Senin, 26 Mei 2014

Fiqih Taqwim Islam ( Kajian Tentang Fiqih NU) Oleh : Ahmad Mujadzad, S.Pd.I

Fiqih Taqwim Islam ( Kajian Tentang Fiqih NU)
Oleh    : Ahmad Mujadzad, S.Pd.I

A.    Pendahuluan
Ilmu falak termasuk kedalam jajaran ilmu- ilmu tua dengan sedikit orang yang menekuninya. Jika ditengok kebelakang ilmu ini pertama kali ditemukan oleh Enoch (Nabi Idris). Menyebar, dan timbul serta tenggelam oleh kemajuan zaman,  dikembangkannya lagi oleh para ilmuan Yunani kuno dan akhirnya sampai ketangan kita.
Ilmu falak dari masa ke masa, dalam pandangan mainstream masyarakat luas dianggap sebagai ilmu yang terkesan sulit dipelajari dan sulit dimengerti. Sampai sekarang pun menurut pengalaman penulis, keesan itu masih terasa. Salah satunya adalah kesullitan perhitungannya.Padahal hal tersebut dapat diatasi dengan penyampaian yang sederhana, fleksibel dan praktis. Seperti pengalaman kami selama ini mempelajari ilmu ini, yang walaupun masih dalam tahap pemula. Disini kami merasakan bahwa dengan penyampaian materi oleh guru/ mentor dengan cara yang sederhana lebih mempermudah penguasaan ilmu ini.
Ilmu Falak memegang peranan yang sangat besar dalam kehidupan manusia. Dalam islam, pelaksanaan ibadah hampir seluruhnya berkaitan dengan waktu, shalat dan puasa misalnya. Manfaat lain, adalah ketergantungan umat manusia dalam kehidupan sehari- hari yang tidak dapat terlepas dari penanggalan; baik ia sebagai pedagang, pegawai, petani, pelajar, atau hanya sebagai seorang muslim sekalipun. Terlebih umat islam yang tidak dapat terlepas dari tanggal, penanggalan, maupun system penanggalan itu sendiri. Penanggalan merupakan salah satu kajian ilmu falak. Dengan demikian, ilmu falak memiliki urgensitas tinggi bagi kehidupan umat manusia.[1]
B.     Sistem Taqwim NU
Satu pertanyaan yang seringkali muncul di kalangan umat Islam adalah,  mengapa sering terjadi perbedaan awal Ramadhan, dan jatuhnya Hari Raya, baik Idul Fitri/Idul Adha? Jawaban singkatnya, karena terdapat perbedaan metode dalam penentuan awal bulan.
Selain Departemen Agama—yang kini telah berubah nama menjadi Kementerian Agama—dua ormas terbesar di Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah selalu andil dalam menentukan awal Ramadhan, dan jatuhnya Idda’in (dua hari raya). Namun keduanya memiliki metode yang berbeda dalam penetapan awal Ramadhan dan jatuhnya Idda’in. NU menggunakan metode rukyat .Sedangkan Muhammadiyah lebih cenderung menggunakan metode Hisab Astronomi, meski tidak meninggalkan sepenuhnya metode rukyat .
1.      Hisab dalam perspektif NU
Dalam kaitannya dengan manhaj penentuan awal bulan qomariyah, NU biasanya diposisikan sebagai “pengawal” kubu rukyat (sementara di pihak lain, Muhammadiyah diposisikaan “pengawal” kubu hisab). Positioning terhadap NU didasarkan pada fakta bahwa NU selama ini menyandarkan penentuan awal Ramadhan, Syawal, da Dzulhijjah selalu pada hasil rukyat
Selanjutnya dengan posisi seperti itu NU sering dipersepsi sebagai jam’iyyah konservatif yang “anti atau – sekurang-kurangnya- tidak mau mengapresiasi ilmu pengetahuan (ilmu hisab). Kenyataannnya NU punya lajnah falakiyah yang secara khusus mengorganisir dan mewadahi aktifitas keilmuan ahli-ahli nahdhiyyin yang bertaburan. Sebagian dari ahli hisab Nu itu malah sudah memproduk sejumlah karya tulis dalam ilmu hisab. Jadi, persepsi tersebut di atastidak sesuai dengan faktanya. Lalu, bagaimana sebenarnya cara NU mengapresiasi ilmu hisab disamping rukyat.
Rapat kerja lajnah falakiyah NU di Samudera Beach Hotel, Pelabuhan Ratu, Sukabumi pada tanggal 18-19 Agustus 1992, sudah merumuskan manhaj NU dalam penentuan awal bulan Ramadahn, Syawal, dan Dzulhijjah sebagai berikut:
Pertama, pada dasarnya lajnah falakiyah NU tetap mempedomani putusan muktamar NU ke 27 1405 H/ 1984 di Situbondo dan Munas alim ‘ulama NU tahun 1408 H/ 1987 di Cilacap bahwa penetapan awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah wajib didasarkan atas rukyatulhilal atau istikmal. Sedangkan kedudukan hisab hanyalah sebagai pembantu dalam melaksanakan rukyat.
Kedua, penetapan awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah yang berlaku umum bagi segenap kaum muslimin di Indonesia adalah yang dilakukan oleh Pemerintah (Isbatulhakim). Supaya Isbat Al-Hakim tersebut didasarkan atas rukyat atau istikmal, maka hasil rukyat dari kalangan NU diupayakan sesegera mungkin dolaporkan kepada Pemerintah.
Ketiga, apabila Pemerintah menolak melakukan isbat berdasarkan rukyat, maka menjadi kewajiban bagi Pengurus Besar NU (PB NU) untuk menginformasikan hasil rukyat itu kepada segenap warga nahdhiyyin di seluruh penjuru tanah air melalui jaringan interen organisasi yang ada. Untuk menyebarkan informasi tersebut PB NU menekankan perlunya ditempuh cara-cara yang bijaksana.
Sabagaimana dikatakan Abdussalam dalam bukunya yang berjudul “rukyat hisab dikalangan NU Muhammadiyah”; “Hisab sebagai pembantu dalam melaksanakan rukyat” adalah kalimat kunci untuk memahami bagaimana NU memposisikan hisab disamping rukyat. Kalimat kunci tersebut melahirkan beberapa konsekuensi sebagai berikut:
1.      Bahwa meskipun hilal menurut hisab sedah imkan rukyah (visible), tetapi kalau faktanya tidak ada yang berhasil merukyat, maka bulan yang sedang berjalan, menurut NU diistikmalkan atau digenapkan 30 hari.
2.      Bagwa hitungan hari kedua puluh Sembilan untuk pelaksanaan rukyat tidaklah mengacu pada urutan hari berdasarkan istikmal itu tadi melainkan pada perhitungan hari berdasarkan hisab ijtima’ dan posisi hilal
3.      Bahwa meskipun hilal menurut hisab mustahil dirukyat, NU tetap melakukan rukyat untuk mendapatkan dasar bagi penetapan istikmal
4.      Bahwa hisab pada prinsipnya bisa digunakan sebagai dasar memilah hasil rukyat hilal yang sah dan tidak tidak sah.
5.      Bahwa hisab juga bias digunakan sebagai dasar penetapan wilayah berlakunya akibat hukum rukyat hila[2].
2.        Pandangan Nadhatul Ulama Mengenai Awal Bulan Qomariyah
 Dalam menentukan kepastian awal bulan Qamariyah, khususnya awal Ramadan, awal Syawal, dan awal Dzulhijjah, NU mendasarkan pada rukyat , bukan pada hisab; sesuai dengan nash dan aqwalul ‘ulama’ yang dipegangi, demikian keterangan dalam situs resmi NU. Namun, seiring perjalanan waktu NU yang semula mendasarkan pada rukyat maju menjadi rukyat  plus hisab dan seterusnya rukyat  berkualitas plus hisab akurat, kemudian ditambah lagi menerima kriteria imkanur rukyat . Jadi NU mendasarkan kepada rukyat  berkualitas dengan dukungan hisab yang akurat sekaligus menerima kriteria imkanur rukyat .
NU telah melakukan redefinisi hilal dan rukyat  menurut bahasa, Al-Qur’an, As-Sunnah dan menurut sains sebagai landasan dan pijakan kebijakannya dalam penentuan awal Ramadhan, dan jatuhnya hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.Menurut Ghazalie Masroeri, Ketua Pengurus Pusat Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama, hilal dalam bahasa Arab adalah sepatah kata isim yang memilik pengertian, bulan sabit yang tampak pada awal bulan.
Firman Allah yang artinya:
* štRqè=t«ó¡o Ç`tã Ï'©#ÏdF{$# ( ö@è% }Ïd àMÏ%ºuqtB Ĩ$¨Y=Ï9 Ædkysø9$#ur 3 }§øŠs9ur ŽÉ9ø9$# br'Î/ (#qè?ù's? šVqãŠç6ø9$# `ÏB $ydÍqßgàß £`Å3»s9ur §ŽÉ9ø9$# Ç`tB 4s+¨?$# 3 (#qè?ù&ur šVqãç7ø9$# ô`ÏB $ygÎ/ºuqö/r& 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# öNà6¯=yès9 šcqßsÎ=øÿè? ÇÊÑÒÈ  
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (Q.S. Al-Baqarah:189)
Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 189 di atas mengemukakan pertanyaan para Shahabat kepada Nabi tentang penciptaan dan hikmah ahillah (jamak dari hilal). Atas perintah Allah SWT kemudian Rasulullah SAW menjawab bahwa ahillah atau hilal itu sebagai kalender bagi ibadah dan aktifitas manusia termasuk haji. Pertanyaan itu muncul karena sebelumnya para sahabat telah melihat penampakan hilal atau dengan kata lain hilal telah tampak terlihat oleh para sahabat.
Para mufasir telah mendefinisikan, bahwa hilal itu mesti tampak terlihat. Ash-Shabuni dalam tafsirnya Shafwatut Tafasir juz I mengemukakan tafsir ayat tersebut sebagai berikut: “Mereka bertanya kepadamu hai Muhammad tentang hilal mengapa ia tampak lembut semisal benang selanjutnya membesar dan terus membulat kemudian menyusut dan melembut sehingga kembali seperti keadaan semula?”
Dalam pada itu Sayyid Quthub dalam tafsirnya Fii Zhilalil Qur’an juz I menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut: “Maka mereka bertanya tentang ahillah (hilal) … bagaimana keadaan ahillah (hilal)? Mengapa keadaan qamar (bulan) menampakkan hilal lalu membesar sehingga bulat menjadi purnama selanjutnya berangsur menyusut sehingga kembali menjadi hilal lagi dan kemudian menghilang tidak tampak untuk selanjutnya menampakkan diri menjadi hilal dari (bulan) baru?”
Jadi, berdasarkan ayat tersebut didapat pengertian,  hilal atau bulan sabit itu pasti tampak terlihat.
Masalah hilal juga sudah diterangkan dalam hadist Nabi Saw. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud dari sahabat Nabi SAW bernama Rib’i bin Hirasy yang mengatakan adanya perbedaan di kalangan para sahabat mengenai akhir Ramadhan kemudian ada laporan hasil rukyat ; perukyat  melaporkan dengan ungkapan:“Demi Allah sungguh telah tampak hilal kemarin sore.”Hadits tersebut menyatakan bahwa hilal itu pasti tampak terlihat. Demikian pula dalam hadits-hadits yang lain.
Sementara itu hilal atau bulan sabit dalam istilah astronomi disebut crescent, yakni bagian dari bulan yang menampakkan cahayanya terlihat dari bumi ketika sesaat setelah matahari terbenam pada hari telah terjadinya ijtima’ atau konjungsi.
Dari tinjauan bahasa, Al-Qur’an, As-Sunnah dan tinjauan sains sebagaimana diutarakan di atas,  Ghazalie Masroeri menyimpulkan bahwa hilal (bulan sabit) itu pasti tampak cahayanya terlihat dari bumi di awal bulan, bukan sekedar pemikiran atau dugaan adanya hilal. Oleh karena itu kalau tidak tampak tidak disebut hilal.
Sehubungan dengan kriteria hilal itu mesti tampak, maka Rasulullah SAW menyuruh kaum muslimin melakukan rukyat, yakni dengan melihat, mengamati secara langsung (observasi) terhadap hilal itu.
Lebih jauh, alasan NU dalam penggunaan metode rukyat  adalah bahwa dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan ad-dinul Islam, harus mendasarkan pada asas ta’abbudiy (ketaatan). Untuk mewujudkan kesempurnaan ta’abbudiy tersebut perlu didukung dengan menggunakan asas ta’aqquliy (penalaran). Dalam konteks ini, asas ta’abbudiy dilaksanakan dengan mengamalkan perintah rukyatul hilal.
Dalam buku Antologi NU diterangkan, kebijakan ulama salaf (jumhur ulama) berpendapat bahwa penetapan (isbat) awal Ramadhan dan Syawal hanya boleh dengan cara rukyat. Jika rukyat tidak bisa berhasil karena terhalang oleh mendung misalnya, maka digunakan cara istikmal, yakni menyempurnakan hitungan menjadi 30 hari. Jadi, dalam konteks ini istikmal bukanlah metode tersendiri, tetapi metode lanjutan ketika rukyat tidak efektif. Prosedur tersebut sebagaimana hadis Rasulullah Saw:
            Berpuasalah kalian karena melihat bulan, dan berbukalah (tidak berpuasa lagi) karena melihatnya. Apabila kalian tidak melihatnya karena mendung, sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban sampai tiga puluh hari (HR. Bukhari dan Muslim).
Pendapat NU berkaitan dengan masalah yang sedang kita bicarakan ini, merupakan metode penetapan puasa dan Idul Fitri yang diikuti oleh semua Imam Madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Hambali dan Syafi’i). Hanya saja kalangan Imam Syafi’i masih mengakomodasikan metode hisab dan memperbolehkannya sebagai dasar bagi para ahli hisab itu sendiri dan mereka mempercayai kebenarannya.
Rais Amm PBNU Sahal Mahfudh pernah berpendapat bahwa kedudukan hisab merupakan metode pendamping. Yakni sekadar digunakan untuk memperkirakan (secara teoritik) apakah rukyat dapat dilakukan atau tidak.
Dipakainya metode hisab dalam NU hanya sebagai hisab penyerasian NU dengan pendekatan rukyat  yang diputuskan dalam musyawarah ‘ulama’ ahli hisab, ahli astronomi, dan ahli rukyat . NU beranggapan bahwa hisab penyerasian NU mempunyai tingkat akurasi yang sangat tinggi, lebih dari 90% sesuai dengan hasil rukyatul hilal bil fi’li. Kemudian Kementerian Agama pun membuat semacam sistem penyerasian untuk mengatasi perbedaan yang terdapat dalam berbagai metode hisab.
Adapun tahap-tahap penentuan awal bulan Qamariah, khususnya awal bulan Ramadlan, awal bulan Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah, perspektif NU, sebagaimana ditulis  KH. A. Ghazalie Masroeri adalah melalui empat tahap, yaitu:
1. Tahap pembuatan hitungan hisab
2. Penyelenggaraan rukyatul hilal
3. Berpartisipasi dalam sidang itsbat
4. Ikhbar
Ilmu falak telah berkembang di kalangan NU sejak abad 19. Lembaga-lembaga pendidikan NU, seperti pesantren dan madrasah memberikan pendidikan ilmu falak/hisab. Dari pendidikan itu lahirlah ulama-ulama ahli falak/hisab NU tersebar di seluruh Indonesia.
Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) didirikan dari tingkat pusat sampai daerah sebagai wadah berhimpunnya ahli hisab, astronom, dan ahli rukyat; penyelenggarakan diklat hisab dan rukyat  juga digelar dari tingkat dasar sampai tingkat mahir yang bertujuan untuk menangani masalah-masalah kefalakiyahan dan pemanfaatannya.
Setiap menjelang awal tahun Hijriyah, LFNU menyelenggarakan musyawarah ahli hisab, astronom, dan ahli rukyat  untuk merumuskan hitungan hisab kalender tahun-tahun berikutnya. Hisab jama’iy/kolektif/penyerasian, diumumkan melalui almanak setiap tahun dan digunakan untuk penyelenggaraan rukyatul hilal.
Sesungguhnya rukyat/observasi terhadap benda-benda langit khususnya bulan dan matahari telah dilakukan ribuan tahun sebelum masehi. Rukyat demi rukyat, observasi demi observasi dilakukan kemudian dicatat dan dirumuskan, lahirlah ilmu hisab/ilmu astronomi.
Rukyat/observasi, demikian KH A Ghazalie Masroeri, adalah ibu yang melahirkan ilmu hisab dan astronomi. Tanpa rukyat/observasi tak akan ada ilmu hisab dan astronomi.
Rukyat yang diterima di Indonesia ialah rukyat Nasional(wilayah al-hukmi), yakni rukyat yang diselenggarakan di dalam negeri dan berlaku satu wilayah hukum[3]. Perbedaan hasil rukyat di Indonesia dengan Negara lain seperti Saudi Arabia tidaklah menjadi masalah.
Dengan panduan dan dukungan ilmu hisab, maka rukyat diselenggarakan di titik-titik strategis yang telah ditetapkan (sekitar 55 tempat) di seluruh Indonesia di bawah koordinasi LFNU di pusat dan di daerah. Pelaksana rukyat terdiri dari para ulama’ ahli fiqh, ahli rukyat, ahli hisab, dan bekerja sama dengan ormas Islam dan instansi terkait.
Rukyat diselenggarakan dengan menggunakan alat sesuai dengan kemajuan teknologi dan yang tidak bertentangan dengan syar’i. Jadi, bukan dengan mata telanjang, melainkan sudah dibantu dengan alat yang canggih.Setelah rukyat dilakukan, kemudian hasilnya dilaporkan kepada PBNU. Dari laporan-laporan itu sesungguhnya NU sudah dapat mengambil keputusan tentang penentuan awal bulan, tetapi tidak segera diumumkan melainkan dilaporkan lebih dulu ke sidang itsbat, dengan tujuan agar keputusan itu berlaku bagi umat Islam di seluruh Indonesia.
Hal tersebut mengikuti apa yang sudah dilakukan para Sahabat Nabi. Ketika para Sahabat berhasil melihat hilal, tidak serta-merta mereka  menetapkannya dan mengumumkan kepada masyarakat mendahului penetapan Rasulullah SAW.Hasil rukyat dilaporkan kepada Rasulullah SAW. Selanjutnya beliau sebagai Rasul Allah maupun sebagai kepala negara menetapkannya. Sebagaimana tersebut dalam hadits:
“Dari Abdullah bin Umar ia berkata: orang-orang berusaha melihat hilal (melakukan rukyatulhilal) lalu saya memberitahu kepada Rasulullah SAW bahwa sesungguhnya saya telah melihat hilal, maka beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang agar supaya berpuasa”. (HR Abu Dawud, Daruquthni, dan Ibnu Hibban)
Setelah setelah dikeluarkan itsbat, maka NU mengeluarkan ikhbar (pemberitahuan) tentang sikap NU mengenai penentuan awal bulan Ramadhan, awal bulan Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah atas dasar rukyatul hilal yang didukung dengan hisab yang akurat sesuai dengan kriteria imkanur rukyat.
Ikhbar ini adalah hak PBNU untuk menetapkan hasil rukyat yang dikeluarkan setelah itsbat, dan merupakan bimbingan terhadap warga NU, yang secara jam’iyyah (kelembagaan) harus dilaksanakan.
Sementara itu, dalam masalah matla' (pemberlakuan wilayah rukyat), apakah rukyat berlaku untuk rukyat lokal, nasional, ataukah internasional. NU menetapkan rukyat nasional wilayatul hukmi Indonesia. Hasil rukyat hilal di suatu tempat hanya berlaku bagi suatu negara kekuasaan hakim (pemerintah) yang menetapkan (itsbat) hasil rukyat tersebut.
Matla' berlaku hanya untuk wilayah hukum suatu negara tertentu dan tidak berlaku bagi negara lain. Artinya, rukyat hilal berlaku untuk seluruh kawasan Nusantara berlandaskan satu kesatuan hukum negara sehingga kesepakatan dan keputusan pemerintah tentang awal Hijriyah khususnya awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah berlaku untuk seluruh negara kesatuan RI. NU menolak adanya rukyat internasional yang berkiblat pada hasil rukyat Arab Saudi.
3.      Pandangan Nadhatul Ulama Mengenai Matla’ hilal
Matla’ hilal adalah suatu kawasan geografis yang mengalami terbit hilal di atas ufuk barat sesudah matahari  terbenam sehingga asemua wilayah dalam kawasan tersebut memulai awal bulan baru pada hari yang sama.
Sunnatullah mengenai pergerakan bumi, bulan dan matahari menghendaki berubah-ubahnya keadaan terbit hilal setiap bulan, baik waktu, posisi maupu n ketinggiannya. Akibat belahan bumi yang pertama kali mengalami terbit hilal senantiasa berganti setiap bulan. Yang menjadi persoalan adalah seberapa jauh peristiwa terbit hilal yang dialami belahan bumi tertentu mengikat belahan bumi lainnya di dalam mengawali dan mengakhiri puasa Ramadhan?
Secara fiqih, di dalam membahas persoalan ini para fuqora’ sampai pada dua jawaban yang berbeda. Jwaban pertama diberikan oleh jumhur fuqoha’, yaitu bahwa peristiwa terbit hilal yang dapat diindera dari suatu kawasan bumi tertentu mengikat seluruh kawasan bumi lainnya di dalam mengawali dan mengakhiri puasa Ramadhan. Dasarnya ialah bahwa sabda Nabi Muhammad SAW:
صوموا لرئيته  وأفطروا لرئيته فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين (متفق عليه)
“berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal, bila hilal tertutup debu atasmu, maka sempurnakanlah bilangan sya’ban tiga puluh hari” (muttafaq ‘alai)[4]
Hadis di atas ditujukan kepada seluruh ummat, oleh karena itu apabila salah seorang dari mereka sudah ada yang merukyat hilal, di belahan bumi manapun ia maka rukyatnya itu berlaku juga bagi mereka seluruhnya.
Jawaban kedua- yang termuat dalam pendapat hanafiyah yang shohih dan pendapat ‘ulama syafiyyah yang terpilih adalah bahwa untuk tiap-tiap negeri berlaku rukyat mereka sendiri-sendiri. Argumentasi mereka adalah hadis yang diriwayatkan dari Kurayb, yang ditakhrij oleh Muslim, bahwa Ibnu ‘abbas yang tinggal di Madinah menolak berpegang pada hasil rukyat warga Syam yang terjadi satu hari lebih awal dari rukyat warga Madinah. Untuk pendiriannya itu Ibnu ’abbas mengemukakan alasan:
هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم
Artinya begitulah Rasulullah SAW menyuruh kami.
Sedangkan menurut hisab, sesuai dengan firman Allah SWT
Ÿw ߧôJ¤±9$# ÓÈöt7.^tƒ !$olm; br& x8Íôè? tyJs)ø9$# Ÿwur ã@ø©9$# ß,Î/$y Í$pk¨]9$# 4 @@ä.ur Îû ;7n=sù šcqßst7ó¡o ÇÍÉÈ  
"tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. dan masing-masing beredar pada garis edarnya.(Q.S.Yasiin 40)
Dalam ayat di atas ada isyarat bahwa siang dan malam itu bergerak. Pergerakan itu begitu teratur dan eksak sehingga gerakan malam tidak akan lebih cepat dari gerakan siang. Pergerakan siang dan malam itu adalah efek langsung dari pergerakan semu matahari dan perjalanan hariannya. Peralihan siang kepada malam ditandai dengan terbenamnya matahari.
Prinsip pemikiran yang dipegangi NU adalah mathla fi wilayah al-hukmi. Prinsip ini secara tegas diputuskan NU dalam putusan Bahtsul Masail Muktamar di PP Lirboyo Kediri Jawa Timur tanggal 21-27 November 1999 ketika menanggapi persoalan actual tentang rukyah internasional yang dipegangi oleh Hizbut Tahrir.
C.     Penutup
Sebagi benda langit yang gelap, bulan itu pada dasarnya hanya mungkin dilihat apabila nagian dari permukaannya yang tercahayai matahari menghadap ke bumi dalah kadar  yang cukup. Penentu kadar permukaan bulan yang tercahayai matahari dan menghadap kebumi itu adalah, jarak relatifnya dengan matahari yang dinamakan busur cahaya. Dalam harga busur cahaya yang sama , kendati posisinyberbeda beda terhadap matahari kadar permukaan bulan yang tercahayai matahari dan yang menghadap kebumi akan lebih sama. Perbedaan posisi itu hanya akan mengakibatkan perbbedaan bagiannya yang terlihat dari bumi sehingga misalnya hilal kelihatan tegak, miring ke utara atau keselatan.
Tetapi sebagaimana digambarkan di atas pendapat ahli hisab mengenai limit visibilitas hilal demikian beragam.  Acuannya pun ada yang hanya berdasarkan variable ketinggian bulan saja. Padahal, limit visibilitas atau had imkan ru’yah menjadi variable penentu bagi derajat ketepatan perukyatan dan ukuran jarak dari lokasi rukyat ke batas garis matla’.
Dampak dari keadaan ini tentu saja adalah terbukanya peluang bahwa pada suatu kali para ahli hisab bersepakat dan pada kali lain berselisih pendpat tentang kesahhan suatu laporan keberhasilan hilal. Hal yang sama juga terjadi dikalangan ahli hisab NU.
Selagi keadaannya masih seperti ini, terkaitdengan pendiriannya untuk menempatkan hisab sebagai pembantu dalam melaksanakan rukyat NU cenderung menerapkan pandangan ibnu hajar (Tuhfah al-Muhtaj : 2: 382) yakni bahwa syahadah (kesaksian melihat Hilal)dapat ditolak jika ahli hisab sepakat memustahilkanya, dan dapat diterima jika para ahli hisab masih memperselisihkannya.
Terkait dengan matla’ maka perlu diketahui perbandingan kecepatan rata-rata bumi, bulan, dan matahari. Maka kesimpulan yang didasarkan pada angka-angka hasil perhitungan tersebut diatas hanyalah bersipat taqribi atau sekedar ancer- ancer. Batas matla’ dan imkan ru’yah secara lebih cermat dapat dihitung berdasarkan konfigurasi posisi bumi, bulan, dan matahari yang keadaanya selalu berubah setiap bulan. Berdasarkan konfigurasi posisi ketiga benda langit tersebut akan dapat diketahui bahwa garis batas matla’ itu tidak selalu berarah utara selatan tetapi bias juga, barat laut/ tenggara dan sebagainya. Demikian juga batas imkan ru’yah tidak selalu konstan berada pada angka derajat tertentu.





[1] Slamet Hambali, Almanak Sepanjang Masa, Semarang: Program Pasca Sarjana Walisongo Semarang, 2011, hlm. viii
[2] Abdussalam Nawawi. Rukyat Hisab Di Kalangan NU Muhamadiyah.Surabaya,Diantama.hlm : 92
[3] Ahmad Izzudin.Fiqih Hisab Rukyat; Jakarta:Erlangga ,2007,hlm110.
[4] Amad ‘Izzuddin, Ilmu falak praktis (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2012, hlm. 95).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar