Senin, 26 Mei 2014

Kajian Fiqih Takwim (Kalender Islam) Menurut Muhammadiyah

Kajian Fiqih Takwim (Kalender Islam)
Menurut Muhammadiyah
Makalah ini disusun untuk pemenuhan tugas mata kuliah
Fiqih Miqat

Dosen Pengampu:
Dr. H. Abd. Salam Nawawi, M.Ag

Oleh :
Nurwahidah Fibrianty Alim
12.6.1.0289

 UNIVERSITAS SUNAN GIRI
PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN KADER ULAMA’
JURUSAN HUKUM ISLAM KONSENTRASI ILMU FALAK
JOMBANG

2013
BAB I
PENDAHULUAN
Kalender atau biasa disebut almanak atau penanggalan telah menjadi bagian penting bagi kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Kalender yang merupakan tonggak aktivitas bermasyarakat sangat memerlukan sistem yang pasti untuk mengatur kegiatan yang akan dilakukan. Pada awalnya kehidupan masyarakat sangatlah sederhana namun perkembangan yang terjadi mempengaruhi kehidupan masyarakat yang juga kian kompleks. Hadirnya kalender Islam bagi umat Islam sangat diperlukan khususnya terkait dengan persoalan ibadah seperti Puasa Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha.
Namun tidak bisa dipungkiri, saat ini terdapat banyak varian kalender Islam yang beredar dikalangan umat Islam. Di Indonesia saja berkembang beberapa kalender, seperti; 1) Kalender Islam Jawa, 2) Kalender Islam Muhammadiyah; 3) Kalender (Almanak) PBNU; 4) Kalender Islam (Almanak ) menara Kudus; 5) Kalender Islam PERSIS ; 6) Kementerian Agama RI membuat kalender rujukan yang disusun oleh Badan Hisab Rukyah (BHR) yang beranggotakan berbagai unsur ormas Islam dan pakar terkait.
Beragamnya Kalender Islam yang ada merupakan salah satu bukti ilmu falak telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Akan tetapi hal ini juga yang selalu mengusik umat Islam khususnya terkait masalah peribadatan, yaitu Penentuan awal Puasa, Idul Fitri, dan Haji (Idul Adha).
Muhammadiyah yang merupakan salah satu Ormas terbesar di Indonesia juga menyajikan metode dalam pembuatan kalender Islam. Muhammadiyah dalam menetapkan awal bulan Hijriyah tersebut mengacu pada h}isa<b wuju>d al-hila>l (mila>d al-hila>l). Sehingga menurut Muhammadiyah timbul istilah garis batas wuju>d al-hila>l, yakni menghubungkan tempat-tempat yang mengalami terbenam matahari dan bulan pada saat yang bersamaan sehingga terbentuk garis.
Bagi Muhammadiyah, wuju>d al-hila>l mengandung pengertian sudah terjadi ijtima>’ (konjungsi) sebelum matahari terbenam, dan posisi bulan positif di atas ufuk. oleh karena itu, Muhammadiyah merupakan salah satu Ormas yang mendukung penggunaan hisab dan dapat dikatakan Ormas ini sebagai pelopor penggunaan hisab di Indonesia untuk penentuan awal-awal bulan Hijriyah khususnya bulan-bulan ibadah. 
Muhammadiyah yang mengidentifikasikan dirinya sebagai Mazhab Hisab, membentuk Majelis Tarjih sebagai badan yang diberi wewenang  mengeluarkan fatwa-fatwa sebagai mekanisme ijtihad. Terkait persoalan ini, sesuai dengan tugas yang diberikan, penulis akan mengkaji sistem penentuan Kalender Islam Muhammadiyah kaitannya dengan metodologi dalam menentukan masalah berdasarkan al- Qur’an dan hadis maqbu<lah (yang dapat diterima autentisitasnya).






BAB II
KAJIAN FIQIH TAKWIM (KALENDER ISLAM)
MENURUT MUHAMMADIYAH

A.    Sejarah Kalender Islam (Takwim)
Kalender Islam atau Kalender Islam berasal dari bahasa Arab: التقويم الهجري; at-taqwim al-hijri, adalah kalender yang digunakan oleh umat Islam, termasuk dalam menentukan tanggal atau bulan yang berkaitan dengan ibadah, atau hari-hari penting lainnya.[1]
 Kalender ini dinamakan Kalender Islam, karena pada tahun pertama kalender ini adalah tahun dimana terjadi peristiwa Hijrah-nya Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah, yakni pada tahun 622 M. Di beberapa negara yang berpenduduk mayoritas Islam, Kalender Islam juga digunakan sebagai sistem penanggalan sehari-hari. Kalender Islam menggunakan peredaran bulan sebagai acuannya, berbeda dengan kalender biasa (kalender Masehi) yang menggunakan peredaran Matahari.
Tokoh penggagas kalender Islam adalah Khalifah Umar ibn al-Khattab.[2] Gagasan ini muncul ketika Umar ibn al-Khattab memperoleh surat dari Abu Musa al-Asy’ari, gubernur Kuffah.
Penetapan Kalender Islam dilakukan pada zaman Khalifah Umar bin Khatab, yang menetapkan peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW dari Mekah ke Madinah. Kalender Islam juga terdiri dari 12 bulan, dengan jumlah hari berkisar 29-30 hari. Penetapan 12 bulan ini sesuai dengan firman Allah Subhana Wata'ala:
¨bÎ) no£Ïã Íqåk9$# yZÏã «!$# $oYøO$# uŽ|³tã #\öky­ Îû É=»tFÅ2 «!$# tPöqtƒ t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# šßöF{$#ur !$pk÷]ÏB îpyèt/ör& ×Pããm 4 šÏ9ºsŒ ßûïÏe$!$# ãNÍhŠs)ø9$# 4 Ÿxsù (#qßJÎ=ôàs? £`ÍkŽÏù öNà6|¡àÿRr& 4 (#qè=ÏG»s%ur šúüÅ2ÎŽô³ßJø9$# Zp©ù!%x. $yJŸ2 öNä3tRqè=ÏG»s)ムZp©ù!$Ÿ2 4 (#þqßJn=÷æ$#ur ¨br& ©!$# yìtB tûüÉ)­GãKø9$# ÇÌÏÈ[3]
Artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan Ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah; 36).
Sebelumnya, orang Arab pra-kerasulan Rasulullah Muhammad SAW telah menggunakan bulan-bulan dalam Kalender Islam ini. Hanya saja mereka tidak menetapkan ini tahun berapa, tetapi tahun apa. Misalnya saja kita mengetahui bahwa kelahiran Rasulullah SAW adalah pada tahun gajah.Abu Musa Al-Asyári sebagai salah satu gubernur di zaman Khalifah Umar r.a. menulis surat kepada Amirul Mukminin yang isinya menanyakan surat-surat dari khalifah yang tidak ada tahunnya, hanya tanggal dan bulan saja, sehingga membingungkan.
Khalifah Umar lalu mengumpulkan beberapa sahabat senior waktu itu. Mereka adalah Utsman bin Affan r.a., Ali bin Abi Thalib r.a., Abdurrahman bin Auf r.a., Sa’ad bin Abi Waqqas r.a., Zubair bin Awwam r.a., dan Thalhan bin Ubaidillah r.a. Mereka bermusyawarah mengenai kalender Islam. Ada yang mengusulkan berdasarkan milad Rasulullah SAW. Ada juga yang mengusulkan berdasarkan pengangkatan Muhammad SAW menjadi Rasul. Dan yang diterima adalah usul dari Ali bin Abi Thalib r.a. yaitu berdasarkan momentum hijrah Rasulullah SAW dari Makkah ke Yatstrib (Madinah).
Maka semuanya setuju dengan usulan Ali r.a. dan ditetapkan bahwa tahun pertama dalam kalender Islam adalah pada masa hijrahnya Rasulullah SAW. Sedangkan nama-nama bulan dalam Kalender Islam ini diambil dari nama-nama bulan yang telah ada dan berlaku pada masa itu di wilayah Arab.

B.     Kajian Fiqih Takwim (Kalender Islam) Menurut Pemikiran Muhammadiyah
Muhammadiyah merupakan organisasi kemasyarakatan tertua di Indonesia. Organisasi ini didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 oleh K. H. Ahmad Dahlan atas saran yang diajukan para muridnya dan beberapa orang anggota Budi Utomo untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat permanen.[4]
Berdasarkan sejarahnya sebagai organisasi kemasyarakatan, Muhammadiyah tidak hanya menangani masalah pendidikan, tetapi juga berbagai usaha pelayanan masyarakat seperti kesehatan, pemberian hukum (fatwa), panti asuhan, penyuluhan, dan lain-lain.
Adapun kaitannya pada usaha pelayanan masyarakat dalam pemberian hukum (fatwa), Muhammadiyah mendirikan Majelis Tarjih yang berfungsi untuk memastikan ketentuan hukum Islam mengenai masalah-masalah yang dipertikaikan dalam masyarakat baik menyangkut baik yang menyangkut hukum fiqih secara tradisional maupun hukum fiqih dalam pandangan luas.
Majelis Tarjih Muhammadiyah juga bertujuan mempelajari pendapat berbagai fuqaha>’ dalam masalah-masalah yang dipertikaikan, lalu mengambil pendapat yang arjah} (dipandang lebih kuat sesuai dengan cara berpikir dan kondisi sekarang).[5]
Ciri jama>i dari Majelis Tarjih ini adalah pembahasan yang bersifat kolektif terhadap dalil-dalil yang kurang jelas atau yidak tegas terhadap masalah tertentu yang dibicarakan. Sedangkan cirri tarjihnya yakni Majelis Tarjih membicarakan masalah dengan sistem musyawarah oleh sekelompok ahli yang mencari dalil-dalil yang dipandang kuat untuk dijadikan dasar dalam memutuskan hukum suatu masalah.[6]
Dalam menetapkan sebuah keputusan, Majelis Tarjih Muhammadiyah menggunakan tiga jenis ijtihad sebagaimana berikut:
1.    Ijtihad baya>ni>, yaitu ijtihad terhadap hadis yang mujmal, baik karena belum jelas makna lafaz yang dimaksud maupun karena lafaz itu mengandung makna ganda, mengandung arti musytarak, ataupun karena pengertian lafaz dalam ungkapan konteksnya mempunyai arti yang jumbuh (mutasya>bih) ataupun adanya beberapa dalil yang bertentangan (ta’a>rudh).
2.    Ijtihad Qiya>s, yaitu menyelenggarakan hukum yang telah ada nash-nya karena masalah baru yang belum ada hukumnya, berdasarkan nash, karena adanya kesamaan.
3.    Ijtihad Istis{la>h{i>, yaitu ijtihad terhadap masalah yang tidak dilanjutkan nash jama>‘i secara khusus, maupun tidak adanya nash mengenai masalah yang ada kesamaan dan masalah yang demikian penetapan hukumn dilakukan berdasarkan ‘illat untuk kemashlahatan.[7]
Jadi, kegiatan utama Majelis Tarjih adalah menganalisis berbagai pendapat tentang ketentuan hukum Islam dengan tujuan untuk mendapatkan pendapat yang paling kuat.
Merujuk pada tugas pokok dan kegiatan yang dilakukan Majelis Tarjih yang meliputi berbagai bidang hukum Islam, maka termasuk didalamnya adalah persoalan hisab rukyah yang salah satunya terkait mengenai kalender Islam. Karena majelis ini merupakan lembaga ijtihad Muhammadiyah, sehingga pemikiran-pemikiran hisab rukyah Muhammadiyah produk dari Majelis Tarjih ini.
Terkait masalah kajian kalender Islam yang menjadi pembahasan utama makalah ini, pemikiran fiqihnya tertuang dalam Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah Sebagai berikut:
“Berpuasa dan Id Fitrah itu dengan rukyah dan tidak berhalangan dengan hisab. Menilik hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa Rasulullah SAW bersabda:
صُومُوا لِرُؤْيَتِه، وأفطروا لِرُؤْيَتِه، فإنْ غُمَّ عليكم فأكملوا عدّة شعبان  ثلاثين
Artinya: Berpuasalah kamu sekalian karena melihat hilal (ramad}an) dan berbukalah kamu sekalian karena melihat hilal (syawal), jika tertutup atas kamu sekalian maka sempurnakanlah bilangan bulan sya’ban menjadi tiga puluh hari).[8]
  Dan firman Allah:
uqèd Ï%©!$# Ÿ@yèy_ š[ôJ¤±9$# [ä!$uÅÊ tyJs)ø9$#ur #YqçR ¼çnu£s%ur tAÎ$oYtB (#qßJn=÷ètFÏ9 yŠytã tûüÏZÅb¡9$# z>$|¡Åsø9$#ur 4 $tB t,n=y{ ª!$# šÏ9ºsŒ žwÎ) Èd,ysø9$$Î/ 4 ã@Å_ÁxÿムÏM»tƒFy$# 5Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôètƒ ÇÎÈ
Artinya: Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang Mengetahui). QS. Yunus; 5.[9]
Apabila ahli hisab menetapkan bahwa bulan belum tampak (tanggal) atau sudah wuju>d tetapi tidak kelihatan, padahal kenyataannya ada orang yang melihat pada malam itu juga, manakah yang muktabar? Majelis Tarjih memutuskan rukyahlah yang muktabar.”[10] Menilik hadis dari yang telah tertulis di atas.
Mengenai kalimat sudah wuju>d  dalam keputusan Majelis Tarjih tersebut mengandung pengertian:
1.    Sudah terjadi ijtima>’ qabl al-ghuru>b.
2.    Posisi bulan sudah positif di atas ufuk.
Sedangkan tentang keputusan Majelis Tarjih bahwa rukyahlah yang muktabar, hal ini dengan syarat hila>l sudah wuju>d. Bila hila>l belum wuju>d  yakni posisi bulan negatif terhadap ufuk, maka ketentuan “rukyahlah yang muktabar” tidak berlaku.[11]
Ini merupakan pemikiran yang disepakati sejak tahun 1969 oleh para pakar astronomi Muhammadiyah, sampai hal itu ditinjau kembali oleh Muktamar Tarjih th. 1972/1932 H di Pencongan, Wiradesa, Pekalongan.
Kemudian mengenai hisab yang menurut majelis ini memenuhi persyaratan adalah metode yang dikembangkan oleh Sa’adoeddin Djambek. Sehingga bagi Muhammadiyah, menentukan tanggal dengan perhitungan Matematik (h{isa>b qath‘i>) adalah ijtihad yang paling tepat.
Para pakar astronomi Muhammadiyah juga menggunakan ayat-ayat al-Qur’an dan juga hadis  Nabi SAW sebagai dasar untuk mendukung kebolehan penggunaan hisab. Diantaranya adalah firman Allah SWT adalah surat ar-Rahma>n ayat 5 dan surah surah Yunus ayat 5:
ߧôJ¤±9$# ãyJs)ø9$#ur 5b$t7ó¡çt¿2 ÇÎÈ
Artinya: Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.[12]
uqèd Ï%©!$# Ÿ@yèy_ š[ôJ¤±9$# [ä!$uÅÊ tyJs)ø9$#ur #YqçR ¼çnu£s%ur tAÎ$oYtB (#qßJn=÷ètFÏ9 yŠytã tûüÏZÅb¡9$# z>$|¡Åsø9$#ur 4 $tB t,n=y{ ª!$# šÏ9ºsŒ žwÎ) Èd,ysø9$$Î/ 4 ã@Å_ÁxÿムÏM»tƒFy$# 5Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôètƒ ÇÎÈ
Artinya: Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang Mengetahui.[13]
Adapun hadis yang menunjukkan bahwa perintah Nabi SAW agar melakukan rukyah itu adalah perintah yang disertai illat, yaitu saat keadaan umat masih ummi, sehingga apabila keadaan itu telah berlalu, maka perintah tersebut tidak berlaku lagi. Sebagaimana hadis Nabi SAW tersebut:
إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب الشهر هكذا وهكذا يعني مرّة تسعة وعشرين ومرّة ثلاثين (رواه البخاري ومسلم)
Artinya: Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari [HR al-Bukha>ri> dan Muslim].[14]
Cara memahaminya (wajh al-istidla>lnya) adalah bahwa pada surat ar-Rahma>n ayat 5 dan surat Yunus ayat 5, Allah swt menegaskan bahwa benda-benda langit berupa matahari dan Bulan beredar dalam orbitnya dengan hukum-hukum yang pasti sesuai dengan ketentuan-Nya. Oleh karena itu, peredaran benda-benda langit tersebut dapat dihitung (dihisab) secara tepat. Penegasan kedua ayat ini tidak sekedar pernyataan informatif belaka, karena dapat dihitung dan diprediksinya peredaran benda-benda langit itu, khususnya matahari dan Bulan, bisa diketahui manusia sekalipun tanpa informasi samawi. Penegasan itu justru merupakan pernyataan imperatif yang memerintahkan untuk memperhatikan dan mempelajari gerak dan peredaran benda-benda langit itu yang akan membawa banyak kegunaan seperti untuk meresapi keagungan Penciptanya, dan untuk kegunaan praktis bagi manusia sendiri antara lain untuk dapat menyusun suatu sistem pengorganisasian waktu yang baik seperti dengan tegas dinyatakan oleh ayat 5 surat Yunus (... agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu) .
Pada zamannya, Nabi SAW dan para Sahabatnya tidak menggunakan hisab untuk menentukan masuknya bulan baru kamariah, melainkan menggunakan rukyat seperti beberapa hadis lain yang memerintahkan melakukan rukyat. Praktik dan perintah Nabi SAW agar melakukan rukyat itu adalah praktik dan perintah yang disertai ‘illat (kausa hukum). ‘Illatnya dapat dipahami dalam hadis yang telah dipaparkan di atas, yaitu keadaan umat pada waktu itu yang masih ummi. Keadaan ummi artinya adalah belum menguasai baca tulis dan ilmu hisab (astronomi), sehingga tidak mungkin melakukan penentuan awal bulan dengan hisab seperti isyarat yang dikehendaki oleh al-Quran dalam surat ar-Rahma>n dan Yunus di atas. Cara yang mungkin dan dapat dilakukan pada masa itu adalah dengan melihat hilal (Bulan) secara langsung: bila hilal terlihat secara fisik berarti bulan baru dimulai pada malam itu dan keesokan harinya dan bila hilal tidak terlihat, bulan berjalan digenapkan 30 hari dan bulan baru dimulai lusa.

Sesuai dengan kaidah Fiqih (al- qawa>‘id al-fiqhiyyah) yang berbunyi:
الحكم يدور مع علته وسببه وجودا وعدما
Artinya: Hukum itu berlaku menurut ada atau tidak adanya ‘illat dan sebabnya.[15]
Telah jelas bahwa misi al-Quran adalah untuk mencerdaskan umat manusia, dan misi ini adalah sebagian tugas yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW dalam dakwahnya. Ini ditegaskan dalam firman Allah,
uqèd Ï%©!$# y]yèt/ Îû z`¿ÍhÏiBW{$# Zwqßu öNåk÷]ÏiB (#qè=÷Ftƒ öNÍköŽn=tã ¾ÏmÏG»tƒ#uä öNÍkŽÏj.tãƒur ãNßgßJÏk=yèãƒur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur bÎ)ur (#qçR%x. `ÏB ã@ö6s% Å"s9 9@»n=|Ê &ûüÎ7B ÇËÈ
Artinya: Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.[16]
Dalam rangka mewujudkan misi ini, Nabi SAW menggiatkan upaya belajar baca tulis seperti terlihat dalam kebijakannya membebaskan tawanan Perang Badar dengan tebusan mengajar kaum Muslimin baca tulis, dan beliau memerintahkan umatnya agar giat belajar ilmu pengetahuan. Sementara umat masih dalam keadaan ummi, maka metode penetapan awal bulan dilakukan dengan rukyat buat sementara waktu. Namun setelah umatnya dapat dibebaskan dari keadaan ummi itu, maka kembali kepada semangat umum al-Quran agar menggunakan hisab untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.
Atas dasar itu, beberapa ulama kontemporer menegaskan bahwa pada pokoknya penetapan awal bulan itu adalah dengan menggunakan hisab,
الأصل  في إثبات الشهر أن يكون بالحساب.
Artinya : Pada asasnya penetapan bulan kamariah itu adalah dengan hisab.[17]
Hisab yang dimaksud dan digunakan untuk penentuan awal bulan baru kamariah di lingkungan Muhammadiyah adalah h}isa>b wuju>d al-hila>l dengan dasar tafsir al-Manar II:
“hisab astronomi yang terkenal di masa kita ini memberikan penyempurnaan yang pasti. Sebagaimana yang telah diterangkan pada pemimpin umat Islam dan pemerintahannya yang telah mempunyai ketetapan tentang hisab tersebut, boleh mengeluarkan keputusan untuk mempergunakan perhitungan tersebut. Perhitungan ini menjadi hudan (petunjuk) atas masyarakat. Ru‘yah Hila>l untuk pelaksanaan puasa, seperti halnya melihat matahari tatkala akan shalat bukan merupakan ta‘abudi. Adapun Rasul, sahabat, dan ulama salaf melaksanakan rukyat karena pada saat itu mereka belum biasa melaksanakan perhitungan (hisab) yang belum memberikan kepastian, jadi untuk menentukan awal bulan cukup dengan hisab dan tidak perlu dengan rukyat.” [18]
H}isa<b wuju>d al-hila>l yang dimaksud sebagaimana dikemukakan Muhammad Wardan (mantan Pimpinan Pusat Muhammadiyah), bahwa wuju>d al-hila>l adalah matahari lebih dahulu terbenam daripada terbenamnya bulan walaupun hanya satu menit atau kurang. Dimana dalam menentukan tanggal 1 bulan baru berdasarkan hisab dengan tiada batasan tertentu, pokoknya asal hilal sudah wujud, maka menurut kalangan ahli hisab sudah berdasarkan h}isa<b wuju>d al-hila>l, dan dapat ditentukan hari esoknya adalah awal bulan kamariah.
Menurut Oman Fathurrahman, dengan sistem h}isa<b wuju>d al-hila>l, maka ada istilah garis batas wuju>d al-hila>l yakni tempat-tempat yang mengalami terbenamnya matahari dan bulan secara bersamaan. Jika tempat-tempat itu dihubungkan maka terbentuklah sebuah garis.[19]
Wilayah yang berada di sebelah barat garis batas wuju>d al-hila>l terbenamnya matahari lebih dulu daripada terbenamnya, oleh karena itu pada saat terbenam matahari, bulan berada di atas ufuk. dengan kata lain bulan sudah wujud dan sejak matahari terbenam tersebut bulan baru sudah mulai masuk. Sebaliknya wilayah yang berada di sebelah timur garis batas wuju>d al-hila>l  terbenamnya bulan lebih dahulu daripada terbenamnya matahari, oleh karena itu pada saat matahari terbenam, bulan berada di bawah ufuk, dengan kata lain bulan belum wujud dan saat matahari terbenam keesokan harinya bulan baru belum baru masuk melainkan masih termasuk akhir dari bulan yang sedang berlangsung.






BAB III
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan makalah di atas, maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan, antara lain:
1.      Muhammadiyah sebagai simbol Mazhab Hisab.
2.      Majelis Tarjih sebagai Lembaga pelayanan masyarakat dalam pemberian hukum (fatwa) yang didirikan Muhammadiyah.
3.      Sistem penentuan kalender Islam Muhammadiyah kaitannya dengan metodologi dalam menentukan masalah berdasarkan al- Qur’an dan hadis maqbu<lah (yang dapat diterima autentisitasnya).
4.      Muhammadiyah menggunakan h}isa<b wuju>d al-hila>l sebagai sistem penentuan kalender Islam.



[1] Wikipedia, “Kalender Islam”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Kalender_Hijriyah (06 Maret 2013).
[2] Kumpulan Papers Lokakarya Internasional Fakultas Syariah IAIN Walisongo, Penyatuan Kalender Islam (Sebuah Upaya Pencarian Kriteria Hilal yang Objektif Ilmiah), (Semarang:  Elsa, 2012), 65.
[3] al-Qur’an, 09: 36.
[4] Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Rukyah (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), 111.
[5] Lihat Wahbah al-Zuhaili, Ushu>l al-Fiqh al-Isla>mi>, jilid II (Damaskus: Dar al-Fikr, 1987) 1185-1186.
[6] PP. Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah (Yogyakarta: t.t), 240.
[7] Pokok-pokok Manhaj Majelis Tarjih yang telah dilakukan dalam menetapkan Keputusan, Dokumen Resmi Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Yogyakarta, t.t., 2-3.
[8]Hadith S{ah}i>h} berdasar riwayat imam al-Bukha>ri> dalam S{ahi>h al-Bukhari Kitab al-S{au>m nomor indeks 1909, Imam Muslim dalam S{ahi>h Muslim kitab al-Siya>m nomor indeks 1081, al-Nasa’i dalam Sunan al-Nasa’i kitab al-Siya>m nomor indeks 2116, Ahmad bin H{ambal dalam musnadnya dengan nomor indeks 9892. Selain itu hadith ini juga diriwayatkan oleh al-Tirmi>dzi, Ibnu Ma>jah, al-Da>rimi dan sebagainya berdasar banyak jalur periwayatan.

[9] al-Qur’an, 10: 5.
[10] Keputusan Muktamar Tarjih Wiradesa dalam Himpunan Putusan Tarjih, 370.
[11] Keterangan Keputusan Majelis Tarjih ini sebagaimana dinukil oleh Basith Wachid dalam makalahnya “Hisab Untuk Menentukan Awal dan Akhir Ramadhan,”dalam Ru’yah Dengan Teknologi (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), 95.
[12] al-Qur’an, 55: 5
[13] al-Qur’an, 10: 5

[14] Al-Bukha>ri> , S{ah{i>h{ al- Bukha>ri> (Ttp.: Da>r al-Fikr, 1994/1414), II: 281, hadis no. 1913, “Kita>b as{-S{aum ” dari Ibn ‘Umar; Muslim, S{ah{i>h{ Muslim (Beirut: Da>r al-Fikr, 1992/1412) I: 482, hadis no. 1080:15, “Kita>b as{-S{iya>m” dari Ibn ‘Umar.
[15] Ibn al-Qayyim, I‘la>m al-Muwaqqi‘i>n ‘an Rabb al-‘a>lami>n  (Beirut: Dar al-Jil, 1973), IV: 105.
[16] al-Qur’an, 62: 2
[17] Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Pedoman Hisab Muhammadiyah (Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, 2009), 77-78.
[18]Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Rukyah (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), 124 -125.
[19] Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Rukyah (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), 125.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar