BAB I
PENDAHULUAN
Shalat adalah
ibadah yang tidak bisa ditinggalkan, baik dalam keadaan apapun dan tidak ada
istilah dispensasi. Shalat merupakan kewajiban bagi seluruh umat muslim dan
merupakan perintah langsung dari Allah SWT yang diberikan kepada Nabi Agung
Muhammad SAW, ketika melaksanakan misi suci yaitu isra’ mi’raj yang terjadi
pada tanggal 27 Rajab 12 tahun sesudah kenabian.
Dalam
peristiwa tersebut, Allah SWT memberikan tanggungjawab kepada manusia khususnya
umat Nabi Muhammad SAW untuk melaksanakan shalat lima waktu dalam sehari
semalam. Sebenarnya pelaksanaan ibadah sudah ada sejak zaman nabi-nabi
terdahulu, hanya saja jumlah rakaat, tatacara dan waktunya berbeda-beda. Sebagai
contoh shalatnya Nabi Sulaiman AS yang melaksanakan shalat dengan cara berdiri
tegak.
Dalam menunaikan
shalat, kaum muslimin terikat dengan waktu-waktu masuk dan waktu selesai dari
shalat tersebut. Oleh karena itu shalat dikatakan ibadah muwaqqat
(ibadah yang terikat dengan waktu / masa). Sesuai dengan firman Allah SWT.
#sÎ*sù ÞOçFøÒs% no4qn=¢Á9$# (#rãà2ø$$sù ©!$# $VJ»uÏ% #Yqãèè%ur 4n?tãur öNà6Î/qãZã_ 4 #sÎ*sù öNçGYtRù'yJôÛ$# (#qßJÏ%r'sù no4qn=¢Á9$# 4 ¨bÎ) no4qn=¢Á9$# ôMtR%x. n?tã úüÏZÏB÷sßJø9$# $Y7»tFÏ. $Y?qè%öq¨B ÇÊÉÌÈ
“Maka apabila kamu telah menyelesaikan
shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu
berbaring. kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu
(sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan
waktunya atas orang-orang yang beriman”. (QS. An-Nisa’ [4] : 103)
Konsekuensi
logis dari ayat ini adalam shalat (lima waktu) tidak bisa dilakukan dalam
sembarang waktu, tetapi harus mengikuti atau berdasarkan dalil-dalil dari
al-Qur’an dan Hadits. Ini terbukti dalam lafadz كتابا موقوتا yang berarti
ditentukan waktu-waktunya.
Salah satu
waktu-waktu shalat adalah shubuh, awal waktu shubuh ini sangat istimewa karena
berkenaan dengan fajar atau twilight. Fajar ini sendiri sering
diperdebatkan oleh para ulama’, mengenai apa yang dinamakan fajar, kapan fajar
itu muncul, apa ciri-ciri fajar, dan lain-lain.
Oleh karena
itu penulis disini akan membahas sedikit tentang apa itu fajar, kapan waktu
terjadinya fajar, macam-macam fajar dan apa ciri-ciri fajar dari sisi fiqh dan
hadits.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN FAJAR
Yang dinamakan
fajar adalah cahaya pagi (bahasa)[1].
Jadi yang dinamakan fajar adalah cahaya pagi yang bersinar di ufuk timur saat
akan terbitnya matahari yang berwarna merah keputih-putihan. Fajar terbagi atas
dua macam, yaitu fajar kadzib dan fajar shadiq.
Secara bahasa kata shadiq artinya
”benar / sebenarnya”, sedangkan kata kadzib
artinya ”bohong / bohongan”. Sekilas dari kata ini dapat kita pahami bahwa fajar shadiq berkaitan dengan cahaya
matahari yang sebenarnya, yakni terkait dengan peredaran waktu, sedangkan fajar kadzib berkaitan dengan cahaya
yang bila kita salah menafsirkannya bisa tertipu[2].
Berkenaan dengan fajar shadiq dan fajar kadzib, ada beberapa hadits yang
diriwayatkan al-Hakim yang berbunyi :
حَدَّثَنَاهُ
أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ حَاتِمٍ الدَّارَبَرْدِيِّ، بِمَرْوَ،
ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوْحٍ الْمَدَائِنِيُّ، ثنا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ،
أَنْبَأَ ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ ثَوْبَانَ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ
اللَّهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "
الْفَجْرُ فَجْرَانِ: فَأَمَّا الْفَجْرُ الَّذِي يَكُونُ كَذَنَبِ السَّرْحَانِ
فَلَا تَحِلُّ الصَّلَاةُ فِيهِ وَلَا يَحْرُمُ الطَّعَامُ، وَأَمَّا الَّذِي
يَذْهَبُ مُسْتَطِيلًا فِي الْأُفُقِ فَإِنَّهُ يُحِلُّ الصَّلَاةَ، وَيُحَرِّمُ
الطَّعَامَ "
“Mengabarkan kepada kami Abu Bakar Muhammad bin Ahmad
bin Hatim Ad-Darabardi di daerah Marwa, menceritakan kepada kami Abdullah bin
Rauh Al-Madaini, menceritakan kepada kami Yazid bin Harun, mengabarkan kepada
kami Ibnu Abi Dzi’bin dari Al-Harits bin Abdur Rahman, dari Muhammad bin
Abdurrahman bin Tsauban, dari Jabir bin Abdillah, ia berkata, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,” Fajar itu ada dua, adapun fajar yang
bentuknya seperti ekor serigala, maka tidak menghalalkan shalat dan tidak
mengharamkan makan, adapun yang bentuknya memanjang di ufuk, maka inilah yang
menghalalkan shalat dan mengharamkan makan.”[3]
Dalam hadits diatas sangat jelas disebutkan ”seperti ekor serigala”,
yakni panjang dan berbulu dalam posisi vertikal (memanjang dari timur ke barat),
yang selanjutnya oleh para ulama’ dinamakan fajar
kadzib. Menilik dari bentuknya yang memanjang dan ”seperti” berbulu mirip
ekor serigala.
Sedangkan mengenai fajar shadiq sangat jelas Alloh SWT. memberi
petunjuk kepada kita tentang indikator warna putih dan hitam, sebagaimana
dijelaskan dalam surat al-Baqarah 187 yang berbunyi :
...#qè=ä.ur (#qç/uõ°$#ur 4Ó®Lym tû¨üt7oKt ãNä3s9 äÝøsø:$# âÙuö/F{$# z`ÏB ÅÝøsø:$# ÏuqóF{$# z`ÏB Ìôfxÿø9$# ...
“…Dan
makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar… “ (QS.
Al-Baqarah: 187)
Dari ayat ini dapat kita pahami bahwa alat ukur yang menentukan batas awal
terbitnya fajar adalah ”penglihatan mata manusia (normal)” yang mampu
membedakan warna paling elementer, yakni putih dan hitam. Dan itu bisa
dilakukan mata normal hanya dengan bantuan sedikit cahaya.
Sedang dalam kitab al-Mishbah al-Munir, karya al-Faryumi berpendapat bahwa
fajar shadiq dengan definisi "وَهُوَ
الْمُسْتَطِيرُ وَيَبْدُو سَاطِعًا يَمْلَأُ الْأُفُقَ بِبَيَاضِهِ" yang berarti fajar shadiq adalah yang
membentang dan nampak horizontal yang memenuhi ufuk dengan cahaya putihnya[4].
Selain batas awal terbitnya fajar adalah dengan penglihatan mata manusia,
ada cara yang lain yaitu dari hadits yang menjelaskan fenomena alam yang
berdampak kecerahan penglihatan manusia dalam mengamati wajah orang-orang
disekitar. Didasarkan pada hadits dari ’Aisyah yang diriwayatkan Bukhori
Muslim, yang berbunyi sebagai berikut:
كُنَّا نِسَاءُ
الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ
صلى الله عليه
وسلم صَلاَةَ الْفَجْرِ مُتَعَلِّفَاتٍ
بِمُرُوْطِهِنَّ، ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ
إِلَى بُيُوْتِهِنَّ حِيْنَ يَقْضِيْنَ الصَّلاَةَ لاَ يَعْرِفُهُنَّ
أَحَدٌ مِنَ الْغَلَسِ
“Kami
wanita-wanita mukminah ikut menghadiri shalat fajar bersama Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berselimut (menyelubungi tubuh)
dengan kain-kain kami, kemudian mereka (para wanita tersebut) kembali ke
rumah-rumah mereka ketika mereka selesai menunaikan shalat dalam keadaan tidak
ada seorang pun mengenali mereka karena waktu ghalas (sisa gelapnya malam).”[5]
Dari hadits diatas dapat dipahami bahwa orang-orang yang keluar setelah
melaksanakan shalat shubuh pun masih belum mengenali satu sama lain, yang
berarti bahwa fajar yang muncul belum begitu kuat cahaya yang dipancarkan
kepada mata kita.
B. WAKTU SHALAT SHUBUH
Allah berfirman dalam firman-Nya :
...¨bÎ) no4qn=¢Á9$# ôMtR%x. n?tã úüÏZÏB÷sßJø9$# $Y7»tFÏ. $Y?qè%öq¨B ÇÊÉÌÈ
“… Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan
waktunya atas orang-orang yang beriman.”[6]
Adapun awal
masuknya waktu shalat shubuh adalah dengan munnculnya fajar shadiq, ini
berdasarkan kesepakatan para ulama. sebagaimana
ditunjukkan dalam hadits Abu Hurairah ra. Nabi SAW biasa mengerjakan shalat ini
di waktu ghalas, bahkan terkadang beliau selesai dari shalat fajar dalam
keadaan alam sekitar masih gelap (waktu ghalas), sebagaimana ditunjukkan dalam
hadits Aisyah ra.:
كُنَّا نِسَاءُ
الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ
صلى الله عليه
وسلم صَلاَةَ الْفَجْرِ مُتَعَلِّفَاتٍ
بِمُرُوْطِهِنَّ، ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ
إِلَى بُيُوْتِهِنَّ حِيْنَ يَقْضِيْنَ الصَّلاَةَ لاَ يَعْرِفُهُنَّ
أَحَدٌ مِنَ الْغَلَسِ
“Kami wanita-wanita mukminah ikut menghadiri
shalat fajar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan
berselimut (menyelubungi tubuh) dengan kain-kain kami, kemudian mereka (para
wanita tersebut) kembali ke rumah-rumah mereka ketika mereka selesai menunaikan
shalat dalam keadaan tidak ada seorang pun mengenali mereka karena waktu ghalas
(sisa gelapnya malam).”[7]
وَلِمُسْلِمٍ مِنْ حَدِيثِ أَبِي مُوسَى: (
فَأَقَامَ اَلْفَجْرَ حِينَ اِنْشَقَّ اَلْفَجْرُ وَالنَّاسُ لَا يَكَادُ يَعْرِفُ
بَعْضُهُمْ بَعْضًا )
“Menurut
Muslim dari hadits Abu Musa: Beliau menunaikan shalat Shubuh pada waktu fajar
terbit di saat orang-orang hampir tidak mengenal satu sama lain”.[8]
Setelah fajar dan waktu shalat shubuh diungkapkan berdasarkan al-Qur’an
dan al-Hadits, fajar shadiq lebih banyak mengarah kepada sudut astronomi.
Prof
Thomas Djamaluddin, mengatakan : “Fajar kidzib memang bukan fajar
dalam pemahaman umum, yang secara astronomi disebut cahaya zodiak. Cahaya
zodiak disebabkan oleh hamburan cahaya matahari oleh debu-debu antarplanet yang
tersebar di bidang ekliptika yang tampak di langit melintasi rangkaian zodiak
(rangkaian rasi bintang yang tampaknya dilalui matahari). Oleh karenanya fajar
kidzib tampak menjulur ke atas seperti ekor srigala, yang arahnya sesuai dengan
arah ekliptika. Fajar kidzib muncul sebelum fajar shadiq ketika malam masih
gelap.
Fajar
shadiq adalah hamburan cahaya matahari oleh partikel-partikel di udara yang
melingkupi bumi. Dalam bahasa Al-Quran fenomena itu diibaratkan dengan ungkapan
“terang bagimu benang putih dari benang hitam”, yaitu peralihan dari gelap
malam (hitam) menunju munculnya cahaya (putih). Dalam bahasa fisika hitam
bermakna tidak ada cahaya yang dipancarkan, dan putih bermakna ada cahaya yang
dipancarkan. Karena sumber cahaya itu dari matahari dan penghamburnya adalah
udara, maka cahaya fajar melintang di sepanjang ufuk (horizon, kaki langit).
Itu pertanda akhir malam, menjelang matahari terbit. Semakin matahari mendekati
ufuk, semakin terang fajar shadiq. Jadi, batasan yang bisa digunakan adalah
jarak matahari di bawah ufuk. Secara astronomi, fajar (morning twilight)
dibagi menjadi tiga: fajar astronomi, fajar nautika, dan fajar sipil. Fajar
astronomi didefinisikan sebagai akhir malam, ketika cahaya bintang mulai
meredup karena mulai munculnya hamburan cahaya matahari. Biasanya didefinisikan
berdasarkan kurva cahaya, fajar astronomi ketika matahari berada sekitar 18° di
bawah ufuk. Fajar nautika adalah fajar yang menampakkan ufuk bagi para pelaut,
pada saat matahari berada sekitar 12° di bawah ufuk. Fajar sipil adalah fajar
yang mulai menampakkan benda-benda di sekitar kita, pada saat matahari berada
sekitar 6° [9].
Dari
penuturan Prof. T. Djamaluddin diatas dapat disimpulkan bahwa yang dinamakan
fajar Shadiq adalah hamburan cahaya matahari oleh partikel-partikel di udara
yang melingkupi bumi. Kemudian secara astronomi fajar atau twilight
terbagi menjadi tiga, yaitu: fajar astronomi, fajar nautika, dan fajar
sipil, yang kesemuanya didasarkan pada ketinggian matahari dari ufuk dalam
satuan sudut busur derajat.
BAB III
PENUTUP
Dari beberapa pembahasan diatas, dapat diambil beberapa
kesimpulan, yaitu sebagai berikut:
1. Penentuan batas awal waktu shalat dan akhirnya adalah sangat
berkenaan erat dengan fenomena pergerakan semu matahari harian, mulai terbit,
zawal, tenggelam, senja dan fajar.
2. Batas awal waktu shalat shubuh adalah sejak munculnya fajar
shadiq. Dan akhirnya adalah karena terbitnya matahari (piringan atas matahari
menyentuh ufuk / horizon).
3. Fajar ada dua macam, fajar shadiq (fajar sejati) dan fajar
kadzib (fajar semu).
4. Secara astronomi fajar (twilight) terbagi menjadi 3,
yaitu astronomical twilight, nautical twilight dan civil twilight.
Yang kesemuanya ditentukan dengan satuan busur derajat.
DAFTAR
PUSTAKA
Maktabah Syamilah. Maktab Dakwah Raudhoh.
Qasim, Nizar
Mahmud, al-Ma’ayuir fiqhiyyah wal falakiyyah fii I’dad at-Taqawim
al-Hijriyyah. Beirut-Lebanon ; Daar al-Basya’ir al-Islamiyyah. 1983 M.
Sany, Fathurrahman.
Fajar Kadzib,
Fajar Shadiq dan Awal Waktu Shubuh, Tebuireng. 2009.
http://sites.google.com/site/rukunke2/home/seputar-shalat/waktu-waktu-shalat
http://tdjamaluddin2.wordpress.com/2009/08/19/ waktu-shubuh-ditinjau-dari-dalil-syar’i-dan-astronomi
|
FIKIH
WAKTU SHALAT
(KAJIAN
TENTANG SYAFAQ / FAJAR)
Diajukan
guna memenuhi salahsatu tugas
Pada matakuliah Fikih al-Miqat
Dosen
Pengampu :
DR. H
Abd. Salam Nawawi, M.Ag
Oleh:
Lutfi
Fuadi, S.HI
PROGRAM
PASCASARJANA HUKUM ISLAM
UNIVERSITAS
SUNAN GIRI
SURABAYA
|
2013
[1] Fajar adalah cahaya merah matahari dalam
kegelapan malam. Lihat kamus al-Muhith, tema shubuh, fajar. Nizar Mahmud Qasim,
al-Ma’ayuir fiqhiyyah wal falakiyyah fii I’dad at-Taqawim al-Hijriyyah.
Beirut-Lebanon ; Daar al-Basya’ir al-Islamiyyah. 1983 M, hal. 45
[2] Disampaikan saat Seminar Semiloka Arah Kiblat dan Awal Waktu Shubuh, Tebuireng 09-10 April 2009. Fathurrahman
Sany, Fajar Kadzib, Fajar Shadiq dan Awal
Waktu Shubuh, Tebuireng. 2009. Hal. 2
[9] Diunduh dari http://tdjamaluddin2.wordpress.com/2009/08/19/ waktu-shubuh-ditinjau-dari-dalil-syar’i-dan-astronomi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar