Selasa, 26 Mei 2015

SISTEM KOORDINAT HORIZON

SISTEM KOORDINAT HORIZON
Oleh: Abdulloh Hasan, S.Pd.I                        NIM: 135212005
          Wira Fatni                                            NIM: 135212004

A.    Pendahuluan
Dalam sistem perhitungan astronomi bola tidak akan terlepas dari pemahaman tentang sistem koordinat benda langit. Sistem ini memberikan kontribusi dalam menentukan posisi benda langit berada, sehingga akan dapat diperoleh hasil yang sesuai dengan fakta alam. Keterkaitan antara satu sistem koordinat yang satu dengan yang lain saling terkait dalam memberikan sebuah gambaran imajiner bagi seorang pengamat dalam mengaplikasikan teori astronomi.
Sistem ini memposisikan bumi dan pengamat sebagai sentral atau titik pusat dari alam semesta, dimana diasumsikan bahwa jagad raya bersifat statis dan manusia merupakan pusat jagad raya. Sedangkan posisi bintang serta jaraknya diangap sangat jauh tidak berhingga. Selain itu, semua bintang diasumsikan berada pada permukaan sebuah bola.[1]Dengan asumsi tersebut, sistem yang dipergunakan dalam sebuah bola angkasa diatur dengan menggunakan tiga pilar sistem untuk memposisikan benda langit terhadap sebuah pengamatan. Sistem tersebut terdiri dari sistem koordinat horizon, sistem koordinat ekuator dan sistem koordinat ekliptika. Masing – masing dari sistem tersebut memiliki aturan dan perhitungan tersendiri.
Sistem koordinat horizon merupakan dasar utama dalam melukiskan bola angkasa yang sangat terkait erat dengan keberadaan observer. Lebih jauh, makalah ini akan memfokuskan kajian terhadap sistem koordinat horizon, aturan dan komponen – komponennya, penggunaan dan aplikasinya, serta perhitungan terhadap posisi benda langit yang dapat dihasilkan melalui  penerapan sistem tersebut.

B.     Sistem Koordinat Horizon
Sistem koordinat Horizon merupakan salah satu sistem yang digunakan dalam menentukan posisi benda langit, terutama terkait dengan posisi pengamat berada. Dalam sistem koordinat Horizon, posisi benda langit ditentukan dengan altitude dan azimut. (Azhari, 2007: 24-25). Sedangkan Villanueva (1978: 14), dalam Astronomi Geodesi, menyampaikan koordinat dalam sistem Horizon dapat ditentukan dengan A dan h atau A dan z.[2] Nawawi (2010: 12), menyatakan tata koordinat Horizon menggunakan lingkaran Horizontal dan lingkaran Vertikal sebagai sumbunya.
Dari sini, dapat dipahami bahwa sistem koordinat Horizon adalah sistem yang dipergunakan dalam menentukan posisi benda langit yang dibentuk oleh bidang datar (horizon) dan bidang tegak lurus (vertikal), dimana pengamat menjadi titik pusat bola terhadap posisi benda langit yang disimbolkan dengan koordinat Altitude dan Azimut. Menurut Bakri Ahmad (2010: 196), disebut dengan sistem koordinat Horizon karena disandarkan pada bidang horizon sebagai acuannya, dimana bidang Horizon (Ufuk) merupakan bidang datar yang disandarkan pada arah menghadap.
Pada tata koordinat Horizon, posisi bintang ditentukan hanya berdasarkan pandangan pengamat saja, karena pengamat merupakan sentral atau titik pusat bola. Tata koordinat Horizon tidak dapat menggambarkan lintasan peredaran semua bintang, karena dengan tata koordinat ini, letak bintang selalu berubah sejalan dengan waktu. Namun, tata koordinat Horizon penting dalam hal pengukuran adsorbsi cahaya bintang. Tata koordinat Horizon menggunakan lingkaran horizontal dan lingkaran vertikal sebagai acuan dasarnya yang dipergunakan dalam penentuan azimuth dan ketinggian benda langit (altitude).
Sistem koordinat ini merupakan sistem pemetaan benda – benda langit tertua yang digunakan oleh para ahli astronomi. Bagi seorang pengamat, permukaan bumi terlihat seperti bidang datar dan langit terlihat seperti setengah lingkaran besar dimana pun pengamat berada, dan tidak dapat melihat setengah lingkaran dibawahnya.[3] Penggambaran seperti ini disebut dengan local sphere of the observer (bola langit pengamat) yang menempatkan titik diatas pengamat yang disebut zenith dan titik dibawah kaki pengamat yang disebut nadhir.(Rohr,1996: 23). Dalam sistem ini, horizon di suatu tempat berbeda dengan lainnya, akan tetapi senantiasa datar di setiap tempat. Misalnya orang didaerah kutub Utara beranggapan bahwa kutub Selatan adalah bagian bawahnya, berbeda halnya dengan pengamat yang berada di Katulistiwa. Sedangkan dalam penentuan posisi benda langit pada bidang horizon, ditentukan dengan menggunakan sistem arah Utara, Selatan, Timur, Barat. Petunjuk ini merupakan pokok dalam penentuan posisi benda langit dimana arah dan tinggi dari benda langit merupakan koordinatnya.
Sistem koordinat horizon memuat komponen – komponen dasar sebagai berikut:
a.    Lingkaran Horizon (Horizon Circle/ Dairatul Ufuk)
Lingkaran Horizon merupakan lingkaran besar yang membentuk bidang datar yang diambil dari bola langit yang melewati pusat bumi dan tegak lurus dengan bidang vertikal. Menurut Jamil (2009: 11), Horizon adalah lingkaran pada bola langit yang menghubungkan titik Utara, titik Timur, titik Selatan, dan titik Barat sampai ke titik Utara. Horizon merupakan batas pemisah antara belahan langit yang tampak dan yang tidak tampak.[4]Abdurrohim (1983: 1) menyampaikan bahwa lingkaran Horizon merupakan lingkaran pemisah antara bola langit atas dan bawah.
Lingkaran ini merupakan lingkaran utama yang menjadi dasar perhitungan. Adapun lingkaran Horizon pengamat (the visible horizon) merupakan batas pertemuan langit dan bumi pada kaki langit dimana pengamat menjadi titik pusat lingkaran horizon tersebut. Horizon ini tergantung dimana posisi pengamat berada, sehingga bidang ini terbentuk dari lingkaran kecil yang sejajar dengan bidang horizon yang melewati inti bumi. Semakin tinggi lokasi pengamat, maka semakin dalam dan luas bidang horizon yang terbentuk.
b.   Lingkaran Vertikal (Dairatul Irtifa’)
Lingkaran vertikal adalah lingkaran besar yang melalui titik Zenith dan titik Nadir yang memotong tegak lurus dengan bidang horizon, sehingga setiap titik pada lingkaran horizon jaraknya 90° dari titik Zenit maupun titik Nadhir dan dapat dibuat tak terbatas. Ketika ditarik suatu garis dari Zenit ke berbagai arah - dengan jumlah tak terbatas – melalui titik Nadhir, semua garis tersebut merupakan garis vertical. Pada lingkaran vertical ini, nilai ketinggian bintang ditentukan berdasarkan jarak ketinggiannya dari bidang horizon. Sedangkan garis tegak lurus yang menghubungkan kedua kutub lingkaran vertical disebut dengan vertical line atau garis vertical yang merupakan perpanjangan dari pusat bola langit yang menghubungkan Zenit dan Nadhir.
c.    Zenit dan Nadhir (Simtu Ra’si , Simtul Qadam)
Zenit merupakan titik teratas yang terletak vertical tegak lurus diatas kepala pengamat (Rohr, 1996: 23). Zenit disebut juga dengan Titik Puncak. Sedangkan Nadhir merupakan titik yang terletak vertical tegak lurus dengan kaki pengamat. Nadhir merupakan titik terbawah dari bola langit sehingga disebut dengan titik kaki atau simtul Qadam. Titik Zenit dan Nadhir merupakan titik kutub utama dalam sistem koordinat horizon, yang menjadi dasar dalam penghitungan posisi benda langit.
d.   Meridian Langit (Dairah Nisfun Nahar)
Meridian langit yaitu lingkaran besar yang melalui Zenit dan Kutub Langit (Celestial Poles), dimana lingkaran meridian ini merupakan lingkaran vertical yang memotong titik Utara dan Titik Selatan bola langit (Hosmer, 1925: 16-17). Lingkaran meridian merupakan lingkaran utama dalam melukiskan benda langit, karena pada lingkaran meridian ini terdapat Kutub Langit Utara (KLU), Kutub Langit Selatan (KLS), arah Utara dan arah Selatan  bidang Horizon.[5] Lingkaran meridian ini membagi bola langit menjadi dua bagian sama besar, sebelah Timur dan Barat.
Puncak dari garis ini merupakan batas tengah hari, sedangkan bawahnya menjadi batas tengah malam, sehingga pada puncak lingkaran merupakan awal dari perhitungan sudut waktu bintang t yang bernilai 0. Ketika lintasan suatu benda langit berhimpit dengan garis meridian pada saat kulminasi, maka nilai t = 0 dan waktu yang ditunjukkan senantiasa jam 12. Sedangkan ketika bergerak, maka benda langit tersebut akan membentuk sebuah sudut yang disebut dengan sudut waktu (Nawawi, 2010: 15)
Gambar 1
Gambar tersebut meru-pakan gambaran bola langit dengan konsep sistem koordinat horizon. Bidang yang dibentuk oleh titik U, E, S, dan W meru-pakan bidang horizon. Ling-karan yang menghubungkan titik Z, W, N, E dan S disebut dengan lingkaran vertical. Dan lingkaran vertical yang memotong bidang horizon pada titik Timur dan Barat disebut lingkaran vertical dan juga merupakan prime vertical karena melalui titik Timur dan Barat bidang horizon langit. Titik Z adalah titik Zenit, N adalah titik Nadhir yang dihubungkan dengan vertical line. Bidang yang dibentuk oleh Z, KLU, U, N, KLS dan S disebut meridian pengamat, karena memuat kutub langit dan garis Utara -  Selatan.
Dari model dasar gambar tersebut, maka akan dapat diketahui komponen – kompenen lain untuk mengetahui posisi benda langit yang menjadi acuan dalam perhitungan pergerakan benda langit. Adapun komponen yang dapat diketahui dengan menggunakan sistem koordinat Horizon tersebut yaitu:
a.    Jarak Zenit (Bu’dus Simtu)
Jarak Zenit merupakan jarak pada lingkaran vertikal yang dihitung dari pusat benda langit sampai ke titik Zenit yang dilambangkan dengan z. Jarak zenith berhubungan erat dengan ketinggian suatu benda langit, sehingga diformulasikan 90° = h + z, dimana h adalah ketinggian benda langit dan z adalah jarak zenit.
b.   Ketinggian benda langit (Altitude  atau Irtifa’)
Ketinggian benda langit atau altitude merupakan busur pada lingkaran vertical yang diukur dari titik perpotongan antara lingkaran vertical dengan bidang horizon sampai  ke objek benda langit (Azhari, 2007: 25). Ketinggian benda langit dan jarak zenith terletak pada lingkaran vertical yang sama, yang disimbolkan dengan h. Untuk mencari ketinggian diformulasikan 90° = h + z, sehingga h = 90° - z dan z = 90° - h. Ketinggian suatu benda langit ketika melintasi meridian pengamat jarak zenitnya = nol dan ketinggiannya = 90° yang disebut dengan titik kulminasi atau titik Rembang atau Ghayatul Irtifa’.  Jika dihitung menuju ke arah zenith bernilai positif dan jika menuju ke arah nadhir bernilai negative.
c.    Azimut (Simtu)
Azimut merupakan jarak pada bidang horizon yang dihitung dari titik Utara ke arah Timur searah jarum jam sampai pada titik perpotongan lingkaran vertical benda langit dengan bidang horizon (Hambali, 2011:52). Besaran nilai azimuth terhitung dari 0° sampai 360°, dimana pada titik Timur = 90°, titik Selatan = 180°, titik Barat = 270°.  Dalam teori navigasi darat dan udara, titik acuannya adalah titik Selatan yang merupakan original azimuth.
d.   Bidang Horizon Pengamat
Bidang horizontal pengamat merupakan bidang yang ditentukan berdasarkan bidang Horizon utama, akan tetapi dengan berubahnya keadaan pengamat, maka horizon yang dihasilkan pun berbeda. Bidang horizon ini dibagi menjadi; Horizon Hakiki, Horizon Semu dan Horizon Kodrat (Nawawi, 2010: 12).[6] Horizon Hakiki merupakan bidang datar yang titik pusatnya merupakan titik pusat bumi. Horizon Semu merupakaan bidang datar yang berpusat dipermukaan bumi tepat dibawah kaki pengamat. Horizon Kodrat merupakan bidang datar yang dibentuk dari sebuah lingkaran yang dihasilkan dari pertemuan kaki langit dengan bidang horizon. Ketika ditambahkan sebuah koreksi berdasarkan posisi pengamat dan ketinggian tempat maka bidang horizon (horizon kodrat) akan membentuk sudut kemiringan terhadap pengamat, dan horizon yang dibentuk akan lebih rendah. Koreksi ini disebut dengan Dip dengan formula D’ = √1,76 x tinggi tempat : 60.
e.    Parralaks (Beda Lihat atau ikhtilaf al Mandzar)
Parralaks yaitu beda sudut yang dihasilkan antara garis yang ditarik dari pusat benda langit ke titik pusan bumi dan garis yang ditarik dari pusat benda langit ke permukaan bumi. harga parralaks paling besar adalah ketika berada di ufuk dan yang paling kecil adalah ketika berada di zenith.
Dari komponen – komponen tersebut dapat dilihat dalam gambar berikut;



Gambar 2
                 Gambar 3

C.    Perhitungan dalam Sistem Koordinat Horizon
Tata koordinat Horizon dipergunakan untuk menghitung ketinggian benda langit (altitude) dan azimuth benda langit. Altitude  merupakan sudut elevasi yang dibentuk oleh bidang Horizon terhadap posisi ketinggian suatu benda langit, dengan aturan a = (- 90°, 90°), artinya nilai tertinggi dari altitude adalah sebesar 90°, dan nilai terendah adalah sebesar - 90°.[7] Sedangkan Azimut  bintang dengan  aturan A = ( 0°, 360°), artinya nilai terkecil dan terbesar dari azimuth adalah sebesar 0°/ 360° ketika benda berada di titik Utara, dengan nilai besaran terhitung searah jarum jam atau menuju ke arah Timur.
Ketika posisi bintang berubah, maka nilai dari sudut elevasi (altitude), azimut dan jarak zenit- nya pun juga ikut berubah. Oleh karena itu, sudut elevasi dan azimut  tidak dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan letak bintang, karena nilainya selalu berubah - ubah. Untuk menentukan letak suatu bintang diperlukan sudut yang tidak berubah - ubah selama bintang bergerak yaitu sudut deklinasi yang memerlukan bidang Equator yang tegak lurus dengan Kutub Utara Langit (Celestial Pole).
 Rumus perhitungan dapat dilakukan dengan pendekatan trigonometri bola yang menggunakan konsep dasar sinus, yaitu:
Ataupun konsep dasar cosinus, yaitu:
 
Contoh perhitungan, tentukan altitude dan azimuth dari sebuah bintang C pada bola langit berikut:
Segitiga Bola yang dibentuk oleh gambar disamping adalah segitiga bola PZC dimana;
PC= z = Ð POC; PZ = c = Ð POZ
ZC = p =Ð ZOC; CH = a =altitude
CD = d = deklinasi; PU = q = Lattitude; ÐZPC = Sudut Waktu= P
ZC = 90° - a         PZ = 90° - q
PC = 90° - q
Untuk mencari altitude, digunakan rumus sebagai berikut:
Cos p = Cos z Cos c + Sin z Sin c. Cos P
Cos ( 90°- a) = Cos (90° - q) Cos (90° - d) + Sin (90° - q) Sin (90° - d) Cos P
Sin a         = Sin q Sin d + Cos q Cos d Cos P
Dari persamaan tersebut altitude benda langit dapat dihitung dengan rumus;
Sin a         = Sin q Sin d + Cos q Cos d Cos P
Misal, tentukan ketinggian (altitude) dari bintang Ross 128, yang dilihat dari Atena dengan koordinat 37° 45’ LU dan 23°20’ BT, pada deklinasi  22°20’ dengan sudut waktunya 56°25’.
Diketahui data : q = 37°25’ ; d = 22°20’ ; P = 56°25’

Sin a         = Sin q Sin d + Cos q Cos d Cos P
Sin a         = Sin 37°25’ Sin 22°20’ + Cos 37°25’  Cos 22°20’  Cos 56°25’
Sin a         = 0,637264463
     a          = 39°35’17,3”
Jadi altitude bintang Ross 128 adalah      a = 39°35’17,3”
Jika dihitung dengan menggunakan rumus dasar Cosinus, maka :
Cos ( 90°- a) = Cos (90° - q) Cos (90° - d) + Sin (90° - q) Sin (90° - d) Cos P
Cos (90°- a) = Cos (90° - 37°25’) Cos(90° - 22°20’)+ Sin (90° - 37°25’)
 Sin (90° - 22°20’) Cos 56°25’
Sin a         = Cos 52°35’ Cos 67°40’+ Sin 52°35’ Sin 67°40’ Cos 56°25’
Sin a         = 0,637264463
     a          = 39°35’17,3”
Dalam menentukan Azimut, dapat dihitung dengan menggunakan aturan sinus, yaitu :



Dengan mengacu kepada gambar tersebut, setiap sudutnya saling berhubungan yang membentuk aturan sinus, sebagai berikut;
dari gambar tersebut, nilai azimut terhitung dari U à S à H. Nilai dari UàS = 180°, sedangkan nilai dari SàH adalah 180° - ÐUOH. Nilai Ð UOH = Ð Z à Z = 180°- A
Jadi, azimut bintang adalah:
A         = 180°+ (180° - Ð Z)
 è Sin Z = Sin p/ Sin P x Sin z
            = Sin (90°- 39°35’17,3”)/ Sin 56°25’x Sin 52°35’0”
     Z     = 47°16’58,44”  132°43’1,56” ,
berdasarkan gambar nilai Z = 132°43’1,56”
     A    = 180°+ (180° -  Z)
            =  180°+ (180° - 132°43’1,56”)
            =  180°+ 47°16’58,44”
            = 235°16’58,44”
Merujuk penghitungan Azimut, Drs. KH. Slamet Hambali, M.S.I, dalam bukunya Ilmu Falak: Penentuan Awal Waktu Shalat dan Arah Kiblat Seluruh Dunia (2011: 37),dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
Dengan cara ini harus terlebih dahulu mencari nilai t, yang dapat ditempuh dengan cara sebagai berikut:
Cos 90° = Cos (90° - q) Cos (90° - d) + Sin (90° - q) Sin (90° - d) Cos P
0   =          Sin  q Sin d + Cos q  Cos d. Cos P
- Cos q Cos d Cos P = Sin q Sin d
Cos P = Sin q Sin d / - Cos q Cos d
Cos P = - tan q tan d
Dimana P = Sudut Waktu. Nilai rumus P tersebut merupakan rumus dalam mencari panjang bususr siang dan malam, sehingga memerlukan tambahan koreksi untuk menentukan nilai sudut waktu matahari atau bintang. Sedangkan nilai p merupakan sudut yang dibentuk dari titik kulminasi atas sampai dengan titik terbenam matahari. sedangkan dalam menghitung waktu shalat nilai t matahari ditambahkan dengan  

D.    Kesimpulan
Sistem Koordinat Horizon merupakan pengetahuan dasar untuk mengetahui posisi benda langit dimana memposisikan pengamat sebagai sentral bola langit. Pada sistem ini berfungsi untuk menentukan koordinat benda langit yang ditunjukkan dengan altitude dan azimuth. Komponen – komponen pembentuk bola langit dengan sistem koordinat horizon terdiri dari lingkaran horizon, lingkaran vertical, lingkaran meridian, zenith dan nadir.
Dari konsep dasar tersebut berfungsi untuk menentukan ketinggian (altitude) bintang, azimuth bintang, jarak zenith, kedalaman ufuk dan parralaks. Selain itu, nilai koreksi yang diberikan dalam setiap perhitungan berdasarkan kepada sistem koordinat ini. Nilai azimuth dapat diketahui dengan formula 90° = h + z. Sedangkan besar azimuth dihitung berdasarkan perpotongan lingkaran vertical dengan bidang horizontal. Bidang horizon yang dipergunakan dalam sistem ini yaitu horizon hakiki, horizon semu dan horizon kodrat.




[1] Asumsi ini sebagai dasar dalam melukiskan bola angkasa, yang memuat kaidah- kaidah spherical trigonometry dalam penentuan posisi bintang dan benda langit lainnya. (Heru Sukamto, Diktat Astronomi Bola, disampaikan dalam pertemuan perkuliahan di Universitas Sunan Giri Surabaya pada tanggal 10 Juni 2013)
[2] A adalah symbol untuk Azimut, h symbol untuk tinggi benda langit ataupun sudut miring, dan z adalah symbol untuk sudut zenith. Sedangkan dalam ilmu falak symbol h digunakan untuk menentukan tinggi matahari, yang dalam astronomi disebut dengan altitude yang disimbolkan dengan huruf a.
[3] Di dalam sistem koordinat Horizon, bumi terbagi menjadi dua permukaan yang disebut hemisphere. Hemisphere bagian atas yang dapat diamati oleh seorang pengamat sedangkan bagian bawah tidak dapat teramati. Luas hemisphere bagian atas tidak sama besarnya dengan bagian bawah, akan tetapi dalam penggambaran bola langit, besar hemisphere dianggap sama.(Maskufa, 2010: 69)
[4] Bidang yang dibentuk lingkaran Horizon pada bola langit, membagi langit menjadi bagian atas dan bagian bawah yang sama besar, dimana jarak dari bidang Horizon ke kutubnya senantiasa bernilai 90°. Horizon ini disebut Horizon hakiki karena melewati pusat bumi, jika tidak melewati pusat bumi, akan tetapi memposisikan pengamat sebagai pusat bidang lingkaran, maka disebut the visible horizon.
[5] Sedangkan garis vertical yang membagi bola langit menjadi bagian Utara dan Selatan serta memotong bidang horizon pada titik Barat dan Timur bola langit disebut Vertical Prime. Lingkaran ini membentuk bidang yang berpotongan dengan bidang meridian. (George L. Hosmer, 1925, Practical Astronomi, Newyork: John Willey and Sons, Inc. hlm 17)
[6] Dalam rujukan lain berdasarkan pendapat Husein Hilmi Said, seorang tokoh dari Istambul, Turki berpendapat bahwa selain ketiga horizon dan ufuk diatas, masih terdapat Ufuk, Hissiy dan Ufuk Sathiy. Ufuk Hissiy yaitu ufuk atau bidang horizon yang sejajar dengan mata pengamat. Sedangkan ufuk Sathiy merupakan ufuk yang sebenarnya merupakan perpanjangan dari ufuk mar’i yang ditarik sampai berpotongan dengan ufuk hakiki. Sudut yang dihasilkan dari perpotongan ufuk mar’i dan ufuk hakiki dan sejajar dengan ufuk mar’i disebut ufuk sathiy atau horizon sathiy. (Husein Hilmi bin Said, Kitabu Mawaqiitus Sholah, 1993: 23)
[7] Didalam referensi yang lain untuk ketinggian benda langit biasanya disimbolkan dengan h. akan tetapi dalam penentuan koordinat benda langit dapat menggunakan koordinat ketinggian (altitude) benda langit ataupun jarak zenith terhadap benda langit yang disimbolkan dengan z. akan tetapi lebih umumnya penggunaan koordinat dengan menggunakan (A, h) atau (A, a) atau (A, z). (Villanueva, 1993: 14)

1 komentar: