Selasa, 26 Mei 2015

PENYATUAN MATHLA’ PERSPEKTIF FIQH DAN ASTRONOMIS (Menelusuri Pemikiran M. S. Odeh tentang Ragam Penyatuan Mathla’)

PENYATUAN MATHLA’ PERSPEKTIF FIQH DAN ASTRONOMIS
(Menelusuri Pemikiran M. S. Odeh tentang Ragam Penyatuan Mathla’)
(Oleh: Badrun Tamam)

A.     Latar Belakang
Kalender hijriyah[1] merupakan sistem penanggalan berdasarkan pergerakan bulan mengelilingi bumi[2] yang terdiri dari 12 bulan[3] (Hambali, 2011:13). Awal bulan ditandai dengan penampakan hilal[4] (Nazar Mahmud Qasim, 2009: 125). Jumlah hari dalam satu bulan Hijriah maksimal 30 hari dan minimal 29 hari[5] (Muhammad Basil al-Tha’iy, 2007: 248). Rukyat untuk observasi hilal dilaksanakan pada tanggal 29 setiap bulannya (Hendro Setyanto, 2008: 75).
Permulaan awal bulan Hijriyah dalam perkembangannya tidak semata berdasar rukyat namun juga dipengaruhi oleh kriteria visibilitas hilal Perbedaan metode dan kriteria visibilitas[6] serta mungkin atau tidaknya hilal terlihat menyebabkan timbulnya kontroversi dalam penentuan awal bulan Hijriyah dan akhir bulan Hijriyah seperti yang dilansir Ma’rufin Sudibyo (2012: 200) dalam papernya yang termuat dalam buku “Penyatuan Kalender Hijriyah, Sebuah upaya Pencarian Kriteria Hilal yang Obyektif Ilmiah”.[7]
Secara teknis, penyebab perbedaan itu adalah masih banyaknya sistem dan referensi hisab yang masih dipakai oleh masyarakat sebagai acuan. Hasil dari satu sistem dengan sistem lainnya dapat berbeda. Demikian pula, masih terdapat perbedaan di kalangan ahli rukyat tentang syarat dapat diterimanya suatu hasil rukyat. Akibatnya perbedaan bukan saja terjadi antara kalangan hisab dan kalangan rukyat, tapi juga terjadi di antara kalangan hisab atau rukyat itu sendiri[8] (Departemen Agama RI, 2004: 16).
Wahyu Widiana dalam kata sambutannya di Buku Menggagas Fiqh Astronomi (Jamaludin, 2005: x) menyebutkan secara garis besar ada 4 hal penyebab perbedaan tersebut, yaitu: pertama, perbedaan antara hisab dan rukyat, ia menyebutkan bahwa berdasarkan kasus yang tercatat di Direktorat Pembinaan Peradilan Agama sejak tahun 1962, ada kesimpulan bahwa: jika ahli hisab sepakat menyatakan hilal berada dibawah ufuq, maka tidak pernah ada orang yang melaporkan bahwa hilal berhasil dirukyat. Sebaliknya, jika ahli hisab sepakat bahwa hilal telah di atas ufuq, maka hampir selalu dilaporkan bisa diobservasi (dirukyat). Ia berkesimpulan bahwa tidak selamanya perbedaan ini menimbulkan perbedaan dalam memulai puasa atau hari raya.
Kedua, perbedaan di kalangan ahli hisab, yang bermuara pada dua hal, yaitu karena (1) bermacam-macamnya sistem dan referensi hisab yang dapat dikelompokkan pada tiga, yaitu: hisab taqriby, hisab tahqiqy dan hisab kontemporer, dan (2) karena berbeda-beda kriteria hasil hisab yang dijadikan pedoman, sebagian berpedoman pada ijtima’ qablal ghurub, sebagian berpedoman pada posisi hilal di atas ufuq[9]. Yang berpegang pada posisi hilal di atas ufuq juga berbeda-beda. Ada yang berpendapat pada wujudul hilal di atas ufuq dan ada yang berpedoman pada imkanu al-rukyat 2 derajat atau 5 derajat (Jamaludin, 2005: xi)[10].
Ketiga, perbedaan di kalangan ahli rukyat, yaitu bahwa belum ada satu kata dalam menetapkan mathla’[11], tentang batasan wilayah berlakunya hasil rukyat suatu tempat. Ada yang menganggap hasil rukyat suatu tempat hanya berlaku untuk satu wilayah hukum (negara)[12]. Sebagiannya lagi berpendapat bahwa rukyat suatu tempat berlaku untuk seluruh dunia[13]. Perbedaan ini berimbas pada perbedaan mengawali puasa dan berhari raya. Kasus seperti ini banyak terjadi jika Saudi Arabia telah dikabarkan telah berhasil rukyat, maka di Indonesia akan terpengaruh dengan informasi hasil rukyat tersebut (Jamaludin, 2005: xi-xii).
Keempat, perbedaan di luar teknis hisab rukyat, yang disebabkan antara lain karena: pertama, adanya pemahaman fiqh yang berbeda. Sebagian menghendaki agar Idul Adha di Indonesia mengikuti penetapan hari wukuf di Saudi Arabia, sedangkan yang lainnya menghendaki agar penetapan Idul Adha di Indonesia berdasarkan keadaan di Indonesia. Kedua, sulitnya melakukan kesepakatan tentang pedoman penentuan awal bulan Qamariyah yang dapat mengikat semua pihak (Jamaludin, 2005: xii).
Makalah ini akan menfokuskan kajiannya pada problematika pemahaman matla’ di atas. Tulisan ini hendak melihat salah satu hasil pemikiran Mohammad Shawkat Odeh, salah seorang tokoh ilmu falak di dunia islam, tentang ragam penyatuan matla’. Pemikiran tentang ragam penyatuan matla’  yang disampaikan oleh M. S. Odeh sangat penting untuk disampaikan karena pembagian penyatuan matla’ yang dilakukannya bisa dikatakan sebagai sebuah pemikiran yang baru dalam khazanah pemikiran ilmu falak di dunia Islam.

B.     Biografi M. Syaukat Audah
Ia bernama Ir. Muhammad Syaukat ‘Audah (lebih dikenal dengan nama Mohammad Shawkat Odeh di dunia Internasional). Dalam homepage (http://www.geocities.com/capecanaveral/1092/index.html)nya, Odeh mengatakan bahwa ia berasal dari Nablus, Palestina dan lahir di kota Kuwait, 6 Maret 1979. Ia tumbuh besar di kota Amman ibukota negara Jordan. Ia menyelesaikan studi Mekanik dan Engineering di Universitas Jordan, Fakultas Sains dan Teknologi pada tahun 2002. Di umurnya yang menginjak ke-20, tahun 1998, Odeh mendirikan sebuah lembaga penelitian dan observasi hilal ICOP (Islamic Crescents’ Observation Project). Hingga saat ini, lembaga tersebut memiliki ratusan ilmuwan yang terdiri dari pakar ilmu falak dan individu-individu yang intens dalam penelitian dan pengkajian hilal dari berbagai negara di dunia.
Odeh (2004: 2) mengatakan beberapa hal yang mendorongnya mendirikan ICOP, yaitu (1) Adanya perbedaan di antara umat Islam dalam memulai bulan hijriah baru, terutama Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah, (2) Komentar sebagian orang tentang tidak akuratnya ilmu hisab kontemporer dan (3) Diterimanya laporan pengamatan hilal di saat hilal seharusnya tidak teramati. Hal ini sangat menggelisahkan Odeh dan mendorongnya untuk meneliti kemungkinan kesalahan dalam memulai bulan baru di Yordania. Hal tersebut dilakukan dengan tiga tahap, yaitu (1) mengumpulkan surat kabar yang terbit antara tahun 1953-1999, (2) meneliti pengumuman pemerintah Yordania dalam memulai bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijjah kemudian (3) membandingkannya dengan permulaan bulan baru yang seharusnya, sesuai dengan perhitungan hisab kontemporer. Tugas itulah yang kemudian diemban oleh ICOP dan menghasilkan kesimpulan yang sangat mengejutkan.
Ada beberapa hal penting yang dihasilkan dari penelitian Odeh tersebut, di antaranya:
1.      Dari 47 bulan Ramadan tahun 1954-1999, 60% (28 bulan) diantaranya bulan baru dimulai padahal hilal mustahil dirukyah (di bawah ufuk), 36% (17 bulan) hilal tidak mungkin dirukyah, dan hanya1% (1 bulan) hilal mungkin dirukyah dengan alat optik dan 1% (1 bulan) mungkin dirukyah dengan mata telanjang. Yang juga mengejutkan adalah bahwa permulaan baru di saat-saat itu selalu ditetapkan dengan adanya laporan keberhasilan rukyah. 
2.      Untuk bulan Syawal (47 bulan), 68% (32 bulan) diantaranya hilal mustahil dirukyah, 30% (14 bulan) hilal tidak mungkin dirukyah, dan hanya 2% (1 bulan) hilal mungkin dirukyah dengan alat optik.
3.      Untuk bulan Zulhijjah (48 bulan), dalam hal ini pemerintah Yordania selalu mengikuti Arab Saudi, hasilnya adalah 35% (17 bulan) hilal mustahil dirukyah, 44% (21 bulan) hilal tidak mungkin dirukyah, dan 21% (10 bulan) hilal mungkin dirukyah 6 bulan diantaranya dengan alat optik dan 4 bulan dengan mata telanjang.
Odeh saat ini juga merupakan bagian dari anggota tim Arab Union for Astronomy and Space Sciences (AUASS), yang fungsi dari organisasi ini adalah menetapkan waktu salat dan melaksanakan rukyatul hilal. Selain itu, Odeh telah mengikuti berbagai seminar internasional dalam bidang ilmu falak dan juga telah membuat sebuah software (Accurate Times/al-Mawaqit ad-Daqiqah) yang mampu menghitung waktu-waktu salat, imkanur rukyah hilal, arah kiblat, dan waktu terbit serta tenggelam bagi matahari dan bulan yang telah digunakan di berbagai belahan dunia (Al-Amin, 2008). Program Odeh ini secara resmi digunakan sebagai alat penentu imkanurrukyat dan kalender hijriah di Yordania dan Aljazair.
Di antara karya-karya Odeh yang berkaitan dengan ilmu falak yang sebagian besarnya diunduh dari website ICOP adalah: al-Farq Bain al-Hilal wa Tawallud al-Hilal, al-Hilal Bain Hisabat al-Falakiyyah wa ar-Rukyah, Taqwim Nasb al-Khata’ fi Tahdid Awail al-Asyhur al-Hijriyyah (fi al-Urdun), “New Criterion for Lunar Crescent Visibility” yang merupakan artikel dalam Nidhal Guesseoum & Mohammad Odeh (ed.), Aplications of Astronomical Calculations to Islamic Issues, at-Taqwim al-Hijri al-‘Alami, Tatbiqat Tiknulujiyya al-Ma’lumat li I’dad Taqwim Hijriy ‘Alamiy, Al-Farq Bain Atwar al-Qamar al-Markaziyah wa as-Sathiyyah, at-Tahwil Ma Bain at-Taqwimain al-Hijri wa al-Miladi, Hilal Ramadan Bain al-Hisab al-Falaki wa ar-Ru’yah, Hisab Mawaqit as-Salah, dan Taqdir Mau’idai Salat al-Fajr wa al-‘Isya’ ‘inda Ikhtifa al-‘Alamat al-Falakiyyah fi al-Mantiqah Ma Bain Khatai ‘Ard 48.6° wa 66.6°. Karya terakhirnya yang berkaitan dengan tema penyatuan matla’  berjudul Ikhtilaf al-Matali’, al-Manatiq al-Musytarakah bi Matla’Wahid yang merupakan makalah yang dipresentasikan pada al-Mu’tamar al-‘Alami li Isbat asy-Syuhur al-Qamariyyah ‘inda ‘Ulama asy-Syari’ah wa al-Hisab al-Falaki yang diadakan oleh Komite Fiqh Islam (al-Majma’ al-Fiqhi al-Islami) OKI (Rabitah al-‘Alam al-Islami dikantor OKI, Mekah, pada tanggal 19-21/03/1433 H/11-13/02/2012 M.

C.    Konsep Matla’  dalam Fiqh dan Astronomi
Perbedaan tentang penyatuan matla’ dalam sejarah pemikiran Islam paling tidak dapat dilihat dari adanya perbedaan tentang keberlakuan hasil rukyah. Hal ini bermula dari perbedaan apabila hilal berhasil dirukyah di suatu kawasan, maka apakah hasil rukyah di kawasan tersebut berlaku untuk seluruh umat Islam yang ada di seluruh dunia ataukah hanya diberlakukan untuk kaum muslim di kawasan tempat keberhasilan rukyah tersebut saja.
Kata matla’  secara bahasa berasal dari ta-la-‘a yang artinya terbit, muncul, keluar (Munawwir, 1984: 921). Kata ini kemudian dapat dibentuk menjadi matli’ dengan huruf lam yang dikasrah dan matla’ dengan huruf lam yang difathah yang memiliki makna yang berbeda. Kata bentukan pertama (matli’) bermakna tempat munculnya bulan, bintang, atau matahari sedangkan kata bentukan kedua (matla’) bermakna waktu atau zaman munculnya bulan, bintang, atau matahari. Makna ini dapat dilihat dalam al-Qur’an surat al-Kahf ayat 90 dan al-Qadar ayat 5:


Mengenai keberlakuan matla’ ini para ulama, apabila dilacak pada literatur klasik ada dua pendapat berbeda. Pertama, pendapat Jumhur Ulama madzhab Hanafi, Maliki, dan Hambali. Mereka berpendapat bahwa rukyah di suatu negeri berlaku untuk seluruh kaum muslimin di negeri-negeri yang lain, sehingga adanya perbedaan matla’ (ikhtilaf al-matali’) tidak memiliki pengaruh apapun terhadap penentuan masuknya bulan baru hijriah. Pendapat kedua adalah pendapat Imam al-Syafi’i dan sejumlah ulama salaf yang berpendapat bahwa penentuan awal bulan hijriyah memperhitungkan perbedaan matla’ sehingga masing-masing negeri penetapan awal bulan didasarkan kepada hasil pengamatan hilal di negerinya sendiri (al-Zuhaili, 1996: II/605).
Kelompok pertama yang menjadikan satu dunia dalam satu kesatuan dalam penentuan awal bulan kamariah (kesatuan matla’  atau  ittifaq/ittihad al-matali’) mendasarkan pendapatnya pada keumuman hadis tentang perintah puasa. Hadis yang memerintahkan untuk memulai puasa ditujukan untuk seluruh umat Islam di seluruh penjuru dunia. Jika ada kesaksian hilal dapat dirukyah di satu tempat, maka kesaksian itu diberlakukan untuk seluruh umat Islam di dunia tanpa membedakan perbedaan negara dan wilayah (al-Zuhaili, 1996, II/609).
Sedangkan kelompok kedua mendasarkan pendapatnya pada hadis Kuraib[14] tentang tidak dipakainya keberhasilan rukyah Mu’awiyah yang ada di Syam oleh Ibnu ‘Abbas yang saat itu berada di Madinah.








Hadis ini memberikan pengertian bahwa Ibnu ‘Abbas yang berada di Madinah, yang berbeda matla’ dengan Syam, tidak menerima hasil rukyah Mu’awiyah karena perbedaan jarak yang jauh antara kedua tempat tersebut. Perkataan Ibnu ‘Abbas “Tidak, demikianlah Rasulullah saw. memerintahkan kita” dalam hadis tersebut menjadi dalil bahwa setiap negeri harus mengikuti hasil rukyatnya sendiri-sendiri, dan hasil rukyat suatu negeri tidak berlaku untuk negeri yang lain karena ada perbedaan matla’  (li ikhtilaf matali’).
Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa apabila wilayahnya saling berdekatan, maka keberhasilan rukyah tersebut dapat ditransfer ke wilayah yang lain. Sedangkan apabila berjauhan, maka sebagian ulama tetap membolehkan transfer rukyah, sedangkan sebagian yang lain melarangnya.
Ukuran jauh dan dekatnya satu wilayah ke wilayah yang lain, para ulama juga berbeda pendapat. Diantara pendapat-pendapat tersebut; pertama, dengan melihat perbedaan matla’. Apabila dua wilayah masih dalam satu matla’, maka dianggap sebagai wilayah yang berdekatan. Dan dikatakan berjauhan apabila di luar wilayah tersebut. Kedua, masafah al-qasr, jarak yang diperbolehkan untuk melakukan salat qasar. Ketiga, perbedaan iklim, dan keempat adalah berdasar pada perbedaan kedua wilayah dari sisi tinggi rendah geografis, seperti antara wilayah pegunungan dan dataran rendah, yang menjadikan satu wilayah lebih mudah dalam melihat hilal dibanding wilayah yang lain.
Keempat ukuran jarak diberlakukannya hasil rukyah tersebut memang masih perlu diperdebatkan landasan normatifnya, masih menimbulkan berbagai penafsiran dari sisi hakikatnya selain membutuhkan “penerjemahan” yang tepat ke dalam perhitungan matematis kontemporer.
Mengenai batas satu matla’, Abdul Salam Nawawi (2004: 106-111) berusaha melakukan perhitungan sederhana (kira-kira/taqribi) batas matla’  ke arah Timur dari pusat observasi atau markaz rukyah dengan memperhitungkan kecepatan gerakan Bumi pada porosnya, kecepatan gerakan Bulan mengelilingi Bumi, dan kecepatan gerakan semu Matahari di sepanjang lingkaran ekliptika. Dari hasil perhitungan faktor-faktor tersebut, ia mengatakan bahwa batas matla’ ke arah Timur dari markaz rukyat dapat dihitung dengan salah satu dari dua rumus:
1.      Derajat irtifa’ (ketinggian) hilal dikurangi derajat batas visibilitas hilal, dibagi 0°30‘28,6", lalu dikalikan 15.
2.      Derajat irtifa’ (ketinggian) hilal dikurangi derajat batas visibilitas hilal, lalu dikalikan 29°31‘50,84".
Untuk pusat observasi hilal Jakarta, misalnya, jika diketahui bahwa ketinggian hilalnya 3°6‘, sedangkan batas visibilitas hilalnya –misalnya- 2°, maka batas matla’ ke arah Timur dari markaz tersebut adalah (3°6‘- 2°) : 0°30‘28,6" x 15 = 32°29‘1,92". Jadi, batas matla’ di sebelah Timur markaz rukyah Jakarta (bujur 106°49‘)  adalah 139°18‘1,92" yang hampir mencapai Merauke atau sekitar 3.585 km (hasil dari 32°29‘1,92" x (111 km x cosines 6°10‘ (lintang Jakarta). Batas matla’  ini akan lebih panjang apabila batas visibilitas hilal yang dijadikan patokan lebih kecil dari 2° dan akan lebih pendek apabila batas visibilitas hilalnya lebih besar dari 2°. Wahbah al-Zuhaili (1996: II/ 607) mengatakan bahwa 1 matla’  setara dengan 24 farsakh. Jika 1  farsakh adalah 3 mil, maka 1 matla’  adalah 24 x 3 x 1,6093 km = 115,8696 km. Akan tetapi jika 1  farsakh adalah 5544 m, maka 1 matla’  adalah 133,056 km.
Jarak masafah al-qasr menurut Wahbah al-Zuhaili (1996: II/607) adalah 4 barid atau 16 farsakh. Jika 1 farsakh 5544 m, maka jarak tersebut adalah 16 x 5544 = 88,704 km. Akan tetapi, jika 1 farsakh adalah 3 mil, maka jarak tersebut menjadi 1,6093 km x 3 x 16 = 77,2464 km. Sedangkan Zubair ‘Umar al-Jailani (t.t.: 203) mengatakan bahwa masafah al-qasr adalah 89,05920 km karena 1 mil dalam pandangannya adalah 1855,40 m.
Dengan munculnya konsep negara bangsa (nation state) di masa ini, maka ukuran-ukuran tersebut dapat memunculkan berbagai masalah. Jika ukuran keberlakuan hasil rukyah diberlakukan sejauh matla’  sebagaimana definisi di atas, maka sebuah negara yang memiliki wilayah yang luas seperti Indonesia akan memiliki beberapa matla’. Begitu juga dengan ukuran-ukuran yang lain. Oleh karena itulah kemudian muncul konsep matla’ fi wilayah al-hukm (wilayatul hukmi/wilayah pemerintahan negara) yang memberlakukan keberhasilan rukyah pada sebuah pemerintahan negara bangsa. Ukuran matla’  fi wilayah al-hukm (wilayatul hukmi) inipun akhirnya bersifat sangat relatif, mengikuti sempit dan luasnya wilayah suatu negara.

D.    Pemikiran M. Syaukat Audah tentang Penyatuan Matla’
Saat berbicara tentang konsep perbedaan dan penyatuan matla’  dalam pandangan para ulama fikih, harus dipahami bahwa perbedaan pendapat tersebut ssangat tergantung pada tingkat pengetahuan dan pemahaman mereka dengan persoalan ilmu falak. Argumentasi yang disampaikan untuk menguatkan pandangan dan menolak pandangan ulama lain yang berbeda pendapat juga beragam sesuai dengan kemampuan mereka dalam persoalan ilmu falak. Oleh karena itu, ada beberapa argumentasi atas pendapat yang berkaitan dengan tema matla’  terkadang tidak berkaitan sama sekali dengan persoalan astronomi dan ilmu falak.
Oleh karena itulah, menurut Odeh, seperti yang dikutip oleh Nashiruddin (2012: 187-191), pemahaman atas permasalahan astronomi menjadi sangat penting agar pendapat fikih yang berkaitan dengan tema astronomi seperti persoalan matla’ tidak terlalu jauh dengan kenyataan-kanyataan ilmiah astronomis. Secara astronomis, menurut Odeh, tema perbedaan matla’, apabila dikaitkan dengan observasi (rukyah) hilal, dapat dilihat dari tiga poin:
1.      Kondisi rukyah hilal berbeda sesuai perbedaan garis bujur (pergerakan ke arah utara dan selatan). Artinya, wilayah yang berada dalam satu garis bujur tidak bisa dikatakan memiliki matla’  yang sama. Matahari dan hilal akan berada pada waktu terbenam yang berbeda walaupun berada pada satu garis bujur. Oleh karena itu, hilal bisa saja mustahil dilihat di satu wilayah, akan tetapi mudah dilihat di wilayah yang lain yang memiliki garis lintang yang sama akan tetapi berbeda garis bujurnya.
2.      Kondisi rukyah hilal berbeda sesuai perbedaan garis lintang (pergerakan ke arah barat dan timur). Hampir sama dengan point pertama, wilayah yang berada dalam satu garis lintang juga tidak bisa dikatakan memiliki matla’ yang sama. Hilal bisa saja mustahil dilihat di satu wilayah, akan tetapi mudah dilihat di wilayah yang lain yang memiliki garis bujur yang sama akan tetapi berbeda garis lintangnya.
3.      Ketinggian lokasi observasi dari permukaan air laut harus diperhatikan saat rukyah. Ketika seseorang melakukan observasi, maka ketinggian tempat observasi dari permukaan air laut sangat mempengaruhi keberhasilan rukyah. Oleh karena itu, keberhasilan rukyah tidak bisa disamakan antara satu wilayah dengan wilayah lain dengan mengabaikan ketinggian tempat dari permukaan air laut.
Dalam perhitungan yang mengaitkan perbedaan dan kesatuan matla’  dengan perhitungan ilmiah astronomis dan realitas empiris, prinsip kesatuan matla’  bisa dibedakan dalam beberapa bentuk di bawah ini.
1.      Kesatuan matla’  secara mutlak
Pemikiran tentang kesatuan matla’ secara mutlak ini menjadikan satu dunia dalam satu kesatuan matla’ dengan prinsip transfer rukyah (naql ar-ru’yah). Apabila hilal bisa dirukyah baik dalam perhitungan (hisab) atau rukyah hakiki di daerah manapun di dunia ini, maka hari berikutnya sudah masuk bulan baru hijriah untuk seluruh dunia. Pemikiran satu matla’  untuk seluruh dunia ini memang memiliki kelebihan dari sisi penyatuan kalender hijriah di seluruh dunia. Akan tetapi, prinsip ini juga menyisakan persoalan yang sangat besar. Dalam beberapa kasus, bulan baru hijriah dimulai, atas dasar prinsip kesatuan matla’  secara mutlak,  ketika sebagian besar wilayah di dunia masih belum terpenuhi syarat masuknya bulan baru hijriah seperti terbenamnya Bulan sebelum Matahari.
2.      Kesatuan matla’  dalam wilayah yang bersesuaian visibilitas hilalnya
Prinsip ini menjadikan setiap wilayah yang memiliki kesesuaian visibilitas hilal dalam satu kesatuan matla’. Artinya, pembagian matla’ didasarkan pada kemungkinan dilihat atau tidaknya hilal. Jika hilal mungkin untuk dilihat, maka pembagian tetap dilakukan dengan melihat apakah kemungkinan tersebut dengan memakai mata tanpa alat ataukah dengan alat.
Pada gambar di atas wilayah-wilayah yang berada di warna hijau, wilayah yang hilal mudah untuk dilihat dengan mata tanpa alat, dijadikan sebagai wialayah dalam satu kesatuan matla’ terlepas dari dekat dan jauhnya wilayah-wilayah tersebut. Begitu juga wilayah-wilayah yang berada di warna ungu (hilal mungkin dilihat dengan mata tanpa alat jika kondisi mendukung), berada di warna biru (hilal hanya dapat dilihat dengan alat optik) berada dalam satu kesatuan matla’ .
Prinsip ini memiliki kelebihan karena menjadikan perhitungan astronomis (visibilitas hilal) yang detail, sesuai dengan kemungkinan dilihatnya hilal, sebagai dasar kesatuan matla’. Hanya saja, karena visibilitas hilal itu selalu berubah di setiap bulan, maka wilayah-wilayah yang berada dalam satu kesatuan matla’ juga akan mengalami perubahan setiap bulannya. Dua atau tiga negara bisa menjadi satu matla’  di bulan ini misalnya, akan tetapi bisa menjadi berbeda matla’  di bulan depan. Hal ini tentu akan membuat kesulitan untuk pembentukan sebuah kalender .
3.      Kesatuan matla’  dalam wilayah yang serupa visibilitas hilalnya
Prinsip ini menjadikan wilayah-wilayah yang serupa visibilitas hilalnya dalam satu kesatuan matla’. Dalam gambar di atas, wilayah-wilayah yang berada pada warna hijau, ungu, dan biru dijadikan satu matla’ karena semuanya merupakan wilayah yang hilal mungkin untuk dirukyah baik dengan alat optik maupun dengan mata tanpa alat. Sedangkan wilayah tanpa warna dan warna merah berada pada matla’  yang lain, yaitu matla’  yang hilal tidak mungkin dan mustahil dirukyah. Dengan demikian, pemikiran ini membagi dunia dalam dua matla’ , yaitu wilayah yang hilal mungkin dirukyah dan wilayah yang hilal tidak mungkin atau mustahil dirukyah.
Pemikiran ini memiliki kelebihan dari sisi adanya wilayah yang lebih besar dan luas yang berada dalam satu kesatuan matla’. Akan tetapi, pemikiran ini juga tidak secermat pemikiran poin ke-2 karena tidak membedakan antara wilayah yang hilal mudah dilihat dengan mata tanpa alat dengan wilayah yang hilal hanya dapat dilihat dengan perangkat binokuler saja. Selain itu, seperti pemikiran sebelumnya, wilayah yang berada dalam satu matla’ pun akan selalu berubah sesuai perubahan visibilitas hilal.
4.      Kesatuan matla’  parsial/zonal (juz’i)
Pemikiran ini membagi dunia dalam zona-zona tertentu, baik dua zona, tiga zona maupun empat zona, dimana setiap zona adalah dalam satu kesatuan matla’. Apabila perhitungan atau rukyah faktual menunjukkan bahwa hilal dapat dirukyah pada satu zona, maka bulan baru hijriah akan dimulai di zona tersebut.
Pemikiran penyatuan parsial atau zonal ini memiliki kekurangan dari sisi masih mungkin terjadinya perbedaan dalam memulai bulan baru hijriah walaupun maksimal perbedaan yang terjadi dalam ini hanya satu hari. Artinya, walaupun pembagian zona yang terjadi adalah tiga atau empat zona, perbedaan yang mungkin terjadi tetap hanya satu hari. Semakin banyak zona yang ada, maka tingkat ketelitian dalam memperhitungkan kemungkinan kenampakan hilal akan semakin tinggi. Akan tetapi, terbaginya zona di dunia dalam tiga atau empat zona membawa dampak pada kemungkinan tidak bersatunya dunia Islam dalam satu permulaan bulan baru hijriah, sehingga tidak akan dapat menciptakan sebuah kesatuan dalam kalender hijriah.
Dan hal inilah yang menjadi keunggulan pembagian dunia dalam dua zona. Jika pada suatu saat hilal hanya dapat dilihat dari zona Barat dan tidak dapat dilihat dari zona Timur yang menjadikan adanya perbedaan dalam memulai bulan baru hijriah, sebagian besar dunia Islam yang berada di zona Timur tetap akan memulai bulan baru hijriah secara bersamaan Artinya, akan ada “kesatuan” di sebagian besar dunia Islam yang menjadikan sebagian besar umat Islam akan memasuki bulan baru hijriah secara bersamaan.
5.      Kesatuan matla’  lokal (al-mahalli)
Kesatuan matla’ lokal inilah yang dipakai sebagian besar kalender hijriah di dunia Islam, yakni menjadikan batas-batas negara secara politik sebagai batasan dalam keberlakuan rukyah atau yang lebih dikenal dengan kesatuan dalam wilayah hukum (matla’  fi wilayah al-hukm). Matla’ akan berbeda-beda dari sisi luas dan sempitnya sesuai dengan luas dan sempitnya batasan sebuah negara. Dan kesatuan matla’  hanya terbatas pada luas sebuah negara.

E.     Kesimpulan
Pemikiran Odeh tentang ragam pembagian matla’ bisa dikatakan sebagai sebuah pemikiran yang baru tentang konsep matla’ karena memberikan sentuhan perhitungan astronomis yang lebih besar dibandingkan pemikiran-pemikiran tentang matla’ sebelumnya yang banyak dihubungkan dengan konsep-konsep geografis semata (semisal satu wilayah iklim, tinggi rendah wilayah) atau bahkan dihubungkan dengan konsep lain yang tidak memiliki hubungan sama sekali dengan persoalan astronomis (semisal masafah al-qasr). Ragam penyatuan matla’ yang disampaikan Odeh juga lebih rinci dibandingkan pemikiran lain yang hanya membagi penyatuan matla’ pada matla’  global dan matla’  fi wilayah al-hukmi.
Pada akhirnya, persoalan penyatuan awal bulan hijriah yang diinginkan juga harus melihat pada penyatuan matla’ yang akan dianut. Jika penyatuan yang diinginkan adalah pada tingkat nasional, wilayah dalam satu negara, maka matla’ yang dipakai adalah matla’ fi wilayah al-hukmi, jika yang diinginkan adalah penyatuan di sebagian besar dunia Islam, maka matla’  yang dipakai adalah matla’ juz’i (zonal), dan jika yang diinginkan adalah penyatuan awal bulan hijriah secara global, maka penyatuan matla’  yang dianut adalah matla’ global. Dan masing-masing pemikiran memiliki keunggulan dan kelebihannya.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Tha’iy, Muhammad Basil, 2007, Ilmu al-Falak wa al-Taqawim, Beirut: Dar al-Nafais.The Nautical Almanac Office, U.S. Naval Observatory, 1992, Explanatory Suplement to The Astronomical Almanac, California: University Science Books.
Al-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Beirut: Dar al-Fikr.
Audah, Mohammad Syaukat, 2004, Taqwim Nasb al-Khata’ fi Tahdid Awail al-Asyhur al-Hijriyyah (fi al-Urdun), Yordania: Islamic Crescent Observation Project.
Azhari, Susiknan, 2007, Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
_____________, 2008, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Departemen Agama RI, 2004, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Hambali, Slamet, 2011, Almanak Sepanjang Masa: Sejarah Sistem Penanggalan Masehi, Hijriyah dan Jawa, Semarang: PPS IAIN Walisongo.
Hasan, Amir Husen, tt, al-Adillah al-Syar’iyyah fi Itsbat al-Syuhur al-Qamariyah bi al-Hisabat al-Falakiyah, al-Ma’had al-Qaumy.
Ijtihad, Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Vol. 12, No. 2, Desember 2012.
Izzuddin, Ahmad, 2007, Fiqh Hisab Rukyat: Menyatukan NU dan Muhammadiyah dalam Penentuan Awal Ramadlan, Idhul Fitri dan Idul Adha, Jakarta: Erlangga.
Jamaludin, Thomas, 2005, Menggagas Fiqh Astronomi: Tela’ah Hisab Rukyat dan Pencarian Solusi Perbedaan Hari Raya, Bandung: Kaki Langit.
Jumsa, Uum, 2006, Ilmu Falak: Panduan Praktis Menentukan Hilal, Bandung: Humaniora.Setyanto, Hendro, 2008, Membaca langit, Jakarta Pusat: al-Ghuraba.
Khazin, Muhyidin, 2005, Kamus Ilmu Falak, Yogyakarta: Buana Pustaka.
Nawawi, Abdul Salam, 2004, Rukyat Hisab di Kalangan NU dan Muhammadiyah: Meredam Konflik dalam Menetapkan Hilal, Surabaya: Diantama.
Qasim, Nazar Mahmud, 2009, al-Ma’ayir al-Fiqhiyyah wa al-Falakiyah fi I’dad al-Taqawim al-Hijriyah, Beirut: Dar al-Basyair al-Islamiyah.
Ruskanda, Farid, 1996, 100 Masalah Hisab dan Rukyat: Telaah Syariah, Sains dan Teknologi, Jakarta: Gema Insani Press.
Sudibyo, Ma’rufin, 2012, Bulan Sabit di Kaki Langit, Observasi Hilal di Indonesia dan Signifikansinya dalam Pembentukan Kriteria Visibilitas Nasional dan Regional, dalam Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2012,  Penyatuan Kalender Hijriyah: Sebuah Upaya Pencarian Kriteria Hilal yang Objektif Ilmiah, Semarang: Fakultas Syariah IAIN Walisongo.



[1] Nama Hijriyah diambil dari peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad saw dari Mekkah ke Madinah. Tahun 1 Hijriah adalah tahun Nabi melaksanakan hijrah tersebut. Ada dua epoch yang dijadikan acuan sebagai 1 Muharram 1 hijriah, yaitu 15 Juli 622 M dan 16 Juli 622. Hari dalam sistem penanggalan Hijriah dimulai dari matahari terbenam hari sebelumnya hingga matahari terbenam hari tersebut. Misalnya, yang dimaksud dengan hari Sabtu adalah hari yang dimulai dari setelah matahari terbenam pada hari Jum’at hingga matahari terbenam pada hari Sabtu itu sendiri. (The Nautical Almanac Office, U.S. Naval Observatory, 1992:589).
[2] Bulan, dalam bahasa inggris disebut moon, yaitu satu-satunya benda langit pengikut Bumi. Bulan ini tidak memancarkan sinar sendiri, terlihat dari Bumi karena menerima sinar dari Matahari. Pada saat ijtimak, bulan ini tidak memantulkan sinar ke Bumi. Dari hari ke hari rupa semu bulan mulai nampak, mula-mula seperti sabit. Kemudian semakin lama semakin membesar, sampailah pada bentuk setengah lingkaran (Arab: Tarbi’ al-awwal, Inggris: First Quarter). Sesudah malam yang ke 14-15, dalam posisi istilah dengan Matahari tampaklah Bulan bersinar penuh yang disebut purnama (Arab: Badri, Inggris: Full Moon). Kemudian setelah itu makin lama makin mengecil hingga pada akhir minggu ketiga rupa semu itu menjadi setengah lingkaran lagi (tarbi’ al-Tsani/Last Quarter). Akhirnya pada malam yang ke 29 cahayanya semakin menghilang, dan pada saat itu disebut Muhak (bulan mati) (Susiknan Azhari, 2008:174).
[3] 12 bulan itu adalah bulan Muharram, shafar, Rabiul Awal, Rabiul Tsani, Jumadil Awal, Jumadil Tsani, Rajab, Sya’ban, Ramadlan, Syawwal, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah (Uum Jumsa, 2006:2).
[4] Hilal atau bulan sabit yang dalam astronomi dikenal dengan nama Crescent adalah bagian bulan yang tampak terang dari Bumi sebagai akibat cahaya Matahari yang dipantulkan olehnya pada hari terjadinya ijtima’ sesaat setelah Matahari terbenam. Hilal ini dapat dipakai pertenda pergantian bulan hijriyah. Apabila setelah Matahari terbenam hilal tampak maka malam itu dan keesokan harinya merupakan tanggal satu bulan berikutnya (Khazin, 2005:30). Ketentuan ini di dasarkan pada hadis Nabi (Amir Husen Hasan, tt: 19 t6t) tentang mengawali dan mengkahiri puasa, salah satu hadis tersebut adalah:
لاتصوموا حتى تروا الهلال ولاتفطروا حتى تروه فإن غم عليكم فاقدروله (رواه البخاري عن عبد الله ابن مسلمة عن مالك عن نافع عن عبد الله ابن عمر رضي الله عنهما – صحيح البخاري – الجزء الأول-باب الصيام)
[5] Dalam penanggalan sistem hisab urfi, jumlah hari dalam tiap bulan selalu berselang-seling antara bulan satu dengan bulan berikutnya (30, 29, 30, 29, dan seterusnya). Kecuali bulan dzulhijjah, jumlah harinya ketika tahun basithah adalah 29 hari dan ketika tahun kabisat adalah 30 hari. Akan tetapi, penanggalan sistem hisab hakiki dan kontemporer tergantung dari hasil observasi hilal pada tanggal 29 tiap bulan, jika hilal telah tampak (madzhab rukyat), telah berada di atas ufuk walaupun tidak bisa dilihat (wujudul hilal madzhab hisab), atau hilal sudah memenuhi kriteria dapat dilihat walaupun terhalang oleh situasi anomali langit (imkanurrukyat), maka hari esoknya sudah masuk tanggal 1 bulan berikutnya, dan umur bulan sebelumnya adalah 29 hari.
[6] Konstruksi kriteria visibilitas yaitu batas minimum prediktif yang valid dan reliabel bagi Bulan sebagai hilal untuk mata dalam kondisi diidealkan sekaligus sebagai jembatan penghubung antara hisab dan rukyat (Ma’rufin Sudibyo, 2012: 188, dalam Kumpulan Papers Lokakarya Internasional Penyatuan Kalender Hijriyah: Sebuah Upaya Pencarian Kriteria Hilal yang Objektif Ilmiah ).
[7] Ma’rufin Sudibyo membagi visibilitas hilal kepada: 1) visibilitas hilal klasik dan 2) visibilitas hilal modern.
[8] Pengikut rukyat al-hilal umumnya merasa itulah yang paling benar karena cara itulah yang diajarkan Rasulullah saw tanpa menyadari kemungkinan salah dalam merukyat karena keawaman pengamatnya. Pengikut hisab merasa yakin akan akurasi penentuannya berdasarkan pengalaman ketepatan dengan banyak bukti rukyat, terutama saat ijtima’ dalam bentuk gerhana matahari (Jamaluddin, 2005: 18).
[9] Ufuk atau horison secara praktis merupakan garis batas pandangan manusia. Jadi, jika manusia berada di tempat ketika pandangannya bisa mengarah bebas tanpa ada yang menghalangi, maka garis terjauh yang bisa dilihat merupakan garis ufuk. Untuk memperoleh pandangan secara lepas, sebaiknya seorang pengamat memilih lokasi dipinggir laut tanpa pulau atau gunung yang menghalangi pandangannya. Semakin tinggi posisi seseorang, maka semakin luas pandangan yang tercakup, dan semakin jauh serta semakin rendah garis ufuk yang terlihat. Untuk itu, tempat yang paling ideal untuk melakukan pengamatan hilal adalah tempat yang tinggi, di pinggir laut lepas (Ruskanda, 1996: 22-23).
[10] Perbedaan kiteria posisi hilal di atas ufuk ini kemudian oleh Susiknan Azhari  diklasifikasikan dalam 3 kelompok aliran, yaitu aliran (1) ijtima’ dan ufuk hakiki, di mana awal bulan dimulai saat terbenam matahari setelah terjadi ijtimak dan pada saat itu hilal sudah berada di atas ufuk hakiki, (2) ijtima’ dan ufuk hissi, di mana awal bulan dimulai pada saat terbenam matahari setelah terjadi ijtimak dan pada saat itu hilal sudah berada di atas ufuk hissi, dan (3) ijtima’ dan imkan al-rukyat, di mana awal bulan dimulai pada saat terbenam matahari setelah terjadi ijtimak dan pada saat itu hilal dimungkinkan untuk dapat dirukyat (Azhari, 2007:109-110).
[11] Sebagaimana yang telah dikutip oleh Susiknan Azhari, bahwa dalam dictionary of Modern Written Arabic halaman 565 karya Hans Wehr, kata matlak diartikan dengan time rising (Azhari, 2007:120-121), sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata matlak diartikan sebagai daerah tempat terbit matahari, terbit fajar, atau terbit bulan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, : 1082). Pengertian seperti ini dapat ditemukan pula dalam O.S al-Qadr ayat 5 yang artinya , “Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar”.
[12] Pemikiran ini terkenal dengan ru’yah fi wilayah al-hukmi sebagaimana yang selama ini dipegang oleh Nahdlatul Ulama secara institusi (Izzuddin, 2007: 87).
[13] Argumentasi kelompok ini adalah bahwa khitab dari hadis-hadis hisab rukyat ditujukan kepada seluruh umat Islam di dunia, tidak dibedakan oleh perbedaan geografis dan batas-batas daerah kekuasaan. Pemikiran ini terkenal dengan rukyat internasional yang dipegang oleh Komisi Penyatuan Kalender Hijriyah Internasional, yang dalam konteks keindonesiaan diwakili oleh kelompok Hizbut Tahrir. Kelompok Hizbut Tahrir sendiri mempunyai beberapa lembaga dakwah hidup di masyarakat seperti Lembaga Dakwah al-Misykah di Semarang, Lembaga Dakwah al-Ihtikam di Surabaya, dan al-Inqiyad di Jawa Barat. Selama ini mereka sering kali mengkampanyekan pemikirannya dalam beberapa forum diskusi panel (Izzuddin, 2007: 86).
[14] Hadits ini telah dikeluarkan oleh imam-imam : Muslim (3/126), Abu Dawud (No. 2332), Nasa'i (4/105-106), Tirmidzi (No. 689), Ibnu Khuzaimah (No. 1916), Daruquthni (2/171), Baihaqy (4/251) dan Ahmad (Al-Fathur-Rabbaani 9/270), semuanya dari jalan : Ismail bin Ja'far, dan Muhammad bin Abi Harmalah dari Kuraib dari Ibnu Abbas. Berkata Imam Tirmidzi : Hadits Ibnu Abbas hadits : Hasan-Shahih (dan) Gharib. Berkata Imam Daruquthni : Sanad (Hadits) ini Shahih.

1 komentar:

  1. https://sofianasma.wordpress.com/2013/01/22/tinjauan-fikih-dan-astronomis-penyatuan-matla-menelusuri-pemikiran-m-s-odeh-tentang-ragam-penyatuan-matla/

    BalasHapus