KLASIFIKASI SISTEM
HISAB[1]
Oleh: Nur Arif Fuadi,
S.Si.[2]
(NIM 135212025)
I.
Pendahuluan
Ilmu Falak atau Astronomi yang merupakan ilmu yang
mempelajari alam dari sudut pandang fisika-matematika dan hukum-hukum alamnya,
terus mengalami perkembangan. Astronomi tidak hanya mempelajari matahari,
planet, bulan, bintang, tetapi juga galaksi, lubang hitam (black hole),
pulsar dan benda-benda angkasa lainnya. Astronomi berkembang dari berbagai
peradaban, mulai dari Babilonia, Mesir Kuno, Tiongkok, India dan Persia, Yunani
Kuno, serta Astronomi (Falak) pada Masa Islam.
Ahmad Musonnif menyatakan bahwa Peradaban Astronomi
Babilonia (sekitar 2000 SM) memberikan kontribusi penting, yakni bangsa
Babilonia menetapkan sebuah lingkaran menjadi 360 derajat. Selain itu, mereka
juga menetapkan batasan hari, yakni umur satu hari adalah 24 jam, panjang satu
jam adalah 60 menit, dan panjang satu menit adalah 60 detik. (Musonnif, 2011:
6).
Peradaban Astronomi Mesir Kuno tidak memiliki
perhatian yang sangat besar terhadap observasi Gerhana dan gerakan bulan dan
planet-planet lainnya, sebagaimana peradaban Astronomi Babilonia. Akan tetapi,
bangsa Mesir Kuno memiliki kepercayaan yang mengakar dalam hal penanggalan,
yaitu melalui rutinitas banjir sungai Nil setiap tahun yang selalu pertepatan
dengan munculnya bintang Sirius (najm syi’ry yamany) di bagian timur
pada malam bulan musim panas sekitar 19 Tamuz (Juli) dan mulai bersinar di
akhir bulan Ab (Agustus). Pada masa itu, bangsa Mesir Kuno juga telah mengenal
dan menciptakan jam matahari (mizwalah) yang muncul kira-kira pada tahun
1500 SM. (Musonnif, 2011: 6-7).
Peradaban Astronomi Bangsa Tiongkok juga tidak kalah
hebatnya. Mereka telah memiliki sistem perhitungan gerak benda-benda langit,
sistem penanggalan, dan diduga telah melakukan pengkajian terhadap Nova dan
Supernova. Shi Shen, Astronom Tiongkok, konon sudah berhasil menyusun katalog
bintang-bintang yang terdiri dari 800 entri pada tahun 350 SM. (Musonnif, 2011:
7).
Peradaban dunia sangat terpengaruh oleh peradaban
bangsa India dan Persia. Karena dari dua peradaban inilah muncul kemudian Ilmu
Falak Arab (Islam), di samping pengaruh peradaban Yunani Kuno yang telah
menancap kuat. Bangsa India percaya bahwa bumi ini adalah datar disangga oleh
beberapa ekor gajah raksasa. Gajah-gajah itu berdiri di atas punggung seekor
kura-kura yang sangat besar. Bagi bangsa India, langit adalah seekor ular kobra
raksasa yang badannya mengelilingi Bumi, pada malam hari sisik-sisik ular itu
mengeluarkan cahaya gemerlapan yang menjadi bintang-bintang. (Musonnif, 2011:
8). Peradaban Persia sangat berpengaruh terhadap peradaban Islam, meskipun
tidak sekuat peradaban India. Di antara terminologi imu Astronomi Persia yang
terus dipakai dalam ilmu Falak Islam hingga kini antara lain: zayj (zig)[3], awj
(aphelion)[4]
dan lain-lain. (Musonnif, 2011: 9).
Pengamatan terhadap fenomena alam telah dilakukan
sejak dulu oleh bangsa Babilonia, Tiongkok,, Mesir Kuno, dan lain-lain. Namun,
Astronomi sebagai ilmu pengetahuan yang sistematis baru berkembang pada zaman
peradaban Yunani pada abad ke-6 SM. Thales dianggap sebagai orang yang
mengawali dipelajarinya ilmu Astronomi Klasik di Yunani. Ia berpendapat bahwa
bumi merupakan sebuah dataran yang luas. Pada saat yang sama Pythagoras
berpendapat bahwa bumi berbentuk bulat, walaupun belum didukung oleh bukti yang
kuat. Aristarchus berpendapat bahwa Bumi bukan pusat jagad raya, karena bumi
berputar dan beredar mengelilingi
Matahari (Heliosentris). Meskipun teori ini belakangan terbukti benar, tetapi
pada masa itu tidak mendapat dukungan. Justeru yang didukung adalah teori dari
Hiparchus yang berpendapat bahwa Bumi itu diam, sedangkan Matahari, bintang dan
planet-planet mengelilingi Bumi (Geosentris). Kemudian, teori ini disempurnakan
sekaligus dipopulerkan kembali oleh Cladius Ptolomeus. (Musonnif, 2011: 10).
Sebelum datangnya Islam, bangsa Arab sudah mengenal
kalender yang berpedoman pada peredaran Bulan-Matahari. Kalender di Jazirah
Arab selain sebagai penanda masa, juga digunakan untuk penentuan saat
peperangan dan sistem kalender yang berlaku saat itu ternyata sering
menimbulkan kakacauan. Sebagaimana kalender Matahari, pada kalender Bulan Arab
juga dilakukan penambahan hari pada tahun kabisatnya, yaitu dengan menambah
satu hari pada bulan Dzulhijjah (bulan ke-12). Hal ini menjadi dalih pembenaran
untuk menyerang suku lain di bulan Muharram. Dengan alasan, bulan itu adalah
bulan Nasi’ (bulan Dzulhijjah yang ditambah satu hari) dan bukan bulan
Muharram, yang menurut perhitungan mereka adalah bulan gencatan senjata.
(Musonnif, 2011: 12).
Ilmu Falak
selain berkembang dari berbagai peradaban, rupanya juga mengalami
perkembangan dari waktu ke waktu dari segi sistem pemikiran dan metode
perhitungannya. Perkembangan yang sekarang ini cenderung mengarah kepada
semakin tingginya derajat akurasi hasil hitungannya. Rukyat atau observasi
terhadap posisi dan gerakan benda-benda langit adalah kegiatan yang sangat
penting dalam rangka menguji akurasi kebenaran teori dan hitungannya. Penemuan
peralatan observasi yang lebih modern dan canggih. Ilmu pengetahuan dan
teknologi serta alat ukur yang lebih modern seperti ilmu ukur segitiga bola (spherical
trigonometry) juga mendorong perkembangan dan kemajuan ilmu ini. (Murtadho,
2008: 9).
Perkembangan dan kemajuan ilmu Falak sangat dinamis.
Hal ini dibuktikan dengan berkembangnya beberapa sistem perhitungan dan metode
perhitungan hisab awal bulan qamariyah. Menurut Murtadho, metode-metode
perhitungan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut: metode hisab haqiqi
bi al-taqribi, hisab haqiqi bi al-tahqiq, dan hisab bi al-tadqiq.
(Murtadho, 2008: 11).
Dalam Almanak Hisab Rukyat, aliran-aliran hisab di
Indonesia ditinjau dari segi sistemnya dapatlah dibagi menjadi dua kelompok
besar, yaitu hisab urfi dan hisab hakiki. (Dirjen Bimas Islam, 2010: 95). Sedangkan
Ustadz Syamsul Arifin mengusulkan ada tiga kelompok sistem perhitungan dalam
penetuan awal bulan qamariyah, yaitu hisab taqriby, hisab haqiqie dan hisab
kontemporer. (Fathurrohman, 2013: 7).
Perkembangan dan kemajuan Ilmu Falak ini tidak hanya
sebatas pada penentuan awal bulan Qamariyah saja, akan tetapi juga menjamah
seluruh aspek astronomis, seperti kalender Masehiyah, jadwal shalat, penentuan
arah kiblat, jadwal terjadinya fenomena gerhana, peredaran bintang dan
lain-lain. Akan tetapi, dari banyaknya perkembangan Ilmu Falak tersebut, pada
makalah ini akan dibahas tentang penentuan awal bulan Qamariyah saja. Dari
berbagai pendapat tentang pengklasifikasian metode hisab awal bulan Qamariyah tersebut,
penulis mengambil simpulan menjadi tiga metode, yaitu hisab ‘urfi, haqiqi
dan kontemporer. Sehingga akan dibahas mengenai bagaimana pengklasifikasian
metode perhitungan tersebut.
II.
Pembahasan
A.
Sistem Kalender Qamariyah
Penentuan awal bulan Qamariyah merupakan hal yang penting
dan sangat diperlukan bagi umat Islam. Hal ini karena sangat berhubungan dengan
amal ibadah yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam. Terutama penentuan awal
bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah. Seperti firman Allah Subhanahu wata’ala
pada Surat al-Baqarah ayat 189.
يسئلونك
عن الأهلة قل هي مواقيت للناس والحج...
Artinya: “Mereka
bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hilal. Katakanlah: hilal itu adalah
(penunjuk) tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi pelaksanaan ibadah) haji.”
Sistem kalender Qamariyah didasarkan pada peredaran Bulan
mengitari Bumi. Penanda bahwa hari ini telah memasuki bulan baru adalah dengan
terlihatnya hilal sesaat setelah Matahari terbenam di ufuk Barat. Bersamaan
dengan gerak revolusi Bumi mengelilingi Matahari, Bumi juga dikelilingi oleh
satelitnya, yaitu Bulan. Bulan mengelilingi Bumi menurut arah Barat-Timur
rata-rata dalam waktu 27,321661 hari (satu bulan sideris) untuk sekali putaran.
(Musonnif, 2011: 54).
Sedangkan rata-rata waktu yang diperlukan Bulan untuk
mengitari Bumi sehingga berlalu di antara dua ijtima’ (konjungsi) yang
berurutan adalah 29,530681 hari atau 29 hari 12 jam 44 menit 10 detik (satu
bulan sinodis). (Musonnif, 2011:54).
Berikut ini adalah gambar perjalanan Bulan mengelilingi
Bumi dari satu konjungsi ke konjungsi berikutnya, yang sekaligus membedakan
satu bulan sideris dengan satu bulan sinodis.
Gambar 1. Periode satu
bulan
Dari gambar 1 di atas, diberikan keterangan bahwa Bulan
untuk menempuh perjalanan 360° mengitari Bumi perlu waktu
sekitar 27 1/3 hari. Sedangkan untuk mencapai konjungsi berikutnya perlu waktu
sekitar 29 1/2 hari. Sehingga umur rata-rata satu bulan Qamariyah adalah 29 1/2
hari.
Perjalanan Bulan mengitari Bumi dapat dilihat oleh pengamat
di Bumi dengan memperhatikan perbedaan fase Bulan yang berubah dari hari ke
hari. Pada awalnya bentuknya kecil menyerupai sabit tipis, kemudian semakin
hari semakin besar dan terang mencapai bentuk purnama, kemudian berangsur
mengecil kembali seperti semula, sampai dengan tidak terlihat sama sekali. Satu
tahun periodenya terdiri dari 12 kali putaran. Siklus inilah yang dijadikan
sandaran pada sistem kalender Bulan (Lunar System). Sistem ini yang
dijadikan acuan perhitungan kalender dalam Islam, yakni kalender Hijriyah.
Gambar 2. Fase Bulan
Penampakan Bulan
dalam bentuk sabit tipis (hilal) beberapa saat setelah terbenam Matahari paska
terjadinya ijtima’ ditetapkan sebagai momentum awal dimulainya bulan
baru dan berakhirnya bulan yang lama. (Musonnif, 2011:55). Karena waktu yang dibutuhkan
antara dua ijtima’ rata-rata sekitar 29 1/2 hari, maka umur bulan dalam dalam sistem
kalender Qamariyah terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari untuk menggenapkan
sisanya.
Masa satu tahun
Hijriyah rata-rata adalah 354 11/30 hari. Karena ada pecahan pada jumlah hari
tersebut, maka dalam satu tahun pendek (basitah) berumur 354 hari dan
satu tahun panjang (kabisah) berumur 355 hari. Dalam setiap 30 tahun
terdapat 11 tahun kabisah. Masa satu tahun Hijriyah dibagi menjadi 12
bulan dengan ketentuan umur tiap bulannya sebagai berikut:
Tabel 1. Umur bulan Hijriyah Tahun
Basitah
No
|
Nama Bulan
|
Umur
|
Total
|
1.
|
Muharram
|
30
|
30
|
2.
|
Safar
|
29
|
59
|
3.
|
Rabi’ul Awwal
|
30
|
89
|
4.
|
Rabi’uts Tsani
|
29
|
118
|
5.
|
Jumadil Ula
|
30
|
148
|
6.
|
Jumadil Akhir
|
29
|
177
|
7.
|
Rajab
|
30
|
207
|
8.
|
Sya’ban
|
29
|
236
|
9.
|
Ramadhan
|
30
|
266
|
10.
|
Syawwal
|
29
|
295
|
11.
|
Dzul Qa’dah
|
30
|
325
|
12.
|
Dzul Hijjah
|
29
|
354
|
Tabel 2. Umur bulan Hijriyah Tahun
Kabisah
No
|
Nama Bulan
|
Umur
|
Total
|
1.
|
Muharram
|
30
|
30
|
2.
|
Safar
|
29
|
59
|
3.
|
Rabi’ul Awwal
|
30
|
89
|
4.
|
Rabi’uts Tsani
|
29
|
118
|
5.
|
Jumadil Ula
|
30
|
148
|
6.
|
Jumadil Akhir
|
29
|
177
|
7.
|
Rajab
|
30
|
207
|
8.
|
Sya’ban
|
29
|
236
|
9.
|
Ramadhan
|
30
|
266
|
10.
|
Syawwal
|
29
|
295
|
11.
|
Dzul Qa’dah
|
30
|
325
|
12.
|
Dzul Hijjah
|
30
|
355
|
Tahun-tahun
kabisah dalam siklus 30 tahunan itu berada pada uratan ke-2, 5, 7, 10, 13, 16,
18, 21, 24, 26, dan 29 seperti urutan huruf A pada kalimat SALMAN ALI ANTAR
KAPAL DARI ARABIA, atau juga dengan menandai syair berikut.
كف الخليل كفه ديانه
* عن كل خل حبه فصانه
“Kekasih yang sejati itu menjaga dan
memelihara agamanya,
Dan bukan
orang yang menjaga (memenuhi) kesenangannya.”
Tiap huruf yang
bertitik menunjukkan tahun kabisah dan huruf yang tidak bertitik menunjukkan
tahun basitah. (Murtadho, 2008: 108)
B.
Pengklafikasian Metode
Hisab Awal Bulan Qamariyah
Sistem kalender
Hijriyah dimulai sejak tahu 17 H yaitu pada masa kekhalifahan Umar Bin Khattab radhiyallahu
‘anhu setelah pemerintahan beliau berlangsung 2,5 tahun. Yaitu sejak
terjadinya persoalan sebuah dokumen yang tercatat pada bulan Sya’ban. Terjadi pertanyaan:
bulan Sya’ban yang mana? Bulan Sya’ban pada tahun ini atau pada tahun itu?
Pertanyaan itu tidak terjawab. (Dirjen Bimas Islam, 2010: 107). Oleh karena
itulah Umar memanggil beberapa orang sahabat terkemuka untuk membahas persoalan
tersebut serta mencari jalan keluarnya dengan menciptakan anggaran tentang
penentuan tarikh atau kalender.
Dari berbagai
pendapat tentang pengklasifikasian metode hisab awal bulan Hijriyah, diambil tiga
metode, yaitu hisab ‘urfi, haqiqi dan kontemporer.
Pertama, hisab ‘urfi.
Hisab ‘urfi adalah sistem perhitungan kalender yang disandarkan pada
peredaran rata-rata Bulan mengelilingi Bumi dan ditetapkan secara konvensional.
(Azhari, 2012: 79). Bilangan hari pada tiap-tiap bulan berjumlah tetap kecuali
bulan tertentu pada tahun-tahun tertentu jumlahnya lebih panjang satu hari.
Umur tiap bulannya adalah seperti yang tertera pada tabel 1 dan 2 di atas.
Demikian juga dengan jumlah hari dalam satu tahunnya. Jika tahun pendek atau
basitah, umur bulan ke-12 (Dzulhijjah) adalah 29 hari, sehingga jumlah hari
dalam setahun adalah 354 hari. Sedangkan jika tahun panjang atau kabisah, umur
bulan ke-12 adalah 30 hari, sehingga jumlah hari dalam setahun adalah 355 hari.
Metode hisab ini
sangat mudah, karena umur bulan hanya berselang-seling dari 29 ke 30 hari. Jika
bulan ganjil, maka umurnya 30 hari dan jika bulan genap, maka umurnya 29 hari. Tahun-tahun
kabisah dalam siklus 30 tahunan itu berada pada uratan ke-2, 5, 7, 10, 13, 16,
18, 21, 24, 26, dan 29 seperti urutan huruf A pada kalimat SALMAN ALI ANTAR
KAPAL DARI ARABIA.
Akan tetapi,
metode hisab ini tidak dapat dijadikan pedoman dalam peribadatan yang ada
hubungannya dengan kalender Bulan. Misalnya penetuan awal puasa Ramadhan,
penentuan Hari Raya Idul Fitri, dan Hari Raya Idul Adha/Haji. Karena menurut
sistem ini umur bulan Sya’ban selalu tetap 29 hari dan bulan Ramadhan selalu
tetap 30 hari. Padahal, senyatanya kadang umur bulan Sya’ban adalah 29 hari dan
kadang digenapkan 30 hari. Apalagi ada syarat dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam mengenai awal puasa dan akhir puasa (ifthar), yaitu
hadis berikut:
وعنْ ابنِ عُمُر رضي الله عنهما قال: سمعت رسول الله
صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم يقول: "إذا رأيتموهُ فصُوموا وإذا رأَيتموهُ
فأَفطروا، فإن غُمَّ عليكمْ فاقْدرُوا له" متّفقٌ عليه، ولمسلمٌ: "فإن
أُغمَى عليكم فاقُدُرُوا له ثلاثين" وللبخاري "فأَكْملوا العِدة ثلاثين".
Artinya: “Dari Ibnu Umar Radhiyallahu
‘anhuma, dia berkata: aku mendengar Rasulallah Shallallahu ‘alaihi
wasallam telah bersabda: “Berpuasalah kalian ketika melihat hilal dan
berbukalah ketika melihat hilal, namun jika hilal tertutup (tidak jelas) atas
kalian tentukanlah untuknya.” Muttafaq ‘alaih. Pada riwayat Muslim:
“jika hilal tertutup (tidak jelas) atas kalian tentukanlah untuknya tiga puluh
hari”. Pada riwayat Bukhori: “Sempurnakanlah (jumlah Sya’ban) menjadi tiga
puluh hari.” (Shon’any, 1164H: 2)
Gambar 3. Aktifitas Rukyat Hilal
Jadi, metode
hisab urfi ini tidak bisa digunakan sesuai kaidah. Karena penentuan awal bulan
berdasarkan terlihatnya hilal pada tanggal 29 beberapa saat setelah Matahari
terbenam. Akan tetapi, tidak semua bulan mesti ditentukan dengan tampaknya
hilal di ufuk Barat. Hanya bulan-bulan tertentu saja yang mengharuskan
observasi atau rukyah hilal. Berikut ini adalah contoh hilal Safar 1434 H yang
dapat dirukyah oleh Tim Rukyah dari CASA Assalam Surakarta.
Gambar
4. Hilal Safar 1434 H
Kedua, hisab haqiqi.
Hisab haqiqi adalah penentuan awal bulan Qamariyah dengan perhitungan
yang didasarkan kepada peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya. (Dirjen Bimas
Islam, 2010: 156).
Pada mulanya,
teori geosentrik mempengaruhi paradigma astronomi sampai pada abad ke-10 Masehi
atau ke-4 Hijriyah, yakni tepat setelah munculnya wacana heliosentrik yang
dikemukakan oleh Abu Raihan al-Barumi, kemudian dibangun dan dipopulerkan oleh
Nicolas Copernicus. (Murtadho, 2008: 20). Sehingga, meskipun sama-sama
berdasarkan pengamatan terhadapan peredaran Bulan, perhitungan tentang
terjadinya ijtima’, ghurub dan ketinggian hilal berbeda-beda berdasarkan
tingkat ketelitian pengamat. Apalagi tempat pengamat yang berbeda dan
ketinggian tempat pengamatan juga mempengaruhi waktu ghurub dan ketinggian
hilal yang bisa dilihat.
Berikut ini
adalah gambar posisi Bumi berdasar sistem Geosentris dan sistem Heliosentris.
Keduanya sangat signifikan dalam hal cara Matahari, Planet dan Bulan ketika
bergerak.
Gambar
5. Posisi Bumi pada Sistem Geosentrik dan Heliosentrik
Meskipun wacana
Heliosentris telah muncul di abad 10 M, akan tetapi masih banyak juga ahli
falak yang menggunakan asumsi geosentrik dalam proses penghitungannya.
Sebagaimana pada kitab Sulam al-Nayyirain karya Muhammad Manshur
al-Batawi, dan beberapa kitab lain yang
semisal.
Terdapat dua
tonggak sejarah sejarah ilmu Falak yang sangat berpengaruh di Indonesia, yaitu Jadwal
Ulughbeik yang merupakan karya dan temuan Ulugh Beik, dan Almanac Nautica
karya Simon New Comb. Di dalamnya terdapat jadwal data astronomi Matahari, Bumi
dan Bulan. Sebagaimana hasil Seminar Nasional Sehari Ilmu Falak pada tanggal 27
April 1992 di Tugu Bogor Jawa Barat, pembagian sistem hisab yang berkembang di
Indonesia didasarkan pada tipologinya, yakni data atau jadwal yang digunakan,
yaitu hisab haqiqi taqribi, hisab haqiqi tahqiqi dan hisab haqiqi
tadqiqi (kontemporer). (Murtadho, 2008: 31).
Hisab haqiqi
taqribi mendasarkan perhitungannya pada daftar ephemeris yang disusun oleh
Ulugh Beik yang kemudian dipertajam dengan beberapa koreksi yang sederhana.
Dalam menghitung ketinggian Bulan saat terbenam Matahari sesudah konjungsi,
sistem ini hanya membagi dua selisih waktu dari saat konjungsi dan saat
terbenam Matahari. Sehingga produk hitungannya adalah kira-kira atau bersifat
kurang-lebih. Selain kitab Sulam al-Nayyarain, kitab-kitab lain yang
menggunakan sistem ini adalah Fath al-Rauf al-Manan karya Abu Hamdan
Abdul Jalil (Kudus), Al-Qawa`id al-Falakiyyah karya Abd. al-Fattah
al-Tukhi (Mesir). (Musonnif, 2011: 27-28).
Hisab haqiqi
tahqiqi hampir sama dengan sistem taqribi, hanya saja unsur-unsur
koreksinya lebih banyak lagi. Sistem ini juga telah menggunakan rumusan
Trigonometri Bola (Spherical Trygonometry), sehingga hasil
perhitungannya lebih mendekati akurat. Kitab-kitab yang menggunakan sistem ini
adalah kitab al-Khulashah al-Waffiyyah karya Zubair Umar al-Jailani
(Salatiga), Hisab Hisab hakiki karya KRT Wardan Diponingrat (Yogyakarta)
dan Mathla’ al-Sa’id karya Husaein Zaid (Mesir). (Musonnif, 2011: 28).
Ketiga, hisab
kontemporer. Atau dapat juga disebut hisab haqiqi tadqiqi. Di samping
menggunakan rumus Trigonometri Bola dan koreksi-koreksinya lebih detail,
mengacu pada data kontemporer, yaitu data yang selalu dikoreksi dengan
temuan-temuan terbaru. Sistem ini dikembangkan oleh lembaga-lembaga astronomi
seperti Planetarium, Badan Meteorelogi dan Geofisika, dan Obervatorium Bosscha.
Data astronomi kontemporer yang dijadikan pedoman adalah buku New Comb, Jean
Meeus, Almanac Nautica dan Ephemeris Hisab Rukyat Kemenag RI. (Musonnif, 2011:
28).
Beberapa yang
menjadi koreksi perhitungan adalah ketinggian ufuk (DIP), refraksi, horizontal
parallaks, semi diameter Matahari, semi diameter Bulan dan data-data lainnya.
Sehingga waktu terjadinya ghurub antara hitungan dengan kejadian yang
sebenarnya sangat dekat atau akurat. Demikian juga dengan ketinggian hilal yang
sebenarnya dengan yang tampak dari lokasi pengamatan.
Ketiga metode
sisitem hisab di atas secara riil dipelajari dan dipakai dalam kehidupan
sehari-hari, meskipun dengan hasil perhitungan yang berbeda. Bahkan terkadang
terdapat perbedaan yang mencolok yang kadang sulit perbedaan tersebut untuk
ditoleransi. Namun demikan, karena objek yang diamati adalah benda langit yang
sama, maka yang menjadi juri pemutusnya tentulah bukti empirik.
Dewasa ini,
bukan hanya hitungan saja yang berkembang, tetapi juga sudah merambah ke
perkembangan pemrograman yang semakin mempermudah masyarakat. Misalnya program
Mawaaqit 2001, Accurate Times 5.3, Stellarium dan lain-lain. Berikut adalah
contoh gambar prediksi visibilitas hilal yang menggunakan program Accurate
Times 5.3 pada Ramadhan 1435H.
Gambar
6. Prediksi Visibilitas Hilal
III. Penutup
Demikianlah pembahasan mengenai pengklasifikasian
metode hisab awal bulan Qamariyah. Disimpulkan, ada tiga jenis metode hisab
awal bulan Qamariyah, yaitu metode hisab ‘urfi, haqiqi dan kontemporer.
Ketiganya tetap dipakai oleh masyarakat sampai dengan sekarang, meskipun
ketiganya kadang ada perbedaan yang cukup signifikan. Terutama bagi kalangan
umat Islam di Indonesia.
1.
Hisab ‘urfi adalah
sistem perhitungan kalender yang disandarkan pada peredaran rata-rata Bulan
mengelilingi Bumi dan ditetapkan secara konvensional. Cirinya adalah umur bulan
hanya berselang-seling dari 29 ke 30 hari. Jika bulan ganjil, maka umurnya 30
hari dan jika bulan genap, maka umurnya 29 hari. Tahun-tahun kabisah dalam
siklus 30 tahunan itu berada pada uratan ke-2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24,
26, dan 29 seperti urutan huruf A pada kalimat SALMAN ALI ANTAR KAPAL DARI
ARABIA.
2.
Hisab haqiqi adalah
penentuan awal bulan Qamariyah dengan perhitungan yang didasarkan kepada
peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya. Cirinya adalah sistem ini adanya
perhitungan tentang terjadinya ijtima’, ghurub dan ketinggian hilal.
Hasil perhitungannya bisa jadi berbeda-beda berdasarkan tingkat ketelitian
pengamat.
3.
Hisab kontemporer atau
dapat juga disebut hisab haqiqi tadqiqi. Di samping menggunakan rumus
Trigonometri Bola dan koreksi-koreksinya lebih detail, mengacu pada data
kontemporer, yaitu data yang selalu dikoreksi dengan temuan-temuan terbaru.
Dari ketiga
jenis metode hisab ini, memunculkan adanya selisih antar hitungan. Namun
demikian, karena objek yang diamati adalah benda langit yang sama, maka yang
menjadi juri pemutusnya tentulah bukti empirik.
Sebagai saran,
perlu kita pelajari ketiga jenis metode hisab ini. Untuk pemilihan pemakaiannya
disesuaikan dengan kondisi. Karena ketiganya penting dan sebagai khazanah
keilmuan dalam perkembangan ilmu Falak. Namun demikian, tidak menutup
kemungkinan akan munculnya metode hisab yang lebih mutakhir yang dapat
menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam masyarakat. Oleh karena itu,
perlu adanya penelitian lebih lanjut, barangkali masih ada celah yang bisa
untuk diteliti, misalnya perhitungan waktu munculnya hilal serta ketinggian
hilal tersebut dengan pengamat di atas kapal yang sedang malaju di laut.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al-Karim wa Tarjamah Ma’anihu ila al-Lughoh al-Indunisiyah.
2009. Jakarta: AMCF Yayasan Muslim Asia.
As-Sa’di, Al-Imam al-‘Allamah ‘Abdurrohman bin
Nashir. 2011. Fikih Puasa Lengkap (Judul Asli: Minhaju as-Salikin Watawadhih
al-Fiqh fi ad-Din). Pensyarah: Abu ‘Abdillah Muhammad as-Sarbini
al-Makassari. Yohyakarta: Oase Media.
Azhari, Susiknan. 2012. Ensiklopedi Hisab Rukyat. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam. 2010. Almanak Hisab
Rukyat. Jakarta: Kementrian Agama RI.
Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Direktorat. 2012. Ephemeris
Hisab Rukyat 2013. Jakarta: Kementrian Agama RI.
Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Direktorat. 2013. Ephemeris
Hisab Rukyat 2014. Jakarta: Kementrian Agama RI.
Fathurrohman. 2013. Cara Mudah Belajar Ilmu Falak. Jombang: Muhipress
Jombang
Khazin, Muhyiddin. 2009. 99 Tanya Jawab Masalah Hisab Rukyat.
Yogyakarta: Ramadhan Press.
Murtadho. 2008. Ilmu Falak Praktis. Malang: UIN-Malang Press.
Musonnif, Ahmad. 2011. Ilmu Falak: Metode Hisab Awal Waktu Shalat,
Arah Kiblat, Hisab Urfi dan Hisab Hakiki Awal Bulan. Yogyakarta: Penerbit
Teras.
Shon’any. 1164H. Subulu as-Salam Syarh
Bulugh al-Marom, Kitab ash-Shiyam.
Smart, W.M. 1986. Textbook on Spherical Astronomy. Cambridge:
Cambridge University Press.
[1] Makalah ini disampaikan
pada perkuliahan untuk mata kuliah Hisab Kontemporer, pada Hari Senin tanggal
28 April 2014.
[2] Mahasiswa Program
Pascasarjana Magister Ilmu Falak IAIN Walisongo Semarang.
[3] Zij (Ar): “Kata”
yang berasal dari bahasa Sansekerta, yang masuk ke bahasa Arab dan Persia
melalui bahasa Pahlavi, berarti tabel Astronomi. Tapi sebenarnya kebanyakan zij
tak hanya memuat tabel, juga pembahasan teori Astronomi, bab tentang kronologi,
penjelasan luas hal Astronomi matematis dan subjek lain yang berhubungan. Zij
yang merupakan satu bagian penting literature ilmu Falak, biasanya
dinamakan menurut penyusunnya atau penunjang atau kota, tempat ia disusun,
walaupun sering pula digunakan cara penamaan yang lain. (Azhari, Susiknan.
2012. Ensiklopedi Hisab Rukyat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal: 246)
[4] Auj (Ar): Titik
terjauh pada peredaran (orbit) benda langit dari benda langit yang diedarinya.
Dalam bahasa Latin disebut Aphelium atau dalam bahasa Inggris disebut Apogee
atau Aphelion. (Azhari, Susiknan. 2012. Ensiklopedi Hisab Rukyat.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal: 37)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar