsiran Al Qur'an memiliki beberaa keistimewaan
yang tidak dimiliki oleh tafsir-tafsir lainnya, diantara keistimewaan ini
adalah;
1)
Praktis dan mudah di pahami.
Hal ini terletak pada proses penafisran ayat yang
tidak terbelit-belit dan bentuknya yang mudah dipahami, selain itu pesan-pesan yang terkandung dalam tafsir ini
juga sangat mudah ditangkap oleh pembaca.
2)
Bebas dari penafsiran israiliyat.
Pengaruh penfsiran isra’iliyat dalam metode ijmali
bisa diantisipasi, karena pembahasan tafsir yang ringkas dan padat, sehingga
sangat tidak memungkinkan seorang mufasir memasukkan unsur-unsur lain, seperti
penafsiran dengan cerita-cerita isra’iliyat menyatu ke dalam tafsirannya. Selain
pemikiran-pemikiran Israiliyat, dengan metode ini dapat dibendung
pemikiran-pemikiran yang kadang-kadang terlalu jauh dari pemahaman ayat-ayat Al
Qur’an seperti pemikiran-pemikiran spekulatif yang dikembangkan oleh penganut
teologi, sufi, dan lain-lain.
3)
Akrab dengan bahasa
Al Qur’an.
Uraian yang singkat dan padat menjadi sebab tidak
adanya penafsiran ayat-ayat Al Qur’an yang keluar dari kosa kataayat tersebut.
Metode ini lebih mengedepankan makna sinonim dari kata-kata yang bersangkutan,
sehingga pembaca akan merasa bahwa
dirinya sedang membaca Al Qur’an dan bukan membaca suatu tafsir.
b. Kekurangan
1)
Menjadikan petunjuk al- Quran bersifat parsial.
Penafsiran yang ringkas dan pendek membuat pesan Al
Qur’an tersebut tidak utuh dan terpecah-pecah. Menurut Subhi saleh kandungan
ayat-ayat Al Qur’an mempunyai keistimewaan dalam hal kecermatan dan cakupannya
yang menyeluruh. Setiap kita menemukan ayat yang bersifat umum yang memerlukan
makna lebih lanjut, kita pasti menemukan pada bagian yang lain, baik yang
bersifat membatasi maupun memperjelas secara rinci.[6] Al
Qur’an merupakan satu kesatuan yang utuh, sehingga satu ayat dengan ayat yang
lain membentuk satu pengertian yang utuh, tidak terpecah-pecah dan berarti.
Hal-hal yang global atau samar-samar dalam suatu ayat, maka pada ayat yang lain
ada penjelasan yang lebih rinci. Dengan menggabungkan kedua ayat tersebut akan
diperoleh suatu pemahaman yang utuh dan dapat terhindar dari kekeliruan.[7]
2)
Terlalu dangkal dan berwawasan sempit.
Tafsir ini tidak menyediakan ruangan untuk
memberikan uraian atau pembahasan yang memuaskan berkenaan dengan pemahaman
suatu ayat. Oleh karena itu, jika menginginkan adanya analisis yang rinci,
metode ijmali tidak dapat diandalkan.
6. Urgensi metode ijmali
Manusia diciptakan Allah SWT dalam berbagai
tingkatan dan strata sosial. Pebedaan semacam itu juga terlihat pada
tingkatan-tingkatan kecerdasan dan daya nalar mereka. Untuk memahami al- Quran
secara baik dan benar diperlukan penafsiran yang tepat.
Dengan demikian, tafsir dengan metode ini sangat
urgen bagi mereka yang berada pada tahap permulaan mempelajari tafsir al- Quran
dan merka yang sibuk mencari kehidupanya.
C.
PENUTUP
Kesimpulan
Terlepas dari beberapa permasalahan yang terdapat
dalam metode ijmali, dalam sejarah penafsiran metode ini tetap menjadi salah
satu konsep penafsiran yang layak diapreasiasi, karena berbagai kekurangan yang
dimiliki oleh setiap metode tentu pasti ada. Berbagai kitab tafsir yang ditulis
dengan menggunakan metode ijmali yang muncul dalam dinamika penafsiran umat
Islam terhadap al-Qur’an tetap menjadi khazanah yang sangat berarti.
Metode apapun yang dilahirkan dalam menafsirkan
al-Qur’an tetap bukan harga mati yang harus menjadi satu-satunya pilihan atau
sesuatu yang terbenarkan secara mutlak. Setiap metode tetap memiliki kekurangan
dan kelebihan yang tidak bisa dinafikan. Dan, setiap individu yang punya
kapasitas berhak melahirkan metode-metode baru yang sesuai dengan kemampuan
dirinya, karena al-Qur’an bukan hanya menjadi hak otoritas satu dan beberapa
orang, tetapi menjadi hak dan miliki semua orang.
Aal-Qur’an akan selalu menjadi sesuatu yang
menarik, karena ayat-ayatnya yang universal dan global, memungkinkan setiap mufasir
baru untuk menyusun langkah-langkah
metodis yang kreatif guna menemukan inti dan gagasan yang ingin disampaikan
oleh al-Qur’an. Oleh karena itu, sikap kritis terhadap setiap penafsiran
merupakan sebuah keniscayaan yang bisa dilakukan, karena mufasir bukanlah manusia
sempurna yang luput dari kesalahan, tetapi mereka juga manusia biasa yang tidak
bebas dari kelemahan.
DAFTAR PUSTAKA
Baidan,
Nashruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur’an . cet. Ke-
1. Yogjakarta : Pustaka Pelajar, 1998.
Rahman,
Fazlur . Tema Pokok Al-Qur’an. Bandung : Pustaka, 1996
Al Qurthuby, Imam, Al Jami’u-l-Ahkami-l-Quran, Asalibu-t-Tafsir.
http://faculty.ksu.edu.s
Muhammad, Jalaludin
Bin Ahmad al Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman Bin Abu Bakar As Suyuthi, Tafsir
Al-Jalalain, h. 9 - 11
Subhi Salih, Mabahis
fi Ulumil Qur’an, terjemah tim Pustaka Firdaus, cet. kedelapan, Jakarta:
Pustaka Firdaus, h. 299
Mustafa, Syaikh
Ahmad Al Maraghi,Tafsir Al Maraghi, Mesir: Daar An Nashr, h. 39 – 44
[2] Jalaludin Muhammad Bin Ahmad al Mahalli dan Jalaluddin
Abdurrahman Bin Abu Bakar As Suyuthi, Tafsir Al-Jalalain, h. 9 - 11
[3] Syaikh Ahmad Mustafa Al Maraghi,Tafsir Al Maraghi,
Mesir: Daar An Nashr, h. 39 - 44
Diakses 04/02/2013
[6] Subhi Salih, Mabahis fi Ulumil Qur’an, terjemah
tim Pustaka Firdaus, cet. kedelapan, Jakarta: Pustaka Firdaus, h. 299
[7] Sebagai contoh: perhatikan firman Allah dalam ayat 11
surah ar-Ra’du dan ayat 53 surah al-Anfal sebagai berikut:
…3
cÎ)
©!$#
w
çÉitóã $tB BQöqs)Î/
4Ó®Lym
(#rçÉitóã
$tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3 …
y7Ï9ºs cr'Î/ ©!$#
öNs9
à7t
#ZÉitóãB
ºpyJ÷èÏoR $ygyJyè÷Rr& 4n?tã
BQöqs%
4Ó®Lym
(#rçÉitóã
$tB öNÍkŦàÿRr'Î/ …
Kedua ayat
itu ditafsirkan oleh al-jalalain sebagai berikut:
"إنَّ اللَّه لَا يُغَيِّر مَا بِقَوْمٍ" لَا يَسْلُبهُمْ نِعْمَته "حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ" مِنْ الْحَالَة الْجَمِيلَة بِالْمَعْصِيَةِ [sesungguhnya
Allah tidak mengubah apa yang ada pada suatu kaum] tidak mencabut nikmatnya
dari mereka [kecuali mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka], dari
sifat-sifat bagus dan terpuji menjadi perbuatan maksiat.
"ذَلِكَ" أَيْ تَعْذِيب الْكَفَرَة "بِأَنْ" أَيْ بِسَبَبِ أَنَّ "اللَّه لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَة أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْم" مُبَدِّلًا لَهَا بِالنِّقْمَةِ "حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ" يُبَدِّلُوا نِعْمَتهمْ كُفْرًا كَتَبْدِيلِ كُفَّار مَكَّة إطْعَامهمْ مِنْ جُوع وَأَمْنهمْ مِنْ خَوْف وَبَعْث النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إلَيْهِمْ بِالْكُفْرِ وَالصَّدّ عَنْ سَبِيل اللَّه وَقِتَال الْمُؤْمِنِينَ
[Yang demikian itu] yakni menyiksa orang-orang
kafir [dikarenakan] sesungguhnya [Allah selamanya tak pernah mengubah nikmat
yang telah dianugrahkan-Nya kepada suatu kaum] dengan menggantikannya dengan
kutukan [kecuali mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka], yakni mereka
mengganti nikmat itu dengan kekufuran seperti perbuatan para kafir Mekkah yang
menukar anugerah makanan, kemanan dan kebangkitan Nabi dengan bersikap ingkar,
menghalang-halangi agama Allah, dan memerangi umat Islam. Kedua penafsiran yang
diberikan itu tampaak tidak sinkron. Di dalam ayat pertama ia [al-Suyuthi]-
menafsirkan [4(öNÍkŦàÿRr'Î/$tB#rçÉitóãÓ®Lym] itu dengan: mengubah sifat-sifat yang baik dengan perbuatan
maksiat. Sementara pada ayat kedua untuk ungkapan yang sama dia memberikan
penafsiran yang berbeda seperti dikatakannya: “menggaanti nikmat itu dengan kekufuran”.
Jadi penafsiran yang pertama bersifat abstrak dan yang kedua bersifat konkret.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar