BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Segala perintah yang diperintahkan oleh Syari’
baik itu yang terdapat dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah semuanya
mempunyai dilâlah yang bermacam-macam serta metode yang berbeda-beda
untuk mencetuskan sebuah hukum yang diinginkan oleh Allah swt. Bukan berarti dilâlah
lafadz tersebut sudah cukup hanya dengan dipahami dari segi bahasa yang
diungkapkan oleh lafad tersebut atau hanya dengan memahami manthuq sharih
dari lafad itu sendiri, akan tetapi disamping itu masih terdapat dilâlah
lain yang juga dijadikan pegangan oleh para ulama’ Ushul dalam meng-istinbath-kan
sebuah hukum, seperti dilalah al-Isyarah, al-Iqtidha’, at-Tanbih, serta
tidak sedikit dari para kalangan Ulama itu sendiri yang menggunakan mafhum
mukhâlafah meskipun imam Abu Hanifah mengingkari dalam menggunakan mafhum
mukhâlafah tersebut.[1]
Ketika seorang mujtahid berkeinginan untuk meng-istinbath-kan
sebuah hukum baik itu yang sudah disinggung dalam nash-nash yang ada maupun
yang tidak disinggung sama sekali, maka terlebih dahulu ia harus mengetahui
atau mempelajari alat-alat yang dapat membawanya pada hukum tersebut. Alat-alat
inilah yang oleh kalangan ulama’ Ushul disebut dengan “ Dilalah Lafdziyah“.
Dr. Abd. Ra’uf Mufdhî Kharâbasyah menyebutkan bahwa dilâlah ladfziyah ini
terbagi menjadi tiga bagian: yang Pertama: Dilâlah
al-Muthâbaqah, Kedua: Dilâlah at-Tadlammun, dan Ketiga: Dilâlah
al-Iltizâm.[2]
Dari ketiga bentuk dilâlah tersebut, Imam
as-Syaukani membagi lagi menjadi dua bagian yang mana dilâlah al-Muthâbaqah dan
dilâlah at-Tadlammun disebut dengan manthuq sharih, sedangkan dilâlah
al-Iltizâm ini disebut dengan manthuq ghairu sharih.
Dalam makalah yang sederhana ini penulis ingin mencoba
untuk menguraikan sedikit tentang dilâlah mafhum sesuai dengan cara yang
diterapkan oleh kalangan ulama’ dalam menetapkan sebuah hukum sesuai
dengan yang dikehendaki oleh Allah dan para Rasul-Nya. Di kalangan jumhur
berpendapat bahwa dilâlah khitab atau lafadz yang terdapat
dalam al-Qur’an dan al-Hadist, terbagi menjadi dua bagian yang mana ini sesuai
dengan pengertian yang dipaparkan oleh Ibnu al-Hajib, yaitu:
(1) Manthuq; dan (2) Mafhum.[3]
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dilalah manthûq dan mafhûm?
2. Apa perbedaan dilalah manthûq dan mafhûm?
3. Apa klasifikasi mafhûm dan seberapa tingkat
kehujjahannya?
C.
Tujuan Pembahasan
1. Apa pengertian dilalah manthûq dan mafhûm?
2. Apa perbedaan dilalah manthûq dan mafhûm?
3. Apa klasifikasi mafhûm dan seberapa tingkat
kehujjahannya?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
AL- MANTHUQ
1. Definisi
al-Manthuq
Secara
etimologi pengertian al-manthuq adalah sesuatu yang diucapkan (al-Malfûdzu
bihi), lafadz manthuq itu sendiri diambil dari kata ”nathaqa,
yanthiqu, nuthqan, wamanthiqan” yang mempunyai arti takallama
(berbicara).[4]
Al-Faeruz Ăbâdî juga menyebutkan bahwa lafadz ”nathaqa, yanthiqu, nuthqan, wanuthûqan”
mempunyai arti berbicara dengan suara yang keras serta menggunakan huruf-huruf
yang dapat mengetahui arti yang terkandung dalam lafadz tersebut. Jadi manthuq
disini mengandung sebuah pengertian sebuah kalimat yang diucapkan oleh
seseorang serta melafadzkannya.
Sedangkan
definisi manthuq secara terminologis adalah penetapan hukum yang diambil
sesuai dengan bunyi (manthuq) sebuah lafadz.[5] Jadi dilâlah manthuq
kalau ditinjau dari pengertian yang seperti ini adalah dilâlah lafadz
untuk menetapkan adanya sebuah hukum yang disebut dalam pembicaraan, baik
penetapan hukum tersebut dengan menggunakan salah satu dari tiga metode yang
telah ditetapkan oleh para ulama’ Ushul Fiqh yaitu dilâlah al-Muthâbaqah,
at-Tadhammun, serta al-Iltizâm.
2. Pembagian
al-manthuq
Ulama’ Ushul Fiqh selain Abu
Hanifah membagi manthuq menjadi dua bagian yaitu manthuq sharih dan
manthuq ghairu sharih.
a. Manthuq
Sharih
Manthuq
sharih adalah
lafadz yang menunjukkan terhadap adanya sebuah hukum dengan menggunakan dilâlah
al-Muthâbaqah, at-Tadhammun. Seperti firman Allah dalam surat al-Isra'
ayat 23: (فلا تقل لهما أف ) bunyi
(manthuq) yang terdapat dalam ayat tersebut menunjukkan haramnya
perkataan "Ah" terhadap kedua orang tua, pengambilan hukum ini
sesuai dengan bunyi lafadz itu sendiri tanpa membutuhkan ijtihad atau pemikiran
yang dalam untuk mencetuskan hukum tersebut.
b. Manthuq
Ghairu Sharih
Manthuq
ghairu sharih adalah lafadz yang menunjukkan terhadap adanya sebuah makna dengan
menggunakan dilâlah al-Iltizâm. Dilâlah ini oleh
para ulama’ Ushul fiqh dibagi lagi menjadi tiga bagian yaitu: Dilâlah
al-Iqthidha’, dilâlah al-Ima’, dan yang ketiga adalah dilâlah
al-Isyarat. Tiga pembagian ini menurut Imam al-Baidlowi dan imam al-Ghazali
tidak termasuk dari pembagian Manthuq akan tetapi itu termasuk dari
pembagian mafhum, ini sesuai dengan pendapat mereka yang mengatakan
bahwa Manthuq Ghairu Sharih adalah salah satu dari pembagian mafhum
bukan dari pembagian manthuq. Namun yang paling arjah dari
pendapat para ulama’ adalah yang mengatakan bahwa Manthuq ghairu
sharih termasuk dari pembagian manthuq.
B.
AL-MAFHUM
1.
Definisi al-Mafhum
Secara
etimologi pengertian al-mafhum adalah : sebuah ibarat dari
kumpulan beberapa sifat yang menjelaskan terhadap makna secara keseluruhan. al-mafhum
itu sendiri berasal dari kata "fahima as-Syaia fahman dari bab ta'iba"
mempunyai arti : sebuah gambaran yang sangat bagus.[6]
Sedangkan
secara terminilogis makna al-mafhum adalah : lafadz yang
menunjukkan terhadap sesuatu di luar pembicaraan (fi ghairi mahalli an-nuthqi),
dan menjadi sebuah hukum terhadap yang telah ditetapkan.[7]
2.
Pembagian al-Mafhum
Para
ulama yang mengakui adanya mafhum, membagi menjadi dua bagian yaitu mafhum
al-muwâfaqah dan mafhum al-mukhâlafah.
a. Mafhum
al-Muwâfaqah
Selanjutnya masalah
yang tidak disebutkan (maskut) lebih utama dari yang disebutkan (manthuq).
mafhum ini juga dinamakan fahwa al-khitab dan juga ada kesamaan dengan lahnu
al-khitab[8].
Misalnya, firman Allah:
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan
"ah" dan janganlah kamu membentak mereka”. Qs.17:23.
Pernyataan ayat ini
menunjukkan larangan mengatakan ‘uff’ karenanya disebut manthuq. Adapun
larangan memukul adalah maskut (yang tidak disebutkan). Karena kedua makna ini
masuk dalam makna ‘menyakiti’ yang difahami dari lafadz ‘uff’ bahkan
memukul pelarangannya lebih utama.
Mafhum al-Muwâfaqah adalah penunjukan lafadz
terhadap adanya sebuah hukum yang tidak disebutkan dalam suatu nash sesuai
dengan bunyi (manthuq) lafadz tersebut.[9]
Dalam masalah mafhum al-Muwâfaqah para
ulam' ushul fiqh meletakkan nama-nama yang dipakai dalam menyebutnya sesuai
dengan keadaannya, mereka membagi dua bagian:
Pertama: Jika hukum yang tidak disebutkan itu,
lebih utama dari hukum yang terdapat dalam bunyi (manthuq) suatu lafadz,
mereka menyebutnya dengan "fahwâ al-Khithâb" seperti frman
Allah Swt QS. al-Isra' ayat 23: (فلا تقل لهما أف ولا تنهرهما) ayat ini menunjukkan haramnya memukul
kedua orang tua lebih utama, karena bunyi ayat ini menunjukkan haramnya
mengeluarkan kata-kata "Ah" pada kedua orang tua, sedangkan
dengan jalan " fahwâ al-Khithâb" ayat ini menunjukkan haramnya
mencaci maki serta memukul keduanya.
Kedua: Jika hukum yang tidak disebutkan itu,
sama setatusnya dengan hukum yang terdapat dalam bunyi (manthuq) suatu
lafadz, mereka menyebutnya dengan "Lahnu al-Khithâb" seperti
firman Allah Swt. QS. an-Nisa'
ayat 10 : (ان الذين يأكلون أموال اليتامى ظلما انما
يأكلون فى بطونهم نارا وسيصلون سعيرا) bunyi (manthuq) ayat ini
menunjukkan haramnya memakan harta anak yatim, sedangkan dengan pengertian
(mafhum) yang sama ayat ini menunjukkan haramnya membakar harta anak yatim
atau dengan segala sesuatu yang dapat merusak harta tersebut, selain
memakannya.
Para
ulama ushul fiqh sepakat, bahwa mafhum al-muwâfaqah dapat dijadikan
dalil dalam mengistinbathkan sebuah hukum, kecuali dari kalangan adz-Zhâhiriyah
yang mengingkari kehujjahan dari mafhum al-muwâfaqah tersebut.
b. Mafhum
al-Mukhâlafah
Mafhum
al-Mukhâlafah
adalah menetapkan kebalikan dari hukum yang disebut (manthuq) lantaran
tidak adanya suatu batasan (qayd) yang membatasi berlakunya hukum
menurut nashnya.[10]
Mafhum juga disebut dengan dalîl al-khithâb, karena dalilnya
diambil dari jenis perintah itu sendiri.
Misalnya,
sabda Rasulullah saw. : (فى الغنم السائمة الزكاة)[11]
bunyi (manthuq) yamg dikeluarkan hadist tersebut menunjukkan, bahwa
Biri-biri (Domba) yang digembalakan dipadang rumput wajib dikeluarkan zakatnya,
akan tetapi dengan menggunakan mafhum al-mukhâlafah dafat
difahami, bahwa Biri-biri (Domba) yang dipelihara (dibiayai) tidak wajib
dikeluarkan zakatnya.
C. Macam-macam
Mafhum al-Mukhâlafah
Dalam
pembagian mafhum al-mukhâlafah para ulama' ushul fiqh berbeda-beda
pendapat, namun penulis disini ingin mencoba menguraikan sedikit dari berbagai
macam mafhum al-mukhâlafah tersebut.
·
Mafhum al-Washfi (as-Sifat)
Mafhum al-washfi adalah menetapkan hukum dalam bunyi (manthuq)
suatu nash yang dibatasi (diberi qayd) dengan sifat yang terdapat dalam
lafadz, dan jika sifat tersebut telah hilang, maka terjadilah kebalikan hukum
tersebut.[12]
Misalnya,
firman Allah Swt. QS. an-Nisa' ayat 25 yang berbunyi: (ومن لم يستطع منكم طولا أن ينكح المحصنات
المؤمنات فمن ماملكت أيمانكم من فتياتكم المؤمنات) diperbolehkannya mengawini wanita-wanita
budak dalam ayat tersebut adalah dibatasi (diberi qayd) dengan keimanan,
oleh karena itu waita-wanita budak yang tidak beriman tidak halal untuk
dinikahi.
·
Mafhum as-Syart
Mafhum
as-syart
adalah menetapkan kebalikan suatu hukum yang tergantung pada syarat, jika
syarat tersebut telah hilang. Misalnya, firman Allah swt. dalam surat ath-Thalaq:
6 yang berbunyi : (وان كن أولات حمل فأنفقوا عليهن حتى يضعن
حملهن)
ayat tersebut menunjukkan bahwa kewajiban memberikan nafakah kepada isteri yang
dicerai dan tengah menjalani masa 'iddah dibatasi jika isteri tersebut
sedang dalam hamil. Dengan menggunakan mafhum al-mukhâlafah dapat
dipahami, jika isteri yang dicerai tidak dalam keadaan hamil, maka bekas
suaminya tidak berkewajiban memberikan nafkah. Sedangkan dengan menggunakan mafhum
as-syart dapat dipahami, bahwa bekas suami tidak wajib memberikan nafkah
kepada isteri yang dicerai dan tengah menjalani masa 'iddah, kecuali
isteri tersebut dicerai dengan thalaq raj'i atau sedang hamil.
·
Mafhum al-Ghâyah
Mafhum
al-ghâyah
adalah menetapkan hukum yang berada diluar tujuan nash (ghâyah), bila
hukum tersebut dibatasi dengan tujuan (ghâyah)[13].
Dan hukum yang terjadi sesudah ghâyah tersebut berbeda dengan hukum yang
terjadi sebelum ghâyah.
Misalnya,
firman Allah swt. dalam surat al-Baqarah : 222 yang berbunyi : (ولا تقربوهن حتى يطهرن) ayat ini
menunjukkan seorang suami diperbolehkan mencampuri isterinya setelah isteri
tersebut suci dari haid.
·
Mafhum al-'Adad
Mafhum
al-'adad adalah
penetapan kebalikan dari suatu hukum yang dibatasi dengan bilangan, ketika
bilangan tersebut tidak terpenuhi[14].
Misalnya,
firman Allah swt. dalam surat an-Nur : 2 yang berbunyi : (الزانية والزانى فاجلدوا كل واحد منهما مائة
جلدة)
dalam ayat ini ditetapkan hukuman pukulan sebanyak seratus kali bagi siapa saja
yang berzina, hukum pukulan tersebut tidak boleh dikurangi atau ditambah.
Larangan ini adalah didasarkan pada mafhum al-mukhâlafah, yakni jika
suatu hukuman (sanksi) telah ditetapkan ukurannya, maka tidak boleh ditambah
atau dikurangi[15].
·
Mafhum al-Laqab (al-Ism)
Mafhum
al-laqab
adalah menggantungkan adanya sebuah hukum dengan isim 'alam atau isim
nau'[16].
Seperti lafadz "Qâma Zidun" dan "fi al-Ghanami zakâtun".
·
Mafhum al-Hashr
Mafhum
al-hashr
adalah penetapan dari kebalikan suatu hukum dengan menggunakan lafadz-lafadz al-hashr,
seperti lafadz "innamâ, illâ", dan lain sebagainya. Misalnya,
firman Allah swt. QS. an-Nisa' ayat 171 yang berbunyi: (انما الله اله واحد) ayat ini secara manthuq
menunjukkan bahwa sifat ketuhanan itu hanya terdapat pada tuhan yang satu yaitu
Allah swt. sedangkan dengan mafhum mukhâlafah dapat dipahami, bahwa
sifat ketuhanan itu tidak ada pada selain Allah.
Para
ulama ushul fiqh selain dari kalangan imam Abu Hanifah mengakui bahwa semua
macam-macam dari mafhum al-mukhâlafah sebut selain mafhum al-laqab
dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan sebuah hukum.
D. Berhujjah Dengan Mafhum Mukhalafah
Di kalangan ulama sepakat untuk dapat
beramal dan berhujah dengan mafhūm sifat, syarat, adat dan gayah,
kecuali mafhūm laqab. Karena menurut mereka mafhūm laqab
tidak mungkin kita menghasilkan ketentuan hukum kebalikannya. Ulama berbeda
pendapat tentang kekuatan hukum yang ditetapkan melalui beberapa bentuk mafhum
dalam kaitannya dengan teks hukum.
Jumhur ulama berpendapat bahwa nash-nash
hukum memberi petunjuk tentang hukum atas sesuatu kejadian bila dikaitkan
kepada sifat, syarat, bilangan atau batas waktu, mempunyai kekuatan
untuk menetapkan hukum atas kejadian yang memiliki sifat, syarat, bilangan
atau batas waktu tersebut. Begitu pula nash hukum tersebut mempunyai
kekuatan dalam menetapkan hukum yang sebaliknya jika tidak terdapat sifat,
syarat, bilangan atau batas waktu yang sudah berlalu. Alasan kalangan
jumhur ulama:
1.
Yang mudah dipahami dari ungkapan bahasa Arab dan tradisi penggunaan ‘ibaratnya
adalah bahwa mengaitkan sesuatu dengan sifat, syarat, bilangan dan batas
waktu. Untuk menunjukkan berlakunya hukum bila terdapat kaitan tersebut ;
juga menunjukkan tidak berlakunya hukum tersebut bila kaitan itu tidak terdapat
dalam satu keadan.
2.
Kaitan yang terdapat dalam nash syara’ baik dalam bentuk sifat, syarat,
bilangan atau batas waktu, bukanlah tanpa arti. Ia mempunyai maksud
tertentu, yaitu menetapkan hukum dalam kejadian lain, kecuali bila ada
penjelasan tersendiri yang menyatakan adanya maksud lain dari kaitan tersebut.
Dalam keadaan demikian memang tidak berlaku mafhm mukhalafah.
3.
Kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa nash syara’ yang menunjukkan hukum
pada suatu kejadian bila dikaitkan pada suatu sifat, syarat, bilangan
atau batas waktu maka mempunyai kekuatan hukum terhadap kejadian yang
disebutkan sifat, syarat, bilangan atau limit waktu itu saja
secara manthuq. Adapun nash hukum yang tidak ditemukan sifat, syarat,
bilangan dan batas waktu maka tidak dapat diketahui hukumnya dari mafhum
mukhalafahnya, tetapi harus melalui dalil lain. Hal ini berarti kita tidak
dapat menetapkan hukum apapun hanya melalui
mafhûm mukhâlafah saja. Adapun yang menjadi alasan dari kalangan
Hanafiyah adalah:
a. Tidaklah umum dalam
ungkapan bahasa arab bahwa mengaitkan hukum dengan sifat, syarat, bilangan
atau limit waktu berarti menunjukkan berlakunya hukum ketika ada
kaitannya itu, dan hukum tidak berlaku bila kaitan itu tidak ada. Cukup banyak
ungkapan bahasa arab yang dikaitkan dengan salah satu dari kaitan itu (sifat,
syarat, bilangan dan limit waktu) tetapi tidak mengandung daya mahfûm
(tersirat). Umpamanya firman Allah yang berikut ini:
يـايـهـاالـذ يـن امـنـوا لا تـا كلـوا الـربــوا ا ضـعـا فــا مـضا
عـفـة ...
“Wahai orang-orang
yang beriman janganlah kamu memakan riba’ secara berlipat ganda…”
Mantuq ayat
ini, larangan riba’ diberi kaitan dengan sifat berlipat ganda. Meskipun
demikian riba’ tetap saja haram sekalipun dilakukan tidak dengan cara berlipat
ganda.
b. Banyak nash syara’
yang menunjukkan suatu hukum yang diberi kaitan dengan suatu kait, namun hukum
itu tetap saja berlaku meskipun kaitan itu tidak ada. Shalat dalam perjalanan
tetap dapat diqashar meskipun orang yang melakukannya tidak lagi dalam
keadaan takut diserang dalam peperangan, padahal kebolehan qashar shalat itu
diberi syarat kalau takut mendapat serangan dari orang-orang kafir.
Allah berfirman dalam surat al-Nisa’ (4): 101:
#sŒÎ)ur ÷LäêöuŽŸÑ ’Îû ÇÚö‘F{$# }§øŠn=sù öä3ø‹n=tæ îy$uZã_ br& (#rçŽÝÇø)s? z`ÏB Ío4qn=¢Á9$# ÷bÎ) ÷LäêøÿÅz br& ãNä3uZÏFøÿtƒ tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. 4 ÇÊÉÊÈ
“Bila kamu
melakukan perjalanan di atas bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat
bila kamu khawatir diserang oleh orang-orang kafir…”
Bila
mengamalkan mafhûm mukhâlafah dari ayat ini tentu tidak boleh lagi mengqashar
shalat di waktu tidak ada lagi peperangan. Qashar shalat masih berlaku
meskipun peperangan tidak ada lagi, berarti mafhûm mukhlâfah tidak
diamalkan dalam pemahaman ayat ini.
E.
Syarat-Sayrat Mafhum Mukhalafah
Ulama yang membolehkan berhujjah dengan mafhum mukhalafah mengemukakan
beberapa syarat dalam menggunakan mafhum mukhalafah sebagai hujjah. Syarat
tersebut:
1.
Mafhum mukhalafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil
mantuq maupun mafhum muwafaqah. Contoh yang berlawanan dengan dalil mantuq: Q.
S Isra’(17): 31:
Ÿwur (#þqè=çGø)s? öNä.y‰»s9÷rr& spu‹ô±yz 9,»n=øBÎ) ( ÇÌÊÈ
“Dan janganlah kamu
membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan”
Mafhumnya, kalau bukan karena takut kemiskinan di¬bunuh, tetapi mafhum
mukhalafah ini berlawanan dengan dalil manthuq, ialah: Q.S Isra’(17): 33)
Ÿwur (#qè=çFø)s? }§øÿ¨Z9$# ÓÉL©9$# tP§ym ª!$# žwÎ) Èd,ysø9$$Î 3 ÇÌÌÈ
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya),
melainkan dengan suatu (alasan) yang benar”
Contoh yang berlawanan
dengan mafhum muwafaqah: Q.S Isra (17): 23
Ÿwur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌŸ2 ÇËÌÈ
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan
"ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
Perkataan yang mulia”
Yang disebutkan, hanya
kata-kata yang kasar mafhum mukhalafahnya boleh memukuli. Tetapi mafhum ini
berla¬wanan dengan mafhum muwafaqahnya, yaitu tidak boleh memukuli.
2.
Yang disebutkan (manthuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi.
Contoh: Q.S
An-Nisa’ ayat 23
ã@Í´¯»n=ymur ãNà6ͬ!$oYö/r& tûïÉ©9$# ô`ÏB öNà6Î7»n=ô¹r&.... ÇËÌÈ
“Dan anak tirimu yang ada dalam
pemeliharaanmu”
Dan perkataan “yang ada dalam pemeliharaanmu” tidak boleh dipahamkan bahwa
yang tidak ada dalam peme¬liharaanmu boleh dikawini. Perkataan itu disebutkan,
se-bab memang biasanya anak tiri dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya.
3.
Yang disebutkan (manthuq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu
keadaan.
Contoh:
“Orang Islam
ialah orang yang tidak mengganggu orang-¬orang Islam lainnya, baik dengan
tangan ataupun dengan lisannya (Hadits)”.
Dengan perkataan “orang-orang Islam (Muslimin) tidak dipahamkan bahwa
orang-orang yang bukan Islam boleh diganggu. Sebab dengan perkataan tersebut
dimaksudkan, alangkah pentingnya hidup rukun dan damai di antara orang-orang
Islam sendiri.
4.
Yang disebutkan (manthuq) harus berdiri sendiri, tidak mengikuti kepada
yang lain.
Contoh: Q.S
Al-Baqarah ayat 187:
Ÿwur ÆèdrçŽÅ³»t7è? óOçFRr&ur tbqàÿÅ3»tã ’Îû ωÉf»|¡yJø9$# 3 ÇÊÑÐÈ
“Janganlah kamu campuri mereka (isteri-isterimu) padahal kamu sedang
beritikaf di masjid”
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang sangat singkat ini, mungkin dapat
diambil sebuah kesimpulan bahwa, memahami dilâlah al-manthuq dan dilâlah
al-mafhum sangatlah penting bagi kehidupan seseorang demi kebenaran
terhadap pemahaman-pemahaman nash-nash al-Qur'an maupun as-Sunnah.
Di kalangan
Ulama Ushul terdapat perbedaan dalam memahami dan melihat lafal nash dan cara
penunjukkan dilalahnya dalam kaitannya dengan kesimpulan hukum yang akan
diambil atau ditetapkan. Perbedaan ini bukan saja dari segi penyebutan istilah
yang digunakan, tetapi juga mereka berbeda dalam hal pengamalan atau
penerapannya.
Jika kalangan
Hanafi membagi dilalah lafal nash kepada empat macam bentuk dilâlah, yaitu ;
‘ibârat nash, isyârat al-nash, dilâlat al-nash dan iqtidlâ’ al-nash, maka
kalangan Syafe’i membaginya kepada dua macam, yaitu ; dilâlat manthûq dan
dilâlat mafhûm. Dilihat mafhûm dibagi pula kepada dua macam yaitu ; mafhûm
muwâfaqah dan mafhûm mukhâlafah. Sebetulnya bila dicermati antara istilah yang
digunakan oleh Hanafi dan Syafe’i, sekalipun berbeda, tetapi dari segi
maksudnya ada kesamaannya. Jika Hanafi menyebut dilâlat ‘ibârat al-nash, maka
Syafe’i menyebutnya dengan dilâlat manthûq.
B. Saran
Akhir
kalam, dengan sebuah harapan semoga makalah yang sangat singkat ini dapat
bermanfaat serta membantu dalam memahami dilâlah al-manthuq dan dilâlah
al-mafhum, sehingga pemahaman terhadap teks-teks yang telah ada sesuai
dengan apa yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
KEPUSTAKAAN
Syarifuddin,
Amir. 2001. Ushul Fiqh, Jilid II.
Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu
Sya’ban,
al-Din. 1965. Ushul al-Fiqh al-Islami.
Mesir: Dar al-Ta’lif
Zuhaili,
Wahbah. 1986. Ushul al-Fiqh al-Islam,
Jilid I. Damaskus: Dar al-Fikr
shttp://muhithul-ulum.blogspot.com/2009/09/mafhum-mantuq.html
Dilalatu al-Iqtidha
Definisinya sebagaimana dikutip oleh Sa’id al-Khin:
دلالة الكلام
على معنى يتوقف على تقديره صدق الكلام أو صحته عقلا أو شرعا.
“Penunjukkan pembicaraan atas makna di mana kebenaran
dan kesahihan pembicaraan itu dapat diterima secara akal dan syara’”.[9]
Para Ulama Ushul membagi ‘dilalah iqtidha’ menjadi tiga bagian:
- Sesuatu yang harus dimunculkan untuk kebenaran
suatu ucapan. Misalnya, hadits Nabi Saw:
رفع عن أمتي الخطأ والنسيان وما
استكرهوا عليه.
Sesungguhnya kata-kata: kesalahan dan lupa tidak mungkin dihapus (dicabut),
karena sifat kesalahan dan lupa tidak mungkin dihapus karena telah terjadi
(berlalu), karenanya harus ditaqdirkan sehingga pembicaraan itu menjadi benar.
Karena kata yang dimaksud adalah menghapus dosa. Maksudnya Allah memaafkan
dosanya.[11]
- Sesuatu yang harus dimunculkan untuk kebenaran
suatu ungkapan secara akal. Misalnya, firman Allah:
“Dan tanyalah (penduduk) negeri yang Kami berada
disitu, dan kafilah yang Kami datang bersamanya, dan Sesungguhnya Kami adalah
orang-orang yang benar". Qs.12:82.
Sesungguhnya dalam ungkapan ini harus ditakdirkan lafadz di dalamnya supaya
dapat diketahui dan sah secara akal, karenanya kata yang dimunculkan adalah
‘penduduk’ sebelum kata ‘negeri’, sehingga menjadi ‘penduduk negeri’. Karena
tidak mungkin secara akal dilontarkan pertanyaan kepada negeri.
- Sesuatu yang harus dimunculkan untuk benarnya
suatu ungkapan secara syara’. Misalnya, Firman Allah:
“Maka Barangsiapa yang mendapat
suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan
cara yang baik”. Qs.2:187.
Dalam ayat ini tidak dinyatakan maaf secara syar’I kecuali jika dilakukan
diyat. Karenanya kata yang dmunculkan di sini adalah diyat.[12]
Metode Ulama Mutakallimin.
Metode dilalatul alfadz dalam
Ulama mutakallimin terbagi menjadi dua, yaitu: 1) Mantuq, 2) Mafhum.
Mantuq (منطوق)
Sebagaimana
yang dikutip oleh Sa’id al-Khin, definisinya sebagai berikut:
ما دل عليه
اللفظ في محل النطق
“Penunjukkan lafadz menurut apa yang
diucapkan”.[13]
Definisi ini
mengandung arti bahwa kita memahami suatu hukum dari apa yang langsung tersurat
dalam lafadz itu, baik penyebutannya langsung atau tidak.
Misalnya,
firman Allah:
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada
keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka” Qs.17:23
Hukum yang
tersurat dari ayat ini adalah larangan mengucapkan kata ‘uff’.
Contoh lain,
dalam surat An-Nisa: 23
(Diharamkan atas kamu mengawini) anak-anak tiri yang
dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, Qs.4:23
Ayat ini menunjukkan larangan
menikahi anak tiri yang berada dalam asuhan suami dari istri yang digauli. Dua
masalah diatas ini menunjukkan lafadz berdasar apa yang diucapkan (manthuq).
Mafhum (مفهوم)
Definisinya
sebagai berikut:
ما دل عليه
اللفظ لا في محل النطق بأن يكون حكما لغير المذكور وحالا من أحواله .
“Penunjukkan lafadz menurut yang
tidak disebutkan bahwasanya berlakunya hukum bukan berdasar yang disebutkan”.[14]
Misalnya, firman Allah:
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada
keduanya Perkataan "ah" Qs.17:23.
Ayat ini menunjukkan dan dapat
dilihat dari sisi mafhumnya pelarangan memukul orang tua.
Contoh lainnya dalam surat
An-Nisa:25.
“Dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang
tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia
boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki”. Qs.4:
25.
Ayat ini menunjukkan haramnya atau
tidak bolehnya menikahi hamba sahaya yang tidak beriman. Dua hal diatas ini
menunjukkan atas lafadz berdasar dengan yang tidak disebutkan (mafhum).
Macam-macam Mafhum
Mafhum terbagi menjadi dua bagian:
- Mafhum Muwafaqah
- Mafhum Mukhalafah[15]
Mafhum Muwafaqah (Mafhum Kesamaan)
Definisi
yang dikutip oleh Sa’id dan al-Khin:
دلالة اللفظ على ثبوت حكم المنطوق به
للمسكوت عنه وموافقته له نفيا أو إثباتا لاشتراكهما في معنى يدرك من اللفظ
مجرد بمعرفة اللغة دون الحاجة إلى بحث واجتهاد.
“Penunjukkan lafadz atas
berlakunya hukum dari masalah yang disebutkan (manthuq) bagi masalah yang tidak
disebutkan (maskut) dan penyesuaiannya baik secara tidak pasti (nafy) atau
tidak pasti (itsbat) bagi pelibatan keduanya atas makna dan dapat diketahui
dengan hanya memahami bahasa tanpa memerlukan nalar dan ijtihad ”.
Berhujjah dengan Mafhum Muwafaqah
Kita sudah memahami di atas bahwa mafhum mukholafah adalah sama dengan dilalah
nash sebagaimana metode hanafiah.
Dalam berhujjah dengan mafhum muwafaqah ini tidak ada perbedaan di
antara para fuqoha kecuali pendapat dari mazhab Zahiri bahwa tidak bisa
berhujjah dengan mafhum muwafaqah. Karena mereka menganggapnya masuk dalam bab
qiyas, sedangkan mereka menafikan qiyas.[17]
Atsar Ikhtilaf
Bahwa
perbedaan dalam kaidah ini memiliki pengaruh besar dalam perbedaannya dengan
cabang, dari perbedaan cabang itulah yang menjadikan perbedaan yang muncul
dalam kaidah ini.
Berikut
contoh yang dikutip dari Mustafa Said al-Khin.[18]
Hukum orang yang berbicara dalam shalat
baik lupa, salah maupun tidak tahu
Dalam mazhab
syafi’I, Malik dan Hambali dan disebutkan oleh Nawawi bahwa orang yang
berbicara dalam shalat dengan berbicara sedikit baik ia lupa atau salah maka
shalatnya tidak batal. Mereka berhujjah dengan umumnya dalil hadits Nabi Saw:
رفع عن أمتي الخطأ والنسيان وما
استكرهوا عليه.
“Dihapus dari umatku, kesalahan,
lupa, dan segala sesuatu yang memaksa mereka lakukan”.
Mereka
berpendapat bahwa lafadz hukum ini umum mencakup pula hukum duniawi, karenanya
tidak batal.
Mereka
menguatkan juga masalah ini dengan hadits ذي اليدين sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah r.a:
صلّى لنا رسول الله r
صلاة العصر فسلّم في ركعتين ، فقام ذو اليدين فقال: أقصرت الصلاة يا رسول الله أم
نسيت ؟ فقال رسول الله r : كل ذلك لم يكن ، فقال: قد كان بعد ذلك يا رسول الله ، فأقبل
رسول الله على الناس فقال: أصدق ذو اليدين ؟ فقالوا: نعم يا رسول الله ، فأتمّ
رسول الله r ما بقي من الصلاة ثم سجد سجدتين وهو جالس بعد التسليم. [19]
"Rasulullah
Saw shalat bersama kami shalat ashar, kemudian ia salam dalam dua rekaat.
Kemudian dzil yadain bangun dan berkata: Apakah anda singkatkan shalat ya
rasululloh atau anda lupa? Maka Rasululloh Saw bersabda: Tidaklah demikian,
orang tadi mengatakan: sungguh baru sebagian ya Rasulloh. Maka Rasul Saw
menghadap kepada para shahabat dan berkata: Apakah benar dzulyadain ini?
Shahabat berkata: benar ya rasul. Kemudian Rasul Saw menyempurnakan sisa shalat
tadi lalu ia sujud diantara dua sujud sementara ia duduk setelah melakukan
salam".
Imam Syafi’i
mengatakan dalam kitabnya al-Umm bahwa orang yang berbicara dalam shalat
dan ia menganggap shalatnya telah sempurna atau ia lupa bahwasanya ia dalam
keadaan shalat kemudian ia berbicara, maka shalatnya sah dengan melaksanakan
sujud sahwi berdasar hadits dzil yadain.
Sementara
siapa yang berbicara dalam keadaan seperti ini dan dia menganggap itu bukan
dalam shalat, maka berbicara di luar shalat itu adalah mubah.
Hal ini
tidak bertentangan dengan hadits Ibnu Mas’ud dan hadits dzil yadain,
karena hadits Ibnu Mas’ud menunjukkan pembicaraan secara umum. Hadits dzil
yadain menunjukkan bahwa Rasulullah Saw membedakan antara berbicara dengan sengaja
atau lupa, karena hal itu dalam shalat, atau si pembicara berpandangan bahwa ia
telah menyempurnakan shalatnya.[20]
Hadits Ibnu Mas’ud
yang disebutkan Sya’fii sebagai berikut:
كنا نسلّم على رسول الله r
وهو في الصلاة قبل أن نأتي أرض الحبشة فيردّ علينا وهو في الصلاة ، فلمّا رجعنا من
أرض الحبشة أتيته لأسلّم عليه فوجدته يصلّي فسلّمت عليه فلم يردّ علي ، فأخذني ما
قرب وما بعد ، فجلست حتى إذا قضى صلاته أتيته ، فقال: إن الله يحدث من أمره ما
يشاء . ومما أحدث الله عزّ وجلّ أن لا تتكلموا في الصلاة.
“Kami pernah mengucapkan
salam kepada Rasululloh Saw dan Rasul sedang shalat sebelum kami datang
ke Habasyah, maka Rasul menjawab salam kami sementara ia sedang shalat. Namun
ketika kami pulang dari Habasyah, saya datang memberi salam kepadanya, saya
dapatkan Rasul sedang shalat dan saya mengucapkan salam kepadanya tapi ia tidak
menjawabnya. Kemudian saya mendekatinya dan saya duduk sampai Rasul selesai
shalat, saya menghampirinya. Rasul bersabda: Sesungguhnya Allah memutus
permasalahannya dengan apa yang Ia kehendaki. Dan sesungguhnya apa yang telah
diputuskan Allah Swt hendaknya kalian jangan berbicara dalam shalat”. [21]
Pendapat
yang kedua adalah pendapat mazhab Hanafi yang menyebutkan bahwa orang yang
berbicara dalam shalat baik sengaja maupun lupa maka shalatnya batal.
Mereka
berpendapat dengan hadits dari Muawiyah bin Hakam sebagaimana Rasululloh
bersabda:
إنّ هذه الصلاة لا يصلح فيها شيء من
كلام النّاس وإنما هي التسبيح والتكبير وقراءة القرآن.
“Sesungguhnya
shalat ini tidak boleh di dalamnya pembicaraan manusia, dan sesugguhnya shalat
itu tasbih, takbir dan membaca Al-Qur’an”.[22]
Mereka juga
berhujjah dengan hadits Ibnu Mas’ud dan hadits "رفع عن
أمتي.." yang berarti menghapus dosa dan mereka tidak
mengatakan umumnya dalil (عموم المقتضى).
Dengan demikian perlu mendapat
perhatian bahwa Syafi’i tidaklah mengemukakan dalam kitabnya al-umm
dalil (penunjukkan) tentang masalah ini dengan umumnya dalil, hanya penunjukkan
dalilnya terbatas pada hadits dzil yadain saja. Bahwa telah dijawab argumentasi
hanafiah dengan dua hadits: hadits Ibnu Mas’ud dan hadits Muawiyah bin Hakam,
bahwa hadits dzil yadain belakangan daripada hadits Ibnu Mas’ud dan bahwasanya
Rasul Saw tidak memerintahkan Muawiyah bin Hakam untuk mengulang shalat.
Serta dijawab pula bahwa sangkaan dzil yadain terbunuh di perang Badar, padahal
Abu Hurairah masuk Islam paska penaklukan khaibar dan antara keduanya masa yang
panjang. Dijawab bahwa dzil yadain bernama khirbaq[23].
Adapun yang terbunuh di Badar adalah dzu syamalain[24].
Sekiranya keduanya disebut dzul yadain hanya nama saja seperti nama yang
bermiripan.[25]
Penutup
Dari pemaparan di atas, dapat difahami bahwa para Ulama mempunyai dua
metode dalam dilalah. pertama, metode Ulama Hanafiah. Kedua, metode
Ulama Mutakallimin.
Dilalah dalam metode Ulama Hanafiah melalui empat dilalah, yakni dilalah
ibarah, dilalah nash, dan dilalah iqtidha. Sedangkan metode Ulama
melalui empat dilalah yang terangkum di dalam Manthuq dan Mafhum. Selanjutnya
ada persamaan antar dua metode ini yaitu dilalatu al-iqtidha dan dilalatu
an-nas hanafiah. Hanya saja dilalatu an-nas hanafiah dengan nama mafhum
muwafaqah pada Ulama mutakallimin. Adapun ibaratu an-nas sama dengan
manthuq pada Ulama mutakallimin.
Telah menjadi terang bahwa perbedaan mereka pada perbedaan metode dalam
pembagian masing-masing, walaupun keduanya sampai pada nilai-nilai yang
berdekatan. Perbedaannya hanya pada nama bukan pada substansi.
[1] Mustafa
Sa’id al-Khin, Atsaru al-Khilaf fi al-Qowaid al-Ushuliyah fi
al-ikhtilafi al-Fuqoha (Beirut: Muassasah ar-Risalah, cet 7, 1998) hal 128.
[2] Abu Bakar
Muhammad bin Ahmad al-Sarkhasi, Ushul al-Sarkhasi (Beirut: Daar al-Kutub
al-Ilmiyyah,1993) hal 236.
[23] Dzul
Yadain bernama Abdu Amr bin Nadhlah l-Khuza’i , disebutkan bahwa Dzu Syamalain
mati syahid di Badar. Hadits yang riwayatkan oleh Abu Hurairah bahwasanya Nabi
Saw shalat bersama Abu Hurairah setelah ia masuk Islam pada tahun khaibar, 5
tahun setelah perang Badar. Ditetapkan juga dalam Riwayat Ibnu Sirin dari Abu
Hurairah bahwasanya ia shalat bersama Nabi. (Ibnu Hajar al-Asqolani,
Al-Ishobah fi Tamyizi as-Shahabah, juz 4, (Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah, 1995,
hal 316)
[24] Umair
bin Abdi Amr bin Nadhlah al-Khuza’i, ikut menyaksikan perang Badar dan syahid
di dalamnya (lihat:Al-Ishabah, Juz 2, hal 345)
2.
Mafhum di bagi menjadi dua mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah. Jelaskan
masing-masing lima. contoh keputusan hukum yang proses penetapannya merujuk
dari keduanya !
Mafhum
dibedakan menjadi dua bagian, yakni:
- Mafhum Muwafaqah,
yaitu apabila hukum yang dipahamkan sama dengan hukum yang ditunjukkan
oleh bunyi lafadz. Seperti contoh hukum haramnya memukul orang tua sama
dengan haramnya membentak orang tua (Q.S. Al-Isra’ ayat 23). Yang mana
hukum haram "memukul" merupakan mafhum dari dalil haramnya
"membentak".
4Ó|Ós%ur y7•/u‘ wr& (#ÿr߉ç7÷ès?
HwÎ) çn$ƒÎ)
Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur
$·Z»|¡ômÎ) 4 $¨BÎ) £`tóè=ö7tƒ x8y‰YÏã uy9Å6ø9$# !$yJèd߉tnr& ÷rr& $yJèdŸxÏ.
Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs%
$VJƒÌŸ2
ÇËÌÈ
dan Tuhanmu
telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di
antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu,
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan “ah” dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang
mulia
Mafhum
muwafaqah ini dibagi menjadi dua bagian:
a) Fahwal
Khitab
yaitu
apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Seperti
memukul orang tua tidak boleh hukumnya, firman Allah SWT yang artinya: jangan
kamu katakan kata-kata yang keji kepada kedua orangtua. Kata-kata yang keji
saja tidak boleh apalagi memukulnya.
b) Lahnal
Khitab
yaitu
apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan diucapkan. Seperti memakan
(membakar) harta anak yatim tidak boleh berdasarkan firman Allah SWT:
¨bÎ)
tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù’tƒ tAºuqøBr& 4’yJ»tGuŠø9$# $¸Jù=àß $yJ¯RÎ) tbqè=à2ù’tƒ ’Îû
öNÎgÏRqäÜç/ #Y‘$tR ( šcöqn=óÁu‹y™ur #ZÏèy™ ÇÊÉÈ
Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka).
(Q.S
An-Nisa ayat 10)
Ayat ini
melarang memakan harta anak yatim, maka dengan pemahaman perbandingan sepadan
(mafhum muwafaqah), perbuatan lain seperti : membakar, menyia-nyiakan, merusak,
menterlantarkan harta anak yatim juga diharamkan.
- Mafhum
Mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami berbeda daripada ucapan, baik
dalam istinbat (menetapkan) maupun Nafi (meniadakkan). Oleh sebab hal itu
yang diucapkan. Seperti firman Allah SWT:
apabila
diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat
Allah dan tinggalkanlah jual beli
dari ayat ini
dipahami bahwa boleh jual beli dihari Jum’at sebelum azan dikumandangkan dan
sesudah mengerjakan shalat Jum’at. Dalil Khitab ini dinamakan juga mafhum
mukhalafah.
Macam-macam
mafhum mukhalafah
v Mafhum
Shifat
yaitu
menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya. Seperti firman Allah
SWT.
ãƒÌóstGsù
7pt7s%u‘
7poYÏB÷s•B
”Hendaklah
bebaskan seorang budak (hamba sahaya) yang mukmin” (Q.S. An-Nisa ayat 92)
v Mafhum
’illat
yaitu
menghubungkan hukum sesuatu menurut ’illatnya. Mengharamkan minuman keras
karena memabukkan.
v Mafhum
’adat
yaitu
memperhubungkan hukum sesuatu kepada bilangan tertentu. Firman Allah SWT:
tûïÏ%©!$#ur
tbqãBötƒ
ÏM»oY|ÁósßJø9$#
§NèO óOs9 (#qè?ù’tƒ Ïpyèt/ö‘r’Î/ uä!#y‰pkà óOèdr߉Î=ô_$$sù
tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ ã
Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera, (Q.S. An-Nur ayat 4)
v Mafhum
ghayah
yaitu lafaz
yang menunjukkan hukum sampai kepada ghayah (batasan, hinggaan), hingga lafaz
ghayah ini adakalnya ”ilaa” dan dengan ”hakta”. Seperti firman Allah SWT.
$pkš‰r’¯»tƒ šúïÏ%©!$#
(#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% ’n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù
öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ‰÷ƒr&ur ’n<Î) È,Ïù#tyJø9$# ö
apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan
siku,
(Q.S
Al-Maidah ayat 6)
Firman Allah
SWT
( Ÿwur
£`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜtƒ (
dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci
(Q.S.
Al-Baqarah ayat 222)
v Mafhum
had
yaitu
menentukan hukum dengan disebutkan suatu ’adad diantara adat-adatnya. Seperti
firman Allah SWT.:
Katakanlah:
“Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – Karena Sesungguhnya semua
itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.
v Mafhum
Laqaab
yaitu
menggantungkan hukum kepada isim alam atau isim fa’il, seperti sabda Nabi SAW
4.
Jelaskan perbedaan antara terjamah, tafsir dan ta’wil dan contoh syarat-syarat
menjadi mufasir!
Adapun
perbedaan tafsir, takwil dan terjemah itu sendiri dapat dijelaskan sebagai
berikut.
a)
Tafsir.
Menerangkan
makna lafazh yang telah diterima selama satu hari, selain itu juga menetapkan
apa yang dikehendaki ayat yang dikehendaki Allah SWT. Tafsir menurut bahasa
adalah penjelasan dan menerangkan, Tafsir diambil dari kata Al-Fasr’ yang
berarti membuka dan menjelaskan sesuatu yang tertutup. Oleh karena itu dalam
bahsa arab kata tafsir berarti membuka secara maknawi dengan menjelaskan arti
yang tertangkap dari redaksional yang eksplisit (tersurat).”at-tafsir” berarti
menyingkapkan maksud sesuatu lafadz yang musykil, pelik.
b)
Takwil
-
Menetapkan makna yang dikehendaki suatu lafazh yang dapat menerima banyak makna
karena didukung oleh dalil.
-
Mengoleksi salah satu makna yang mungkin diterima oleh suatu ayat tanpa
menyakinkan bahwa itulah yang dikehendaki Allah SWT serta menafsirkan batin
lafazh.
Arti takwil
menurut lughat berarti menerangkan, menjelaskan. Adapun arti bahasanya menurut
Az-Zarqoni adalah sama dengan tafsir. Pengertian takwil menurut istilah adalah
suatu usaha untuk memahami lafazh-lafazh (ayat-ayat) Al-Qur’an melalui
pendekatan pemahaman arti yang dikandung oleh lafazh itu.
-
c)
Terjemah
Mengalihkan
bahasa Al-Qur’an yang berasal dari bahasa arab kedalam bahasa non arab.
Arti
terjemah menurut bahasa adalah susunan dari suatu bahasa kebahasa atau
mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari suatu bahasa lain kesuatu bahasa
lain.
Adapun yang
dimaksud dengan terjemahan Al-Qur’an adalah seperti dikemukakan oleh
“Ash-Shabuni” yakni memindahkan Qur’an kebahasa lain yang bukan bahasa arab dan
mencetak terjemah ini kedalam beberapa naskah untuk dibaca orang yang tidak
mengerti bahasa arab sehingga dia dapat mengerti dengan benar.
Menafsirkan
Al-Quran merupakan amanah berat. Oleh karena itu, tidak setiap orang memiliki
otoritas untuk mengemban amanah tersebut. Siapa saja yang ingin menafsirkan
Al-Quran harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Adanya persyaratan ini
merupakan suatu hal yang wajar dalam semua bidang ilmu. Dalam bidang kedokteran
misalnya, seseorang tidak diperkenankan menangani pasien jika tidak menguasai
ilmu kedokteran dengan baik. Bahkan jika ia nekad membuka praktek dan ternyata
pasien malah bertambah sakit, ia akan dituduh melakukan malpraktek
sehingga bisa dituntut ke pengadilan. Demikian juga halnya dengan tafsir Al-Quran,
syarat yang ketat mutlak diperlukan agar tidak terjadi kesalahan atau kerancuan
dalam penafsiran.
Syarat-syarat
seorang dapat menafsirkan quran adalah:
- Aqidahnya
bersih. Bila ada penafsir yang aqidahnya cacat, maka tafsirnya tertolak
secara otomatis. Contoh kitab tafsir yang benar-benar bersih secara aqidah
adalah Tafsir Ath-Thobari (abad ke-3 H) dan Tafsir Ibnu Katsir.
- Lepas
dari semua pengaruh hawa nafsu. Seorang penafsir quran tidak boleh
cenderung kepada manhaj/ golongan/ kelompoknya, melainkan murni
menyampaikan tafsir untuk mendapatkan kebenaran.
- Memiliki
ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan ilmu-ilmu quran. Dalam hal ini saya
ambil contoh -yang salah- dari JIL. JIL menggunakan ayat ke 165 alBaqarah,
yang menyampaikan bahwa semua manusia yang melakukan kebaikan akan
mendapat pahala. Ayat ini digunakannya untuk menganggap semua agama itu
sama. Padahal, asbabun nuzul ayat tersebut adalah ketika para sahabat
bertanya pada Rasulullah Saw mengenai nasib keluarga mereka yang telah
meninggal sebelum turunnya Rasulullah Muhammad dan setelah naiknya
Rasulullah Isa as.
- Menguasai
ilmu tentang bahasa alQuran (rasa dan makna).
- Mengetahui
semua pendapat dari zaman dahulu sampai zaman si mufassir ini hidup,
kecuali pada hal-hal yang sudah pasti. Dan mampu menentukan pendapat mana
yang paling mendekati kebenaran.
- Memiliki
kedalaman pemahaman. Bila ada kesalahan dan dikritik oleh ulama lain yang
terbukti lebih shahih, maka bersedia disalahkan.
- Memiliki
niat dan akhlaq yang baik
- Tidak
melakukan hal-hal yang tercela sebagai bukti hormatnya terhadap quran.
- Berhati-hati
dalam menyampaikan pendapatnya, yang berkaitan dengan quran. Bila ilmu
mereka sudah tidak mampu mencapainya, hanya mengucapkan, “Allahu a’lam.”
5. Jelaskan kemukjizatan al-quran menurut perspektif modern!
Menanggapi
masalah definisi mukjizat yang telah dihadirkan para ulama, penulis lebih
cenderung pada makna “bukti”, hal ini didasarkan pada bahwa kata “mukjizat”
tidak ditemukan dalam al-quran melainkan kata “ayat”. Bukti-bukti inilah yang
luar biasa sehingga manusia khusunya masyarakat Arab ketika itu bertekuk lutut
atau paling tidak sebenarnya mereka mengakuinya. Diantara bukti-bukti yang luar
biasa tersebut adalah pada aspek kebahasaannya, isyarat-isyarat ilmiyah dan
muatan hukum yang terkandung didalamnya.
Diantara
nilai-nilai tersebut adalah pada aspek kebahasaannya, isyarat-isyarat ilmiyah
dan muatan hukum yang terkandung didalamnya. Saking pelik, unik, rumit dan
keluar biasanya tak pelak ia menjadi objek kajian dari berbagai macam sudutnya,
yang darinya melahirkan ketakkjuban bagi yang beriman dan cercaan bagi yang
ingkar.
Namun
demikian, seiring dengan waktu dan kemajuan intelkstualitas manusia yang
diikuti dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern, sedikit demi sedikit
nilai-nilai tersebut dapat terkuak dan berpengaruh terhadap kesadaran manusia
akan keterbatasan dirinya, sebaliknya mengokohkan posisi Al-Qur`an sebagai
kalam Tuhan yang Qudus yang berfungsi sebagai petunjuk dan bukti terhadap
kebenaran risalah yang dibawa Muhammad. Serentetan nilai Al-Qur`an yang unik,
pelik, rumit sekaligus luar biasa hingga dapat menundukkan manusia dengan
segala potensinya itulah yang lazimnya disebut dengan mukjizat.
Ditilik dari
kebahasaan, Al-Qur`an mempunyai kandungan makna luar biasa baik yang dihasilkan
dari pemilihan kata, kalimat dan hubungan antar keduanya, efek fonologi
terhadap nada dan irama yang sangat berpengaruh terhadap jiwa penikmatanya atau
efek fonologi terhadap makna yang ditimbulkan serta deviasi kalimat yang sarat
makna. Ditambah lagi adanya keseimbangan redaksinya serta keseimbangan antara
jumlah bilangan katanya. Sehingga tak heran bila Al-Qur`an menempatkan dirinya
sebagai seambrek simbul yang sangat kominikatif lagi fenomenal.
Tak kalah
serunya Al-Qur`an dilihat dari demensi ilmiyah. Bagaimana Al-Qur`an
mendiskripsikan tentang reproduksi manusia, hal ihwal proses penciptaan alam
beserta frora dan faunanya tentang awan peredaran matahari dan seterusnya yang
semua itu dapat dibuktikan keabsahannya melalui kacamata ilmiyah, sehingga
menujukkan bahwa Al-Qur`an sejalan dengan rasio dan akal manusia.
Adanya
kisah-kisah misterius dalam Al-Qur`an, menempatkannya sebagai ajaran kehidupan
yang mencakup total tata nilai mulai hulu peradaban umat manusia hingga
hilirnya. Bahwa peristiwa-peristiwa tersebut sengaja dihadirkan oleh Tuhan agar
manusia mampu menjadikannya sebagai ‘ibrah kehidupan. Ia merupakan sebuah
metode yang dipilih Tuhan untuk menuangkan nilai yang terkandung didalamnya.
Keistimewaan
Al-Qur`an yang paling esensi adalah petunjuk hukum secara kooperatif,
komprehensif dan holistik baik yang berkenaan masalah akidah, agama, sosial,
pilitik dan ekonomi yang secara umum bertolak pada azaz keadilan dan
keseimbangan, baik secara jasmani dan rohani, dunia dan akhirat atau manusia
sebagai indifidu, social masyarakat atau dengan Tuhannya. Demikianlah yang
dapat penulis paparkan dan akhirnya wallahu ‘alam bish-shawab.
[1] Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami –
Manhaj al-Mutakallimîn fî Istinbâth al-Ahkâm as-Syar’iyah, Dâr Ibnu Hazm,
juz I hal, 359.
[5] Ibnu Hajib, Mukhtashar, juz 2 hal. 171.
[7] Imam as-Syaukani, Irsyad al-Fuhul,
cet. II, Dâr as-Sâlâm, Juz 2 hal. 361.
[9] Imam as-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, cet. II, Dâr as-Sâlâm,
Juz 2 hal. 512.
[10] Irsyad al-Fuhul. Imam as-Syaukani. Juz
2 hal 519, Ushul fiqh al-Islami. Dr. Wahbah Zuhaili. Juz 1 hal. 361.
[12] Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami – Manhaj al-Mutakallimîn
fî Istinbâth al-Ahkâm as-Syar’iyah, Dâr Ibnu Hazm, juz I hal, 361.
[17]
http://ridwan202.wordpress.com/2008/08/14/mantuq-dan-mafhum-dalam-ilmu-ushul-fiqh/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar