BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Dalam
memahami makna dan hakikat sebuah hukum yang telah disyariatkan Allah SWT dalam fungsi
dan peranannya sebagai alat untuk mengatur dan menata hidup dan kehidupan umat
manusia tentunya bukanlah sebuah persoalan yang mudah. Hal tersebut dapatlah
kita pahami bahwa semua aturan yang telah Allah tentukan pada akhirnya Dia
sendiri yang mengetahui hakikatnya.
Secara
lebih tegas dapat dinyatakan bahwa segala ketentuan hukum yang telah diterapkan
oleh Allah baik perintah maupun larangan, dengan tujuan untuk menciptakan
kemaslahatan bagi seluruh umat manusia.Selain itu dijadikan sebagai landasan
pemikiran untuk melihat dan menentukan kira-kira apa yang menjadi pendorong
atau yang melatarbelakangi suatu ketentuan hukum syara’ tersebut.
Untuk memahami dan mengetahui apa yang menjadi pendorong
atau alasan-alasan logis dari semua ketentuan hukum yang telah ditetapkan itu,
maka para ulama Ushul Fiqh berupaya meneliti nash Al-Qur’an dan Sunnah dengan
melihat hubungan antara suatu ketentuan hukum dengan alasan yang mendasar. Upaya
ini, pada akhirnya melahirkan suatu teori yang kemudian dalam Ilmu Ushul Fiqh
disebut dengan ‘Illat.Qiyas tidak akan dapat dijalankan sebelum ada
sifat yang menyatukan antara ashl dan far’. Adanya sifat dalam
teks nash tidaklah cukup untuk memvonis sebagai ‘illat, akan
tetapi perlu adanya legalitas dari Syaari’ (pemegang otoritas
syari’at, Allah SWT dan rasul-Nya).
Dalam menginventarisir masaalik al-‘illat
ini, para ulama’ melontarkan beragam sumber ataupun metode.Ada yang mengatakan
sepuluh macam, ada pula yang mengatakan tidak sampai sebanyak itu.Pro kontra
juga masih terjadi dalam kandungan masing-masing personalnya. Namun, dari
kesekian masaalik al-‘illat itu, secara umum dapat dikerucutkan
dalam tiga macam masaalik al-‘illat, yakni nash, ijma’, dan
istinbath (metode pencarian dari selain nash dan ijma’).Di dalam makalah ini akan dijelaskan
tentang ‘Illat, Masalik ‘Illat dan Qawadihnya pada halaman selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan ‘illat
dalam pandangan ushuliyyin?
2. Bagaimana bentuk perbedaan antara
‘illat, sebab dan hikmah?
3. Apa urgensi mengetahui masalikul
‘illat dalam istinbath hukum?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Mengetahui definisi ‘illat dikalangan ushuliyyin
2.
Memahami perbedaan antara ‘illat, sebab dan hikmah
3.
Memahami
urgensi masaliku ‘illat dalam istinbath hukum
BAB
II
METODE PENCARIAN ‘ILLAT HUKUM
A. Definisi
‘Illat
Dalam
kamus bahasa Arab, ‘illat berasal dari kata علة - عل yang
berarti sakit, yang menyusahkan, sebab, udzur.[1]
Secara
istilah, beberapa pakar ushul fiqh memberikan beberapa pemaknaan, dintaranya
menurut Atho bin Khalil bahwa ‘illat adalah sesuatu yang keberadaanya maka
hukum menjadi ada. Atau perkara yang memunculkan hukum berupa pensyariatan
suatu hukum.Illat merupakan dalil, tanda, dan yang memberi tahu adanya hukum.
Menurut
Abdul Wahhab Khallaf ‘illat adalah sifat dalam hukum ashal yang dijadikan dasar
hukum.
Menurut
Muhammad Abu Zahrah, ‘illat adalah sebagai suatu sifat lahir yang menetapkan
dan sesuai dengan hukum.
Menurut
Mu’in Umar, ‘illat ialah suatu sifat yang ada pada ashal yang sifat itu menjadi
dasar untuk menetapakan hukum ashal serta untuk mengetahui hukum pada far’ yang
belum ditetapkan hukumnya.
Mayoritas
ulama Hanafiyyah, sebagian ulama Hanabilah, dan Imam Baidhawi
(tokoh Ushul Fiqh Syafi’iyyah) merumuskan definisi illah dengan:
الوصف المعرف للحكم
“Suatu sifat (yang berfungsi)
sebagai pengenal bagi suatu hukum”.
Imam
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muahammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali
al-Thusi menyebutkan definisi illat sebagai berikut:
المؤثر فى الحكم بجعله تعالى لابالذات
“Sifat yang berpengaruh terhadap
hukum, bukan karena zatnya, melainkan atas perbuatan Syari’”.[2]
Contoh
Illat adalah sebagai berikut:
·
Seperti menghabiskan harta anak yatim merupakan suatu sifat
yang terdapat pada perbuatan memakan harta anak yatim yang menjadi dasar untuk
menetapkan haramnnya hukum menjual harta anak yatim.[3]
·
Sifat memabukkan pada khamr, sehingga semua yang memabukkan
dihukumi sebagai khamr.[4]
·
Atau pembunuhan sengaja dengan pedang sebagai ‘illat qishas,
sebab tindak pidana yang diancam dengan hukuman qishas ialah segala bentuk
penganiayaan dengan alat atau senjata yang mematikan.[5]
B. Syarat-Syarat
‘Illat
Ada empat macam syarat-syarat ‘illat
yang disepakati para ulama yaitu:
1.
Sifat ‘illat itu hendaknya nyata masih terjangkau oleh akal
dan panca indera. Hal ini diperlukan karena ‘illat itulah yang menjadi dasar
untuk menetapkan hukum pada fara’.
2. Sifat ‘illat itu harus pasti,
tertentu, terbatas, dan dapat dibuktikan bahwa ‘illat itu ada pada fara’.
3. ‘Illat harus berupa sifat yang
sesuai dengan kemungkinan hikmah hukum, dengan arti bahwa keras dugaan ‘illat
itu sesuai dengan hikmah hukumnya.
4. ‘Illat itu tidak hanya terdapat pada
ashal saja tetapai harus berupa sifat yang dapat pula diterapkan pada
masalah-masalah lain selain dari ashal itu.[6]
Perbedaan
antara ‘illat dengan hikmah
adalah, bahwa ‘illat merupakan pendorong atau pemicu disyariatkannya suatu
hukum dengan kata lain, sesuatu penyebab disyariatkannya hukum. Sedangkan
hikmah adalah perkara yang menjelaskan hasil dan tujuan hukum.Berdasarkan hal
itu, ‘illat ada sebelum adanya hukum dan bukan merupakan hasil dari pelaksanaan
hukum.Sedangkan hikmah adlah hasil yang mungkin diperoleh dari pelaksanaan
hukum.Hikmah dengan makna seperti ini kadangkala terpisah dari hukum pada
kondisi tertentu.
Perbedaan
‘illat dengan sebab
yaitu sebab merupakan tanda yang memberitahu adanya suatu hukum seperti
tergelincirnya matahari merupakan tanda yang memberitahu adanya sholat, sedangkan
‘illat adalah perkara yang karenanya terwujud hukum.Jadi, ‘illat adalah sebab
pensyariatan hukum, bukan sebab adanya hukum, sehingga ‘illat termasuk dalil
hukum. Contohnya: Firman Allah Ta’ala (QS. Al-Jumu’ah: 9)[7]


“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan
shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah
jual beli yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.
Melalaikan
sholat, menjadi alasann disyari’atkannya suatu hukum yaitu haramnya berjual
beli ketika adzan jum’at. Dengan demikian disebut ‘illat bukan sebab.Berbeda
dengan tergelincirnya matahari, bukan merupakan ‘illat karena sholat Dzuhur
tidak disyari’atkan karenanya.Itu hanya merupakan tanda bahwa sholat dzuhur
telah tiba.[8]
C. Rincian
dan Macam-Macam ‘Illat
‘Illat
adalah sesuatu yang mendorong disyariatkannya hukum.Oleh karena itu, ‘illat
harus terdapat di dalam dalil baik secara jelas (sharih), menunjukkan
(dilalah), penggalian (istinbath), atau secara qiyas. Itulah macam-macam ‘illat
yang akan dituturkan dibawah ini yaitu sebagai berikut:
Pertama, ‘Illat yang terdapat secara jelas
(Shurahat), contonya:
ان كنتم ثلاثة فلا يتنا ج اثنان دون
الثالث من اجل ان ذلك يحزنه
“Apabila tiga orang diantara kalian sedang berkumpul maka
tidak boleh dua orang di antara kalian saling berbisik tanpa melibatkan orang
yang ketiga karena hal itu akan membuatnya sedih.”( HR. Ahmad).
‘Illat
pada hadits ini adalah karena perkara itu akan membuatnya sedih.Termasuk ‘illat
karena menggunakan lafazh yang sharih, yaitu lafazh min ajli.
Kedua, Illat yang terdapat pada nash
secara dilalah (penunjukan), contohnya dalam firman Allah SWT:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ
الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآَخَرِينَ مِنْ
دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
“Dan
siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan
dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu
menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu
tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan
pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak
akan dianiaya (dirugikan).[9]
Kata menggentarkan musuh adalah
sifat yang sesuai dengan mafhum bagi keharusan untuk mengadakan persiapan
menghadapi musuh, lafazh tersebut merupakan ‘illat dilalah.
Ketiga, ‘illat yang terdapat dalam nash
dengan jalan istinbath (mustanbath), contohnya dalam sabda Rasulullah SAW:
ارايت لو تمضمضت هل يفسد صومك ؟ قال :
لا . قال: فكذلك القبلة
“Apa pendapatmu andaikata engkau berkumur-kumur (pada
saat berpuasa) apakah akan rusak berpuasamu?” Umar menjawab” Tidak”.Beliau
bersabda begitu juga mencium.” (HR. Ahmad, Ibnu Khuzaimah)
Dari nash
ini digali bahwa ‘illat batalnya puasa karena mencium adalah keluarnya sperma.
Apabila seseorang mencium istrinya tidak keluar sperma maka tidak membatalkan
puasa. Jadi Al-Inzal adalah ‘illat istinbatiyyah karena sama seperti
berkumur-kumur.
Keempat, ‘Illat
melalui qiyas, contohnya:
نهى رسول الله ص م ان يبيع حا ضر لباد
“Rasulullah SAW melarang orang kota (menyongsong guna
membeli barang) kepada orang yang datang dari pelosok (pedesaan)”. (HR. Bukhari
Muslim).
D. Status,
Kedudukan dan Fungsi ‘Illat
Status dan
kedudukan ‘Illat adalah latar belakang penetapan hukum, yang kedudukannya
terletak sebelum hukum disyariatkan.Jadi kedudukan illat sebenarnya sederajat
dengan dalil suatu hukum syara’, yaitu illat itu ada sebelum atau bersamaan
dengan hukum. Kedudukan illat adalah seperti halnya nash yang mendasari suatu
hukum.[10]
Sedangkan fungsi ‘illat adalah sebagai berikut:
1. Penyebab atau penetap adanya hukum.
2. Penolak ( dafi’ah ) keberadaan hukum akan terjadi,
tetapi tidak mencabut hukum itu seandainya `illat tersebut terdapat pada saat
hukum tengah berlaku.
