Selasa, 26 Mei 2015

Hisab Awal Bulan Hijriyah Dalam Hadits Nabawi (Kajian Penelusuran Postulat Hukum Hisab)

Hisab Awal Bulan Hijriyah Dalam Hadits Nabawi§
(Kajian Penelusuran Postulat Hukum Hisab)
Oleh: Dedi Romli Tri Putra, Lc.©
NIM : 13-521-2010                                           

A.                Pendahuluan
Penentuan awal bulan hijriah rupanya menjadi fenomena yang kontroversional dalam masyarakat islam –khususnya di Indonesia-, karena sifatnya yang ijtihadi dan terbukanya teks untuk selalu diinterpretasi ataupun reinterpretasi. Secara umum, penentuan awal bulan bisa dengan metode hisab ataupun rukyah. Dalam rukyah pun terdapat dua hasil akhir, yakni jika hilal[1] terlihat di sebelah barat pada saat matahari tenggelam malam tersebut dikatakan sebagai tanggal bulan baru, jika tidak berhasil dirukyah maka esok masih dikatakan bulan yang sedang berjalan dengan menggenapkan umur bulan menjadi 30 hari.
Pada masa Nabi Muhammad SAW. penentuan awal bulan selalu dengan menggunakan metode rukyah, hal ini tentunya sesuai dengan kondisi sosio-kultural masyarakat Arab saat itu yang mana masih banyak belum mengenal baca tulis. Meski secara historis banyak pedagang dari arab dan luar Arab yang telah mengenal baca tulis singgah di Madinah. Akan tetapi Nabi lebih memilih menggunakan metode rukyah untuk memberi kemudahan dan kepraktisan pada umat muslim pada masa itu. hal ini tertuang dalam sabda beliau yang di riwayatkan oleh Ibnu Umar:
إنا أمة أمية لا نحسب لا نكتب , الشهر هكذا وهكذا وهكذا يعني مرة تسعة وعشرين ومرة ثلاثين
“ Kami adalah bangsa yang ummi, tidak menulis dan tidak menghitung. Satu bulan adalah seperti ini, Nabi bermaksud menyebut angka dua puluh sembilan untuk yang pertama dan tiga puluh untuk yang ke dua.” (Buhori, Tt, II :327)
  
Dalam hadits tersebut secara tegas Nabi mengatan bahwa mereka adalah umat yang tidak bisa baca tulis. Tentu dalam konteks ini nabi mengajarkan umatnya dengan cara yang paling praktis pada saat itu untuk mengetahui bilangan bulan adalah dengan mengumpulkan jumlah hari dalam sebulan yaitu sebanyak 29 hari dan 30 pada bulan berikutnya. Nabi juga memerintahkan sahabatnya untuk menghitung bulan Sya’ban untuk menyambut Ramadhan  sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Rofi’ bin Khodij:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْبَخْتَرِىِّ حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْخَلِيلِ حَدَّثَنَا الْوَاقِدِىُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنِ الزُّهْرِىِّ عَنْ حَنْظَلَةَ بْنِ عَلِىٍّ الأَسْلَمِىِّ عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَحْصُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ لِرَمَضَانَ وَلاَ تَقَدَّمُوا الشَّهْرَ بِصَوْمٍ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ يَوْمًا ثُمَّ أَفْطِرُوا فَإِنَّ الشَّهْرَ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا ». وَخَنَسَ إِبْهَامَهُ فِى الثَّالِثَةِ. الْوَاقِدِىُّ لَيْسَ بِالْقَوِىِّ.
“ Hitunglah bilangan Sya’ban untuk menyambut Ramadhan. Jangan dahului bulan Ramadhan dengan puasa sehari. Jika kalian melihat (hilal) bulan ramadhan, puasalah. Jika kalian kalian melihat (hilal) bulan syawal maka berbukalah. Jika kalian ditutupi mendung, maka sempurnakanlah bilangan bulan menjadi tiga puluh hari kemudian berbukalah sesungguhnya bulan adalah begini dan begini. “ Nabi menekuk ibu jarinya pada yang ketiga.      (Sunan ad-Dar Quthni, Maktabah Syamilah,V, 451).

Dalam makalah ini penulis akan mencoba mengoleksi beberapa riwayat tentang cara menentukan masuknya awal bulan Ramadhan kemudian memisahkan hadits-hadits yang sekiranya mengandung pengertian hisab didalamnya dengan merujuk pada lafadz-lafadz yang dicurigai mengandung pengertian tersebut dan mencoba membandingkan dan menemukan perbedaan yang terdapat di dalamnya sehingga dapat diketahui sumber perbedaan dan apakah perbedaan itu memiliki rujukan haditsnya. Adapun metode yang penulis pilih adalah dengan menggunakan kitab-kitab tahrij yang ada di dalam software maktabah syamilah kemudian merujuk langsung kepada kitab aslinya. Dan penulis membatasi pada permasalahan pada batasan hadits Nabi Muhammad SAW yang berbicara mengenai awal bulan ditinjau dari metode rukyah dan hisab, tidak sampai pada kriteria sebagai mana tersebar diberbagai kalangan atau kelompok tertentu seperti saat ini.

A.    Pembahasan
Ibadah pada prinsipnya adalah dilarang  sampai adanya dalil syar’i yang memperbolehkannya. Sebagaimana kaidah dalam kaidah fikih :
أن الأصل في العبادات المنع والحظر حتى يرد الدليل على الجواز بخلاف المعاملات، فالأصل فيها العمل حتى يرد المنع.
“ Pokok dari Ibadah adalah dilarang  sampai adanya dalil yang memperbolehkannya, berbeda halnya muamalat maka asasnya adalah boleh sampai ada (dalil) yang mencegahnya. “ (Ar-Rojihi, :352).
Dan  firman Allah SWT.
÷Pr& óOßgs9 (#às¯»Ÿ2uŽà° (#qããuŽŸ° Oßgs9 z`ÏiB ÉúïÏe$!$# $tB öNs9 .bsŒù'tƒ ÏmÎ/ ª!$# 4 Ÿwöqs9ur èpyJÎ=Ÿ2 È@óÁxÿø9$# zÓÅÓà)s9 öNæhuZ÷t/ 3 ¨bÎ)ur šúüÏJÎ=»©à9$# öNßgs9 ë>#xtã ÒOŠÏ9r& ÇËÊÈ  
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. dan Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang Amat pedih.” (QS. As-Syura: 21, Terjemah Kementrian Agama RI, 2012, IX: 45)

Dan hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Muslim:
- وَحَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ جَمِيعًا عَنْ أَبِى عَامِرٍ قَالَ عَبْدٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الزُّهْرِىُّ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ سَأَلْتُ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ عَنْ رَجُلٍ لَهُ ثَلاَثَةُ مَسَاكِنَ فَأَوْصَى بِثُلُثِ كُلِّ مَسْكَنٍ مِنْهَا قَالَ يُجْمَعُ ذَلِكَ كُلُّهُ فِى مَسْكَنٍ وَاحِدٍ ثُمَّ قَالَ أَخْبَرَتْنِى عَائِشَةُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ».
Ibadah dalam pembagian berdasarkan waktunya, ada yang menuntut dilaksanakan pada waktu-waktu yang ditentukan dan ada pula yang waktunya luas dan tidak ditentukan.
Kalender yang dipakai untuk menentukan ibadah-ibadah yang waktunya ditentukan pada waktu-waktu tertentu adalah dengan memakai kalender hijriyah yang mana siklusnya berdasarkan peredaran bulan mengelilingi bumi dan bersama-sama bumi mengelilingi matahari. oleh karena itu mengetahui awal masuknya bulan-bulan hijriyah mengetahui waktu ibadah hukumnya wajib. Dan apa yang menjadi perantara untuk sesuatu yang wajib maka hukumnya adalah wajib. Sebagai mana kaidah fikih :
ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
suatu kewajiban yang tidak dapat sempurna kecuali dengan suatu syarat tertentu, maka syarat itupun menjadi wajib. 
Dari kaidah di atas sudah jelas bahwa suatu syarat yang dapat menyempurnakan atau mengesahkan suatu kewajiban maka syarat itu pun menjadi wajib hukumnya.
Sejatinya kaum muslimin sepakat bahwa penentuan awal bulan hijriyah harus berdasarkan hilal sebagaimana diilhami oleh al-Quran. Namun hilal seperti apa dan bagaimana caranya, itulah yang diperdebatkan.
Pada masa Nabi SAW. Menentukan masuknya awal bulan adalah dengan observasi langsung di lapangan terhadap kenampakan hilal diufuk barat. Ini tentu sesuai dengan kondisi masyarakat Arab pada masa itu yang belum mengenal banyak tentang ilmu hisab. Kalaupun ada, hisab pada masa itu lebih bersifat estimasi bukan sesuatu yang pasti. Sebab pada masa itu belum ditemukan tabel-tabel astronomis yang ditemukan seperti pada beberapa masa setelah Nabi SAW hanya sebatas katalog-katalog bintang dari kaum di luar Arab. Nabi mengajarkan kemudahan dan kepraktisan dalam beribadah. Nabi mengenalkan metode rukyah dan istikmal untuk keperluan kewajiban pelaksanaan puasa ramadhan menyesuaikan diri dengan kondisi masyarakat muslim yang ummi di era awal  marhalah pembentukan hukum syara’. Hanya saja umat pada masa berikutnya metode hisab dinilai lebih praktis dan bersifat pasti dengan adanya tabel-tabel data astronomis yang melacak pergerakan benda langit dan kedudukannya.
Motivasi penggunaan metode hisab dalam kalender islam adalah adanya perintah kewajiban puasa ramadhan yang mana pelaksanaannya menuntut pengetahuan awal waktu masuknya tanggal 1 ramadhan. Sebab adanya tuntutan dalil dalam ibadah sebagaimana yang termaktub dalam kaidah fikih sebelumnya, disinilah terjadi perbedaan pendapat tentang kehujahan dari hisab tersebut sebagai penentu awal masuknya bulan hijriyah untuk kepentingan ibadah.
Sudah maklum di antara umat Islam bahwa melaksanakan puasa ramadhan adalah kewajiban agama yang tidak bisa ditawar lagi. Seluruh umat muslim dari generasi awal sampai saat ini meyakini kewajiban puasa ramadhan ini. Puasa sendiri di syariatkan pertama kali adalah tahun ke-2 H. dengan demikian ketika Rasulullah SAW. wafat, beliau telah melaksanakan puasa Ramadhan sebanyak sembilan kali. (as-Sa’di, 2011: 5).  Dasar yang menjadi postulat kewajiban ini adalah firman Allah SWT. dalam  surat al-Baqarah ayat 183 :
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÑÌÈ  
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Menurut al-Qurthubi , ayat ini sebagai dalil kewajiban puasa dan tidak ada perbedaan pendapat tentang kewajiban tersebut. Ini dapat dilihat dalam tafsirnya :
قوله تعالى:" يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيامُ" لما ذكر ما كتب على المكلفين من القصاص والوصية ذكر أيضا أنه كتب عليهم الصيام وألزمهم إياه وأوجبه عليهم، ولا خلاف فيه، قال صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (بني الإسلام على خمس شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة وصوم رمضان والحج) رواه ابن عمر. (Al-Qurthubi, 2007: 657)
Kemudian diperjelas lagi dengan dua ayat setelahnya yang membatasi kapan dan berapa lama waktunya puasa yang diwajibkan yaitu al-Baqarah ayat 184-185, Allah berfirman :
$YB$­ƒr& ;NºyŠrß÷è¨B 4 `yJsù šc%x. Nä3ZÏB $³ÒƒÍ£D ÷rr& 4n?tã 9xÿy ×o£Ïèsù ô`ÏiB BQ$­ƒr& tyzé& 4 n?tãur šúïÏ%©!$# ¼çmtRqà)ÏÜム×ptƒôÏù ãP$yèsÛ &ûüÅ3ó¡ÏB ( `yJsù tí§qsÜs? #ZŽöyz uqßgsù ׎öyz ¼ã&©! 4 br&ur (#qãBqÝÁs? ׎öyz öNà6©9 ( bÎ) óOçFZä. tbqßJn=÷ès? ÇÊÑÍÈ   ãöky­ tb$ŸÒtBu üÏ%©!$# tAÌRé& ÏmŠÏù ãb#uäöà)ø9$# Wèd Ĩ$¨Y=Ïj9 ;M»oYÉit/ur z`ÏiB 3yßgø9$# Èb$s%öàÿø9$#ur 4 `yJsù yÍky­ ãNä3YÏB tök¤9$# çmôJÝÁuŠù=sù ( `tBur tb$Ÿ2 $³ÒƒÍsD ÷rr& 4n?tã 9xÿy ×o£Ïèsù ô`ÏiB BQ$­ƒr& tyzé& 3 ߃̍ムª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߃̍ムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$# (#qè=ÏJò6çGÏ9ur no£Ïèø9$# (#rçŽÉi9x6çGÏ9ur ©!$# 4n?tã $tB öNä31yyd öNà6¯=yès9ur šcrãä3ô±n@ ÇÊÑÎÈ  
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan[114], Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al-Baqarah: 184-185)

Dengan jelas ayat tersebut di atas menyebutkan bahwa puasa yang wajib dilakukan beberapa hari yang dihitung   yaitu satu bulan sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya yang menukil perkataan yang diriwayatkan oleh Ibnu al-Manshur dari Hasan al-Bashri:
وقال عباد بن منصور، عن الحسن البصري: { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ * أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ } فقال: نعم، والله لقد كُتب الصيام على كل أمة قد خلت كما كتب علينا شهرًا كاملا وأياما معدودات: عددا معلوما. وروي عن السدي، نحوه.
Ibnu Katsir melanjutkan bahwa kewajiban puasa tersebut adalah didalam bulan Ramadhan:
يمدح تعالى شهرَ الصيام من بين سائر الشهور، بأن اختاره من بينهن لإنزال القرآن العظيم فيه، وكما اختصه بذلك، قد ورد الحديث بأنه الشهر الذي كانت الكتب الإلهية تنزل فيه على الأنبياء.
قال الإمام أحمد بن حنبل، رحمه الله: حدثنا أبو سعيد مولى بني هاشم، حدثنا عمْران أبو العوام، عن قتادة، عن أبي المليح، عن واثلة -يعني ابن الأسقع-أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "أنزلت صُحُف إبراهيم في أول ليلة من رمضان. وأنزلت التوراة لسِتٍّ مَضَين من رمضان، والإنجيل لثلاث عَشَرَةَ خلت من رمضان  وأنزل الله القرآن لأربع وعشرين خلت من رمضان"  (Ibnu Katsir, 2003: 265)
Hanya saja tidak disebutkan secara tegas bagaimana cara menentukan awal masuknya bulan Ramadhan. Ayat tersebut sebatas menyebutkan kewajiban puasa bagi orang yang beriman yang hadir (hidup) dibulan tersebut dan menyebutkan kewajiban itu dilaksanakan dalam beberapa hari yang terhitung.
Dalam hal ini, tentu perlu untuk merujuk pada petunjuk hadits-hadits Nabi yang terdapat dalam kitab-kitab hadist.
Dalam satu hadits yang diriwayatkan dari Qois bin Tholq oleh Daruquthni dalam sunannya menyebutkan tentang ketentuan hilal sebagai penentu waktu-waktu bagi manusia. Permulaan dan keberahiran ritual ibadah umat islam ditentukan dengan tanda kemunculan hilal diufuk barat.
حدثنا عبد الله بن محمد بن عبد العزيز , حدثنا لوين , حدثنا محمد بن جابر عن قيس بن طلق عن ابيه قال قال رسول الله صلي الله عليه و سلم جعل الله الا هلة مواقيت للناس فاذا رايتمواه فصوموا واذا رايتمواه فافطروافان غم عليكم فاتموا العدة ثلاثين.
“ Allah menciptakan bulan-bulan sabit sebagai penentu waktu bagi manusia. Jika kalian telah melihatnya, puasalah. Jika kalian telah melihatnya, berbukalah. Jika kalian terhalang oleh mendung, sempurnakan bilangan tiga puluh hari. “

kata hilal seakar dengan kata kerja ahalla yang  memiliki makna dhahara atau tampak. Sedangkan pengertian hilal secara terminologi terdapat berbagai macam pengertian, di antaranya:
menurut Susiknan Azhari (Azhari, 2008:26) dalam ensiklopedia hisab rukyatnya mengistilahkan : hilal (Ar, Jamaknya Ahillah ) bulan sabit, dalam bahasa Inggris disebut crescent, yaitu bulan sabit yang tampak pada beberapa saat setelah ijtimak.
Sedangkan menurut Muhyidin Khazin (Khazin, 2005: 30) menuturkan bahwa Hilal (   ( هلالatau bulan sabit adalah bagian bulan yang tampak dari bumiakibat pantulan cahaya yang mengenai bagiannya pada hari terjadinya ijtimak sesaat setelah matahari terbenam.
Sedangkan menurut Azhari seorang pakar bahasa klasik yang dikutip oleh M. Khoirul Huda (Huda, 2013: 26)  pada risalahnya berpendapat bahwa kata hilal akar kata kerjanya adalah ahalla yang berarti penampakan. Sedangkan hilal sendiri maknanya adalah bulan yang pada kondisi tertentu yaitu dua hari pertama pada setiap bulan. Begitu pula pada tanggal dua puluh enam dan dua puluh tujuh. Dalam bahasa Arab, bulan pada hari selain yang disebutkan diatas disebut qamar.
B.     Hadits-Hadist tentang Hilal
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa penentuan awal bulan hijriyah disandarkan pada fenomena kenampan hilal. Seperti yang dikutip oleh Khoirul Huda (Huda, 2013: 27) dari Alauddin Ali bin Hisamuddin al-Muttaqi al-Hindi al-Burhanfuri (w. 975 H.) dalam kitab tahrij haditsnya Kanz al- Umal fi Sunan al-Aqwal wa al-Af’al menyebutkan ada 42 hadits yang memuat informasi tentang waktu puasa Ramadhan dimana seluruhnya berkaitan dengan hilal. Secara khusus, di antaranya menyoroti tentang kemungkinan tidak tampaknya hilal karena tertutup mendung. Seluruh riwayat menyebutkan bila hilal tidak tampak maka di haruskan ikmal, qadr atau itmam.
Dari sini tarjadi perbedaan redaksi ekor hadits. Oleh karena itu maka timbul pertanyaan mengapa terjadi perbedaan redaksi? Apa perbedaan ini memiliki pengertian yang sama? Jika tidak, apa implikasi hukumnya?.
Kanz al-Ummal menyebutkan bahwa pada level sahabat terdapat delapan orang perawi hadits yang haditsnya terdapat lafadz “ fa in ghumma”. Yaitu Abu Hurairah, Jabir, Hudzaifah, Thalq bin Ali, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Al-Barra dan Abu Barkah. Hadits-hadits mereka tersebar dalam kitab induk hadits yang menjadi rujukan dalam kitab Mu’jam Mufahras li Alfadz al-Hadits.  
Berikut ini penulis cantumkan beberapa ragam variasi dari redaksi hadits yang penulis temukan.
1. Hadits Ibnu Umar riwayat Muslim derajat hadits shahih, dengan redaksi “faqdiru”.

 (1080) وحَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّمَا الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ، وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ»(Muslim, Tt: 182)
2. Hadits Abu Hurairah dengan mukharrij Muslim, bab wajibnya puasa ramadhan karena melihat hilal dengan redaksi “ fashumu tsalatsin”.
(1081) حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، أَخْبَرَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلَالَ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُومُوا ثَلَاثِينَ يَوْمًا» (Muslim, Tt: 184)
3. Hadits Abu Hurairah kitab sunan ad-Darimi bab “ shoum li rukyatil hilal” dengan redaksi “ fa ‘udu
1685- حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَوْ قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمُ الشَّهْرُ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ» (Ad-Darimi,2000: 444)  
[تعليق المحقق] إسناده صحيح
4. Hadits Ibnu Abbas dalam kitab sunan ad-Darimi bab as-shoum  li ru’yah al-hilal dengan redaksi “ fakmilu “
- حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَوْ قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمُ الشَّهْرُ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ» (Ad-Darimi, 2000: 444)
[تعليق المحقق] إسناده صحيح
5. Hadits Abdullah bin Umar dalam kitab sunan an-Nasai bab “ dzikru ihtilaf az-zuhri fi hadza al-hadits :
2430- أَخْبَرَنَا الرَّبِيعُ بْنُ سُلَيْمَانَ، قَالَ: حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، قَالَ أَخْبَرَنِي يُونُسُ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللهِ، أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ»(An-Nasai, 2010: 714)
6. Hadits Qois bin Tholq dalam kitab sunan ad-Dar Quthni bab “ kitab as-shiyam” dengan redaksi  “ fa atimmu :
- حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ , ثنا لُوَيْنٌ , ثنا مُحَمَّدُ بْنُ جَابِرٍ , عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْقٍ , عَنْ أَبِيهِ , قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «جَعَلَ اللَّهُ الْأَهِلَّةَ مَوَاقِيتَ لِلنَّاسِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا , فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَتِمُّوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ» . قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ جَابِرٍ: سَمِعْتُ هَذَا مِنْهُ وَحَدِيثَيْنِ آخَرَيْنِ , مُحَمَّدُ بْنُ جَابِرٍ لَيْسَ بِالْقَوِيِّ ضَعِيفٌ 
7. Hadits Ibnu  Umar muharrij Imam Buhari bab “ hal yuqolu romadhon aw syahru romadhon:
-                     1900حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ , ثنا لُوَيْنٌ , ثنا مُحَمَّدُ بْنُ جَابِرٍ , عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْقٍ , عَنْ أَبِيهِ , قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «جَعَلَ اللَّهُ الْأَهِلَّةَ مَوَاقِيتَ لِلنَّاسِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا , فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَتِمُّوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ» . قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ جَابِرٍ: سَمِعْتُ هَذَا مِنْهُ وَحَدِيثَيْنِ آخَرَيْنِ , مُحَمَّدُ بْنُ جَابِرٍ لَيْسَ بِالْقَوِيِّ ضَعِيفٌ(Ibnu Hajar, 2000, IX: 140)



8. Hadits sunan Abi Daud bab “ idza ighmiya asy-syahru” redaksi “ ‘adda”
2325 - حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، حَدَّثَنِي مُعَاوِيَةُ بْنُ صَالِحٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي قَيْسٍ، قَالَ: سَمِعْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا تَقُولُ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَفَّظُ مِنْ شَعْبَانَ مَا لَا يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ، ثُمَّ يَصُومُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ عَدَّ ثَلَاثِينَ يَوْمًا ثُمَّ صَامَ»(Abi Daud, 2009: 1003)
9. sunan at turmudzi bab “ ma jaa la tuqoddimu asy-syahrbi ash-shoum”
684 - حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا تَقَدَّمُوا الشَّهْرَ بِيَوْمٍ وَلَا بِيَوْمَيْنِ، إِلَّا أَنْ يُوَافِقَ ذَلِكَ صَوْمًا كَانَ [ص:60] يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ، صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ ثُمَّ أَفْطِرُوا» وَفِي البَابِ عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. رَوَاهُ مَنْصُورُ بْنُ الْمُعْتَمِرِ، عَنْ رِبْعِيِّ بْنِ حِرَاشٍ، عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِنَحْوِ هَذَا. «حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ» ، " (At-Turmudzi, 2010, III: 44)
10. Hadits sunan an-Nasai bab “ ikmal asy-sya’ban tsalatsin
2116 - أَخْبَرَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ يَعْقُوبَ، قَالَ: حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ شَبِيبٍ أَبُو عُثْمَانَ، وَكَانَ شَيْخًا صَالِحًا بِطَرَسُوسَ، قَالَ: أَنْبَأَنَا ابْنُ أَبِي زَائِدَةَ، عَنْ حُسَيْنِ بْنِ الْحَارِثِ الْجَدَلِيِّ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زَيْدِ بْنِ الْخَطَّابِ، أَنَّهُ خَطَبَ النَّاسَ فِي الْيَوْمِ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ، فَقَالَ: أَلَا إِنِّي جَالَسْتُ أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَسَاءَلْتُهُمْ، وَإِنَّهُمْ حَدَّثُونِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَانْسُكُوا لَهَا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ، فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُومُوا، وَأَفْطِرُوا» (An-Nasai, 2010: 591)
11. Sunan Ibnu Majah bab “ ma jaa sumu liru’yatihi “.
1654 - حَدَّثَنَا أَبُو مَرْوَانَ مُحَمَّدُ بْنُ عُثْمَانَ الْعُثْمَانِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلَالَ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ» ، وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَصُومُ قَبْلَ الْهِلَالِ بِيَوْمٍ (Ibnu Majah, 2005, II: 82)
Beberapa hadits di atas menunjukan ragam riwayat tentang hilal tertutup mendung. Selanjutnya penulis akan mencoba untuk memfokuskan pembahasan pada kajian tentang perbedaan redaksi untuk menjajagi sejauh mana varian redaksi tersebut berimplikasi pada munculnya ragam tentang penentuan hilal.

C.    Metode memahami hadis hilal
1.                  Ragam penafsiran kata
Dari hadits-hadits yang tela disebutkan diatas terdapat ada sekitar enam variasi redaksi ekor hadits, yaitu: ikmilu, uqduru, iqdiru, atimmu, fashumu, dan ‘udu. Dari riwayat-riwayat tersebut di atas tidak didapati sabab wurud yang melatari kemunculan sabda Nabi tentang penentuan awal bulan. Sedangkan di lain sisi, riwayat-riwayat tersebut terbilang shahih. Oleh karna itu  penulis akan fokus pada sisi perbedaan redaksinya saja.
Faqduru atau faqdiru merupakan bentuk amr atau kata perintah dari qodaro-yaqduru / qodaro-yaqdiru. Akar katanya adalah qaf-dal-ra Yang memiliki makna seperti yang di kutip oleh (Huda: 2013,40) menyebutkan bahwa menurut Ibnu Faris dalam kitabnya Mu’jam Muqoyyiz al-Lughah kata qadara, al-qadr, al-qadar bermakna puncak dan hakikat dari sesuatu. Al-qadru atau al-qadar bilamana dimaknai dengan takdir maka artinya adalah keputusan Tuhan sesuai ahir-puncak yang dikehendaki-Nya. Sebagai mana firman-Nya,
Faman qudiro alaihi rizquh (orang yang di beri rizki), maknanya adalah orang yang diberi rizki sedikit. Makna lainnya adalah ukuran, perkiraan, hitungan, jumlah dan kuantitas suatu hakikat. Sedangkan an-Nawawi  dalam syarah shaih muslimnya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan uqduru dalam hadits tentang hilal yang tertutup mendung  artinya adalah taqdir, hitungan atau kepastian. Sedangkan Ibnu Hajar al-Asqolani menuturkan dalam Fathu al-Bari (jilid 4 h. 616), setidaknya ada tiga pendapat mengenai makna faqduru dalam hadits. Pertama adalah pendapat yang mengatakan bahwa kata tersebut mimaksudkan untuk membedakan antara kondisi mendung dan kondisi cerah, dimana rukyah dipakai dalam kondisi cerah dan qadru untuk kondisi langit saat mendung atau tertutup awan. Pendapat ini dimunculkan oleh kebanyakan dari mazhab hambali.pendapat yang kedua adalah bahwa tidak adanya perbedaan dalam kondisi cerah maupun mendung, dan kata faqduru dalam hadits dimaksudkan untuk mempertegas kaimat sebelumnya. Maknanya adalah qaddiru lahu tamam tsalatsina yauman. Maksudnya pastikan bahwa hari tersebut merupakan penyempura bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. Maka pendapat ini berimplikasi pada laragan berpuasa pada hari yang diragukan. Pendapat ini banyak di pegang oleh jumhur. Pendapat yang ketiga adalah pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan faqduru dalam hadits maksudnya adalah pastikan. Pendapat ini di lontarkan oleh seorang tabiin Muttharrif bin Abdillah (86 H.), Abdul Abas bin Suraij (240 H.) dari mazhab Syafi’i, dan Ibnu Qutaibah (276 H.) dari kalangan Muhaditsin.
Sedangkan lafadz-lafadz lain seperti fakmilu diamil dari kata ikmal yang berarti menyempurnakan. kata ini semakna dengan atimmu atau itmam. dan kata fa’uddu berasal dari kata ádad yang artinya adalah hitungan atau bilangan. Jika ketiga redaksi tersebut yaitu fakmilu, faatimmu dan fa’uddu disandingkan dengan tsalatsna maka maknanya adalah sempurnakan atau pastikan tiga puluh hari bulan Sya’ban. Konklusi ini dimunculkan dengan cara mengkomparasikan riwayat yang menyatakan akmilu ‘iddata sya’bana tsalatsin. An-Nawawi menegaskan bahwa ragam ekor redaksi hadits-hadits tersebut memperkuat pengertian di atas yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan faqduru adalah penyempurnaan bilangan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari sebagai mana pendapat jumhur.
2.                  Ragam Objek Hukum
Selain dari interprertasi yang telah disebutkan diatas, perbedaan redaksi juga dimaknai sebagai perbedaan objek hukum. Bahwa rukyah atau observasi langsung di lapangan dan menyempurnakan bilangan sya’ban tiga puluh hari jika tertutup mendung adalah diperuntukan untuk orang-orang yang ummi dan makna qadr dalam hadits dimaknai hisab diberlakukan bagi kalangan terpelajar yang memahami hisab.

D.    Simpulan
Dari beberapa Hadits tersesebut yang menjadi rujukan penulis, penulis menyimpulkan bahwa secara Eksplisit tidak terdapat adanya dalil-dalil pendukung hisab. meski adanya lafaz  faqduru dalam beberapa hadits, namun bilamana disandingkan dengan kata tsalatsina yauman maka akan bermakna genapkan bulan sya’ban tiga puluh hari. Dan bilamana melihat konteks kesejarahan bahwa masyarakat Arab saat itu masih banyak yang buta baca tulis. Di sisi lain masyarakat arab telah memakai kalender arab pra islam yang berbasis luni-solar. Akan tetapi bisa difahami bahwa kalender tersebut merupakan hitungan urfi sebagaimana Nabi juga mengajari umatnya dalam haditsnya tentang bulan yaitu “ as-syahru hakaza wa hakaza “.
Adapun dalil yang menjadi postulat hukum bagi hisab, bisa kita temukan di dalam al-Quran. Al-Qur’an memberikan spirit untuk memperhatikan waktu sebagaimana dalam firman-Nya (QS. al-Ashr: 1-3) yang mengungkapkan arti pentingnya waktu secara keseluruhan yang harus dilakukan dengan baik, dan bilamanan diabaikan akan mengakibatkan kerugian. Kemudian (QS. At-Taubah: 36-37) Dalam hal ini Alquran menegaskan bahwa bulan itu di sisi Allah jumlahnya 12 bulan tidak seperti persangkaan orang kafir yang menambahkan 1 bulan lagi yaitu bulan nasi.
Dan dalil yang lebih fokus kepada spirit hisab adalah al-Quran surat Yunus:
uqèd Ï%©!$# Ÿ@yèy_ š[ôJ¤±9$# [ä!$uÅÊ tyJs)ø9$#ur #YqçR ¼çnu£s%ur tAÎ$oYtB (#qßJn=÷ètFÏ9 yŠytã tûüÏZÅb¡9$# z>$|¡Åsø9$#ur 4 $tB t,n=y{ ª!$# šÏ9ºsŒ žwÎ) Èd,ysø9$$Î/ 4 ã@Å_ÁxÿムÏM»tƒFy$# 5Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôètƒ ÇÎÈ  
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan mentaqdi>rkan manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan Bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” (QS.Yunus/10: 5)

Namun demikian, tidak dapat dipungkiri keterbukaan teks-teks dalil untuk diinterpretasi atau reinterpretasi sebagaimana telah penulis katakan pada pendahuluan sehingga ada interkoneksivitas antara dalil-dalil yang ada dalam al-Qur’an maupun Hadits Nabi Muhammad SAW.
Kemudian konsekuensi menolak adanya hisab sebagai penentu awal bulan adalah keharusan untuk selalu melakukan observasi secara langsung di lapangan manakala hendak menentukan waktu-waktu salat. Dan secara luas hisab telah diakui dan dipakai untuk menentukan waktu-waktu tersebut.  wallahu a’lam.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz ar-Rojihi, Syarah Aqidah Thohawiyyah, (Maktabah Syamillah)
Abdullah bin Abdurrahman ad-Darimi as-Samarkandi, Sunan ad-Darimi, (Cairo: Dar al-Hadits, 2000)
Abdurrahman bin an-Nashir as-Sa’di, terjemah Abu Abdirrahman Muhammad bin Munir al-Marghubi, Fikih Puasa Lengkap, (Yogyakarta: Oase Media, 2011)
Abi Daud Sulaiman bin al-Asy’ats as-Sajastani, Sunan Abi Daud, (Cairo: Dar al-Hadits, 2009)
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari a-Quthubi, Al-Jami li al-Ahkam al-Quran, (Cairo: Dar al-Hadits, 2007)
Abu Abdirrahman Ahmad bin Ali bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahr al-Khurasain al-Qadhi, Sunan an-Nasai, (Cairo: Dar al-Hadits, 2010)
Abu AbdullahMuhammad bin Yazid bin Majah ar-Rabi’i al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, (Cairo: Dar al-Hadits, 2005)
Abu al-‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak as-Sulami at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, (Cairo: Dar al-Hadits, 2010)
Abul Husain Muslin bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi, Shahih Muslim, (Cairo: Maktabah al-Iman, Tt)
Al-Quran dan Tafsirnya, Kementrian Agama RI Direktorat Jendral BIMAS Islam, 2012)
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Adhim, (Cairo, Dar al-Hadits, 2003)
M. Khoirul Huda, Hadis-Hadis Rukyah, (Kediri: Lirboyo Press, 2013)
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Buhori, Shahih Bukhari, (Surabaya: Maktabah Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, Tt)
Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak, (Yogyakarta: Buana Pustaka, 2005)
Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012)
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqolani, Fathul Bari, (Cairo: Dar al-Hadits, 2000)



§ Makalah dipresentasikan pada seminar kelas semester 4 program pascasarjana llmu falak IAIN Walisongo 2013.
© Penulis adalah mahasiswa semester 2 Program Pascasarjana Jurusan Ilmu falak IAIN Walisongo tahun 2013, peserta Pendidikan Kader Ulama ilmu falak Kementerian Agama 2013.
[1] Hilal sendiri berasal dari kata halla wa ahalla al hilal yang bermakna dhahara atau tampak. Dalam ilmu falak, kata ini dipahami sebagai bulan yang terlihat pada awal bulan. (Munawir, 1997: 1514)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar