Senin, 26 Mei 2014

ushul piqh

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Dalam memahami makna dan hakikat sebuah hukum  yang telah disyariatkan Allah SWT dalam fungsi dan peranannya sebagai alat untuk mengatur dan menata hidup dan kehidupan umat manusia tentunya bukanlah sebuah persoalan yang mudah. Hal tersebut dapatlah kita pahami bahwa semua aturan yang telah Allah tentukan pada akhirnya Dia sendiri yang mengetahui hakikatnya.
Secara lebih tegas dapat dinyatakan bahwa segala ketentuan hukum yang telah diterapkan oleh Allah baik perintah maupun larangan, dengan tujuan untuk menciptakan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia.Selain itu dijadikan sebagai landasan pemikiran untuk melihat dan menentukan kira-kira apa yang menjadi pendorong atau yang melatarbelakangi suatu ketentuan hukum syara’ tersebut.
Untuk memahami dan mengetahui apa yang menjadi pendorong atau alasan-alasan logis dari semua ketentuan hukum yang telah ditetapkan itu, maka para ulama Ushul Fiqh berupaya meneliti nash Al-Qur’an dan Sunnah dengan melihat hubungan antara suatu ketentuan hukum dengan alasan yang mendasar. Upaya ini, pada akhirnya melahirkan suatu teori yang kemudian dalam Ilmu Ushul Fiqh disebut dengan ‘Illat.Qiyas tidak akan dapat dijalankan sebelum ada sifat yang menyatukan antara ashl dan far’. Adanya sifat dalam teks nash tidaklah cukup untuk memvonis sebagai ‘illat, akan tetapi perlu adanya legalitas dari Syaari’ (pemegang otoritas  syari’at, Allah SWT dan rasul-Nya).
Dalam menginventarisir masaalik al-‘illat ini, para ulama’ melontarkan beragam sumber ataupun metode.Ada yang mengatakan sepuluh macam, ada pula yang mengatakan tidak sampai sebanyak itu.Pro kontra juga masih terjadi dalam kandungan masing-masing personalnya. Namun, dari kesekian masaalik al-‘illat  itu, secara umum dapat dikerucutkan dalam tiga macam masaalik al-‘illat,  yakni nash, ijma’, dan istinbath (metode pencarian dari selain nash  dan ijma’).Di dalam makalah ini akan dijelaskan tentang ‘Illat, Masalik ‘Illat dan Qawadihnya pada halaman selanjutnya.
B.       Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan ‘illat dalam pandangan ushuliyyin?
2.      Bagaimana bentuk perbedaan antara ‘illat, sebab dan hikmah?
3.      Apa urgensi mengetahui masalikul ‘illat dalam istinbath hukum?

C.      Tujuan Pembahasan
1.        Mengetahui definisi ‘illat dikalangan ushuliyyin
2.        Memahami perbedaan antara ‘illat, sebab dan hikmah
3.        Memahami urgensi masaliku ‘illat dalam istinbath hukum











BAB II
METODE PENCARIAN ‘ILLAT HUKUM

A.    Definisi ‘Illat
Dalam kamus bahasa Arab, ‘illat berasal dari kata علة - عل yang berarti sakit, yang menyusahkan, sebab, udzur.[1]
Secara istilah, beberapa pakar ushul fiqh memberikan beberapa pemaknaan, dintaranya menurut Atho bin Khalil bahwa ‘illat adalah sesuatu yang keberadaanya maka hukum menjadi ada. Atau perkara yang memunculkan hukum berupa pensyariatan suatu hukum.Illat merupakan dalil, tanda, dan yang memberi tahu adanya hukum.
Menurut Abdul Wahhab Khallaf ‘illat adalah sifat dalam hukum ashal yang dijadikan dasar hukum.
Menurut Muhammad Abu Zahrah, ‘illat adalah sebagai suatu sifat lahir yang menetapkan dan sesuai dengan hukum.
Menurut Mu’in Umar, ‘illat ialah suatu sifat yang ada pada ashal yang sifat itu menjadi dasar untuk menetapakan hukum ashal serta untuk mengetahui hukum pada far’ yang belum ditetapkan hukumnya.
Mayoritas ulama Hanafiyyah, sebagian ulama Hanabilah, dan Imam Baidhawi (tokoh Ushul Fiqh Syafi’iyyah) merumuskan definisi illah dengan:
الوصف المعرف للحكم
“Suatu sifat (yang berfungsi) sebagai pengenal bagi suatu hukum”.

Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muahammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali al-Thusi menyebutkan definisi illat sebagai berikut:
المؤثر فى الحكم بجعله تعالى لابالذات
Sifat yang berpengaruh terhadap hukum, bukan karena zatnya, melainkan atas perbuatan Syari’”.[2]
Contoh Illat adalah sebagai berikut:
·         Seperti menghabiskan harta anak yatim merupakan suatu sifat yang terdapat pada perbuatan memakan harta anak yatim yang menjadi dasar untuk menetapkan haramnnya hukum menjual harta anak yatim.[3]
·         Sifat memabukkan pada khamr, sehingga semua yang memabukkan dihukumi sebagai khamr.[4]
·         Atau pembunuhan sengaja dengan pedang sebagai ‘illat qishas, sebab tindak pidana yang diancam dengan hukuman qishas ialah segala bentuk penganiayaan dengan alat atau senjata yang mematikan.[5]

B.     Syarat-Syarat ‘Illat
Ada empat macam syarat-syarat ‘illat yang disepakati para ulama yaitu:
1.      Sifat ‘illat itu hendaknya nyata masih terjangkau oleh akal dan panca indera. Hal ini diperlukan karena ‘illat itulah yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum pada fara’.
2.      Sifat ‘illat itu harus pasti, tertentu, terbatas, dan dapat dibuktikan bahwa ‘illat itu ada pada fara’.
3.      ‘Illat harus berupa sifat yang sesuai dengan kemungkinan hikmah hukum, dengan arti bahwa keras dugaan ‘illat itu sesuai dengan hikmah hukumnya.
4.      ‘Illat itu tidak hanya terdapat pada ashal saja tetapai harus berupa sifat yang dapat pula diterapkan pada masalah-masalah lain selain dari ashal itu.[6]
Perbedaan antara ‘illat dengan hikmah adalah, bahwa ‘illat merupakan pendorong atau pemicu disyariatkannya suatu hukum dengan kata lain, sesuatu penyebab disyariatkannya hukum. Sedangkan hikmah adalah perkara yang menjelaskan hasil dan tujuan hukum.Berdasarkan hal itu, ‘illat ada sebelum adanya hukum dan bukan merupakan hasil dari pelaksanaan hukum.Sedangkan hikmah adlah hasil yang mungkin diperoleh dari pelaksanaan hukum.Hikmah dengan makna seperti ini kadangkala terpisah dari hukum pada kondisi tertentu.
Perbedaan ‘illat dengan sebab yaitu sebab merupakan tanda yang memberitahu adanya suatu hukum seperti tergelincirnya matahari merupakan tanda yang memberitahu adanya sholat, sedangkan ‘illat adalah perkara yang karenanya terwujud hukum.Jadi, ‘illat adalah sebab pensyariatan hukum, bukan sebab adanya hukum, sehingga ‘illat termasuk dalil hukum. Contohnya: Firman Allah Ta’ala (QS. Al-Jumu’ah: 9)[7]
62:9

“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.

Melalaikan sholat, menjadi alasann disyari’atkannya suatu hukum yaitu haramnya berjual beli ketika adzan jum’at. Dengan demikian disebut ‘illat bukan sebab.Berbeda dengan tergelincirnya matahari, bukan merupakan ‘illat karena sholat Dzuhur tidak disyari’atkan karenanya.Itu hanya merupakan tanda bahwa sholat dzuhur telah tiba.[8]

C.    Rincian dan Macam-Macam ‘Illat
‘Illat adalah sesuatu yang mendorong disyariatkannya hukum.Oleh karena itu, ‘illat harus terdapat di dalam dalil baik secara jelas (sharih), menunjukkan (dilalah), penggalian (istinbath), atau secara qiyas. Itulah macam-macam ‘illat yang akan dituturkan dibawah ini yaitu sebagai berikut:
Pertama, ‘Illat yang terdapat secara jelas (Shurahat), contonya:
ان كنتم ثلاثة فلا يتنا ج اثنان دون الثالث من اجل ان ذلك يحزنه
“Apabila tiga orang diantara kalian sedang berkumpul maka tidak boleh dua orang di antara kalian saling berbisik tanpa melibatkan orang yang ketiga karena hal itu akan membuatnya sedih.”( HR. Ahmad).

‘Illat pada hadits ini adalah karena perkara itu akan membuatnya sedih.Termasuk ‘illat karena menggunakan lafazh yang sharih, yaitu lafazh min ajli.
Kedua, Illat yang terdapat pada nash secara dilalah (penunjukan), contohnya dalam firman Allah SWT:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآَخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ

 “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).[9]

Kata menggentarkan musuh adalah sifat yang sesuai dengan mafhum bagi keharusan untuk mengadakan persiapan menghadapi musuh, lafazh tersebut merupakan ‘illat dilalah.
Ketiga, ‘illat yang terdapat dalam nash dengan jalan istinbath (mustanbath), contohnya dalam sabda Rasulullah SAW:
ارايت لو تمضمضت هل يفسد صومك ؟ قال : لا . قال: فكذلك القبلة
Apa pendapatmu andaikata engkau berkumur-kumur (pada saat berpuasa) apakah akan rusak berpuasamu?” Umar menjawab” Tidak”.Beliau bersabda begitu juga mencium.” (HR. Ahmad, Ibnu Khuzaimah)

Dari nash ini digali bahwa ‘illat batalnya puasa karena mencium adalah keluarnya sperma. Apabila seseorang mencium istrinya tidak keluar sperma maka tidak membatalkan puasa. Jadi Al-Inzal adalah ‘illat istinbatiyyah karena sama seperti berkumur-kumur.
Keempat, ‘Illat melalui qiyas, contohnya:
نهى رسول الله ص م ان يبيع حا ضر لباد
“Rasulullah SAW melarang orang kota (menyongsong guna membeli barang) kepada orang yang datang dari pelosok (pedesaan)”. (HR. Bukhari Muslim).

D.    Status, Kedudukan dan Fungsi ‘Illat
Status dan kedudukan ‘Illat adalah latar belakang penetapan hukum, yang kedudukannya terletak sebelum hukum disyariatkan.Jadi kedudukan illat sebenarnya sederajat dengan dalil suatu hukum syara’, yaitu illat itu ada sebelum atau bersamaan dengan hukum. Kedudukan illat adalah seperti halnya nash yang mendasari suatu hukum.[10]
Sedangkan fungsi ‘illat adalah sebagai berikut:
1. Penyebab atau penetap adanya hukum.
2. Penolak ( dafi’ah ) keberadaan hukum akan terjadi, tetapi tidak mencabut hukum itu seandainya `illat tersebut terdapat pada saat hukum tengah berlaku.
3. Pencabut ( rafi’at ) kelangsungan suatu hukum, bila `illat terjadi pada masa tersebut, tetapi `illat ini tidak menolak terjadinya suatu hukum.
4. Penolak dan pencegah suatu hukum. Mencegah terjadinya suatu hukum dan sekaligus dapat mencabut bila hukum itu telah berlangsung.[11]
E.     Masalik al-‘Illat (MetodePencarian ‘Illat)
Masalikul ‘illat adalah cara atau metode yang digunakan untuk mencari sifat atau ‘illat dari suatu peristiwa atau kejadian yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum. Diantara cara tersebut, ialah:
1.      Nash (Al-Quran dan Al-Hadist)
Dalam pemilahan masalik al-‘illat dalam nash, terdapat perbedaan cara pandang. Sebagian ulama’ membaginya dalam dua model penunjukan :
-          nash  menunjukkan secara eksplisit (shariih), maksudnya dalam penunjukkan tidak dibutuhkan lagi pemikiran dan istidlal (pencarian bukti), bersifat pasti (qathi’) ataupun sekedar dugaan (zhanni). Namun ada pula ulama’ yang mengharuskan qathi’.
-          nashmenunjukkan secara implisit (ghair shariih), termasuk isyarat (iimaa’) atau peringatan (tanbiih).
      Adapula yang membaginya menjadi tiga, dengan menjadikan isyarat dan peringatan dalam kategori masaalik al-‘illat yang mandiri sebagaimana termaktub dalam kitab Ghayatul Wushul fi syarh lubbi al-ushul.[12]
·         Eksplisit (Shariih).
Penunjuk secara eksplisit dari nash terbagi dalam dua dimensi, qath’i dan zhanni :
a.       Qath’i (pasti)
Secara berurutan sesuai kadar kekuatan penunjukannya, bentuk-bentuk tekstual nash yang menunjukkan ‘illat secara shariih sekaligus qhat’i adalah:
·   Lafadzلعلة كذا  (karena alasan demikian) ataupun   لسبب كذا (karena sebab demikian.
·   Lafadz من أجل كذا  (oleh karena).
·   Lafadz كي  (supaya) ataupun كي لا (supaya tidak), dan juga إذن.
b.      Dzhanni (asumtif)
Secara berurutan, huruf-huruf tersebut adalah:
-       Huruf لام (Laam)
-       Huruf أن (An), dengan terbaca fathaah pada hamzah, dengan sukun (mati) pada nun-nya. Lafadz ini menggunakan arti kata لأجل (li ajli) yang berarti “dengan maksud”, jadi fi’ilmustaqbal yang jatuh setelah anmenjadi ‘illat dari lafadz sebelumnya.
-       باء(ba’), Al-Zarkasyi mensyaratkan ba’ bisa berfungsi sebagai ta’liil bila layak menempati posisi laam.
-       إن (inna), dengan dibaca kasrah pada hamzah-nya dan sukun pada nun-nya.
2.      Implisit (Ghair al-shariih).
Yang dimaksud nash menunjukkan ‘illat secara implisit adalah bilamana nash tidak secara langsung menunjukkan ‘illat, akan tetapi perlu adanya suatu qariinah (indikasi) untuk mengarahkan suatu sifat yang terkandung dalam nash tersebut menjadi ‘illat. Dalam artian, nash tersebut tidak secara jelas menunjukkan ‘illat, akan tetapi hanya dengan isyarat dan peringatan  (إيماء و تنبيها). Hal ini terjadi jika ditemukan qariinah yang menjadikan nash  tersebut menunjukkan ‘illat. Diantara indikasi-indikasi (qariinah) tersebut adalah:
(1)     Sebuah hukum muncul sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah saw. Sebagaimana jawaban rasulullah saw atas kejadian yang menimpa orang badui :"أعتق رقبة" . Ungkapan rasul tersebut menunjukkan bahwa hubungan badan adalah ‘illat dari hukuman untuk memerdekakan budak.
(2)     Menggantungkan hukum atas ‘illat dengan fa’ta’qiib (fa’ yang menunjukkan arti beriringan). Sebagaimana firman Allah SWT : (والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما).
(3)     Hukum ketika bersamaan dengan sifat yang munaasib (serasi). Contohnya adalah hadits riwayat Bukhari dan Muslim: (لا يحكم أحد بين اثنين وهو غضبان).
(4)     Membedakan hukum dengan perbedaan sifat. Hal ini juga juga bisa dijadikan jalan untuk menemukan ‘illat dari suatu nash. Penyebutan dua hukum dan sifat yang berbeda adakalanya secara bersamaan seperti sabda nabi yang berbunyi: (للراجل سهم وللفارس سهمان). Dan adakalanya dengan menyebutkan salah satunya saja sebagaimana sabda nabi: (القاتل لا يرث).

2.      Ijma’
Maksudnya, ialah ‘illat itu ditetapkan dengan ijma. Seperti belum baligh (masih kecil) menjadi ‘illat dikuasai oleh wali harta anak yatim yang belum baligh. Hal ini disepakati oleh para ulama.
Dalam memposisikan ijma’ sebagai metode pencarian ‘illat para ulama’ berbeda pandangan. Ibn al-Haajib, al-Zarkasyi, dan Syaikhul Islam  memilih untuk mendahulukan ijma’ daripada nash,[13] dengan dalih bahwasannya ijma’ adalah salah satu faktor tarjiih (preferensi) dan merupakan alternatif pertama saat terjadi kontradiksi diantara dalil-dalil nash. Terlebih lagi kecil kemungkinan ijma’ dapat direvisi (naskh). Sedangkan al-Baidlhawi memilih mendahulukan nash daripada ijma’, dengan alas an bahwa nash adalah sumber sandaran bagi ijma’. Selain itu, dalil nash lebih mulia dan utama dibanding dalil-dalil lain.

3.      Al-SabruWa Al-Taqsim
Al-Sabru adalah observasi seorang mujtahid untuk menentukan satu dari sekian banyak sifat yang terkandung dalam ashl  yang berhasil diinventarisir, dengan cara membuang semua sifat yang dinilai tidak layak dijadikan ‘illat  dengan berpedoman pada dalil-dalil yang bisa menguatkannya.SedangkanAl-Taqsiim adalah pengakomodiran seorang mujtahid terhadap semua sifat yang terkandung didalam ashl yang disinyalir pantas dan layak untuk diplot sebagai ‘illat  hukumashl.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa al-sabruwa al-taqsiim secara istilah adalah pengakomodiran mujtahid terhadap semua sifat yang disinyalir layak sebagai ‘illat  hukum ashl  kemudian dengan berpedoman pada syarat-syarat ‘illat, mujtahid mengkaji serta meneliti satu persatu dari sifat-sifat tersebut, yang pada akhirnya sang mujtahid menetapkan satu sifat yang dianggap paling tepat untuk dijadikan ‘illat dan membuang sifat-sifat yang dianggap tidak tepat. Praktek definisi di atas adalah seperti ungkapan mujtahid, “Setelah saya mengakomodir semua sifat yang layak kemudian mengkaji serta meneliti satu persatu sejauh kemampuan dengan tetap berpegang pada syarat-syarat ‘illat, ternyata hanya sifat inilah yang pantas dan paling tepat untuk diplot menjadi ‘illat”.
Ada dua macam model peringkasan  dan pembatalan sifat (al-taqsiim wa al-sabru) yang dilakukan mujtahid, yakni qath’i  dan zhanni. Qath’i (pasti) dalam arti, akal dapat memastikan bahwa tidak ada ‘illat lain selain sifat terpilih yang layak untuk dijadikan ‘illat, seperti menetapkan sifat shighar dalam permasalahan kewenangan ayah untuk menikahkan anak gadisnya yang belum dewasa. Sedangkan zhanni (dugaan), dalam arti penentuan mujtahid terhadap salah satu sifat tersebut belum sampai batas qathi’ sehingga masih ada peluang bagi mujtahid lain untuk berbeda kesimpulan dengannya, seperti dalam penentuan ‘illat harta ribawi.
Satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari pembahasan al-taqsiim wa al-sabru  adalah mengenai cara pembersihan sifat-sifat yang dinilai tidak relevan dan layak untuk diplot sebagai ‘illat. Dan saat melakukan sweeping terhadap sifat-sifat yang dinilai sesuai untuk hukum ashl.Dalam hal ini, ada dua langkah yang bisa ditempuh oleh para mujtahid, yakni al-ilghaa’, dan al-thardiyyah.
3.   Al-Ilghaa’ (pembatalan)
Sewaktu melakukan identifikasi terhadap sejumlah sifat, mujtahid menemukan sifat bahwa yang akan dijadikan ‘illat tersebut ternyata telah dinonfungsikan atau tidak dijadikan pijakan oleh ketetapan hukum yang telah ada, alias hukum syara’ bisa ditetapkan tanpa memperhitungkan sifat tersebut. Jadi, sifat tersebut tidak berpengaruh sama sekali terhadap hukum. Seperti kalangan Hanafiyyah yang menganggap sifat shighar sebagai sebab tetapnya kekuasaan ayah dalam menikahkan anak gadisnya yang masih kecil, dengan tendensi bahwa untuk menikahkan anak gadisnya yang sudah dewasa, seorang ayah masih diperintahkan meminta izin anaknya terlebih dahulu.

4.   Al-Thardiyyah (pembuangan)
Al-Thardiyyah adalah Pembuangan mujtahid terhadap sifat yang tidak dianggap oleh Syaari’ yang dapat mempengaruhi penetapan hukum syara’. Jalan pembersihan sifat dengan menggunakan system ini ada dua macam:
(1)   Tidak diperhitungkan secara mutlak, yakni pembuangan sifat yang menurut mujtahid sama sekali tidak diperhitungkan oleh Syaari’ dalam penetapan semua hukumsyara’. Seperti sifat panjang dan pendek, hitam dan putih, dan lain sebagainya.
(2)   Tidak diperhitungkan secara khusus dalam hukum sedang dibahas. Yakni, pembuangan mujtahid terhadap sifat yang tidak diperhitungkan Syaari’ dalam penetapan hukum pada kasus sejenis, kendati masih diperhitungkan dalam kasus lain. Seperti sifat gender (laki-laki dan perempuan) yang diperhitungkan Syaari’ dalam menetapkan hukum pembagian harta pusaka, persaksian, dan lain-lain.
5.   Tidak Nampak adanya munasabah
Maksudnya adalah, bahwa dalam pandangan mujtahid, tidak nampak pada sifat yang akan dibuangnya, adanya munaasabah (keserasian) dengan hukum ashl yang dicarikan ‘illat-nya. Dalam menetapkan ada tidaknya munaasabah, mujtahid cukup menyatakan: “Setelah sifat ini saya kaji dengan teliti, ternyata tidak saya temukan adanya keserasian antara sifat ini dengan hukum yang saya bahas”. Mujtahid juga tidak diharuskan mengungkapkan bukti-butki ketidakserasian sifat tersebut, karena kecerdasan intelektual dan sifat adilnya cukup sebagai bukti atas kebenarannya.



4.      Tanqiih al-Manaath
Secara harfiah, tanqiih  berarti perbaikan, pemisahan dan pemurnian, sedangkan manaath  mempunyai arti sesuatu yang dijadikan hubungan atau persambungan (‘illat).
Terdapat dua versi dalam mendefinisikannya:
-       Pembersihan hukum dari sifat yang tidak patut untuk dijadikan ‘illat yang terdapat dalam nash yang zhaahir, dan hanya menetapkan satu sifat untuk diplot sebagai ‘illat dari hukum tersebut.
-       Sama seperti pengertian di atas, hanya saja kekhususan sifat yang telah diplot sebagai ‘illat tersebut diarahkan pada sifat keumumannya.

5.      Takhriij al-Manaath
Takhriij al-manaath  adalah pencurahan pikiran seorang mujtahid untuk mengeluarkan ‘illat hukum yang ditetapkan oleh nash ataupun ijma’. Dari definisi ini dapat diketahui bahwa fokus seorang mujtahid adalah mengeluarkan ‘illat yang masih tersembunyi dalam kandungan nash ataupun ijma’. Hal ini berbeda dengan tanqiih, karena dalam tanqiih, yang dilakukan oleh mujtahid adalah memperbaiki hukum yang ditetapkan nash, dan dari hukum tersebut daimbilnya sifat-sifat yang patut dijadikan ‘illat serta membuang sifat-sifat yang tidak patut dijadikan ‘illat.
Takhriij al-manaath  bisa ditempuh dengan beragam cara dari berbagai metode pencarian ‘illat, seperti al-taqsiim wa al-sabru. Contohnya adalah penentuan sifat makanan (al-tha’m), sifat bisa ditimbang (al-kail), dan sifat makanan pokok (al-qut), sebagai ‘illat dari hukum keharaman riba dengan menggunakan metode al-taqsiim wa al-sabru.
Takhriij al-manaath  juga merupakan jembatan awal dan dasar dalam berijtihad dengan metode qiyas. Karena bermula dari situlah dikeluarkan sifat-sifat yang nantinya akan dijadikan ‘illat.



6.      Tahqiiq al-Manaath
Tahqiiq al-manaath adalah pencurahan daya pikiran guna mencari wujud ‘illat pada suatu kejadian atau kasus yang belum ada kejelasan hukumnya, dari nash  atau ijma’, untuk diqiyaskan pada kasus lain yang sudah ada kejelasannya dari nash atau ijma. Artinya, status ‘illat telah disepakati oleh para ulama’ dengan dalil nash ataupun ijma’, namun para ulama masih meneliti dengan seksama wujud ‘illat pada masalah-masalah yang masih dalam perdebatan para ulama’. Dari sini, ditemukan perbedaan antara takhriij al-manaath dengan tahqiiq al-manaath.  Bila takhriij al-manaath adalah penjelasan ‘illat dalam ashl, maka tahqiiq al-manaath adalah penetapan ‘illat dalam fari’.

7.      Al-Munaasib
Al-munasiib bisa juga disebut dengan ikhaalah (persangkaan) atau mazhinnah (praduga), karena adanya keserasian sifat dengan hukum bisa mendatangkan dugaan bahwa sifat itulah yang layak untuk dijadikan ‘illat. Menurut Ibn al-Haajib, al-munaasib adalah sifat yang jelas dan terbatasi, yang secara rasio, dengan persambungan hukum dengan sifat tersebut akan tercapailah tujuan pensyari’atan, berupa menarik kemaslahatan dan menolak kerusakan.
Namun, jika sifat tersebut samar atau tidak bisa dibatasi, maka yang dianggap ‘illat adalah mulaazim (sesuatu yang selalu menetap) dari sifat tersebut, yang nampak jelas dan terbatasi. Seperti safar (bepergian) yang merupakan salah satu hal yang menimbulkan masyaqqah (kesulitan). Pada asalnya, yang menimbulkan keringanan (rukhshah) adalah masyaqqah itu sendiri. Akan tetapi, karena masyaqqah tidak bisa terbatasi karena perbedaan standar penilaian dari masing-masing individu, kondisi, dan masa, maka disandarkanlah hukum rukhshah tersebut pada sesuatu yang diduga menimbulkan masyaqqah, yaitu bepergian (safar).
Selanjutnya, dimensi tercapainya hikmah atau tujuan pensyari’atan dalam suatu kasus, diklasifikasikan para ulama’ dalam empat bentuk :
-          Secara yakin, sebagaimana dalam transaksi jual beli, yang mana hikmah dibalik pensyari’atannya adalah untuk mendapatkan kepemilikan secara sah.
-          Secara dugaan, seperti ditetapkannya hukum qishaash (balasan yang setara), yang mana hikmahnya adalah untuk mencegah terjadinya pembunuhan serta melindungi nyawa manusia. Hanya saja, hikmah ini masih bersifat praduga.
-          Seimbang antara pasti dan dugaan, seperti hikmah ditetapkannya hukuman cambuk bagi peminum arak dengan tujuan menjaga akal dan mencegah orang meminum arak.
Tingkat ketiadaan pencapaiannya lebih tinggi daripada tercapainya, sebagaimana dalam menikahi perempuan mandul (aayisah). Padahal, telah diketahui bersama, bahwa hikmah disyariatkan nikah adalah untuk meneruskan keturunan, dan tentu saja, kemungkinan besar hal ini tidak akan tercapai dengan menikahi perempuan mandul.
6.      Stratifikasi al-Munaasib.
Selanjutnya, bila dilihat dari sisi pensyariatan berbagai hukum, al-munasib terbagi dalam beberapa strata:
1.      Al-dlaruuri, yakni sesuatu yang sangat dibutuhkan sampai batas darurat (untuk menghindari dari kesulitan) diluar batas kewajaran.
2.      Al-haajiy, yakni sesuatu yang dibutuhkan yang tidak sampai batas darurat.
3.      Al-tahsiiniy, yakni sesuatu yang dinilai baik menurut adat, namun tidak begitu dibutuhkan, bila ditinggalkan tidak ada kesulitan atau bahaya, tetapi jika dilakukan akan ada kemanfaatannya (lebih pantas).[14]
7.      Relevansi al-munaasib dengan nash atau ijma’
Jika ditinjau dari segi relevansinya dengan nashatau ijma’, al-munaasib terbagi menjadi beberapa macam:
1.      Al-Munaasib Al-Mu’atstsir
Yaitu suatu sifat yang serasi, yang mana Syaari’ dalam menetapkan suatu hukum atas dasar kesesuaian dengan sifatnya, dan nashataupun ijma’ telah menetapkan bahwa diri sifat tersebut dianggap sebagai ‘illat bagi hukum.
2.      Al-Munaasib Al-Mulaa’im
Adalah suatu sifat yang serasi, yang mana Syaari’ dalam menetapkan suatu hukum berdasarkan keseuaian dengan sifat tersebut, dan nash ataupun ijma’ tidak menetapkan bahwa diri sifat tersebut dianggap sebagai ‘illat oleh nash ataupun ijma’. Disaat sifat yang munasib tersebut sesuai dengan ketiga alternatif ini, maka penetapan ‘illat dengan sifat tersebut dianggap sesuai dengan prosedur pensyariatan. Ketiga alternatif tersebut adalah:
-          Nashataupun ijma’ menganggap diri sifat tersebut (‘ain al-washf) sebagai ‘illat bagi hukum yang sejenis dengan hukum yang telah ditetapkan atas dasar kesesuaian dengan sifat tersebut (jins al-hukm).
-          nash ataupun ijma’ menganggap sifat sejenisnya (jins al-washf) sebagai ‘illat bagi hukum itu sendiri, bukan hukum sejenisnya (‘ain al-hukm).
-          nash ataupaun ijma’ menganggap sifat sejenisnya (jins al-washf) sebagai ‘illat bagi hukum yang masih sejenis dengan hukum yang telah ditetapkan atas dasar kecocokan dengan sifat (jins al-hukm).  
Karena begitu luas cakupan ketiga alternatif diatas, maka keberadaan al-munaasibal-ghariibsebagaimana telah diklaim oleh sebagian ulama ahli ushul, tidak pernah ditemukan wujudnya.

3.      Al-Munaasib Al-Mursal
Al-munaasib al-mursal, atau bisaa diistilahkan dengan al-mashlahah al-mursalah, adalah suatu sifat yang mana Syaari’ dalam menetapkan suatu hukum bukan atas dasar kecocokan dengan sifat tersebut, dan juga tidak ditemukan dalil syara’ baik yang menganggap sifat tersebut maupun yang mengabaikannya.
4.      Al-Munaasib AL-Mulghaa
Yaitu suatu sifat yang menjadi pangkal tolak pengidentifikasian kemashlahatan yang merupakan dasar-dasar penetapan hukum, namun Syaari’ mengabaikan atau menolak keselarasan sifat tersebut dalam menetapkan hukum bukan atas dasar keserasian dengan sifat tersebut.Juga Syaari’ telah menetapkan tereliminasinya sifat tersebut.

8.      Al-Dawaraan
Al-dawaran (perputaran) adalah tetapnya suatu hukum dengan sebab adanya suatu sifat, dan tidak wujudnya hukum tersebut juga disebabkan tidak ditemukannya sifat itu pada hukum, atau dalam arti lain, keberadaan hukum berbanding lurus dengan keberadaan suatu sifat.
Para ulama berbeda persepsi mengenai penunjukkan dawaraan atas ‘illat dari sebuah hokum, apakah secara pasti ataukah hanya perkiraan saja, atau justru tidak bisa menunjukkan pada ‘illat sama sekali?Dalam hal ini, Syaikhul Islam mempreferensikan (men-tarjih) pendapat yang kedua, yaitu menunjukkan ‘illat secara perkiraan saja (zhanniy).

9.      Al-Syabah
Menurut Al-Subki dalam Jam’ al-jawami’  menyatakan, bahwa tidak ada batasan yang paling tepat untuk mendefinisikan al-syabah.[15] Namun definisi yang paling mendekati kebenaran adalah definisi versi Abu Bakar al-Baqillani yang juga dijadikan sebagai definisi oleh Wahbah al-Zuhailiy, yaitu suatu sifat yang tidak mempunyai keserasian sama sekali dengan hukum. Namun, oleh Syaari’ sifat tersebut dijadikan sebagai ‘illat pada sebagian hukum (kasus) yang lain.
Pendefisian tersebut akan menjadi jelas dalam contoh yang dikomentarkan Imam Al-Syafi’I, “Bersuci (thahaaroh) dilakukan untuk mendirikan shalat”. Maka, dengan berpegangan pada komentar ini, tidak boleh bersuci selain dengan air, sebagaimana bersuci dari hadats karena adanya titik temu dari keduanya berupa thahaaroh.Akan tetapi, setelah dikaji secara mendalam, tenyata tidak ditemukan keserasian antara hukum thahaaroh dan kekhususan memakai air.Hanya saja, pada sebagian kasus yang lain, seperti shalat dan thawaf, Syaari’ sendiri sudah menegaskan bahwa keberadaan sifat tersebut diperhitungkan sebagai ‘illat. Berangkat dari sinilah timbul suatu dugaan kuat bahwa sifat tersebut mempunyai keserasian dengan hukum yang ada. 

10.  Ilghaa’ al-Faariq
Ilghaa’ al-faariq adalah mengabaikan perbedaan antara far’ dan ashl, dalam arti, hukum far’ bisa langsung ditentukan ketika far’ diqiyaskan pada ashl tanpa memandang sisi yang membedakan keduanya. Seperti dalam menyamakan amat (budak perempuan) dengan ‘abd (budak laki-laki) dalam hukum sirayah (penjalaran sifat  merdeka pada seluruh bagian diri tatkala sebagian dirinya dimerdekakan). Ini tercermin dalam hadits : 
"من أعتق شركا له في عبد ، فكان له مال يبلغ ثمن العبد قُوّم قيمة عدل ، فأعطى شركاءه حصصهم وعتق عليه العبد ، وإلا فقد عتق منه ما عتق". (متفق عليه)
Hal yang membedakan antara amat dan ‘abd hanyalah jenis kelamin saja, sedangkan dalam hukum sirayah, perbedaaan jenis kelamin bukanlah penghalang dalam menyamakan hukum keduanya.Al-Syaukani dalam Irsyadul al-Fuhuul-nya menyebut ilghaa’ al-faariq dengan istilah tanqiih al-manaath.[16]

11.  Al-Thardu
Banyak sekali perbedaan yang terjadi di kalangan para ulama’ dalam pendefinisian dan status kehujjahan al-thardu.Namun yang dimaksud dengan al-thardu disini adalah, bahwa ‘illat hukum tidaklah sesuai (munaasib) dan berpengaruh (al-muatstsir).Perlu juga ditegaskan, perbedaaan antara al-thardu dengan al-dawaran.Al-thardu merupakan kebersamaan antara hukum dan ‘illat dalam keberadaannya saja. Artinya, jika salah satu dari keduanya ada, maka yang lain juga ada, namun jika salah satu dari keduanya tidak ada, belum tentu yang lain juga tidak ada. Sedangkan al-dawaraan adalah suatu bentuk kebersamaan antara hukum dan ‘illat, baik dalam keberadaannya maupun tidak.


F.   Qawadih ‘Illat
Qawadih secara bahasa adalah yaitu sesuatu yang mencacatkan atau melukai.Sedangkan secara istilah Qawadih adalah sesuatu yang mempengaruhi atau mencacatkan pada dalil dari segi ‘illat atau y ang lainnya.
Adapun macam-macamnya adalah:
1. Perbedaan hukum menurut sifat (تخلق الحكم عن الوصف)
Dinamakan oleh Imam Syafi’i dengan: نقض العلة فهو قادح في العلة
Contoh:
لا يزوج البكر الصغيرة الا وليها
“Gadis kecil tidak boleh kawin, melainkan dikawinkan oleh walinya.” (H.R Muslim. Abu Daud, dan Nasa’i)
Hadits di atas menunjukkan bahwa seorang wali mujbir memiliki hak untuk memaksa anak gadisnya menikah.Sebagian ulama berpendapat bahwa ‘Illat bagi perwalian tersebut adalah karena masih kecil. Akan tetapi meskipun masih kecil kalau ia telah janda tidak bisa dipaksa oleh walinya untuk menikah. Sabda Rasulullah SAW:
الايم احق بنفسها من وليها
 “Janda lebih berhak terhadap dirinya dari pada walinya” (H.R Muslim).
2.    Apabila ‘illat batal, maka batal pula hukum di atasnya. قادح في العلة مبطل له
Contohnya, ‘illat dari hilangnya melaksanakan kewajiban bagi orang gila adalah karena akalnya tidak berfungsi.Akan tetapi, jika ‘illat tersebut telah hilang (akalnya telah dapat berfungsi kembali dengan baik), maka hokum yang semula (hilangnya melaksanakan kewajiban) menjadi batal (hilang) pula.Dan orang tersebut harus melaksanakan kewajiban-kewajiban, karma ‘illatnya telah hilang (batal).
3. عدم التفسيرTak ada pengaruh. Maksudnya, apabila sifat itu tak berpengaruh, maka batallah sifat itu pada hukum
Misalnya, kebolehan bagi laki-laki maupun perempuan untuk mengqashar shalat jika sedang dalam perjalanan berdasarkan Q.S An-Nisa : 101. antara laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan sifat, yaitu perbedaan kelamin. Akan tetapi meskipun antara laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan sifat, namun perbedaan sifat itu tak berpengaruh pada hokum, yaitu kebolehan mengqashar shalat bagi siapa saja yang sedang dalam perjalanan, baik laki-laki maupun perempuan.

G.    Cara Penggunaanya
1.      Penggunaan ‘illat ‘adami untuk hukum tsubuti
Penggunaan ‘illat adami dalam hukum tsubuti seperti guru yang boleh memukul muridnya karena ketidakpatuhannya. Sebagian ulama (diantaranya al-Razi) membolehkan karena pada dasarnya ‘illat ‘adami dapat dipahami dalam bentuk tsubuti, sedangkan al-Amidi menolak penggunaan ‘illat ‘adami untuk hukum tsubuti.
2.      Penggunaan ‘illat Qashiroh
Sebagian ulama menolak penggunaan ‘illat Qashiroh secara mutlak, karena tidak memenuhi syarat yang ditentukan.Ulama Hanafiah menolak ‘illat Qashiroh yang tidak ditetapkan berdasarkan Nash atau Ijma’.Ibnu Subki membolehkan ‘illat Qashiroh untuk menetapkan suatu hukum meskipun tidak dapat            digunakkan untuk qiyas.
3.      Penggunaan dua ‘illat untuk satu hukum
Jumhur Ulama membolehkan penggunaan dua ‘illat untuk satu hukum secara mutlak karena ‘illat Syar’iyyah adalah alamat atau tanda bagi adanya hukum.Oleh karena itu, tidak ada halangan bagi beberapa alamat atau tanda untuk memberi petunjuk kepada sesuatu hukum tertentu. Jumhur beranggapan bahwa contoh hal itu dalam pelaksanaannya secara praktis seperti: bersentuhan, memegang kemaluan, dan buang air menjadi ‘illat batalnya wudhu.
4.      Penggunaan satu ‘illat untuk dua hukum, baik hukumnya hukum tsubuti, seperti pencurian menjadi ‘illat berlaku hukum potong tangan, dan hukuman ganti rugi, maupun bila hukumnya dalam bentuk naïf, seperti ‘illat Haid bagi sebab tidak sahnya puasa dan tidak sahnya sholat.[17]























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari pembahasan yang sudah dijabarkan, dapat diambil kesimpulan bahwa Illat adalah sesuatu yang memberikan batasan terhadap hukum, sehingga disebut juga tanda yang dijadikan dasar hukum, jadi hukum itu disyariatkan karena adanya ‘illat.
Dapatkan dikatakan bahwa perbedaan antara ‘illat, hukum dan sebab yakni dalam posisinya terkait terwujudnya suatu hukum. ‘illat ada sebelum adanya hukum dalam artian sebagai sebab pensyri’atan hukum, sedangkan sebab yang dimaksud disini sebab dalam artian sebagai sesuatu yang menjadikan adanya hukum, sedangkan hikmah ada setelah adanya hukum.
Sedangkan masalikul ‘illat yaitu cara atau metode yang digunakan untuk mencari sifat atau ‘illat dari suatu peristiwa atau kejadian yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum.Dengan masalikul ‘illat tersebut dapat diketemukan ‘illat-‘illat dalam sebuah istinbath hukum.
B.       Saran-saran
Memahami paradigma perkembangan hukum islam mutlak membutuhkan suatu analisa yang tajam, karena suatu kemestian bahwa ranah permasalahan yang dihadapi umat manusia terutama kader ulama s2 ilmu falak sangatlah kompleks dan fluktuatif. Dan untuk dapat mencerna semua itu perlu adanya pemahaman dalam menganalisa ‘illat suatu permasalahan agar tidak timbul kerancuan alam memahami atau bahkan menyingkap suatu hokum adri sebuah permasalahan.
WALLAHU A’LAM BI SHAWAB.




DAFTAR PUSTAKA
1.      Al Qur’an Dan Terjemahnya, Depag 1971

2.      Al-Syaukani, Irsyad Al-Fuhul, jilid 2 maktabah syamilah

3.      Khalil, ‘Atha.2008.Ushul Fiqh.Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.

4.      Khallaf, Abdul Wahhab.1996.Kaidah-Kaidah Hukum Islam.Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.

5.      http://ayok.wordpress.com/2006/12/27/ragam-illat-qiya/ diakses tanggal 15 November 2009.

6.      http://haryono10182.wordpress.com/sumber-hukum-islam/ diakses tanggal 15 November 2009

7.      http://umarjabbar.files.wordpress.com/.../illat-masalik-qawadih1.doc diakses tanggal 15 November 2009

8.      Syaikh Muhammad Ahmad Sahal Bin Mahfudz bin ‘Abdi Salam al-Fati al-Kajini ,Thoriqoh al-hushul ‘ala ghoyhal-wushul, 2000. Surabaya: Cv. Dian Tama

9.      Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshari, Ghoyahal-Wushul fi syarh lubi al-ushul, TT, Surabaya: Haromain

10.  Umar, Muin Dkk.1985.Ushul Fiqh1.Jakarta:Departemen Agama RI.

11.  Yunus, Mahmud.1975. Kamus Arab-Indonesia.Jakarta: PT Mahmud Yunus Wadzurriyyah.

12.  Zahrah, Muhammad Abu.2008.Ushul Fiqh.Jakarta: Pustaka Firdaus



[1]Prof. Mahmud Yunus. Kamus Arab-Indonesia. (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzurriyah, 1972) hal: 276.
[2]Menurut al-Ghazali, bahwa pengaruh illat terhadap hukum bukan dengan sendirinya, melainkan harus karena adanya ijin Allah.Allahlah yang menjadikan illat itu berpengaruh terhadap hukum. Definisi ini dibantah oleh kaum Mu’tazilah yang mendefinisikan illat sebagi sifat yang secara langsung mempengaruhi hukum, bukan atas kehendak atau perbuatan Allah (lihat: ghoyatul wushul hal 114)
[3]Drs. Mu’in Umar dkk.Ushul Fiqh. (Jakarta: Departemen Agama RI, 1985)hal: 121
[4]http://arsip.kotasantri.com/mimbar.php diakses tanggal 14 November 2009.
[5]Prof. Muhammad Abu Zahrah. Ushul Fiqh. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008) hal: 364.
[6]Drs. Mu’in Umar dkk.Ushul Fiqh. (Jakarta: Departemen Agama RI, 1985)hal: 123-124.
[7]Dengan bahasa lain juga dikatakan bahwa perbnedaan mendasar antara ‘illat dan sebab yakni dari keterjangkauannya oleh akal, disebutkan bahwa ‘illat masih dapat dijangkau oleh akal atau jelas alasannya kenapa suatu hal tersebut dilakukan, semntara sebab sebaliknya.
[8]‘Atho bin Khalil. Ushul Fiqh. (Bogor: Pustaka Thoriqul Izzah, 2008) hal: 131- 136.
[9] QS.Al-Anfal:60
[12]Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshari, Ghoyatul Wushul fi syarh lubi al-ushul, Surabaya: Haromain. TT hal 119
[13]lihat ghoyatul wushul fi syarah lubi al-ushul, hal 119
[14]Syaikh Muhammad Ahmad Sahal Bin Mahfudz, Thoriqoh al-hushul ‘ala ghoyatil wushul, Surabaya: Cv. Dian Tama, 2000. Hal 443
[15] Syamsudin Muhammad al-mahalli, Hasiyyah al-banany syarah jam’ul jawami’, 1982, dar al-fiqr hal 286
[16]Al-Syaukani, Irsyad Al-Fuhul, jilid 2 maktabah syamilah: 141

Tidak ada komentar:

Posting Komentar