3. Pencabut ( rafi’at ) kelangsungan suatu hukum, bila
`illat terjadi pada masa tersebut, tetapi `illat ini tidak menolak terjadinya
suatu hukum.
4. Penolak dan pencegah suatu hukum. Mencegah terjadinya
suatu hukum dan sekaligus dapat mencabut bila hukum itu telah berlangsung.[11]
E.
Masalik al-‘Illat (MetodePencarian ‘Illat)
Masalikul ‘illat adalah cara atau metode yang digunakan
untuk mencari sifat atau ‘illat dari suatu peristiwa atau kejadian yang dapat
dijadikan dasar untuk menetapkan hukum. Diantara cara tersebut, ialah:
1.
Nash (Al-Quran
dan Al-Hadist)
Dalam
pemilahan masalik al-‘illat dalam nash, terdapat perbedaan cara pandang.
Sebagian ulama’ membaginya dalam dua model penunjukan :
-
nash menunjukkan secara eksplisit (shariih),
maksudnya dalam penunjukkan tidak dibutuhkan lagi pemikiran dan istidlal (pencarian
bukti), bersifat pasti (qathi’) ataupun sekedar dugaan (zhanni).
Namun ada pula ulama’ yang mengharuskan qathi’.
-
nashmenunjukkan secara implisit (ghair shariih),
termasuk isyarat (iimaa’) atau peringatan (tanbiih).
Adapula
yang membaginya menjadi tiga, dengan menjadikan isyarat dan peringatan dalam
kategori masaalik al-‘illat yang mandiri sebagaimana termaktub dalam
kitab Ghayatul Wushul fi syarh lubbi al-ushul.[12]
·
Eksplisit
(Shariih).
Penunjuk
secara eksplisit dari nash terbagi dalam dua dimensi, qath’i dan zhanni
:
a.
Qath’i (pasti)
Secara
berurutan sesuai kadar kekuatan penunjukannya, bentuk-bentuk tekstual nash
yang menunjukkan ‘illat secara shariih sekaligus qhat’i adalah:
· Lafadzلعلة كذا (karena alasan demikian) ataupun لسبب كذا (karena sebab demikian.
· Lafadz
من أجل كذا (oleh
karena).
· Lafadz
كي (supaya)
ataupun كي لا
(supaya tidak), dan juga إذن.
b.
Dzhanni (asumtif)
Secara
berurutan, huruf-huruf tersebut adalah:
- Huruf لام (Laam)
- Huruf أن (An), dengan terbaca fathaah pada hamzah, dengan sukun
(mati) pada nun-nya. Lafadz ini menggunakan arti kata لأجل (li ajli) yang berarti “dengan maksud”, jadi fi’ilmustaqbal
yang jatuh setelah anmenjadi ‘illat dari lafadz
sebelumnya.
- باء(ba’),
Al-Zarkasyi mensyaratkan ba’ bisa berfungsi sebagai ta’liil bila
layak menempati posisi laam.
- إن (inna), dengan dibaca kasrah pada hamzah-nya dan sukun pada
nun-nya.
2.
Implisit (Ghair
al-shariih).
Yang dimaksud nash menunjukkan ‘illat
secara implisit adalah bilamana nash tidak secara langsung menunjukkan ‘illat,
akan tetapi perlu adanya suatu qariinah (indikasi) untuk mengarahkan
suatu sifat yang terkandung dalam nash tersebut menjadi ‘illat.
Dalam artian, nash tersebut tidak secara jelas menunjukkan ‘illat,
akan tetapi hanya dengan isyarat dan peringatan (إيماء و تنبيها). Hal ini terjadi jika ditemukan qariinah yang
menjadikan nash tersebut menunjukkan ‘illat. Diantara
indikasi-indikasi (qariinah) tersebut adalah:
(1)
Sebuah hukum muncul sebagai jawaban dari
pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah saw. Sebagaimana jawaban rasulullah
saw atas kejadian yang menimpa orang badui :"أعتق رقبة" . Ungkapan rasul tersebut menunjukkan bahwa hubungan badan
adalah ‘illat dari hukuman untuk memerdekakan budak.
(2)
Menggantungkan hukum atas ‘illat dengan fa’ta’qiib
(fa’ yang menunjukkan arti beriringan). Sebagaimana firman Allah SWT
: (والسارق والسارقة
فاقطعوا أيديهما).
(3)
Hukum ketika bersamaan dengan sifat yang munaasib
(serasi). Contohnya adalah hadits riwayat Bukhari dan Muslim: (لا يحكم أحد بين اثنين وهو غضبان).
(4)
Membedakan hukum dengan perbedaan sifat. Hal
ini juga juga bisa dijadikan jalan untuk menemukan ‘illat dari suatu nash.
Penyebutan dua hukum dan sifat yang berbeda adakalanya secara bersamaan seperti
sabda nabi yang berbunyi: (للراجل سهم وللفارس
سهمان).
Dan adakalanya dengan menyebutkan salah satunya saja sebagaimana sabda nabi: (القاتل لا يرث).
2.
Ijma’
Maksudnya, ialah ‘illat itu ditetapkan dengan ijma. Seperti
belum baligh (masih kecil) menjadi ‘illat dikuasai oleh wali harta anak yatim
yang belum baligh. Hal ini disepakati oleh para ulama.
Dalam memposisikan ijma’ sebagai metode
pencarian ‘illat para ulama’ berbeda pandangan. Ibn al-Haajib,
al-Zarkasyi, dan Syaikhul Islam memilih untuk mendahulukan ijma’ daripada
nash,[13]
dengan dalih bahwasannya ijma’ adalah salah satu faktor tarjiih
(preferensi) dan merupakan alternatif pertama saat terjadi kontradiksi diantara
dalil-dalil nash. Terlebih lagi kecil kemungkinan ijma’ dapat direvisi (naskh).
Sedangkan al-Baidlhawi memilih mendahulukan nash daripada ijma’, dengan
alas an bahwa nash adalah sumber sandaran bagi ijma’. Selain itu, dalil nash
lebih mulia dan utama dibanding dalil-dalil lain.
3.
Al-SabruWa
Al-Taqsim
Al-Sabru adalah observasi seorang mujtahid untuk
menentukan satu dari sekian banyak sifat yang terkandung dalam ashl yang
berhasil diinventarisir, dengan cara membuang semua sifat yang dinilai tidak
layak dijadikan ‘illat dengan berpedoman pada dalil-dalil yang
bisa menguatkannya.SedangkanAl-Taqsiim adalah pengakomodiran seorang
mujtahid terhadap semua sifat yang terkandung didalam ashl yang
disinyalir pantas dan layak untuk diplot sebagai ‘illat hukumashl.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
al-sabruwa al-taqsiim secara istilah adalah pengakomodiran
mujtahid terhadap semua sifat yang disinyalir layak sebagai ‘illat hukum
ashl kemudian dengan berpedoman pada syarat-syarat ‘illat,
mujtahid mengkaji serta meneliti satu persatu dari sifat-sifat tersebut, yang
pada akhirnya sang mujtahid menetapkan satu sifat yang dianggap paling tepat
untuk dijadikan ‘illat dan membuang sifat-sifat yang dianggap tidak
tepat. Praktek definisi di atas adalah seperti ungkapan mujtahid, “Setelah
saya mengakomodir semua sifat yang layak kemudian mengkaji serta meneliti satu
persatu sejauh kemampuan dengan tetap berpegang pada syarat-syarat ‘illat,
ternyata hanya sifat inilah yang pantas dan paling tepat untuk diplot menjadi
‘illat”.
Ada dua macam model peringkasan dan
pembatalan sifat (al-taqsiim wa al-sabru) yang dilakukan mujtahid, yakni
qath’i dan zhanni. Qath’i (pasti) dalam arti, akal
dapat memastikan bahwa tidak ada ‘illat lain selain sifat terpilih yang
layak untuk dijadikan ‘illat, seperti menetapkan sifat shighar
dalam permasalahan kewenangan ayah untuk menikahkan anak gadisnya yang belum
dewasa. Sedangkan zhanni (dugaan), dalam arti penentuan mujtahid
terhadap salah satu sifat tersebut belum sampai batas qathi’ sehingga
masih ada peluang bagi mujtahid lain untuk berbeda kesimpulan dengannya,
seperti dalam penentuan ‘illat harta ribawi.
Satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari
pembahasan al-taqsiim wa al-sabru adalah mengenai cara pembersihan
sifat-sifat yang dinilai tidak relevan dan layak untuk diplot sebagai ‘illat.
Dan saat melakukan sweeping terhadap sifat-sifat yang dinilai sesuai
untuk hukum ashl.Dalam hal ini, ada dua langkah yang bisa ditempuh oleh
para mujtahid, yakni al-ilghaa’, dan al-thardiyyah.
3.
Al-Ilghaa’
(pembatalan)
Sewaktu melakukan identifikasi terhadap
sejumlah sifat, mujtahid menemukan sifat bahwa yang akan dijadikan ‘illat
tersebut ternyata telah dinonfungsikan atau tidak dijadikan pijakan oleh
ketetapan hukum yang telah ada, alias hukum syara’ bisa ditetapkan tanpa
memperhitungkan sifat tersebut. Jadi, sifat tersebut tidak berpengaruh sama
sekali terhadap hukum. Seperti kalangan Hanafiyyah yang menganggap sifat shighar
sebagai sebab tetapnya kekuasaan ayah dalam menikahkan anak gadisnya yang masih
kecil, dengan tendensi bahwa untuk menikahkan anak gadisnya yang sudah dewasa,
seorang ayah masih diperintahkan meminta izin anaknya terlebih dahulu.
4.
Al-Thardiyyah
(pembuangan)
Al-Thardiyyah adalah
Pembuangan mujtahid terhadap sifat yang tidak dianggap oleh Syaari’ yang
dapat mempengaruhi penetapan hukum syara’. Jalan pembersihan sifat dengan
menggunakan system ini ada dua macam:
(1)
Tidak diperhitungkan secara mutlak, yakni
pembuangan sifat yang menurut mujtahid sama sekali tidak diperhitungkan oleh Syaari’
dalam penetapan semua hukumsyara’. Seperti sifat panjang dan pendek, hitam dan
putih, dan lain sebagainya.
(2)
Tidak diperhitungkan secara khusus dalam hukum
sedang dibahas. Yakni, pembuangan mujtahid terhadap sifat yang tidak
diperhitungkan Syaari’ dalam penetapan hukum pada kasus sejenis, kendati
masih diperhitungkan dalam kasus lain. Seperti sifat gender (laki-laki dan
perempuan) yang diperhitungkan Syaari’ dalam menetapkan hukum pembagian
harta pusaka, persaksian, dan lain-lain.
5.
Tidak Nampak
adanya munasabah
Maksudnya adalah, bahwa dalam pandangan
mujtahid, tidak nampak pada sifat yang akan dibuangnya, adanya munaasabah
(keserasian) dengan hukum ashl yang dicarikan ‘illat-nya. Dalam
menetapkan ada tidaknya munaasabah, mujtahid cukup menyatakan: “Setelah
sifat ini saya kaji dengan teliti, ternyata tidak saya temukan adanya
keserasian antara sifat ini dengan hukum yang saya bahas”. Mujtahid juga
tidak diharuskan mengungkapkan bukti-butki ketidakserasian sifat tersebut,
karena kecerdasan intelektual dan sifat adilnya cukup sebagai bukti atas
kebenarannya.
4.
Tanqiih
al-Manaath
Secara harfiah, tanqiih berarti
perbaikan, pemisahan dan pemurnian, sedangkan manaath mempunyai
arti sesuatu yang dijadikan hubungan atau persambungan (‘illat).
- Pembersihan
hukum dari sifat yang tidak patut untuk dijadikan ‘illat yang terdapat
dalam nash yang zhaahir, dan hanya menetapkan satu sifat untuk
diplot sebagai ‘illat dari hukum tersebut.
- Sama seperti
pengertian di atas, hanya saja kekhususan sifat yang telah diplot sebagai ‘illat
tersebut diarahkan pada sifat keumumannya.
5.
Takhriij
al-Manaath
Takhriij al-manaath adalah pencurahan
pikiran seorang mujtahid untuk mengeluarkan ‘illat hukum yang ditetapkan
oleh nash ataupun ijma’. Dari definisi ini dapat diketahui bahwa
fokus seorang mujtahid adalah mengeluarkan ‘illat yang masih tersembunyi
dalam kandungan nash ataupun ijma’. Hal ini berbeda dengan tanqiih,
karena dalam tanqiih, yang dilakukan oleh mujtahid adalah memperbaiki
hukum yang ditetapkan nash, dan dari hukum tersebut daimbilnya
sifat-sifat yang patut dijadikan ‘illat serta membuang sifat-sifat yang
tidak patut dijadikan ‘illat.
Takhriij al-manaath bisa
ditempuh dengan beragam cara dari berbagai metode pencarian ‘illat,
seperti al-taqsiim wa al-sabru. Contohnya adalah penentuan sifat makanan
(al-tha’m), sifat bisa ditimbang (al-kail), dan sifat makanan
pokok (al-qut), sebagai ‘illat dari hukum keharaman riba dengan
menggunakan metode al-taqsiim wa al-sabru.
Takhriij al-manaath juga
merupakan jembatan awal dan dasar dalam berijtihad dengan metode qiyas. Karena
bermula dari situlah dikeluarkan sifat-sifat yang nantinya akan dijadikan ‘illat.
6.
Tahqiiq
al-Manaath
Tahqiiq al-manaath adalah pencurahan
daya pikiran guna mencari wujud ‘illat pada suatu kejadian atau kasus
yang belum ada kejelasan hukumnya, dari nash atau ijma’, untuk
diqiyaskan pada kasus lain yang sudah ada kejelasannya dari nash atau
ijma. Artinya, status ‘illat telah disepakati oleh para ulama’
dengan dalil nash ataupun ijma’, namun para ulama masih meneliti dengan
seksama wujud ‘illat pada masalah-masalah yang masih dalam perdebatan
para ulama’. Dari sini, ditemukan perbedaan antara takhriij al-manaath
dengan tahqiiq al-manaath. Bila takhriij al-manaath adalah
penjelasan ‘illat dalam ashl, maka tahqiiq al-manaath
adalah penetapan ‘illat dalam fari’.
7.
Al-Munaasib
Al-munasiib bisa juga disebut dengan ikhaalah
(persangkaan) atau mazhinnah (praduga), karena adanya keserasian sifat
dengan hukum bisa mendatangkan dugaan bahwa sifat itulah yang layak untuk
dijadikan ‘illat. Menurut Ibn al-Haajib, al-munaasib adalah sifat
yang jelas dan terbatasi, yang secara rasio, dengan persambungan hukum dengan
sifat tersebut akan tercapailah tujuan pensyari’atan, berupa menarik
kemaslahatan dan menolak kerusakan.
Namun,
jika sifat tersebut samar atau tidak bisa dibatasi, maka yang dianggap ‘illat
adalah mulaazim (sesuatu yang selalu menetap) dari sifat tersebut, yang
nampak jelas dan terbatasi. Seperti safar (bepergian) yang merupakan
salah satu hal yang menimbulkan masyaqqah (kesulitan). Pada asalnya,
yang menimbulkan keringanan (rukhshah) adalah masyaqqah itu
sendiri. Akan tetapi, karena masyaqqah tidak bisa terbatasi karena
perbedaan standar penilaian dari masing-masing individu, kondisi, dan masa,
maka disandarkanlah hukum rukhshah tersebut pada sesuatu yang diduga
menimbulkan masyaqqah, yaitu bepergian (safar).
Selanjutnya,
dimensi tercapainya hikmah atau tujuan pensyari’atan dalam suatu kasus,
diklasifikasikan para ulama’ dalam empat bentuk :
-
Secara yakin, sebagaimana dalam
transaksi jual beli, yang mana hikmah dibalik pensyari’atannya adalah untuk
mendapatkan kepemilikan secara sah.
-
Secara dugaan, seperti ditetapkannya
hukum qishaash (balasan yang setara), yang mana hikmahnya adalah untuk
mencegah terjadinya pembunuhan serta melindungi nyawa manusia. Hanya saja,
hikmah ini masih bersifat praduga.
-
Seimbang antara pasti dan dugaan, seperti hikmah ditetapkannya
hukuman cambuk bagi peminum arak dengan tujuan menjaga akal dan mencegah orang
meminum arak.
Tingkat
ketiadaan pencapaiannya lebih tinggi daripada tercapainya, sebagaimana dalam
menikahi perempuan mandul (aayisah). Padahal, telah diketahui bersama,
bahwa hikmah disyariatkan nikah adalah untuk meneruskan keturunan, dan tentu
saja, kemungkinan besar hal ini tidak akan tercapai dengan menikahi perempuan
mandul.
6.
Stratifikasi
al-Munaasib.
Selanjutnya,
bila dilihat dari sisi pensyariatan berbagai hukum, al-munasib terbagi
dalam beberapa strata:
1.
Al-dlaruuri, yakni sesuatu
yang sangat dibutuhkan sampai batas darurat (untuk menghindari dari kesulitan)
diluar batas kewajaran.
2.
Al-haajiy, yakni sesuatu yang dibutuhkan yang tidak sampai
batas darurat.
3.
Al-tahsiiniy, yakni sesuatu
yang dinilai baik menurut adat, namun tidak begitu dibutuhkan, bila
ditinggalkan tidak ada kesulitan atau bahaya, tetapi jika dilakukan akan ada
kemanfaatannya (lebih pantas).[14]
7.
Relevansi
al-munaasib dengan nash atau ijma’
Jika
ditinjau dari segi relevansinya dengan nashatau ijma’, al-munaasib
terbagi menjadi beberapa macam:
1.
Al-Munaasib Al-Mu’atstsir
Yaitu suatu
sifat yang serasi, yang mana Syaari’ dalam menetapkan suatu hukum atas
dasar kesesuaian dengan sifatnya, dan nashataupun ijma’ telah menetapkan
bahwa diri sifat tersebut dianggap sebagai ‘illat bagi hukum.
2.
Al-Munaasib Al-Mulaa’im
Adalah suatu
sifat yang serasi, yang mana Syaari’ dalam menetapkan suatu hukum
berdasarkan keseuaian dengan sifat tersebut, dan nash ataupun ijma’
tidak menetapkan bahwa diri sifat tersebut dianggap sebagai ‘illat oleh nash
ataupun ijma’. Disaat sifat yang munasib tersebut sesuai dengan
ketiga alternatif ini, maka penetapan ‘illat dengan sifat tersebut
dianggap sesuai dengan prosedur pensyariatan. Ketiga alternatif tersebut
adalah:
-
Nashataupun ijma’ menganggap diri sifat tersebut (‘ain
al-washf) sebagai ‘illat bagi hukum yang sejenis dengan hukum
yang telah ditetapkan atas dasar kesesuaian dengan sifat tersebut (jins
al-hukm).
-
nash ataupun ijma’ menganggap sifat sejenisnya (jins
al-washf) sebagai ‘illat bagi hukum itu sendiri, bukan hukum
sejenisnya (‘ain al-hukm).
-
nash ataupaun ijma’ menganggap sifat sejenisnya (jins
al-washf) sebagai ‘illat bagi hukum yang masih sejenis dengan
hukum yang telah ditetapkan atas dasar kecocokan dengan sifat (jins
al-hukm).
Karena begitu luas cakupan ketiga alternatif
diatas, maka keberadaan al-munaasibal-ghariibsebagaimana telah
diklaim oleh sebagian ulama ahli ushul, tidak pernah ditemukan wujudnya.
3.
Al-Munaasib Al-Mursal
Al-munaasib
al-mursal, atau bisaa diistilahkan dengan al-mashlahah
al-mursalah, adalah suatu sifat yang mana Syaari’ dalam menetapkan
suatu hukum bukan atas dasar kecocokan dengan sifat tersebut, dan juga tidak
ditemukan dalil syara’ baik yang menganggap sifat tersebut maupun yang
mengabaikannya.
4.
Al-Munaasib AL-Mulghaa
Yaitu suatu sifat yang menjadi pangkal tolak
pengidentifikasian kemashlahatan yang merupakan dasar-dasar penetapan hukum,
namun Syaari’ mengabaikan atau menolak keselarasan sifat tersebut dalam
menetapkan hukum bukan atas dasar keserasian dengan sifat tersebut.Juga Syaari’
telah menetapkan tereliminasinya sifat tersebut.
8.
Al-Dawaraan
Al-dawaran (perputaran) adalah tetapnya suatu hukum
dengan sebab adanya suatu sifat, dan tidak wujudnya hukum tersebut juga
disebabkan tidak ditemukannya sifat itu pada hukum, atau dalam arti lain,
keberadaan hukum berbanding lurus dengan keberadaan suatu sifat.
Para ulama berbeda persepsi mengenai
penunjukkan dawaraan atas ‘illat dari sebuah hokum, apakah secara
pasti ataukah hanya perkiraan saja, atau justru tidak bisa menunjukkan pada ‘illat
sama sekali?Dalam hal ini, Syaikhul Islam mempreferensikan (men-tarjih)
pendapat yang kedua, yaitu menunjukkan ‘illat secara perkiraan saja (zhanniy).
9.
Al-Syabah
Menurut
Al-Subki dalam Jam’ al-jawami’ menyatakan, bahwa tidak ada batasan
yang paling tepat untuk mendefinisikan al-syabah.[15]
Namun definisi yang paling mendekati kebenaran adalah definisi versi Abu Bakar
al-Baqillani yang juga dijadikan sebagai definisi oleh Wahbah al-Zuhailiy,
yaitu suatu sifat yang tidak mempunyai keserasian sama sekali dengan hukum.
Namun, oleh Syaari’ sifat tersebut dijadikan sebagai ‘illat pada
sebagian hukum (kasus) yang lain.
Pendefisian
tersebut akan menjadi jelas dalam contoh yang dikomentarkan Imam Al-Syafi’I, “Bersuci
(thahaaroh) dilakukan untuk mendirikan shalat”. Maka, dengan berpegangan
pada komentar ini, tidak boleh bersuci selain dengan air, sebagaimana bersuci
dari hadats karena adanya titik temu dari keduanya berupa thahaaroh.Akan
tetapi, setelah dikaji secara mendalam, tenyata tidak ditemukan keserasian
antara hukum thahaaroh dan kekhususan memakai air.Hanya saja, pada
sebagian kasus yang lain, seperti shalat dan thawaf, Syaari’ sendiri
sudah menegaskan bahwa keberadaan sifat tersebut diperhitungkan sebagai ‘illat.
Berangkat dari sinilah timbul suatu dugaan kuat bahwa sifat tersebut mempunyai
keserasian dengan hukum yang ada.
10.
Ilghaa’
al-Faariq
Ilghaa’ al-faariq adalah mengabaikan
perbedaan antara far’ dan ashl, dalam arti, hukum far’ bisa
langsung ditentukan ketika far’ diqiyaskan pada ashl tanpa
memandang sisi yang membedakan keduanya. Seperti dalam menyamakan amat (budak
perempuan) dengan ‘abd (budak laki-laki) dalam hukum sirayah
(penjalaran sifat merdeka pada seluruh bagian diri tatkala sebagian
dirinya dimerdekakan). Ini tercermin dalam hadits :
"من أعتق شركا له في عبد
، فكان له مال يبلغ ثمن العبد قُوّم قيمة عدل ، فأعطى شركاءه حصصهم وعتق عليه
العبد ، وإلا فقد عتق منه ما عتق". (متفق عليه)
Hal
yang membedakan antara amat dan ‘abd hanyalah jenis kelamin saja,
sedangkan dalam hukum sirayah, perbedaaan jenis kelamin bukanlah
penghalang dalam menyamakan hukum keduanya.Al-Syaukani dalam Irsyadul
al-Fuhuul-nya menyebut ilghaa’ al-faariq dengan istilah tanqiih
al-manaath.[16]
11.
Al-Thardu
Banyak
sekali perbedaan yang terjadi di kalangan para ulama’ dalam pendefinisian dan
status kehujjahan al-thardu.Namun yang dimaksud dengan al-thardu disini adalah, bahwa ‘illat
hukum tidaklah sesuai (munaasib) dan
berpengaruh (al-muatstsir).Perlu
juga ditegaskan, perbedaaan antara al-thardu
dengan al-dawaran.Al-thardu merupakan kebersamaan antara
hukum dan ‘illat dalam keberadaannya saja. Artinya, jika salah satu dari
keduanya ada, maka yang lain juga ada, namun jika salah satu dari keduanya
tidak ada, belum tentu yang lain juga tidak ada. Sedangkan al-dawaraan
adalah suatu bentuk kebersamaan antara hukum dan ‘illat, baik dalam
keberadaannya maupun tidak.
F.
Qawadih ‘Illat
Qawadih
secara bahasa adalah yaitu sesuatu yang mencacatkan atau melukai.Sedangkan
secara istilah Qawadih adalah sesuatu yang mempengaruhi atau mencacatkan pada
dalil dari segi ‘illat atau y ang lainnya.
Adapun macam-macamnya adalah:
1. Perbedaan hukum menurut sifat (تخلق الحكم عن الوصف)
Dinamakan oleh Imam Syafi’i dengan: نقض العلة فهو قادح في العلة
Contoh:
لا يزوج البكر الصغيرة الا وليها
“Gadis kecil tidak boleh kawin,
melainkan dikawinkan oleh walinya.” (H.R Muslim. Abu Daud, dan Nasa’i)
Hadits di
atas menunjukkan bahwa seorang wali mujbir memiliki hak untuk memaksa anak
gadisnya menikah.Sebagian ulama berpendapat bahwa ‘Illat bagi perwalian
tersebut adalah karena masih kecil. Akan tetapi meskipun masih kecil kalau ia
telah janda tidak bisa dipaksa oleh walinya untuk menikah. Sabda Rasulullah
SAW:
الايم احق بنفسها من وليها
“Janda lebih berhak terhadap dirinya dari pada
walinya” (H.R Muslim).
2. Apabila ‘illat batal, maka batal
pula hukum di atasnya. قادح في العلة مبطل له
Contohnya,
‘illat dari hilangnya melaksanakan kewajiban bagi orang gila adalah karena
akalnya tidak berfungsi.Akan tetapi, jika ‘illat tersebut telah hilang (akalnya
telah dapat berfungsi kembali dengan baik), maka hokum yang semula (hilangnya
melaksanakan kewajiban) menjadi batal (hilang) pula.Dan orang tersebut harus
melaksanakan kewajiban-kewajiban, karma ‘illatnya telah hilang (batal).
3. عدم
التفسيرTak ada pengaruh. Maksudnya, apabila
sifat itu tak berpengaruh, maka batallah sifat itu pada hukum
Misalnya, kebolehan bagi laki-laki
maupun perempuan untuk mengqashar shalat jika sedang dalam perjalanan
berdasarkan Q.S An-Nisa : 101. antara laki-laki dan perempuan terdapat
perbedaan sifat, yaitu perbedaan kelamin. Akan tetapi meskipun antara laki-laki
dan perempuan terdapat perbedaan sifat, namun perbedaan sifat itu tak
berpengaruh pada hokum, yaitu kebolehan mengqashar shalat bagi siapa saja yang
sedang dalam perjalanan, baik laki-laki maupun perempuan.
G. Cara
Penggunaanya
1.
Penggunaan ‘illat ‘adami untuk hukum tsubuti
Penggunaan
‘illat adami dalam hukum tsubuti seperti guru yang boleh memukul
muridnya karena ketidakpatuhannya. Sebagian ulama (diantaranya al-Razi)
membolehkan karena pada dasarnya ‘illat ‘adami dapat dipahami dalam
bentuk tsubuti, sedangkan al-Amidi menolak penggunaan ‘illat ‘adami
untuk hukum tsubuti.
2. Penggunaan ‘illat Qashiroh
Sebagian
ulama menolak penggunaan ‘illat Qashiroh secara mutlak, karena tidak
memenuhi syarat yang ditentukan.Ulama Hanafiah menolak ‘illat Qashiroh
yang tidak ditetapkan berdasarkan Nash atau Ijma’.Ibnu Subki membolehkan ‘illat
Qashiroh untuk menetapkan suatu hukum meskipun tidak dapat digunakkan untuk qiyas.
3. Penggunaan dua ‘illat untuk satu
hukum
Jumhur
Ulama membolehkan penggunaan dua ‘illat untuk satu hukum secara mutlak karena ‘illat
Syar’iyyah adalah alamat atau tanda bagi adanya hukum.Oleh karena itu,
tidak ada halangan bagi beberapa alamat atau tanda untuk memberi petunjuk
kepada sesuatu hukum tertentu. Jumhur beranggapan bahwa contoh hal itu dalam
pelaksanaannya secara praktis seperti: bersentuhan, memegang kemaluan, dan
buang air menjadi ‘illat batalnya wudhu.
4. Penggunaan satu ‘illat untuk dua
hukum, baik hukumnya hukum tsubuti, seperti pencurian menjadi ‘illat berlaku
hukum potong tangan, dan hukuman ganti rugi, maupun bila hukumnya dalam bentuk
naïf, seperti ‘illat Haid bagi sebab tidak sahnya puasa dan tidak sahnya
sholat.[17]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
pembahasan yang sudah dijabarkan, dapat diambil kesimpulan bahwa ‘Illat
adalah sesuatu yang memberikan batasan terhadap hukum, sehingga disebut juga
tanda yang dijadikan dasar hukum, jadi hukum itu disyariatkan karena adanya
‘illat.
Dapatkan
dikatakan bahwa perbedaan antara ‘illat, hukum dan sebab yakni dalam posisinya
terkait terwujudnya suatu hukum. ‘illat ada sebelum adanya hukum dalam artian
sebagai sebab pensyri’atan hukum, sedangkan sebab yang dimaksud disini sebab
dalam artian sebagai sesuatu yang menjadikan adanya hukum, sedangkan hikmah ada
setelah adanya hukum.
Sedangkan
masalikul ‘illat yaitu cara atau metode yang digunakan untuk mencari sifat atau
‘illat dari suatu peristiwa atau kejadian yang dapat dijadikan dasar untuk
menetapkan hukum.Dengan masalikul ‘illat tersebut dapat diketemukan
‘illat-‘illat dalam sebuah istinbath hukum.
B. Saran-saran
Memahami
paradigma perkembangan hukum islam mutlak membutuhkan suatu analisa yang tajam,
karena suatu kemestian bahwa ranah permasalahan yang dihadapi umat manusia
terutama kader ulama s2 ilmu falak sangatlah kompleks dan fluktuatif. Dan untuk
dapat mencerna semua itu perlu adanya pemahaman dalam menganalisa ‘illat suatu
permasalahan agar tidak timbul kerancuan alam memahami atau bahkan menyingkap
suatu hokum adri sebuah permasalahan.
WALLAHU A’LAM BI SHAWAB.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Al
Qur’an Dan Terjemahnya, Depag 1971
2.
Al-Syaukani, Irsyad Al-Fuhul,
jilid 2 maktabah syamilah
3.
Khalil,
‘Atha.2008.Ushul Fiqh.Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.
4.
Khallaf,
Abdul Wahhab.1996.Kaidah-Kaidah Hukum Islam.Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada.
7.
http://umarjabbar.files.wordpress.com/.../illat-masalik-qawadih1.doc diakses tanggal 15 November 2009
8.
Syaikh Muhammad Ahmad Sahal Bin
Mahfudz bin ‘Abdi Salam al-Fati al-Kajini ,Thoriqoh al-hushul ‘ala ghoyhal-wushul,
2000. Surabaya: Cv. Dian Tama
9.
Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshari, Ghoyahal-Wushul
fi syarh lubi al-ushul, TT, Surabaya: Haromain
10.
Umar,
Muin Dkk.1985.Ushul Fiqh1.Jakarta:Departemen Agama RI.
11.
Yunus,
Mahmud.1975. Kamus Arab-Indonesia.Jakarta: PT Mahmud Yunus Wadzurriyyah.
12.
Zahrah,
Muhammad Abu.2008.Ushul Fiqh.Jakarta: Pustaka Firdaus
[1]Prof. Mahmud Yunus. Kamus Arab-Indonesia. (Jakarta:
PT. Mahmud Yunus Wadzurriyah, 1972) hal: 276.
[2]Menurut
al-Ghazali, bahwa pengaruh illat terhadap hukum bukan dengan sendirinya,
melainkan harus karena adanya ijin Allah.Allahlah yang menjadikan illat itu
berpengaruh terhadap hukum. Definisi ini dibantah oleh kaum Mu’tazilah yang
mendefinisikan illat sebagi sifat yang secara langsung mempengaruhi hukum,
bukan atas kehendak atau perbuatan Allah (lihat: ghoyatul wushul hal 114)
[3]Drs. Mu’in Umar dkk.Ushul Fiqh. (Jakarta: Departemen
Agama RI, 1985)hal: 121
[7]Dengan bahasa
lain juga dikatakan bahwa perbnedaan mendasar antara ‘illat dan sebab yakni
dari keterjangkauannya oleh akal, disebutkan bahwa ‘illat masih dapat dijangkau
oleh akal atau jelas alasannya kenapa suatu hal tersebut dilakukan, semntara
sebab sebaliknya.
[12]Syaikhul Islam
Zakariya Al-Anshari, Ghoyatul Wushul fi syarh lubi al-ushul, Surabaya:
Haromain. TT hal 119
[14]Syaikh Muhammad
Ahmad Sahal Bin Mahfudz, Thoriqoh al-hushul ‘ala ghoyatil wushul, Surabaya: Cv.
Dian Tama, 2000. Hal 443
[15]
Syamsudin Muhammad al-mahalli, Hasiyyah al-banany syarah jam’ul jawami’, 1982, dar
al-fiqr hal 286
[17]http://umarjabbar.files.wordpress.com/.../illat-masalik-qawadih1.doc diakses tanggal 15 November 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar