Selasa, 26 Mei 2015

HISTORISITAS HISAB I (Kaleidoskop Aplikasi Ilmu Falak di Masa Nabi, Sahabat dan Tabi’in)

HISTORISITAS HISAB I
(Kaleidoskop Aplikasi Ilmu Falak di Masa Nabi, Sahabat dan Tabi’in)
Oleh : Muthi’ah Hijriyati, M.Th.I

A.    Pendahuluan
Membincangkan keilmuan Hisab atau Falak, tentu tidak bisa lepas dari konteks kesejarahan dan perkembangannya dari masa ke masa. Karena bagaimanapun juga, sejarah peradaban manusia tentu tidak lepas dari sejarah keilmuannya. Hingga dalam term perkembangan astronomi di dunia, setidaknya terdapat tiga periode besar yang urgent dan tidak bisa diabaikan, yakni astronomi Yunani kuno yang banyak memberi inspirasi pada masa Golden Age Islam, masa Islam hingga selanjutnya berpindah ke Barat.
Wajar jika keilmuan Falak dan Hisab sempat berkembang pesat di dunia Timur, mengingat stimulasi dan dorongan untuk “membaca” langit dan alam banyak ditemukan dalam al-Quran yang notabene kitab petunjuk beragama. Hal ini didukung pula dengan adanya taklif ibadah bagi umat muslim yang mau tidak mau sangat terikat erat dengan petunjuk waktu seperti shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya.
Maka mengkaji perkembangan keilmuan ini, layak kiranya pula untuk mengupas sisi historis dan rekam jejak perkembangannya di masa awal munculnya Islam, yakni di masa nabi, sahabat dan tabi’in yang relatif penuh dinamika intrik politik, sosial, keagamaan dan sebagainya. Hal ini penting mengingat di masa inilah proses turun dan dialog umat dengan sumber hukum masih terbuka. Namun dalam makalah ini, pemakalah tidak membahas detail terkait pro-kontra pemaknaan hisab dulu dan sekarang. Makalah ini lebih berfokus pada perkembangan Ilmu Hisab secara umum mengacu pada teks-teks keagamaan berdasar nalar sejarah. Semoga bermanfaat..

B.     Interpretasi Hisab
Hisab berasal dari bahasa Arab hisban, hisa>ban atau hisa>batan yang bermakna menghitung( Ibnu Manz}u>r, t.t, 865). Kata ini cukup populer dalam bahasa Arab dan memiliki beragam bentuk dan makna. Jika diartikan menghitung, kata ini berakar dari fi’il mad}i hasaba yahsubu. Berbeda jika dari bentuk hasiba yahsabu, bentukan kata ini diartikan sebagai menduga, menyangka atau mengira ( Ahmad Warson Munawwir, 261).
Dengan segala derivasinya, kata ini disebutkan dalam al-Quran sebanyak  109 kali yang memiliki beragam makna pula (Fuad Abdul Ba>qi, 200- 201). Namun dari sekian bentuk, kata hisab yang berfokus pada makna menghitung waktu tertulis dalam bentuk masdar saja, sebagaimana ayat:
uqèd Ï%©!$# Ÿ@yèy_ š[ôJ¤±9$# [ä!$uÅÊ tyJs)ø9$#ur #YqçR ¼çnu£s%ur tAÎ$oYtB (#qßJn=÷ètFÏ9 yŠytã tûüÏZÅb¡9$# z>$|¡Åsø9$#ur 4 $tB t,n=y{ ª!$# šÏ9ºsŒ žwÎ) Èd,ysø9$$Î/ 4 ã@Å_ÁxÿムÏM»tƒFy$# 5Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôètƒ ÇÎÈ  
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak.  Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui”.

Sedang penggunaan dalam bentuk fi’il dengan fokus pada arti ini bisa terlihat pada hadis, sebagaimana contoh:
عن ابن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلي الله عليه وسلم أنه قال إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب الشهر هكذا وهكذا يعني مرة تسعة وعشرين ومرة ثلاثين
Selanjutnya dengan berfokus pada makna diatas, hisab sering disinonimkan dengan kata falak, miqa>t, ras}du, haiah hingga asronomi (Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyyah, 2009, 3-4). Adapun secara istilah, kata hisab sendiri memiliki beragam definisi pula, diantaranya menurut Muhyidin Khazin (2011: 1) yang memaknai hisab atau falak sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari lintasan benda-benda langit –khususnya Bumi, Bulan, dan Matahari- pada orbitnya masing-masing dengan tujuan untuk diketahui posisi benda langit antara satu dengan lainnya, agar dapat diketahui waktu-waktu di permukaan bumi.
 Sedang menurut Ahmad Izzuddin (2012: 1) ilmu hisab didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang lintasan benda-benda langit, diantaranya Bumi, Bulan, dan Matahari. Benda-benda Langit tersebut berjalan sesuai orbitnya masing-masing. Dan dengan orbit tersebut dapat digunakan untuk mengetahui posisi benda Langit antara satu dengan lainnya. Sedang makna ini disinonimkan dengan hisab adalah karena kegiatan yang paling menonjol dari ilmu adalah dengan melakukan perhitungan-perhitungan. Namun meski demikian, Ahmad Izzuddin tidak sepenuhnya sepakat dengan penggunaan istilah ilmu hisab, karena dalam keilmuan ini cara kerja ilmiahnya tidak semata-mata dengan hisab (perhitungan), namun juga dengan rukyah (observasi). Hingga menurut beliau lebih tepat jika dikatakan ilmu hisab rukyat (2012:1).
Adapun pokok bahasan dalam ilmu ini adalah menentukan waktu dan posisi benda langit yang secara langsung ataupun tidak memiliki implikasi terhadap pelaksanaan ibadah yang terikat dengan waktu. Hingga obyek kajian ilmu ini adalah berkisar pada penentuan arah kiblat, awal waktu shalat, awal bulan (yakni bulan-bulan hijriyah khususnya ramadhan, syawwal dan dhulhijjah) serta penentuan gerhana matahari dan bulan (Ahmad Izzuddin, 2012:3).
Sedangkan perangkat keilmuan, pendekatan, tata cara dan metode yang digunakan tentu saja tidak stagnan dan selalu berkembang dari masa ke masa sesuai perkembangan keilmuan dan teknologi manusia. Maka wajar jika hisab yang kita pahami dan praktekkan pada saat ini berbeda dengan karya ulama’ terdahulu dalam kitab klasik, terlebih dengan masa awal kelahiran Islam di kurun abad ke-7 hingga 8 Masehi.

C.    Historisitas dan Perkembangan Hisab
Kemajuan peradaban suatu bangsa atau wilayah pada dasarnya memang sangat dipengaruhi oleh kemajuan pengetahuan yang dicapai di zamannya. Begitu pula dalam ranah kajian ilmu hisab atau falak yang pernah menjadi bagian dari golden age kebudayaan dan peradaban Islam. Namun tidak bisa dipungkiri kalau perkembangan keilmuan selalu bersifat melengkapi dan bahkan menjadi antithesis dari penemuan dari manusia di zaman atau peradaban sebelumnya.
 Tak terkecuali dalam keilmuan ini, Dr. Yahya Syami sebagaimana dikutip oleh Susiknan Azhari membagi perkembangan ilmu falak dalam dua fase, yakni fase Pra Islam dan fase Islam (2007: 6). Fase pra-Islam dimulai dari bangsa Babilonia yang banyak menggunakan petunjuk gerakan benda langit sebagai pedoman atau ramalan kehidupan mereka. Meski demikian, bangsa ini sudah mampu mengetahui kapan terjadinya gerhana dengan petunjuk rasi bintang. Dalam bentuk sederhana, mereka pun sudah  menciptakan tabel-tabel kalender khusus untuk pergantian musim, waktu, bulan, gerhana dan pemetaan langit. Masyarakat Babilonia juga yang merumuskan penetapan waktu dalam satu hari sebanyak 24 jam. Dimana satu jam adalah 60 Menit dan satu menit adalah 60 detik, mereka menyebutnya dengan sebutan hukum Sittiny yaitu hukum per-enam puluh. Karena mereka menganggap bahwa keadaan bumi adalah bulat dan berbentuk lingkaran 360 derajat dan pembagiannya habis dengan 60 (Muhi>t al Ard{). Selain itu, mereka juga telah menetapkan peredaran bulan mengelilingi bumi membutuhkan waktu 29. 530594 hari (Muhammad Ba>sil al-T{a>i, 2007, 40).
Setelah Babilonia, terdapat bangsa Mesir Kuno yang mampu menangkap fenomena alam berupa pasang surutnya sungai Nil yang ditandai dengan munculnya bintang Sirius di sebelkah selatan setiap tanggal 19 tamuz atau juli (Muhammad Ba>sil al-T{a>i, 2007, 43). Selain itu terdapat pula bangsa Mesopotamia, Cina, India, Perancis serta Yunani yang memunculkan teori dan warna baru dalam perkembangan astronomi manusia.
Dari fase ini, agaknya Yunani yang banyak berpengaruh dalam perkembangan astronomi dan keilmuan falak (hisab) Arab. Saat Masa kejayaan Yunani berakhir, pusat peradaban dan perkembangan ilmu dunia memang berpusat pada dunia Timur yang notabene di bawah kekuasaan Islam. Masa ini tergolong cukup lama dibanding peradaban lain yakni selama kurang lebih 14 abad. Fakta sejarah menyatakan, masa Golden age dunia Islam memang berbanding terbalik dengan dunia Barat yang berada dalam masa kegelapan (dalam keilmuan Filsafat biasa dikatakan sebagai fase skolastik) dan berada di bawah kontrol gereja. Berfokus pada perkembangan falak di dunia Islam, Donald Routledge sebagaimana dikutip Anton Ramdan (2009: 30-43) membaginya dalam 4 periode secara spesifik, yakni:
1.      Periode 700 M – 825 M
Yakni masa penerjemahan buku-buku astronomi dari India dan Yunani seperti Zij al-Sindhind, Almagest karya Ptolemy dan penulisan buku astronomi Zij ala Sinin al-Arab oleh Muhammad al-Fazari pada 790 M.
2.      Periode 825 M – 1025 M
Yakni di masa pemerintahan Abbasiyyah dengan adanya Baitul Hikmah yang menjadi wadah lahir dan berkembangnya pengetahuan dan peradaban Islam. Dari masa ini muncullah nama al-Khawarizmi>, al-Fargha>ni>, Muhammad Ibnu Musa hingga matematikawan dan astronom Abu Wafa> Muhammad ibnu Muhammad al-Buzjani.
3.      Periode 1025 M – 1450 M
Di masa ini Islam memiliki Ibnu al-Haitham yang mempelopori ilmu astronomi berdasar penelitian dengan teleskop, al-Biru>ni dengan magnum opus nya kitab al-Qanu>n al-Mas’u>di, Ulugh Beg dan sebagainya.
4.      Periode 1450 M – 1900 M
Masa ini adalah masa kemunduran keilmuan falak dan astronomi Islam yang ironisnya bersamaan dengan menggeliatnya dunia keilmuan di Barat pasca masa Renaisense. Di masa ini tidak banyak penemuan astronomi yang berarti dan penting selain pendirian observatorium astronomi di Istambul oleh Taqi al-Din bin Ma’ruf.
Menariknya, dari pembagian fase periode ini, tidak banyak ditemukan literatur dan referensi yang menjelaskan detail terkait perkembangan keilmuan ini di kurun abad awal hijriah. Padahal fase ini adalah masa kehidupan nabi Muhammad dan sahabat atau tabi’in yang otomatis adalah  masa ayat-ayat al-Quran dan hadis masih berproses turun dan berdialektika. Artinya, saat itu umat Islam mengalami fase perpindahan yang cukup signifikan, dari keyakinan nenek moyang menuju agama samawi terakhir, dari aktifitas sosial dan keagamaan warisan turun temurun menuju pola interaksi yang digariskan dalam al-Quran, khususnya taklif terkait ibadah tertentu yang sangat terikat dengan waktu dan otomatis terkait dengan keilmuan falak dan hisab.
1.     Hisab di Masa Nabi Muhammad SAW
Tidak bisa dipungkiri bahwa astronomi Yunani dan Romawi memberi pengaruh yang cukup besar bagi bangsa Arab, mengingat bangsa ini cenderung nomaden dan bepergian ke berbagai tempat untuk mendapatkan air dan menjalankan aktifitas perdagangan hingga ke Syam dan Yaman. Pengetahuan terkait alam juga dibutuhkan untuk mengetahui waktu musim panas dan dingin, arah mata angin dan sebagainya. Oleh karena itu, wajar jika sebelum datangnya Islam pun masyarakat Arab telah mengenal ilmu ini sebelumnya. Bangsa Arab membagi daerah peredaran bulan menjadi 28 titik edar dan setiap harinya bulan berada di titik edarnya masing-masing. (Muhammad Ba>sil al-T{a>i, 2007, 52).
Hanya saja, mereka belum memiliki acuan hitungan terkait angka tahun. Masyarakat Arab bisa mengetahui tanggal dan bulan, tapi tidak dengan tahunnya. Biasanya, acuan tahun yang mereka gunakan adalah peristiwa terbesar yang terjadi ketika itu. Dalam referensi sejarah biasanya ditemukan istilah tahun Gajah, karena pada saat itu terjadi peristiwa besar yakni serangan pasukan gajah dari Yaman oleh raja Abrahah. Tahun Fijar, karena ketika itu terjadi perang Fijar. Tahun renovasi Ka’bah, karena ketika itu Ka’bah rusak akibat banjir dan dibangun ulang. Tahun kesedihan atau ‘Am al-Huzni yang merupakan masa terberat nabi saat ditinggal wafat istrinya Khadijah dan pamannya Abi T}alib, dan sebagainya.
Selanjutnya, bangsa ini juga membagi tahun dalam jenis Shamsiyah dan Qamariyyah, namun untuk agar hitungan keduanya sama maka setiap tahun kabisat (tahun panjang) dari Qamariyyah terdiri dari 13 bulan -dikenal sebagai bulan sisipan atau nasi>’- (Muhammad Ba>sil al-T{a>i, 2007, 52).
Bangsa Arab sepakat bahwa tanggal satu dimulai dengan kemunculan hilal dan memberi nama bulan-bulan seperti saat ini. Mereka juga mengenal bulan-bulan suci yang diharamkan untuk berperang (yakni bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab). Namun karena alasan kepentingan dan keuntungan kelompok dan individual maka kesucian bulan digeser pada bulan selanjutnya (Kementerian Agama RI, 2012, 111-112), ini sebagaimana dalam QS al-Taubah: 37 sebagai berikut:
$yJ¯RÎ) âäûÓŤ¨Y9$# ×oyŠ$tƒÎ Îû ̍øÿà6ø9$# ( @ŸÒムÏmÎ/ šúïÏ%©!$# (#rãxÿx. ¼çmtRq=Ïtä $YB%tæ ¼çmtRqãBÌhptäur $YB%tæ (#qä«ÏÛ#uqãÏj9 no£Ïã $tB tP§ym ª!$# (#q=Åsãsù $tB tP§ym ª!$# 4 šÆÎiƒã óOßgs9 âäþqß óOÎgÎ=»yJôãr& 3 ª!$#ur Ÿw Ïôgtƒ tPöqs)ø9$# šúï͍Ïÿ»x6ø9$# ÇÌÐÈ   
“Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan Haram itu adalah menambah kekafiran. disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, Maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (syaitan) menjadikan mereka memandang perbuatan mereka yang buruk itu. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”.

Namun karena kaitan yang erat dengan persoalan ibadah pula agaknya menjadikan “manupilasi” perhitungan bulan ini secara tegas diatur dan dilarang dalam ranah teologis, sebagaimana dalam ayat:
¨bÎ) no£Ïã Íqåk9$# yZÏã «!$# $oYøO$# uŽ|³tã #\öky­ Îû É=»tFÅ2 «!$# tPöqtƒ t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# šßöF{$#ur !$pk÷]ÏB îpyèt/ör& ×Pããm 4 šÏ9ºsŒ ßûïÏe$!$# ãNÍhŠs)ø9$# 4 Ÿxsù (#qßJÎ=ôàs? £`ÍkŽÏù öNà6|¡àÿRr& 4 (#qè=ÏG»s%ur šúüÅ2ÎŽô³ßJø9$# Zp©ù!%x. $yJŸ2 öNä3tRqè=ÏG»s)ムZp©ù!$Ÿ2 4 (#þqßJn=÷æ$#ur ¨br& ©!$# yìtB tûüÉ)­GãKø9$# ÇÌÏÈ  
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri[kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa”.

Jika dicermati mendalam, kedua ayat diatas adalah berjenis Madaniyyah yang berarti aturan ini berlaku setelah beberapa saat Islam turun. Artinya, di awal Islam di periode Makkah, praktek “manipulasi” ini belum secara tegas dilarang. Haji dan shalat pun belum disyariahkan selain mengikuti tradisi dan ajaran sejak nabi Ibrahim as. Mengacu pada pemaknaan Makkiyah, hal ini wajar mengingat stressing da’wah Islam di masa Makkah adalah pada penyadaran aqidah umat, penguatan keimanan serta pembentukan akhlak karimah dan pranata sosial yang sederhana.
Berdasar catatan sejarah, shalat baru diwajibkan pada 16 bulan sebelum nabi hijrah ke Madinah pada peristiwa Isra’ Mi’raj (Abdul Hasan Ali al-Nadwi, 2012, 159). Sedangkan puasa Ramadhan sebagai ibadah wajib bagi umat Islam diwajibkan pada tahun kedua Hijriah. Adapun aturan dan syariah lain yang terikat waktu sebagaimana hukum ‘iddah juga baru diturunkan di periode Madinah. Ini menegaskan bahwa ibadah dan kewajiban keagamaan yang menuntut penguasaan dan kemahiran “membaca” langit baru baru hadir sekitar di paruh akhir masa kenabian.
Saat itu, bangsa Arab –khususnya umat Islam- di satu sisi memang terkenal dengan kelebihan kecerdasan dalam menghafal, namun di sisi lain tergolong kurang dalam kecakapan membaca, menulis dan berhitung. Kesimpulan ini didasari hadis nabi Muhammad:
عن ابن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلي الله عليه وسلم أنه قال إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب الشهر هكذا وهكذا يعني مرة تسعة وعشرين ومرة ثلاثين[1]
“Dari Ibnu ‘Umar ra dari nabi Muhammad saw (diriwayatkan) bahwa beliau bersabda: Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi, kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian, maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari”.

Ibnu Hajar  menyatakan bahwa tidak  bisa menulis dan berhitung dalam teks hadis ini dimaknai sebagai secara umum, artinya masih terdapat sahabat yang mengenal baca tulis meski jarang. Selanjutnya hisab disini dimaknai pula sebagai hisab bintang-bintang dan peredarannya. Hingga nabi mengaitkan hukum puasa dan lainnya dengan rukyah untuk menghindarkan umat dari kesulitan dalam melakukan hisab peredaran bintang-bintang tersebut(T.t: 127). Hal yang layak diamati dari teks ini adalah bahwa nabi Muhammad sendiri sudah menyadari bahwa perhitungan akan peredaran bintang dan benda angkasa lainnya adalah bukan hal yang mustahil, meski secara pengetahuan umat Islam belum mencapai fase tersebut.
Hal lain yang perlu dicatat adalah bahwa di tahun 2 Hijriyah pula terjadi perang Badar yang menuai hasil kemenangan bagi umat Islam. Dari sekian tawanan perang, tebusan yang diinginkan umat Islam tidak selalu berupa harta benda, namun juga dengan mengajarkan membaca dan menulis pada anak-anak kaum muslim, diantara sahabat yang belajar dengan cara ini adalah Zaid bin Thabit (Abdul Hasan Ali al-Nadwi, 2012, 263). Dan dikemudian hari, Zaid dikenal karena kontribusinya yang besar dalam pembukuan al-Quran. Ini mengindikasikan bahwa secara bertahap pada dasarnya nabi membuka jalan bagi umat Islam untuk mampu menguasai baca tulis sebagai step awal untuk membuka cakrawala pengetahuan dan peradaban umat Islam.
Selain itu, Ali bin Abi> T{alib pun dikenal sebagai sahabat yang cerdas dan menguasai beragam keilmuan. Diantara bukti keahlian matematika Ali adalah kisah saat seorang pendeta yang melakukan test case terhadap Ali dengan menanyakan bilangan yang habis dibagi angka satu hingga sepuluh. Ali tidak lantas memberi jawaban, namun meminta pendeta Yahudi tersebut untuk mengkalikan jumlah hari dalam sebulan dengan jumlah bulan dalam setahun serta jumlah hari dalam seminggu. Dari 30 x 12 x 7 diperoleh angka 2520 yang merupakan bilangan terkecil yang bisa dibagi angka 1 hingga 10 (Husein Heriyanto, 2011, 106). Dalam istilah aritmatika saat ini, hal tersebut dipahami sebagai KPK.
Hal yang menarik bukan pada ketepatan jawaban Ali, namun pada kecerdasannya dalam mengilustrasikan jawaban dengan cara yang relatif mudah dipahami dan menghubungkannya dengan konsep ruang dan waktu yang digunakan manusia sehari-hari. Jawaban ini memicu analisis bahwa Ali memaknai bahwa rumusan matematika merupakan dunia yang tak terpisahkan dari dunia nyata, Bahwa bisa jadi menurut Ali angka-angka itu berkorelasi dengan fenomena kosmologis atau justru fenomena alam raya memiliki rumusan matematis yang serasi (Husein Heriyanto, 2011, 107).
Dari sini dapat dikatakan, bahwa secara sederhana keilmuan Falak juga dipraktekkan nabi dan sahabatnya. Hanya saja di masa ini, penentuan awal waktu shalat atau awal bulan yang berimplikasi langsung pada banyak ibadah hanya melalui observasi (rukyah) dan melihat langit. Tidak dengan pengamatan mendalam dan hitungan matematis. Jika pun ada sahabat yang mampu membaca, menulis hingga melakukan perhitungan maka itu sangat terbatas dan tidak dikuasai secara umum.
2.     Hisab di Masa Sahabat
Mengacu pada definisi Ibn Ha>jar (1853: 4), sahabat dimaknai sebagai orang yang berinteraksi dengan nabi Muhammad saw, beriman pada Islam dan meninggal dalam kondisi Islam[2]. Hingga dari definisi ini dapat dipetakan bahwa sahabat nabi bukan hanya nama-nama besar yang tercatat dalam sejarah, namun banyak pula yang tergolong sahabat kecil karena interaksi yang sesaat dengan nabi. Sebagian dari mereka masih hidup dalam kurun waktu lama dan tersebar di beberapa wilayah sebagai konsekwensi logis dari semakin luasnya wilayah Islam. Tercatat bahwa sahabat yang terakhir meninggal adalah Abu Thufail ‘Amir bin Wathilah al-Laithi pada tahun 100 H di Makkah.
          Namun meski demikian, hal yang perlu dicermati dari masa ini adalah adanya penetapan tahun Hijriah di masa pemerintahan Khalifah Umar bin al-Khattab pada tahun 17 H sebagai tonggak sejarah baru umat Islam dalam dunia ilmu hisab dan astronomi. Dalam penuturan sebelumnya dikatakan bahwa umat Islam memang telah mengenal sistem kalender sederhana, yakni dengan mengetahui tanggal dan bulan tanpa tahun. Dalam kurun waktu tertentu hal ini tentu menjadi penyebab kerancuan sebagaimana kasus surat Abu Musa al-Ash’ari yang merupakan gubernur Basrah pada Umar, Abu Musa menyatakan (Ibn Hajar al-‘Asqala>ni, T.t, 268){:
إنه يأتينا من أمير المؤمنين كتب، فلا ندري على أيٍّ نعمل، وقد قرأنا كتابًا محله شعبان، فلا ندري أهو الذي نحن فيه أم الماضي
“Telah datang kepada kami beberapa surat dari amirul mukminin, sementara kami tidak tahu kapan kami harus menindaklanjutinya. Kami telah mempelajari satu surat yang ditulis pada bulan Sya’ban. Kami tidak tahu, surat itu Sya’ban tahun ini ataukah tahun kemarin.”
Dari sini, Khalifah ‘Umar akhirnya mengumpulkan sahabat dan bermusyawarah tentang urgennya keberadaan kalender. Terdapat empat usulan tentang awal waktu perhitungan kalender ini, yakni berdasar tahun kelahiran nabi Muhammad saw, tahun diutusnya nabi sebagai Rasul, tahun hijrahnya nabi Muhammad ke Madinah dan tahun wafat beliau. Dari perdebatan dan diskusi panjang pada akhirnya ‘Umar menyetujui usul dan argumentasi ‘Ali bin Abi T{alib agar berdasar tahun hijrahnya nabi Muhammad (Muhammad Rid}a, 1993, 176).
Adapun terkait penentuan bulan pertama dalam kalender ini diputuskan pada bulan Muharram, berdasar usul ‘Uthman bin ‘Affan hal ini didasarkan pada beberapa argument, yakni:
a.       Muharam merupakan bulan pertama dalam kalender masyarakat Arab di masa masa silam.
b.      Pada bulan ini, kaum muslimin baru saja menyelesaikan ibadah yang besar yaitu haji ke baitullah.
c.       Pertama kali munculnya tekad untuk hijrah adalah terjadi di bulan Muharam. Karena pada bulan sebelumnya, Dzulhijah, beberapa masyarakat Madinah melakukan Baiat Aqabah yang kedua (Ibn Hajar al-‘Asqala>ni, T.t, 268).
Dari sini dapat dipahami bahwa di masa sahabat, perlahan keilmuan hisab mulia tertata dengan baik yang aplikasi positifnya tidak hanya dalam penentuan waktu ibadah, namun juga bermanfaat bagi kepentingan ekonomi, politik, dan pranata sosial dalam skup lebih luas. Di masa ini, umat Islam yang mampu membaca dan menulis juga lebih banyak. Hal ini terindikasikan dari finalnya pembukuan al-Quran dan disalin dalam beberapa mushaf. Serta mulai diidekannya kodifikasi hadis sebagai antisipasi dari bermunculannya hadis-hadis palsu.
3.     Hisab di Masa Tabi’in
Jika tabi’in dimaknai sebagai murid langsung dari sahabat dan pernah berinteraksi meski sesaat, maka diduga tabi’in terakhir yang meninggal adalah Khalaf bin Khalifah yang wafat pada tahun 181 H. Di abad ini, umat Islam sedang berada dalam masa transisi pemerintahan dari Bani Umayyah menuju Bani Abbasiyyah. Sedikit banyak hal ini juga berpengaruh dalam pengembangan keilmuan. Di masa dinasti Amawiyyah selama kurun 90 tahun, fokus pemerintahan memang pada membangun dinasti yang kokoh dan ekspansi wilayah Islam. Karena itu, penelitian dan pengembangan keilmuan relatif kurang mendapat apresiasi dari pemerintah.
Meski demikian, bukan berarti masa ini adalah masa stagnansi keilmuan. Karena masa ini adalah masa terpenting dalam sejarah kodifikasi hadis, juga keilmuan tafsir dan asketisme. Sedang dalam sains dan pengetahuan alam, sejatinya terdapat semisal Khalid bin Yazid bin Mu’awiyah bin Abi Sufyan (w. 85 H/ 704 H) yang menekuni dunia keilmuan dan sains. Dalam sejarah dikatakan bahwa Khalid mundur dari perebutan kekuasaan sebagai khalifah pasca pemerintahan ayahnya demi menekuni dunia keilmuan[3].
Di masa ini pula sejatinya penterjemahan buku-buku dari Yunani sebagai aplikasi pengembangan ilmu pengetahuan berawal. Yakni meliputi buku-buku falak dan astronomi, kedokteran hingga kimia dan sebagainya (Muhammad Ba>sil al-T{a>i, 2007, 55). Meski telah dimulai sejak masa dinasti Umayyah, perkembangan sains dan keilmuan falak dalam Islam sejatinya benar-benar dimulai saat dipimpin oleh dinasti Abbasiyyah. Penerjemahan besar-besaran dan penelitian serta pengembangan keilmuan Falak benar-benar didukung oleh para khalifah di kurun periode awal bani Abbasiyyah. Dan dari dinasti inilah keilmuan hisab mencapai hasil gemilang dan memberi sumbangsih yang sangat besar bagi perkembangan keilmuan hisab dan astronomi dunia.
Hingga jika mengacu pada teori circle Ibnu Khaldun, masa awal rintisan ilmu hisab dalam Islam adalah dari periode nabi Muhammad, sahabat hingga tabi’in yang disini banyak bertebaran stimulasi untuk menelaah alam semesta dari ayat al-Quran ataupun hadis nabi Muhammad. Masa keemasannya adalah pada periode awal Abbasiyyah dengan pembangunan Baitul Hikmah yang monumental serta lahirnya banyak ahli sains muslim. Sebagai klimaks adalah pada kurun abad 16 yang merupakan zaman keruntuhan kejayaan Islam sekaligus mulai bersinarnya peradaban Barat.
D.    Penutup
Peradaban Islam memang pernah berada pada masa keemasan dan menjadi magnet bagi dunia, khususnya dalam sains dan keilmuan astronomi secara umum. Hal ini wajar mengingat penguasaan terhadap ilmu falak dan hisab menjadi sebuah “kebutuhan” sendiri bagi umat Islam, mengingat kewajiban ibadah yang bersifat rutin harian maupun tahunan dan personal ataupun sosial sangat terkait dengan kemampuan untuk menghitung dan “membaca” langit.
Inilah sebab mengapa meski dalam literatur dan referensi dikatakan berkembang di kurun abad kedua, bukan berarti kita mengabaikan sejarah dan perkembangan akar keilmuan ini di kurun fase pertama Islam. Yakni di masa nabi Muhammad, sahabat dan tabi’in. Di masa ini proses penurunan ayat dan dialog dengan nabi relatif masih berlangsung. Stimulasi untuk mengembangkan keilmuan ini juga banyak didapat dari ayat-ayat al-Quran, praktek sahabat dalam menentukan awal bulan atau bahkan proses penyusunan kalender juga bagian dari fakta sejarah yang masih berupa puzzle yang perlu disusun lengkap dengan masa keemasan keilmuan ini.
Hingga dari sini diharapkan dapat ditemukan kepingan utuh bahwa keilmuan ini tidak serta merta muncul dengan menterjemahkan buku-buku Yunani kuno saja, namun dengan proses dan langkah dan pengajaran sederhana yang dimulai oleh nabi Muhammad saw. Wallahu a’lam..











DAFTAR PUSTAKA
Al-Bukha>ri. Ja>mi’ Shahih al-Bukha>ri II. Kairo: Matba’ah al-Salafiyyah, T.t
Asqala>ni (al), Ibn Ha>jar. Al-Isa>bah fi Tamyi>z al-S}aha>bah vol I. Mesir: Da>r al-Kutub. 1853
Asqala>ni (al), Ibn Ha>jar. Fathu al-Ba>ri vol VII. Beirut: Da>r al-Ma’rifah. T.t
Azhari, Susiknan. Ilmu Falak; Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern. Yogyakarta: Suara Muhammadiyyah. 2007
Ba>qi> (al), Muh}ammad Fua>d. al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>dh al-Quran al-Kari>m. Kairo: Da>r al-H{adi>th. 1364 H
Heriyanto, Husain. Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam. Bandung: Mizan. 2011
Izzuddin, Ahmad. Ilmu Falak Praktis. Semarang: Pustaka Rizki Putra. 2012
Kementerian Agama Republik Indonesia. Al-Quran dan Tafsirnya vol IV. 2012
Khazin, Muhyiddin. Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta: Buana Pustaka. 2011
Nadwi (al), Abdul Hasan Ali Hasan. Sejarah Lengkap Nabi Muhammad saw. Terj. Muhammad Halabi Hamdi. Yogyakarta: Darul Manar. 2012
Ramdan, Anton. Islam dan Astronomi. Jakarta: Bee Media. 2009
T{a>i (al), Muhammad Ba>sil. ‘Ilm al-Falak wa al-Taqa>wim. Beirut: Da>r al-Nafa>is. 2007



[1]Hadis ini tergolong populer dan diriwayatkan dalam berbagai kitab, diantaranya adalah S}ahi<h Bukha>ri> dalam kitab al-S{aum bab Qaul al-Nabi saw La> Naktub wala> Naksub dengan nomor indeks 1913. Hadis ini diriwayatkan Bukhari dari Adam dari Shu’bah dari al-As’ad bin Qais dari Sa’d bin ‘Amr dari Ibn ‘Umar. Al-Bukha>ri. Ja>mi’ Shahih al-Bukha>ri II. (Kairo: Matba’ah al-Salafiyyah, T.t), 33
[2]Definisi ini dijelaskan lebih detail dengan beberapa kriteria, yakni: a. Bertemu dengan Nabi saw dan menerima dakwahnya, dalam waktu lama atau sebentar. b. Meriwayatkan hadis dari Nabi saw ataupun tidak. c. Ikut berperang  pada Nabi saw ataupun tidak. d. Sempat melihat Nabi saw, sekalipun tidak pernah duduk menemani atau tidak pernah melihat Nabi karena sebab tertentu (seperti orang buta).
[3]Khalid bin Yazid bin Mu’awiyah bin Abi Sufyan adalah putra Yazid yang merupakan khalifah kedua dinasti Umayyah sekaligus khalifah pertama yang diangkat melalui system monarki dalam sejarah Islam. Pertikaian politik yang memicu pro-kontra ini bisa jadi pula menjadi alasan mundurnya Khalid dari perebutan status sebagai penerus tahta hingga saudaranya Muawiyyah bin Yazid yang kemudian ditahbiskan sebagai khalifah ketiga dinasti ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar