SISTEM KOORDINAT HORIZON
Oleh: Abdulloh Hasan, S.Pd.I NIM: 135212005
Wira Fatni NIM:
135212004
A.
Pendahuluan
Dalam
sistem perhitungan astronomi bola tidak akan terlepas dari pemahaman tentang
sistem koordinat benda langit. Sistem ini memberikan kontribusi dalam
menentukan posisi benda langit berada, sehingga akan dapat diperoleh hasil yang
sesuai dengan fakta alam. Keterkaitan antara satu sistem koordinat yang satu
dengan yang lain saling terkait dalam memberikan sebuah gambaran imajiner bagi
seorang pengamat dalam mengaplikasikan teori astronomi.
Sistem
ini memposisikan bumi dan pengamat sebagai sentral atau titik pusat dari alam
semesta, dimana diasumsikan bahwa jagad raya bersifat statis dan manusia
merupakan pusat jagad raya. Sedangkan posisi bintang serta jaraknya diangap
sangat jauh tidak berhingga. Selain itu, semua bintang diasumsikan berada pada
permukaan sebuah bola.[1]Dengan
asumsi tersebut, sistem yang dipergunakan dalam sebuah bola angkasa diatur
dengan menggunakan tiga pilar sistem untuk memposisikan benda langit terhadap
sebuah pengamatan. Sistem tersebut terdiri dari sistem koordinat horizon,
sistem koordinat ekuator dan sistem koordinat ekliptika. Masing – masing dari
sistem tersebut memiliki aturan dan perhitungan tersendiri.
Sistem
koordinat horizon merupakan dasar utama dalam melukiskan bola angkasa yang
sangat terkait erat dengan keberadaan observer. Lebih jauh, makalah ini
akan memfokuskan kajian terhadap sistem koordinat horizon, aturan dan komponen –
komponennya, penggunaan dan aplikasinya, serta perhitungan terhadap posisi
benda langit yang dapat dihasilkan melalui penerapan sistem tersebut.
B.
Sistem Koordinat Horizon
Sistem
koordinat Horizon merupakan salah satu sistem yang digunakan dalam menentukan
posisi benda langit, terutama terkait dengan posisi pengamat berada. Dalam
sistem koordinat Horizon, posisi benda langit ditentukan dengan altitude
dan azimut. (Azhari, 2007: 24-25). Sedangkan Villanueva (1978: 14),
dalam Astronomi Geodesi, menyampaikan koordinat dalam sistem Horizon dapat
ditentukan dengan A dan h atau A dan z.[2] Nawawi
(2010: 12), menyatakan tata koordinat Horizon menggunakan lingkaran Horizontal
dan lingkaran Vertikal sebagai sumbunya.
Dari
sini, dapat dipahami bahwa sistem koordinat Horizon adalah sistem yang
dipergunakan dalam menentukan posisi benda langit yang dibentuk oleh bidang
datar (horizon) dan bidang tegak lurus (vertikal), dimana
pengamat menjadi titik pusat bola terhadap posisi benda langit yang disimbolkan
dengan koordinat Altitude dan Azimut. Menurut Bakri Ahmad (2010:
196), disebut dengan sistem koordinat Horizon karena disandarkan pada bidang
horizon sebagai acuannya, dimana bidang Horizon (Ufuk) merupakan bidang datar
yang disandarkan pada arah menghadap.
Pada tata koordinat Horizon, posisi
bintang ditentukan hanya berdasarkan pandangan pengamat saja, karena pengamat
merupakan sentral atau titik pusat bola. Tata koordinat Horizon tidak dapat
menggambarkan lintasan peredaran semua bintang, karena dengan tata koordinat
ini, letak bintang selalu berubah sejalan dengan waktu. Namun, tata koordinat
Horizon penting dalam hal pengukuran adsorbsi cahaya bintang. Tata koordinat
Horizon menggunakan lingkaran horizontal dan lingkaran vertikal sebagai acuan
dasarnya yang dipergunakan dalam penentuan azimuth dan ketinggian benda
langit (altitude).
Sistem
koordinat ini merupakan sistem pemetaan benda – benda langit tertua yang
digunakan oleh para ahli astronomi. Bagi seorang pengamat, permukaan bumi
terlihat seperti bidang datar dan langit terlihat seperti setengah lingkaran
besar dimana pun pengamat berada, dan tidak dapat melihat setengah lingkaran
dibawahnya.[3] Penggambaran seperti ini
disebut dengan local sphere of the observer (bola langit pengamat) yang
menempatkan titik diatas pengamat yang disebut zenith dan titik dibawah
kaki pengamat yang disebut nadhir.(Rohr,1996: 23). Dalam sistem ini,
horizon di suatu tempat berbeda dengan lainnya, akan tetapi senantiasa datar di
setiap tempat. Misalnya orang didaerah kutub Utara beranggapan bahwa kutub
Selatan adalah bagian bawahnya, berbeda halnya dengan pengamat yang berada di
Katulistiwa. Sedangkan dalam penentuan posisi benda langit pada bidang horizon,
ditentukan dengan menggunakan sistem arah Utara, Selatan, Timur, Barat.
Petunjuk ini merupakan pokok dalam penentuan posisi benda langit dimana arah
dan tinggi dari benda langit merupakan koordinatnya.
Sistem
koordinat horizon memuat komponen – komponen dasar sebagai berikut:
a.
Lingkaran Horizon (Horizon
Circle/ Dairatul Ufuk)
Lingkaran
Horizon merupakan lingkaran besar yang membentuk bidang datar yang diambil dari
bola langit yang melewati pusat bumi dan tegak lurus dengan bidang vertikal.
Menurut Jamil (2009: 11), Horizon adalah
lingkaran pada bola langit yang menghubungkan titik Utara, titik Timur, titik
Selatan, dan titik Barat sampai ke titik Utara. Horizon merupakan batas pemisah
antara belahan langit yang tampak dan yang tidak tampak.[4]Abdurrohim
(1983: 1) menyampaikan bahwa lingkaran Horizon merupakan lingkaran pemisah
antara bola langit atas dan bawah.
Lingkaran ini merupakan lingkaran
utama yang menjadi dasar perhitungan. Adapun lingkaran Horizon pengamat (the
visible horizon) merupakan batas pertemuan langit dan bumi pada kaki langit
dimana pengamat menjadi titik pusat lingkaran horizon tersebut. Horizon ini
tergantung dimana posisi pengamat berada, sehingga bidang ini terbentuk dari
lingkaran kecil yang sejajar dengan bidang horizon yang melewati inti bumi. Semakin
tinggi lokasi pengamat, maka semakin dalam dan luas bidang horizon yang
terbentuk.
b.
Lingkaran Vertikal (Dairatul
Irtifa’)
Lingkaran
vertikal adalah lingkaran besar yang melalui titik Zenith dan titik Nadir yang
memotong tegak lurus dengan bidang horizon, sehingga setiap titik pada
lingkaran horizon jaraknya 90° dari titik Zenit maupun titik Nadhir dan dapat
dibuat tak terbatas. Ketika ditarik suatu garis dari Zenit ke berbagai arah -
dengan jumlah tak terbatas – melalui titik Nadhir, semua garis tersebut
merupakan garis vertical. Pada lingkaran vertical ini, nilai ketinggian bintang
ditentukan berdasarkan jarak ketinggiannya dari bidang horizon. Sedangkan garis
tegak lurus yang menghubungkan kedua kutub lingkaran vertical disebut dengan vertical
line atau garis vertical yang merupakan perpanjangan dari pusat bola langit
yang menghubungkan Zenit dan Nadhir.
c. Zenit dan Nadhir (Simtu Ra’si ,
Simtul Qadam)
Zenit merupakan titik teratas yang
terletak vertical tegak lurus diatas kepala pengamat (Rohr, 1996: 23). Zenit
disebut juga dengan Titik Puncak. Sedangkan Nadhir merupakan titik yang
terletak vertical tegak lurus dengan kaki pengamat. Nadhir merupakan titik
terbawah dari bola langit sehingga disebut dengan titik kaki atau simtul
Qadam. Titik Zenit dan Nadhir merupakan titik kutub utama dalam sistem
koordinat horizon, yang menjadi dasar dalam penghitungan posisi benda langit.
d. Meridian Langit (Dairah Nisfun Nahar)
Meridian langit yaitu lingkaran
besar yang melalui Zenit dan Kutub Langit (Celestial Poles), dimana
lingkaran meridian ini merupakan lingkaran vertical yang memotong titik Utara
dan Titik Selatan bola langit (Hosmer, 1925: 16-17). Lingkaran meridian
merupakan lingkaran utama dalam melukiskan benda langit, karena pada lingkaran
meridian ini terdapat Kutub Langit Utara (KLU), Kutub Langit Selatan (KLS),
arah Utara dan arah Selatan bidang
Horizon.[5]
Lingkaran meridian ini membagi bola langit menjadi dua bagian sama besar,
sebelah Timur dan Barat.
Puncak dari garis ini merupakan
batas tengah hari, sedangkan bawahnya menjadi batas tengah malam, sehingga pada
puncak lingkaran merupakan awal dari perhitungan sudut waktu bintang t yang
bernilai 0. Ketika lintasan suatu benda langit berhimpit dengan garis meridian
pada saat kulminasi, maka nilai t = 0 dan waktu yang ditunjukkan senantiasa jam
12. Sedangkan ketika bergerak, maka benda langit tersebut akan membentuk sebuah
sudut yang disebut dengan sudut waktu (Nawawi, 2010: 15)
Gambar 1
|
Dari model dasar
gambar tersebut, maka akan dapat diketahui komponen – kompenen lain untuk
mengetahui posisi benda langit yang menjadi acuan dalam perhitungan pergerakan
benda langit. Adapun komponen yang dapat diketahui dengan menggunakan sistem
koordinat Horizon tersebut yaitu:
a. Jarak Zenit (Bu’dus Simtu)
Jarak Zenit merupakan jarak pada
lingkaran vertikal yang dihitung dari pusat benda langit sampai ke titik Zenit
yang dilambangkan dengan z. Jarak zenith berhubungan erat dengan ketinggian
suatu benda langit, sehingga diformulasikan 90° = h + z, dimana h adalah
ketinggian benda langit dan z adalah jarak zenit.
b. Ketinggian benda langit (Altitude atau Irtifa’)
Ketinggian benda langit atau altitude
merupakan busur pada lingkaran vertical yang diukur dari titik perpotongan
antara lingkaran vertical dengan bidang horizon sampai ke objek benda langit (Azhari, 2007: 25).
Ketinggian benda langit dan jarak zenith terletak pada lingkaran vertical yang
sama, yang disimbolkan dengan h. Untuk mencari ketinggian diformulasikan 90° =
h + z, sehingga h = 90° - z dan z = 90° - h. Ketinggian suatu benda langit
ketika melintasi meridian pengamat jarak zenitnya = nol dan ketinggiannya = 90°
yang disebut dengan titik kulminasi atau titik Rembang atau Ghayatul
Irtifa’. Jika dihitung menuju ke
arah zenith bernilai positif dan jika menuju ke arah nadhir bernilai negative.
c. Azimut (Simtu)
Azimut
merupakan jarak pada bidang horizon yang dihitung dari titik Utara ke arah Timur
searah jarum jam sampai pada titik perpotongan lingkaran vertical benda langit
dengan bidang horizon (Hambali, 2011:52). Besaran nilai azimuth terhitung dari
0° sampai 360°, dimana pada titik Timur = 90°, titik Selatan = 180°, titik
Barat = 270°. Dalam teori navigasi darat
dan udara, titik acuannya adalah titik Selatan yang merupakan original
azimuth.
d. Bidang Horizon Pengamat
Bidang horizontal pengamat
merupakan bidang yang ditentukan berdasarkan bidang Horizon utama, akan tetapi
dengan berubahnya keadaan pengamat, maka horizon yang dihasilkan pun berbeda.
Bidang horizon ini dibagi menjadi; Horizon Hakiki, Horizon Semu dan Horizon
Kodrat (Nawawi, 2010: 12).[6] Horizon
Hakiki merupakan bidang datar yang titik pusatnya merupakan titik pusat
bumi. Horizon Semu merupakaan bidang datar yang berpusat dipermukaan
bumi tepat dibawah kaki pengamat. Horizon Kodrat merupakan bidang datar
yang dibentuk dari sebuah lingkaran yang dihasilkan dari pertemuan kaki langit
dengan bidang horizon. Ketika ditambahkan sebuah koreksi berdasarkan posisi
pengamat dan ketinggian tempat maka bidang horizon (horizon kodrat) akan
membentuk sudut kemiringan terhadap pengamat, dan horizon yang dibentuk akan
lebih rendah. Koreksi ini disebut dengan Dip dengan formula D’ = √1,76 x tinggi
tempat : 60.
e. Parralaks (Beda Lihat atau ikhtilaf
al Mandzar)
Parralaks yaitu beda sudut yang
dihasilkan antara garis yang ditarik dari pusat benda langit ke titik pusan
bumi dan garis yang ditarik dari pusat benda langit ke permukaan bumi. harga parralaks
paling besar adalah ketika berada di ufuk dan yang paling kecil adalah ketika
berada di zenith.
Dari komponen – komponen tersebut
dapat dilihat dalam gambar berikut;
Gambar 2
Gambar 3
C.
Perhitungan dalam Sistem
Koordinat Horizon
Tata koordinat Horizon
dipergunakan untuk menghitung ketinggian benda langit (altitude) dan azimuth
benda langit. Altitude merupakan
sudut elevasi yang dibentuk oleh bidang Horizon terhadap posisi ketinggian
suatu benda langit, dengan aturan a = (- 90°, 90°), artinya nilai tertinggi dari altitude
adalah sebesar 90°,
dan nilai terendah adalah sebesar - 90°.[7]
Sedangkan Azimut bintang
dengan aturan A = ( 0°, 360°), artinya nilai terkecil dan
terbesar dari azimuth adalah sebesar 0°/ 360° ketika benda berada di titik
Utara, dengan nilai besaran terhitung searah jarum jam atau menuju ke arah
Timur.
Ketika posisi bintang berubah,
maka nilai dari sudut elevasi (altitude), azimut dan jarak zenit-
nya pun juga ikut berubah. Oleh karena itu, sudut elevasi dan azimut tidak dapat digunakan sebagai acuan untuk
menentukan letak bintang, karena nilainya selalu berubah - ubah. Untuk
menentukan letak suatu bintang diperlukan sudut yang tidak berubah - ubah
selama bintang bergerak yaitu sudut deklinasi yang memerlukan bidang Equator
yang tegak lurus dengan Kutub Utara Langit (Celestial Pole).
Rumus perhitungan dapat dilakukan dengan pendekatan
trigonometri bola yang menggunakan konsep dasar sinus, yaitu:
Ataupun konsep
dasar cosinus, yaitu:
Contoh
perhitungan, tentukan altitude dan azimuth dari sebuah bintang C
pada bola langit berikut:
Segitiga
Bola yang dibentuk oleh gambar disamping adalah segitiga bola PZC dimana;
PC=
z = Ð POC; PZ = c = Ð POZ
ZC
= p =Ð ZOC; CH = a =altitude
CD
= d = deklinasi; PU = q = Lattitude; ÐZPC = Sudut Waktu= P
ZC
= 90° - a PZ = 90° - q
PC
= 90° - q
Untuk
mencari altitude, digunakan rumus sebagai berikut:
Cos
p = Cos z Cos c + Sin z Sin c. Cos P
Cos
( 90°- a) = Cos (90° - q) Cos (90° - d) + Sin (90° - q) Sin (90° - d) Cos P
Sin
a = Sin q Sin d + Cos q Cos d Cos
P
Dari
persamaan tersebut altitude benda langit dapat dihitung dengan rumus;
Sin a =
Sin q Sin d + Cos q Cos d Cos P
Misal, tentukan ketinggian (altitude) dari bintang Ross
128, yang dilihat dari Atena dengan koordinat 37° 45’ LU dan 23°20’
BT, pada deklinasi 22°20’ dengan sudut waktunya 56°25’.
Diketahui data : q = 37°25’
; d = 22°20’ ; P = 56°25’
Sin a = Sin q Sin d + Cos q Cos d Cos P
Sin a = Sin 37°25’ Sin 22°20’ + Cos 37°25’ Cos 22°20’
Cos 56°25’
Sin a = 0,637264463
a =
39°35’17,3”
Jadi altitude
bintang Ross 128 adalah a =
39°35’17,3”
Jika
dihitung dengan menggunakan rumus dasar Cosinus, maka :
Cos (
90°- a) = Cos (90° - q) Cos (90° - d) + Sin (90° - q) Sin (90° - d) Cos P
Cos (90°-
a) = Cos (90° - 37°25’) Cos(90° - 22°20’)+ Sin (90° - 37°25’)
Sin (90° - 22°20’) Cos 56°25’
Sin a = Cos 52°35’ Cos 67°40’+ Sin 52°35’ Sin
67°40’ Cos 56°25’
Sin a = 0,637264463
a =
39°35’17,3”
Dalam
menentukan Azimut, dapat dihitung dengan menggunakan aturan sinus, yaitu :
Dengan
mengacu kepada gambar tersebut, setiap sudutnya saling berhubungan yang
membentuk aturan sinus, sebagai berikut;
dari gambar tersebut,
nilai azimut terhitung dari U à S à H. Nilai dari UàS = 180°,
sedangkan nilai dari SàH adalah 180° - ÐUOH. Nilai Ð UOH = Ð Z à Z = 180°- A
Jadi, azimut bintang adalah:
A =
180°+ (180° - Ð Z)
=
Sin (90°- 39°35’17,3”)/ Sin 56°25’x Sin 52°35’0”
Z = 47°16’58,44”
132°43’1,56”
,
berdasarkan gambar nilai Z = 132°43’1,56”
A = 180°+ (180° - Z)
= 180°+ (180° - 132°43’1,56”)
=
180°+ 47°16’58,44”
=
235°16’58,44”
Merujuk
penghitungan Azimut, Drs. KH. Slamet Hambali, M.S.I, dalam bukunya Ilmu
Falak: Penentuan Awal Waktu Shalat dan Arah Kiblat Seluruh Dunia (2011: 37),dapat
dihitung dengan menggunakan rumus :
Dengan cara ini harus terlebih dahulu mencari
nilai t, yang dapat ditempuh dengan cara sebagai berikut:
Cos 90° = Cos (90° - q) Cos (90° - d) + Sin (90°
- q) Sin (90° - d) Cos P
0 = Sin q Sin d + Cos q Cos d. Cos P
- Cos q Cos d Cos P = Sin q Sin d
Cos P = Sin q Sin d / - Cos q Cos d
Cos P = - tan q tan d
Dimana P = Sudut Waktu. Nilai rumus P tersebut
merupakan rumus dalam mencari panjang bususr siang dan malam, sehingga
memerlukan tambahan koreksi untuk menentukan nilai sudut waktu matahari atau
bintang. Sedangkan nilai p merupakan sudut yang dibentuk dari titik kulminasi
atas sampai dengan titik terbenam matahari. sedangkan dalam menghitung waktu
shalat nilai t matahari ditambahkan dengan
D. Kesimpulan
Sistem
Koordinat Horizon merupakan pengetahuan dasar untuk mengetahui posisi benda
langit dimana memposisikan pengamat sebagai sentral bola langit. Pada sistem
ini berfungsi untuk menentukan koordinat benda langit yang ditunjukkan dengan
altitude dan azimuth. Komponen – komponen pembentuk bola langit dengan sistem
koordinat horizon terdiri dari lingkaran horizon, lingkaran vertical, lingkaran
meridian, zenith dan nadir.
Dari konsep
dasar tersebut berfungsi untuk menentukan ketinggian (altitude) bintang,
azimuth bintang, jarak zenith, kedalaman ufuk dan parralaks. Selain itu, nilai
koreksi yang diberikan dalam setiap perhitungan berdasarkan kepada sistem
koordinat ini. Nilai azimuth dapat diketahui dengan formula 90° = h + z.
Sedangkan besar azimuth dihitung berdasarkan perpotongan lingkaran vertical
dengan bidang horizontal. Bidang horizon yang dipergunakan dalam sistem ini
yaitu horizon hakiki, horizon semu dan horizon kodrat.
[1] Asumsi ini
sebagai dasar dalam melukiskan bola angkasa, yang memuat kaidah- kaidah spherical
trigonometry dalam penentuan posisi bintang dan benda langit lainnya. (Heru
Sukamto, Diktat Astronomi Bola, disampaikan dalam pertemuan perkuliahan
di Universitas Sunan Giri Surabaya pada tanggal 10 Juni 2013)
[2] A adalah
symbol untuk Azimut, h symbol untuk tinggi benda langit ataupun sudut
miring, dan z adalah symbol untuk sudut zenith. Sedangkan dalam ilmu falak
symbol h digunakan untuk menentukan tinggi matahari, yang dalam astronomi
disebut dengan altitude yang disimbolkan dengan huruf a.
[3] Di
dalam sistem koordinat Horizon, bumi terbagi menjadi dua permukaan yang disebut
hemisphere. Hemisphere bagian atas yang dapat diamati oleh seorang
pengamat sedangkan bagian bawah tidak dapat teramati. Luas hemisphere bagian
atas tidak sama besarnya dengan bagian bawah, akan tetapi dalam penggambaran
bola langit, besar hemisphere dianggap sama.(Maskufa, 2010: 69)
[4] Bidang yang
dibentuk lingkaran Horizon pada bola langit, membagi langit menjadi bagian atas
dan bagian bawah yang sama besar, dimana jarak dari bidang Horizon ke kutubnya
senantiasa bernilai 90°. Horizon ini disebut Horizon hakiki karena melewati
pusat bumi, jika tidak melewati pusat bumi, akan tetapi memposisikan pengamat
sebagai pusat bidang lingkaran, maka disebut the visible horizon.
[5] Sedangkan
garis vertical yang membagi bola langit menjadi bagian Utara dan Selatan serta
memotong bidang horizon pada titik Barat dan Timur bola langit disebut Vertical
Prime. Lingkaran ini membentuk bidang yang berpotongan dengan bidang
meridian. (George L. Hosmer, 1925, Practical Astronomi, Newyork: John
Willey and Sons, Inc. hlm 17)
[6] Dalam rujukan
lain berdasarkan pendapat Husein Hilmi Said, seorang tokoh dari Istambul, Turki
berpendapat bahwa selain ketiga horizon dan ufuk diatas, masih terdapat Ufuk,
Hissiy dan Ufuk Sathiy. Ufuk Hissiy yaitu ufuk atau bidang horizon yang sejajar
dengan mata pengamat. Sedangkan ufuk Sathiy merupakan ufuk yang sebenarnya
merupakan perpanjangan dari ufuk mar’i yang ditarik sampai berpotongan dengan
ufuk hakiki. Sudut yang dihasilkan dari perpotongan ufuk mar’i dan ufuk hakiki
dan sejajar dengan ufuk mar’i disebut ufuk sathiy atau horizon sathiy. (Husein
Hilmi bin Said, Kitabu Mawaqiitus Sholah, 1993: 23)
[7] Didalam
referensi yang lain untuk ketinggian benda langit biasanya disimbolkan dengan
h. akan tetapi dalam penentuan koordinat benda langit dapat menggunakan
koordinat ketinggian (altitude) benda langit ataupun jarak zenith
terhadap benda langit yang disimbolkan dengan z. akan tetapi lebih umumnya
penggunaan koordinat dengan menggunakan (A, h) atau (A, a) atau (A, z).
(Villanueva, 1993: 14)
Tidak Ada gambar
BalasHapus