PERANAN ASBABUN NUZUL DALAM MENAFSIRKAN AL-QURAN
Oleh: Nur Arif Fuadi,
S.Si.
I.
Pendahuluan
Di antara bukti bahwa Alloh Maha Pengasih terhadap
manusia, adalah Alloh mengutus para nabi dan rosul. Dia tidak hanya
menganugerahkan fitrah yang suci yang dapat membimbing jiwa manusia kepada
kebaikan, bahkan Dia telah mengutus RosulNya dari masa ke masa yang membawa
kitab dari Alloh sebagai pedoman hidup, mengajak manusia agar beribadah hanya
kepada Alloh saja tanpa mempersekutukanNya dengan suatu apapun. Sebagai penutup
para nabi dan rosul, diutuslah Muhammad Shollallohu ‘alaihi wasallam
yang menyampaikan kabar gembira den memberikan peringatan kepada seluruh
manusia bahkan sampai akhir zaman. Setiap nabi diutus kepada kaumnya secara
khusus, akan tetapi tidak dengan Muhammad Shollallohu ‘alaihi wasallam.
Beliau diutus untuk kepada seluruh manusia. Alloh Subhanahu wata’ala telah
mengajarkan al-Quran kepada Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wasallam melalui
Jibril ‘alaihissalam agar disampaikan kepada seluruh ummatnya. Bahkan,
bukti terbesar bahwa Alloh Maha Pengasih terhadap manusia, adalah Dia
mengajarkan al-Quran. Pada awal surat Ar-Rahman, Alloh berfirman:
الرَّحْمَنُ عَلَّمَ الْقُرْآنَ
Artinya: “(Allah) Yang Maha
Pengasih, Yang telah Mengajarkan al-Quran.”
Terhadap ayat ini, Ibnu Abbas menafsirkan sebagai berikut:
Ar-rahmān ([Allah] Yang
Maha Pengasih). ‘Allamal qur-ān (Dia telah Mengajarkan al-Quran) kepada
Jibril ‘alaihissalam, Jibril alaihissalam mengajarkan kepada Nabi
Muhammad Shollallohu ‘alaihi wasallam, dan Nabi Muhammad saw.
mengajarkan kepada umatnya. Maksudnya, Allah Ta‘ala telah Mengutus
Jibril alaihissalam dengan membawa al-Quran kepada Nabi Muhammad Shollallohu
‘alaihi wasallam, dan beliau menyampaikan al-Quran kepada umatnya.
Jika diperhatikan kelanjutan dari ayat tersebut, Surat
ar-Rahman memaparkan nikmat-nikmat yang Alloh karuniakan kepada manusia, agar
manusia mau bersyukur. Dan nikmat yang kali pertama disebutkan adalah
bahwasannya Alloh telah mengajarkan al-Quran. Hal ini menunjukkan bahwa nikmat
terbesar yang diberikan kepada seluruh manusia adalah pengajaran al-Quran.
Sedangkan al-Quran ini sampai kepada kita dengan perantara. Dalam hal ini,
perantaranya adalah Malaikat Jibril ‘alaihissalam dan Rasululloh
Muhammad Shollallohu ‘alaihi wasallam, yang secara resmi mendapatkan
tugas untuk menyampaikan wahyu suci tersebut.
Al-Qur’an adalah merupakan kalamullah (firman Allah) yang
mengandung mukjizat, yang diturunkan kepada Nabi dan Rasul terakhir (Muhammad Shollaoohu
‘alaihi wasallam), dengan perantaraan Al-Amin Jibril ‘alaihissalam.
Yang tertulis dalam mushaf (lembaran), yang disampaikan kepada kita
secara mutawatir yang dianggap sebagai ibadah membacanya, yang dimulai
dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas. Al-Qur’an sebagaimana
dimaksud dalam definisi tersebut adalah merupakan pedoman utama ummat Islam
dalam hidup dan kehidupannya sehari-hari baik dalam hal ibadah maupun dalam hal
muamalah. Untuk itu, Al-Qur’an perlu dikaji, dipelajari dan dihayati sehingga
isi kandungan Al-Qur’an tersebut dapat dipedomani dan dilaksanakan serta dapat
dijadikan petunjuk bagi ummat manusia dalam hidup dan kehidupan sehar-hari.
Mengingat bahwa al-Qur’an adalah merupakan firman Allah Subhanahu
wata’ala, maka tidak seorang pun yang dapat memahaminya secara utuh
dan benar sebagaimana yang dimaksud oleh Allah Subhanahu
wata’ala, keculai Nabi Muhammad Shollallohu
‘alaihi wasallam, sebab beliaulah yang menerima al-Quran, mendapat
pelajaran tentangnya dan beliau pula yang diperintahkan untuk menyampaiklannya
kepada ummat manusia. Dan apabila beliau kurang memahami al-Qur’an yang
diturunkan kepadanya maka beliau secara langsung dapat meminta penjelasan
kepada Malaikat Jibril ‘alaihissalam. Berbeda halnya dengan kita yang
tidak dapat lagi meminta penjelasan secara langsung kepada Nabi Muhammad Shollallohu ‘alaihi wasallam.
Oleh karena itu, diperlukan ilmu-ilmu bantu yang berkaitan dengan al-Qur’an
seperti penguasaan terhadap Bahasa dan Sastra Arab, Ilmu Nahwu, Ilmu Sharaf,
Ilmu Manthiq, Ilmu Balaghah, Kondisi Sosiologis tempat turunnya Al-Qur’an, Ilmu
Ushul Fiqh apabila hal itu berkaitan dengan bidang hukum, Pengetahuan tentang
Asbabun Nuzul dan lain-lain sebagainya. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai
Asbabun Nuzul yang kaitannya dengan memahami isi kandingan al-Qur’an, sebab
Asbabun Nuzul sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Taimiyah, “mengetahui alasan
(sabab) penurunan membantu dalam memahami ayat, karena pengetahuan tentang
sebab (sabab) menghasilkan pengetahuan tentang efek (musabbab).
II. Pembahasan
Asbabun Nuzul secara bahasa berarti sebab-sebab turunnya ayat-ayat al-Qur’an.
Sebagaimana diketahui bahwa Al-Qur’an diturunkan Allah Subhanalloh
wata’ala selama masa 22 tahun 2 bulan dan 22 hari atau kurang lebih
23 tahun. Al-Qur’an diturunkan kepada Muhammad Shollallohu ‘alaihi wasallam,
pada dasarnya adalah untuk memperbaiki aqidah, ibadah, akhlak dan pergaulan
manusia yang telah menyimpang dari rel kebenaran. Adapun pengertian Asbabun
Nuzul secara ishtilahi sebagaimana disebutkan oleh Shubhi Al-Shalih adalah
sesuatu yang dengan sebabnya turun suatu ayat atau beberapa ayat yang
mengandung sebab itu, atau memberi jawaban terhadap sebab itu, atau menerangkan
hukumnya pada masa terjadinya sebab tersebut.
Definisi yang dikemukakan oleh Shubhis Shalih tersebut memberikan
pengertian bahwa sebab turun ayat adakalanya berbentuk peristiwa dan adakalanya
berbentuk pertanyaan. Oleh karena itulah maka setiap turun suatu ayat atau
beberapa ayat, hal itu adalah untuk menerangkan hal-hal yang berhubungan dengan
peristiwa atau sebagai jawaban atas suatu pertanyaan yang diajukan kepada Nabi
Muhammad Shollallohu ‘alaihi wasallam. Namun
demikian, tidak semua ayat Al-Qur’an itu turun dengan adanya Asbabun Nuzul,
sebab banyak juga ayat-ayat Al-Qur’an yang turun tanpa sebab dan bahkan banyak
ayat-ayat yang berkaitan dengan keimanan, kewajiban, syari’at agama dan kisah
para Nabi dan Rasul terdahulu turun tanpa sebab. Al Ja’bari menyebutkan bahwa
al-Quran diturunkan dalamdua kategori, yang turun tanpa sebab dan yang turun
karena suatu peristiwa atau pertanyaan. Sehingga didefinisikan, Asbabun nuzul adalah sesuatu yang karenanya
al-Qur’an diturunkan, sebagai penjelas terhadap apa yang terjadi, baik berupa
peristiwa maupun pertanyaan.
Memang harus diakui bahwa ada sebagian sahabat seperti Ali Ibn Abi
Thalib, Ibn Mas’ud dan lainnya Rodhiyallohu ‘anhum yang menyatakan bahwa
tidak suatu ayatpun diturunkan kecuali salah seorang mereka mengetahui tentang
apa ayat itu diturunkan, tentang siapa ayat itu diturunkan, dan dimana ayat itu
diturunkan. Pernyataan ini tidak perlu ditanggapi secara leterlek sebab
merupakan suatu hal yang masuk akal bahwa tidak semua Asbabun Nuzul ayat
Al-Qur’an itu mereka saksikan. Untuk itu pernyataan mereka itu harus dipahami
melalui beberapa kemungkinan, yaitu :
1. Mereka
bermaksud mengungkapkan betapa kuatnya perhatian mereka terhadap Al-Qur’an dan
mengikuti setiap keadaan yang berhubungan dengannya.
2. Mereka
berbaik sangka dengan segala apa yang mereka dengar dan saksikan pada masa
Rasul dan menginginkan agar orang mengambil apa yang mereka ketahui itu
sehingga tidak akan lenyap dengan berakhirnya hidup mereka.
3. Para
periwayat menambah dalam periwayatannya dan membangsakannya kepada sahabat.
Ramli Abdul Wahid menyebutkan
tentang Asbabun Nuzul, bahwa sebab-sebab turun ayat yang berhubungan dengan
peristiwa ada tiga macam dan yang berhubungan dengan pertanyaan juga ada tiga
macam. Adapun sebab-sebab turun ayat yang berhubungan dengan peristiwa adalah
sebagai berikut :
1. Peristiwa
berupa pertengkaran, seperti perselisihan yang berkecamuk antara segolongan
dari suku Aus dan segolongan dari suku Khazraj. Perselisihan itu timbul dari
intrik-intrik yang ditiupkan orang-orang Yahudi sehingga mereka
berteriak-teriak : “Senjata, senjata”, maka turunlah Al-Qur’an Surat Ali Imran
ayat 100.
2. Peristiwa
berupa kesalahan yang serius, seperti peristiwa seorang sahabat yang mengimami
sholat, namun dia sedang dalam keadaan mabuk sehingga keliru di dalam membaca
surah Al-Kafirun, sehingga turunlah Al-Qur’an surat Al-Nisa’ ayat 42.
3. Peristiwa
itu berupa cita-cita dan keinginan, seperti persesuaian-persesuaian (muwafaqat)
Umar Ibn Al-Khaththab Rodhiyallohu ‘anhu dengan ketentuan ayat-ayat
Al-Qur’an. Dalam sejarah, ada beberapa harapan Umar yang dikemukakannya kepada
Nabi Muhammad Shollallohu ‘alaihi wasallam,
kemudian turunlah ayat yang sesuai dengan harapan-harapan Umar tersebut.
Sebagai contoh adalah keinginan Umar Ibn Khaththab Rodhiyallohu ‘anhu untuk
menjadikan Maqam (prasasti) Ibrahim sebagai tempat shalat, maka turunlah
ayat yang memerintahkan untuk melaksanakan sholat di Maqam Ibrahim.
Adapun sebab-sebab turun
ayat yang berkaitan dalam bentuk pertanyaan adalah terbagi tiga macam, yaitu :
1. Pertanyaan
yang berhubungan dengan sesuatu yang telah lalu, seperti ayat pertanyaan
tentang Zul Qarnain, “Mereka bertanya kepadamu tentang Zul Qarnain”.
2. Pertanyaan
yang berhubungan dengan sesuatu yang sedang berlangsung pada waktu itu, seperti
pertanyaan tentang ruh, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah
bahwa urusan ruh itu adalah urusan Tuhanku, dan kamu tidak diberi ilmu kecuali
yang sedikit”.
3. Pertaanyaan
yang berhubunagn dengan masa yang akan datang, seperti pertanyaan tentang kapan
terjadinya Hari Kiamat, “Mereka bertanya kepadamu tentang Hari Kiamat, Bila
terjadinya ?”.
Para sahabat dalam
menyampaikan sebab-sebab turunnya ayat memiliki ungkapan-ungkapan yang
berbeda-beda antara satu sama yang lain. Ungkapan-ungkapan itu dapat
dikelompokkan sebagai berikut :
1. Sebab-sebab
nuzul ayat diungkapkan secara jelas seperti dengan ungkapan “Sebab turun ayat
ini adalah demikian”. Ungkapan ini sangat jelas, definitif dan pasti serta
tidak mengandung makna lain.
2. Sebab
nuzul tidak ditunjukkan dengan lafal sebab, tetapi dengan mendatangkan lafal “fa”
yang masuk kepada ayat dimaksud secara langsung setelah pemaparan satu
peristiwa atau kejadian. Ungkapan seperti ini juga menunjukkan bahwa peristiwa
itu adalah sebab bagi turunnya ayat tersebut. Hal ini sebagaimana dapat dilihat
dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah (2) ayat 223.
3. Sebab
nuzul dapat dipahami secara pasti dari konteksnya. Dalam hal ini Rasul ditanya
orang, maka ia diberi wahyu dan menjawab pertanyaan itu dengan ayat yang baru
diterimanya. Para mufassir tidak menunjukkan sebab turunnya dengan lafal
Asbabun Nuzul dan tidak dengan mendatangkan “fa”, akan tetapi Asbabun
Nuzulnya dipahami melalui konteks dan jalan ceritanya, seperti sebab turunnya
ayat tentang ruh.
4. Sebab
nuzul tidak disebutkan dengan ungkapan sebab secara jelas, tidak dengan
mendatangkan “fa” yang menunjukkan sebab, dan tidak pula merupakan
jawaban yang dibangun atas dasar pertanyaan, namun ungkapan itu mengandung
makna sebab dan makna lainnya, yaitu tentang hukum kasus atau persoalan yang
sedang dihadapi. Apabila hal ini yang terjadi maka para ulama tafsir berbeda
pendapat, ada yang menyatakan bahwa yang diambil adalah mengenai hukum ini
bukan mengenai sebab turun ayat ini, hal ini sebagaimana dikemukan oleh
Al-Zarkasyi. Namun menurut Al-Zarqani, satu-satunya jalan untuk menentukan
salah satu dari dua makna yang terkandung dalam ungkapan itu adalah konteks
pembicaraannya. Dan nampaknya pendapat Al-Zarqani ini adalah merupakan jalan
tengah atas dua kutub perbedaan pendapat dalam masalah ini.
Kadang-kadang satu ayat
memiliki beberapa riwayat yang berhubungan dengan Asbabun Nuzul. Dalam masalah
ini, sikap seorang mufassir kepadanya adalah sebagai berikut:
1. Apabila
bentuk-bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, seperti “ayat ini turun mengenai
urusan ini” atau “aku mengira ayat ini turun mengenai urusan ini”, maka tidak
ada kontradiksi di antara riwayat-riwayat itu, sebab maksud riwayat-riwayat
tersebut adalah menafsirkan atau menjelaskan bahwa hal itu termasuk ke dalam
makna ayat yang disimpulkan darinya, bukan menyebutkan Asbabun Nuzul, kecuali
bila ada indikasi pada salah satu riwayat yang menunjukkan kepada penjelasan
Asbabun Nuzul.
2. Jika
salah satu redaksi riwayat itu tidak tegas, misalnya “ayat ini turun mengenai
urusan ini”, sedangkan riwayat yang lain menyebutkan dengan tegas, misalnya “Rosululloh
ditanya tentang hal begini, kemudian turunlah ayat ini” atau “telah terjadi
peristiwa begini, kemudian turunlah ayat ini”. Maka yang menjadi pegangan
adalah riwayat yang menyebutkan Asbabun Nuzul secara tegas.
3. Jika
riwayat itu banyak dan semuanya menegaskan sebab nuzulnya ayat, salah satu
riwayat di antaranya itu shahih, maka yang dijadikan pegangan adalah riwayat
yang shahih.
4. Jika
riwayat-riwayat tersebut sama-sama shahih, tapi terdapat segi yang memperkuat
salah satunya, seperti kehadiran perawi dalam kisah tersebut, atat salah satu
dari riwayat-riwayat itu lebih shahih, maka riwayat yang lebih kuat itulah yang
didahulukan.
5. Jika
riwayat-riwayat tersebut sama-sama kuat, maka riwayat-riwayat itu dipadukan
atau dikompromikan jika mungkin, hingga dinyatakann bahwa ayat ini turun
sesudah terjadi dua buah sebab atau lebih karena rentang waktu di antar sebab
itu berdekatan.
6. Bila
riwayat-riwayat tersebut tidak dapat dikompromikan karena rentang waktu yang
berjauhan, maka dibawa kepada masalah banyak dan berulangnya nuzul.
Untuk memahami Al-Qur’an sehingga
dapat dijadikan sebagai pedoman dan petunjuk dalam hidup dan kehidupan
sehari-hari sangatlah diperlukan pengetahuan tentang Asbabun Nuzul sebab dengan
mengetahui Asbabun Nuzul kita dapat memahami makna yang terkandung secara utuh
dari ayat suci Al-Qur’an itu. Al-Qur’an memang adalah merupakan kalamullah
dan dia sudah ada sebelum peristiwa, kejadian atau pertanyaan ada, namun fakta
menunjukkan bahwa setiap ayat suci Al-Qur’an turun maka hal itu tidak terlepas
dari situasi dan kondisi saat itu, baik itu berupa peristiwa maupun berupa
pertanyaan yang dialamatkan kepada Nabi Muhammad Shollallohu
‘alaihi wasallam.
Untuk meyakinkan kita betapa
pentingnya pengetahuan tentang asbabun nuzul ini para ulama mufassirin
telah banyak menulis buku-buku tentang Asbabun Nuzul dan menekankan betapa
pentingnya pengetahuan tentang Asbabun Nuzul dalam rangka untuk memahami
Al-Qur’an secara utuh dan benar. Mereka itu antara lain adalah Al-Wahidi
berkata : “Tidak mungkin kita mengetahui penafsiran ayat Al-Qur’an tanpa mengetahui
kisahnya dan sebab turunnya”. Hal yang sama dikemukakan oleh Ibn Daqiq Al-‘id
berkata: “Menjelaskan sebab turun ayat adalah jalan yang kuat dalam memahami
makna Al-Qur’an”. Sementara itu Ibnu Taimiyah berkomentar : “Mengetahui alasan
(sabab) penurunan membantu dalam memahami ayat karena pengetahuan tentang sebab
(sabab) menghasilkan pengetahuan tentang yang disebabkan (akibat).
Komentar mereka ini memang
dapat dimaklumi sebab Asbabun Nuzul-lah yang dapat menjelaskan siapa pelaku
sejarah turunnya ayat, bagaimana rentetan kejadiannya, dan seterusnya. Alhasil
dengan memahami Asbabun Nuzul, kita mengetahui aspek historis penafsiran
Al-Qur’an.
Adapun manfaat yang
diperoleh dalam mengetahui Asbabun Nuzul dalam kaitannya dengan memahami makna
daripada ayat-ayat suci Al-Qur’an antara lain adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui
hikmah (rahasia) dan tujuan Allah secara khusus dalam mensyari’atkan agamaNya
yang terkandung di balik ayat-ayat yang mempersoalkan syari’at (hukum).
Misalnya kita dapat memahami lewat pengetahuan Asbabun Nuzul kenapa judi, riba,
memakan harta anak yatim itu diharamkan. Sebaliknya bagaimana Allah mula-mula
mensyari’atkan sholat Khouf (sholat yang dilakukan waktu situasi gawat/perang),
kenapa tidak boleh melakukan sholat jenazah atas orang musyrik, bagaimana
pembagian harta rampasan perang, dan sebagainya. Hampir semua aspek hukum itu
mengandung aspek filosofis yang sebagian di antara dapat diketahui lewat
pengertian tentang Asbabun Nuzul.
2. Mengetahui
pengecualian hukum (takhshish) terhadap orang yang berpendirian bahwa hukum itu
harus dilihat terlebih dahulu dari sebab-sebab yang khusus.
3. Mengetahui
Asbabun Nuzul adalah cara yang paling kuat dan paling baik dalam memahami
pengertian ayat, sehingga para sahabat yang paling mengetahui tentang
sebab-sebab turunnya ayat lebih didahulukan pendapatnya tentang pengertian dari
satu ayat, dibandingkan dengan pendapat sahabat yang tidak mengetahui tentang sebab-sebab
turunnya ayat.
4. Pengetahuan
tentang Asbabun Nuzul membantu dalam memahami ayat dan menghindarkan
kesulitannya, sebagai contoh adalah dalam memahami ayat Al-Qur’an : “Dan bagi
Allah timur dan barat maka kemana sajapun kamu menghadap maka di sana wajah
Allah, sesungguhnya Allah Maha Luas dan Maha Mengetahui”. Ayat ini sepintas
kilas membicarakan bolehnya orang melaksanaka sholat dengan mengahadap kemana
saja yang ia sukai, padahal ayat ini berbicara untuk orang yang mengerjakan
sholat sunnat dalam suasana musafir dimana ia tidak mengetahui arah kiblat
secara pasti atau orang yang sholat dengan ijtihadnya dimana dia juga tidak
mengetahui arah kiblat secara pasti. Dalam suasana yang seperti ini maka orang
sah melaksanakan sholat menghadap kemana saja.
5. Pengetahuan
tentang Asbabun Nuzul dapat menolak dugaan adanya hashr (pembatasan) dalam ayat
yang menurut lahirnya mengandung hashr (pembatasan), tetapi sebetulnya bukanlah
pembatasan, sebagai contoh adalah Al-Qur’an Surat Al-An’am ayat 145 dalam hal
makanan yang diharamkan.
6. Pengetahuan
tentang Asbabun Nuzul dapat mengkhususkan (takhshish) hukum pada sebab menurut
ulama yang memandang bahwa yang mesti diperhatikan adalah kekhususan sebab dan
bukan keumuman lafal. Hal ini sebagaimana pada ayat-ayat tentang zhihar (suami
menyerupakan istrinya dengan ibunya, seperti ia berkata pada istrinya,
“Punggungmu seperti punggung ibuku) yang terdapat pada permulaan Surat
Al-Mujadalah, dimana sebab turunnya adalah Aus Bin Shamit yang menzhihar
istrinya Khaulah Binti Hakam Ibn Tsa’labah. Menurut pandangan ini, hukum yang
berlaku pada ayat ini khusus untuk kasus ini. Dan adapun hukum yang berlaku
bagi selainnya dapat diketahui pada dalil-dalil yang lain.
7. Dengan
mempelajari Asbabun Nuzul diketahui pula bahwa sebab turun ayat tidak pernah
keluar dari hukum yang terkandung dalam ayat tersebut sekalipun datang
mukhashshishnya (yang mengkhususkannya). Hal ini didasarkan atas Ijma’ yang
menyatakan bahwa hukum sebab tetap selama-lamanya.
8. Dengan
Asbabun Nuzul diketahui orang ayat tertentu yang turun padanya secara tepat
sehingga tidak terjadi kesamaran, sebab kesamaran bisa membawa kepada penuduhan
terhadap orang yang tidak bersalah dan pembebasan bagi orang yang bersalah.
9. Pengetahuan
tentang Asbabun Nuzul akan mempermudah orang menghafal ayat-ayat Al-Qur’an
serta memperkuat keberadaan wahyu dalam ingatan orang yang mendengarnya jika ia
mengetahui sebab turunnya, sebab pertalian antara sebab dan musabbab, hukum dan
peristiwanya, peristiwa dan pelaku, masa dan tempatnya, semua ini merupakan
faktor-faktor yang menyebabkan mantapnya dan terlukisnya sesuatu dalam ingatan.
Dari kesembilan manfaat yang
diperoleh dalam pentingnya memahami Asbabun Nuzul tersebut di atas kesemuanya
adalah memiliki hubungan yang erat dengan kepentingan menafsirkan Al-Qur’an dan
mengistimbatkan hukum daripadanya, kecuali hanya nomor sembilan yang adalah
merupakan pelengkap saja, namun demikian tetap memagang peranan yang cukup
penting bagi seorang yang ingin menadalami dan memahami isi kandungan
Al-Qur’an.
III. Penutup
Atas dasar pembahasan
hal-hal tersebut di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Asbabun
Nuzul adalah satu bidang ilmu pengetahuan yang membeicarakan tentang
sebab-sebab turun suatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebab itu, atau
memberi jawaban terhadap sebab itu, atau menerangkan hukumnya pada masa
terjadinya sebab tersebut.
2. Ilmu
Asbabun Nuzul memagang peranan yang sangat penting dalam memahami Al-Qur’an
secara utuh dan benar, sehingga merupakan persyaratan yang sangat penting bagi
seorang yang akan menafsirkan Al-Qur’an.
Referensi
Al-Quran al Karim
Al-Kalam Digital Versi 1.0. 2009. Bandung: Penerbit
Diponegoro
Al-Qaththan, Syaikh Manna.
2006. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al Kautsar.
Dahlan, H.A.A. 2000. ASBABUN
NUZUL Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an. Bandung: CV
Penerbit Diponegoro.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar