(Kajian Penelusuran Postulat Hukum Hisab)
Oleh: Dedi Romli Tri Putra, Lc.©
NIM : 13-521-2010
A.
Pendahuluan
Penentuan awal bulan hijriah rupanya menjadi fenomena yang kontroversional dalam
masyarakat islam –khususnya di Indonesia-, karena sifatnya yang ijtihadi dan
terbukanya teks untuk selalu diinterpretasi ataupun reinterpretasi. Secara
umum, penentuan awal bulan bisa dengan metode hisab ataupun rukyah. Dalam rukyah pun
terdapat dua hasil akhir, yakni jika hilal[1]
terlihat di sebelah barat pada saat matahari tenggelam malam tersebut dikatakan
sebagai tanggal bulan baru, jika tidak berhasil dirukyah maka esok masih
dikatakan bulan yang sedang berjalan dengan menggenapkan umur bulan menjadi 30
hari.
Pada masa Nabi Muhammad SAW.
penentuan awal bulan selalu dengan menggunakan metode rukyah, hal ini tentunya
sesuai dengan kondisi sosio-kultural masyarakat Arab saat itu yang mana masih banyak
belum mengenal baca tulis. Meski secara historis banyak pedagang dari arab dan
luar Arab yang telah mengenal baca tulis singgah di Madinah. Akan tetapi Nabi
lebih memilih menggunakan metode rukyah untuk memberi kemudahan dan kepraktisan
pada umat muslim pada masa itu. hal ini tertuang dalam sabda beliau yang di
riwayatkan oleh Ibnu Umar:
إنا أمة أمية لا نحسب لا نكتب ,
الشهر هكذا وهكذا وهكذا يعني مرة تسعة وعشرين ومرة ثلاثين
“ Kami adalah bangsa yang ummi,
tidak menulis dan tidak menghitung. Satu bulan adalah seperti ini, Nabi
bermaksud menyebut angka dua puluh sembilan untuk yang pertama dan tiga puluh
untuk yang ke dua.” (Buhori, Tt, II :327)
Dalam
hadits tersebut secara tegas Nabi mengatan bahwa mereka adalah umat yang tidak
bisa baca tulis. Tentu dalam konteks ini nabi mengajarkan umatnya dengan cara
yang paling praktis pada saat itu untuk mengetahui bilangan bulan adalah dengan
mengumpulkan jumlah hari dalam sebulan yaitu sebanyak 29 hari dan 30 pada bulan
berikutnya. Nabi juga memerintahkan sahabatnya untuk menghitung bulan Sya’ban
untuk menyambut Ramadhan sebagaimana
hadits yang diriwayatkan oleh Rofi’ bin Khodij:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ
الْبَخْتَرِىِّ حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْخَلِيلِ حَدَّثَنَا الْوَاقِدِىُّ حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنِ الزُّهْرِىِّ عَنْ حَنْظَلَةَ بْنِ
عَلِىٍّ الأَسْلَمِىِّ عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- « أَحْصُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ
لِرَمَضَانَ وَلاَ تَقَدَّمُوا الشَّهْرَ بِصَوْمٍ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا
وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ
ثَلاَثِينَ يَوْمًا ثُمَّ أَفْطِرُوا فَإِنَّ الشَّهْرَ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا
». وَخَنَسَ إِبْهَامَهُ فِى الثَّالِثَةِ. الْوَاقِدِىُّ لَيْسَ بِالْقَوِىِّ.
“ Hitunglah bilangan
Sya’ban untuk menyambut Ramadhan. Jangan dahului bulan Ramadhan dengan puasa
sehari. Jika kalian melihat (hilal) bulan ramadhan, puasalah. Jika kalian kalian
melihat (hilal) bulan syawal maka berbukalah. Jika kalian ditutupi mendung,
maka sempurnakanlah bilangan bulan menjadi tiga puluh hari kemudian berbukalah
sesungguhnya bulan adalah begini dan begini. “ Nabi menekuk ibu jarinya pada
yang ketiga. (Sunan ad-Dar Quthni, Maktabah Syamilah,V,
451).
Dalam makalah ini
penulis akan mencoba mengoleksi beberapa riwayat tentang cara menentukan
masuknya awal bulan Ramadhan kemudian memisahkan hadits-hadits yang sekiranya
mengandung pengertian hisab didalamnya dengan merujuk pada lafadz-lafadz yang dicurigai
mengandung pengertian tersebut dan mencoba membandingkan dan menemukan
perbedaan yang terdapat di dalamnya sehingga dapat diketahui sumber perbedaan
dan apakah perbedaan itu memiliki rujukan haditsnya. Adapun metode yang penulis
pilih adalah dengan menggunakan kitab-kitab tahrij yang ada di dalam software
maktabah syamilah kemudian merujuk langsung kepada kitab aslinya. Dan penulis
membatasi pada permasalahan pada batasan hadits Nabi Muhammad SAW yang berbicara
mengenai awal bulan ditinjau dari metode rukyah dan hisab, tidak sampai pada
kriteria sebagai mana tersebar diberbagai kalangan atau kelompok tertentu
seperti saat ini.
A.
Pembahasan
Ibadah pada prinsipnya
adalah dilarang sampai adanya dalil syar’i yang
memperbolehkannya. Sebagaimana kaidah dalam kaidah fikih :
أن
الأصل في العبادات المنع والحظر حتى يرد الدليل على الجواز بخلاف
المعاملات، فالأصل فيها العمل حتى يرد المنع.
“ Pokok dari Ibadah adalah dilarang sampai adanya dalil yang memperbolehkannya,
berbeda halnya muamalat maka asasnya adalah boleh sampai ada (dalil) yang
mencegahnya. “ (Ar-Rojihi, :352).
Dan
firman Allah SWT.
÷Pr& óOßgs9 (#às¯»2uà° (#qããu° Oßgs9 z`ÏiB ÉúïÏe$!$# $tB öNs9 .bsù't ÏmÎ/ ª!$# 4 wöqs9ur èpyJÎ=2 È@óÁxÿø9$# zÓÅÓà)s9 öNæhuZ÷t/ 3 ¨bÎ)ur úüÏJÎ=»©à9$# öNßgs9 ë>#xtã ÒOÏ9r& ÇËÊÈ
“Apakah
mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka
agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan
(dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. dan Sesungguhnya orang-orang
yang zalim itu akan memperoleh azab yang Amat pedih.” (QS. As-Syura: 21, Terjemah Kementrian Agama RI, 2012,
IX: 45)
Dan hadits Nabi
Muhammad SAW yang diriwayatkan Muslim:
- وَحَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ جَمِيعًا عَنْ أَبِى عَامِرٍ قَالَ عَبْدٌ حَدَّثَنَا
عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الزُّهْرِىُّ
عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ سَأَلْتُ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ عَنْ رَجُلٍ
لَهُ ثَلاَثَةُ مَسَاكِنَ فَأَوْصَى بِثُلُثِ كُلِّ مَسْكَنٍ مِنْهَا قَالَ يُجْمَعُ
ذَلِكَ كُلُّهُ فِى مَسْكَنٍ وَاحِدٍ ثُمَّ قَالَ أَخْبَرَتْنِى عَائِشَةُ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا
فَهُوَ رَدٌّ ».
Ibadah dalam pembagian
berdasarkan waktunya, ada yang menuntut dilaksanakan pada waktu-waktu yang
ditentukan dan ada pula yang waktunya luas dan tidak ditentukan.
Kalender yang dipakai
untuk menentukan ibadah-ibadah yang waktunya ditentukan pada waktu-waktu
tertentu adalah dengan memakai kalender hijriyah yang mana siklusnya
berdasarkan peredaran bulan mengelilingi bumi dan bersama-sama bumi mengelilingi
matahari. oleh
karena itu mengetahui awal masuknya bulan-bulan hijriyah mengetahui waktu
ibadah hukumnya wajib. Dan apa yang menjadi perantara untuk sesuatu yang wajib
maka hukumnya adalah wajib. Sebagai mana kaidah fikih :
ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
suatu kewajiban yang tidak dapat sempurna
kecuali dengan suatu syarat tertentu, maka syarat itupun menjadi wajib.
Dari kaidah di atas sudah jelas bahwa suatu
syarat yang dapat menyempurnakan atau mengesahkan suatu kewajiban maka syarat
itu pun menjadi wajib hukumnya.
Sejatinya kaum muslimin
sepakat bahwa penentuan awal bulan hijriyah harus berdasarkan hilal sebagaimana
diilhami oleh al-Quran. Namun hilal seperti apa dan bagaimana caranya, itulah
yang diperdebatkan.
Pada masa Nabi SAW.
Menentukan masuknya awal bulan adalah dengan observasi langsung di lapangan
terhadap kenampakan hilal diufuk barat. Ini tentu sesuai dengan kondisi
masyarakat Arab pada masa itu yang belum mengenal banyak tentang ilmu hisab. Kalaupun
ada, hisab pada masa itu lebih bersifat estimasi bukan sesuatu yang pasti.
Sebab pada masa itu belum ditemukan tabel-tabel astronomis yang ditemukan
seperti pada beberapa masa setelah Nabi SAW hanya sebatas katalog-katalog
bintang dari kaum di luar Arab. Nabi mengajarkan kemudahan dan kepraktisan
dalam beribadah. Nabi mengenalkan metode rukyah dan istikmal untuk
keperluan kewajiban pelaksanaan puasa ramadhan menyesuaikan diri dengan kondisi
masyarakat muslim yang ummi di era awal marhalah pembentukan hukum syara’.
Hanya saja umat pada masa berikutnya metode hisab dinilai lebih praktis dan
bersifat pasti dengan adanya tabel-tabel data astronomis yang melacak
pergerakan benda langit dan kedudukannya.
Motivasi penggunaan
metode hisab dalam kalender islam adalah adanya perintah kewajiban puasa
ramadhan yang mana pelaksanaannya menuntut pengetahuan awal waktu masuknya
tanggal 1 ramadhan. Sebab adanya tuntutan dalil dalam ibadah sebagaimana yang
termaktub dalam kaidah fikih sebelumnya, disinilah terjadi perbedaan pendapat
tentang kehujahan dari hisab tersebut sebagai penentu awal masuknya bulan
hijriyah untuk kepentingan ibadah.
Sudah maklum di antara
umat Islam bahwa melaksanakan puasa ramadhan adalah kewajiban agama yang tidak
bisa ditawar lagi. Seluruh umat muslim dari generasi awal sampai saat ini
meyakini kewajiban puasa ramadhan ini. Puasa sendiri di syariatkan pertama kali
adalah tahun ke-2 H. dengan demikian ketika Rasulullah SAW. wafat, beliau telah
melaksanakan puasa Ramadhan sebanyak sembilan kali. (as-Sa’di, 2011: 5). Dasar yang menjadi postulat kewajiban ini
adalah firman Allah SWT. dalam surat
al-Baqarah ayat 183 :
$ygr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã úïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÑÌÈ
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Menurut al-Qurthubi ,
ayat ini sebagai dalil kewajiban puasa dan tidak ada perbedaan pendapat tentang
kewajiban tersebut. Ini dapat dilihat dalam tafsirnya :
قوله
تعالى:" يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيامُ" لما
ذكر ما كتب على المكلفين من القصاص والوصية ذكر أيضا أنه كتب عليهم الصيام وألزمهم
إياه وأوجبه عليهم، ولا خلاف فيه، قال صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (بني الإسلام
على خمس شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة
وصوم رمضان والحج) رواه ابن عمر. (Al-Qurthubi, 2007:
657)
Kemudian diperjelas
lagi dengan dua ayat setelahnya yang membatasi kapan dan berapa lama waktunya
puasa yang diwajibkan yaitu al-Baqarah ayat 184-185, Allah berfirman :
$YB$r& ;Nºyrß÷è¨B 4 `yJsù c%x. Nä3ZÏB $³ÒÍ£D ÷rr& 4n?tã 9xÿy ×o£Ïèsù ô`ÏiB BQ$r& tyzé& 4 n?tãur úïÏ%©!$# ¼çmtRqà)ÏÜã ×ptôÏù ãP$yèsÛ &ûüÅ3ó¡ÏB ( `yJsù tí§qsÜs? #Zöyz uqßgsù ×öyz ¼ã&©! 4 br&ur (#qãBqÝÁs? ×öyz öNà6©9 ( bÎ) óOçFZä. tbqßJn=÷ès? ÇÊÑÍÈ ãöky tb$ÒtBu üÏ%©!$# tAÌRé& ÏmÏù ãb#uäöà)ø9$# Wèd Ĩ$¨Y=Ïj9 ;M»oYÉit/ur z`ÏiB 3yßgø9$# Èb$s%öàÿø9$#ur 4 `yJsù yÍky ãNä3YÏB tök¤¶9$# çmôJÝÁuù=sù ( `tBur tb$2 $³ÒÍsD ÷rr& 4n?tã 9xÿy ×o£Ïèsù ô`ÏiB BQ$r& tyzé& 3 ßÌã ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãø9$# wur ßÌã ãNà6Î/ uô£ãèø9$# (#qè=ÏJò6çGÏ9ur no£Ïèø9$# (#rçÉi9x6çGÏ9ur ©!$# 4n?tã $tB öNä31yyd öNà6¯=yès9ur crãä3ô±n@ ÇÊÑÎÈ
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa
diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari
yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka
tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin.
Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan[114], Maka Itulah
yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk
bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir
(di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada
bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada
hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur. (QS. Al-Baqarah: 184-185)
Dengan jelas ayat tersebut di atas menyebutkan
bahwa puasa yang wajib dilakukan beberapa hari yang dihitung yaitu satu bulan sebagaimana dijelaskan oleh
Ibnu Katsir dalam tafsirnya yang menukil perkataan yang diriwayatkan oleh Ibnu
al-Manshur dari Hasan al-Bashri:
وقال عباد
بن منصور، عن الحسن البصري: { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ
الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
* أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ } فقال: نعم، والله لقد كُتب الصيام على كل أمة قد خلت
كما كتب علينا شهرًا كاملا وأياما معدودات: عددا معلوما. وروي عن السدي، نحوه.
Ibnu
Katsir melanjutkan bahwa kewajiban puasa tersebut adalah didalam bulan
Ramadhan:
يمدح
تعالى شهرَ الصيام من بين سائر الشهور، بأن اختاره من بينهن لإنزال القرآن العظيم
فيه، وكما اختصه بذلك، قد ورد الحديث بأنه الشهر الذي كانت الكتب الإلهية تنزل فيه
على الأنبياء.
قال الإمام أحمد بن حنبل، رحمه الله: حدثنا أبو سعيد مولى بني هاشم، حدثنا
عمْران أبو العوام، عن قتادة، عن أبي المليح، عن واثلة -يعني ابن الأسقع-أن رسول
الله صلى الله عليه وسلم قال: "أنزلت صُحُف إبراهيم في أول ليلة من رمضان.
وأنزلت التوراة لسِتٍّ مَضَين من رمضان، والإنجيل لثلاث عَشَرَةَ خلت من رمضان وأنزل الله القرآن لأربع وعشرين خلت من رمضان" (Ibnu Katsir, 2003: 265)
Hanya
saja tidak disebutkan secara tegas bagaimana cara menentukan awal masuknya
bulan Ramadhan. Ayat tersebut sebatas menyebutkan kewajiban puasa bagi orang yang
beriman yang hadir (hidup) dibulan tersebut dan menyebutkan kewajiban itu
dilaksanakan dalam beberapa hari yang terhitung.
Dalam
hal ini, tentu perlu untuk merujuk pada petunjuk hadits-hadits Nabi yang
terdapat dalam kitab-kitab hadist.
Dalam
satu hadits yang diriwayatkan dari Qois bin Tholq oleh Daruquthni dalam
sunannya menyebutkan tentang ketentuan hilal sebagai penentu waktu-waktu bagi manusia. Permulaan
dan keberahiran ritual ibadah umat islam ditentukan dengan tanda kemunculan
hilal diufuk barat.
حدثنا عبد الله بن
محمد بن عبد العزيز , حدثنا لوين , حدثنا محمد بن جابر عن قيس بن طلق عن ابيه قال
قال رسول الله صلي الله عليه و سلم جعل الله الا هلة مواقيت للناس فاذا رايتمواه
فصوموا واذا رايتمواه فافطروافان غم عليكم فاتموا العدة ثلاثين.
“ Allah menciptakan
bulan-bulan sabit sebagai penentu waktu bagi manusia. Jika kalian telah
melihatnya, puasalah. Jika kalian telah melihatnya, berbukalah. Jika kalian
terhalang oleh mendung, sempurnakan bilangan tiga puluh hari. “
kata
hilal seakar dengan kata kerja ahalla yang memiliki makna dhahara atau tampak.
Sedangkan pengertian hilal secara terminologi terdapat berbagai macam
pengertian, di antaranya:
menurut
Susiknan Azhari (Azhari, 2008:26) dalam ensiklopedia hisab rukyatnya
mengistilahkan : hilal (Ar, Jamaknya Ahillah ) bulan sabit, dalam bahasa
Inggris disebut crescent, yaitu bulan sabit yang tampak pada beberapa
saat setelah ijtimak.
Sedangkan
menurut Muhyidin Khazin (Khazin, 2005: 30) menuturkan bahwa Hilal ( ( هلالatau bulan sabit adalah
bagian bulan yang tampak dari bumiakibat pantulan cahaya yang mengenai
bagiannya pada hari terjadinya ijtimak sesaat setelah matahari terbenam.
Sedangkan menurut
Azhari seorang pakar bahasa klasik yang dikutip oleh M. Khoirul Huda (Huda,
2013: 26) pada risalahnya berpendapat
bahwa kata hilal akar kata kerjanya adalah ahalla yang berarti
penampakan. Sedangkan hilal sendiri maknanya adalah bulan yang pada kondisi
tertentu yaitu dua hari pertama pada setiap bulan. Begitu pula pada tanggal dua
puluh enam dan dua puluh tujuh. Dalam bahasa Arab, bulan pada hari selain yang
disebutkan diatas disebut qamar.
B. Hadits-Hadist tentang
Hilal
Sebagaimana telah dibahas
sebelumnya bahwa penentuan awal bulan hijriyah disandarkan pada fenomena
kenampan hilal. Seperti yang dikutip oleh Khoirul Huda (Huda, 2013: 27) dari Alauddin Ali bin
Hisamuddin al-Muttaqi al-Hindi al-Burhanfuri (w. 975 H.) dalam kitab tahrij
haditsnya Kanz al- Umal fi Sunan al-Aqwal wa al-Af’al menyebutkan ada 42
hadits yang memuat informasi tentang waktu puasa Ramadhan dimana seluruhnya
berkaitan dengan hilal. Secara khusus, di antaranya menyoroti tentang
kemungkinan tidak tampaknya hilal karena tertutup mendung. Seluruh riwayat
menyebutkan bila hilal tidak tampak maka di haruskan ikmal, qadr atau itmam.
Dari sini tarjadi
perbedaan redaksi ekor hadits. Oleh karena itu maka timbul pertanyaan mengapa
terjadi perbedaan redaksi? Apa perbedaan ini memiliki pengertian yang sama?
Jika tidak, apa implikasi hukumnya?.
Kanz al-Ummal menyebutkan bahwa pada level sahabat terdapat
delapan orang perawi hadits yang haditsnya terdapat lafadz “ fa in ghumma”. Yaitu
Abu Hurairah, Jabir, Hudzaifah, Thalq bin Ali, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Al-Barra
dan Abu Barkah. Hadits-hadits mereka tersebar dalam kitab induk hadits yang
menjadi rujukan dalam kitab Mu’jam Mufahras li Alfadz al-Hadits.
Berikut ini penulis cantumkan beberapa ragam
variasi dari redaksi hadits yang penulis temukan.
1. Hadits Ibnu Umar riwayat Muslim derajat
hadits shahih, dengan redaksi “faqdiru”.
(1080) وحَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ،
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّمَا الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلَا
تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ، وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ»(Muslim, Tt: 182)
2. Hadits Abu Hurairah dengan mukharrij
Muslim, bab wajibnya puasa ramadhan karena melihat hilal dengan redaksi “ fashumu
tsalatsin”.
(1081) حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى،
أَخْبَرَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ
الْمُسَيِّبِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلَالَ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ
فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَصُومُوا ثَلَاثِينَ يَوْمًا» (Muslim, Tt: 184)
3. Hadits Abu Hurairah
kitab sunan ad-Darimi bab “ shoum li rukyatil hilal” dengan redaksi “ fa
‘udu “
1685- حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ،
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -
أَوْ قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمُ الشَّهْرُ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ» (Ad-Darimi,2000:
444)
[تعليق المحقق] إسناده صحيح
4. Hadits Ibnu Abbas dalam
kitab sunan ad-Darimi bab as-shoum li
ru’yah al-hilal dengan redaksi “ fakmilu “
- حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ،
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -
أَوْ قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمُ الشَّهْرُ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ» (Ad-Darimi, 2000:
444)
[تعليق المحقق] إسناده صحيح
5. Hadits Abdullah bin
Umar dalam kitab sunan an-Nasai bab “ dzikru ihtilaf az-zuhri fi hadza
al-hadits :
2430- أَخْبَرَنَا الرَّبِيعُ بْنُ سُلَيْمَانَ، قَالَ: حَدَّثَنَا
ابْنُ وَهْبٍ، قَالَ أَخْبَرَنِي يُونُسُ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي
سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللهِ، أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ، قَالَ: سَمِعْتُ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا، وَإِذَا
رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ»(An-Nasai, 2010: 714)
6. Hadits Qois bin Tholq
dalam kitab sunan ad-Dar Quthni bab “ kitab as-shiyam” dengan
redaksi “ fa atimmu :
- حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ
الْعَزِيزِ , ثنا لُوَيْنٌ , ثنا مُحَمَّدُ بْنُ جَابِرٍ , عَنْ قَيْسِ بْنِ
طَلْقٍ , عَنْ أَبِيهِ , قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: «جَعَلَ اللَّهُ الْأَهِلَّةَ مَوَاقِيتَ لِلنَّاسِ
فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا , فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَأَتِمُّوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ» . قَالَ
مُحَمَّدُ بْنُ جَابِرٍ: سَمِعْتُ هَذَا مِنْهُ وَحَدِيثَيْنِ آخَرَيْنِ ,
مُحَمَّدُ بْنُ جَابِرٍ لَيْسَ بِالْقَوِيِّ ضَعِيفٌ
7. Hadits Ibnu Umar muharrij Imam Buhari bab “ hal yuqolu
romadhon aw syahru romadhon” :
-
1900حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ
عَبْدِ الْعَزِيزِ , ثنا لُوَيْنٌ , ثنا مُحَمَّدُ بْنُ جَابِرٍ , عَنْ قَيْسِ
بْنِ طَلْقٍ , عَنْ أَبِيهِ , قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: «جَعَلَ اللَّهُ الْأَهِلَّةَ مَوَاقِيتَ لِلنَّاسِ
فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا , فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَأَتِمُّوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ» . قَالَ
مُحَمَّدُ بْنُ جَابِرٍ: سَمِعْتُ هَذَا مِنْهُ وَحَدِيثَيْنِ آخَرَيْنِ ,
مُحَمَّدُ بْنُ جَابِرٍ لَيْسَ بِالْقَوِيِّ ضَعِيفٌ(Ibnu
Hajar, 2000, IX: 140)
8.
Hadits sunan Abi Daud bab “ idza ighmiya asy-syahru” redaksi “ ‘adda”
2325 - حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، حَدَّثَنِي عَبْدُ
الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، حَدَّثَنِي مُعَاوِيَةُ بْنُ صَالِحٍ، عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ أَبِي قَيْسٍ، قَالَ: سَمِعْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
تَقُولُ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَفَّظُ مِنْ شَعْبَانَ مَا لَا يَتَحَفَّظُ
مِنْ غَيْرِهِ، ثُمَّ يَصُومُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ، فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْهِ عَدَّ ثَلَاثِينَ يَوْمًا ثُمَّ
صَامَ»(Abi Daud, 2009: 1003)
9. sunan at turmudzi bab “ ma jaa la tuqoddimu
asy-syahrbi ash-shoum”
684 - حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ
سُلَيْمَانَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا تَقَدَّمُوا الشَّهْرَ بِيَوْمٍ وَلَا
بِيَوْمَيْنِ، إِلَّا أَنْ يُوَافِقَ ذَلِكَ صَوْمًا كَانَ [ص:60]
يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ، صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ ثُمَّ أَفْطِرُوا» وَفِي البَابِ عَنْ بَعْضِ
أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. رَوَاهُ مَنْصُورُ بْنُ
الْمُعْتَمِرِ، عَنْ رِبْعِيِّ بْنِ حِرَاشٍ، عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِنَحْوِ هَذَا. «حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ
حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ» ، "
(At-Turmudzi, 2010, III: 44)
10. Hadits sunan
an-Nasai bab “ ikmal asy-sya’ban
tsalatsin”
2116 - أَخْبَرَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ يَعْقُوبَ، قَالَ: حَدَّثَنَا
سَعِيدُ بْنُ شَبِيبٍ أَبُو عُثْمَانَ، وَكَانَ شَيْخًا صَالِحًا بِطَرَسُوسَ،
قَالَ: أَنْبَأَنَا ابْنُ أَبِي زَائِدَةَ، عَنْ حُسَيْنِ بْنِ الْحَارِثِ
الْجَدَلِيِّ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زَيْدِ بْنِ الْخَطَّابِ، أَنَّهُ
خَطَبَ النَّاسَ فِي الْيَوْمِ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ، فَقَالَ: أَلَا إِنِّي
جَالَسْتُ أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَسَاءَلْتُهُمْ،
وَإِنَّهُمْ حَدَّثُونِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: «صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ،
وَانْسُكُوا لَهَا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ، فَإِنْ
شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُومُوا،
وَأَفْطِرُوا» (An-Nasai, 2010: 591)
11. Sunan Ibnu Majah bab “ ma jaa sumu liru’yatihi “.
1654 - حَدَّثَنَا أَبُو مَرْوَانَ مُحَمَّدُ بْنُ عُثْمَانَ
الْعُثْمَانِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ،
عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلَالَ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ
فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ» ، وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَصُومُ قَبْلَ الْهِلَالِ بِيَوْمٍ (Ibnu Majah, 2005, II: 82)
Beberapa hadits di atas menunjukan ragam
riwayat tentang hilal tertutup mendung. Selanjutnya penulis akan mencoba untuk
memfokuskan pembahasan pada kajian tentang perbedaan redaksi untuk menjajagi
sejauh mana varian redaksi tersebut berimplikasi pada munculnya ragam tentang
penentuan hilal.
C.
Metode memahami hadis hilal
1.
Ragam
penafsiran kata
Dari hadits-hadits yang tela disebutkan diatas
terdapat ada sekitar enam variasi redaksi ekor hadits, yaitu: ikmilu, uqduru, iqdiru, atimmu, fashumu, dan
‘udu. Dari riwayat-riwayat tersebut di atas tidak didapati sabab wurud yang melatari kemunculan
sabda Nabi tentang penentuan awal bulan. Sedangkan di lain sisi,
riwayat-riwayat tersebut terbilang shahih. Oleh karna itu penulis akan fokus pada sisi perbedaan
redaksinya saja.
Faqduru atau faqdiru merupakan bentuk
amr atau kata perintah dari qodaro-yaqduru / qodaro-yaqdiru. Akar
katanya adalah qaf-dal-ra Yang
memiliki makna seperti yang di kutip oleh (Huda: 2013,40) menyebutkan bahwa
menurut Ibnu Faris dalam kitabnya Mu’jam
Muqoyyiz al-Lughah kata qadara,
al-qadr, al-qadar bermakna puncak dan hakikat dari sesuatu. Al-qadru atau
al-qadar bilamana dimaknai dengan takdir maka artinya adalah keputusan Tuhan
sesuai ahir-puncak yang dikehendaki-Nya. Sebagai mana firman-Nya,
Faman
qudiro alaihi rizquh (orang yang di beri rizki), maknanya
adalah orang yang diberi rizki sedikit. Makna lainnya adalah ukuran, perkiraan,
hitungan, jumlah dan kuantitas suatu hakikat. Sedangkan an-Nawawi dalam syarah shaih muslimnya menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan uqduru
dalam hadits tentang hilal yang tertutup mendung artinya adalah taqdir, hitungan atau kepastian. Sedangkan Ibnu Hajar al-Asqolani
menuturkan dalam Fathu al-Bari (jilid
4 h. 616), setidaknya ada tiga pendapat
mengenai makna faqduru dalam hadits. Pertama
adalah pendapat yang mengatakan bahwa kata tersebut mimaksudkan untuk
membedakan antara kondisi mendung dan kondisi cerah, dimana rukyah dipakai
dalam kondisi cerah dan qadru untuk
kondisi langit saat mendung atau tertutup awan. Pendapat ini dimunculkan oleh
kebanyakan dari mazhab hambali.pendapat yang kedua adalah bahwa tidak adanya
perbedaan dalam kondisi cerah maupun mendung, dan kata faqduru dalam hadits dimaksudkan untuk mempertegas kaimat
sebelumnya. Maknanya adalah qaddiru lahu
tamam tsalatsina yauman. Maksudnya pastikan bahwa hari tersebut merupakan
penyempura bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. Maka pendapat ini
berimplikasi pada laragan berpuasa pada hari yang diragukan. Pendapat ini
banyak di pegang oleh jumhur. Pendapat yang ketiga adalah pendapat yang
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan faqduru
dalam hadits maksudnya adalah pastikan. Pendapat ini di lontarkan oleh
seorang tabiin Muttharrif bin Abdillah (86 H.), Abdul Abas bin Suraij (240 H.)
dari mazhab Syafi’i, dan Ibnu Qutaibah (276 H.) dari kalangan Muhaditsin.
Sedangkan lafadz-lafadz lain seperti fakmilu diamil dari kata ikmal yang berarti menyempurnakan. kata
ini semakna dengan atimmu atau itmam. dan kata fa’uddu berasal dari kata ádad
yang artinya adalah hitungan atau bilangan. Jika ketiga redaksi tersebut
yaitu fakmilu, faatimmu dan fa’uddu disandingkan
dengan tsalatsna maka maknanya adalah
sempurnakan atau pastikan tiga puluh hari bulan Sya’ban. Konklusi ini dimunculkan dengan cara
mengkomparasikan riwayat yang menyatakan akmilu ‘iddata sya’bana tsalatsin. An-Nawawi
menegaskan bahwa ragam ekor redaksi hadits-hadits tersebut memperkuat
pengertian di atas yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan faqduru
adalah penyempurnaan bilangan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari sebagai
mana pendapat jumhur.
2.
Ragam Objek Hukum
Selain dari interprertasi yang telah disebutkan
diatas, perbedaan redaksi juga dimaknai sebagai perbedaan objek hukum. Bahwa
rukyah atau observasi langsung di lapangan dan menyempurnakan bilangan sya’ban
tiga puluh hari jika tertutup mendung adalah diperuntukan untuk orang-orang yang
ummi dan makna qadr dalam hadits dimaknai hisab diberlakukan bagi
kalangan terpelajar yang memahami hisab.
D.
Simpulan
Dari beberapa Hadits tersesebut yang menjadi
rujukan penulis, penulis menyimpulkan bahwa secara Eksplisit tidak terdapat
adanya dalil-dalil pendukung hisab. meski adanya lafaz faqduru dalam beberapa hadits, namun
bilamana disandingkan dengan kata tsalatsina yauman maka akan bermakna
genapkan bulan sya’ban tiga puluh hari. Dan bilamana melihat konteks
kesejarahan bahwa masyarakat Arab saat itu masih banyak yang buta baca tulis.
Di sisi lain masyarakat arab telah memakai kalender arab pra islam yang
berbasis luni-solar. Akan tetapi bisa difahami bahwa kalender tersebut
merupakan hitungan urfi sebagaimana Nabi juga mengajari umatnya dalam haditsnya
tentang bulan yaitu “ as-syahru hakaza wa hakaza “.
Adapun dalil yang menjadi postulat hukum bagi
hisab, bisa kita temukan di dalam al-Quran. Al-Qur’an memberikan spirit untuk
memperhatikan waktu sebagaimana dalam firman-Nya (QS. al-Ashr: 1-3) yang
mengungkapkan arti pentingnya waktu
secara keseluruhan yang harus dilakukan dengan baik, dan
bilamanan diabaikan akan mengakibatkan kerugian. Kemudian (QS.
At-Taubah: 36-37) Dalam hal ini Alquran menegaskan bahwa bulan
itu di sisi Allah jumlahnya 12 bulan tidak seperti
persangkaan orang kafir yang menambahkan 1 bulan lagi yaitu bulan nasi.
Dan dalil yang lebih fokus kepada spirit hisab adalah
al-Quran surat Yunus:
uqèd Ï%©!$# @yèy_ [ôJ¤±9$# [ä!$uÅÊ tyJs)ø9$#ur #YqçR ¼çnu£s%ur tAÎ$oYtB (#qßJn=÷ètFÏ9 yytã tûüÏZÅb¡9$# z>$|¡Åsø9$#ur 4 $tB t,n=y{ ª!$# Ï9ºs wÎ) Èd,ysø9$$Î/ 4 ã@Å_Áxÿã ÏM»tFy$# 5Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôèt ÇÎÈ
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya
dan mentaqdi>rkan manzilah-manzilah
(tempat-tempat) bagi perjalanan Bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan
tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu
melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada
orang-orang yang mengetahui.” (QS.Yunus/10: 5)
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri
keterbukaan teks-teks dalil untuk diinterpretasi atau reinterpretasi
sebagaimana telah penulis katakan pada pendahuluan sehingga ada
interkoneksivitas antara dalil-dalil yang ada dalam al-Qur’an maupun Hadits
Nabi Muhammad SAW.
Kemudian konsekuensi menolak adanya hisab
sebagai penentu awal bulan adalah keharusan untuk selalu melakukan observasi
secara langsung di lapangan manakala hendak menentukan waktu-waktu salat. Dan secara luas hisab telah diakui dan dipakai untuk
menentukan waktu-waktu tersebut. wallahu
a’lam.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Aziz ar-Rojihi,
Syarah Aqidah Thohawiyyah, (Maktabah Syamillah)
Abdullah bin
Abdurrahman ad-Darimi as-Samarkandi, Sunan ad-Darimi, (Cairo: Dar
al-Hadits, 2000)
Abdurrahman bin
an-Nashir as-Sa’di, terjemah Abu Abdirrahman Muhammad bin Munir al-Marghubi, Fikih
Puasa Lengkap, (Yogyakarta: Oase Media, 2011)
Abi Daud Sulaiman bin
al-Asy’ats as-Sajastani, Sunan Abi Daud, (Cairo: Dar al-Hadits, 2009)
Abu Abdillah Muhammad
bin Ahmad al-Anshari a-Quthubi, Al-Jami li al-Ahkam al-Quran, (Cairo:
Dar al-Hadits, 2007)
Abu Abdirrahman Ahmad
bin Ali bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahr al-Khurasain al-Qadhi, Sunan
an-Nasai, (Cairo: Dar al-Hadits, 2010)
Abu AbdullahMuhammad
bin Yazid bin Majah ar-Rabi’i al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, (Cairo: Dar
al-Hadits, 2005)
Abu al-‘Isa Muhammad
bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak as-Sulami at-Tirmidzi, Sunan
at-Tirmidzi, (Cairo: Dar al-Hadits, 2010)
Abul Husain Muslin
bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi, Shahih Muslim, (Cairo: Maktabah
al-Iman, Tt)
Al-Quran dan
Tafsirnya, Kementrian Agama RI Direktorat Jendral BIMAS Islam, 2012)
Ibnu Katsir, Tafsir
Al-Quran Al-Adhim, (Cairo, Dar al-Hadits, 2003)
M. Khoirul Huda, Hadis-Hadis
Rukyah, (Kediri: Lirboyo Press, 2013)
Muhammad bin Ismail
bin Ibrahim al-Buhori, Shahih Bukhari, (Surabaya: Maktabah Dar Ihya
al-Kutub al-Arabiyyah, Tt)
Muhyiddin Khazin, Kamus
Ilmu Falak, (Yogyakarta: Buana Pustaka, 2005)
Susiknan Azhari, Ensiklopedi
Hisab Rukyat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012)
Ahmad bin Ali bin
Hajar al-Asqolani, Fathul Bari, (Cairo: Dar al-Hadits, 2000)
§
Makalah dipresentasikan pada seminar kelas semester 4
program pascasarjana llmu falak IAIN Walisongo 2013.
© Penulis adalah mahasiswa semester 2 Program
Pascasarjana Jurusan Ilmu falak IAIN Walisongo tahun 2013, peserta Pendidikan
Kader Ulama ilmu falak Kementerian Agama 2013.
[1] Hilal sendiri
berasal dari kata halla wa ahalla al hilal yang bermakna dhahara atau
tampak. Dalam ilmu falak, kata ini dipahami sebagai bulan yang terlihat pada
awal bulan. (Munawir, 1997: 1514)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar