Senin, 26 Mei 2014

Ad-Dakhil ; Implikasinya Terhadap Tafsir al-Qur’an

Ad-Dakhil ; Implikasinya Terhadap Tafsir al-Qur’an
By: Imam Labib Hibaurrohman, Lc

Pendahuluan
Al Qur’an sebagai sumber dasar agama Islam memuat banyak makna, seperti yang dikutip oleh Quraish Shihab dari Abdullah Darras; “Ayat-ayat al-Qur’an bagaikan intan. Setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut lainnya. Dan tidak mustahil jika kita mempersilahkan orang lain memandangnya dari sudut lainnya, maka dia akan melihat lebih dibanding dengan apa yang kita lihat”.[1] Kekayaan makna itu pula yang mendorong Nabi Muhammad Saw memerintahkan Muadz bin Jabal menggunakan ijtihad dalam memutuskan sesuatu yang tidak terdapat secara harfiah di dalam al-Qur’an dan hadis. Tidak hanya itu, tindakan berijtihadnya saja diberi imbalan pahala, lebih-lebih jika ijtihadnya benar. Sejalan dengan anjuran Nabi Muhammad, Ali bin Abi Thalib menyatakan, “Manusialah yang bertugas mengungkap pesan al-Qur’an agar ia berfungsi sebagai petunjuk. Karena itu, makna-makna itu tidak akan membuahkan hasil apa-apa jika ia tidak digali”.[2]  
Dalam mengungkap makna pesan Tuhan di dalam al-Qur’an ada dua pendekatan yang dipakai para ulama, yaitu: Tafsir dan Takwil.[3] Tafsir sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan maksud dari kandungan al-Qur’an telah mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Sebagai hasil karya manusia, terjadinya keanekaragaman pentafsiran dan pemahaman tak dapat dihindarkan. Ada berbagai faktor yang mempengaruhi munculnya perbedaan keanekaragamn tersebut, diantaranya perbedaan kecenderungan, interesting dan motivasi dari individual penafsir (Individual Psicology), perbedaan misi yang di embannya (Political Mission), perbedaan kedalaman dan ragam ilmu yang dimiliki (Personal Interesting of Knowledge), perbedaan umat dan lingkungan yang mengitarinya (Sociology), perbedaan sejarah situasi dan kondisi yang dihadapinya (Sosio-History) dan lain sebagainya. Semua ini menimbulkan berbagai macam corak pentafsiran yang kemudian berkembang menjadi aliran tafsir yang berbeda-beda.[4] Sehingga tidak dinafikkan lagi dari berbagai macam latar belakang dan metode-metode yang dipakai oleh para ulama dalam mentafsiri al-Qur’an demi kemaslahatan individual, kelompok maupun masyarakat Islam secara luas, maka lahirlah konsep permasalahan yang ada dalam pentafsiran al-Qur’an itu sendiri, yaitu; ad-Dakhil Fi Tafsir al-Qur’an.

Definisi ad-Dakhil
Secara bahasa, kata ad-dakhil dalam bahasa Arab memiliki banyak arti, Fairuz Abadi dalam kitab kamusnya al Muhit mengartikan kata dakhil sebagai sesuatu yang masuk kedalam tubuh manusia ataupun akalnya berbentuk penyakit atau sesuatu yang jelek. Menurut Zamkhasyari ad-dakhil merupakan sebuah penyakit atau aib yang masuk ke dalam tubuh atau kedalam makanan sehingga merusaknya. Sedangkan masyarakat arab memaknainya sebagai suatu kata atau bahasa asing yang masuk dan bercampur kedalam bahasa Arab. Jum’ah Ali Abdul Qadir mengatakan makna ad-dakhil secara bahasa adalah sesuatu yang sangat berbahaya dan menyelinap kepada lainnya dan tidak dapat disetujui pula jika ia datang secara tiba-tiba.[5] Menurut para ahli bahasa ad-dakhil adalah setiap kalimat yang masuk dalam pembicaraan Arab dan dia bukan dari Arab, secara materi dia dapat diterima akan tetapi secara makna dia tertolak rusak, cacat, tidak dapat dipercaya, menipu, dll.[6]
Sedangkan makna istilahnya ad-dakhil menurut ulama tafsir sebagaimana yang telah didefinisikan Dr. Ibrahim Khalifah adalah pentafsiran al-Qur’an yang tidak memiliki sumber yang jelas dalam Islam, baik itu tafsir yang menggunakan riwayah-riwayah dari hadis dhoif (lemah) dan palsu, ataupun mentafsirkannya dengan tafsiran yang sesat dari sang penafsir itu sendiri dikarenakan karena lalai atau ada unsur kesengajaan. Dr. Abdul Wahab memaknai ad-dakhil adalah mentafsirkan al-Qur’an dengan metode dan atau dengan cara yang bukan dari Islam. Sedangkan Jum’ah Ali Abdul Qadir mendefinisikan ad-dakhil menurut ulama tafsir adalah pentafsiran yang tidak memiliki orisinalitas agama dari sisi pemaknaan karena ada unsur kecacatan dalam pentafsiran al Qur’an yang ditafsiri secara tiba-tiba (kesengajaan), lalai atau kontemporisasi pentafsiran yang disesuaikan dengan situasi kondisi kejadian setelah wafatnya Rasulullah.[7]

Kelahiran Ad-Dakhil dalam Tafsir al-Qur’an[8]
Dalam upaya untuk memahami aspek-aspek kebenaran al-Qur’an, umat Islam sebenarnya sejak lama telah mengalami pergulatan intelektual yang cukup serius meskipun bisa dikatakan pergulatan tersebut muncul pada dataran persepsi atau pada aspek metodologis pemahaman serta hasil pemahamannya, bukan pada kesangsian akan kebenaran al-Qur’an itu sendiri. Pada dasarnya ilmu tafsir al-Qur’an hanyalah sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan maksud ayat-ayat suci al-Qur’an yang telah melahirkan berbagai macam corak produk penafsiran.[9] 
Tafsir secara historis telah melewati beberapa fase penafsiran dan pembukuan yang memiliki warna dan corak tertentu. Ketika Nabi Muhammad hidup tidak ada dari para sahabat yang berani mentafsirkan ayat al-Qur’an hingga wafatnya.[10] Kemudian muncullah ahli tafsir dari kalangan sahabat, antara lain yang masyhur adalah: Khulafaur Rasyidin, Abdullah Ibn Abbas, Abdullah Ibn Mas’ud, Ubay ibn Ka’ab, Zaid Ibn Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari dan Abdullah Ibn Zubair.[11]  
Pada abad kedua hijriyah, penafsiran ayat-ayat Qur’aniyah masih tersebar dan bercampur dibeberapa kitab hadis. Tafsir pada masa itu belum dibukukan dalam bentuk satu kitab seperti yang ada sekarang ini, seperti; Musnad Syu`bah ibn al-Hajjaj (w.160 H), Musnad Waqi` Ibn Jarah (w.197), dan Musnad Sufyan ibn `Uainah (W.198) adalah musnad hadis yang banyak meriwayatkan penafsiran al-Qur’an. Kemudian, pada fase berikutnya, kitab tafsir mulai disusun dalam satu kitab dan independen (terpisah) dari kitab hadis. Akan tetapi, kemasan dan penulisannya masih sangat sederhana hanya berupa periwayatan-periwayatan hadis, baik yang disandarkan kepada Nabi Muhammad, sahabat atau tabi`in, dan tidak disertai dengan.syarat-syarat dari kesahihan riwayat, Selanjutnya dalam perkembangan selanjutnya muncullah Yahya ibn Salam (w.200) dan At-Thabari (w.310) dalam karangan monumentalnya: kitab tafsir Jamiul bayan Fi Tafsiri Qur`an, kitab ini dinilai oleh mayoritas ulama sebagai kitab tafsir bil ma`tsur yang paling lengkap, ia tidak hanya memuat riwayat-riwayat yang shahih, tetapi juga mencantumkan perbedaan-perbeadan ulama, baik dari segi bacaan, i`rab, tarjihu ar-ra’yi (pembenaran pendapat), bahkan terkadang dalam tafsiran at-Thabari juga menggunakan riwayat-riwayat yang berkenaan dengan israiliyyaat.[12] Fase ini merupakan pintu awal masuknya dakhil dan israiliyyaat dalam tafsir al-Quran.
Puncaknya, dakhil dan riwayat israiliyaat telah menjalar dibeberapa kitab tafsir, ketika para mufassir kurang jeli meriwayatkan hadis. Ironisnya, ketika mereka meriwayatkan hadis tanpa mencantumkan para perawinya, kecuali rawi yang a`la (perawi yang menerima langsung dari Nabi). Sehingga, bercampur baurlah antara riwayat shahih dan dhaif, ashil dan dakhil dalam tafsir.[13]
Paradigma tafsir yang dulunya hanya berlandaskan riwayat (Bil ma`tsur), sekarang berubah bersamaan dengan berkembangnya peradaban manusia yang sangat kompleks, sehingga mengakibatkan munculnya penafsiran al-Quran yang sesuai dengan bidang ilmu yang digeluti si penafsir atau sesuai dengan akal pikirannya. Az-Zamkhasyari (467-538 H), ahli dibidang lughah dan kalam, beliau menulis kitab tafsir al-kasyaf dengan latar belakang kepentingan individual dan kelompoknya mu’tazilah. Fakhruddin ar-Razi (544-606 H), sebagai seorang pemikir Islam, beliau memiliki karangan kitab yang berjudul mafatihul ghaib. Para mufassir menyebutnya sebagai kitab tafsir yang masyhur bi ra’yi dan memenuhi syarat sebagai kitab tafsir al-Qur’an yang menggunakan akal pikiran. Corak penafsiran tersebut kemudian dikenal dengan istilah tafsir bi ra’yi. [14]

Macam-macam Dakhil
Berkembangnya ilmu pengetahuan dan variatifnya pentafsiran al Qur’an maka para ulama tafsir membagi dakhil dalam dua kategori:
1.      Dakhil bi Atsar atau bi manqul
a.       Mentafsiri al-Qur’an dengan menggunakan hadist-hadist yang sangat lemah (dhoif) atau palsu kemudian mengatasnamakan bahwa ini berasal dari Rasulullah atau dari sahabatnya.
b.      Tafsir al-Qur’an dengan menggunakan Israiliyat (riawayat-riwayat yang berasal ahlu kitab dan umat terdahulu sebelum Islam) yang sangat bertentangan dengan apa yang ada dalam al Qur’an dan hadis-hadis yang shahih.
2.      Dakhil bi Ra’yi [15]
Mentafsirkan al-Qur’an dengan akal pikiran yang menyesatkan dan menyandarkan pikirannya pada hal-hal yang bersifatnya logis akan tetapi bertentangan dengan makna sesungguhnya. Jum’ah Ali Abdul Qadir menyebutkan kaedah munculnya dakhil bi ra’yi “Adanya hukum bersandar pada akal pikiran dan bukanlah adanya hukum untuk berfikir”.[16] Oleh karena itu, masuknya ad-dakhil lebih banyak pada permasalahan agama secara umum dan pada tafsir al-Qur’an secara khusus demi kepentingan dan tujuan manusia. Penafsiran al-Qur’an yang merujuk pada akal pikiran sudah mulai merambah pada metodologi-metodologi hermeneutika,[17] suatu teori yang dipakai barat dalam mentafsiri bible.
Jum’ah Ali menyebutkan bahwasanya tafsir yang banyak kemasukan hal-hal yang sifatnya Israiliyat adalah tafsir bil ma’tsur disebabkan model atau metode penafsiran ini lebih banyak menggunakan periwayatan yang mana para sahabat, tabi’un senantiasa mendengarkan kabar-kabar yang muncul dari ahlu kitab baik dari Yahudi maupun Nasrani walaupun tidak menutup kemungkinan model penafsiran lainnya juga bisa kemasukan israiliyat dan atau pemikiran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan akan realitas kebenarannya, seperti dalam tafsir bi ra’yi ataupun dalam tafsir isyari, akan tetapi ad-dakhil dalam penafsiran tersebut tidak sebanyak dari tafsir bil ma’tsur.[18] 

Implikasi Ad-Dakhil  dalam Tafsir
Al-Qur’an yang diturunkan dengan bahasa Arab merupakan fenomena linguistik yang mana setiap ahali tafsir diwajibkan menguasai ilmu bahasa Arab. Oleh karena itu, bahasa juga menjadi salah satu fenomena kajian yang sarat dengan multi-interpretasi. Quraish Shihab menyatakan bahwa tafsir merupakan penjelasan maksud firman-firman Allah sesuai kemampuan manusia. Dikarenakan kemampuan manusia bertingkat-tingkat dan kecenderunganya berbeda-beda maka kualitas dan pesan yang ditemukan dari al-Qur’an juga berbeda-beda. Perbedaan pencapaian makna dari al-Qur’an juga disebabkam oleh perbedaan budaya yang telah mengakar dan melingkupi mufassir. Disebabkan itu, semakin seringnya mufassir membaca al-Qur’an maka semakin banyak pula pesan yang ia dapatkan.[19]
Abdul Mustaqim mengatakan tafsir sesungguhnya dapat dipetakan menjadi dua pengertian, yakni tafsir sebagai produk dan tafsir sebagai proses. Tafsir sebagai produk (interpretation as product) adalah tafsir yang merupakan hasil dialektika seorang mufasir dengan teks dan konteks yang melingkupinya yang kemudian ditulis dalam kitab-kitab tafsir, baik secara lengkap 30 juz mapun yang hanya sebagian saja dari ayat al-Qur’an. Sedangkan tafsir sebagai proses (interpretation as process) adalah aktivitas berfikir yang terus menerus dilakukan untuk mendialogkan teks al-Qur’an dengan realitas yang berkembang. Dialog komunikatif antara teks al-Qur’an yang terbatas dengan konteks yang tak terbatas[20] selalu dilakukan oleh mufassir sehingga tafsir merupakan sebuah proses yang tidak pernah selesai, artinya; tafsir dalam pengertian ini bersifat dinamis karena senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan manusia itu sendiri serta dimaksudkan untuk menghidupkan teks dalam konteks yang selalu terus berkembang dan berubah. [21]
Ad-dakhil dalam sejarah pertumbuhannya banyak sekali dari para ahli tafsir masa tabi’in yang memasukkan hal-hal baru dalam penafsiran al-Qur’an disesuaikan dengan kondisi sosiohistori - politic dan antropolo lingkungan pada waktu itu, baik dari sisi periwayatan israiliyat maupun periwayatan-periwayatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan karena berlandaskan pada pemikiran akal (ijtihad) mufassir sendiri.
Para mufassir yang berorientasi tekstual memaknai terma Islam sebagai doktrin baku, formal dan melembaga serta harus diterima apa adanya (taken for granted). Sedang tafsir yang berorientasi kepada kontekstual atau kontemporer memahami terma-terma Islam sebagai sebuah instrument agama dengan seperangkat doktrin yang bersifat universal dan progresif, dinamis, terbuka dan tidak kaku sesuai dengan fitrah Islam itu sendiri yaitu sebagai agama yang integral (kaffah), sempurna untuk semuanya (Rahmatan lil ‘Alamin).
Al-Qur’an sebagai Shalih li kulli zaman dan makan tidak hanya sebagai “tong kosong nyaring bunyinya” akan tetapi bisa menjadi hudan (petunjuk) terhadap manusia. Muhammad Abduh menilai bahwa kitab-kitab tafsir pada masanya dan masa sebelumnya tidak lebih dari sekedar pemaparan atas berbagai macam pendapat para ulama yang saling berbeda dan pada akhirnya menjauhkan dari tujuan diturunkannya al-Qur’an.[22]
Secara normatif, al-Qur’an diyakini memiliki kebenaran mutlak namun kebenaran produk penafsiran al-Qur’an bersifat relatif dan tentatif, sebab tafsir merupakan respon mufassir ketika memahami teks kitab suci, situasi dan problem sosial yang dihadapinya. Oleh karena itu, tidak ada penafsiran yang benar-benar objektif karena seorang mufassir sudah memiliki prior text yang menyebabkan kandungan teks itu menjadi “tereduksi” dan terdistorsi maknanya. Setiap penafsiran terhadap teks, termasuk teks kitab suci al-Qur’an juga sangat dipengaruhi oleh latar belakang kultural serta anggapan-anggapan yang melatarbelakangi penafsirannya.[23]    
Sementara itu, orientasi penafsiran menurut Syahrur adalah; Pertama, penafsiran al-Qur’an harus berorientasi ke depan (future minded), bukan ke belakang (past minded); dalam artian bahwa penafsiran harus ditujukan pada upaya pencarian makna baru (new meaning) yang sejalan dengan nalar keilmuan modern-kontemporer. Al-Qur’an yang bersifat shalih likulli zaman wa makan tentu saja dapat dipahami sesuai dengan tuntutan era kontemporer yang kita hadapi sekarang ini. Bagi Syahrur, produk penafsiran masa lalu cukup kita hormati, namun tidak boleh kita kultuskan karena hal semacam itu dapat dipandang sebagai syirik khafi. Kedua, orientasi penafsiran al-Qur’an adalah untuk membuktikan kebenaran kandungan al-Qur’an secara empiris dan ilmiah karena al-Qur’an sesungguhnya tidak bertentangan dengan akal dan realitas. Oleh karena itu, didalam menafsirkan al-Qur’an seorang mufassir harus menggunakan perangkat keilmuan modern sehingga al-Qur’an benar-benar relevan untuk setiap zaman dan tempat sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan.[24]
Orientasi penafsiran yang diungkapkan Syahrur diatas bisa dijadikan sebagai landasan teori nalar kritis penafsiran al-Qur’an untuk memasukkan konsep ad-dakhil[25] dalam ranah penafsiran al-Qur’an baik secara periwayatan atau pemikiran akal selama metode penafsiran dan pemaknaanya sesuai dengan al-Qur’an - Hadis[26] dan konsep penafsirannya menuju kepada future minded serta pada pembuktian kebenaran al-Qur’an empiristik dan ilmiah. Dalam pandangan ini,  penulis kira ini merupakan salah satu bentuk perubahan paradigma pemikiran dalam tafsir al-Qur’an (Change minded) dari penafsiran yang sifatnya klasikal (old minded) kepada penafsiran yang multi opened (kontemporer). Apalagi sekarang banyak penafsiran-penafsiran al-Qur’an dengan wajah baru (tafsir new edition) seperti dalam penafsiran al-Qur’an yang ditinjau dari sisi ilmu pengetahuan (sciene) seperti kitab al-Tafsir Fi al-I’jaz al-Qur’an karangan Zaghlun Najar, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi yang disempurnakan) dikeluarkan oleh Kementerian Agama RI kerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dll.
Imam Thabari[27] yang banyak meriwayatkan israiliyat dalam kitab tafsir bil ma’tsur-nya jami’u al-bayan fi tafsir al-Qur’an menyatakan bahwa meriwayatkan israiliyat dalam tafsir al-Qur’an bukan sebagai bentuk penyelewengan akan tetapi hanya sebagai justifikasi keilmuan dan agar memperoleh penafsiran yang sempurna bersamaan dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta mengetahui betapa dalamnya rahasia-rahasia yang terkandung dalam al-Qur’an.[28]
Periwayatan dalam ad-dakhil baik yang diterima ataupun ditolak telah membuka kesadaran baru dikalangan umat Islam. Kesadaran baru yang dimaksud terutama yang berkenaan dengan pemahaman secara normative dan historis yang terlibat dalam pemikiran dan perilaku keberagaman dan keber-agama-an. Disatu sisi lahirnya kesadaran baru telah memberikan berbagai kontribusi positif bagi dinamika dan kematangan perilaku dan pemikiran umat Islam, namun disisi lain kesadaran ini pada akhirnya juga memunculkan berbagai anomaly ketika banyak kalangan terpelajar yang tergelitik untuk mempertanyakan kembali berbagai doktrin lama yang diyakini sebagai “pasti benar” padahal kebenaran hanyalah mutlak milik “Sang Benar” dan kebenaran menurut manusia sifatnya relative, darimana dia memandang dan landasan apa yang dia pakai.    

Kesimpulan         
Adanya ad-Dakhil menjadikan fenomena penafsiran yang variatif dan relative disebabkan karena manqulisasi periwayatan, perkembangan ilmu pengetahuan dan situasi kondisi yang terjadi pada zaman sekarang menuntut adanya perubahan penafsiran yang multi opened, dinamis, tidak kaku dan tidak mengalami dehidrasi penafsiran menuju kepada integralisasi pemahaman isi al-Qur’an secara menyeluruh (kaffah) agar tujuan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin dan al-Qur’an sebagai petunjuk manusia (hudan li an-nasi) tercapai. Sejalan yang diungkapkan oleh Abdul Mustaqim bahwa perkembangan tafsir tidak hanya dipengaruhi oleh perkembangan zaman dan kondisi akan tetapi dipengaruhi oleh perubahan dan perkembangan epistimologi (taghayur wa tathawur at-tafsir bi taghayur wa tathawur nuzum al-ma’rifi)[29]












Daftar Pustaka

Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), Vol. 1
Nasr Hamid Abu Zayd, al-Khitab wa at-Ta’wil, (Beirut: Markaz as-Saqafi al-Arabi, 2000)
Sholeh Abdul Fatah al-Khamidi, at-Tafsir wa at-Ta’wil fi al-Qur’an, (Urdun: Dar an-Nafa’ Islam, 1996)
Muhamad Salim Abu Asiy, Maqalatani fi at-Ta’wil , Ma’alim fi al-Minhaj wa Rasydun li al-Inhiraf, (Kairo: Dar al-Basa’ir, 2003).
Mana’ Qattan, Mabahis Fi Ulum al-Qur’an, (Riyadh: Maktabah Ma’arif, 1996).
Muhammad Abdul Adhim az-Zarqani, Manahil al-‘Irfan Fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1996), V. II.
Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual Usaha Memaknai Kembali Pesan Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009).
Jum’ah Ali Abdul Qadir, Ad-Dakhil Fi al-Dirasah al-Manhajiyah wa al-Namadij al-Tatbiqiyah, (Kairo: Al Azhar Press, 2006).
Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani Antara Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003).
Ignaz Goldziher, Madzahib al-Tafsir al-Islami, (Kairo: Maktabah al-Sunnah al-Muhammadiyah, 1955), hlm. 73-80.
Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 1995).
Jalaludin Abdurrahman as-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar Fikri), Vol. II.
Ibn Abdullah az-Zarkasyi, al-Burhan Fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1391H), Vol. II.
Abu Anas hamid Ahmad at-Thohir al-Basyuni, al-Israiliyat wa al-Maudu’at wa Bidai al-Tafsir Qadiman wa Haditsan, (Daar Attaqwa, 2004).
Hasan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994).
Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, (Jakarta: Paramadina, 1996).
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, (New York: The Seabury Press, 1975).
Abdul Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKIS Group, 2012).
Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Daar al-Kutub al-Haditsah, 1961),V. 1.
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an Kajian Kritis Terhadap Ayat-ayat Yang Beredaksi Mirip, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).
Quraish Shihab, Metode Penyusunan Tafsir Yang Berorientasi Pada Sastra, Budaya Dan Kemsyarakatan, Ujung Pandang, IAIN Alaudin, 1984
Charles Kurzman (ed.), Liberal Islam, (New York: Oxford University Press, 1998)
Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an : Qira’ah Mu’ashirah, (Damaskus: al-Ahali li an-Nasr wa al-Tawzi’, 1992)
     



[1] Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), Volume. 1, hlm. xv
[2] Nasr Hamid Abu Zayd, al-Khitab wa at-Ta’wil, (Beirut: Markaz as-Saqafi al-Arabi, 2000), hlm. 174
[3] Tafsir secara bahasa bermakna menyingkap (al-Kasyf), menjelaskan (al-Ibanah) dan menampakkan (al-Idhah). Jika dilihat dari segi istilah tafsir berarti suatu ilmu yang dapat mengungkap pesan kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw sehingga dapat menjelaskan makna-makna dan hukum-hukumnya. Sedangkan ta’wil dari sisi bahasa bermakna mengembalikan, menuju kepada titik akhir dan menjelaskan implikasinya. Dari segi istilahnya berarti mengembalikan sesuatu kepada tujuan semula baik secara ilmiyah maupun praksis atau memalingkan makna hakekat pada makna majazi sebagaimana diteorisasi oleh Ibnu Rusyd. Mana’ Qatan juga menyebutkan definisi tafsir yang diadopsi dari perkataannya Abu Hayyan adalah Ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafazh-lafazh al Qur’an, indicator-indikatornya, masalah hukum-hukumnya baik yang independen mapun yang berkaitan dengan yang lain, serta tentang makna-maknanya yang berkaitan dengan kondisi struktur lafadz yang melengkapinya. Sedangkan Ta’wil  adalah pentafsiran yang dikembalikan kepada makna aslinya yang merupakan esensi yang dimaksud. (Sholeh Abdul Fatah al-Khamidi, at-Tafsir wa at-Ta’wil fi al-Qur’an, (Urdun: Dar an-Nafa’ Islam, 1996), hlm. 23-31., Muhamad Salim Abu Asiy, Maqalatani fi at-Ta’wil , Ma’alim fi al-Minhaj wa Rasydun li al-Inhiraf, (Kairo: Dar al-Basa’ir, 2003), hlm. 13-31., Mana’ Qattan, Mabahis Fi Ulum al-Qur’an, (Riyadh: Maktabah Ma’arif, 1996),hlm. 334-338., Muhammad Abdul Adhim az-Zarqani, Manahil al-‘Irfan Fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1996), V. II., hlm. 6 ).   
[4] Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual Usaha Memaknai Kembali Pesan Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009) hlm. 31., Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Volume. 1, hlm. xv)
[5] Jum’ah Ali Abdul Qadir, Ad-Dakhil Fi al-Dirasah al-Manhajiyah wa al-Namadij al-Tatbiqiyah, (Kairo: Al Azhar Press, 2006), hlm. 15
[6] Ibid.,
[7] Ibid., hlm. 16
[8] Secara garis besar sebab-sebab terjadinya dakhil dalam tafsir al-Qur’an adalah sebagai berikut: Pertama, permasalahan politik. Kedua, pengingkaran dan pendustaan agama. Ketiga, perbedaan hukum fiqhiyah dan kalam. Keempat, adanya ta’asub (fanatisme) jenis, kelompok (Qabilah), bahasa dan nasionalisme. Kelima, adanya pembesaran cerita disebakan keinginan atau hawa nafsu. Keenam, bodoh akan agama. Ketujuh, menjilat kepada penguasa (tergiur akan kekuasaan). Kedelapan, senang dipuji (adanya puji-pujian yang berlebihan) atau sebaliknya. (Jum’ah Ali Abdul Qadir, Ad-Dakhil Fi al-Dirasah al-Manhajiyah wa al-Namadij al-Tatbiqiyah, hlm. 25-47)     
[9] Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani Antara Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003), hlm. 5
[10] Ignaz Goldziher, Madzahib al-Tafsir al-Islami, (Kairo: Maktabah al-Sunnah al-Muhammadiyah, 1955), hlm. 73-80.
[11] Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 385
[12]   Ibid., hlm. 385
[13]  Israiliyat adalah segala sesuatu yang bersumber dari kebudayaan Yahudi atau Nasrani, baik yang termaktub di dalam Taurat, Injil dan penafsiran-penafsirannya, maupun pendapat-pendapat orang-orang Yahudi atau Nasrani mengenai ajaran mereka. (Quraish Shihab, Metode Penyusunan Tafsir Yang Berorientasi Pada Sastra, Budaya Dan Kemsyarakatan, Ujung Pandang, IAIN Alaudin, 1984, hlm. 64). Jum’ah Ali Abdul Qadir mendefinisikan Israiliyat dalam pandangan ulama tafsir adalah kumpulan cerita-cerita dan pengkabaran yang berhubungan dengan peradaban Islam dengan jalannya ahli kitab dari Yahudi dan Nasrani. Biasanya Israiliyat berkenaan dengan orang-orang terdahulu yang terjadi pada masa nabi dan utusan yang mana tidak terlepas dari kebohongan, pengurangan, pembelotan karena bersandarkan pada Taurat dan Injil yang telah mereka belokkan dan ganti sesuai kinginan serta hawa nafsu mereka. (Jum’ah Ali Abdul Qadir, Ad-Dakhil Fi al-Dirasah al-Manhajiyah wa al-Namadij al-Tatbiqiyah, hlm. 21)
[14] Imam Suyuthi mengutip pendapat Zarkasyi dalam kitab al-Burhan mengenai syarat-syarat pokok yang harus  dimiliki seseorang agar ia boleh menafsirkan al-Qur’an berdasarkan ra’yu, antara lain : Pertama, Berpegang teguh pada hadis-hadis yang berasal dari Rasulullah dengan ketentuan dia harus waspada terhadap riwayat yang dhaif (lemah) dan Maudhu’ (Palsu). Kedua, berpegang pada ucapan para sahabat Nabi Muhammad Saw karena apa yang mereka katakan menurut peristilahan hadis hukumnya mutlak marfu’ (shahih atau Hasan), khususnya yang berkaitan dengan asbabun nuzul dan hal-hal yang tidak dapat dicampuri pendapat (Qat’i). Ketiga, berpegang pada kaidah bahasa Arab yang benar dan harus tetap berhati-hati dalam menafsirkannya. Keempat, penafsirannya harus terjamin kebenarannya menurut aturan dan hukum syara’. (Jalaludin Abdurrahman as-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar Fikri), V. II., hlm. 304., Ibn Abdullah az-Zarkasyi, al-Burhan Fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1391H), V. II., hlm. 156-161). 
[15] Menurut Abu Anas hamid Ahmad at-Thohir al-Basyuni mengatakan bahwa Dakhil bi Ra’yi adalah Memasukkan pemikiran dalam pembahasan syari’ah dan ketetapannya yang didasari dengan berbagai macam syarat diterima atau tidaknya pemikiran tersebut. Jika pemikiran tersebut tidak dilandasi oleh hawa nafsu dan tidak bertentangan dengan sumber hukum maka pemikiran tersebut dapat diterima akan tetapi jika bertentangan dengan sumber hukum dan disertai dengan keinginan, tujuan serta hawa nafsu individual maka pemikiran tersebut tidak dapat diterima atau ditolak. (Abu Anas hamid Ahmad at-Thohir al-Basyuni, al-Israiliyat wa al-Maudu’at wa Bidai al-Tafsir Qadiman wa Haditsan, (Daar Attaqwa, 2004), hlm. 97)
[16] Jum’ah Ali Abdul Qadir, Ad-Dakhil Fi al-Dirasah al-Manhajiyah wa al-Namadij al-Tatbiqiyah,  hlm. 16-17
[17] Hasan Hanafi dalam tulisannya Religious Dialogue and Revolution menyatakan bahwa hermeneutika tidak sekedar ilmu interpretasi atau teori pemahaman akan tetapi ia juga berarti sebagai ilmu yang menjelaskan tentang penerimaan wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai ke tingkat dunia. Ilmu tentang proses munculnya wahyu dari mulai huruf sampai pada kenyataan, dari logos sampai kepada praksis dan juga transformasi wahyu dari pikiran Tuhan kepada kehidupan manusia. Roger Trigg mengungkapkan sebagaimana dikutip oleh Komarudin Hidayat dalam bukunya Memahami Bahasa Agama : The paradigm for hermeneutics is the interpretation of a traditional text, where the problem must always be how we can come to understand in our own context something which was written in a radically different situation. (Hasan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 1., Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 161., Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani Antara Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003), hlm. 11).  Berkenaan dengan metodologi ini, Abdul Mustaqim menukil perkataan Gadamer : That is Why understanding is not merely a reproductive, but  always a productive attitude as well (Kita tidak mungkin membaca teks tanpa praduga (prejudice) dan kita juga tidak mungkin memahaminya jika kita tidak menambah makna terhadap makna yang sudah ada. (Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, (New York: The Seabury Press, 1975), hlm. 264., Abdul Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKIS Group, 2012), hlm. 176)
[18] Jum’ah Ali Abdul Qadir, Ad-Dakhil Fi al-Dirasah al-Manhajiyah wa al-Namadij al-Tatbiqiyah,  hlm. 123-124
[19] Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual Usaha Memaknai Kembali Pesan Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 1-2.
[20] Nashruddin Baidan mengutip ungkapan Ibnu Taimiyah yang dinukil oleh al-Dzahabi dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun, dikatakan; tafsir yang berlandaskan pemikiran semata tanpa adanya batasan dan mengindahkan kaedah-kaedah dan kriteria yang berlaku dalam penafsiri al-Qur’an serta tidak sesuai dengan makna  al-Qur’an yang sebenarnya maka penafsiran semacam itu hukumnya haram. (Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Daar al-Kutub al-Haditsah, 1961), Vol. 1., hlm 255-256., Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an Kajian Kritis Terhadap Ayat-ayat Yang Beredaksi Mirip, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 47)
[21] Abdul Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKIS Group, 2012), hlm. 32
[22] Ibid., hlm 59
[23] Charles Kurzman (ed.), Liberal Islam, (New York: Oxford University Press, 1998), hlm. 127., Abdul Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer, hlm.57 
[24] Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an : Qira’ah Mu’ashirah, (Damaskus: al-Ahali li an-Nasr wa al-Tawzi’, 1992), hlm. 44
[25] Ibnu Khaldun mengatakan dalam memasukkan konsep ad-dakhil dalam peanfsiran al-Qur’an dari periwayatan-periwayatan  Israiliyat maka menurut beliau periwayatan yang diterima dari ahlu kitab (Yahudi-Nasrani) hanyalah seputar sosial kemasyarakatan dan agamanya yang tidak bertentangan dengan terma ajaran Islam dari al-qur’an dan hadis. (Lihat: Jum’ah Ali Abdul Qadir, Ad-Dakhil Fi al-Dirasah al-Manhajiyah wa al-Namadij al-Tatbiqiyah, hlm. 29)
[26] Dalam Firman allah Surah al-Baqarah ayat 269:

قال الله تعلي : يؤتى الحكمة من يشاء ومن يؤت الحكمة فقد اوتي خيرا كثيرا وما يذكَر إلا اولوالألباب

“Dia memberikan hikmah kepada siapa saja yang dia kehendaki, barang siapa yang diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberikan kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang memiliki akal sehat”
[27] Imam Thabari nama lengkapnya Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid at-Thabari lahir pada tahun 224H dan meninggal pada tahun 310H. beliau telah melakukan perjalanan untuk mencari ilmu dimulai ketika beliau berumur 12 tahun ke negeri Mesir, Syam dan Iraq.
[28] Jum’ah Ali Abdul Qadir, Ad-Dakhil Fi al-Dirasah al-Manhajiyah wa al-Namadij al-Tatbiqiyah, hlm. 168
[29] Abdul Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer, hlm.xiii

Tidak ada komentar:

Posting Komentar