Fiqih Taqwim Islam ( Kajian
Tentang Fiqih NU)
Oleh : Ahmad Mujadzad, S.Pd.I
A.
Pendahuluan
Ilmu falak termasuk kedalam
jajaran ilmu- ilmu tua dengan sedikit orang yang menekuninya. Jika ditengok
kebelakang ilmu ini pertama kali ditemukan oleh Enoch (Nabi Idris). Menyebar, dan
timbul serta tenggelam oleh kemajuan zaman,
dikembangkannya lagi oleh para ilmuan Yunani kuno dan akhirnya sampai
ketangan kita.
Ilmu falak dari masa ke masa,
dalam pandangan mainstream masyarakat luas dianggap sebagai ilmu yang terkesan
sulit dipelajari dan sulit dimengerti. Sampai sekarang pun menurut pengalaman
penulis, keesan itu masih terasa. Salah satunya adalah kesullitan
perhitungannya.Padahal hal tersebut dapat diatasi dengan penyampaian yang
sederhana, fleksibel dan praktis. Seperti pengalaman kami selama ini
mempelajari ilmu ini, yang walaupun masih dalam tahap pemula. Disini kami
merasakan bahwa dengan penyampaian materi oleh guru/ mentor dengan cara yang
sederhana lebih mempermudah penguasaan ilmu ini.
Ilmu Falak memegang peranan yang
sangat besar dalam kehidupan manusia. Dalam islam, pelaksanaan ibadah hampir
seluruhnya berkaitan dengan waktu, shalat dan puasa misalnya. Manfaat lain,
adalah ketergantungan umat manusia dalam kehidupan sehari- hari yang tidak dapat
terlepas dari penanggalan; baik ia sebagai pedagang, pegawai, petani, pelajar,
atau hanya sebagai seorang muslim sekalipun. Terlebih umat islam yang tidak
dapat terlepas dari tanggal, penanggalan, maupun system penanggalan itu
sendiri. Penanggalan merupakan salah satu kajian ilmu falak. Dengan demikian,
ilmu falak memiliki urgensitas tinggi bagi kehidupan umat manusia.[1]
B.
Sistem Taqwim NU
Satu pertanyaan yang seringkali
muncul di kalangan umat Islam adalah, mengapa sering terjadi perbedaan awal
Ramadhan, dan jatuhnya Hari Raya, baik Idul Fitri/Idul Adha? Jawaban
singkatnya, karena terdapat perbedaan metode dalam penentuan awal bulan.
Selain Departemen Agama—yang
kini telah berubah nama menjadi Kementerian Agama—dua ormas terbesar di
Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah selalu andil dalam menentukan awal
Ramadhan, dan jatuhnya Idda’in (dua hari raya). Namun keduanya memiliki metode
yang berbeda dalam penetapan awal Ramadhan dan jatuhnya Idda’in. NU menggunakan
metode rukyat .Sedangkan Muhammadiyah lebih cenderung menggunakan metode Hisab
Astronomi, meski tidak meninggalkan sepenuhnya metode rukyat .
1. Hisab dalam perspektif NU
Dalam
kaitannya dengan manhaj penentuan awal bulan qomariyah, NU biasanya diposisikan
sebagai “pengawal” kubu rukyat (sementara di pihak lain, Muhammadiyah
diposisikaan “pengawal” kubu hisab). Positioning terhadap NU didasarkan pada
fakta bahwa NU selama ini menyandarkan penentuan awal Ramadhan, Syawal, da
Dzulhijjah selalu pada hasil rukyat
Selanjutnya
dengan posisi seperti itu NU sering dipersepsi sebagai jam’iyyah konservatif
yang “anti atau – sekurang-kurangnya- tidak mau mengapresiasi ilmu pengetahuan
(ilmu hisab). Kenyataannnya NU punya lajnah falakiyah yang secara khusus
mengorganisir dan mewadahi aktifitas keilmuan ahli-ahli nahdhiyyin yang
bertaburan. Sebagian dari ahli hisab Nu itu malah sudah memproduk sejumlah karya
tulis dalam ilmu hisab. Jadi, persepsi tersebut di atastidak sesuai dengan
faktanya. Lalu, bagaimana sebenarnya cara NU mengapresiasi ilmu hisab disamping
rukyat.
Rapat
kerja lajnah falakiyah NU di Samudera Beach Hotel, Pelabuhan Ratu, Sukabumi
pada tanggal 18-19 Agustus 1992, sudah merumuskan manhaj NU dalam penentuan
awal bulan Ramadahn, Syawal, dan Dzulhijjah sebagai berikut:
Pertama,
pada dasarnya lajnah falakiyah NU tetap mempedomani putusan muktamar NU ke 27
1405 H/ 1984 di Situbondo dan Munas alim ‘ulama NU tahun 1408 H/ 1987 di
Cilacap bahwa penetapan awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah wajib didasarkan
atas rukyatulhilal atau istikmal. Sedangkan kedudukan hisab hanyalah sebagai
pembantu dalam melaksanakan rukyat.
Kedua,
penetapan awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah yang berlaku umum bagi segenap
kaum muslimin di Indonesia adalah yang dilakukan oleh Pemerintah
(Isbatulhakim). Supaya Isbat Al-Hakim tersebut didasarkan atas rukyat atau
istikmal, maka hasil rukyat dari kalangan NU diupayakan sesegera mungkin
dolaporkan kepada Pemerintah.
Ketiga,
apabila Pemerintah menolak melakukan isbat berdasarkan rukyat, maka menjadi
kewajiban bagi Pengurus Besar NU (PB NU) untuk menginformasikan hasil rukyat
itu kepada segenap warga nahdhiyyin di seluruh penjuru tanah air melalui
jaringan interen organisasi yang ada. Untuk menyebarkan informasi tersebut PB
NU menekankan perlunya ditempuh cara-cara yang bijaksana.
Sabagaimana
dikatakan Abdussalam dalam bukunya yang berjudul “rukyat hisab dikalangan NU
Muhammadiyah”; “Hisab sebagai pembantu dalam melaksanakan rukyat” adalah
kalimat kunci untuk memahami bagaimana NU memposisikan hisab disamping rukyat.
Kalimat kunci tersebut melahirkan beberapa konsekuensi sebagai berikut:
1.
Bahwa meskipun hilal menurut
hisab sedah imkan rukyah (visible), tetapi kalau faktanya tidak ada yang
berhasil merukyat, maka bulan yang sedang berjalan, menurut NU diistikmalkan
atau digenapkan 30 hari.
2.
Bagwa hitungan hari kedua puluh
Sembilan untuk pelaksanaan rukyat tidaklah mengacu pada urutan hari berdasarkan
istikmal itu tadi melainkan pada perhitungan hari berdasarkan hisab ijtima’ dan
posisi hilal
3.
Bahwa meskipun hilal menurut
hisab mustahil dirukyat, NU tetap melakukan rukyat untuk mendapatkan dasar bagi
penetapan istikmal
4.
Bahwa hisab pada prinsipnya bisa
digunakan sebagai dasar memilah hasil rukyat hilal yang sah dan tidak tidak
sah.
5.
Bahwa hisab juga bias digunakan
sebagai dasar penetapan wilayah berlakunya akibat hukum rukyat hila[2].
2.
Pandangan Nadhatul Ulama
Mengenai Awal Bulan Qomariyah
Dalam menentukan kepastian
awal bulan Qamariyah, khususnya awal Ramadan, awal Syawal, dan awal Dzulhijjah,
NU mendasarkan pada rukyat , bukan pada hisab; sesuai dengan nash dan aqwalul
‘ulama’ yang dipegangi, demikian keterangan dalam situs resmi NU. Namun,
seiring perjalanan waktu NU yang semula mendasarkan pada rukyat maju
menjadi rukyat plus hisab dan seterusnya rukyat berkualitas plus
hisab akurat, kemudian ditambah lagi menerima kriteria imkanur rukyat . Jadi NU
mendasarkan kepada rukyat berkualitas dengan dukungan hisab yang akurat
sekaligus menerima kriteria imkanur rukyat .
NU telah melakukan redefinisi hilal
dan rukyat menurut bahasa, Al-Qur’an, As-Sunnah dan menurut sains sebagai
landasan dan pijakan kebijakannya dalam penentuan awal Ramadhan, dan jatuhnya
hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.Menurut Ghazalie Masroeri, Ketua Pengurus
Pusat Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama, hilal dalam bahasa Arab adalah sepatah
kata isim yang memilik pengertian, bulan sabit yang tampak pada awal bulan.
Firman Allah yang artinya:
*
tRqè=t«ó¡o
Ç`tã
Ï'©#ÏdF{$#
( ö@è%
}Ïd
àMÏ%ºuqtB
Ĩ$¨Y=Ï9
Ædkysø9$#ur
3 }§øs9ur
É9ø9$#
br'Î/
(#qè?ù's?
Vqãç6ø9$#
`ÏB
$ydÍqßgàß
£`Å3»s9ur
§É9ø9$#
Ç`tB
4s+¨?$#
3 (#qè?ù&ur
Vqãç7ø9$#
ô`ÏB
$ygÎ/ºuqö/r&
4 (#qà)¨?$#ur
©!$#
öNà6¯=yès9
cqßsÎ=øÿè?
ÇÊÑÒÈ
Mereka bertanya kepadamu tentang
bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi
manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah
dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang
bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah
kepada Allah agar kamu beruntung. (Q.S. Al-Baqarah:189)
Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat
189 di atas mengemukakan pertanyaan para Shahabat kepada Nabi tentang
penciptaan dan hikmah ahillah (jamak dari hilal). Atas perintah Allah SWT
kemudian Rasulullah SAW menjawab bahwa ahillah atau hilal itu sebagai kalender
bagi ibadah dan aktifitas manusia termasuk haji. Pertanyaan itu muncul karena
sebelumnya para sahabat telah melihat penampakan hilal atau dengan kata lain
hilal telah tampak terlihat oleh para sahabat.
Para mufasir telah
mendefinisikan, bahwa hilal itu mesti tampak terlihat. Ash-Shabuni dalam
tafsirnya Shafwatut Tafasir juz I mengemukakan tafsir ayat tersebut sebagai
berikut: “Mereka bertanya kepadamu hai Muhammad tentang hilal mengapa ia tampak
lembut semisal benang selanjutnya membesar dan terus membulat kemudian menyusut
dan melembut sehingga kembali seperti keadaan semula?”
Dalam pada itu Sayyid Quthub
dalam tafsirnya Fii Zhilalil Qur’an juz I menafsirkan ayat tersebut sebagai
berikut: “Maka mereka bertanya tentang ahillah (hilal) … bagaimana keadaan
ahillah (hilal)? Mengapa keadaan qamar (bulan) menampakkan hilal lalu membesar
sehingga bulat menjadi purnama selanjutnya berangsur menyusut sehingga kembali
menjadi hilal lagi dan kemudian menghilang tidak tampak untuk selanjutnya
menampakkan diri menjadi hilal dari (bulan) baru?”
Jadi, berdasarkan ayat tersebut
didapat pengertian, hilal atau bulan
sabit itu pasti tampak terlihat.
Masalah hilal juga sudah
diterangkan dalam hadist Nabi Saw. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dan Abu Daud dari sahabat Nabi SAW bernama Rib’i bin Hirasy yang
mengatakan adanya perbedaan di kalangan para sahabat mengenai akhir Ramadhan
kemudian ada laporan hasil rukyat ; perukyat melaporkan dengan
ungkapan:“Demi Allah sungguh telah tampak hilal kemarin sore.”Hadits tersebut
menyatakan bahwa hilal itu pasti tampak terlihat. Demikian pula dalam
hadits-hadits yang lain.
Sementara itu hilal atau bulan
sabit dalam istilah astronomi disebut crescent, yakni bagian dari bulan yang
menampakkan cahayanya terlihat dari bumi ketika sesaat setelah matahari
terbenam pada hari telah terjadinya ijtima’ atau konjungsi.
Dari tinjauan bahasa, Al-Qur’an,
As-Sunnah dan tinjauan sains sebagaimana diutarakan di atas, Ghazalie
Masroeri menyimpulkan bahwa hilal (bulan sabit) itu pasti tampak cahayanya
terlihat dari bumi di awal bulan, bukan sekedar pemikiran atau dugaan adanya
hilal. Oleh karena itu kalau tidak tampak tidak disebut hilal.
Sehubungan dengan kriteria hilal
itu mesti tampak, maka Rasulullah SAW menyuruh kaum muslimin melakukan rukyat,
yakni dengan melihat, mengamati secara langsung (observasi) terhadap hilal itu.
Lebih jauh, alasan NU dalam
penggunaan metode rukyat adalah bahwa dalam memahami, menghayati, dan
mengamalkan ad-dinul Islam, harus mendasarkan pada asas ta’abbudiy (ketaatan).
Untuk mewujudkan kesempurnaan ta’abbudiy tersebut perlu didukung dengan
menggunakan asas ta’aqquliy (penalaran). Dalam konteks ini, asas ta’abbudiy
dilaksanakan dengan mengamalkan perintah rukyatul hilal.
Dalam buku Antologi NU
diterangkan, kebijakan ulama salaf (jumhur ulama) berpendapat bahwa penetapan
(isbat) awal Ramadhan dan Syawal hanya boleh dengan cara rukyat. Jika rukyat
tidak bisa berhasil karena terhalang oleh mendung misalnya, maka digunakan cara
istikmal, yakni menyempurnakan hitungan menjadi 30 hari. Jadi, dalam konteks
ini istikmal bukanlah metode tersendiri, tetapi metode lanjutan ketika rukyat
tidak efektif. Prosedur tersebut sebagaimana hadis Rasulullah Saw:
Berpuasalah
kalian karena melihat bulan, dan berbukalah (tidak berpuasa lagi) karena
melihatnya. Apabila kalian tidak melihatnya karena mendung, sempurnakanlah
hitungan bulan Sya’ban sampai tiga puluh hari (HR. Bukhari dan Muslim).
Pendapat NU berkaitan dengan
masalah yang sedang kita bicarakan ini, merupakan metode penetapan puasa dan
Idul Fitri yang diikuti oleh semua Imam Madzhab yang empat (Hanafi, Maliki,
Hambali dan Syafi’i). Hanya saja kalangan Imam Syafi’i masih mengakomodasikan
metode hisab dan memperbolehkannya sebagai dasar bagi para ahli hisab itu
sendiri dan mereka mempercayai kebenarannya.
Rais Amm PBNU Sahal Mahfudh
pernah berpendapat bahwa kedudukan hisab merupakan metode pendamping. Yakni
sekadar digunakan untuk memperkirakan (secara teoritik) apakah rukyat dapat
dilakukan atau tidak.
Dipakainya metode hisab dalam NU
hanya sebagai hisab penyerasian NU dengan pendekatan rukyat yang
diputuskan dalam musyawarah ‘ulama’ ahli hisab, ahli astronomi, dan ahli rukyat
. NU beranggapan bahwa hisab penyerasian NU mempunyai tingkat akurasi yang
sangat tinggi, lebih dari 90% sesuai dengan hasil rukyatul hilal bil fi’li.
Kemudian Kementerian Agama pun membuat semacam sistem penyerasian untuk
mengatasi perbedaan yang terdapat dalam berbagai metode hisab.
Adapun tahap-tahap penentuan
awal bulan Qamariah, khususnya awal bulan Ramadlan, awal bulan Syawal, dan awal
bulan Dzulhijjah, perspektif NU, sebagaimana ditulis KH. A. Ghazalie
Masroeri adalah melalui empat tahap, yaitu:
1. Tahap pembuatan hitungan hisab
2. Penyelenggaraan rukyatul hilal
3. Berpartisipasi dalam sidang itsbat
4. Ikhbar
Ilmu falak telah berkembang di
kalangan NU sejak abad 19. Lembaga-lembaga pendidikan NU, seperti pesantren dan
madrasah memberikan pendidikan ilmu falak/hisab. Dari pendidikan itu lahirlah
ulama-ulama ahli falak/hisab NU tersebar di seluruh Indonesia.
Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama
(LFNU) didirikan dari tingkat pusat sampai daerah sebagai wadah berhimpunnya
ahli hisab, astronom, dan ahli rukyat; penyelenggarakan diklat hisab dan
rukyat juga digelar dari tingkat dasar sampai tingkat mahir yang
bertujuan untuk menangani masalah-masalah kefalakiyahan dan pemanfaatannya.
Setiap menjelang awal tahun
Hijriyah, LFNU menyelenggarakan musyawarah ahli hisab, astronom, dan ahli
rukyat untuk merumuskan hitungan hisab kalender tahun-tahun berikutnya.
Hisab jama’iy/kolektif/penyerasian, diumumkan melalui almanak setiap tahun dan
digunakan untuk penyelenggaraan rukyatul hilal.
Sesungguhnya rukyat/observasi
terhadap benda-benda langit khususnya bulan dan matahari telah dilakukan ribuan
tahun sebelum masehi. Rukyat demi rukyat, observasi demi observasi dilakukan
kemudian dicatat dan dirumuskan, lahirlah ilmu hisab/ilmu astronomi.
Rukyat/observasi, demikian KH A
Ghazalie Masroeri, adalah ibu yang melahirkan ilmu hisab dan astronomi. Tanpa
rukyat/observasi tak akan ada ilmu hisab dan astronomi.
Rukyat yang diterima di
Indonesia ialah rukyat Nasional(wilayah al-hukmi), yakni rukyat yang
diselenggarakan di dalam negeri dan berlaku satu wilayah hukum[3].
Perbedaan hasil rukyat di Indonesia dengan Negara lain seperti Saudi Arabia
tidaklah menjadi masalah.
Dengan panduan dan dukungan ilmu
hisab, maka rukyat diselenggarakan di titik-titik strategis yang telah
ditetapkan (sekitar 55 tempat) di seluruh Indonesia di bawah koordinasi LFNU di
pusat dan di daerah. Pelaksana rukyat terdiri dari para ulama’ ahli fiqh, ahli
rukyat, ahli hisab, dan bekerja sama dengan ormas Islam dan instansi terkait.
Rukyat diselenggarakan dengan
menggunakan alat sesuai dengan kemajuan teknologi dan yang tidak bertentangan
dengan syar’i. Jadi, bukan dengan mata telanjang, melainkan sudah dibantu
dengan alat yang canggih.Setelah rukyat dilakukan, kemudian hasilnya dilaporkan
kepada PBNU. Dari laporan-laporan itu sesungguhnya NU sudah dapat mengambil keputusan
tentang penentuan awal bulan, tetapi tidak segera diumumkan melainkan
dilaporkan lebih dulu ke sidang itsbat, dengan tujuan agar keputusan itu
berlaku bagi umat Islam di seluruh Indonesia.
Hal tersebut mengikuti apa yang
sudah dilakukan para Sahabat Nabi. Ketika para Sahabat berhasil melihat hilal,
tidak serta-merta mereka menetapkannya dan mengumumkan kepada masyarakat
mendahului penetapan Rasulullah SAW.Hasil rukyat dilaporkan kepada Rasulullah
SAW. Selanjutnya beliau sebagai Rasul Allah maupun sebagai kepala negara
menetapkannya. Sebagaimana tersebut dalam hadits:
“Dari Abdullah bin Umar ia berkata: orang-orang
berusaha melihat hilal (melakukan rukyatulhilal) lalu saya memberitahu kepada
Rasulullah SAW bahwa sesungguhnya saya telah melihat hilal, maka beliau
berpuasa dan memerintahkan orang-orang agar supaya berpuasa”. (HR Abu Dawud,
Daruquthni, dan Ibnu Hibban)
Setelah setelah dikeluarkan
itsbat, maka NU mengeluarkan ikhbar (pemberitahuan) tentang sikap NU mengenai
penentuan awal bulan Ramadhan, awal bulan Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah
atas dasar rukyatul hilal yang didukung dengan hisab yang akurat sesuai dengan
kriteria imkanur rukyat.
Ikhbar ini adalah hak PBNU untuk
menetapkan hasil rukyat yang dikeluarkan setelah itsbat, dan merupakan bimbingan
terhadap warga NU, yang secara jam’iyyah (kelembagaan) harus dilaksanakan.
Sementara itu, dalam masalah
matla' (pemberlakuan wilayah rukyat), apakah rukyat berlaku untuk rukyat lokal,
nasional, ataukah internasional. NU menetapkan rukyat nasional wilayatul hukmi
Indonesia. Hasil rukyat hilal di suatu tempat hanya berlaku bagi suatu negara
kekuasaan hakim (pemerintah) yang menetapkan (itsbat) hasil rukyat tersebut.
Matla' berlaku hanya untuk
wilayah hukum suatu negara tertentu dan tidak berlaku bagi negara lain.
Artinya, rukyat hilal berlaku untuk seluruh kawasan Nusantara berlandaskan satu
kesatuan hukum negara sehingga kesepakatan dan keputusan pemerintah tentang
awal Hijriyah khususnya awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah berlaku untuk
seluruh negara kesatuan RI. NU menolak adanya rukyat internasional yang
berkiblat pada hasil rukyat Arab Saudi.
3.
Pandangan Nadhatul Ulama
Mengenai Matla’ hilal
Matla’
hilal adalah suatu kawasan geografis yang mengalami terbit hilal di atas ufuk
barat sesudah matahari terbenam sehingga
asemua wilayah dalam kawasan tersebut memulai awal bulan baru pada hari yang
sama.
Sunnatullah
mengenai pergerakan bumi, bulan dan matahari menghendaki berubah-ubahnya
keadaan terbit hilal setiap bulan, baik waktu, posisi maupu n ketinggiannya.
Akibat belahan bumi yang pertama kali mengalami terbit hilal senantiasa
berganti setiap bulan. Yang menjadi persoalan adalah seberapa jauh peristiwa
terbit hilal yang dialami belahan bumi tertentu mengikat belahan bumi lainnya
di dalam mengawali dan mengakhiri puasa Ramadhan?
Secara
fiqih, di dalam membahas persoalan ini para fuqora’ sampai pada dua jawaban
yang berbeda. Jwaban pertama diberikan oleh jumhur fuqoha’, yaitu bahwa
peristiwa terbit hilal yang dapat diindera dari suatu kawasan bumi tertentu
mengikat seluruh kawasan bumi lainnya di dalam mengawali dan mengakhiri puasa
Ramadhan. Dasarnya ialah bahwa sabda Nabi Muhammad SAW:
صوموا لرئيته وأفطروا لرئيته فإن غبي عليكم فأكملوا عدة
شعبان ثلاثين (متفق عليه)
“berpuasalah
kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal, bila hilal
tertutup debu atasmu, maka sempurnakanlah bilangan sya’ban tiga puluh hari”
(muttafaq ‘alai)[4]
Hadis di
atas ditujukan kepada seluruh ummat, oleh karena itu apabila salah seorang dari
mereka sudah ada yang merukyat hilal, di belahan bumi manapun ia maka rukyatnya
itu berlaku juga bagi mereka seluruhnya.
Jawaban kedua-
yang termuat dalam pendapat hanafiyah yang shohih dan pendapat ‘ulama syafiyyah
yang terpilih adalah bahwa untuk tiap-tiap negeri berlaku rukyat mereka
sendiri-sendiri. Argumentasi mereka adalah hadis yang diriwayatkan dari Kurayb,
yang ditakhrij oleh Muslim, bahwa Ibnu ‘abbas yang tinggal di Madinah menolak
berpegang pada hasil rukyat warga Syam yang terjadi satu hari lebih awal dari
rukyat warga Madinah. Untuk pendiriannya itu Ibnu ’abbas mengemukakan alasan:
هكذا أمرنا رسول الله صلى الله
عليه وسلم
Artinya begitulah Rasulullah SAW
menyuruh kami.
Sedangkan menurut hisab, sesuai
dengan firman Allah SWT
w
ߧôJ¤±9$#
ÓÈöt7.^t
!$olm;
br&
x8Íôè?
tyJs)ø9$#
wur
ã@ø©9$#
ß,Î/$y
Í$pk¨]9$#
4 @@ä.ur
Îû
;7n=sù
cqßst7ó¡o
ÇÍÉÈ
"tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak
dapat mendahului siang. dan masing-masing beredar pada garis edarnya.(Q.S.Yasiin
40)
Dalam
ayat di atas ada isyarat bahwa siang dan malam itu bergerak. Pergerakan itu
begitu teratur dan eksak sehingga gerakan malam tidak akan lebih cepat dari
gerakan siang. Pergerakan siang dan malam itu adalah efek langsung dari
pergerakan semu matahari dan perjalanan hariannya. Peralihan siang kepada malam
ditandai dengan terbenamnya matahari.
Prinsip
pemikiran yang dipegangi NU adalah mathla fi wilayah al-hukmi. Prinsip ini
secara tegas diputuskan NU dalam putusan Bahtsul Masail Muktamar di PP Lirboyo
Kediri Jawa Timur tanggal 21-27 November 1999 ketika menanggapi persoalan actual
tentang rukyah internasional yang dipegangi oleh Hizbut Tahrir.
C.
Penutup
Sebagi
benda langit yang gelap, bulan itu pada dasarnya hanya mungkin dilihat apabila
nagian dari permukaannya yang tercahayai matahari menghadap ke bumi dalah kadar
yang cukup. Penentu kadar permukaan
bulan yang tercahayai matahari dan menghadap kebumi itu adalah, jarak
relatifnya dengan matahari yang dinamakan busur cahaya. Dalam harga busur
cahaya yang sama , kendati posisinyberbeda beda terhadap matahari kadar permukaan
bulan yang tercahayai matahari dan yang menghadap kebumi akan lebih sama.
Perbedaan posisi itu hanya akan mengakibatkan perbbedaan bagiannya yang
terlihat dari bumi sehingga misalnya hilal kelihatan tegak, miring ke utara
atau keselatan.
Tetapi
sebagaimana digambarkan di atas pendapat ahli hisab mengenai limit visibilitas
hilal demikian beragam. Acuannya pun ada
yang hanya berdasarkan variable ketinggian bulan saja. Padahal, limit
visibilitas atau had imkan ru’yah menjadi variable penentu bagi derajat
ketepatan perukyatan dan ukuran jarak dari lokasi rukyat ke batas garis matla’.
Dampak
dari keadaan ini tentu saja adalah terbukanya peluang bahwa pada suatu kali
para ahli hisab bersepakat dan pada kali lain berselisih pendpat tentang
kesahhan suatu laporan keberhasilan hilal. Hal yang sama juga terjadi
dikalangan ahli hisab NU.
Selagi
keadaannya masih seperti ini, terkaitdengan pendiriannya untuk menempatkan
hisab sebagai pembantu dalam melaksanakan rukyat NU cenderung menerapkan
pandangan ibnu hajar (Tuhfah al-Muhtaj : 2: 382) yakni bahwa syahadah
(kesaksian melihat Hilal)dapat ditolak jika ahli hisab sepakat memustahilkanya,
dan dapat diterima jika para ahli hisab masih memperselisihkannya.
Terkait
dengan matla’ maka perlu diketahui perbandingan kecepatan rata-rata bumi,
bulan, dan matahari. Maka kesimpulan yang didasarkan pada angka-angka hasil
perhitungan tersebut diatas hanyalah bersipat taqribi atau sekedar ancer- ancer.
Batas matla’ dan imkan ru’yah secara lebih cermat dapat dihitung berdasarkan
konfigurasi posisi bumi, bulan, dan matahari yang keadaanya selalu berubah
setiap bulan. Berdasarkan konfigurasi posisi ketiga benda langit tersebut akan
dapat diketahui bahwa garis batas matla’ itu tidak selalu berarah utara selatan
tetapi bias juga, barat laut/ tenggara dan sebagainya. Demikian juga batas
imkan ru’yah tidak selalu konstan berada pada angka derajat tertentu.
[1] Slamet
Hambali, Almanak Sepanjang Masa, Semarang: Program Pasca Sarjana Walisongo
Semarang, 2011, hlm. viii
[2]
Abdussalam Nawawi. Rukyat Hisab Di Kalangan NU Muhamadiyah.Surabaya,Diantama.hlm
: 92
[3] Ahmad
Izzudin.Fiqih Hisab Rukyat; Jakarta:Erlangga ,2007,hlm110.
[4] Amad
‘Izzuddin, Ilmu falak praktis (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2012, hlm. 95).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar