Senin, 26 Mei 2014

Dilâlah Mafhum

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
Segala perintah yang diperintahkan oleh Syari’ baik itu yang terdapat dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah semuanya mempunyai dilâlah yang bermacam-macam serta metode yang berbeda-beda untuk mencetuskan sebuah hukum yang diinginkan oleh Allah swt. Bukan berarti dilâlah lafadz tersebut sudah cukup hanya dengan dipahami dari segi bahasa yang diungkapkan oleh lafad tersebut atau hanya dengan memahami manthuq sharih dari lafad itu sendiri, akan tetapi disamping itu masih terdapat dilâlah lain yang juga dijadikan pegangan oleh para ulama’ Ushul dalam meng-istinbath-kan sebuah hukum, seperti dilalah al-Isyarah, al-Iqtidha’, at-Tanbih, serta tidak sedikit dari para kalangan Ulama itu sendiri yang menggunakan mafhum mukhâlafah meskipun imam Abu Hanifah mengingkari dalam menggunakan mafhum mukhâlafah tersebut.[1]
Ketika seorang mujtahid berkeinginan untuk meng-istinbath­-kan sebuah hukum baik itu yang sudah disinggung dalam nash-nash yang ada maupun yang tidak disinggung sama sekali, maka terlebih dahulu ia harus mengetahui atau mempelajari alat-alat yang dapat membawanya pada hukum tersebut. Alat-alat inilah yang oleh kalangan ulama’ Ushul disebut dengan “ Dilalah Lafdziyah“. Dr. Abd. Ra’uf Mufdhî Kharâbasyah menyebutkan bahwa dilâlah ladfziyah ini terbagi menjadi tiga bagian: yang Pertama: Dilâlah al-Muthâbaqah, Kedua: Dilâlah at-Tadlammun, dan Ketiga: Dilâlah al-Iltizâm.[2]
Dari ketiga bentuk dilâlah tersebut, Imam as-Syaukani membagi lagi menjadi dua bagian yang mana dilâlah al-Muthâbaqah dan dilâlah at-Tadlammun disebut dengan manthuq sharih, sedangkan dilâlah al-Iltizâm ini disebut dengan manthuq ghairu sharih.
Dalam makalah yang sederhana ini penulis ingin mencoba untuk menguraikan sedikit tentang dilâlah mafhum sesuai dengan cara yang diterapkan oleh kalangan ulama’ dalam menetapkan sebuah hukum sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah dan para Rasul-Nya. Di kalangan jumhur berpendapat bahwa dilâlah khitab atau lafadz yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadist, terbagi menjadi dua bagian yang mana ini sesuai dengan pengertian yang dipaparkan oleh Ibnu al-Hajib, yaitu: 
(1) Manthuq; dan (2) Mafhum.[3]

B.      Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dilalah manthûq dan mafhûm?
2.      Apa perbedaan dilalah manthûq dan mafhûm?
3.      Apa klasifikasi mafhûm dan seberapa tingkat kehujjahannya?

C.        Tujuan Pembahasan
1.      Apa pengertian dilalah manthûq dan mafhûm?
2.      Apa perbedaan dilalah manthûq dan mafhûm?
3.      Apa klasifikasi mafhûm dan seberapa tingkat kehujjahannya?




BAB II
PEMBAHASAN

A.      AL- MANTHUQ
1.      Definisi al-Manthuq
Secara etimologi pengertian al-manthuq adalah sesuatu yang diucapkan (al-Malfûdzu bihi), lafadz manthuq itu sendiri diambil dari kata ”nathaqa, yanthiqu, nuthqan, wamanthiqan”  yang mempunyai arti takallama (berbicara).[4] Al-Faeruz Ăbâdî juga menyebutkan bahwa lafadz ”nathaqa, yanthiqu, nuthqan, wanuthûqan” mempunyai arti berbicara dengan suara yang keras serta menggunakan huruf-huruf yang dapat mengetahui arti yang terkandung dalam lafadz tersebut. Jadi manthuq disini mengandung sebuah pengertian sebuah kalimat yang diucapkan oleh seseorang serta melafadzkannya.
Sedangkan definisi manthuq secara terminologis adalah penetapan hukum yang diambil sesuai dengan bunyi (manthuq) sebuah lafadz.[5] Jadi dilâlah manthuq kalau ditinjau dari pengertian yang seperti ini adalah dilâlah lafadz untuk menetapkan adanya sebuah hukum yang disebut dalam pembicaraan, baik penetapan hukum tersebut dengan menggunakan salah satu dari tiga metode yang telah ditetapkan oleh para ulama’ Ushul Fiqh yaitu dilâlah al-Muthâbaqah, at-Tadhammun, serta al-Iltizâm.

2.      Pembagian al-manthuq
Ulama’ Ushul Fiqh selain Abu Hanifah membagi manthuq menjadi dua bagian yaitu manthuq sharih dan manthuq ghairu sharih.

a.      Manthuq Sharih
Manthuq sharih adalah lafadz yang menunjukkan terhadap adanya sebuah hukum dengan menggunakan dilâlah al-Muthâbaqah, at-Tadhammun. Seperti firman Allah dalam surat al-Isra'  ayat 23: (فلا تقل لهما أف ) bunyi (manthuq) yang terdapat dalam ayat tersebut menunjukkan haramnya perkataan "Ah" terhadap kedua orang tua, pengambilan hukum ini sesuai dengan bunyi lafadz itu sendiri tanpa membutuhkan ijtihad atau pemikiran yang dalam untuk mencetuskan hukum tersebut.

b.      Manthuq Ghairu Sharih
Manthuq ghairu sharih adalah lafadz yang menunjukkan terhadap adanya sebuah makna dengan menggunakan dilâlah al-IltizâmDilâlah ini oleh para ulama’ Ushul fiqh dibagi lagi menjadi tiga bagian yaitu: Dilâlah al-Iqthidha’, dilâlah al-Ima’, dan yang ketiga adalah dilâlah al-Isyarat. Tiga pembagian ini menurut Imam al-Baidlowi dan imam al-Ghazali tidak termasuk dari pembagian Manthuq akan tetapi itu termasuk dari pembagian mafhum, ini sesuai dengan pendapat mereka yang mengatakan bahwa Manthuq Ghairu Sharih adalah salah satu dari pembagian mafhum bukan dari pembagian manthuq. Namun yang paling arjah dari pendapat para ulama’ adalah yang mengatakan bahwa  Manthuq ghairu sharih termasuk dari pembagian manthuq.

B.      AL-MAFHUM
1.       Definisi al-Mafhum
Secara etimologi pengertian al-mafhum adalah : sebuah ibarat dari kumpulan beberapa sifat yang menjelaskan terhadap makna secara keseluruhan. al-mafhum itu sendiri berasal dari kata "fahima as-Syaia fahman dari bab ta'iba" mempunyai arti : sebuah gambaran yang sangat bagus.[6]
Sedangkan secara terminilogis makna al-mafhum adalah : lafadz yang menunjukkan terhadap sesuatu di luar pembicaraan (fi ghairi mahalli an-nuthqi), dan menjadi sebuah hukum terhadap yang telah ditetapkan.[7]

2.      Pembagian al-Mafhum
Para ulama yang mengakui adanya mafhum, membagi menjadi dua bagian yaitu mafhum al-muwâfaqah dan mafhum al-mukhâlafah.

a.      Mafhum al-Muwâfaqah
Selanjutnya masalah yang tidak disebutkan (maskut) lebih utama dari yang disebutkan (manthuq). mafhum ini juga dinamakan fahwa al-khitab dan juga ada kesamaan dengan lahnu al-khitab[8].
            Misalnya, firman Allah:
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka”. Qs.17:23. 
Pernyataan ayat ini menunjukkan larangan mengatakan ‘uff’ karenanya disebut manthuq. Adapun larangan memukul adalah maskut (yang tidak disebutkan). Karena kedua makna ini masuk dalam makna ‘menyakiti’ yang difahami dari lafadz ‘uff’ bahkan memukul pelarangannya lebih utama.
Mafhum al-Muwâfaqah adalah penunjukan lafadz terhadap adanya sebuah hukum yang tidak disebutkan dalam suatu nash sesuai dengan bunyi (manthuq) lafadz tersebut.[9]
 Dalam masalah mafhum al-Muwâfaqah para ulam' ushul fiqh meletakkan nama-nama yang dipakai dalam menyebutnya sesuai dengan keadaannya, mereka membagi dua bagian:
Pertama: Jika hukum yang tidak disebutkan itu, lebih utama dari hukum yang terdapat dalam bunyi (manthuq) suatu lafadz, mereka menyebutnya dengan "fahwâ al-Khithâb" seperti frman Allah Swt QS. al-Isra' ayat 23: (فلا تقل لهما أف ولا تنهرهما) ayat ini menunjukkan haramnya memukul kedua orang tua lebih utama, karena bunyi ayat ini menunjukkan haramnya mengeluarkan kata-kata "Ah" pada kedua orang tua, sedangkan dengan jalan " fahwâ al-Khithâb" ayat ini menunjukkan haramnya mencaci maki serta memukul keduanya.
Kedua: Jika hukum yang tidak disebutkan itu, sama setatusnya dengan hukum yang terdapat dalam bunyi (manthuq) suatu lafadz, mereka menyebutnya dengan "Lahnu al-Khithâb" seperti firman Allah Swt. QS. an-Nisa' ayat 10 : (ان الذين يأكلون أموال اليتامى ظلما انما يأكلون فى بطونهم نارا وسيصلون سعيرا) bunyi (manthuq) ayat ini menunjukkan haramnya memakan harta anak yatim, sedangkan dengan pengertian (mafhum) yang sama ayat ini menunjukkan haramnya membakar harta anak yatim atau dengan segala sesuatu yang dapat merusak harta tersebut, selain memakannya.  
Para ulama ushul fiqh sepakat, bahwa mafhum al-muwâfaqah dapat dijadikan dalil dalam mengistinbathkan sebuah hukum, kecuali dari kalangan adz-Zhâhiriyah yang mengingkari ke­hujjah­an dari mafhum al-muwâfaqah tersebut.
b.      Mafhum al-Mukhâlafah
 Mafhum al-Mukhâlafah adalah menetapkan kebalikan dari hukum yang disebut (manthuq) lantaran tidak adanya suatu batasan (qayd) yang membatasi berlakunya hukum menurut nashnya.[10] Mafhum juga disebut dengan dalîl al-khithâb, karena dalilnya diambil dari jenis perintah itu sendiri.
Misalnya, sabda Rasulullah saw. : (فى الغنم السائمة الزكاة)[11]  bunyi (manthuq) yamg dikeluarkan hadist tersebut menunjukkan, bahwa Biri-biri (Domba) yang digembalakan dipadang rumput wajib dikeluarkan zakatnya, akan tetapi dengan menggunakan mafhum al-mukhâlafah dafat difahami, bahwa Biri-biri (Domba) yang dipelihara (dibiayai) tidak wajib dikeluarkan zakatnya.

C.      Macam-macam Mafhum al-Mukhâlafah
Dalam pembagian  mafhum al-mukhâlafah para ulama' ushul fiqh berbeda-beda pendapat, namun penulis disini ingin mencoba menguraikan sedikit dari berbagai macam mafhum al-mukhâlafah tersebut.

·         Mafhum al-Washfi (as-Sifat)
      Mafhum al-washfi adalah menetapkan hukum dalam bunyi (manthuq) suatu nash yang dibatasi (diberi qayd) dengan sifat yang terdapat dalam lafadz, dan jika sifat tersebut telah hilang, maka terjadilah kebalikan hukum tersebut.[12]
Misalnya, firman Allah Swt. QS. an-Nisa' ayat 25 yang berbunyi: (ومن لم يستطع منكم طولا أن ينكح المحصنات المؤمنات فمن ماملكت أيمانكم من فتياتكم المؤمنات) diperbolehkannya mengawini wanita-wanita budak dalam ayat tersebut adalah dibatasi (diberi qayd) dengan keimanan, oleh karena itu waita-wanita budak yang tidak beriman tidak halal untuk dinikahi.

·         Mafhum as-Syart
Mafhum as-syart adalah menetapkan kebalikan suatu hukum yang tergantung pada syarat, jika syarat tersebut telah hilang. Misalnya, firman Allah swt. dalam surat ath-Thalaq: 6 yang berbunyi : (وان كن أولات حمل فأنفقوا عليهن حتى يضعن حملهن) ayat tersebut menunjukkan bahwa kewajiban memberikan nafakah kepada isteri yang dicerai dan tengah menjalani masa 'iddah dibatasi jika isteri tersebut sedang dalam hamil. Dengan menggunakan mafhum al-mukhâlafah dapat dipahami, jika isteri yang dicerai tidak dalam keadaan hamil, maka bekas suaminya tidak berkewajiban memberikan nafkah. Sedangkan dengan menggunakan mafhum as-syart dapat dipahami, bahwa bekas suami tidak wajib memberikan nafkah kepada isteri yang dicerai dan tengah menjalani masa 'iddah, kecuali isteri tersebut dicerai dengan thalaq raj'i atau sedang hamil.

·         Mafhum al-Ghâyah
Mafhum al-ghâyah adalah menetapkan hukum yang berada diluar tujuan nash (ghâyah), bila hukum tersebut dibatasi dengan tujuan (ghâyah)[13]. Dan hukum yang terjadi sesudah ghâyah tersebut berbeda dengan hukum yang terjadi sebelum ghâyah.
Misalnya, firman Allah swt. dalam surat al-Baqarah : 222 yang berbunyi : (ولا تقربوهن حتى يطهرن) ayat ini menunjukkan seorang suami diperbolehkan mencampuri isterinya setelah isteri tersebut suci dari haid.

·         Mafhum al-'Adad
Mafhum al-'adad adalah penetapan kebalikan dari suatu hukum yang dibatasi dengan bilangan, ketika bilangan tersebut tidak terpenuhi[14].
Misalnya, firman Allah swt. dalam surat an-Nur : 2 yang berbunyi : (الزانية والزانى فاجلدوا كل واحد منهما مائة جلدة) dalam ayat ini ditetapkan hukuman pukulan sebanyak seratus kali bagi siapa saja yang berzina, hukum pukulan tersebut tidak boleh dikurangi atau ditambah. Larangan ini adalah didasarkan pada mafhum al-mukhâlafah, yakni jika suatu hukuman (sanksi) telah ditetapkan ukurannya, maka tidak boleh ditambah atau dikurangi[15].

·         Mafhum al-Laqab (al-Ism)
Mafhum al-laqab adalah menggantungkan adanya sebuah hukum dengan isim 'alam atau isim nau'[16]. Seperti lafadz "Qâma Zidun" dan "fi al-Ghanami zakâtun".

·         Mafhum al-Hashr
Mafhum al-hashr adalah penetapan dari kebalikan suatu hukum dengan menggunakan lafadz-lafadz al-hashr, seperti lafadz "innamâ, illâ", dan lain sebagainya. Misalnya, firman Allah swt. QS. an-Nisa' ayat 171 yang berbunyi: (انما الله اله واحد) ayat ini secara manthuq menunjukkan bahwa sifat ketuhanan itu hanya terdapat pada tuhan yang satu yaitu Allah swt. sedangkan dengan mafhum mukhâlafah dapat dipahami, bahwa sifat ketuhanan itu tidak ada pada selain Allah.
Para ulama ushul fiqh selain dari kalangan imam Abu Hanifah mengakui bahwa semua macam-macam dari mafhum al-mukhâlafah sebut selain mafhum al-laqab dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan sebuah hukum.

D.      Berhujjah Dengan Mafhum Mukhalafah
      Di kalangan ulama sepakat untuk dapat beramal dan berhujah dengan mafhūm sifat, syarat, adat dan gayah, kecuali mafhūm laqab. Karena menurut mereka mafhūm laqab tidak mungkin kita menghasilkan ketentuan hukum kebalikannya. Ulama berbeda pendapat tentang kekuatan hukum yang ditetapkan melalui beberapa bentuk mafhum dalam kaitannya dengan teks hukum.
      Jumhur ulama berpendapat bahwa nash-nash hukum memberi petunjuk tentang hukum atas sesuatu kejadian bila dikaitkan kepada sifat, syarat, bilangan atau batas waktu, mempunyai kekuatan untuk menetapkan hukum atas kejadian yang memiliki sifat, syarat, bilangan atau batas waktu tersebut. Begitu pula nash hukum tersebut mempunyai kekuatan dalam menetapkan hukum yang sebaliknya jika tidak terdapat sifat, syarat, bilangan atau batas waktu yang sudah berlalu. Alasan kalangan jumhur ulama:
1.      Yang mudah dipahami dari ungkapan bahasa Arab dan tradisi penggunaan ‘ibaratnya adalah bahwa mengaitkan sesuatu dengan sifat, syarat, bilangan dan batas waktu. Untuk menunjukkan berlakunya hukum bila terdapat kaitan tersebut ; juga menunjukkan tidak berlakunya hukum tersebut bila kaitan itu tidak terdapat dalam satu keadan.
2.      Kaitan yang terdapat dalam nash syara’ baik dalam bentuk sifat, syarat, bilangan atau batas waktu, bukanlah tanpa arti. Ia mempunyai maksud tertentu, yaitu menetapkan hukum dalam kejadian lain, kecuali bila ada penjelasan tersendiri yang menyatakan adanya maksud lain dari kaitan tersebut. Dalam keadaan demikian memang tidak berlaku mafh­m mukhalafah.
3.      Kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa nash syara’ yang menunjukkan hukum pada suatu kejadian bila dikaitkan pada suatu sifat, syarat, bilangan atau batas waktu maka mempunyai kekuatan hukum terhadap kejadian yang disebutkan sifat, syarat, bilangan atau limit waktu itu saja secara manthuq. Adapun nash hukum yang tidak ditemukan sifat, syarat, bilangan dan batas waktu maka tidak dapat diketahui hukumnya dari mafhum mukhalafahnya, tetapi harus melalui dalil lain. Hal ini berarti kita tidak dapat menetapkan hukum apapun hanya melalui  mafhûm mukhâlafah saja. Adapun yang menjadi alasan dari kalangan Hanafiyah adalah:
a.      Tidaklah umum dalam ungkapan bahasa arab bahwa mengaitkan hukum dengan sifat, syarat, bilangan atau limit waktu berarti menunjukkan berlakunya hukum ketika ada kaitannya itu, dan hukum tidak berlaku bila kaitan itu tidak ada. Cukup banyak ungkapan bahasa arab yang dikaitkan dengan salah satu dari kaitan itu (sifat, syarat, bilangan dan limit waktu) tetapi tidak mengandung daya mahfûm (tersirat). Umpamanya firman Allah yang berikut ini:

يـايـهـاالـذ يـن امـنـوا  لا تـا كلـوا الـربــوا ا ضـعـا فــا مـضا عـفـة ...
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba’ secara berlipat ganda…”

Mantuq ayat ini, larangan riba’ diberi kaitan dengan sifat berlipat ganda. Meskipun demikian riba’ tetap saja haram sekalipun dilakukan tidak dengan cara berlipat ganda.
b.      Banyak nash syara’ yang menunjukkan suatu hukum yang diberi kaitan dengan suatu kait, namun hukum itu tetap saja berlaku meskipun kaitan itu tidak ada. Shalat dalam perjalanan tetap dapat diqashar meskipun orang yang melakukannya tidak lagi dalam keadaan takut diserang dalam peperangan, padahal kebolehan qashar shalat itu diberi syarat kalau takut mendapat serangan dari orang-orang kafir. Allah berfirman dalam surat al-Nisa’ (4): 101:
#sŒÎ)ur ÷LäêöuŽŸÑ Îû ÇÚöF{$# }§øŠn=sù öä3øn=tæ îy$uZã_ br& (#rçŽÝÇø)s? z`ÏB Ío4qn=¢Á9$# ÷bÎ) ÷LäêøÿÅz br& ãNä3uZÏFøÿtƒ tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. 4 ÇÊÉÊÈ  
“Bila kamu melakukan perjalanan di atas bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat bila kamu khawatir diserang oleh orang-orang kafir…”

Bila mengamalkan mafhûm mukhâlafah dari ayat ini tentu tidak boleh lagi mengqashar shalat di waktu tidak ada lagi peperangan. Qashar shalat masih berlaku meskipun peperangan tidak ada lagi, berarti mafhûm mukhlâfah tidak diamalkan dalam pemahaman ayat ini.

E.      Syarat-Sayrat Mafhum Mukhalafah
Ulama yang membolehkan berhujjah dengan mafhum mukhalafah mengemukakan beberapa syarat dalam menggunakan mafhum mukhalafah sebagai hujjah. Syarat tersebut:
1.      Mafhum mukhalafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun mafhum muwafaqah. Contoh yang berlawanan dengan dalil mantuq: Q. S Isra’(17): 31:
Ÿwur (#þqè=çGø)s? öNä.y»s9÷rr& spuô±yz 9,»n=øBÎ) ( ÇÌÊÈ  
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan”

Mafhumnya, kalau bukan karena takut kemiskinan di¬bunuh, tetapi mafhum mukhalafah ini berlawanan dengan dalil manthuq, ialah: Q.S Isra’(17): 33)
Ÿwur (#qè=çFø)s? }§øÿ¨Z9$# ÓÉL©9$# tP§ym ª!$# žwÎ) Èd,ysø9$$Î 3 ÇÌÌÈ  
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar”

Contoh yang berlawanan dengan mafhum muwafaqah: Q.S Isra (17): 23
Ÿwur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌŸ2 ÇËÌÈ   
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia”

Yang disebutkan, hanya kata-kata yang kasar mafhum mukhalafahnya boleh memukuli. Tetapi mafhum ini berla¬wanan dengan mafhum muwafaqahnya, yaitu tidak boleh memukuli.

2.      Yang disebutkan (manthuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi.
Contoh: Q.S An-Nisa’ ayat 23
ã@Í´¯»n=ymur ãNà6ͬ!$oYö/r& tûïÉ©9$# ô`ÏB öNà6Î7»n=ô¹r&.... ÇËÌÈ
“Dan anak tirimu yang ada dalam pemeliharaanmu”

Dan perkataan “yang ada dalam pemeliharaanmu” tidak boleh dipahamkan bahwa yang tidak ada dalam peme¬liharaanmu boleh dikawini. Perkataan itu disebutkan, se-bab memang biasanya anak tiri dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya.

3.      Yang disebutkan (manthuq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan.
Contoh:
“Orang Islam ialah orang yang tidak mengganggu orang-¬orang Islam lainnya, baik dengan tangan ataupun dengan lisannya (Hadits)”.

Dengan perkataan “orang-orang Islam (Muslimin) tidak dipahamkan bahwa orang-orang yang bukan Islam boleh diganggu. Sebab dengan perkataan tersebut dimaksudkan, alangkah pentingnya hidup rukun dan damai di antara orang-orang Islam sendiri.

4.      Yang disebutkan (manthuq) harus berdiri sendiri, tidak mengikuti kepada yang lain.
Contoh: Q.S Al-Baqarah ayat 187:
Ÿwur  ÆèdrçŽÅ³»t7è? óOçFRr&ur tbqàÿÅ3»tã Îû ÏÉf»|¡yJø9$# 3 ÇÊÑÐÈ  
“Janganlah kamu campuri mereka (isteri-isterimu) padahal kamu sedang beritikaf di masjid”

Tidak dapat dipahamkan, kalau tidak beritikaf dimasjid, boleh mencampuri.[17]




BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Dari pembahasan yang sangat singkat ini, mungkin dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa, memahami dilâlah al-manthuq dan ­dilâlah al-mafhum sangatlah penting bagi kehidupan seseorang demi kebenaran terhadap pemahaman-pemahaman nash-nash al-Qur'an maupun as-Sunnah.
Di kalangan Ulama Ushul terdapat perbedaan dalam memahami dan melihat lafal nash dan cara penunjukkan dilalahnya dalam kaitannya dengan kesimpulan hukum yang akan diambil atau ditetapkan. Perbedaan ini bukan saja dari segi penyebutan istilah yang digunakan, tetapi juga mereka berbeda dalam hal pengamalan atau penerapannya.
Jika kalangan Hanafi membagi dilalah lafal nash kepada empat macam bentuk dilâlah, yaitu ; ‘ibârat nash, isyârat al-nash, dilâlat al-nash dan iqtidlâ’ al-nash, maka kalangan Syafe’i membaginya kepada dua macam, yaitu ; dilâlat manthûq dan dilâlat mafhûm. Dilihat mafhûm dibagi pula kepada dua macam yaitu ; mafhûm muwâfaqah dan mafhûm mukhâlafah. Sebetulnya bila dicermati antara istilah yang digunakan oleh Hanafi dan Syafe’i, sekalipun berbeda, tetapi dari segi maksudnya ada kesamaannya. Jika Hanafi menyebut dilâlat ‘ibârat al-nash, maka Syafe’i menyebutnya dengan dilâlat manthûq.

B.      Saran
Akhir kalam, dengan sebuah harapan semoga makalah yang sangat singkat ini dapat bermanfaat serta membantu dalam memahami dilâlah al-manthuq dan ­dilâlah al-mafhum, sehingga pemahaman terhadap teks-teks yang telah ada sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

KEPUSTAKAAN

Syarifuddin, Amir. 2001. Ushul Fiqh, Jilid II. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu

Sya’ban, al-Din. 1965. Ushul al-Fiqh al-Islami. Mesir: Dar al-Ta’lif

Zuhaili, Wahbah. 1986. Ushul al-Fiqh al-Islam, Jilid I. Damaskus: Dar al-Fikr


shttp://muhithul-ulum.blogspot.com/2009/09/mafhum-mantuq.html







[18][1]   al-Din Sya’ban, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Mesir; Dar al-Ta’lif, 1965),  h. 376-377
[19][2] Ibid.,
[20][3] Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islam, Jilid I, Damaskus ; Dar al-Fikr, 1986), h. 360
[21][4] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, Jakarta ; PT. Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 145
[22][5] Ibid., h. 146
Dilalatu al-Iqtidha
            Definisinya sebagaimana dikutip oleh Sa’id al-Khin:
دلالة الكلام على معنى يتوقف على تقديره صدق الكلام أو صحته عقلا أو شرعا.
“Penunjukkan pembicaraan atas makna di mana kebenaran dan kesahihan pembicaraan itu dapat  diterima secara akal dan syara’”.[9]
            Para Ulama Ushul membagi ‘dilalah iqtidha’ menjadi tiga bagian:
  1. Sesuatu yang harus dimunculkan untuk kebenaran suatu ucapan. Misalnya, hadits Nabi Saw:
رفع عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه.
“Dihapus dari umatku, kesalahan, lupa, dan segala sesuatu yang memaksa mereka lakukan”. [10]
            Sesungguhnya kata-kata: kesalahan dan lupa tidak mungkin dihapus (dicabut), karena sifat kesalahan dan lupa tidak mungkin dihapus karena telah terjadi (berlalu), karenanya harus ditaqdirkan sehingga pembicaraan itu menjadi benar. Karena kata yang dimaksud adalah menghapus dosa. Maksudnya Allah memaafkan dosanya.[11]
  1. Sesuatu yang harus dimunculkan untuk kebenaran suatu ungkapan secara akal. Misalnya, firman Allah:
“Dan tanyalah (penduduk) negeri yang Kami berada disitu, dan kafilah yang Kami datang bersamanya, dan Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang benar". Qs.12:82.
            Sesungguhnya dalam ungkapan ini harus ditakdirkan lafadz di dalamnya supaya dapat diketahui dan sah secara akal, karenanya kata yang dimunculkan adalah ‘penduduk’ sebelum kata ‘negeri’, sehingga menjadi ‘penduduk negeri’. Karena tidak mungkin secara akal dilontarkan pertanyaan kepada negeri.
  1. Sesuatu yang harus dimunculkan untuk benarnya suatu ungkapan secara syara’. Misalnya, Firman Allah:
“Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik”. Qs.2:187. 
            Dalam ayat ini tidak dinyatakan maaf secara syar’I kecuali jika dilakukan diyat. Karenanya kata yang dmunculkan di sini adalah diyat.[12]
Metode Ulama Mutakallimin.
Metode dilalatul alfadz dalam Ulama mutakallimin terbagi menjadi dua, yaitu: 1) Mantuq, 2) Mafhum
Mantuq (منطوق)
Sebagaimana yang dikutip oleh Sa’id al-Khin, definisinya sebagai berikut:
  ما دل عليه اللفظ في محل النطق   
“Penunjukkan lafadz menurut apa yang diucapkan”.[13]
Definisi ini mengandung arti bahwa kita memahami suatu hukum dari apa yang langsung tersurat dalam lafadz itu, baik penyebutannya langsung atau tidak.
Misalnya, firman Allah:
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka” Qs.17:23
Hukum yang tersurat dari ayat ini adalah larangan mengucapkan kata ‘uff’.
Contoh lain, dalam surat An-Nisa: 23
(Diharamkan atas kamu mengawini) anak-anak tiri yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, Qs.4:23
Ayat ini menunjukkan larangan menikahi anak tiri yang berada dalam asuhan suami dari istri yang digauli. Dua masalah diatas ini menunjukkan lafadz berdasar apa yang diucapkan (manthuq). 
Mafhum (مفهوم)
Definisinya sebagai berikut:
ما دل عليه اللفظ لا في محل النطق بأن يكون حكما لغير المذكور وحالا من أحواله .
“Penunjukkan lafadz menurut yang tidak disebutkan bahwasanya berlakunya hukum bukan berdasar yang disebutkan”.[14]
Misalnya, firman Allah:
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" Qs.17:23.
Ayat ini menunjukkan dan dapat dilihat dari sisi mafhumnya pelarangan memukul orang tua.
Contoh lainnya dalam surat An-Nisa:25.
“Dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki”. Qs.4: 25.
Ayat ini menunjukkan haramnya atau tidak bolehnya menikahi hamba sahaya yang tidak beriman. Dua hal diatas ini menunjukkan atas lafadz berdasar dengan yang tidak disebutkan (mafhum). 
Macam-macam Mafhum
            Mafhum terbagi menjadi dua bagian:
  1. Mafhum Muwafaqah
  2. Mafhum Mukhalafah[15]
Mafhum Muwafaqah (Mafhum Kesamaan)
Definisi yang dikutip oleh Sa’id dan al-Khin:
دلالة اللفظ على ثبوت حكم المنطوق به للمسكوت عنه وموافقته له نفيا أو إثباتا لاشتراكهما في معنى يدرك من اللفظ مجرد بمعرفة اللغة دون الحاجة إلى بحث واجتهاد.
 “Penunjukkan lafadz atas  berlakunya hukum dari masalah yang disebutkan (manthuq) bagi masalah yang tidak disebutkan (maskut) dan penyesuaiannya baik secara tidak pasti (nafy) atau tidak pasti (itsbat) bagi pelibatan keduanya atas makna dan dapat diketahui dengan hanya memahami bahasa tanpa memerlukan nalar dan ijtihad ”.          
Berhujjah dengan Mafhum Muwafaqah
            Kita sudah memahami di atas bahwa mafhum mukholafah adalah sama dengan dilalah nash sebagaimana metode hanafiah.
            Dalam berhujjah dengan mafhum muwafaqah ini tidak ada perbedaan di antara para fuqoha kecuali pendapat dari mazhab Zahiri bahwa tidak bisa berhujjah dengan mafhum muwafaqah. Karena mereka menganggapnya masuk dalam bab qiyas, sedangkan mereka menafikan qiyas.[17]            
Atsar Ikhtilaf
Bahwa perbedaan dalam kaidah ini memiliki pengaruh besar dalam perbedaannya dengan cabang, dari perbedaan cabang itulah yang menjadikan perbedaan yang muncul dalam kaidah ini.
Berikut contoh yang dikutip dari Mustafa Said al-Khin.[18]
Hukum orang yang berbicara dalam shalat baik lupa, salah maupun tidak tahu
Dalam mazhab syafi’I, Malik dan Hambali dan disebutkan oleh Nawawi bahwa orang yang berbicara dalam shalat dengan berbicara sedikit baik ia lupa atau salah maka shalatnya tidak batal. Mereka berhujjah dengan umumnya dalil hadits Nabi Saw:
رفع عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه.
“Dihapus dari umatku, kesalahan, lupa, dan segala sesuatu yang memaksa mereka lakukan”.
Mereka berpendapat bahwa lafadz hukum ini umum mencakup pula hukum duniawi, karenanya tidak batal.
Mereka menguatkan juga masalah ini dengan hadits ذي اليدين  sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah r.a:
صلّى لنا رسول الله r صلاة العصر فسلّم في ركعتين ، فقام ذو اليدين فقال: أقصرت الصلاة يا رسول الله أم نسيت ؟ فقال رسول الله r : كل ذلك لم يكن ، فقال: قد كان بعد ذلك يا رسول الله ، فأقبل رسول الله على الناس فقال: أصدق ذو اليدين ؟ فقالوا: نعم يا رسول الله ، فأتمّ رسول الله r ما بقي من الصلاة ثم سجد سجدتين وهو جالس بعد التسليم. [19]
 "Rasulullah Saw shalat bersama kami shalat ashar, kemudian ia salam dalam dua rekaat. Kemudian dzil yadain bangun dan berkata: Apakah anda singkatkan shalat ya rasululloh atau anda lupa? Maka Rasululloh Saw bersabda: Tidaklah demikian, orang tadi mengatakan: sungguh baru sebagian ya Rasulloh. Maka Rasul Saw menghadap kepada para shahabat dan berkata: Apakah benar dzulyadain ini? Shahabat berkata: benar ya rasul. Kemudian Rasul Saw menyempurnakan sisa shalat tadi lalu ia sujud diantara dua sujud sementara ia duduk setelah melakukan salam". 
Imam Syafi’i mengatakan dalam kitabnya al-Umm bahwa orang yang berbicara dalam shalat dan ia menganggap shalatnya telah sempurna atau ia lupa bahwasanya ia dalam keadaan shalat kemudian ia berbicara, maka shalatnya sah dengan melaksanakan sujud sahwi berdasar hadits dzil yadain.
Sementara siapa yang berbicara dalam keadaan seperti ini dan dia menganggap itu bukan dalam shalat, maka berbicara di luar shalat itu adalah mubah.
Hal ini tidak bertentangan dengan hadits Ibnu Mas’ud dan hadits dzil yadain, karena hadits Ibnu Mas’ud menunjukkan pembicaraan secara umum. Hadits dzil yadain menunjukkan bahwa Rasulullah Saw membedakan antara berbicara dengan sengaja atau lupa, karena hal itu dalam shalat, atau si pembicara berpandangan bahwa ia telah menyempurnakan shalatnya.[20]
Hadits Ibnu Mas’ud yang disebutkan Sya’fii sebagai berikut:
كنا نسلّم على رسول الله r وهو في الصلاة قبل أن نأتي أرض الحبشة فيردّ علينا وهو في الصلاة ، فلمّا رجعنا من أرض الحبشة أتيته لأسلّم عليه فوجدته يصلّي فسلّمت عليه فلم يردّ علي ، فأخذني ما قرب وما بعد ، فجلست حتى إذا قضى صلاته أتيته ، فقال: إن الله يحدث من أمره ما يشاء . ومما أحدث الله عزّ وجلّ أن لا تتكلموا في الصلاة.
 “Kami pernah mengucapkan salam kepada Rasululloh Saw dan  Rasul sedang shalat sebelum kami datang ke Habasyah, maka Rasul menjawab salam kami sementara ia sedang shalat. Namun ketika kami pulang dari Habasyah, saya datang memberi salam kepadanya, saya dapatkan Rasul sedang shalat dan saya mengucapkan salam kepadanya tapi ia tidak menjawabnya. Kemudian saya mendekatinya dan saya duduk sampai Rasul selesai shalat, saya menghampirinya. Rasul bersabda: Sesungguhnya Allah  memutus permasalahannya dengan apa yang Ia kehendaki. Dan sesungguhnya apa yang telah diputuskan Allah Swt hendaknya kalian jangan berbicara dalam shalat”. [21] 
Pendapat yang kedua adalah pendapat mazhab Hanafi yang menyebutkan bahwa orang yang berbicara dalam shalat baik sengaja maupun lupa maka shalatnya batal.
Mereka berpendapat dengan hadits dari Muawiyah bin Hakam sebagaimana Rasululloh bersabda:
إنّ هذه الصلاة لا يصلح فيها شيء من كلام النّاس وإنما هي التسبيح والتكبير وقراءة القرآن.
“Sesungguhnya shalat ini tidak boleh di dalamnya pembicaraan manusia, dan sesugguhnya shalat itu tasbih, takbir dan membaca Al-Qur’an”.[22]
Mereka juga berhujjah dengan hadits Ibnu Mas’ud dan hadits "رفع عن أمتي.." yang berarti menghapus dosa dan mereka tidak mengatakan umumnya dalil (عموم المقتضى).
Dengan demikian perlu mendapat perhatian bahwa Syafi’i tidaklah mengemukakan dalam kitabnya al-umm dalil (penunjukkan) tentang masalah ini dengan umumnya dalil, hanya penunjukkan dalilnya terbatas pada hadits dzil yadain saja. Bahwa telah dijawab argumentasi hanafiah dengan dua hadits: hadits Ibnu Mas’ud dan hadits Muawiyah bin Hakam, bahwa hadits dzil yadain belakangan daripada hadits Ibnu Mas’ud dan bahwasanya Rasul Saw tidak memerintahkan  Muawiyah bin Hakam untuk mengulang shalat. Serta dijawab pula bahwa sangkaan dzil yadain terbunuh di perang Badar, padahal Abu Hurairah masuk Islam paska penaklukan khaibar dan antara keduanya masa yang panjang. Dijawab bahwa dzil yadain bernama khirbaq[23]. Adapun yang terbunuh di Badar adalah dzu syamalain[24]. Sekiranya keduanya disebut dzul yadain hanya nama saja seperti nama yang bermiripan.[25] 
Penutup
            Dari pemaparan di atas, dapat difahami bahwa para Ulama mempunyai dua metode dalam dilalah. pertama, metode Ulama Hanafiah. Kedua, metode Ulama Mutakallimin.
            Dilalah dalam metode Ulama Hanafiah melalui empat dilalah, yakni dilalah ibarah, dilalah nash, dan dilalah iqtidha. Sedangkan metode Ulama melalui empat dilalah yang terangkum di dalam Manthuq dan Mafhum. Selanjutnya ada persamaan antar dua metode ini yaitu dilalatu al-iqtidha dan dilalatu an-nas hanafiah. Hanya saja dilalatu an-nas hanafiah dengan nama mafhum muwafaqah pada Ulama mutakallimin. Adapun ibaratu an-nas sama dengan manthuq pada Ulama mutakallimin.
            Telah menjadi terang bahwa perbedaan mereka pada perbedaan metode dalam pembagian masing-masing, walaupun keduanya sampai pada nilai-nilai yang berdekatan. Perbedaannya hanya pada nama bukan pada substansi.

[1] Mustafa Sa’id al-Khin, Atsaru al-Khilaf fi al-Qowaid al-Ushuliyah fi al-ikhtilafi al-Fuqoha (Beirut: Muassasah ar-Risalah, cet 7, 1998) hal 128.
[2] Abu Bakar Muhammad bin Ahmad al-Sarkhasi, Ushul al-Sarkhasi (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyyah,1993) hal 236.
[3] Mustafa Sa’id al-Khin, op.cit, hal 128.
[4] Abu Bakar Muhammad bin Ahmad al-Sarkhasi, op.cit,. hal 236.
[5] Mustafa Said al-Khin, Loc.cit, hal 129.
[6] Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, tt) hal 356.
[7] Mustafa Sa’id al-Khin, hal 133.
[8] Abdul Karim Zaidan, op.cit, hal 361.
[9] Mustafa Sa’id al-Khin, hal 136.
[10] Hadits diriwayatkan oleh at-Tabrani dalam kitabnya al-Kabir dari Tsauban.
[11] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Cairo: Daar al-Fik al-Arabi, 1997) hal 128.
[12] Ibid, hal 129.
[13] Mustafa Sa’id al-Khin, hal 138.
[14] Ibid, hal 139.
[15] Mafhum Mukhalafah tidak dibahas disini karena akan dibahas oleh pemakalah berikutnya.
[16] Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustashfa fi ilmi al-Ushul, jilid 1, hal 191.
[17] Mustafa Sa’id al-Khin, hal 150.
[18] Ibid, hal 157.
[19] Muslim, dalam Bab Sujud Sahwi, Hadits No. 573, Bukhori Jilid 2/66 dalam Sujud Sahwi.
[20] Muhammad bin Idris, Al-Umm, Jilid 1 (Beirut: Darul Kutub ilmiyyah, 1993), hal 237).
[21] Bukhari, (Juz 2, hadits 59) dalam bab pelarangan berbicara dalam shalat.
[22] Muslim (Juz 2, hadits 75) dalam bab larangan berbicara dalam shalat.
[23] Dzul Yadain bernama Abdu Amr bin Nadhlah l-Khuza’i , disebutkan bahwa Dzu Syamalain mati syahid di Badar. Hadits yang riwayatkan oleh Abu Hurairah bahwasanya Nabi Saw shalat bersama Abu Hurairah setelah ia masuk Islam pada tahun khaibar, 5 tahun setelah perang Badar. Ditetapkan juga dalam Riwayat Ibnu Sirin dari Abu Hurairah bahwasanya ia shalat bersama Nabi. (Ibnu Hajar al-Asqolani, Al-Ishobah fi Tamyizi as-Shahabah, juz 4, (Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah, 1995, hal 316)
[24] Umair bin Abdi Amr bin Nadhlah al-Khuza’i, ikut menyaksikan perang Badar dan syahid di dalamnya (lihat:Al-Ishabah, Juz 2, hal 345)
[25] Muhammad bin Idris, op.cit,  hal 237-238.
2.       Mafhum di bagi menjadi dua mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah. Jelaskan masing-masing lima. contoh keputusan hukum yang proses penetapannya merujuk dari keduanya !
Mafhum dibedakan menjadi dua bagian, yakni:
  • Mafhum Muwafaqah, yaitu apabila hukum yang dipahamkan sama dengan hukum yang ditunjukkan oleh bunyi lafadz. Seperti contoh hukum haramnya memukul orang tua sama dengan haramnya membentak orang tua (Q.S. Al-Isra’ ayat 23). Yang mana hukum haram "memukul" merupakan mafhum dari dalil haramnya "membentak".
 4Ó|Ós%ur y7•/u‘ žwr& (#ÿr߉ç7÷ès? HwÎ) çn$­ƒÎ) Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $·Z»|¡ômÎ) 4 $¨BÎ) £`tóè=ö7tƒ x8y‰YÏã uŽy9Å6ø9$# !$yJèd߉tnr& ÷rr& $yJèdŸxÏ. Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌŸ2 ÇËÌÈ
dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia
Mafhum muwafaqah ini dibagi menjadi dua bagian:
a)  Fahwal Khitab
yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Seperti memukul orang tua tidak boleh hukumnya, firman Allah SWT yang artinya: jangan kamu katakan kata-kata yang keji kepada kedua orangtua. Kata-kata yang keji saja tidak boleh apalagi memukulnya.
b) Lahnal Khitab
yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan diucapkan. Seperti memakan (membakar) harta anak yatim tidak boleh berdasarkan firman Allah SWT:
¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù’tƒ tAºuqøBr& 4’yJ»tGuŠø9$# $¸Jù=àß $yJ¯RÎ) tbqè=à2ù’tƒ Îû öNÎgÏRqäÜç/ #Y‘$tR ( šcöqn=óÁu‹y™ur #ZŽÏèy™ ÇÊÉÈ
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
(Q.S An-Nisa ayat 10)
Ayat ini melarang memakan harta anak yatim, maka dengan pemahaman perbandingan sepadan (mafhum muwafaqah), perbuatan lain seperti : membakar, menyia-nyiakan, merusak, menterlantarkan harta anak yatim juga diharamkan.
  • Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami berbeda daripada ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun Nafi (meniadakkan). Oleh sebab hal itu yang diucapkan. Seperti firman Allah SWT:
apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli
dari ayat ini dipahami bahwa boleh jual beli dihari Jum’at sebelum azan dikumandangkan dan sesudah mengerjakan shalat Jum’at. Dalil Khitab ini dinamakan juga mafhum mukhalafah.
Macam-macam mafhum mukhalafah
Mafhum Shifat
yaitu menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya. Seperti firman Allah SWT.
㍃̍óstGsù 7pt7s%u‘ 7poYÏB÷s•B
Hendaklah bebaskan seorang budak (hamba sahaya) yang mukmin” (Q.S. An-Nisa ayat 92)
Mafhum ’illat
yaitu menghubungkan hukum sesuatu menurut ’illatnya. Mengharamkan minuman keras karena memabukkan.
Mafhum ’adat
yaitu memperhubungkan hukum sesuatu kepada bilangan tertentu. Firman Allah SWT:
tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù’tƒ Ïpyèt/ö‘r’Î/ uä!#y‰pkà­ óOèdr߉Î=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ ã
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, (Q.S. An-Nur ayat 4)
Mafhum ghayah
yaitu lafaz yang menunjukkan hukum sampai kepada ghayah (batasan, hinggaan), hingga lafaz ghayah ini adakalnya ”ilaa” dan dengan ”hakta”. Seperti firman Allah SWT.
$pkš‰r’¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% ’n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ‰÷ƒr&ur ’n<Î) È,Ïù#tyJø9$# ö
apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku,
(Q.S Al-Maidah ayat 6)
Firman Allah SWT
( Ÿwur £`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜtƒ (
dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci
(Q.S. Al-Baqarah ayat 222)
Mafhum had
yaitu menentukan hukum dengan disebutkan suatu ’adad diantara adat-adatnya. Seperti firman Allah SWT.:
Katakanlah: “Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – Karena Sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.
Mafhum Laqaab
yaitu menggantungkan hukum kepada isim alam atau isim fa’il, seperti sabda Nabi SAW
4.       Jelaskan perbedaan antara terjamah, tafsir dan ta’wil dan contoh syarat-syarat menjadi mufasir!
Adapun perbedaan tafsir, takwil dan terjemah itu sendiri dapat dijelaskan sebagai berikut.
a)       Tafsir.
Menerangkan makna lafazh yang telah diterima selama satu hari, selain itu juga menetapkan apa yang dikehendaki ayat yang dikehendaki Allah SWT. Tafsir menurut bahasa adalah penjelasan dan menerangkan, Tafsir diambil dari kata Al-Fasr’ yang berarti membuka dan menjelaskan sesuatu yang tertutup. Oleh karena itu dalam bahsa arab kata tafsir berarti membuka secara maknawi dengan menjelaskan arti yang tertangkap dari redaksional yang eksplisit (tersurat).”at-tafsir” berarti menyingkapkan maksud sesuatu lafadz yang musykil, pelik.
b)                   Takwil
-                      Menetapkan makna yang dikehendaki suatu lafazh yang dapat menerima banyak makna karena didukung oleh dalil.
-                      Mengoleksi salah satu makna yang mungkin diterima oleh suatu ayat tanpa menyakinkan bahwa itulah yang dikehendaki Allah SWT serta menafsirkan batin lafazh.
Arti takwil menurut lughat berarti menerangkan, menjelaskan. Adapun arti bahasanya menurut Az-Zarqoni adalah sama dengan tafsir. Pengertian takwil menurut istilah adalah suatu usaha untuk memahami lafazh-lafazh (ayat-ayat) Al-Qur’an melalui pendekatan pemahaman arti yang dikandung oleh lafazh itu.
-
c)  Terjemah
Mengalihkan bahasa Al-Qur’an yang berasal dari bahasa arab kedalam bahasa non arab.
Arti terjemah menurut bahasa adalah susunan dari suatu bahasa kebahasa atau mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari suatu bahasa lain kesuatu bahasa lain.
Adapun yang dimaksud dengan terjemahan Al-Qur’an adalah seperti dikemukakan oleh “Ash-Shabuni” yakni memindahkan Qur’an kebahasa lain yang bukan bahasa arab dan mencetak terjemah ini kedalam beberapa naskah untuk dibaca orang yang tidak mengerti bahasa arab sehingga dia dapat mengerti dengan benar.
Menafsirkan Al-Quran merupakan amanah berat. Oleh karena itu, tidak setiap orang memiliki otoritas untuk mengemban amanah tersebut. Siapa saja yang ingin menafsirkan Al-Quran harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Adanya persyaratan ini merupakan suatu hal yang wajar dalam semua bidang ilmu. Dalam bidang kedokteran misalnya, seseorang tidak diperkenankan menangani pasien jika tidak menguasai ilmu kedokteran dengan baik. Bahkan jika ia nekad membuka praktek dan ternyata pasien malah bertambah sakit, ia akan dituduh melakukan malpraktek sehingga bisa dituntut ke pengadilan. Demikian juga halnya dengan tafsir Al-Quran, syarat yang ketat mutlak diperlukan agar tidak terjadi kesalahan atau kerancuan dalam penafsiran.
Syarat-syarat seorang dapat menafsirkan quran adalah:
  • Aqidahnya bersih. Bila ada penafsir yang aqidahnya cacat, maka tafsirnya tertolak secara otomatis. Contoh kitab tafsir yang benar-benar bersih secara aqidah adalah Tafsir Ath-Thobari (abad ke-3 H) dan Tafsir Ibnu Katsir.
  • Lepas dari semua pengaruh hawa nafsu. Seorang penafsir quran tidak boleh cenderung kepada manhaj/ golongan/ kelompoknya, melainkan murni menyampaikan tafsir untuk mendapatkan kebenaran.
  • Memiliki ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan ilmu-ilmu quran. Dalam hal ini saya ambil contoh -yang salah- dari JIL. JIL menggunakan ayat ke 165 alBaqarah, yang menyampaikan bahwa semua manusia yang melakukan kebaikan akan mendapat pahala. Ayat ini digunakannya untuk menganggap semua agama itu sama. Padahal, asbabun nuzul ayat tersebut adalah ketika para sahabat bertanya pada Rasulullah Saw mengenai nasib keluarga mereka yang telah meninggal sebelum turunnya Rasulullah Muhammad dan setelah naiknya Rasulullah Isa as.
  • Menguasai ilmu tentang bahasa alQuran (rasa dan makna).
  •  Mengetahui semua pendapat dari zaman dahulu sampai zaman si mufassir ini hidup, kecuali pada hal-hal yang sudah pasti. Dan mampu menentukan pendapat mana yang paling mendekati kebenaran.
  • Memiliki kedalaman pemahaman. Bila ada kesalahan dan dikritik oleh ulama lain yang terbukti lebih shahih, maka bersedia disalahkan.
  • Memiliki niat dan akhlaq yang baik
  • Tidak melakukan hal-hal yang tercela sebagai bukti hormatnya terhadap quran.
  • Berhati-hati dalam menyampaikan pendapatnya, yang berkaitan dengan quran. Bila ilmu mereka sudah tidak mampu mencapainya, hanya mengucapkan, “Allahu a’lam.”
    5.          Jelaskan kemukjizatan al-quran menurut perspektif modern!
Menanggapi masalah definisi mukjizat yang telah dihadirkan para ulama, penulis lebih cenderung pada makna “bukti”, hal ini didasarkan pada bahwa kata “mukjizat” tidak ditemukan dalam al-quran melainkan kata “ayat”. Bukti-bukti inilah yang luar biasa sehingga manusia khusunya masyarakat Arab ketika itu bertekuk lutut atau paling tidak sebenarnya mereka mengakuinya. Diantara bukti-bukti yang luar biasa tersebut adalah pada aspek kebahasaannya, isyarat-isyarat ilmiyah dan muatan hukum yang terkandung didalamnya.
Diantara nilai-nilai tersebut adalah pada aspek kebahasaannya, isyarat-isyarat ilmiyah dan muatan hukum yang terkandung didalamnya. Saking pelik, unik, rumit dan keluar biasanya tak pelak ia menjadi objek kajian dari berbagai macam sudutnya, yang darinya melahirkan ketakkjuban bagi yang beriman dan cercaan bagi yang ingkar.
Namun demikian, seiring dengan waktu dan kemajuan intelkstualitas manusia yang diikuti dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern, sedikit demi sedikit nilai-nilai tersebut dapat terkuak dan berpengaruh terhadap kesadaran manusia akan keterbatasan dirinya, sebaliknya mengokohkan posisi Al-Qur`an sebagai kalam Tuhan yang Qudus yang berfungsi sebagai petunjuk dan bukti terhadap kebenaran risalah yang dibawa Muhammad. Serentetan nilai Al-Qur`an yang unik, pelik, rumit sekaligus luar biasa hingga dapat menundukkan manusia dengan segala potensinya itulah yang lazimnya disebut dengan mukjizat.
Ditilik dari kebahasaan, Al-Qur`an mempunyai kandungan makna luar biasa baik yang dihasilkan dari pemilihan kata, kalimat dan hubungan antar keduanya, efek fonologi terhadap nada dan irama yang sangat berpengaruh terhadap jiwa penikmatanya atau efek fonologi terhadap makna yang ditimbulkan serta deviasi kalimat yang sarat makna. Ditambah lagi adanya keseimbangan redaksinya serta keseimbangan antara jumlah bilangan katanya. Sehingga tak heran bila Al-Qur`an menempatkan dirinya sebagai seambrek simbul yang sangat kominikatif lagi fenomenal.
Tak kalah serunya Al-Qur`an dilihat dari demensi ilmiyah. Bagaimana Al-Qur`an mendiskripsikan tentang reproduksi manusia, hal ihwal proses penciptaan alam beserta frora dan faunanya tentang awan peredaran matahari dan seterusnya yang semua itu dapat dibuktikan keabsahannya melalui kacamata ilmiyah, sehingga menujukkan bahwa Al-Qur`an sejalan dengan rasio dan akal manusia.
Adanya kisah-kisah misterius dalam Al-Qur`an, menempatkannya sebagai ajaran kehidupan yang mencakup total tata nilai mulai hulu peradaban umat manusia hingga hilirnya. Bahwa peristiwa-peristiwa tersebut sengaja dihadirkan oleh Tuhan agar manusia mampu menjadikannya sebagai ‘ibrah kehidupan. Ia merupakan sebuah metode yang dipilih Tuhan untuk menuangkan nilai yang terkandung didalamnya.
Keistimewaan Al-Qur`an yang paling esensi adalah petunjuk hukum secara kooperatif, komprehensif dan holistik baik yang berkenaan masalah akidah, agama, sosial, pilitik dan ekonomi yang secara umum bertolak pada azaz keadilan dan keseimbangan, baik secara jasmani dan rohani, dunia dan akhirat atau manusia sebagai indifidu, social masyarakat atau dengan Tuhannya. Demikianlah yang dapat penulis paparkan dan akhirnya wallahu ‘alam bish-shawab.





[1] Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami – Manhaj al-Mutakallimîn fî Istinbâth al-Ahkâm as-Syar’iyah, Dâr Ibnu Hazm, juz I hal, 359.

[2] Imam as-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, cet. II, Dâr as-Sâlâm, Juz 2 hal. 519
[3] al-Amidi, Al-Ihkam, juz-3, hal. 593.
[4] Al-Faeruz Ăbâdî, Mu’jam al-Wasith, Maktabah as-Syuruq ad-Dauliyah, th. 2004 M, hal. 455.

[5] Ibnu Hajib, Mukhtashar, juz 2 hal. 171.
[6] Al-Faeruz Ăbâdî, Mu’jam al-Wasith, Maktabah as-Syuruq ad-Dauliyah, th. 2004 M, hal. 345.

[7] Imam as-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, cet. II, Dâr as-Sâlâm, Juz 2 hal. 361.
[8] Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustashfa fi ilmi al-Ushul, jilid 1, hal 191.

[9] Imam as-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, cet. II, Dâr as-Sâlâm, Juz 2 hal. 512.
[10] Irsyad al-Fuhul. Imam as-Syaukani. Juz 2 hal 519, Ushul fiqh al-Islami. Dr. Wahbah Zuhaili. Juz 1 hal. 361.

[11] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari: kitab zakat, bab zakat biri-biri / domba. No. 1454.
[12] Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami – Manhaj al-Mutakallimîn fî Istinbâth al-Ahkâm as-Syar’iyah, Dâr Ibnu Hazm, juz I hal, 361.
[13] Ibid. Hal. 364

[14] Ibid hal 365, Irsyad al-fuhul. Imam as-Syaukani. Juz 2 hal 528
[15] Terjemahan ushul fiqh. Prof. Mohammad Abu Zahrah, hal. 234
[16] Irsyad al-Fuhul. Imam as-Syaukani, juz. 2 hal. 530
[17] http://ridwan202.wordpress.com/2008/08/14/mantuq-dan-mafhum-dalam-ilmu-ushul-fiqh/





Tidak ada komentar:

Posting Komentar