PENYATUAN
MATHLA’ PERSPEKTIF FIQH DAN ASTRONOMIS
(Menelusuri
Pemikiran M. S. Odeh tentang Ragam Penyatuan Mathla’)
(Oleh: Badrun Tamam)
A. Latar Belakang
Kalender hijriyah[1] merupakan
sistem penanggalan berdasarkan pergerakan bulan mengelilingi bumi[2] yang terdiri dari 12 bulan[3] (Hambali, 2011:13). Awal bulan ditandai dengan penampakan hilal[4] (Nazar Mahmud Qasim, 2009: 125). Jumlah hari dalam satu bulan Hijriah maksimal 30 hari
dan minimal 29 hari[5] (Muhammad Basil al-Tha’iy, 2007: 248). Rukyat untuk observasi hilal dilaksanakan pada tanggal
29 setiap bulannya (Hendro Setyanto, 2008: 75).
Permulaan awal bulan Hijriyah dalam perkembangannya
tidak semata berdasar rukyat namun juga dipengaruhi oleh kriteria visibilitas
hilal Perbedaan metode dan kriteria visibilitas[6]
serta mungkin atau tidaknya hilal terlihat menyebabkan timbulnya kontroversi
dalam penentuan awal bulan Hijriyah dan akhir bulan Hijriyah seperti yang
dilansir Ma’rufin Sudibyo (2012: 200) dalam papernya yang termuat dalam buku
“Penyatuan Kalender Hijriyah, Sebuah upaya Pencarian Kriteria Hilal yang
Obyektif Ilmiah”.[7]
Secara teknis, penyebab perbedaan itu adalah masih
banyaknya sistem dan referensi hisab yang masih dipakai oleh masyarakat sebagai
acuan. Hasil dari satu sistem dengan sistem lainnya dapat berbeda. Demikian
pula, masih terdapat perbedaan di kalangan ahli rukyat tentang syarat dapat
diterimanya suatu hasil rukyat. Akibatnya perbedaan bukan saja terjadi antara
kalangan hisab dan kalangan rukyat, tapi juga terjadi di antara kalangan hisab
atau rukyat itu sendiri[8]
(Departemen Agama RI, 2004: 16).
Wahyu Widiana dalam kata sambutannya di Buku Menggagas
Fiqh Astronomi (Jamaludin, 2005: x) menyebutkan secara garis besar ada 4 hal
penyebab perbedaan tersebut, yaitu: pertama, perbedaan antara hisab dan rukyat,
ia menyebutkan bahwa berdasarkan kasus yang tercatat di Direktorat Pembinaan
Peradilan Agama sejak tahun 1962, ada kesimpulan bahwa: jika ahli hisab sepakat
menyatakan hilal berada dibawah ufuq, maka tidak pernah ada orang yang
melaporkan bahwa hilal berhasil dirukyat. Sebaliknya, jika ahli hisab sepakat
bahwa hilal telah di atas ufuq, maka hampir selalu dilaporkan bisa diobservasi
(dirukyat). Ia berkesimpulan bahwa tidak selamanya perbedaan ini menimbulkan
perbedaan dalam memulai puasa atau hari raya.
Kedua, perbedaan di kalangan ahli hisab, yang bermuara
pada dua hal, yaitu karena (1) bermacam-macamnya sistem dan referensi hisab
yang dapat dikelompokkan pada tiga, yaitu: hisab taqriby, hisab
tahqiqy dan hisab kontemporer, dan (2) karena berbeda-beda kriteria hasil
hisab yang dijadikan pedoman, sebagian berpedoman pada ijtima’ qablal ghurub,
sebagian berpedoman pada posisi hilal di atas ufuq[9].
Yang berpegang pada posisi hilal di atas ufuq juga berbeda-beda. Ada yang
berpendapat pada wujudul hilal di atas ufuq dan ada yang berpedoman pada
imkanu al-rukyat 2 derajat atau 5 derajat (Jamaludin, 2005: xi)[10].
Ketiga, perbedaan di kalangan ahli rukyat, yaitu bahwa
belum ada satu kata dalam menetapkan mathla’[11],
tentang batasan wilayah berlakunya hasil rukyat suatu tempat. Ada yang
menganggap hasil rukyat suatu tempat hanya berlaku untuk satu wilayah hukum
(negara)[12].
Sebagiannya lagi berpendapat bahwa rukyat suatu tempat berlaku untuk seluruh
dunia[13].
Perbedaan ini berimbas pada perbedaan mengawali puasa dan berhari raya. Kasus
seperti ini banyak terjadi jika Saudi Arabia telah dikabarkan telah berhasil
rukyat, maka di Indonesia akan terpengaruh dengan informasi hasil rukyat
tersebut (Jamaludin, 2005: xi-xii).
Keempat, perbedaan di luar teknis hisab rukyat, yang
disebabkan antara lain karena: pertama, adanya pemahaman fiqh yang berbeda.
Sebagian menghendaki agar Idul Adha di Indonesia mengikuti penetapan hari wukuf
di Saudi Arabia, sedangkan yang lainnya menghendaki agar penetapan Idul Adha di
Indonesia berdasarkan keadaan di Indonesia. Kedua, sulitnya melakukan
kesepakatan tentang pedoman penentuan awal bulan Qamariyah yang dapat mengikat
semua pihak (Jamaludin, 2005: xii).
Makalah ini akan menfokuskan kajiannya pada
problematika pemahaman matla’ di atas. Tulisan ini hendak melihat salah satu
hasil pemikiran Mohammad Shawkat Odeh, salah seorang tokoh ilmu falak di dunia
islam, tentang ragam penyatuan matla’. Pemikiran tentang ragam penyatuan
matla’ yang disampaikan oleh M.
S. Odeh sangat penting untuk disampaikan karena pembagian penyatuan matla’ yang
dilakukannya bisa dikatakan sebagai sebuah pemikiran yang baru dalam khazanah
pemikiran ilmu falak di dunia Islam.
B.
Biografi M. Syaukat Audah
Ia bernama Ir. Muhammad Syaukat ‘Audah (lebih dikenal
dengan nama Mohammad Shawkat Odeh di dunia Internasional). Dalam homepage (http://www.geocities.com/capecanaveral/1092/index.html)nya, Odeh mengatakan bahwa ia berasal dari Nablus,
Palestina dan lahir di kota Kuwait, 6 Maret 1979. Ia tumbuh besar di kota Amman
ibukota negara Jordan. Ia menyelesaikan studi Mekanik dan Engineering di
Universitas Jordan, Fakultas Sains dan Teknologi pada tahun 2002. Di umurnya
yang menginjak ke-20, tahun 1998, Odeh mendirikan sebuah lembaga penelitian dan
observasi hilal ICOP (Islamic Crescents’ Observation Project). Hingga saat ini,
lembaga tersebut memiliki ratusan ilmuwan yang terdiri dari pakar ilmu falak
dan individu-individu yang intens dalam penelitian dan pengkajian hilal dari berbagai
negara di dunia.
Odeh (2004: 2) mengatakan beberapa hal yang
mendorongnya mendirikan ICOP, yaitu (1) Adanya perbedaan di antara umat Islam
dalam memulai bulan hijriah baru, terutama Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah, (2) Komentar
sebagian orang tentang tidak akuratnya ilmu hisab kontemporer dan (3) Diterimanya
laporan pengamatan hilal di saat hilal seharusnya tidak teramati. Hal ini sangat
menggelisahkan Odeh dan mendorongnya untuk meneliti kemungkinan kesalahan dalam
memulai bulan baru di Yordania. Hal tersebut dilakukan dengan tiga tahap, yaitu
(1) mengumpulkan surat kabar yang terbit antara tahun 1953-1999, (2) meneliti
pengumuman pemerintah Yordania dalam memulai bulan Ramadan, Syawal dan
Zulhijjah kemudian (3) membandingkannya dengan permulaan bulan baru yang
seharusnya, sesuai dengan perhitungan hisab kontemporer. Tugas itulah yang
kemudian diemban oleh ICOP dan menghasilkan kesimpulan yang sangat mengejutkan.
Ada beberapa hal penting yang dihasilkan dari
penelitian Odeh tersebut, di antaranya:
1.
Dari 47 bulan Ramadan tahun 1954-1999, 60% (28 bulan) diantaranya bulan
baru dimulai padahal hilal mustahil dirukyah (di bawah ufuk), 36% (17 bulan)
hilal tidak mungkin dirukyah, dan hanya1% (1 bulan) hilal mungkin dirukyah
dengan alat optik dan 1% (1 bulan) mungkin dirukyah dengan mata telanjang. Yang
juga mengejutkan adalah bahwa permulaan baru di saat-saat itu selalu ditetapkan
dengan adanya laporan keberhasilan rukyah.
2.
Untuk bulan Syawal (47 bulan), 68% (32 bulan) diantaranya hilal mustahil
dirukyah, 30% (14 bulan) hilal tidak mungkin dirukyah, dan hanya 2% (1 bulan)
hilal mungkin dirukyah dengan alat optik.
3.
Untuk bulan Zulhijjah (48 bulan), dalam hal ini pemerintah Yordania
selalu mengikuti Arab Saudi, hasilnya adalah 35% (17 bulan) hilal mustahil
dirukyah, 44% (21 bulan) hilal tidak mungkin dirukyah, dan 21% (10 bulan) hilal
mungkin dirukyah 6 bulan diantaranya dengan alat optik dan 4 bulan dengan mata
telanjang.
Odeh saat ini juga merupakan bagian dari anggota tim
Arab Union for Astronomy and Space Sciences (AUASS), yang fungsi dari
organisasi ini adalah menetapkan waktu salat dan melaksanakan rukyatul hilal.
Selain itu, Odeh telah mengikuti berbagai seminar internasional dalam bidang
ilmu falak dan juga telah membuat sebuah software (Accurate Times/al-Mawaqit
ad-Daqiqah) yang mampu menghitung waktu-waktu salat, imkanur rukyah
hilal, arah kiblat, dan waktu terbit serta tenggelam bagi matahari dan
bulan yang telah digunakan di berbagai belahan dunia (Al-Amin, 2008). Program
Odeh ini secara resmi digunakan sebagai alat penentu imkanurrukyat dan
kalender hijriah di Yordania dan Aljazair.
Di antara karya-karya Odeh yang berkaitan dengan ilmu
falak yang sebagian besarnya diunduh dari website ICOP adalah: al-Farq Bain
al-Hilal wa Tawallud al-Hilal, al-Hilal Bain Hisabat al-Falakiyyah wa
ar-Rukyah, Taqwim Nasb al-Khata’ fi Tahdid Awail al-Asyhur al-Hijriyyah (fi
al-Urdun), “New Criterion for Lunar Crescent Visibility” yang merupakan
artikel dalam Nidhal Guesseoum & Mohammad Odeh (ed.), Aplications of
Astronomical Calculations to Islamic Issues, at-Taqwim al-Hijri al-‘Alami,
Tatbiqat Tiknulujiyya al-Ma’lumat li I’dad Taqwim Hijriy ‘Alamiy, Al-Farq Bain
Atwar al-Qamar al-Markaziyah wa as-Sathiyyah, at-Tahwil Ma Bain at-Taqwimain
al-Hijri wa al-Miladi, Hilal Ramadan Bain al-Hisab al-Falaki wa ar-Ru’yah,
Hisab Mawaqit as-Salah, dan Taqdir Mau’idai Salat al-Fajr wa al-‘Isya’ ‘inda
Ikhtifa al-‘Alamat al-Falakiyyah fi al-Mantiqah Ma Bain Khatai ‘Ard 48.6° wa
66.6°. Karya terakhirnya yang berkaitan dengan tema penyatuan matla’ berjudul Ikhtilaf al-Matali’, al-Manatiq
al-Musytarakah bi Matla’Wahid yang merupakan makalah yang dipresentasikan
pada al-Mu’tamar al-‘Alami li Isbat asy-Syuhur al-Qamariyyah ‘inda ‘Ulama
asy-Syari’ah wa al-Hisab al-Falaki yang diadakan oleh Komite Fiqh Islam (al-Majma’
al-Fiqhi al-Islami) OKI (Rabitah al-‘Alam al-Islami dikantor OKI,
Mekah, pada tanggal 19-21/03/1433 H/11-13/02/2012 M.
C.
Konsep Matla’ dalam Fiqh dan Astronomi
Perbedaan tentang penyatuan matla’ dalam
sejarah pemikiran Islam paling tidak dapat dilihat dari adanya perbedaan
tentang keberlakuan hasil rukyah. Hal ini bermula dari perbedaan apabila hilal
berhasil dirukyah di suatu kawasan, maka apakah hasil rukyah di kawasan
tersebut berlaku untuk seluruh umat Islam yang ada di seluruh dunia ataukah
hanya diberlakukan untuk kaum muslim di kawasan tempat keberhasilan rukyah
tersebut saja.
Kata matla’ secara bahasa berasal dari ta-la-‘a
yang artinya terbit, muncul, keluar (Munawwir, 1984: 921). Kata ini kemudian
dapat dibentuk menjadi matli’ dengan huruf lam yang dikasrah dan matla’
dengan huruf lam yang difathah yang memiliki makna yang berbeda. Kata
bentukan pertama (matli’) bermakna tempat munculnya bulan, bintang, atau
matahari sedangkan kata bentukan kedua (matla’) bermakna waktu atau
zaman munculnya bulan, bintang, atau matahari. Makna ini dapat dilihat dalam
al-Qur’an surat al-Kahf ayat 90 dan al-Qadar ayat 5:
Mengenai keberlakuan matla’ ini para ulama,
apabila dilacak pada literatur klasik ada dua pendapat berbeda. Pertama,
pendapat Jumhur Ulama madzhab Hanafi, Maliki, dan Hambali. Mereka berpendapat
bahwa rukyah di suatu negeri berlaku untuk seluruh kaum muslimin di
negeri-negeri yang lain, sehingga adanya perbedaan matla’ (ikhtilaf
al-matali’) tidak memiliki pengaruh apapun terhadap penentuan masuknya
bulan baru hijriah. Pendapat kedua adalah pendapat Imam al-Syafi’i dan sejumlah
ulama salaf yang berpendapat bahwa penentuan awal bulan hijriyah
memperhitungkan perbedaan matla’ sehingga masing-masing negeri penetapan
awal bulan didasarkan kepada hasil pengamatan hilal di negerinya sendiri (al-Zuhaili,
1996: II/605).
Kelompok pertama yang menjadikan satu dunia dalam satu
kesatuan dalam penentuan awal bulan kamariah (kesatuan matla’ atau ittifaq/ittihad
al-matali’) mendasarkan pendapatnya pada keumuman hadis tentang
perintah puasa. Hadis yang memerintahkan untuk memulai puasa ditujukan untuk
seluruh umat Islam di seluruh penjuru dunia. Jika ada kesaksian hilal dapat
dirukyah di satu tempat, maka kesaksian itu diberlakukan untuk seluruh umat
Islam di dunia tanpa membedakan perbedaan negara dan wilayah (al-Zuhaili, 1996,
II/609).
Hadis ini memberikan pengertian bahwa Ibnu ‘Abbas yang
berada di Madinah, yang berbeda matla’ dengan Syam, tidak menerima hasil
rukyah Mu’awiyah karena perbedaan jarak yang jauh antara kedua tempat tersebut.
Perkataan Ibnu ‘Abbas “Tidak, demikianlah Rasulullah saw. memerintahkan kita”
dalam hadis tersebut menjadi dalil bahwa setiap negeri harus mengikuti hasil
rukyatnya sendiri-sendiri, dan hasil rukyat suatu negeri tidak berlaku untuk
negeri yang lain karena ada perbedaan matla’ (li ikhtilaf matali’).
Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa apabila
wilayahnya saling berdekatan, maka keberhasilan rukyah tersebut dapat
ditransfer ke wilayah yang lain. Sedangkan apabila berjauhan, maka sebagian
ulama tetap membolehkan transfer rukyah, sedangkan sebagian yang lain
melarangnya.
Ukuran jauh dan dekatnya satu wilayah ke wilayah yang
lain, para ulama juga berbeda pendapat. Diantara pendapat-pendapat tersebut;
pertama, dengan melihat perbedaan matla’. Apabila dua wilayah masih
dalam satu matla’, maka dianggap sebagai wilayah yang berdekatan. Dan
dikatakan berjauhan apabila di luar wilayah tersebut. Kedua, masafah al-qasr,
jarak yang diperbolehkan untuk melakukan salat qasar. Ketiga, perbedaan iklim,
dan keempat adalah berdasar pada perbedaan kedua wilayah dari sisi tinggi
rendah geografis, seperti antara wilayah pegunungan dan dataran rendah, yang
menjadikan satu wilayah lebih mudah dalam melihat hilal dibanding wilayah yang
lain.
Keempat ukuran jarak diberlakukannya hasil rukyah
tersebut memang masih perlu diperdebatkan landasan normatifnya, masih
menimbulkan berbagai penafsiran dari sisi hakikatnya selain membutuhkan
“penerjemahan” yang tepat ke dalam perhitungan matematis kontemporer.
Mengenai batas satu matla’, Abdul Salam Nawawi
(2004: 106-111) berusaha melakukan perhitungan sederhana (kira-kira/taqribi)
batas matla’ ke arah Timur dari
pusat observasi atau markaz rukyah dengan memperhitungkan kecepatan gerakan
Bumi pada porosnya, kecepatan gerakan Bulan mengelilingi Bumi, dan kecepatan
gerakan semu Matahari di sepanjang lingkaran ekliptika. Dari hasil perhitungan
faktor-faktor tersebut, ia mengatakan bahwa batas matla’ ke arah Timur
dari markaz rukyat dapat dihitung dengan salah satu dari dua rumus:
1.
Derajat irtifa’ (ketinggian) hilal dikurangi derajat batas visibilitas
hilal, dibagi 0°30‘28,6", lalu dikalikan 15.
2.
Derajat irtifa’ (ketinggian) hilal dikurangi derajat batas visibilitas
hilal, lalu dikalikan 29°31‘50,84".
Untuk pusat observasi hilal Jakarta, misalnya, jika
diketahui bahwa ketinggian hilalnya 3°6‘, sedangkan batas visibilitas hilalnya
–misalnya- 2°, maka batas matla’ ke arah Timur dari markaz tersebut
adalah (3°6‘- 2°) : 0°30‘28,6" x 15 = 32°29‘1,92". Jadi, batas matla’
di sebelah Timur markaz rukyah Jakarta (bujur 106°49‘) adalah 139°18‘1,92" yang hampir mencapai
Merauke atau sekitar 3.585 km (hasil dari 32°29‘1,92" x (111 km x cosines
6°10‘ (lintang Jakarta). Batas matla’ ini akan lebih panjang apabila batas
visibilitas hilal yang dijadikan patokan lebih kecil dari 2° dan akan lebih
pendek apabila batas visibilitas hilalnya lebih besar dari 2°. Wahbah
al-Zuhaili (1996: II/ 607) mengatakan bahwa 1 matla’ setara dengan 24 farsakh. Jika 1 farsakh adalah 3 mil, maka 1 matla’ adalah 24 x 3 x 1,6093 km = 115,8696 km. Akan
tetapi jika 1 farsakh adalah 5544
m, maka 1 matla’ adalah 133,056
km.
Jarak masafah al-qasr menurut Wahbah al-Zuhaili
(1996: II/607) adalah 4 barid atau 16 farsakh. Jika 1 farsakh 5544 m, maka
jarak tersebut adalah 16 x 5544 = 88,704 km. Akan tetapi, jika 1 farsakh adalah
3 mil, maka jarak tersebut menjadi 1,6093 km x 3 x 16 = 77,2464 km. Sedangkan
Zubair ‘Umar al-Jailani (t.t.: 203) mengatakan bahwa masafah al-qasr adalah
89,05920 km karena 1 mil dalam pandangannya adalah 1855,40 m.
Dengan munculnya konsep negara bangsa (nation state)
di masa ini, maka ukuran-ukuran tersebut dapat memunculkan berbagai masalah.
Jika ukuran keberlakuan hasil rukyah diberlakukan sejauh matla’ sebagaimana definisi di atas, maka sebuah
negara yang memiliki wilayah yang luas seperti Indonesia akan memiliki beberapa
matla’. Begitu juga dengan ukuran-ukuran yang lain. Oleh karena itulah
kemudian muncul konsep matla’ fi wilayah al-hukm (wilayatul hukmi/wilayah
pemerintahan negara) yang memberlakukan keberhasilan rukyah pada sebuah pemerintahan
negara bangsa. Ukuran matla’ fi
wilayah al-hukm (wilayatul hukmi) inipun akhirnya bersifat sangat
relatif, mengikuti sempit dan luasnya wilayah suatu negara.
D.
Pemikiran M. Syaukat Audah tentang Penyatuan Matla’
Saat berbicara tentang konsep perbedaan dan penyatuan matla’
dalam pandangan para ulama fikih,
harus dipahami bahwa perbedaan pendapat tersebut ssangat tergantung pada
tingkat pengetahuan dan pemahaman mereka dengan persoalan ilmu falak.
Argumentasi yang disampaikan untuk menguatkan pandangan dan menolak pandangan
ulama lain yang berbeda pendapat juga beragam sesuai dengan kemampuan mereka
dalam persoalan ilmu falak. Oleh karena itu, ada beberapa argumentasi atas
pendapat yang berkaitan dengan tema matla’ terkadang tidak berkaitan sama sekali dengan
persoalan astronomi dan ilmu falak.
Oleh karena itulah, menurut Odeh, seperti yang dikutip
oleh Nashiruddin (2012: 187-191), pemahaman atas permasalahan astronomi menjadi
sangat penting agar pendapat fikih yang berkaitan dengan tema astronomi seperti
persoalan matla’ tidak terlalu jauh dengan kenyataan-kanyataan ilmiah
astronomis. Secara astronomis, menurut Odeh, tema perbedaan matla’,
apabila dikaitkan dengan observasi (rukyah) hilal, dapat dilihat dari tiga
poin:
1.
Kondisi rukyah hilal berbeda sesuai perbedaan garis bujur (pergerakan ke
arah utara dan selatan). Artinya, wilayah yang berada dalam satu garis bujur
tidak bisa dikatakan memiliki matla’ yang sama. Matahari dan hilal akan berada pada
waktu terbenam yang berbeda walaupun berada pada satu garis bujur. Oleh karena
itu, hilal bisa saja mustahil dilihat di satu wilayah, akan tetapi mudah
dilihat di wilayah yang lain yang memiliki garis lintang yang sama akan tetapi
berbeda garis bujurnya.
2.
Kondisi rukyah hilal berbeda sesuai perbedaan garis lintang (pergerakan
ke arah barat dan timur). Hampir sama dengan point pertama, wilayah yang berada
dalam satu garis lintang juga tidak bisa dikatakan memiliki matla’ yang
sama. Hilal bisa saja mustahil dilihat di satu wilayah, akan tetapi mudah
dilihat di wilayah yang lain yang memiliki garis bujur yang sama akan tetapi
berbeda garis lintangnya.
3.
Ketinggian lokasi observasi dari permukaan air laut harus diperhatikan
saat rukyah. Ketika seseorang melakukan observasi, maka ketinggian tempat
observasi dari permukaan air laut sangat mempengaruhi keberhasilan rukyah. Oleh
karena itu, keberhasilan rukyah tidak bisa disamakan antara satu wilayah dengan
wilayah lain dengan mengabaikan ketinggian tempat dari permukaan air laut.
Dalam perhitungan yang mengaitkan perbedaan dan
kesatuan matla’ dengan
perhitungan ilmiah astronomis dan realitas empiris, prinsip kesatuan matla’ bisa dibedakan dalam beberapa bentuk di bawah
ini.
1.
Kesatuan matla’ secara mutlak
Pemikiran tentang kesatuan matla’
secara mutlak ini menjadikan satu dunia dalam satu kesatuan matla’ dengan
prinsip transfer rukyah (naql ar-ru’yah). Apabila hilal
bisa dirukyah baik dalam perhitungan (hisab) atau rukyah hakiki di daerah
manapun di dunia ini, maka hari berikutnya sudah masuk bulan baru hijriah untuk
seluruh dunia. Pemikiran satu matla’ untuk seluruh dunia ini memang memiliki
kelebihan dari sisi penyatuan kalender hijriah di seluruh dunia. Akan tetapi,
prinsip ini juga menyisakan persoalan yang sangat besar. Dalam beberapa kasus, bulan
baru hijriah dimulai, atas dasar prinsip kesatuan matla’ secara mutlak,
ketika sebagian besar wilayah di dunia masih belum terpenuhi syarat
masuknya bulan baru hijriah seperti terbenamnya Bulan sebelum Matahari.
2.
Kesatuan matla’ dalam wilayah yang bersesuaian visibilitas
hilalnya
Prinsip ini menjadikan
setiap wilayah yang memiliki kesesuaian visibilitas hilal dalam satu kesatuan matla’.
Artinya, pembagian matla’ didasarkan pada kemungkinan dilihat atau
tidaknya hilal. Jika hilal mungkin untuk dilihat, maka pembagian tetap
dilakukan dengan melihat apakah kemungkinan tersebut dengan memakai mata tanpa
alat ataukah dengan alat.
Pada gambar di atas
wilayah-wilayah yang berada di warna hijau, wilayah yang hilal mudah untuk
dilihat dengan mata tanpa alat, dijadikan sebagai wialayah dalam satu kesatuan matla’
terlepas dari dekat dan jauhnya wilayah-wilayah tersebut. Begitu juga
wilayah-wilayah yang berada di warna ungu (hilal mungkin dilihat dengan mata
tanpa alat jika kondisi mendukung), berada di warna biru (hilal hanya dapat
dilihat dengan alat optik) berada dalam satu kesatuan matla’ .
Prinsip ini memiliki
kelebihan karena menjadikan perhitungan astronomis (visibilitas hilal) yang
detail, sesuai dengan kemungkinan dilihatnya hilal, sebagai dasar kesatuan matla’.
Hanya saja, karena visibilitas hilal itu selalu berubah di setiap bulan, maka
wilayah-wilayah yang berada dalam satu kesatuan matla’ juga akan
mengalami perubahan setiap bulannya. Dua atau tiga negara bisa menjadi satu matla’
di bulan ini misalnya, akan tetapi
bisa menjadi berbeda matla’ di
bulan depan. Hal ini tentu akan membuat kesulitan untuk pembentukan sebuah
kalender .
3.
Kesatuan matla’ dalam wilayah yang serupa visibilitas hilalnya
Prinsip ini menjadikan
wilayah-wilayah yang serupa visibilitas hilalnya dalam satu kesatuan matla’.
Dalam gambar di atas, wilayah-wilayah yang berada pada warna hijau, ungu, dan biru
dijadikan satu matla’ karena semuanya merupakan wilayah yang hilal
mungkin untuk dirukyah baik dengan alat optik maupun dengan mata tanpa alat.
Sedangkan wilayah tanpa warna dan warna merah berada pada matla’ yang lain, yaitu matla’ yang hilal tidak mungkin dan mustahil
dirukyah. Dengan demikian, pemikiran ini membagi dunia dalam dua matla’ ,
yaitu wilayah yang hilal mungkin dirukyah dan wilayah yang hilal tidak mungkin
atau mustahil dirukyah.
Pemikiran ini memiliki
kelebihan dari sisi adanya wilayah yang lebih besar dan luas yang berada dalam
satu kesatuan matla’. Akan tetapi, pemikiran ini juga tidak secermat
pemikiran poin ke-2 karena tidak membedakan antara wilayah yang hilal mudah
dilihat dengan mata tanpa alat dengan wilayah yang hilal hanya dapat dilihat
dengan perangkat binokuler saja. Selain itu, seperti pemikiran sebelumnya,
wilayah yang berada dalam satu matla’ pun akan selalu berubah sesuai
perubahan visibilitas hilal.
4.
Kesatuan matla’ parsial/zonal (juz’i)
Pemikiran ini membagi dunia
dalam zona-zona tertentu, baik dua zona, tiga zona maupun empat zona, dimana
setiap zona adalah dalam satu kesatuan matla’. Apabila perhitungan atau
rukyah faktual menunjukkan bahwa hilal dapat dirukyah pada satu zona, maka
bulan baru hijriah akan dimulai di zona tersebut.
Pemikiran penyatuan parsial
atau zonal ini memiliki kekurangan dari sisi masih mungkin terjadinya perbedaan
dalam memulai bulan baru hijriah walaupun maksimal perbedaan yang terjadi dalam
ini hanya satu hari. Artinya, walaupun pembagian zona yang terjadi adalah tiga
atau empat zona, perbedaan yang mungkin terjadi tetap hanya satu hari. Semakin
banyak zona yang ada, maka tingkat ketelitian dalam memperhitungkan kemungkinan
kenampakan hilal akan semakin tinggi. Akan tetapi, terbaginya zona di dunia
dalam tiga atau empat zona membawa dampak pada kemungkinan tidak bersatunya
dunia Islam dalam satu permulaan bulan baru hijriah, sehingga tidak akan dapat
menciptakan sebuah kesatuan dalam kalender hijriah.
Dan hal inilah yang menjadi
keunggulan pembagian dunia dalam dua zona. Jika pada suatu saat hilal hanya
dapat dilihat dari zona Barat dan tidak dapat dilihat dari zona Timur yang
menjadikan adanya perbedaan dalam memulai bulan baru hijriah, sebagian besar
dunia Islam yang berada di zona Timur tetap akan memulai bulan baru hijriah
secara bersamaan Artinya, akan ada “kesatuan” di sebagian besar dunia Islam
yang menjadikan sebagian besar umat Islam akan memasuki bulan baru hijriah
secara bersamaan.
5.
Kesatuan matla’ lokal (al-mahalli)
Kesatuan matla’ lokal
inilah yang dipakai sebagian besar kalender hijriah di dunia Islam, yakni menjadikan
batas-batas negara secara politik sebagai batasan dalam keberlakuan rukyah atau
yang lebih dikenal dengan kesatuan dalam wilayah hukum (matla’ fi wilayah al-hukm). Matla’ akan
berbeda-beda dari sisi luas dan sempitnya sesuai dengan luas dan sempitnya batasan
sebuah negara. Dan kesatuan matla’ hanya terbatas pada luas sebuah negara.
E.
Kesimpulan
Pemikiran Odeh tentang ragam pembagian matla’ bisa
dikatakan sebagai sebuah pemikiran yang baru tentang konsep matla’ karena
memberikan sentuhan perhitungan astronomis yang lebih besar dibandingkan
pemikiran-pemikiran tentang matla’ sebelumnya yang banyak dihubungkan
dengan konsep-konsep geografis semata (semisal satu wilayah iklim, tinggi rendah
wilayah) atau bahkan dihubungkan dengan konsep lain yang tidak memiliki
hubungan sama sekali dengan persoalan astronomis (semisal masafah al-qasr).
Ragam penyatuan matla’ yang disampaikan Odeh juga lebih rinci
dibandingkan pemikiran lain yang hanya membagi penyatuan matla’ pada matla’
global dan matla’ fi wilayah al-hukmi.
Pada akhirnya, persoalan penyatuan awal bulan hijriah
yang diinginkan juga harus melihat pada penyatuan matla’ yang akan
dianut. Jika penyatuan yang diinginkan adalah pada tingkat nasional, wilayah
dalam satu negara, maka matla’ yang dipakai adalah matla’ fi wilayah
al-hukmi, jika yang diinginkan adalah penyatuan di sebagian besar dunia
Islam, maka matla’ yang dipakai
adalah matla’ juz’i (zonal), dan jika yang diinginkan adalah penyatuan
awal bulan hijriah secara global, maka penyatuan matla’ yang dianut adalah matla’ global. Dan
masing-masing pemikiran memiliki keunggulan dan kelebihannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Tha’iy, Muhammad Basil, 2007, Ilmu al-Falak wa al-Taqawim,
Beirut: Dar al-Nafais.The Nautical Almanac
Office, U.S. Naval Observatory, 1992, Explanatory Suplement to The Astronomical
Almanac, California: University Science Books.
Al-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Beirut: Dar
al-Fikr.
Audah, Mohammad Syaukat, 2004, Taqwim Nasb al-Khata’ fi Tahdid Awail al-Asyhur al-Hijriyyah (fi
al-Urdun), Yordania: Islamic Crescent Observation Project.
Azhari, Susiknan, 2007, Perjumpaan Khazanah Islam
dan Sains Modern, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
_____________, 2008, Ensiklopedi Hisab Rukyat,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Departemen Agama RI, 2004, Hisab Rukyat dan Perbedaannya,
Jakarta.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia,
Hambali, Slamet, 2011, Almanak Sepanjang Masa: Sejarah Sistem
Penanggalan Masehi, Hijriyah dan Jawa, Semarang: PPS IAIN Walisongo.
Hasan, Amir Husen, tt, al-Adillah al-Syar’iyyah fi
Itsbat al-Syuhur al-Qamariyah bi al-Hisabat al-Falakiyah, al-Ma’had
al-Qaumy.
Ijtihad, Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Vol. 12, No.
2, Desember 2012.
Izzuddin, Ahmad, 2007, Fiqh Hisab Rukyat:
Menyatukan NU dan Muhammadiyah dalam Penentuan Awal Ramadlan, Idhul Fitri dan
Idul Adha, Jakarta: Erlangga.
Jamaludin, Thomas, 2005, Menggagas Fiqh Astronomi: Tela’ah Hisab
Rukyat dan Pencarian Solusi Perbedaan Hari Raya, Bandung: Kaki Langit.
Jumsa, Uum, 2006, Ilmu Falak: Panduan Praktis
Menentukan Hilal, Bandung: Humaniora.Setyanto,
Hendro, 2008, Membaca langit, Jakarta Pusat: al-Ghuraba.
Khazin, Muhyidin, 2005, Kamus Ilmu Falak,
Yogyakarta: Buana Pustaka.
Nawawi, Abdul Salam, 2004, Rukyat Hisab di Kalangan NU dan
Muhammadiyah: Meredam Konflik dalam Menetapkan Hilal, Surabaya: Diantama.
Qasim, Nazar Mahmud, 2009, al-Ma’ayir al-Fiqhiyyah wa al-Falakiyah fi
I’dad al-Taqawim al-Hijriyah, Beirut: Dar al-Basyair al-Islamiyah.
Ruskanda, Farid, 1996, 100 Masalah Hisab dan
Rukyat: Telaah Syariah, Sains dan Teknologi, Jakarta: Gema Insani Press.
Sudibyo, Ma’rufin, 2012, Bulan Sabit di Kaki Langit, Observasi Hilal
di Indonesia dan Signifikansinya dalam Pembentukan Kriteria Visibilitas
Nasional dan Regional, dalam Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2012, Penyatuan Kalender Hijriyah: Sebuah Upaya
Pencarian Kriteria Hilal yang Objektif Ilmiah, Semarang: Fakultas Syariah
IAIN Walisongo.
[1] Nama
Hijriyah diambil dari peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad saw dari Mekkah ke
Madinah. Tahun 1 Hijriah adalah tahun Nabi melaksanakan hijrah tersebut. Ada
dua epoch yang dijadikan acuan sebagai 1 Muharram 1 hijriah, yaitu 15
Juli 622 M dan 16 Juli 622. Hari dalam sistem penanggalan Hijriah dimulai dari
matahari terbenam hari sebelumnya hingga matahari terbenam hari tersebut.
Misalnya, yang dimaksud dengan hari Sabtu adalah hari yang dimulai dari setelah
matahari terbenam pada hari Jum’at hingga matahari terbenam pada hari Sabtu itu
sendiri. (The Nautical Almanac Office, U.S. Naval Observatory, 1992:589).
[2] Bulan,
dalam bahasa inggris disebut moon, yaitu satu-satunya benda langit pengikut
Bumi. Bulan ini tidak memancarkan sinar sendiri, terlihat dari Bumi karena
menerima sinar dari Matahari. Pada saat ijtimak, bulan ini tidak memantulkan
sinar ke Bumi. Dari hari ke hari rupa semu bulan mulai nampak, mula-mula
seperti sabit. Kemudian semakin lama semakin membesar, sampailah pada bentuk
setengah lingkaran (Arab: Tarbi’ al-awwal, Inggris: First Quarter). Sesudah
malam yang ke 14-15, dalam posisi istilah dengan Matahari tampaklah Bulan
bersinar penuh yang disebut purnama (Arab: Badri, Inggris: Full Moon). Kemudian
setelah itu makin lama makin mengecil hingga pada akhir minggu ketiga rupa semu
itu menjadi setengah lingkaran lagi (tarbi’ al-Tsani/Last Quarter). Akhirnya
pada malam yang ke 29 cahayanya semakin menghilang, dan pada saat itu disebut
Muhak (bulan mati) (Susiknan Azhari, 2008:174).
[3] 12 bulan
itu adalah bulan Muharram, shafar, Rabiul Awal, Rabiul Tsani, Jumadil Awal,
Jumadil Tsani, Rajab, Sya’ban, Ramadlan, Syawwal, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah
(Uum Jumsa, 2006:2).
[4] Hilal
atau bulan sabit yang dalam astronomi dikenal dengan nama Crescent adalah
bagian bulan yang tampak terang dari Bumi sebagai akibat cahaya Matahari yang
dipantulkan olehnya pada hari terjadinya ijtima’ sesaat setelah Matahari
terbenam. Hilal ini dapat dipakai pertenda pergantian bulan hijriyah. Apabila
setelah Matahari terbenam hilal tampak maka malam itu dan keesokan harinya
merupakan tanggal satu bulan berikutnya (Khazin, 2005:30). Ketentuan ini di
dasarkan pada hadis Nabi (Amir Husen Hasan, tt: 19 t6t) tentang mengawali dan
mengkahiri puasa, salah satu hadis tersebut adalah:
لاتصوموا حتى تروا الهلال ولاتفطروا حتى تروه فإن غم عليكم فاقدروله (رواه
البخاري عن عبد الله ابن مسلمة عن مالك عن نافع عن عبد الله ابن عمر رضي الله
عنهما – صحيح البخاري – الجزء الأول-باب الصيام)
[5] Dalam
penanggalan sistem hisab urfi, jumlah hari dalam tiap bulan selalu
berselang-seling antara bulan satu dengan bulan berikutnya (30, 29, 30, 29, dan
seterusnya). Kecuali bulan dzulhijjah, jumlah harinya ketika tahun basithah
adalah 29 hari dan ketika tahun kabisat adalah 30 hari. Akan tetapi,
penanggalan sistem hisab hakiki dan kontemporer tergantung dari hasil observasi
hilal pada tanggal 29 tiap bulan, jika hilal telah tampak (madzhab rukyat),
telah berada di atas ufuk walaupun tidak bisa dilihat (wujudul hilal madzhab
hisab), atau hilal sudah memenuhi kriteria dapat dilihat walaupun terhalang
oleh situasi anomali langit (imkanurrukyat), maka hari esoknya sudah masuk
tanggal 1 bulan berikutnya, dan umur bulan sebelumnya adalah 29 hari.
[6] Konstruksi
kriteria visibilitas yaitu batas minimum prediktif yang valid dan reliabel bagi
Bulan sebagai hilal untuk mata dalam kondisi diidealkan sekaligus sebagai
jembatan penghubung antara hisab dan rukyat (Ma’rufin Sudibyo, 2012: 188, dalam
Kumpulan Papers Lokakarya Internasional Penyatuan Kalender Hijriyah: Sebuah
Upaya Pencarian Kriteria Hilal yang Objektif Ilmiah ).
[7] Ma’rufin
Sudibyo membagi visibilitas hilal kepada: 1) visibilitas hilal klasik dan 2)
visibilitas hilal modern.
[8] Pengikut rukyat al-hilal umumnya merasa itulah yang paling benar
karena cara itulah yang diajarkan Rasulullah saw tanpa menyadari kemungkinan
salah dalam merukyat karena keawaman pengamatnya. Pengikut hisab merasa yakin
akan akurasi penentuannya berdasarkan pengalaman ketepatan dengan banyak bukti
rukyat, terutama saat ijtima’ dalam bentuk gerhana matahari (Jamaluddin, 2005:
18).
[9] Ufuk atau horison secara praktis merupakan garis batas pandangan manusia.
Jadi, jika manusia berada di tempat ketika pandangannya bisa mengarah bebas
tanpa ada yang menghalangi, maka garis terjauh yang bisa dilihat merupakan
garis ufuk. Untuk memperoleh pandangan secara lepas, sebaiknya seorang pengamat
memilih lokasi dipinggir laut tanpa pulau atau gunung yang menghalangi
pandangannya. Semakin tinggi posisi seseorang, maka semakin luas pandangan yang
tercakup, dan semakin jauh serta semakin rendah garis ufuk yang terlihat. Untuk
itu, tempat yang paling ideal untuk melakukan pengamatan hilal adalah tempat
yang tinggi, di pinggir laut lepas (Ruskanda, 1996: 22-23).
[10] Perbedaan kiteria posisi hilal di atas ufuk ini kemudian oleh Susiknan
Azhari diklasifikasikan dalam 3 kelompok
aliran, yaitu aliran (1) ijtima’ dan ufuk hakiki, di mana awal
bulan dimulai saat terbenam matahari setelah terjadi ijtimak dan pada saat itu
hilal sudah berada di atas ufuk hakiki, (2) ijtima’ dan ufuk hissi,
di mana awal bulan dimulai pada saat terbenam matahari setelah terjadi ijtimak
dan pada saat itu hilal sudah berada di atas ufuk hissi, dan (3) ijtima’
dan imkan al-rukyat, di mana awal bulan dimulai pada saat
terbenam matahari setelah terjadi ijtimak dan pada saat itu hilal dimungkinkan
untuk dapat dirukyat (Azhari, 2007:109-110).
[11] Sebagaimana yang telah dikutip oleh Susiknan Azhari, bahwa dalam
dictionary of Modern Written Arabic halaman 565 karya Hans Wehr, kata matlak
diartikan dengan time rising (Azhari, 2007:120-121), sedangkan dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia kata matlak diartikan sebagai daerah tempat terbit
matahari, terbit fajar, atau terbit bulan (Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, : 1082). Pengertian seperti ini dapat ditemukan pula dalam O.S
al-Qadr ayat 5 yang artinya , “Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit
fajar”.
[12] Pemikiran
ini terkenal dengan ru’yah fi wilayah al-hukmi sebagaimana yang selama
ini dipegang oleh Nahdlatul Ulama secara institusi (Izzuddin, 2007: 87).
[13] Argumentasi
kelompok ini adalah bahwa khitab dari hadis-hadis hisab rukyat ditujukan kepada
seluruh umat Islam di dunia, tidak dibedakan oleh perbedaan geografis dan
batas-batas daerah kekuasaan. Pemikiran ini terkenal dengan rukyat
internasional yang dipegang oleh Komisi Penyatuan Kalender Hijriyah
Internasional, yang dalam konteks keindonesiaan diwakili oleh kelompok Hizbut
Tahrir. Kelompok Hizbut Tahrir sendiri mempunyai beberapa lembaga dakwah hidup
di masyarakat seperti Lembaga Dakwah al-Misykah di Semarang, Lembaga Dakwah
al-Ihtikam di Surabaya, dan al-Inqiyad di Jawa Barat. Selama ini mereka sering
kali mengkampanyekan pemikirannya dalam beberapa forum diskusi panel (Izzuddin,
2007: 86).
[14] Hadits ini telah dikeluarkan oleh imam-imam : Muslim (3/126), Abu
Dawud (No. 2332), Nasa'i (4/105-106), Tirmidzi (No. 689), Ibnu Khuzaimah (No.
1916), Daruquthni (2/171), Baihaqy (4/251) dan Ahmad (Al-Fathur-Rabbaani
9/270), semuanya dari jalan : Ismail bin Ja'far, dan Muhammad bin Abi Harmalah
dari Kuraib dari Ibnu Abbas. Berkata Imam Tirmidzi : Hadits Ibnu Abbas hadits :
Hasan-Shahih (dan) Gharib. Berkata Imam Daruquthni : Sanad (Hadits) ini Shahih.
https://sofianasma.wordpress.com/2013/01/22/tinjauan-fikih-dan-astronomis-penyatuan-matla-menelusuri-pemikiran-m-s-odeh-tentang-ragam-penyatuan-matla/
BalasHapus