POSISI MATAHARI DAN BULAN
UNTUK LUNAR ECLIPSE DAN PERHITUNGANNYA
Oleh: Shohabil Mahalli, S.Pd.I. (NIM: 135212028),
Yuzetril, M.Pd. (NIM: 135212029)
A.
Pendahuluan
Dalam sejarah manusia, obyek paling tua yang menjadi perhatian nenek moyang
kita adalah benda-benda langit. Begitu indah dan teraturnya benda-benda itu
khususnya di malam hari. Kerap kali fenomena langit mereka kaitkan dengan
kejadian di Bumi. Misalnya saja terbitnya bintang-bintang tertentu, dikaitkan dengan pergantian
musim-musim, sekalipun mereka tidak mengarti tentang orbit, gerak rotasi
dan revolusi, kemiringan ekliptika dan
lain sebagainya yang menjadi penyebab pergantian musim tersebut.
Sebagaimana ilmu-ilmu lainnya, astronomi yang objek kajiannya benda-benda
langit mengalami perkembangannya secara bertahap seiring dengan
penemuan-penemuan ilmiyah berdasarkan data-data empirik. Langkah-langkah
kemajuan ini dibuktikan dengan berbagai
produk teknologi yang dapat kita temukan dan manfaatkan saat ini. Temuan-temuan
alat baru ini memberikan kontribusi yang besar bagi umat Islam. Misalnya theodolit
dijadikan alat pengukur arah kiblat, teropong digunakan dalam pelaksanaan
rukyatul hilal, dan lebih-lebih beberapa aplikasi soft ware komputer.
Makalah dengan
judul “Posisi Matahari dan Bulan untuk Lunar Eclipse dan
Perhitungannya” ini
penulis susun sebagai tugas pada mata kuliah “astronomi bola” di bawah
bimbingan Bapak Slamet Hambali, M.S.I. penulis berdua akan membahas konsep tata
letak Bumi, Bulan, dan Matahari, Proses gerhana Bulan serta perhitungannya.
Kepada sidang pembaca yang budiman, khususnya kepada Bapak Kiai Slamet Hambali,
M.S.I kami mohon saran dan koreksi apabila terdapat kekurangan-kekurangan atau
pun konsep yang perlu diluruskan pada makalah ini.
B.
Pembahasan
Mengawali pembahasan ini, penulis nukil beberapa mitos
yang berkembang di beberapa daerah di balik terjadinya fenomena gerhana Bulan.
Tiada maksud lain kecuali hanya mengingat kembali bagaimana sejarah pemahaman
nenek moyang manusia memaknai fenomena alam ketika itu sebelum ilmu penetahuan
dan sains mengalami kemajuan seperti sekarang ini.
China, kebudayaan
kuno China meyakini bahwa gerhana bulan terjadi karena seekor naga raksasa
murka dan memangsa Bulan. Fenomena ini mereka sebut ” Chih ” yang artinya memangsa. Untuk mengusir
naga, mereka membuat keributan dengan cara membunyikan petasan agar sang naga pergi.
Hingga kini, meski sudah tidak diyakini lagi, guna melestarikan kebudayaan,
pembunyian petasan masih saja
dilakukan saat gerhana terjadi.
Jepang, orang Jepang jadul menganggap bahwa saat terjadi
gerhana para dewa menebarkan racun hitam pekat ke dunia, karena itu mereka
selanjutnya berbondong-bondong menutupi sumur-sumur mereka dengan benda apa
saja hingga gerhana Bulan berakhir.
Perancis, diceritakan bahwa Raja Louis akhirnya meninggal
dalam histeria dan ketakutan yang amat sangat menyadari suatu malam dunia begitu gelap tanpa Bulan pada tahun 840. Menurutnya setan sebentar lagi turun ke dunia.
Jamaika, suatu kali Colombus terdampar di Jamaica karena kerusakan
kapal yang cukup parah sehingga membutuhkan perbaikan yang akan memakan waktu
lama. Untuk memenuhi kebutuhan makan minum, Colombus menggunakan ilmu pengetahuannya tentang gerhana untuk membohongi penduduk pribumi. Diakatakan bahwa para dewa akan marah jika para pribumi tidak memberi para awak kapal makan minum selama proses perbaikan
kapal. Semula penduduk tak percaya, namun ketika Bulan benar-benar
lenyap total, mereka menjadi ketakutan dan esok harinya mulai secara sukarela melayani
Colombus dkk, dalam hal makan minum.
Jawa-Indonesia, mungkin kita sudah banyak yang tahu bahwa penduduk jawa dahulu saat gerhana tiba berbondong-bondong menyembunyikan balita mereka di dalam tempayan, kolong tempat tidur dan tempat aman lain demi menghindarkan bocah-bocah itu dari shang Batara Kala, raksasa dalam cerita pewayangan. Sementara itu kaum laki-laki beranjak memukul kentongan beramai ramai untuk mengusir sang kala sesegera mungkin.
Jawa-Indonesia, mungkin kita sudah banyak yang tahu bahwa penduduk jawa dahulu saat gerhana tiba berbondong-bondong menyembunyikan balita mereka di dalam tempayan, kolong tempat tidur dan tempat aman lain demi menghindarkan bocah-bocah itu dari shang Batara Kala, raksasa dalam cerita pewayangan. Sementara itu kaum laki-laki beranjak memukul kentongan beramai ramai untuk mengusir sang kala sesegera mungkin.
1.
Gerhana menurut
bahasa
Dari cerita di atas barangkali kisah Columbus lebih
menarik bagi kita dari pada yang lainnya, Karena ia telah mengetahui hakikat di
balik fenomena gerhana Bulan di tengah-tengah masyarakat dan bangsa yang masih
tertinggal ilmu pengetahuan dan sains, dengan siasatnya itu Columbus dan
seluruh awak kapal mendapat fasilitas permakann yang cukup dari masyarakat
sekitar.Selanjutnya kita tinggalkan saja kisah di atas, dan untuk mendapatkan
pemahaman gerhana Bulan dari sorotan sains, kita awali dengan memahami definisi
gerhana sebagaimana di bawah ini.
Gerhana,
dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah “Eclipse” dan dalam bahasa Arab
dikenal dengan “Khusuf”. Pada dasarnya istilah كسوف dan خسوف dapat dipergunakan
untuk menyebut gerhana Matahari
maupun gerhana Bulan.
Hanya saja, kata “كسوف” lebih dikenal
untuk menyebut gerhana Matahari,
sedangkan kata “خسوف” untuk gerhana Bulan (Khazin: 2001).
Kusuf berarti “menutupi”. Ini menggambarkan adanya
fenomena alam bahwa (dilihat dari Bumi) Bulan menutupi Matahari, sehingga
terjadi gerhana Matahari. Sedangkan khusuf berarti “memasuki”, menggambarkan
adanya fenomena alam bahwa Bulan memasuki bayangan Bumi, yang mengakibatkan
sinar Bulan meredup dilihat dari Bumi. Inilah yang lazim disebut gerhana Bulan.
Wahbah Zuhaily, mendefinisikan gerhana Matahari dan Bulan sebagaimana di
bawah ini.
االكُسُوْفُ هُوَ ذِهَابُ ضَوْءِ الشَّمْسِ اَوْ بعضِه فى
النَّهَارِ لِحَيْلُوْلَةِ ظُلمَةِ الْقَمَرِ بَيْنَ الشّمْسِ وَاْلأَرْضِ (اجتماع
النيّرَيْنِ)
والخُسُوْفُ هُوَ ذَهَابُ ضَوْءِ القَمَرِ اَوْ بَعْضِه
لَيْلًا لِحَيْلُولَةِ ظِلِّ الأرْضِ بَينَ الشمْسِ والقمرِ (مقابلة النيّرَينِ)[1]
2. Macam-Macam
Gerhana
Muhyiddin khazin mendefinisikan gerhana Bulan adalah sebagian atau seluruh piringan Bulan
memasuki kerucut bayangan inti Bumi(umbra), oleh sebab itu Bulan menjadi tampak
gelap sebagian pada gerhana bulan sebagian atau tampak gelap seluruhnya pada
gerhana Bulan total (Khazin: 2005).
Karena bidang lintasan Bulan dan bidang ekliptika
tidak berimpit, melainkan membuat sudut sebesar 5o 8”, maka tidak
setiap ijtima’ akan terjadi gerhana Matahari, begitu pula tidak setiap istiqbal
akan terjadi gerhana Bulan. Gerhana Matahari dapat terjadi 2-5 kali dalam satu
tahun, sedangkan gerhana Bulan dapat terjadi 2-3 kali dalam setahun. Namun bisa
saja gerhana Bulan tidak terjadi sama sakali dalam setahun (Khazin: 2001)
Gambar 1: Gerhana Bulan.
Gerhana Bulan sebagaimana
ditunjukkan gambar di atas adalah gerhana umbra. Sedangkan jika Bulan melintas
pada bayangan penumbra Bumi, maka disebut gerhana penumbra kita abaikan, karena
tidak begitu nampak jelas jika dilihat dari Bumi dengan mata telanjang, maka
umbra sendiri ada dua macam, yaitu gerhana total dan gerhana sebagian. Gerhana
Bulan, baik umbra maupun penumbra pasti terjadi pada saat purnama (full moon).
Sedangkan purnama dapat terjadi malam ataupun siang hari (Endro: 1997). Ini
terjadi akibat adanya gerak Bulan mengorbit Bumi bersamaan dengan berotasinya
Bumi itu sendiri pada porosnya yang membutuhkan waktu sehari semalam dalam satu
kali putar. Sehingga ketika terjadi gerhana bulan maka hanya penduduk Bumi yang
mengalami malam saja yang dapat melihat fenomena gerhana Bulan tersebut.
Sementara penduduk belahan Bumi di baliknya sedang mengalami siang.
Jika kita mendengar kata “Bulan Purnama”, maka
secara otomatis tergambar di benak kita suasana di mana malam yang cerah, Bulan
bersinar terang dengan bentuk bulat penuh. Namun sebenarnya asumsi seperti ini
tidak selamanya benar, sebab di satu sisi purnama terjadi hanya beberapa saat,
dan di sisi lainnya waktu kita di Bumi separuh mengalami siang dan separuhnya
lagi malam. Sehingga bisa saja fase purnama terjadi di siang hari.
Herman S. Endro SH, mengatakan “Pada tanggal 15
penanggalan Bulan, tidak berarti bahwa selama sehari itu bulan akan penuh terus
(purnama). Melainkan hanya beberapa saat saja. Jika pada bulan purnama itu Bulan
kelihatan bulat. Maka bentuk bulan yang bulat hanya dapat dilihat beberapa saat
saja. Sebelum dan sesudah itu Bulan tidak bulat lagi. Tapi karena bagian Bulan
yang gelap kecil sekali secara visual Bulan kelihatan bulat.” (Herman S. Endro
SH, 20 th Magabuhi Mengabdi Sasana: 1997)
Gerhana
menjadi fenomena menarik diamati dari Bumi, karena suatu kebetulan yang
menakjubkan: ukuran Matahari kira-kira 400 kali lebih besar dari ukuran Bulan,
dan jarak Matahari-Bumi juga kira-kira 400 kali lebih jauh dari jarak
Bumi-Bulan. Akibatnya: piringan Bulan dan piringan Matahari di langit (dilihat dari Bumi) kurang lebih sama besar. Namun karena orbit Bulan mengelilingi Matahari berbentuk elips, maka ukuran piringan Bulan yang
teramati dari Bumi mengalami sedikit variasi.
Demikian pula
halnya dengan orbit Bumi mengelilingi Matahari yang juga berbentuk elips,
menyebabkan ukuran piringan Matahari pun sedikit bervariasi. Variasi-variasi inilah (di samping beberapa hal lainnya) yang menyebabkan penampakan gerhana menjadi berbeda-beda[2]
3.
Gerhana dalam sorotan agama.
Gerhana
adalah salah satu obyek kajian dalam ilmu falak. Selain gerhana yang menjadi
kajian dalam falak syar’i adalah waktu sholat, arah kiblat dan awal bulan.
Pembatasan pembahasan dalam falak ini didasarkan pada kepentingan agama dimana
fenomena alam tertentu dijadikan patokan dalam pelaksnaan beberapa perintah
agama.
Bayangan
Matahari
dijadikan penetu arah
kiblat, begitu pula
hamburan cahaya atmosfir dijadikan penentu waktu-waktu shalat. Fase Bulan sabit dijadikan petanda masuknya
bulan (qamariyah).
Begitu pula pada waktu terjadinya
gerhana, disunnahkan shalat gerhana. Ini mengindikasikan bahwa umat islam harus mempelajari dan mengembangkan pengetahuan kealaman secara
serius, karena memang sebagaian ibadah digantungkan kepada fenomena alam.
Jika dibandingkan dengan waktu-waktu
shalat, waktu gerhana tidak begitu populer. Mungkin disebabkan waktu shalat
relatif statis dan rutin setiap hari, sedangkan gerhana kadang-kadang saja dan timingnya pun berubah-rubah disamping terjadinya gerhana hanya sebentar saja. Wajar
saja jika kita jarang melihat orang melaksanakan shalat gerhana, kecuali mereka yang mengerti ilmu falak.
Islam
mensyariatkan sholat kusuf/khusuf saat terjadi fenomena gerhana. Sebagaimana
dalam sebuah hadis Nabi.
إنَّ الشَّمْسَ وَالقمرَ
آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أحدٍ
ولَا لِحَيَاتِهِ فإِذَا رَأَيتُمُوهُمَا فَافْزَعُوا إلَى الصَّلَاةِ (رواه البخاريُّ)
“Sesungguhnya Matahari dan Bulan
adalah sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan) Allah ‘Azza wa Jalla,
tiadalah terjadinya gerhana Matahari dan Bulan itu
karena matinya seseorang dan juga bukan karena kelahiran seseorang, maka
apabila kamu melihatnya, segeralah kamu melaksanakan sholat”. (H.R. Bukhori)
[3]
C. Perhitungan Gerhana Bulan Menurut Ephemeris
Perhitungan gerhana Bulan
dengan menggunakan perhitungan sistem Ephemeris Hisab Rukyat serta beberapa
data yang terdapat pada data Ephemeris tentang Matahari dan Bulan, diproses
dengan perhitungan sebagai berikut :
1.
Perkiraan terjadinya Gerhana Bulan
Sebagai langkah awal untuk menghitung kemungkinan
terjadinya gerhana bulan, digunakan tabel kemungkinan terjadinya gerhana yang
terdapat pada data jadwal gerhana :
a)
Ambil data dari tabel A
menurut kelompok tahunnya
b) Ambil data dari tabel
B menurut satuan tahunya
c) Ambil data dari tabel
C pada kolom gerhana Bulan
d)
Ketiga data tersebut (A,B dan C)
dijumlahkan.
NB. Hasilnya antara 00o
sampai dengan 360o
Tabel A
TH
|
DATA
|
|
TH
|
DATA
|
|
TH
|
DATA
|
00
|
331o
05’ 12”
|
|
1400
|
084o
50’ 12”
|
|
1700
|
338o
50’ 12”
|
30
|
212o
29’ 12”
|
|
1430
|
326o
14’ 12”
|
|
1730
|
220o
14’ 12”
|
60
|
093o
53’ 12”
|
|
1460
|
207o
38’ 12”
|
|
1770
|
101o
38’ 12”
|
90
|
335o
17’ 12”
|
|
1490
|
089o
02’ 12”
|
|
1800
|
343o
02’ 12”
|
1220
|
076o
26’ 12”
|
|
1520
|
330o
26’ 12”
|
|
1830
|
224o
26’ 12”
|
1250
|
317o
50’ 12”
|
|
1550
|
211o
50’ 12”
|
|
1800
|
105o
50’ 12”
|
1280
|
199o
14’ 12”
|
|
1580
|
093o
14’ 12”
|
|
1890
|
347o
14’ 12”
|
1310
|
080o
38’ 12”
|
|
1610
|
334o
38’ 12”
|
|
2010
|
228o
38’ 12”
|
1340
|
322o
02’ 12”
|
|
1640
|
216o
02’ 12”
|
|
2040
|
110o
02’ 12”
|
1370
|
203o
26’ 12”
|
|
1670
|
097o
26’ 12”
|
|
2070
|
351o
26’ 12”
|
Tabel B
TH
|
DATA
|
|
TH
|
DATA
|
|
TH
|
DATA
|
01
|
008o
02’ 48”
|
|
11
|
088o
30’ 48”
|
|
21
|
168o
58’ 48”
|
02
|
016o
05’ 38”
|
|
12
|
096o
33’ 36”
|
|
22
|
177o
01’ 36”
|
03
|
024o
08’ 24”
|
|
13
|
104o
36’ 24”
|
|
23
|
185o
04’ 24”
|
04
|
032o
11’ 12”
|
|
14
|
112o
39’ 12”
|
|
24
|
193o
07’ 12”
|
05
|
040o
14’ 00”
|
|
15
|
120o
42’ 00”
|
|
25
|
201
o 10’ 00”
|
06
|
048o
16’ 48”
|
|
16
|
128o
44’ 48”
|
|
26
|
209o
12’ 48”
|
07
|
056o
19’ 36”
|
|
17
|
136o
47’ 36”
|
|
27
|
217o
15’ 36”
|
08
|
064o
22’ 24”
|
|
18
|
144o
50’ 24”
|
|
28
|
225o
18’ 24”
|
09
|
072o
25’ 12”
|
|
19
|
152o
53’ 12”
|
|
29
|
233o
21’ 12”
|
10
|
080o
28’ 00”
|
|
20
|
160o
56’ 00”
|
|
30
|
241o
24’ 00”
|
Tabel C
NAMA BULAN
|
GERHANA
|
|
MATAHARI
|
BULAN
|
|
Muharram
|
030o
40’ 15”
|
015o
20’ 07”
|
Shofar
|
061o
20’ 30”
|
046o
00’ 22”
|
Robi’ul Awal
|
092o
00’ 45”
|
076o
40’ 37”
|
Robi’ul Akhir
|
122o
41’ 00”
|
107o
20’ 52”
|
Jumadil Ula
|
153o
21’ 15”
|
138o
01’ 07”
|
Jumadil Akhiroh
|
184o
01’ 30”
|
168o
41’ 22”
|
Rajab
|
214o
41’ 45”
|
199o
21’ 37”
|
Sya’ban
|
245o
22’ 00”
|
230o
01’ 52”
|
Romadhon
|
276o
02’ 15”
|
260o
42’ 07”
|
Syawwal
|
306o
42’ 30”
|
291o
22’ 22”
|
Dzulqo’dah
|
337o
22’ 45”
|
322o
02’ 37”
|
Dzulhijjah
|
008o
03’ 00”
|
352o
42’ 52”
|
Gerhana Bulan mungkin akan terjadi apabila hasil penjumlahan tersebut :
·
Antara 000o sampai dengan 014o
·
Antara 165o sampai dengan 194o
·
Antara 345o sampai dengan 360o
a.
Rumus konversi dari kalender Hijriyah ke kalender Masehi
adalah sebagai berikut :
Karena
Masehi = Dx10631 + Tx354 + K + B + T + G +
227015
365,25
Dimana :
D = Jumlah Daur 30 tahunan
T = Sisa tahun utuh setelah dihitung Daurnya
K = Jumlah kabisat dihitung dari akhir Daur sampai
tahun utuhnya
B = umur bulan utuh
T = tanggal
G = Anggaran Gregorius
2.
