Selasa, 26 Mei 2015

KLASIFIKASI SISTEM HISAB

KLASIFIKASI SISTEM HISAB[1]
Oleh: Nur Arif Fuadi, S.Si.[2] (NIM 135212025)

I.       Pendahuluan
Ilmu Falak atau Astronomi yang merupakan ilmu yang mempelajari alam dari sudut pandang fisika-matematika dan hukum-hukum alamnya, terus mengalami perkembangan. Astronomi tidak hanya mempelajari matahari, planet, bulan, bintang, tetapi juga galaksi, lubang hitam (black hole), pulsar dan benda-benda angkasa lainnya. Astronomi berkembang dari berbagai peradaban, mulai dari Babilonia, Mesir Kuno, Tiongkok, India dan Persia, Yunani Kuno, serta Astronomi (Falak) pada Masa Islam.
Ahmad Musonnif menyatakan bahwa Peradaban Astronomi Babilonia (sekitar 2000 SM) memberikan kontribusi penting, yakni bangsa Babilonia menetapkan sebuah lingkaran menjadi 360 derajat. Selain itu, mereka juga menetapkan batasan hari, yakni umur satu hari adalah 24 jam, panjang satu jam adalah 60 menit, dan panjang satu menit adalah 60 detik. (Musonnif, 2011: 6).
Peradaban Astronomi Mesir Kuno tidak memiliki perhatian yang sangat besar terhadap observasi Gerhana dan gerakan bulan dan planet-planet lainnya, sebagaimana peradaban Astronomi Babilonia. Akan tetapi, bangsa Mesir Kuno memiliki kepercayaan yang mengakar dalam hal penanggalan, yaitu melalui rutinitas banjir sungai Nil setiap tahun yang selalu pertepatan dengan munculnya bintang Sirius (najm syi’ry yamany) di bagian timur pada malam bulan musim panas sekitar 19 Tamuz (Juli) dan mulai bersinar di akhir bulan Ab (Agustus). Pada masa itu, bangsa Mesir Kuno juga telah mengenal dan menciptakan jam matahari (mizwalah) yang muncul kira-kira pada tahun 1500 SM. (Musonnif, 2011: 6-7).
Peradaban Astronomi Bangsa Tiongkok juga tidak kalah hebatnya. Mereka telah memiliki sistem perhitungan gerak benda-benda langit, sistem penanggalan, dan diduga telah melakukan pengkajian terhadap Nova dan Supernova. Shi Shen, Astronom Tiongkok, konon sudah berhasil menyusun katalog bintang-bintang yang terdiri dari 800 entri pada tahun 350 SM. (Musonnif, 2011: 7).
Peradaban dunia sangat terpengaruh oleh peradaban bangsa India dan Persia. Karena dari dua peradaban inilah muncul kemudian Ilmu Falak Arab (Islam), di samping pengaruh peradaban Yunani Kuno yang telah menancap kuat. Bangsa India percaya bahwa bumi ini adalah datar disangga oleh beberapa ekor gajah raksasa. Gajah-gajah itu berdiri di atas punggung seekor kura-kura yang sangat besar. Bagi bangsa India, langit adalah seekor ular kobra raksasa yang badannya mengelilingi Bumi, pada malam hari sisik-sisik ular itu mengeluarkan cahaya gemerlapan yang menjadi bintang-bintang. (Musonnif, 2011: 8). Peradaban Persia sangat berpengaruh terhadap peradaban Islam, meskipun tidak sekuat peradaban India. Di antara terminologi imu Astronomi Persia yang terus dipakai dalam ilmu Falak Islam hingga kini antara lain: zayj (zig)[3], awj (aphelion)[4] dan lain-lain. (Musonnif, 2011: 9).
Pengamatan terhadap fenomena alam telah dilakukan sejak dulu oleh bangsa Babilonia, Tiongkok,, Mesir Kuno, dan lain-lain. Namun, Astronomi sebagai ilmu pengetahuan yang sistematis baru berkembang pada zaman peradaban Yunani pada abad ke-6 SM. Thales dianggap sebagai orang yang mengawali dipelajarinya ilmu Astronomi Klasik di Yunani. Ia berpendapat bahwa bumi merupakan sebuah dataran yang luas. Pada saat yang sama Pythagoras berpendapat bahwa bumi berbentuk bulat, walaupun belum didukung oleh bukti yang kuat. Aristarchus berpendapat bahwa Bumi bukan pusat jagad raya, karena bumi berputar  dan beredar mengelilingi Matahari (Heliosentris). Meskipun teori ini belakangan terbukti benar, tetapi pada masa itu tidak mendapat dukungan. Justeru yang didukung adalah teori dari Hiparchus yang berpendapat bahwa Bumi itu diam, sedangkan Matahari, bintang dan planet-planet mengelilingi Bumi (Geosentris). Kemudian, teori ini disempurnakan sekaligus dipopulerkan kembali oleh Cladius Ptolomeus. (Musonnif, 2011: 10).
Sebelum datangnya Islam, bangsa Arab sudah mengenal kalender yang berpedoman pada peredaran Bulan-Matahari. Kalender di Jazirah Arab selain sebagai penanda masa, juga digunakan untuk penentuan saat peperangan dan sistem kalender yang berlaku saat itu ternyata sering menimbulkan kakacauan. Sebagaimana kalender Matahari, pada kalender Bulan Arab juga dilakukan penambahan hari pada tahun kabisatnya, yaitu dengan menambah satu hari pada bulan Dzulhijjah (bulan ke-12). Hal ini menjadi dalih pembenaran untuk menyerang suku lain di bulan Muharram. Dengan alasan, bulan itu adalah bulan Nasi’ (bulan Dzulhijjah yang ditambah satu hari) dan bukan bulan Muharram, yang menurut perhitungan mereka adalah bulan gencatan senjata. (Musonnif, 2011: 12).
Ilmu Falak  selain berkembang dari berbagai peradaban, rupanya juga mengalami perkembangan dari waktu ke waktu dari segi sistem pemikiran dan metode perhitungannya. Perkembangan yang sekarang ini cenderung mengarah kepada semakin tingginya derajat akurasi hasil hitungannya. Rukyat atau observasi terhadap posisi dan gerakan benda-benda langit adalah kegiatan yang sangat penting dalam rangka menguji akurasi kebenaran teori dan hitungannya. Penemuan peralatan observasi yang lebih modern dan canggih. Ilmu pengetahuan dan teknologi serta alat ukur yang lebih modern seperti ilmu ukur segitiga bola (spherical trigonometry) juga mendorong perkembangan dan kemajuan ilmu ini. (Murtadho, 2008: 9).
Perkembangan dan kemajuan ilmu Falak sangat dinamis. Hal ini dibuktikan dengan berkembangnya beberapa sistem perhitungan dan metode perhitungan hisab awal bulan qamariyah. Menurut Murtadho, metode-metode perhitungan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut: metode hisab haqiqi bi al-taqribi, hisab haqiqi bi al-tahqiq, dan hisab bi al-tadqiq. (Murtadho, 2008: 11).
Dalam Almanak Hisab Rukyat, aliran-aliran hisab di Indonesia ditinjau dari segi sistemnya dapatlah dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu hisab urfi dan hisab hakiki. (Dirjen Bimas Islam, 2010: 95). Sedangkan Ustadz Syamsul Arifin mengusulkan ada tiga kelompok sistem perhitungan dalam penetuan awal bulan qamariyah, yaitu hisab taqriby, hisab haqiqie dan hisab kontemporer. (Fathurrohman, 2013: 7).
Perkembangan dan kemajuan Ilmu Falak ini tidak hanya sebatas pada penentuan awal bulan Qamariyah saja, akan tetapi juga menjamah seluruh aspek astronomis, seperti kalender Masehiyah, jadwal shalat, penentuan arah kiblat, jadwal terjadinya fenomena gerhana, peredaran bintang dan lain-lain. Akan tetapi, dari banyaknya perkembangan Ilmu Falak tersebut, pada makalah ini akan dibahas tentang penentuan awal bulan Qamariyah saja. Dari berbagai pendapat tentang pengklasifikasian metode hisab awal bulan Qamariyah tersebut, penulis mengambil simpulan menjadi tiga metode, yaitu hisab ‘urfi, haqiqi dan kontemporer. Sehingga akan dibahas mengenai bagaimana pengklasifikasian metode perhitungan tersebut.

II.    Pembahasan
A.    Sistem Kalender Qamariyah
Penentuan awal bulan Qamariyah merupakan hal yang penting dan sangat diperlukan bagi umat Islam. Hal ini karena sangat berhubungan dengan amal ibadah yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam. Terutama penentuan awal bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah. Seperti firman Allah Subhanahu wata’ala pada Surat al-Baqarah ayat 189.
يسئلونك عن الأهلة قل هي مواقيت للناس والحج...
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hilal. Katakanlah: hilal itu adalah (penunjuk) tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi pelaksanaan ibadah) haji.”
Sistem kalender Qamariyah didasarkan pada peredaran Bulan mengitari Bumi. Penanda bahwa hari ini telah memasuki bulan baru adalah dengan terlihatnya hilal sesaat setelah Matahari terbenam di ufuk Barat. Bersamaan dengan gerak revolusi Bumi mengelilingi Matahari, Bumi juga dikelilingi oleh satelitnya, yaitu Bulan. Bulan mengelilingi Bumi menurut arah Barat-Timur rata-rata dalam waktu 27,321661 hari (satu bulan sideris) untuk sekali putaran. (Musonnif, 2011: 54).
Sedangkan rata-rata waktu yang diperlukan Bulan untuk mengitari Bumi sehingga berlalu di antara dua ijtima’ (konjungsi) yang berurutan adalah 29,530681 hari atau 29 hari 12 jam 44 menit 10 detik (satu bulan sinodis). (Musonnif, 2011:54).
Berikut ini adalah gambar perjalanan Bulan mengelilingi Bumi dari satu konjungsi ke konjungsi berikutnya, yang sekaligus membedakan satu bulan sideris dengan satu bulan sinodis.

Gambar 1. Periode satu bulan

Dari gambar 1 di atas, diberikan keterangan bahwa Bulan untuk menempuh perjalanan 360° mengitari Bumi perlu waktu sekitar 27 1/3 hari. Sedangkan untuk mencapai konjungsi berikutnya perlu waktu sekitar 29 1/2 hari. Sehingga umur rata-rata satu bulan Qamariyah adalah 29 1/2 hari.
Perjalanan Bulan mengitari Bumi dapat dilihat oleh pengamat di Bumi dengan memperhatikan perbedaan fase Bulan yang berubah dari hari ke hari. Pada awalnya bentuknya kecil menyerupai sabit tipis, kemudian semakin hari semakin besar dan terang mencapai bentuk purnama, kemudian berangsur mengecil kembali seperti semula, sampai dengan tidak terlihat sama sekali. Satu tahun periodenya terdiri dari 12 kali putaran. Siklus inilah yang dijadikan sandaran pada sistem kalender Bulan (Lunar System). Sistem ini yang dijadikan acuan perhitungan kalender dalam Islam, yakni kalender Hijriyah.
Gambar 2. Fase Bulan

Penampakan Bulan dalam bentuk sabit tipis (hilal) beberapa saat setelah terbenam Matahari paska terjadinya ijtima’ ditetapkan sebagai momentum awal dimulainya bulan baru dan berakhirnya bulan yang lama. (Musonnif, 2011:55). Karena waktu yang dibutuhkan antara dua ijtima’ rata-rata sekitar 29 1/2  hari, maka umur bulan dalam dalam sistem kalender Qamariyah terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari untuk menggenapkan sisanya.
Masa satu tahun Hijriyah rata-rata adalah 354 11/30 hari. Karena ada pecahan pada jumlah hari tersebut, maka dalam satu tahun pendek (basitah) berumur 354 hari dan satu tahun panjang (kabisah) berumur 355 hari. Dalam setiap 30 tahun terdapat 11 tahun kabisah. Masa satu tahun Hijriyah dibagi menjadi 12 bulan dengan ketentuan umur tiap bulannya sebagai berikut:
Tabel 1. Umur bulan Hijriyah Tahun Basitah
No
Nama Bulan
Umur
Total
1.
Muharram
30
30
2.
Safar
29
59
3.
Rabi’ul Awwal
30
89
4.
Rabi’uts Tsani
29
118
5.
Jumadil Ula
30
148
6.
Jumadil Akhir
29
177
7.
Rajab
30
207
8.
Sya’ban
29
236
9.
Ramadhan
30
266
10.
Syawwal
29
295
11.
Dzul Qa’dah
30
325
12.
Dzul Hijjah
29
354

Tabel 2. Umur bulan Hijriyah Tahun Kabisah
No
Nama Bulan
Umur
Total
1.
Muharram
30
30
2.
Safar
29
59
3.
Rabi’ul Awwal
30
89
4.
Rabi’uts Tsani
29
118
5.
Jumadil Ula
30
148
6.
Jumadil Akhir
29
177
7.
Rajab
30
207
8.
Sya’ban
29
236
9.
Ramadhan
30
266
10.
Syawwal
29
295
11.
Dzul Qa’dah
30
325
12.
Dzul Hijjah
30
355

Tahun-tahun kabisah dalam siklus 30 tahunan itu berada pada uratan ke-2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26, dan 29 seperti urutan huruf A pada kalimat SALMAN ALI ANTAR KAPAL DARI ARABIA, atau juga dengan menandai syair berikut.
كف الخليل كفه ديانه * عن كل خل حبه فصانه
“Kekasih yang sejati itu menjaga dan memelihara agamanya,
Dan bukan orang yang menjaga (memenuhi) kesenangannya.”
Tiap huruf yang bertitik menunjukkan tahun kabisah dan huruf yang tidak bertitik menunjukkan tahun basitah. (Murtadho, 2008: 108)

B.     Pengklafikasian Metode Hisab Awal Bulan Qamariyah
Sistem kalender Hijriyah dimulai sejak tahu 17 H yaitu pada masa kekhalifahan Umar Bin Khattab radhiyallahu ‘anhu setelah pemerintahan beliau berlangsung 2,5 tahun. Yaitu sejak terjadinya persoalan sebuah dokumen yang tercatat pada bulan Sya’ban. Terjadi pertanyaan: bulan Sya’ban yang mana? Bulan Sya’ban pada tahun ini atau pada tahun itu? Pertanyaan itu tidak terjawab. (Dirjen Bimas Islam, 2010: 107). Oleh karena itulah Umar memanggil beberapa orang sahabat terkemuka untuk membahas persoalan tersebut serta mencari jalan keluarnya dengan menciptakan anggaran tentang penentuan tarikh atau kalender.
Dari berbagai pendapat tentang pengklasifikasian metode hisab awal bulan Hijriyah, diambil tiga metode, yaitu hisab ‘urfi, haqiqi dan kontemporer.
Pertama, hisab ‘urfi. Hisab ‘urfi adalah sistem perhitungan kalender yang disandarkan pada peredaran rata-rata Bulan mengelilingi Bumi dan ditetapkan secara konvensional. (Azhari, 2012: 79). Bilangan hari pada tiap-tiap bulan berjumlah tetap kecuali bulan tertentu pada tahun-tahun tertentu jumlahnya lebih panjang satu hari. Umur tiap bulannya adalah seperti yang tertera pada tabel 1 dan 2 di atas. Demikian juga dengan jumlah hari dalam satu tahunnya. Jika tahun pendek atau basitah, umur bulan ke-12 (Dzulhijjah) adalah 29 hari, sehingga jumlah hari dalam setahun adalah 354 hari. Sedangkan jika tahun panjang atau kabisah, umur bulan ke-12 adalah 30 hari, sehingga jumlah hari dalam setahun adalah 355 hari.
Metode hisab ini sangat mudah, karena umur bulan hanya berselang-seling dari 29 ke 30 hari. Jika bulan ganjil, maka umurnya 30 hari dan jika bulan genap, maka umurnya 29 hari. Tahun-tahun kabisah dalam siklus 30 tahunan itu berada pada uratan ke-2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26, dan 29 seperti urutan huruf A pada kalimat SALMAN ALI ANTAR KAPAL DARI ARABIA.
Akan tetapi, metode hisab ini tidak dapat dijadikan pedoman dalam peribadatan yang ada hubungannya dengan kalender Bulan. Misalnya penetuan awal puasa Ramadhan, penentuan Hari Raya Idul Fitri, dan Hari Raya Idul Adha/Haji. Karena menurut sistem ini umur bulan Sya’ban selalu tetap 29 hari dan bulan Ramadhan selalu tetap 30 hari. Padahal, senyatanya kadang umur bulan Sya’ban adalah 29 hari dan kadang digenapkan 30 hari. Apalagi ada syarat dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai awal puasa dan akhir puasa (ifthar), yaitu hadis berikut:
وعنْ ابنِ عُمُر رضي الله عنهما قال: سمعت رسول الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم يقول: "إذا رأيتموهُ فصُوموا وإذا رأَيتموهُ فأَفطروا، فإن غُمَّ عليكمْ فاقْدرُوا له" متّفقٌ عليه، ولمسلمٌ: "فإن أُغمَى عليكم فاقُدُرُوا له ثلاثين" وللبخاري "فأَكْملوا العِدة ثلاثين".
Artinya: “Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: aku mendengar Rasulallah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Berpuasalah kalian ketika melihat hilal dan berbukalah ketika melihat hilal, namun jika hilal tertutup (tidak jelas) atas kalian tentukanlah untuknya.” Muttafaq ‘alaih. Pada riwayat Muslim: “jika hilal tertutup (tidak jelas) atas kalian tentukanlah untuknya tiga puluh hari”. Pada riwayat Bukhori: “Sempurnakanlah (jumlah Sya’ban) menjadi tiga puluh hari.” (Shon’any, 1164H: 2)

Gambar 3. Aktifitas Rukyat Hilal

Jadi, metode hisab urfi ini tidak bisa digunakan sesuai kaidah. Karena penentuan awal bulan berdasarkan terlihatnya hilal pada tanggal 29 beberapa saat setelah Matahari terbenam. Akan tetapi, tidak semua bulan mesti ditentukan dengan tampaknya hilal di ufuk Barat. Hanya bulan-bulan tertentu saja yang mengharuskan observasi atau rukyah hilal. Berikut ini adalah contoh hilal Safar 1434 H yang dapat dirukyah oleh Tim Rukyah dari CASA Assalam Surakarta.
Gambar 4. Hilal Safar 1434 H

Kedua, hisab haqiqi. Hisab haqiqi adalah penentuan awal bulan Qamariyah dengan perhitungan yang didasarkan kepada peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya. (Dirjen Bimas Islam, 2010: 156).
Pada mulanya, teori geosentrik mempengaruhi paradigma astronomi sampai pada abad ke-10 Masehi atau ke-4 Hijriyah, yakni tepat setelah munculnya wacana heliosentrik yang dikemukakan oleh Abu Raihan al-Barumi, kemudian dibangun dan dipopulerkan oleh Nicolas Copernicus. (Murtadho, 2008: 20). Sehingga, meskipun sama-sama berdasarkan pengamatan terhadapan peredaran Bulan, perhitungan tentang terjadinya ijtima’, ghurub dan ketinggian hilal berbeda-beda berdasarkan tingkat ketelitian pengamat. Apalagi tempat pengamat yang berbeda dan ketinggian tempat pengamatan juga mempengaruhi waktu ghurub dan ketinggian hilal yang bisa dilihat.
Berikut ini adalah gambar posisi Bumi berdasar sistem Geosentris dan sistem Heliosentris. Keduanya sangat signifikan dalam hal cara Matahari, Planet dan Bulan ketika bergerak.
Gambar 5. Posisi Bumi pada Sistem Geosentrik dan Heliosentrik

Meskipun wacana Heliosentris telah muncul di abad 10 M, akan tetapi masih banyak juga ahli falak yang menggunakan asumsi geosentrik dalam proses penghitungannya. Sebagaimana pada kitab Sulam al-Nayyirain karya Muhammad Manshur al-Batawi, dan beberapa kitab lain  yang semisal.
Terdapat dua tonggak sejarah sejarah ilmu Falak yang sangat berpengaruh di Indonesia, yaitu Jadwal Ulughbeik yang merupakan karya dan temuan Ulugh Beik, dan Almanac Nautica karya Simon New Comb. Di dalamnya terdapat jadwal data astronomi Matahari, Bumi dan Bulan. Sebagaimana hasil Seminar Nasional Sehari Ilmu Falak pada tanggal 27 April 1992 di Tugu Bogor Jawa Barat, pembagian sistem hisab yang berkembang di Indonesia didasarkan pada tipologinya, yakni data atau jadwal yang digunakan, yaitu hisab haqiqi taqribi, hisab haqiqi tahqiqi dan hisab haqiqi tadqiqi (kontemporer). (Murtadho, 2008: 31).
Hisab haqiqi taqribi mendasarkan perhitungannya pada daftar ephemeris yang disusun oleh Ulugh Beik yang kemudian dipertajam dengan beberapa koreksi yang sederhana. Dalam menghitung ketinggian Bulan saat terbenam Matahari sesudah konjungsi, sistem ini hanya membagi dua selisih waktu dari saat konjungsi dan saat terbenam Matahari. Sehingga produk hitungannya adalah kira-kira atau bersifat kurang-lebih. Selain kitab Sulam al-Nayyarain, kitab-kitab lain yang menggunakan sistem ini adalah Fath al-Rauf al-Manan karya Abu Hamdan Abdul Jalil (Kudus), Al-Qawa`id al-Falakiyyah karya Abd. al-Fattah al-Tukhi (Mesir). (Musonnif, 2011: 27-28).
Hisab haqiqi tahqiqi hampir sama dengan sistem taqribi, hanya saja unsur-unsur koreksinya lebih banyak lagi. Sistem ini juga telah menggunakan rumusan Trigonometri Bola (Spherical Trygonometry), sehingga hasil perhitungannya lebih mendekati akurat. Kitab-kitab yang menggunakan sistem ini adalah kitab al-Khulashah al-Waffiyyah karya Zubair Umar al-Jailani (Salatiga), Hisab Hisab hakiki karya KRT Wardan Diponingrat (Yogyakarta) dan Mathla’ al-Sa’id karya Husaein Zaid (Mesir). (Musonnif, 2011: 28).
Ketiga, hisab kontemporer. Atau dapat juga disebut hisab haqiqi tadqiqi. Di samping menggunakan rumus Trigonometri Bola dan koreksi-koreksinya lebih detail, mengacu pada data kontemporer, yaitu data yang selalu dikoreksi dengan temuan-temuan terbaru. Sistem ini dikembangkan oleh lembaga-lembaga astronomi seperti Planetarium, Badan Meteorelogi dan Geofisika, dan Obervatorium Bosscha. Data astronomi kontemporer yang dijadikan pedoman adalah buku New Comb, Jean Meeus, Almanac Nautica dan Ephemeris Hisab Rukyat Kemenag RI. (Musonnif, 2011: 28).
Beberapa yang menjadi koreksi perhitungan adalah ketinggian ufuk (DIP), refraksi, horizontal parallaks, semi diameter Matahari, semi diameter Bulan dan data-data lainnya. Sehingga waktu terjadinya ghurub antara hitungan dengan kejadian yang sebenarnya sangat dekat atau akurat. Demikian juga dengan ketinggian hilal yang sebenarnya dengan yang tampak dari lokasi pengamatan.
Ketiga metode sisitem hisab di atas secara riil dipelajari dan dipakai dalam kehidupan sehari-hari, meskipun dengan hasil perhitungan yang berbeda. Bahkan terkadang terdapat perbedaan yang mencolok yang kadang sulit perbedaan tersebut untuk ditoleransi. Namun demikan, karena objek yang diamati adalah benda langit yang sama, maka yang menjadi juri pemutusnya tentulah bukti empirik.
Dewasa ini, bukan hanya hitungan saja yang berkembang, tetapi juga sudah merambah ke perkembangan pemrograman yang semakin mempermudah masyarakat. Misalnya program Mawaaqit 2001, Accurate Times 5.3, Stellarium dan lain-lain. Berikut adalah contoh gambar prediksi visibilitas hilal yang menggunakan program Accurate Times 5.3 pada Ramadhan 1435H.

Gambar 6. Prediksi Visibilitas Hilal

III. Penutup
Demikianlah pembahasan mengenai pengklasifikasian metode hisab awal bulan Qamariyah. Disimpulkan, ada tiga jenis metode hisab awal bulan Qamariyah, yaitu metode hisab ‘urfi, haqiqi dan kontemporer. Ketiganya tetap dipakai oleh masyarakat sampai dengan sekarang, meskipun ketiganya kadang ada perbedaan yang cukup signifikan. Terutama bagi kalangan umat Islam di Indonesia.
1.      Hisab ‘urfi adalah sistem perhitungan kalender yang disandarkan pada peredaran rata-rata Bulan mengelilingi Bumi dan ditetapkan secara konvensional. Cirinya adalah umur bulan hanya berselang-seling dari 29 ke 30 hari. Jika bulan ganjil, maka umurnya 30 hari dan jika bulan genap, maka umurnya 29 hari. Tahun-tahun kabisah dalam siklus 30 tahunan itu berada pada uratan ke-2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26, dan 29 seperti urutan huruf A pada kalimat SALMAN ALI ANTAR KAPAL DARI ARABIA.
2.      Hisab haqiqi adalah penentuan awal bulan Qamariyah dengan perhitungan yang didasarkan kepada peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya. Cirinya adalah sistem ini adanya perhitungan tentang terjadinya ijtima’, ghurub dan ketinggian hilal. Hasil perhitungannya bisa jadi berbeda-beda berdasarkan tingkat ketelitian pengamat.
3.      Hisab kontemporer atau dapat juga disebut hisab haqiqi tadqiqi. Di samping menggunakan rumus Trigonometri Bola dan koreksi-koreksinya lebih detail, mengacu pada data kontemporer, yaitu data yang selalu dikoreksi dengan temuan-temuan terbaru.
Dari ketiga jenis metode hisab ini, memunculkan adanya selisih antar hitungan. Namun demikian, karena objek yang diamati adalah benda langit yang sama, maka yang menjadi juri pemutusnya tentulah bukti empirik.
Sebagai saran, perlu kita pelajari ketiga jenis metode hisab ini. Untuk pemilihan pemakaiannya disesuaikan dengan kondisi. Karena ketiganya penting dan sebagai khazanah keilmuan dalam perkembangan ilmu Falak. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan akan munculnya metode hisab yang lebih mutakhir yang dapat menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian lebih lanjut, barangkali masih ada celah yang bisa untuk diteliti, misalnya perhitungan waktu munculnya hilal serta ketinggian hilal tersebut dengan pengamat di atas kapal yang sedang malaju di laut.




DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al-Karim wa Tarjamah Ma’anihu ila al-Lughoh al-Indunisiyah. 2009. Jakarta: AMCF Yayasan Muslim Asia.
As-Sa’di, Al-Imam al-‘Allamah ‘Abdurrohman bin Nashir. 2011. Fikih Puasa Lengkap (Judul Asli: Minhaju as-Salikin Watawadhih al-Fiqh fi ad-Din). Pensyarah: Abu ‘Abdillah Muhammad as-Sarbini al-Makassari. Yohyakarta: Oase Media.
Azhari, Susiknan. 2012. Ensiklopedi Hisab Rukyat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam. 2010. Almanak Hisab Rukyat. Jakarta: Kementrian Agama RI.
Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Direktorat. 2012. Ephemeris Hisab Rukyat 2013. Jakarta: Kementrian Agama RI.
Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Direktorat. 2013. Ephemeris Hisab Rukyat 2014. Jakarta: Kementrian Agama RI.
Fathurrohman. 2013. Cara Mudah Belajar Ilmu Falak. Jombang: Muhipress Jombang
Khazin, Muhyiddin. 2009. 99 Tanya Jawab Masalah Hisab Rukyat. Yogyakarta: Ramadhan Press.
Murtadho. 2008. Ilmu Falak Praktis. Malang: UIN-Malang Press.
Musonnif, Ahmad. 2011. Ilmu Falak: Metode Hisab Awal Waktu Shalat, Arah Kiblat, Hisab Urfi dan Hisab Hakiki Awal Bulan. Yogyakarta: Penerbit Teras.
Shon’any. 1164H. Subulu as-Salam Syarh Bulugh al-Marom, Kitab ash-Shiyam.
Smart, W.M. 1986. Textbook on Spherical Astronomy. Cambridge: Cambridge University Press.



[1] Makalah ini disampaikan pada perkuliahan untuk mata kuliah Hisab Kontemporer, pada Hari Senin tanggal 28 April 2014.
[2] Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu Falak IAIN Walisongo Semarang.
[3] Zij (Ar): “Kata” yang berasal dari bahasa Sansekerta, yang masuk ke bahasa Arab dan Persia melalui bahasa Pahlavi, berarti tabel Astronomi. Tapi sebenarnya kebanyakan zij tak hanya memuat tabel, juga pembahasan teori Astronomi, bab tentang kronologi, penjelasan luas hal Astronomi matematis dan subjek lain yang berhubungan. Zij yang merupakan satu bagian penting literature ilmu Falak, biasanya dinamakan menurut penyusunnya atau penunjang atau kota, tempat ia disusun, walaupun sering pula digunakan cara penamaan yang lain. (Azhari, Susiknan. 2012. Ensiklopedi Hisab Rukyat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal: 246)
[4] Auj (Ar): Titik terjauh pada peredaran (orbit) benda langit dari benda langit yang diedarinya. Dalam bahasa Latin disebut Aphelium atau dalam bahasa Inggris disebut Apogee atau Aphelion. (Azhari, Susiknan. 2012. Ensiklopedi Hisab Rukyat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal: 37)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar