Ad-Dakhil
; Implikasinya Terhadap Tafsir al-Qur’an
By: Imam Labib
Hibaurrohman, Lc
Pendahuluan
Al
Qur’an sebagai sumber dasar agama Islam memuat banyak makna, seperti yang dikutip
oleh Quraish Shihab dari Abdullah Darras; “Ayat-ayat al-Qur’an bagaikan intan.
Setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari
sudut lainnya. Dan tidak mustahil jika kita mempersilahkan orang lain
memandangnya dari sudut lainnya, maka dia akan melihat lebih dibanding dengan apa
yang kita lihat”.[1]
Kekayaan makna itu pula yang mendorong Nabi Muhammad Saw memerintahkan Muadz
bin Jabal menggunakan ijtihad dalam memutuskan sesuatu yang tidak terdapat
secara harfiah di dalam al-Qur’an dan hadis. Tidak hanya itu, tindakan
berijtihadnya saja diberi imbalan pahala, lebih-lebih jika ijtihadnya benar.
Sejalan dengan anjuran Nabi Muhammad, Ali bin Abi Thalib menyatakan, “Manusialah
yang bertugas mengungkap pesan al-Qur’an agar ia berfungsi sebagai petunjuk.
Karena itu, makna-makna itu tidak akan membuahkan hasil apa-apa jika ia tidak
digali”.[2]
Dalam
mengungkap makna pesan Tuhan di dalam al-Qur’an ada dua pendekatan yang dipakai
para ulama, yaitu: Tafsir dan Takwil.[3]
Tafsir sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan maksud dari kandungan
al-Qur’an telah mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Sebagai hasil
karya manusia, terjadinya keanekaragaman pentafsiran dan pemahaman tak dapat
dihindarkan. Ada berbagai faktor yang mempengaruhi munculnya perbedaan
keanekaragamn tersebut, diantaranya perbedaan kecenderungan, interesting dan
motivasi dari individual penafsir (Individual Psicology), perbedaan misi
yang di embannya (Political Mission), perbedaan kedalaman dan
ragam ilmu yang dimiliki (Personal Interesting of Knowledge), perbedaan
umat dan lingkungan yang mengitarinya (Sociology), perbedaan sejarah
situasi dan kondisi yang dihadapinya (Sosio-History) dan lain
sebagainya. Semua ini menimbulkan berbagai macam corak pentafsiran yang
kemudian berkembang menjadi aliran tafsir yang berbeda-beda.[4]
Sehingga tidak dinafikkan lagi dari berbagai macam latar belakang dan
metode-metode yang dipakai oleh para ulama dalam mentafsiri al-Qur’an demi
kemaslahatan individual, kelompok maupun masyarakat Islam secara luas, maka lahirlah
konsep permasalahan yang ada dalam pentafsiran al-Qur’an itu sendiri, yaitu; ad-Dakhil
Fi Tafsir al-Qur’an.
Definisi ad-Dakhil
Secara
bahasa, kata ad-dakhil dalam bahasa Arab memiliki banyak arti, Fairuz
Abadi dalam kitab kamusnya al Muhit mengartikan kata dakhil
sebagai sesuatu yang masuk kedalam tubuh manusia ataupun akalnya berbentuk
penyakit atau sesuatu yang jelek. Menurut Zamkhasyari ad-dakhil
merupakan sebuah penyakit atau aib yang masuk ke dalam tubuh atau kedalam
makanan sehingga merusaknya. Sedangkan masyarakat arab memaknainya sebagai
suatu kata atau bahasa asing yang masuk dan bercampur kedalam bahasa Arab.
Jum’ah Ali Abdul Qadir mengatakan makna ad-dakhil secara bahasa adalah
sesuatu yang sangat berbahaya dan menyelinap kepada lainnya dan tidak dapat disetujui
pula jika ia datang secara tiba-tiba.[5] Menurut
para ahli bahasa ad-dakhil adalah setiap kalimat yang masuk dalam
pembicaraan Arab dan dia bukan dari Arab, secara materi dia dapat diterima akan
tetapi secara makna dia tertolak rusak, cacat, tidak dapat dipercaya, menipu,
dll.[6]
Sedangkan
makna istilahnya ad-dakhil menurut ulama tafsir sebagaimana yang telah
didefinisikan Dr. Ibrahim Khalifah adalah pentafsiran al-Qur’an yang tidak
memiliki sumber yang jelas dalam Islam, baik itu tafsir yang menggunakan
riwayah-riwayah dari hadis dhoif (lemah) dan palsu, ataupun
mentafsirkannya dengan tafsiran yang sesat dari sang penafsir itu sendiri dikarenakan
karena lalai atau ada unsur kesengajaan. Dr. Abdul Wahab memaknai ad-dakhil
adalah mentafsirkan al-Qur’an dengan metode dan atau dengan cara yang bukan
dari Islam. Sedangkan Jum’ah Ali Abdul Qadir mendefinisikan ad-dakhil
menurut ulama tafsir adalah pentafsiran yang tidak memiliki orisinalitas agama
dari sisi pemaknaan karena ada unsur kecacatan dalam pentafsiran al Qur’an yang
ditafsiri secara tiba-tiba (kesengajaan), lalai atau kontemporisasi pentafsiran
yang disesuaikan dengan situasi kondisi kejadian setelah wafatnya Rasulullah.[7]
Kelahiran Ad-Dakhil
dalam Tafsir al-Qur’an[8]
Dalam
upaya untuk memahami aspek-aspek kebenaran al-Qur’an, umat Islam sebenarnya
sejak lama telah mengalami pergulatan intelektual yang cukup serius meskipun
bisa dikatakan pergulatan tersebut muncul pada dataran persepsi atau pada aspek
metodologis pemahaman serta hasil pemahamannya, bukan pada kesangsian akan
kebenaran al-Qur’an itu sendiri. Pada dasarnya ilmu tafsir al-Qur’an hanyalah
sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan maksud ayat-ayat suci al-Qur’an
yang telah melahirkan berbagai macam corak produk penafsiran.[9]
Tafsir secara historis telah melewati beberapa
fase penafsiran dan pembukuan yang memiliki warna dan corak tertentu. Ketika Nabi
Muhammad hidup tidak ada dari para sahabat yang berani mentafsirkan ayat al-Qur’an
hingga wafatnya.[10]
Kemudian muncullah ahli tafsir dari kalangan sahabat, antara lain yang masyhur
adalah: Khulafaur Rasyidin, Abdullah Ibn Abbas, Abdullah Ibn Mas’ud, Ubay
ibn Ka’ab, Zaid Ibn Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari dan Abdullah Ibn Zubair.[11]
Pada abad kedua hijriyah, penafsiran ayat-ayat
Qur’aniyah masih tersebar dan bercampur dibeberapa kitab hadis. Tafsir pada
masa itu belum dibukukan dalam bentuk satu kitab seperti yang ada sekarang ini,
seperti; Musnad Syu`bah ibn al-Hajjaj (w.160 H), Musnad Waqi` Ibn Jarah
(w.197), dan Musnad Sufyan ibn `Uainah (W.198) adalah musnad hadis yang banyak meriwayatkan
penafsiran al-Qur’an. Kemudian, pada fase berikutnya, kitab tafsir mulai
disusun dalam satu kitab dan independen (terpisah) dari kitab hadis. Akan
tetapi, kemasan dan penulisannya masih sangat sederhana hanya berupa
periwayatan-periwayatan hadis, baik yang disandarkan kepada Nabi Muhammad,
sahabat atau tabi`in, dan tidak disertai dengan.syarat-syarat dari kesahihan
riwayat, Selanjutnya dalam perkembangan selanjutnya muncullah Yahya ibn Salam
(w.200) dan At-Thabari (w.310) dalam karangan monumentalnya: kitab tafsir Jamiul
bayan Fi Tafsiri Qur`an, kitab ini dinilai oleh mayoritas ulama sebagai
kitab tafsir bil ma`tsur yang paling lengkap, ia tidak hanya memuat riwayat-riwayat
yang shahih, tetapi juga mencantumkan perbedaan-perbeadan ulama, baik dari segi
bacaan, i`rab, tarjihu ar-ra’yi (pembenaran pendapat), bahkan terkadang
dalam tafsiran at-Thabari juga menggunakan riwayat-riwayat yang berkenaan
dengan israiliyyaat.[12]
Fase ini merupakan pintu awal masuknya dakhil dan israiliyyaat dalam
tafsir al-Quran.
Puncaknya, dakhil dan riwayat israiliyaat
telah menjalar dibeberapa kitab tafsir, ketika para mufassir kurang jeli
meriwayatkan hadis. Ironisnya, ketika mereka meriwayatkan hadis tanpa
mencantumkan para perawinya, kecuali rawi yang a`la (perawi yang
menerima langsung dari Nabi). Sehingga, bercampur baurlah antara riwayat shahih
dan dhaif, ashil dan dakhil dalam tafsir.[13]
Paradigma tafsir yang dulunya hanya
berlandaskan riwayat (Bil ma`tsur), sekarang berubah bersamaan dengan berkembangnya
peradaban manusia yang sangat kompleks, sehingga mengakibatkan munculnya
penafsiran al-Quran yang sesuai dengan bidang ilmu yang digeluti si penafsir
atau sesuai dengan akal pikirannya. Az-Zamkhasyari (467-538 H), ahli dibidang lughah
dan kalam, beliau menulis kitab tafsir al-kasyaf dengan latar belakang
kepentingan individual dan kelompoknya mu’tazilah. Fakhruddin ar-Razi (544-606
H), sebagai seorang pemikir Islam, beliau memiliki karangan kitab yang berjudul
mafatihul ghaib. Para mufassir menyebutnya sebagai kitab tafsir yang masyhur
bi ra’yi dan memenuhi syarat sebagai kitab tafsir al-Qur’an yang
menggunakan akal pikiran. Corak penafsiran tersebut kemudian dikenal dengan istilah
tafsir bi ra’yi. [14]
Macam-macam Dakhil
Berkembangnya
ilmu pengetahuan dan variatifnya pentafsiran al Qur’an maka para ulama tafsir
membagi dakhil dalam dua kategori:
1.
Dakhil
bi Atsar atau bi manqul
a.
Mentafsiri
al-Qur’an dengan menggunakan hadist-hadist yang sangat lemah (dhoif)
atau palsu kemudian mengatasnamakan bahwa ini berasal dari Rasulullah atau dari
sahabatnya.
b.
Tafsir
al-Qur’an dengan menggunakan Israiliyat (riawayat-riwayat yang berasal ahlu
kitab dan umat terdahulu sebelum Islam) yang sangat bertentangan dengan apa
yang ada dalam al Qur’an dan hadis-hadis yang shahih.
2.
Dakhil bi Ra’yi [15]
Mentafsirkan al-Qur’an dengan akal pikiran yang menyesatkan dan
menyandarkan pikirannya pada hal-hal yang bersifatnya logis akan tetapi
bertentangan dengan makna sesungguhnya. Jum’ah Ali Abdul Qadir menyebutkan
kaedah munculnya dakhil bi ra’yi “Adanya hukum bersandar pada akal
pikiran dan bukanlah adanya hukum untuk berfikir”.[16] Oleh
karena itu, masuknya ad-dakhil lebih banyak pada permasalahan agama
secara umum dan pada tafsir al-Qur’an secara khusus demi kepentingan dan tujuan
manusia. Penafsiran al-Qur’an yang merujuk pada akal pikiran sudah mulai
merambah pada metodologi-metodologi hermeneutika,[17] suatu
teori yang dipakai barat dalam mentafsiri bible.
Jum’ah Ali
menyebutkan bahwasanya tafsir yang banyak kemasukan hal-hal yang sifatnya Israiliyat
adalah tafsir bil ma’tsur disebabkan model atau metode penafsiran
ini lebih banyak menggunakan periwayatan yang mana para sahabat, tabi’un
senantiasa mendengarkan kabar-kabar yang muncul dari ahlu kitab baik
dari Yahudi maupun Nasrani walaupun tidak menutup kemungkinan model penafsiran
lainnya juga bisa kemasukan israiliyat dan atau pemikiran yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan akan realitas kebenarannya, seperti dalam tafsir bi
ra’yi ataupun dalam tafsir isyari, akan tetapi ad-dakhil
dalam penafsiran tersebut tidak sebanyak dari tafsir bil ma’tsur.[18]
Implikasi Ad-Dakhil
dalam Tafsir
Al-Qur’an
yang diturunkan dengan bahasa Arab merupakan fenomena linguistik yang mana
setiap ahali tafsir diwajibkan menguasai ilmu bahasa Arab. Oleh karena itu,
bahasa juga menjadi salah satu fenomena kajian yang sarat dengan
multi-interpretasi. Quraish Shihab menyatakan bahwa tafsir merupakan penjelasan
maksud firman-firman Allah sesuai kemampuan manusia. Dikarenakan kemampuan
manusia bertingkat-tingkat dan kecenderunganya berbeda-beda maka kualitas dan
pesan yang ditemukan dari al-Qur’an juga berbeda-beda. Perbedaan pencapaian
makna dari al-Qur’an juga disebabkam oleh perbedaan budaya yang telah mengakar
dan melingkupi mufassir. Disebabkan itu, semakin seringnya mufassir membaca
al-Qur’an maka semakin banyak pula pesan yang ia dapatkan.[19]
Abdul
Mustaqim mengatakan tafsir sesungguhnya dapat dipetakan menjadi dua pengertian,
yakni tafsir sebagai produk dan tafsir sebagai proses. Tafsir sebagai produk (interpretation
as product) adalah tafsir yang merupakan hasil dialektika seorang mufasir
dengan teks dan konteks yang melingkupinya yang kemudian ditulis dalam
kitab-kitab tafsir, baik secara lengkap 30 juz mapun yang hanya sebagian saja
dari ayat al-Qur’an. Sedangkan tafsir sebagai proses (interpretation as
process) adalah aktivitas berfikir yang terus menerus dilakukan untuk
mendialogkan teks al-Qur’an dengan realitas yang berkembang. Dialog komunikatif
antara teks al-Qur’an yang terbatas dengan konteks yang tak terbatas[20]
selalu dilakukan oleh mufassir sehingga tafsir merupakan sebuah proses yang
tidak pernah selesai, artinya; tafsir dalam pengertian ini bersifat dinamis karena
senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan manusia itu sendiri
serta dimaksudkan untuk menghidupkan teks dalam konteks yang selalu terus
berkembang dan berubah. [21]
Ad-dakhil dalam sejarah pertumbuhannya banyak sekali dari para ahli tafsir masa
tabi’in yang memasukkan hal-hal baru dalam penafsiran al-Qur’an disesuaikan
dengan kondisi sosio – histori - politic dan antropolo
lingkungan pada waktu itu, baik dari sisi periwayatan israiliyat maupun periwayatan-periwayatan
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan karena berlandaskan pada pemikiran akal (ijtihad)
mufassir sendiri.
Para
mufassir yang berorientasi tekstual memaknai terma Islam sebagai doktrin
baku, formal dan melembaga serta harus diterima apa adanya (taken for
granted). Sedang tafsir yang berorientasi kepada kontekstual atau
kontemporer memahami terma-terma Islam sebagai sebuah instrument agama dengan
seperangkat doktrin yang bersifat universal dan progresif, dinamis, terbuka dan
tidak kaku sesuai dengan fitrah Islam itu sendiri yaitu sebagai agama yang integral
(kaffah), sempurna untuk semuanya (Rahmatan lil ‘Alamin).
Al-Qur’an
sebagai Shalih li kulli zaman dan makan tidak hanya sebagai “tong kosong
nyaring bunyinya” akan tetapi bisa menjadi hudan (petunjuk) terhadap
manusia. Muhammad Abduh menilai bahwa kitab-kitab tafsir pada masanya dan masa
sebelumnya tidak lebih dari sekedar pemaparan atas berbagai macam pendapat para
ulama yang saling berbeda dan pada akhirnya menjauhkan dari tujuan
diturunkannya al-Qur’an.[22]
Secara
normatif, al-Qur’an diyakini memiliki kebenaran mutlak namun kebenaran produk
penafsiran al-Qur’an bersifat relatif dan tentatif, sebab tafsir merupakan
respon mufassir ketika memahami teks kitab suci, situasi dan problem
sosial yang dihadapinya. Oleh karena itu, tidak ada penafsiran yang benar-benar
objektif karena seorang mufassir sudah memiliki prior text yang
menyebabkan kandungan teks itu menjadi “tereduksi” dan terdistorsi maknanya.
Setiap penafsiran terhadap teks, termasuk teks kitab suci al-Qur’an juga sangat
dipengaruhi oleh latar belakang kultural serta anggapan-anggapan yang
melatarbelakangi penafsirannya.[23]
Sementara
itu, orientasi penafsiran menurut Syahrur adalah; Pertama, penafsiran
al-Qur’an harus berorientasi ke depan (future minded), bukan ke belakang
(past minded); dalam artian bahwa penafsiran harus ditujukan pada upaya
pencarian makna baru (new meaning) yang sejalan dengan nalar keilmuan
modern-kontemporer. Al-Qur’an yang bersifat shalih likulli zaman wa makan
tentu saja dapat dipahami sesuai dengan tuntutan era kontemporer yang kita hadapi
sekarang ini. Bagi Syahrur, produk penafsiran masa lalu cukup kita hormati,
namun tidak boleh kita kultuskan karena hal semacam itu dapat dipandang sebagai
syirik khafi. Kedua, orientasi penafsiran al-Qur’an adalah untuk
membuktikan kebenaran kandungan al-Qur’an secara empiris dan ilmiah karena al-Qur’an
sesungguhnya tidak bertentangan dengan akal dan realitas. Oleh karena itu,
didalam menafsirkan al-Qur’an seorang mufassir harus menggunakan
perangkat keilmuan modern sehingga al-Qur’an benar-benar relevan untuk setiap
zaman dan tempat sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan.[24]
Orientasi
penafsiran yang diungkapkan Syahrur diatas bisa dijadikan sebagai landasan
teori nalar kritis penafsiran al-Qur’an untuk memasukkan konsep ad-dakhil[25]
dalam ranah penafsiran al-Qur’an baik secara periwayatan atau pemikiran akal selama
metode penafsiran dan pemaknaanya sesuai dengan al-Qur’an - Hadis[26]
dan konsep penafsirannya menuju kepada future minded serta pada pembuktian
kebenaran al-Qur’an empiristik dan ilmiah. Dalam pandangan ini, penulis kira ini merupakan salah satu bentuk perubahan
paradigma pemikiran dalam tafsir al-Qur’an (Change minded) dari
penafsiran yang sifatnya klasikal (old minded) kepada penafsiran yang multi
opened (kontemporer). Apalagi sekarang banyak penafsiran-penafsiran
al-Qur’an dengan wajah baru (tafsir new edition) seperti dalam
penafsiran al-Qur’an yang ditinjau dari sisi ilmu pengetahuan (sciene) seperti
kitab al-Tafsir Fi al-I’jaz al-Qur’an karangan Zaghlun Najar, Al-Qur’an
dan Tafsirnya (Edisi yang disempurnakan) dikeluarkan oleh Kementerian Agama
RI kerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dll.
Imam
Thabari[27]
yang banyak meriwayatkan israiliyat dalam kitab tafsir bil ma’tsur-nya
jami’u al-bayan fi tafsir al-Qur’an menyatakan bahwa meriwayatkan israiliyat
dalam tafsir al-Qur’an bukan sebagai bentuk penyelewengan akan tetapi hanya
sebagai justifikasi keilmuan dan agar memperoleh penafsiran yang sempurna
bersamaan dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta mengetahui betapa dalamnya
rahasia-rahasia yang terkandung dalam al-Qur’an.[28]
Periwayatan
dalam ad-dakhil baik yang diterima ataupun ditolak telah membuka
kesadaran baru dikalangan umat Islam. Kesadaran baru yang dimaksud terutama
yang berkenaan dengan pemahaman secara normative dan historis yang terlibat dalam
pemikiran dan perilaku keberagaman dan keber-agama-an. Disatu sisi lahirnya
kesadaran baru telah memberikan berbagai kontribusi positif bagi dinamika dan
kematangan perilaku dan pemikiran umat Islam, namun disisi lain kesadaran ini
pada akhirnya juga memunculkan berbagai anomaly ketika banyak kalangan
terpelajar yang tergelitik untuk mempertanyakan kembali berbagai doktrin lama
yang diyakini sebagai “pasti benar” padahal kebenaran hanyalah mutlak milik “Sang
Benar” dan kebenaran menurut manusia sifatnya relative, darimana dia
memandang dan landasan apa yang dia pakai.
Kesimpulan
Adanya
ad-Dakhil menjadikan fenomena penafsiran yang variatif dan relative
disebabkan karena manqulisasi periwayatan, perkembangan ilmu pengetahuan
dan situasi kondisi yang terjadi pada zaman sekarang menuntut adanya perubahan
penafsiran yang multi opened, dinamis, tidak kaku dan tidak mengalami dehidrasi
penafsiran menuju kepada integralisasi pemahaman isi al-Qur’an secara
menyeluruh (kaffah) agar tujuan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin
dan al-Qur’an sebagai petunjuk manusia (hudan li an-nasi) tercapai.
Sejalan yang diungkapkan oleh Abdul Mustaqim bahwa perkembangan tafsir tidak
hanya dipengaruhi oleh perkembangan zaman dan kondisi akan tetapi dipengaruhi
oleh perubahan dan perkembangan epistimologi (taghayur wa tathawur at-tafsir
bi taghayur wa tathawur nuzum al-ma’rifi)[29]
Daftar
Pustaka
Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2000), Vol. 1
Nasr
Hamid Abu Zayd, al-Khitab wa at-Ta’wil, (Beirut: Markaz as-Saqafi
al-Arabi, 2000)
Sholeh
Abdul Fatah al-Khamidi, at-Tafsir wa at-Ta’wil fi al-Qur’an, (Urdun: Dar
an-Nafa’ Islam, 1996)
Muhamad
Salim Abu Asiy, Maqalatani fi at-Ta’wil , Ma’alim fi al-Minhaj wa Rasydun li
al-Inhiraf, (Kairo: Dar al-Basa’ir, 2003).
Mana’
Qattan, Mabahis Fi Ulum al-Qur’an, (Riyadh: Maktabah Ma’arif, 1996).
Muhammad
Abdul Adhim az-Zarqani, Manahil al-‘Irfan Fi Ulum al-Qur’an, (Beirut:
Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1996), V. II.
Syafrudin, Paradigma Tafsir
Tekstual dan Kontekstual Usaha Memaknai Kembali Pesan Al-Qur’an,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009).
Jum’ah Ali Abdul Qadir, Ad-Dakhil
Fi al-Dirasah al-Manhajiyah wa al-Namadij al-Tatbiqiyah, (Kairo: Al Azhar
Press, 2006).
Fakhruddin Faiz, Hermeneutika
Qur’ani Antara Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, (Yogyakarta: Penerbit
Qalam, 2003).
Ignaz Goldziher, Madzahib
al-Tafsir al-Islami, (Kairo: Maktabah al-Sunnah al-Muhammadiyah, 1955),
hlm. 73-80.
Subhi As-Shalih, Membahas
Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 1995).
Jalaludin Abdurrahman as-Suyuthi, al-Itqan
fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar Fikri), Vol. II.
Ibn Abdullah az-Zarkasyi, al-Burhan
Fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1391H), Vol. II.
Abu Anas hamid Ahmad at-Thohir
al-Basyuni, al-Israiliyat wa al-Maudu’at wa Bidai al-Tafsir Qadiman wa
Haditsan, (Daar Attaqwa, 2004).
Hasan
Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994).
Komarudin
Hidayat, Memahami Bahasa Agama, (Jakarta: Paramadina, 1996).
Hans-Georg
Gadamer, Truth and Method, (New York: The Seabury Press, 1975).
Abdul
Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKIS Group,
2012).
Al-Dzahabi, al-Tafsir wa
al-Mufassirun, (Kairo: Daar al-Kutub al-Haditsah, 1961),V. 1.
Nashruddin Baidan, Metode
Penafsiran Al-Qur’an Kajian Kritis Terhadap Ayat-ayat Yang Beredaksi Mirip,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).
Quraish
Shihab, Metode Penyusunan Tafsir Yang Berorientasi Pada Sastra, Budaya Dan
Kemsyarakatan, Ujung Pandang, IAIN Alaudin, 1984
Charles
Kurzman (ed.), Liberal Islam, (New York: Oxford University Press, 1998)
Muhammad
Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an : Qira’ah Mu’ashirah, (Damaskus: al-Ahali
li an-Nasr wa al-Tawzi’, 1992)
[1] Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2000), Volume. 1, hlm. xv
[2] Nasr Hamid Abu
Zayd, al-Khitab wa at-Ta’wil, (Beirut: Markaz as-Saqafi al-Arabi, 2000),
hlm. 174
[3] Tafsir
secara bahasa bermakna menyingkap (al-Kasyf), menjelaskan (al-Ibanah) dan menampakkan (al-Idhah).
Jika dilihat dari segi istilah tafsir berarti suatu ilmu yang dapat mengungkap
pesan kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw sehingga dapat
menjelaskan makna-makna dan hukum-hukumnya. Sedangkan ta’wil dari sisi
bahasa bermakna mengembalikan, menuju kepada titik akhir dan menjelaskan
implikasinya. Dari segi istilahnya berarti mengembalikan sesuatu kepada tujuan
semula baik secara ilmiyah maupun praksis atau memalingkan makna hakekat pada
makna majazi sebagaimana diteorisasi oleh Ibnu Rusyd. Mana’ Qatan juga
menyebutkan definisi tafsir yang diadopsi dari perkataannya Abu Hayyan adalah
Ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafazh-lafazh al Qur’an,
indicator-indikatornya, masalah hukum-hukumnya baik yang independen mapun yang
berkaitan dengan yang lain, serta tentang makna-maknanya yang berkaitan dengan
kondisi struktur lafadz yang melengkapinya. Sedangkan Ta’wil adalah pentafsiran yang dikembalikan kepada
makna aslinya yang merupakan esensi yang dimaksud. (Sholeh Abdul Fatah
al-Khamidi, at-Tafsir wa at-Ta’wil fi al-Qur’an, (Urdun: Dar an-Nafa’
Islam, 1996), hlm. 23-31., Muhamad Salim Abu Asiy, Maqalatani fi at-Ta’wil ,
Ma’alim fi al-Minhaj wa Rasydun li al-Inhiraf, (Kairo: Dar al-Basa’ir,
2003), hlm. 13-31., Mana’ Qattan, Mabahis Fi Ulum al-Qur’an, (Riyadh:
Maktabah Ma’arif, 1996),hlm. 334-338., Muhammad Abdul Adhim az-Zarqani,
Manahil al-‘Irfan Fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi,
1996), V. II., hlm. 6 ).
[4] Syafrudin, Paradigma
Tafsir Tekstual dan Kontekstual Usaha Memaknai Kembali Pesan Al-Qur’an,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009) hlm. 31., Quraish Shihab, Tafsir
Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Volume. 1, hlm. xv)
[5] Jum’ah Ali
Abdul Qadir, Ad-Dakhil Fi al-Dirasah al-Manhajiyah wa al-Namadij
al-Tatbiqiyah, (Kairo: Al Azhar Press, 2006), hlm. 15
[6] Ibid.,
[7] Ibid., hlm. 16
[8] Secara garis
besar sebab-sebab terjadinya dakhil dalam tafsir al-Qur’an adalah
sebagai berikut: Pertama, permasalahan politik. Kedua,
pengingkaran dan pendustaan agama. Ketiga, perbedaan hukum fiqhiyah dan
kalam. Keempat, adanya ta’asub (fanatisme) jenis, kelompok (Qabilah),
bahasa dan nasionalisme. Kelima, adanya pembesaran cerita disebakan
keinginan atau hawa nafsu. Keenam, bodoh akan agama. Ketujuh,
menjilat kepada penguasa (tergiur akan kekuasaan). Kedelapan, senang
dipuji (adanya puji-pujian yang berlebihan) atau sebaliknya. (Jum’ah Ali Abdul
Qadir, Ad-Dakhil Fi al-Dirasah al-Manhajiyah wa al-Namadij al-Tatbiqiyah, hlm.
25-47)
[9] Fakhruddin
Faiz, Hermeneutika Qur’ani Antara Teks, Konteks dan Kontekstualisasi,
(Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003), hlm. 5
[10] Ignaz
Goldziher, Madzahib al-Tafsir al-Islami, (Kairo: Maktabah al-Sunnah
al-Muhammadiyah, 1955), hlm. 73-80.
[11] Subhi
As-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Jakarta:Pustaka Firdaus,
1995), hlm. 385
[12] Ibid., hlm. 385
[13] Israiliyat adalah segala sesuatu yang
bersumber dari kebudayaan Yahudi atau Nasrani, baik yang termaktub di dalam
Taurat, Injil dan penafsiran-penafsirannya, maupun pendapat-pendapat
orang-orang Yahudi atau Nasrani mengenai ajaran mereka. (Quraish Shihab, Metode
Penyusunan Tafsir Yang Berorientasi Pada Sastra, Budaya Dan Kemsyarakatan,
Ujung Pandang, IAIN Alaudin, 1984, hlm. 64). Jum’ah Ali Abdul Qadir
mendefinisikan Israiliyat dalam pandangan ulama tafsir adalah kumpulan
cerita-cerita dan pengkabaran yang berhubungan dengan peradaban Islam dengan
jalannya ahli kitab dari Yahudi dan Nasrani. Biasanya Israiliyat berkenaan
dengan orang-orang terdahulu yang terjadi pada masa nabi dan utusan yang mana
tidak terlepas dari kebohongan, pengurangan, pembelotan karena bersandarkan
pada Taurat dan Injil yang telah mereka belokkan dan ganti sesuai kinginan
serta hawa nafsu mereka. (Jum’ah Ali Abdul Qadir, Ad-Dakhil Fi al-Dirasah
al-Manhajiyah wa al-Namadij al-Tatbiqiyah, hlm. 21)
[14] Imam Suyuthi
mengutip pendapat Zarkasyi dalam kitab al-Burhan mengenai syarat-syarat
pokok yang harus dimiliki seseorang agar
ia boleh menafsirkan al-Qur’an berdasarkan ra’yu, antara lain : Pertama,
Berpegang teguh pada hadis-hadis yang berasal dari Rasulullah dengan ketentuan
dia harus waspada terhadap riwayat yang dhaif (lemah) dan Maudhu’
(Palsu). Kedua, berpegang pada ucapan para sahabat Nabi Muhammad Saw
karena apa yang mereka katakan menurut peristilahan hadis hukumnya mutlak
marfu’ (shahih atau Hasan), khususnya yang berkaitan dengan asbabun nuzul
dan hal-hal yang tidak dapat dicampuri pendapat (Qat’i). Ketiga,
berpegang pada kaidah bahasa Arab yang benar dan harus tetap berhati-hati dalam
menafsirkannya. Keempat, penafsirannya harus terjamin kebenarannya
menurut aturan dan hukum syara’. (Jalaludin Abdurrahman as-Suyuthi, al-Itqan
fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar Fikri), V. II., hlm. 304., Ibn Abdullah
az-Zarkasyi, al-Burhan Fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah,
1391H), V. II., hlm. 156-161).
[15] Menurut Abu
Anas hamid Ahmad at-Thohir al-Basyuni mengatakan bahwa Dakhil bi Ra’yi
adalah Memasukkan pemikiran dalam pembahasan syari’ah dan ketetapannya yang
didasari dengan berbagai macam syarat diterima atau tidaknya pemikiran
tersebut. Jika pemikiran tersebut tidak dilandasi oleh hawa nafsu dan tidak
bertentangan dengan sumber hukum maka pemikiran tersebut dapat diterima akan
tetapi jika bertentangan dengan sumber hukum dan disertai dengan keinginan,
tujuan serta hawa nafsu individual maka pemikiran tersebut tidak dapat diterima
atau ditolak. (Abu Anas hamid Ahmad at-Thohir al-Basyuni, al-Israiliyat wa
al-Maudu’at wa Bidai al-Tafsir Qadiman wa Haditsan, (Daar Attaqwa, 2004),
hlm. 97)
[16] Jum’ah Ali
Abdul Qadir, Ad-Dakhil Fi al-Dirasah al-Manhajiyah wa al-Namadij
al-Tatbiqiyah, hlm. 16-17
[17] Hasan Hanafi
dalam tulisannya Religious Dialogue and Revolution menyatakan bahwa
hermeneutika tidak sekedar ilmu interpretasi atau teori pemahaman akan tetapi
ia juga berarti sebagai ilmu yang menjelaskan tentang penerimaan wahyu sejak
dari tingkat perkataan sampai ke tingkat dunia. Ilmu tentang proses munculnya
wahyu dari mulai huruf sampai pada kenyataan, dari logos sampai kepada praksis
dan juga transformasi wahyu dari pikiran Tuhan kepada kehidupan manusia. Roger
Trigg mengungkapkan sebagaimana dikutip oleh Komarudin Hidayat dalam bukunya Memahami
Bahasa Agama : The paradigm for hermeneutics is the interpretation of a
traditional text, where the problem must always be how we can come to
understand in our own context something which was written in a radically different
situation. (Hasan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 1., Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama,
(Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 161., Fakhruddin Faiz, Hermeneutika
Qur’ani Antara Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, (Yogyakarta: Penerbit
Qalam, 2003), hlm. 11). Berkenaan dengan
metodologi ini, Abdul Mustaqim menukil perkataan Gadamer : That is Why
understanding is not merely a reproductive, but
always a productive attitude as well (Kita tidak mungkin membaca
teks tanpa praduga (prejudice) dan kita juga tidak mungkin memahaminya
jika kita tidak menambah makna terhadap makna yang sudah ada. (Hans-Georg
Gadamer, Truth and Method, (New York: The Seabury Press, 1975), hlm.
264., Abdul Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKIS
Group, 2012), hlm. 176)
[18] Jum’ah Ali
Abdul Qadir, Ad-Dakhil Fi al-Dirasah al-Manhajiyah wa al-Namadij
al-Tatbiqiyah, hlm. 123-124
[19] Syafrudin, Paradigma
Tafsir Tekstual dan Kontekstual Usaha Memaknai Kembali Pesan Al-Qur’an,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 1-2.
[20] Nashruddin
Baidan mengutip ungkapan Ibnu Taimiyah yang dinukil oleh al-Dzahabi dalam al-Tafsir
wa al-Mufassirun, dikatakan; tafsir yang berlandaskan pemikiran semata
tanpa adanya batasan dan mengindahkan kaedah-kaedah dan kriteria yang berlaku
dalam penafsiri al-Qur’an serta tidak sesuai dengan makna al-Qur’an yang sebenarnya maka penafsiran
semacam itu hukumnya haram. (Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun,
(Kairo: Daar al-Kutub al-Haditsah, 1961), Vol. 1., hlm 255-256., Nashruddin
Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an Kajian Kritis Terhadap Ayat-ayat Yang
Beredaksi Mirip, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 47)
[21] Abdul
Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKIS Group, 2012),
hlm. 32
[22] Ibid., hlm
59
[23] Charles
Kurzman (ed.), Liberal Islam, (New York: Oxford University Press, 1998),
hlm. 127., Abdul Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer, hlm.57
[24] Muhammad
Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an : Qira’ah Mu’ashirah, (Damaskus: al-Ahali
li an-Nasr wa al-Tawzi’, 1992), hlm. 44
[25] Ibnu Khaldun
mengatakan dalam memasukkan konsep ad-dakhil dalam peanfsiran al-Qur’an
dari periwayatan-periwayatan Israiliyat maka menurut beliau periwayatan
yang diterima dari ahlu kitab (Yahudi-Nasrani) hanyalah seputar sosial
kemasyarakatan dan agamanya yang tidak bertentangan dengan terma ajaran Islam
dari al-qur’an dan hadis. (Lihat: Jum’ah Ali Abdul Qadir, Ad-Dakhil Fi
al-Dirasah al-Manhajiyah wa al-Namadij al-Tatbiqiyah, hlm. 29)
[26] Dalam Firman
allah Surah al-Baqarah ayat 269:
قال الله تعلي : يؤتى الحكمة من يشاء ومن يؤت الحكمة فقد اوتي خيرا
كثيرا وما يذكَر إلا اولوالألباب
“Dia memberikan hikmah kepada siapa saja yang
dia kehendaki, barang siapa yang diberi hikmah, sesungguhnya dia telah
diberikan kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran
kecuali orang-orang yang memiliki akal sehat”
[27] Imam Thabari
nama lengkapnya Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid at-Thabari lahir pada
tahun 224H dan meninggal pada tahun 310H. beliau telah melakukan perjalanan
untuk mencari ilmu dimulai ketika beliau berumur 12 tahun ke negeri Mesir, Syam
dan Iraq.
[28] Jum’ah Ali
Abdul Qadir, Ad-Dakhil Fi al-Dirasah al-Manhajiyah wa al-Namadij
al-Tatbiqiyah, hlm. 168
[29] Abdul Mustaqim,
Epistimologi Tafsir Kontemporer, hlm.xiii
Tidak ada komentar:
Posting Komentar