Penghitungan Saat terjadinya Istiqbal (Opposisi)
Pertama menyiapkan data Astronomi untuk tanggal
hasil Konversi tanggal diatas dari buku Ephemeris Hisab Rukyat atau Program
Winhisab.
Catatan
:
Data
Ephemeris menggunakan Greenwich , artinya bagi
tempat-tempat yang berada di bujur Timur waktunya lebih dahulu dari pada waktu Greenwich . Misalnya waktu
WIB lebih dahulu 7 jam dari pada waktu Greenwich. Adapun langkah penghitungan adalah sebagai
berikut :
a) Melacak FIB terbesar
pada kolom Fraction Illumination Bulan. Periksa FIB terbesar terjadi
pada jam berapa waktu Greenwich .
b)
Periksa sekali lagi adanya kemungkinan terjadi
Gerhana Bulan, yaitu dengan melihat nilai atau harga mutlak Lintang Bulan (pada
kolom Apparent Lotitude Bulan) saat FIB terbesar.
1)
Jika harga mutlak lintang
bulan lebih besar 1o05’07” maka tidak terjadi gerhana bulan.
2)
Jika harga mutlak lintang
bulan lebih kecil 1o00’24”
maka pasti terjadi gerhana bulan.
3)
Jika harga mutlak lintang
bulan < 1o05’07”
dan > 1o00’24” maka kemungkian terjadi gerhana bulan.
c) Untuk menghitung Sabaq Matahari (B1) atau gerak
Matahari setiap jam dengan cara menghitung harga Mutlak selisih antara data ELM
(ELM = Ecliptitic Longitude Matahari) pada jam FIB terbesar tersebut dan pada
satu jam berikutnya.
d) Untuk menghitung Sabaq Bulan (B2) atau gerak Bulan
setiap jam dengan cara menghitung harga mutlak selisih antara data ALB (ALB =
Apparent Longitude Bulan) pada jam FIB terbesar tersebut dan pada satu jam
berikutnya.
Catatan : bila FIB
terbesar terjadi pada jam 24 maka satu jam berikutnya adalah jam 01 pada hari
atau tanggal berikutnya.
e)
|
Untuk menghitung jarak Matahari dan Bulan (MB) dengan
rumus sebagai berikut:
(data ELM dan ALB
pada jam FIB terbesar)
f)
Untuk menghitung Sabaq Bulan Mu’addal (SB) dengan rumus sebagai
berikut:
|
g)
|
Untuk menghitung titik Istiqbal dengan rumus sebagai berikut :
h)
|
Untuk menghitung waktu istiqbal dengan rumus sebagai berikut :
i)
Untuk melacak data
berikut ini di dalam Ephemeris pada saat terjadi Istiqbal secara Interpolasi.
a)
Semi Diameter Bulan (SDc) pada kolom semi diameter Bulan.
b)
Horozontal Parallaks Bulan (HP) pada kolom Horizontal Parallaks.
c)
Lintang Bulan (L) pada kolom apparent lotitude bulan.
d)
Semi Diameter Matahari (SDo)
pada Semi Diameter Matahari.
e)
Jarak Bumi (JB) pada kolom True Geocentric Distance Matahari.
j)
Untuk menghitung Horizontal Parallaks
Matahari (HPo) dengan rumus sebagai berikut:
|
k)
|
Untuk menghitung jarak Bulan dari titik simpul (H) dengan rumus sebagai
berikut:
l)
|
Untuk menghitung Lintang Bulan maksimum terkoreksi (U) dengan rumus sebagai
berikut :
m)
|
Menghitung
Lintang Bulan Minimum terkoreksi (Z) dengan rumus :
n)
|
Untuk menghitung koreksi kecepatan Bulan relatif terhadap Matahari (K)
dengan rumus :
o)
|
Menghitung
besarnya Semi Diameter Bayangan inti Bumi (D) dengan rumus :
p)
|
Menghitung
jarak titik pusat bayangan inti Bumi sampai titik pusat Bulan ketika piringan
Bulan mulai bersentuhan dengan bayangan inti Bumi (X) dengan rumus:
q)
Menghitung jarak titik pusat
bayangan inti Bumi sampai titik pusat Bulan ketika seluruh piringan Bulan masuk pada bayangan
inti bumi (Y) dengan rumus :
|
r)
Menghitung jarak titik pusat
Bulan ketika piringan Bulan mulai bersentuhan dengan bayangan inti Bumi sampai
titik pusat Bulan saat segaris dengan bayangan inti Bumi (C) dengan rumus :
|
s)
Menghitung waktu yang diperlukan
oleh Bulan untuk berjalan mulai ketika piringan Bulan mulai bersentuhan dengan
bayangan inti Bumi sampai ketika titik pusat Bulan segaris dengan bayangan inti
Bumi (T1) dengan rumus
|
Catatan ;
Bila Y lebih kecil
dari pada Z maka akan terjadi Gerhana Bulan sebagian. Oleh karena itu E dan T2 berikut ini
tidak perlu dihitung.
t)
Menghitung jarak titik pusat
Bulan saat segaris dengan bayangan inti Bumi sampai titik pusat Bulan ketika
seluruh piringan Bulan masuk pada bayangan inti Bumi (E) dengan rumus :
|
u)
Menghitung waktu yang diperlukan oleh Bulan
untuk berjalan mulai dari titik pusat Bulan saat segaris dengan dengan bayangan
inti Bumi sampai titik pusat Bulan ketika seluruh piringan Bulan masuk pada
bayangan inti Bumi (T2) dengan rumus :
|
v)
|
Koreksi pertama
terhadap kecepatan Bulan (Ta) dengan rumus :
w)
|
Koreksi kedua
terhadap kecepatan Bulan (Tb) dengan rumus :
x)
|
Menghitung waktu
Gerhana (To) dengan rumus
y)
Menghitung waktu titik tengah Gerhana (Tgh) dengan
cara: Perhatikan lintang Bulan (L) dalam kolom Apparent Latitude Bulan pada
jam FIB terbesar dan pada satu jam berikutnya.
Jika harga mutlak Lintang Bulan semakin mengecil
maka
|
|
Jika harga Mutlak
Lintang Bulan semakin membesar maka
Catatan:
1)
∆T adalah koreksi waktu TT menjadi GMT
2)
Bila dikehendaki dengan
waktu WIB, tambahkan 7 jam
3) Bila hasil penambahan
tersebut lebih besar dari 24, maka kurangi dengan 24. sisanya itulah titik
tengah Gerhana tetapi pada tangalberikutnya dari tanggal Ephemeris.
z)
|
Menghitung waktu
mulai Gerhana dengan rumus:
1)
|
Menghitung waktu
mulai Gerhana total dengan rumus:
2)
|
Menghitung waktu
selesai Gerhana total dengan rumus:
3)
|
Menghitung waktu
selesai Gerhana dengan rumus:
Catatan:
Bila awal Gerhana lebih besar dari pada
waktu Matahari terbit di suatu tempat atau akhir Gerhana lebih kecil dari pada
waktu terbenam Matahari di tempat itu maka Gerhana Bulan tidak tampak dari
tempat tersebut.
å)
|
Menghitung lebar piringan Bulan yang masuk dalam
bayangan inti Bulan pada Gerhana Bulan (LG) dengan rumus:
Apabila dikehendaki satuan ukurnya dengan Usbhu’
(jari), maka hasil perhitungan lebar Gerhana ini dikalikan 12
ä)
Mengambil kesimpulan
dari hasil perhitungan, yakni menyatakan hari apa, tanggal dan jam berapa
terjadi gerhana bulan.
- Contoh Perhitungan Gerhana Bulan
Menurut Ephemeris
Sedangkan
untuk perhitungan penentuan
gerhana Bulan, dengan menggunakan sistem Ephemeris yang perlu dilakukan terlebih dahulua
adalah menentukan kapan gerhana bulan
tersebut terjadi, dengan memjumlahkan tabel
A, B dan C. Kemudian mengkonversi tanggal 14 atau tanggal 15 bualan
Hijriyah ke tahun Masehi, untuk mendapatkan tanggal, hari dan bulan Masehi.
Dikarenakan data yang terdapat pada tabel Ephemeris menggunakan tanggal dan
bulan Masehi.
Untuk dapat menganalisa dan membandingkan
hasil perhingan gerhana Bulan pada tanggal 16 juni 2011, antara Hisab Taqribi
dengan Hisab Kontemporer, kami coba untuk melakukan perhitungan, sebagai
berikut :
1)
Menentukan perkiraan
terjadinya Gerhana.
Ü
Th. Majmu’ah 1430 326o 14’ 12”
Ü
Th. Mabsuthoh 2 016o 05’ 38”
Ü Bulan Rojab 199o 21’ 37” +
181°
41’ 27”
2) Menentukan
pertengahan bulan Rojab 1432 H dengan perbandingan tarekh.
14 Rojab 1432 H
1431 tahun + 6 bulan + 14 hari
1431 / 30 = 47 siklus + 21 tahun + 6 bulan + 14
hari
47 siklus = 47 x 10631 hari =
499.657 hari
21 tahun = 21 x 354 + 8 = 7.442 hari
6
bulan =
177 hari
14 hari =
14 hari +
Jumlah hari s.d tgl. 14 Rojab 1432 H =
507.290 hari
Selisih tetap M – H =
227.015 hari +
Jumlah =
734.305 hari
Anggaran Gregorius XIII =
13 hari +
Jumlah = 734.318 hari
734.318 / 1461 hari = 502 daur + 896 hari
502 daur = 502 x 4 = 2008
tahun + 896
hari
896 hari = 896 / 365 hari = 2
tahun + 166
hari
166 hari = 166 - 151 = 5 bulan +
15 hari
=
2010 tahun + 5 bulan + 15 hari
=
15 JUNI 2011 M.
507.290 / 7 = 72.470 sisa 0 (Rabu)
507.290 / 5 = 101.458 sisa 0 (Wage)
atau
734.305 / 7 = 104.900 sisa 5 (Rabu)
734.305
/ 5 = 146.861 sisa 0 (Wage)
Jadi tanggal 14 Rojab 1431 H
bertepatan dengan tanggal 15 JUNI 2011 M hari Rabu Wage.
3)
Menentukan saat terjadinya
Istiqbal.
a. FIB terbesar tanggal
15 Juni 2011 adalah 1,00000 jam 20:00
GMT. / 03:00 WIB tanggal 16 Juni 2011.
b. ELM pada jam 20:00
GMT = 84º 22’ 56”
c. ALB pada jam 20:00
GMT = 264º 14’ 59”
d.
Sabaq Matahari (B1)
ELM pada jam 20:00 GMT = 84º 22’ 56”
ELM pada jam 21:00 GMT = 84º 25’ 19”
2’ 23”
e. Sabaq Bulan (B2)
ALB pada pukul 20:00 GMT = 264º 14’ 59”
ALB pada pukul 21:00 GMT = 264˚ 49’ 19”
34’
39”
f.
Sabaq Bulan Mu’addal (SB)
0º 34’ 39” - 0º 2’ 23” = 0º 32’ 16”
g.
Jarak Matahari ke Bulan
MB
= 84º 22’ 56” – (264º 14’ 59” – 180)
= 0º 7’ 57”
h.
Rumus mencari saat terjadinya istiqbal
R.
= MB / SB + jam FIB
= 0º 7’ 57”/ 0º 32’ 16” + 20 (GMT) + 7 (WIB)
= 20j 14m 46.8d GMT / 03j
14m 46.8d WIB.
4)
Interpolasi Data Ephemeris
Rumus
: A – (A - B) x C / 1
a.
sdo jam 20 GMT = 0º 15’ 44.74”
21
GMT = 0º 15’ 44.74”
= 0º 15’ 44.74” (S)
b. sd) jam 20
GMT = 0º 15’ 15.41”
21
GMT = 0º 15’ 57”
= 0º 15’ 15.31” (S1)
c.
HP jam 20 GMT = 0º 58’ 33”
21
GMT = 0º 58’ 32”
= 0º 58’ 32.75” (P1)
d. AL) jam20
GMT = 0º 4’ 24”
21
GMT = 0º 7’ 36”
= 0º 5’ 11.31” (L1)
5)
Menentukan Horizintal
Parallaks Matahari.
Rumus = Sin P = Sin S / 109.15068
=
sin 0º 15’ 44.74” / 109.15068
=
4.196229246 x10-05
=
2.404262257 x10-03
=
0º 0’ 8.66”
6) Menentukan jari-jari
inti bayangan bumi
Rumus
= SB = 51/50 x (P1 + P - S)
=
51/50 x (0º 58’ 14.25” + 0º 0’ 8.94” - 0º 16’ 15.48”)
=
0º 42’ 58.26”
7)
Menentukan awal dan akhir
gerhana
e.
Rumus = sin H =
Sin L1 / Sin 5
=
sin 0º 5’ 11.31” / sin 5
=
0.017316964
=
0.992238572
=
0º 59’ 32.06”
f.
Rumus = Tan U =
Tan L1 / sin H
=
Tan 0º 5’ 11.31” / Sin 0º 59’ 32.06”
=
0.087155842
=
4.981075038
=
4º 58’ 51.87”
g.
Rumus = Sin Z =
Sin U x Sin H
=
Sin 4º 58’ 51.87” x Sin 0º 59’ 32.06”
=
0.001503575
=
0.086148546
=
0º 5’ 10.13”
h.
Rumus
= K = Cos L1 x (B2 – B1) / Cos U
= Cos 0º 5’ 11.31” x
(0º 34’ 39” - 0º 2’ 23”) / Cos 4º 58’ 51.87”
=
Cos 0º 5’ 11.31” x 0º 32’ 16” / Cos 0º 18’
50.15”
=
0º 32’ 23.34”
i.
Rumus = DD =
SB + S1
=
0º 42’ 58.26” + 0º 15’ 15.31”
=
0º 5’ 45.51”
j.
Rumus = BD =
SB - S1
=
0º 42’ 58.26” - 0º 15’ 15.31”
=
0º 27’ 50.89”
k.
Rumus = Cos c = Cos DD x Cos
Z
=
Cos 0º 5’ 45.51”x Cos
0º 5’ 10.13”
=
0.999847788
=
0.99969335
=
0º 59’ 58.9”
l.
Rumus = Cos e = Cos BD / Cos
Z
=
Cos 0º 27’ 50.89” / Cos 0º 5’ 10.13”
=
0.999966069
=
0.472063032
=
0º 28’ 19.43”
m.
Rumus =
T1 = c / K
= 0º 59’ 58.9” / 0º 32’ 23.34”
=
1j 51m 6.89d
n.
Rumus =
T2 = e - K
=
0º 28’ 19.43” - 0º 32’ 23.34”
=
0j 5m 1.48d
o.
Rumus
= t = (Sin 0.05 x Cos H / Sin K x Sin L1 / Sin K)
=
(sin 0.05 x cos 0º 59’ 32.06” / sin 0º 32’ 23.34” x sin 0º 5’ 11.31” / sin 0º
32’ 23.34”)
=
0j 0m 53.41d
8)
Saat awal dan akhir gerhana
a. Tengah Gerhana
Rumus
= To = saat istiqbal – t
= 20j 14m 46.8d - 0j
0m 53.41d
=
20j 13m 53.57d GMT / 03j 13m 53.57d WIB
b. Awal Gerhana
Rumus
= To -
T1
=
20j 13m 53.57d - 1j 51m 6.89d
= 18j 22m 46.68d GMT / 01j
22m 46.68d WIB
c. Awal Total
Rumus
= To –
T2
=
20j 13m 53.57d –0j 5m 1.48d)
= 20j 08m 52.03d GMT / 03j
17m 52.03d WIB
d. Akhir Total
Rumus
= To +
T2
=
20j 13m 53.57d + 0j 5m 1.48d
=
20j 18m 55.71d GMT / 03j 9m 55.71d WIB
e. Akhir Gerhana
Rumus
= To +
T1
= 20j 13m 53.57d + 1j
51m 6.89d
=
22j 5m 0.46d GMT / 05j 5m 0.46d WIB
KESIMPULAN :
No
|
Fase Gerhana
|
GMT
|
WIB
|
Keterangan
|
1.
|
Awal Gerhana
|
18j 22m 46.68d
|
01j 22m 46.68d
|
Gerhana Bulan Total dapat dilihat
di wilayah
|
2.
|
Awal Total
|
20j 18m55.71d
|
03j 09m 55.71d
|
|
3.
|
Tengah Gerhana
|
20j 13m 53.57d
|
03j 13m 53.57d
|
|
4.
|
Akhir Total
|
20j 08m52.03d
|
03j 17m 52.03d
|
|
5.
|
Akhir Gerhana
|
22j 05m 0.46d
|
05j 05m 0.46d
|
D.
Penutup.
Gerhana Bulan adalah sebagian
atau seluruhpiringan Bulan memasuki kerucut bayangan inti Bumi (umbra). Oleh
sebab itu Bulan menjadi nampak gelap sebagian pada gerhana bulan sebagian atau
nampak gelap seluruhnya pada gerhana bulan total. Gerhana bulan ini hanya
terjadi saat oposisi atau istiqbal dengan Matahari, yaitu bila bujur
astronominya berselisih 180o serta berdeklinasi 0o atau
mempunyai deklinasi yang harga mutlaknya hampir sama. Dalam astronomi, gerhana
bulan dimungkinkan terjadi apabila Bulan
pada saat purnama berada pada posisi 12o atau kurang dari
titik simpul.
Macam gerhana bulan ada tiga,
yaitu pertama: gerhana bulan semu, yakni manakala Bulan memasuki bayangan semu
Bumi (penumbra). Gerhana semu ini tidak begitu nampak dan terasa dari Bumi.
Kedua: gerhana bulan sebagian yakni manakala
hanya sebagian piringan bulan saja yang masuk pada bayangan inti bumi
(umbra) kemudian keluar lagi. Ketiga: gerhana bulan total yakni seluruh
piringan Bulan masuk dalam bayangan inti Bumi (Khazin: 2005. Hlm.45)
Tontowy Jauhari dalam tafsir al-jawahir menyatakan ayat-ayat al-Qur’an yang
berbicara tentang ilmu pengetahuan berjumlah lebih dari 750 (tujuh ratus lima
puluh ayat), sementara ayat yang berbicara tentang hukum (baca: fiqh) jumlah
ayatnya tidak lebih dari 150 (seratus lima puluh) (Jauhary: hlm.3). Ini artinya begitu besarnya
Allah mendorong umat manusia secara umum dan umat Islam secara khusus untuk
memperdalam dan mengembangkan ilmu kealaman. Sehingga sebagian sebagian aturan
ibadah umat Islam yang pelaksanaannya dihubung-kaitkan dengan waktu dan tempat
dapat ditentukan secara akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Zuhaily Wahbah,
2007, Al Fiqhul Islamy wa Adillatuhu, Juz II, Dimasyqy: Darul Fikr
Khazin
Muhyiddin,
2005, Ilmu falak dalam teori dan praktik,
Yogyakarta:
Buana Pustaka.
Khazin
Muhyiddin, ,Kamus Ilmu Falak, Yogyakarta: Buana
Pustaka,
Endro S Herman, 1997 Hari Raya umat Budha dan
Kalender Budhis 1996-2026, Jakarta Pusat :Yayasan Dhammadiepa Arama,
cetakan ke II.
Faturrahman,
2012, Cara Mudah Belajar Ilmu Falak, Jombang: tidak diterbitkan
Tontowi Jauhari, 1350 H, Tafsir al-Jawahir,
Juz I. Cetakan kedua. Mesir: Percetakan Mustafa Baby al-Halaby. 1350 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar