Senin, 26 Mei 2014

penetapan kalender Islam

BAB I
PENDAHULUAN

Selama ini sering mengemuka permasalahan seputar penetapan awal dan akhir Ramadan dan awal Zulhijah. Tetapi sesungguhnya bukan hanya persoalan yang terkait dengan penetapan bulan-bulan itu saja yang ada di tengah-tengah masyarakat muslim. Tapi juga misalnya perhitungan haul yang terkait dengan kewajiban berzakat bagi mereka yang berada serta ibadah puasa-puasa sunnah yang dilaksanakan pada tanggal-tanggal tertentu. “Kejelasan” tentang penentuan waktu-waktu tersebut sangat penting artinya dalam kemantapan; keyakinan serta menghapuskan keragu-raguan apa lagi dalam hal pelaksanaan ibadah mahdhah.
Makalah ini akan membahas lebih lanjut tentang penetapan kalender Islam atau Hijriah. Dalam penulisan ini akan dilihat lebih lanjut rumusannya tentang penentuan permulaan hari, umur bulan Kamariah setiap bulannya, hilal, serta penetapan awal bulan.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Penanggalan Hijriah
Sistem penanggalan dan ukuran waktu dibutuhkan dalam kehidupan kita untuk mendata, mencatat; proses dokumentasi dan merencanakan peristiwa dan kegiatan penting dalam kehidupan secara pribadi maupun sosial dalam arti yang lebih luas. Dalam pengertian yang praktis dan sederhana kita membutuhkan kalender untuk penentuan hari dan tanggal.[1] Adapun pada awalnya kalender merupakan sebuah tabel astronomi yang menggambarkan pergerakan matahari dan bulan untuk kepentingan ibadah dan bercocok tanam saja. Sehingga satuan tahun bukanlah hal yang penting. Tahun seringkali/diawali dengan peristiwa bersejarah ataupun pergantian kekuasaan.[2]
Sistem kalender Islam; kalender hijriah yang dapat dijadikan acuan dalam hal ibadah adalah kalender yang berdasarkan perhitungan atau hisab hakiki. Hisab hakiki adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya. Menurut sistem ini umur bulan tidaklah konstan (tetap) dan tidak pula tidak beraturan, tapi bergantung posisi hilal setiap awal bulan. Boleh jadi umur bulan itu berselang seling antara dua puluh sembilan dan tiga puluh hari. Atau bisa jadi umur bulan itu berturut-turut dua puluh sembilan atau berturut-turut tiga puluh hari. Semua ini bergantung pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya; posisi hilal pada awal bulan tersebut.[3]
Kalender hijriah dikategorikan sebagai sistem penanggalan astronomical calendar, karena didasarkan pada realitas fenomena astronomi yang terjadi. Hal ini berbeda dengan kalender masehi yang hanya didasarkan pada aturan numerik (rata-rata perhitungan fenomena astronominya), sehingga disebut juga dengan aritmathical calendar.[4]
Dalam kalender hijriah, sebuah hari/tanggal dimulai ketika terbenamnya matahari setiap harinya. Penentuan awal bulan; bulan baru ditandai dengan munculnya hilal di ufuk Barat waktu Magrib setelah terjadinya konjungsi atau ijtimak. Ini berdasarkan firman Allah:
* štRqè=t«ó¡o Ç`tã Ï'©#ÏdF{$# ( ö@è% }Ïd àMÏ%ºuqtB Ĩ$¨Y=Ï9 Ædkysø9$#ur 3... الآية
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji… (QS al-Baqarah/ 2 ayat 189).

Penanggalan hijriah yang berdasarkan atas astronomical fenomena ini tidak mengenal tahun kabisat. Inilah penanggalan atau kalender hijriah yang didasarkan pada perhitungan/ hisab hakiki, yang dapat dijadikan panduan dalam menjalankan ibadah dalam Islam. Dan ini dibedakan dengan kalender yang didasarkan pada perhitungan/ hisab ‘urfi.
Biasanya untuk memudahkan dan kepentingan praktis perhitungan dalam pembuatan kalender Kamariah secara urfi (bukan secara hakiki) yang didasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi dalam orbitnya dengan masa 29 hari, 12 jam, 44 menit, 2,8 detik setiap satu bulannya. Kalender ini terdiri 12 bulan, dengan masa satu tahun 354 hari, 8 jam, 48 menit, 35 detik. Itu berarti lebih pendek 10 hari, 21 jam (sekitar 11 hari) dibanding dengan kalender Masehi dalam setiap tahunnya. Masa satu tahun sama dengan 354 hari, 8 jam, 48 menit, 35 detik yang kalau kita sederhanakan dapat dikatakan bahwa satu tahun itu sama dengan 354 11/30 hari. Dalam siklus 30 tahun, akan terjadi 11 tahun Kabisah yang berumur 355 hari dan sebagai tambahan satu hari ditempatkan pada bulan Zulhijah (bulan Zulhijahnya berumur 30 hari). Sedangkan 19 tahun sisanya merupakan tahun Basithah yang berumur 354 hari. Dengan demikian jumlah hari dalam masa 30 tahun = 30 x 354 hari + 11 hari = 10631 hari, yang diistilahkan dengan satu daur.[5]
Di masa pra Islam, belum dikenal penomoran tahun sebagaimana yang dikenal dan dapati pada masa sekarang. Sebuah tahun ditandai dengan nama peristiwa yang terjadi, seperti tahun Fil/Gajah (tahun lahirnya nabi Muhammad) karena pada waktu itu, terjadi penyerbuan Ka’bah oleh pasukan bergajah yang dipimpin raja Abrahah yang berasal dari Yaman Selatan, sebagaimana diabadikan dalam QS. al-Fil/105. Setelah datangnya Islam, dinamakanlah tahun wafatnya Siti Khadijah dan paman nabi; Abu Thalib dengan tahun Huzn (tahun penuh duka cita), tahun pertama hijrahnya Nabi sebagai tahun Idzn/Izin yaitu tahun diizinkannya untuk berhijrah. Tahun kedua disebut tahun Amr/perintah yaitu tahun diperintahkannya untuk berperang, tahun kesepuluh disebut tahun Wada' (haji Wada'/Perpisahan). Penamaan suatu tahun itu terkait dengan peristiwa monumental yang terjadi pada tahun tersebut sehingga melalui peristiwa penting itu namanya diabadikan.[6]
Terhadap penamaan bulan, bangsa Arab telah mengenal dan menetapkan nama-nama bulan seperti yang kita dapati hingga saat ini yang juga selalu dikaitkan dengan fenomena alam, yaitu: Muharam, Safar, Rabiul awal, Rabiul akhir, Jumadil awal, Jumadil akhir, Rajab, Syakban, Ramadan, Syawal, Zulkaidah, dan Zulhijah.[7]
Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab ra. (tahun 17 H) kalender Islam terbentuk dengan nama kalender hijriah. Dengan berbagai usulan dan pendapat akhirnya rapat memutuskan dan memilih awal kalender Islam dimulai dari tahun hijrahnya nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah, yang merupakan usulan dari Ali ra. Sejak saat itu, ditetapkan tahun hijrah nabi sebagai tahun satu, 1 Muharram 1 H bertepatan dengan 16 Juli 622 M. Dan tahun dikeluarkannya keputusan itu langsung ditetapkan sebagai tahun 17 H.[8] Dengan demikian maka perhitungan tahun Hijriah itu diberlakukan mundur sebanyak tujuh belas tahun.
Karakteristik Kalender Hijriah adalah kalender berdasarkan peredaran bulan (qamar) atau disebut juga dengan Lunar calendar yang terdiri 12 bulan. Bulan yang pertama adalah Muharam dan bulan terakhir adalah Zulhijah. Hal ini didasarkan pada firman Allah:
¨bÎ) no£Ïã Íqåk9$# yZÏã «!$# $oYøO$# uŽ|³tã #\öky­ Îû É=»tFÅ2 «!$# tPöqtƒ t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# šßöF{$#ur !$pk÷]ÏB îpyèt/ör& ×Pããm 4 šÏ9ºsŒ ßûïÏe$!$# ãNÍhŠs)ø9$# 4 ... الآية
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.[9] Itulah (ketetapan) agama yang lurus. (QS at-Taubah/9 ayat 36).

Selain untuk keperluan ibadah, fungsi lain dari kalender adalah merekonstruksi peristiwa atau sejarah di masa lampau. Banyak peristiwa yang terjadi sebelum dimulainya penanggalan Islam pada masa kekhalifahan Umar ibn Khattab yang dapat dihitung ulang, seperti tentang kelahiran nabi Muhammad saw. Alat uji atau mengecek ulang kebenaran perhitungan penanggalan tersebut adalah riwayat yang menggambarkan peristiwa tersebut. Riwayat kronologis kehidupan Rasulullah menyatakan tentang hari atau musim merupakan alat uji terbaik dalam analisis konsistensi historis-astronomisnya. Urutan hari tidak pernah berubah dan berisifat universal. Pencocokan musim diketahui dengan melakukan konversi sistem kalender hijriah ke sistem kalender masehi. Program komputer sederhana konversi kalender hijriah-masehi dapat digunakan sebagai pendekatan awal yang praktis dalam merekonstruksi kronologi kejadian penting dalam kehidupan Rasulullah.[10]
Beragam informasi dijumpai di buku-buku tarikh tentang kejadian-kejadian itu. Haekal menyatakan tentang kelahiran Nabi Muhammad saw saja terdapat berbagai pendapat. Ada yang menyatakan lahir pada tanggal 2, 8, 9, atau 12. Bulannya pun beragam: Muharam, Safar, Rabiul awal, Rajab, atau Ramadan tahun Gajah, 15 tahun sebelum tahun Gajah, 30 tahun setelah tahun Gajah, atau bahkan 70 tahun setelah tahun Gajah. Namun kebanyakan pendapat menyatakan Rasulullah saw dilahirkan pada hari Senin 12 Rabiul awal tahun Gajah. Peristiwa itu terjadi 53 tahun sebelum hijrah (secara matematis-astronomis dapat dinyatakan sebagai tahun -53 H). Sehingga saat kelahiran nabi tersebut bertepatan dengan hari Senin 5 Mei 570 M.[11]

B.     Takwim; Penanggalan Menurut Kitab Nur al-Anwar
Untuk mengetahui takwim, penanggalan hijriah menurut kitab Nur al-Anwar, maka kita akan menelusurinya melalui beberapa konsep berikut ini:

1.      Umur Bulan Kamariah
Sistem hisab kitab Nur al-Anwar adalah hisab Qath’i yang disebut juga Hisab hakiki bi at-tahqiq. Sebagai Hisab hakiki adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya. Umur bulan Kamariah tidaklah konstan (tetap) dan tidak pula tidak beraturan, tapi bergantung posisi hilal setiap awal bulan. Boleh jadi umur bulan itu berselang seling antara dua puluh sembilan dan tiga puluh hari. Atau bisa jadi umur bulan itu berturut-turut dua puluh sembilan atau berturut-turut tiga puluh hari. Semua ini bergantung pada peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya; posisi hilal pada awal bulan tersebut.[12] Sistem ini tentu saja berbeda dengan penetapan kalender secara urfi.
Dalam sistem penetapan kalender urfi yang berdasarkan pada perhitungan rata-rata dari peredaran Bulan mengelilingi Bumi. Perhitungan secara urfi ini bersifat tetap, umur bulan itu tetap setiap bulannya. Bulan yang ganjil; gasal berumur tiga puluh hari sedangkan bulan yang genap berumur dua puluh sembilan hari. Dengan demikian bulan Ramadan sebagai bulan kesembilan (ganjil) selamanya akan berumur tiga puluh hari. Pada hal dalam kenyataannya tidak selalu seperti itu. Sehingga perhitungan secara urfi ini disepakati oleh para ulama tidak dapat dijadikan sebagai pedoman untuk pelaksanaan ibadah.[13]

2.      Permulaan Hari
Kitab Nur al-Anwar dalam masalah penentuan permulaan hari yang baru dimulai dari waktu Magrib, saat terbenamnya Matahari. Ketika masuknya waktu Magrib berarti telah memasuki hari yang baru; terjadinya pergantian tanggal dan sekaligus meninggalkan hari yang sebelumnya.
Dalam ilmu astronomi, pergantian atau permulaan hari berlangsung saat posisi Matahari berkulminasi bawah, yakni pada pukul 24.00 atau pukul 12.00 malam. Ini yang dijadikan patokan dalam kalender yang berbasiskan peredaran Matahari (Solar Calendar). Sementara itu pergantian atau permulaan hari dalam penanggalan Islam dalam penentuan awal bulan Kamariah adalah saat terbenamnya Matahari.[14] Mengenai penentuan permulaan hari yang baru ini, kitab Nur al-Anwar pada prinsipnya mengikuti atau sama dengan permulaan hari dalam kalender Islam.

3.      Hilal
Definisi hilal bisa beragam karena itu bagian dari riset ilmiah, semua definisi itu semestinya saling melengkapi satu dengan lainnya. Bukan dipilih definisi parsial, tapi hilal harus didefinisikan dengan sebuatu definisi yang komprehensif. Misalnya, definisi lengkap yang dirumuskan sebagai berikut: hilal adalah bulan sabit pertama yang teramati di ufuk barat sesaat setelah Matahari terbenam, tampak sebagai goresan garis cahaya yang tipis, dan bila menggunakan teleskop dengan pemroses citra bisa tampak sebagai garis cahaya tipis di tepi bulatan bulan yang mengarah ke matahari. Dari data-data rukyatul hilal jangka panjang, keberadaan hilal dibatasi oleh kriteria hisab tinggi minimal sekian derajat bila jaraknya dari matahari sekian derajat dan beda waktu terbenam bulan-matahari sekian menit serta fraksi iluminasi sekian prosen[15]. Penting artinya perhitungan posisi hilal ini. Karena perhitungan posisi hilal terkait dengan penentuan awal bulan (new moon). Jika hilal telah wujud di atas ufuk menurut kriteria sebagian kelompok atau ketinggian hilal telah memenuhi kriteria visibilitas untuk dirukyah (imkanu rukyah) menurut sebagian kelompok yang lain, maka esok harinya adalah tanggal satu bulan yang baru.

4.      New Month (Bulan Baru)
Kitab Nur al-Anwar hanya digunakan untuk melakukan perhitungan awal bulan Kamariah. Dalam kitab Nur al-Anwar tidak dijelaskan atau ditentukan standar penetapan yang dijadikan patokan telah masuk atau belumnya awal bulan baru. Semua itu tergantung hasib (orang yang melakukan perhitungan). Standar atau patokan yang digunakan untuk menentukan telah masuknya bulan baru atau pergantian bulan bergantung pada pilihan yang diambil hasib. Dalam penentuan telah masuknya bulan baru atau awal bulan Kamariah terdapat perbedaan ahli hisab, di antaranya yang berpendapat bahwa awal bulan baru itu ditentukan oleh terjadinya ijtimak sedangkan yang lain mendasarkannya atau posisi hilal.
KH Noor Ahmad SS menyatakan ijtimak/ konjungsi/ iqtiran/ pangkreman yaitu apabila Matahari dan Bulan berada pada kedudukan/bujur astronomi yang sama. Dalam astronomi dikenal dengan istilah konjungsi (conjunction) dan dalam bahasa Jawa disebut pangkreman. Ijtimak dalam ilmu hisab dikenal juga dengan istilah ijtimak an-nayyirain.[16]
Dalam kitab Nur al-Anwar dijelaskan bahwa ijtimak itu adakalanya terjadi setelah Matahari terbenam dan pada waktu yang lain terjadi sebelum matahari terbenam. Ijtimak setelah Matahari terbenam, posisi hilal masih di bawah ufuk dan pasti tidak dapat dirukyah. Adapun apabila ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam ada tiga kemungkinan, yaitu:
a.       Hilal sudah wujud di atas ufuk dan mungkin bisa dirukyah.
b.      Hilal sudah wujud di atas ufuk dan tidak mungkin bisa dirukyah
c.       Hilal belum wujud di atas ufuk/masih di bawah ufuk dan pasti tidak mungkin bisa dirukyah.[17]
Kelompok yang berpegang pada sistem ijtimak menetapkan jika ijtimak terjadi sebelum Matahari terbenam, maka sejak Matahari terbenam itulah awal bulan baru sudah mulai masuk. Mereka sama sekali tidak mempermasalahkan hilal dapat dirukyah atau tidak.
Sedangkan kelompok yang berpegang pada posisi hilal menetapkan jika pada saat Matahari terbenam posisi hilal sudah berada di atas ufuk, maka sejak Matahari terbenam itulah perhitungan bulan baru dimulai.[18]
Keduanya sama dalam penentuan awal masuknya bulan Kamariah, yakni pada saat Matahari terbenam. Namun keduanya berbeda dalam menetapkan kedudukan Bulan di atas ufuk. Aliran ijtimak qabl ghurub sama sekali tidak mempertimbangkan dan memperhitungkan kedudukan hilal di atas ufuk pada saat sunset. Sebaliknya kelompok yang berpegang pada posisi hilal saat sunset menyatakan apabila hilal sudah berada di atas ufuk itulah pertanda awal masuknya bulan baru. Bila hilal belum wujud berarti hari itu merupakan hari terakhir dari bulan yang sedang berlangsung.[19]
Selanjutnya kedua kelompok ini masing-masingnya terbagi lagi menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil. Perbedaan ini disebabkan atau dikaitkan dengan fenomena-fenomena yang terdapat di sekitar peristiwa ijtimak dan ghurub asy-syams. Dan dalam perkembangan wacana dalam penetapan awal bulan Kamariah, kelompok yang berpegang pada posisi hilal inilah yang lebih mendominasi. Selanjutnya akan dibahas tentang kelompok yang berpedoman pada wujudul hilal dan kelompok yang berpedoman pada imkanu rukyah dalam penentuan awal bulan. Keduanya merupakan bagian dari mereka yang berpegang pada posisi hilal dan memiliki standar atau patokan yang berbeda.
Mereka yang berpedoman pada wujudul hilal menyatakan bahwa pedoman masuknya awal bulan adalah telah terjadi ijtimak sebelum terbenam Matahari dan pada saat sunset itu hilal telah wujud di atas ufuk. Sementara itu mereka yang berpedoman pada imkanu rukyah menyatakan bahwa patokan masuknya awal bulan adalah telah ijtimak terjadi sebelum terbenam Matahari dan pada saat sunset itu hilal telah berada di atas ufuk pada ketinggian yang memungkinkan untuk dirukyah.
Dalam menentukan masuknya awal bulan, mereka yang berpedoman pada wujudul hilal berpatokan pada posisi hilal sudah di atas ufuk tanpa mematok ketinggian tertentu. Jika hilal telah di atas ufuk otomatis pertanda masuknya awal bulan. Mereka yang berpedoman pada imkan ar-rukyah menentukan ketinggian tertentu hilal sehingga memungkinkan untuk dirukyah. Kriteria ketinggian hilal ini pun dimaknai berbeda-beda ada mereka yang menyatakan bahwa ketinggian hilal untuk memungkinkan untuk dirukyah itu harus 2°, 3°, 4°,7°, atau 9°. Di samping itu ada kriteria-kriteria lain sebagai pendukung seperti illuminasi bulan, jarak antara Bulan dan Matahari saat ghurub, posisi hilal terhadap Matahari, jangka waktu antara ijtimak dan terbenamnya Matahari, dan lainnya.[20]
KH Noor Ahmad SS sendiri dalam hasil perhitungannya terkadang menggunakan pedoman wujudul hilal dalam perhitungan awal bulan Kamariahnya. Ini pernah dipraktikkan ketika ia melakukan perhitungan awal dan akhir bulan Ramadan di masa Rasulullah. Selanjutnya perhatikan tabel berikut.
Ditulis pada 28 Nopember 2007 oleh Abah Zacky as-Samarani
No
Tahun Hijriah
Ramadan
Syawal
Umur Ramadan
1
Hari
Tinggi Hilal
Hari
Tinggi Hilal
2
2
Sabtu
1,24
Senin
6,57
30
3
3
Kamis
7,26
Jumat
2,29
29
4
4
Selasa
11,50
Rabu
8,02
29
5
5
Sabtu
2,50
Senin
11,41
30
6
6
Kamis
9,32
Jumat
3,59
29
7
7
Senin
7,51
Selasa
1,15
29
8
8
Jumat
7,59
Sabtu
1,22
29
9
9
Selasa
6,03
Rabu
0,36
29
10
10
Sabtu
0,39
Senin
8,42
30
Berpuasa Ramadan di Madinah al-Munawwarah

Keterangan:
Penggarapan menggunakan sistem kitab Nurul Anwar, karangan KH Noor Ahmad, SS dengan dasar penghitungan wujudul hilal.
Dihisab oleh KH Noor Ahmad SS.[21]
Sebagai perbandingan disajikan juga data Ramadan di zaman Rasulullah, dihisab menggunakan program Accurate Times dari Muhammad Odeh.[22]
No
Tahun
Tinggi Hilal Awal Ramadan
Tinggi Hilal Akhir Ramadan
Lama Ramadan
1
2 H
3
9
30
2
3 H
9,4
3,9
29
3
4 H
14,2
9,1
29
4
5 H
4,7
13,4
29
5
6 H
11,8
5,7
30
6
7 H
9,9
2,7
29
7
8 H
9,8
2,7
29
8
9 H
7,7
1,8
29
9
10 H
1,7
10,3
30

Sehingga dari kedua data di atas yang sama-sama berpedoman pada wujud al-hilal menghasilkan data ketinggian hilal yang berbeda. Ini dimungkinkan karena menggunakan data yang mungkin berbeda, rumus-rumus perhitungan yang berbeda pula ataupun perbedaan lainnya.
Dari penelusuran penulis, pada perhitungan bulan Kamariah seperti awal dan akhir Ramadan serta awal Zulhijah, KH Noor Ahmad SS menggunakan pedoman imkanu rukyah karena menyatakan bahwa ketinggian hilal kurang 2° dan ijtimak terjadi sesudah zawal maka hari diundur satu hari. Hal ini karena menurut Nur al-Anwar ketinggian minimal hilal untuk dapat dirukyat adalah 2°. Dan ijtimak yang terjadi setelah zawal; dengan pengertian umur hilal kurang dari enam jam sehingga kemungkinan hilal masih di bawah ufuk dan tidak mungkin untuk dirukyah.[23]
BAB III
P E N U T U P

A.    Simpulan-simpulan
Dari uraian “Fiqih Taqwim – Kajian Tentang Konsep Hilal” di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.      Definisi hilal bisa beragam karena itu bagian dari riset ilmiah, semua definisi itu semestinya saling melengkapi satu dengan lainnya. Bukan dipilih definisi parsial, tapi hilal harus didefinisikan dengan sebuatu definisi yang komprehensif. Misalnya, definisi lengkap yang dirumuskan sebagai berikut: hilal adalah bulan sabit pertama yang teramati di ufuk barat sesaat setelah Matahari terbenam, tampak sebagai goresan garis cahaya yang tipis, dan bila menggunakan teleskop dengan pemroses citra bisa tampak sebagai garis cahaya tipis di tepi bulatan bulan yang mengarah ke matahari.
2.      Umur bulan Kamariah tidaklah konstan (tetap) dan tidak pula tidak beraturan, tapi bergantung posisi hilal setiap awal bulan. Boleh jadi umur bulan itu berselang seling antara dua puluh sembilan dan tiga puluh hari. Atau bisa jadi umur bulan itu berturut-turut dua puluh sembilan atau berturut-turut tiga puluh hari. Semua ini bergantung pada peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya; posisi hilal pada awal bulan tersebut.
3.      Dalam perhitungan awal bulan Kamariah, kitab Nur al-Anwar hanya sebagai sebuah metode perhitungan. Ia tidak terkait dengan kriteria tertentu dalam penentuan awal bulan. Setelah menghitung tentang perhitungan awal bulan tertentu, maka yang menentukan awal bulan telah masuk atau belumnya bulan baru tersebut adalah hasib (orang yang melakukan perhitungan). Dari hasil perhitungan yang dilakukan boleh jadi menurut pedoman wujudul hilal telah masih bulan baru tapi mungkin saja menurut pedoman imkanu rukyah visibilitas hilal belum memungkinkan untuk dirukyat sehingga besok masih merupakan hari terakhir dari bulan berjalan.

B.     Saran
Demikian deskripsi makalah singkat yang mengacu pada sistem penanggalan Islam yang diramu dari kitab Nur al-Anwar karangan KH Noor Ahmad SS tergolong hisab hakiki bi at-tahqiqi yang tingkat akurasinya sedang. Kalender yang dihasilkannya dapat dijadikan acuan dalam penetapan masalah ibadah. Sebagai sebuah sistem perhitungan kitab Nur al-Anwar dapat digunakan oleh semua pihak karena ia tidak menetapkan kriteria tertentu. Dalam penggunaannya untuk pembuatan kalender hasiblah yang menentukan kriterianya. Akhir kata, kritik konstruktif dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi terbukanya cakrawala berfikir bagi penulis.
Wa Allah a’lamu bi ash-shawab.
Wallâhul Muwaffiq ilâ aqwamit tharieq...




DAFTAR PUSTAKA

Ahmad SS, Noor, (Tanpa Judul), Makalah pada Musyawarah Kriteria Imkanur Rukyah di Indonesia, Bogor: 24-26 Maret 1998.
____________, Jadwal al-Falak Nur al-Anwar min Muntaha al-Aqwal fi Ma’rifah Hisab as-Sinin wa al-Hilal wa al-Ijtima’ wa al-Kusuf wa al-Khusuf ’ala al-Haqiqi bi at-Tahqiqi bi ar-Rashd al-Jadid, Kudus: Madrasah Tasywiq ath-Thullab Salafiyah, 1986.

Anwar, Syamsul, Almanak Berdasarkan Hisab Urfi Kurang Sejalan Dengan Sunnah Nabi saw: Surat Terbuka Untuk Pak Darmis, Almanak_Hijriah.pdf – Adobe Reader

Azhari, Susiknan, Hisab Hakiki Model Muhammad Wardan: Penelusuran Awal dalam Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag RI, 2004.

____________, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, Cet. Ke-2, 2007.

Depag RI, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Depag RI, 1981.

____________, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Gema Risalah Press, 1992.

Fathurohman SW, Saadoeddin Djambek dan Hisab Awal Bulannya dalam Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag RI, 2004.

Saksono, Toto, Mengkompromikan Rukyat & Hisab, Jakarta: Amythas Publicita bekerja sama dengan Center for Islamic Studies, 2007.


Setyanto, Hendro, Membaca Langit, Jakarta: al-Ghuraba, 2008, Cet.ke-1.

Taqwim Hijriyah, hhtp://afdacairo.blogspot.com. 

T. Djamaluddin, Rekonstruksi Kejadian Zaman Nabi Berdasarkan Hisab Konsistensi Historis-Astronomis Kalender Hijriyah, http: //t-djamaluddin.space.live.com
____________, Redefinisi Hilal menuju Titik Temu Kalender Hijriyyah, http://t-djamaluddin.space.live.com.


Peredaran Bulan, Matahari Dan Terjadinya Waktu (1)
Oleh: Dr. Abdurrahman Muhammad
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa matahari, bulan dan bumi mempunyai garis edaran tertentu dalam tata surya kita yang berpengaruh dalam terjadinya waktu atau terwujudnya hari-hari, bulan-bulan dan tahun; terbentuknya siang dan malam serta panjangnya siang dan malam di planet kita, bumi. Waktu terkait erat secara mendasar dengan gerakan bumi, matahari dan bulan.  Hari, bulan dan tahun menjadi bukti adanya rotasi peredaran planet bumi dan bintang-bintang tersebut.
Bulan bersama bumi berputar mengelilinggi matahari. Masa periode dari satu bulan ke bulan baru yang lain adalah 29 hari 12 jam dan 44.05 menit. Periode itu disebut periode sinodikal bulan, antara lain dijadikan patokan perhitungan almanak Hijriah.
Adapun matahari, periode puternya pada porosnya adalah 25 hari pada garis ekuatornya, sedangkan putaran rata-ratanya adalah 27 hari. 
Garis Edaran Bulan dan Penentuan Kalender Qamariyah
Bulan berbeda dengan matahari dari segi garis edaran maupun waktu edarannya di sekeliling bumi. Jika hilal terbit di timur dan terlihat di satu tempat di bumi maka saat itu telah masuk bulan baru untuk seluruh daerah di bumi.  Bukan hanya untuk daerah yang sudah melihat hilal itu saja; sebagaimana perhitungan waktu berdasarkan peredaran matahari (kalendar Matahari) dimana seluruh dunia mengunakan penanggalan yang sama baik dari segi ketentuan awal bulan, jumlah  hari maupun bulan. Maka penentuan awal bulan menurut peredaran matahari adalah sama untuk seluruh dunia dan bukan hanya untuk daerah-daerah tertentu. 
Penjelasannya bahwa jalur edar bulan berbeda dengan jaur edar matahari. Jalur edar matahri yang dua puluh delapan dapat ditempuh oleh matahari dalam tempo satu tahun. sedang bulan menempuhnya dalam waktu 27 hari, 7 jam, 43 menit dan 4 detik; dan kadang-kadang terjadi dalam waktu 29,5 hari, 44 menit dan 3 detik sebagaimana yang dikatakan oleh ahli hisab dan astronomi.
Ijtima'/Iqtiran (pertemuan antara bulan dan matahari dengan bumi) terjadi pada bujur ekliptik yang sama. Ijtima’ terjadi serentak, dan cuma sekali setiap bulan. Peristiwa ijtima tidak bisa dilihat karena matahari di belakang bulan sangat menyilaukan. Maka saat terjadinya ijtima’ bulan tidak bersinar dan tidak dapat dilihat, sedang sinar bulan berasal dari sinar matahari yang ia pantulkan ke bumi. 
Setelah ijtima’/Iqtiran, bulan yang makin tinggi lambat laun akan menyentuh horison bagi tempat di muka bumi yang sedang mengalami matahari terbenam.  Bila bulan ini tepat di horison, maka dikatakan irtifa’-nya nol dan sejak itu dia “wujud” (wujudul hilal) bulan sabit akan terlihat dan akan terhitung bulan baru.  Makin lama irtifa’ ini hilal makin besar. Dalam 24 jam (sehari) dia akan naik sekitar 12 derajat.
Ijtima’nya Matahari, Bulan dan Bumi tidak Dihitung Bulan Baru Secara Syar’i
Jika para ahli hisab menganggap lahirnya bulan baru (hilal) adalah saat terjadinya ijtima bulan dengan matahari pada bujur ekliptik yang sama, sedangkan syara’ menganggapnya sebagai bulan baru setelah terpisah dan ru’yat atau imkanur ru’yat (kapan secara astronomis hilal mungkin dilihat) adalah setelah terpisahnya bulan dari ijtima’ dan bergeser sejauh jarak yang memungkinkan ru’yatul hilal. 
Secara syar’i ru’yat selalu harus dilakukan setiap tanggal 29 Rajab, Sya’ban atau Ramadhan tanpa melihat sudah ijtima’ atau belum. Pada umumnya yang diandalkan adalah kesaksian orang yang dianggap jujur, walaupun untuk ru'yat hilal Ramadhan ru’yat tesebut berasal dari puluhan negara, tetap akan ditolak para ahli hisab di Timur, karena ru’yat dimustahilkan para ahli hisab (misalnya karena irtifa’ negatif atau belum ijtima’/masih bulan tua dll).
Setiap ada kesaksian ru’yat yang diterima, para ahli hisab akan melihat pada irtifa’ berapa laporan itu. Dari sini kemudian timbul berbagai teori tentang “kapan secara astronomis hilal mungkin dilihat”. Inilah konsep “imkanur ru’yat”. Masalahnya angka imkan yang ada berbeda-beda.  Kitab-kitab ilmu falak tua masih memakai 7 derajat.  Di Turki memakai 5 derajat.  Di Indonesia Jama’ah Persis konsisten memakai hisab mutlak dengan imkan 2 derajat.  PBNU tetap akan meru’yat namun akan menolak ru’yat sementara irtifa’ masih kurang dari 2 derajat.
Karena masalah imkan belum ada konsensus, Muhammadiyah akhirnya memutuskan memakai wujudul hilal. Dari sini kelihatan bahwa meski metode hisab sama, namun bila kriteria imkan berbeda, hasilnyapun bisa berbeda satu hari.
Di manakah bulan pertama kali mungkin di ru’yat (imkan awal)? Ternyata bisa di mana saja. Tidak ada sebuah tempat pun yang memiliki privilege (hak istimewa). Semua tergantung kondisi aktual. Secara astronomi, bisa dibuatkan garis tanggal hijri (Hijri Date Line/HDL), yaitu suatu garis tempat-tempat dengan irtifa’ (wujud, imkan) sama saat matahari terbenam di masing-masing tempat. HDL ini tiap bulan bergeser dan berubah bentuknya. Yang pasti, faktor cuaca tidak bisa diprediksi dengan hisab astronomi, karena tidak ada hubungannya.
Kesimpulannya menurut ahli hisab jika terlihat hilal dilangit di suatu tempat, maka pada kondisi itu dikatakan sudah masuknya bulan baru dalam pandangan syara’ sedang dalam pandangan ahli hisab/ astronomi bulan baru terjadi dua hari sebelumnya, hal itu tidak memiliki kedudukan kuat dihadapan syara’. Sebab ketika bulan terpisah maka mustahil untuk kembali berijtima’ dan bergeser lagi setelah satu hari atau dua hari sejarak yang memungkinkan ru’yat, sehingga  bulan sabit berbeda antara negeri-negeri kaum Muslimin dan berbeda perhitungan bulan; maka hari pertama Ramadhan dan Syawal dianggap juga berbeda antara satu negeri dengan negeri lain. Ini merupakan khayalan dan tahayul yang tidak ada kebenarannya dalam realita lahirnya bulan. karena mustahil bulan kembali ijtima’ dan kembali bergeser sebelum bulan melalui garis edaran yang harus ia lalui untuk dapat dikatakan masuk bulan baru dan ini memakan waktu satu bulan.
Acap kali tempat ijtima’ bulan dengan matahari berbeda sesuai perbedaan garis edaran dan waktu setempat maka terlihatnya bulan pun dari bumi akan terjadi di waktu yang berbeda. Sedangkan di langit terlihatnya bulan itu tidak berbeda karena bulan lahir secara serentak pada waktu  yang sama. Berbeda dengan ru’yat bagi penduduk bumi maka kadang kala terlihat di langit Jepang sebelum terlihatnya bulan itu di langit Indonesia, kadang terlihat terlebih dahulu di langit Hijaz (Arab Saudi) dan kadang terlihat di langit Maroko sebelum Hijaz, kadang terlihat di langit Hijaz lebih dahulu sebelum di langit India atau sebelum terlihatnya bulan di Indonesia. Begitulah akan berbeda-beda waktu terlihatnya bulan baru (hilal) pada setiap bulan sesuai waktu ijtima’ dan tempat ijtima’nya, waktu pergeserannya bulan pada waktu yang memungkinkan untuk di ru’yat.
Ru’yat Hilal Merupakan Tanda Masuknya Bulan Baru
Jika telah terjadi ru’yatul hilal di suatu daerah dari bumi (bukan dari langit sebagaimana yang dilakukan pilot pesawat challenger amir Sultan yang mulai berpuasa setelah melihat bulan baru di langit). Maka dengan terjadinya ru’yat telah masuk bulan qamariyah yang baru, dan kaum Muslimin di dunia terikat dengan ru’yat tersebut yakni harus berpuasa dan berlebaran, berhaji, mengeluarkan zakat, memenuhi nadzar dan lain-lain; sebagaimana mengikat juga ahlu dzimah (warga negara non Muslim) untuk membayar jizyah (sejenis pajak kepala) dan kharaj (sejenis pajak tanah) kepada negara, serta urusan-urusan sosial dan perdata ataupun keuangan yang lain baik bagi individu, masyarakat maupun negara.
Kaum Muslimin di seluruh dunia terikat dengan ru’yat tersebut baik mereka melihat hilal ataupun tidak. Sebab tidak disyaratkan kaum Muslimin seluruhnya untuk melihat hilal. Maka ru’yatnya kaum Muslimin akan hilal Ramadhan di Turki mengikat penduduk Albania, Rumania sekalipun mereka tidak atau belum melihat hilal.  Ru’yat kaum Muslimin di Tunisia dan Maroko mengikat penduduk Amerika sekalipun mereka tidak melihat hilal.  Begitu juga ru’yat hilal penduduk Hijaz mengikat penduduk Mauritania sekalipun tidak terlihat hilal oleh mereka.  Begitu pula ru’yat hilal Syawal penduduk Kuwait, Saudi dan Yaman mengikat penduduk Mesir, syria dan Jordan sekalipun mereka tidak melihat hilal.
Ditempat manapun terlihat hilal baru dan disakasikan ru’yat itu oleh sebagian masyarakat (minimal 1 orang saksi asal Muslim dan jujur untuk hilal Ramadhan dan 2 orang saksi untuk hilal Syawal) dan ditetapkan ru’yat tersebut secara resmi oleh negara,  maka hal itu merupakan tanda masuknya bulan baru, dan ru’yat tersebut mengikat seluruh kaum Muslimin di dunia tanpa diperhatikan lagi apakah mereka melihat hilal atau tidak dan atau apakah hilal mungkin terlihat di negeri-negeri Islam lainnya atau tidak.
Sebagaimana halnya hari dan bulan menurut kalendar matahri (penanggalan Masehi) tidak boleh berbeda-beda di dunia.  Demikian juga hari dan bulan menurut kalendar bulan (penanggalan Hijriyah) tidak berbeda-beda karena menyalahi realita hukum syara’ maupun sunnatullah yang ditetapkan Allah Swt. untuk seluruh alam semesta.
Oleh karena itu, jika hari Jum’at merupakan hari pertama bulan Ramadhan di Makkah tahun 1430H ini, maka sesungguhnya hari itu juga merupakan hari pertama bulan Ramadhan untuk seluruh dunia: di Cairo (Mesir), di Istanbul (Turki), Asfahan (Iran), Kabul (Afganistan), Karachi (Pakistan), Nouakchott (Mauritania), Tripoli (Libanon), Rabat (Maroco), Kualalumpur (Malaysia), Jakarta (Indonesia) dsb; bahkan merupakan juga hari yang sama di luar dunia Islam, di New York, Los Angeles, Swiss, Denmark, Amesterdam, London, Sydney, Melbourne, Fiji dan lain-lain. Hukum ru’yat itu mengikat kaum Muslimin di seluruh dunia, yakni mereka harus berpuasa.




[1]  Kalender adalah sistem pengorganisasian satuan-satuan waktu dengan tujuan untuk penandaan serta perhitungan waktu dalam jangka panjang. Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hidab Rukyat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) Cet.ke-2, hlm. 115.

[2]  Hendro Setyanto, Membaca Langit, (Jakarta: al-Ghuraba, 2008), Cet.ke-1, hlm. 40

[3] Susiknan Azhari, Hisab Hakiki Model Muhammad Wardan: Penelusuran Awal dalam Depag RI, 2004, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, (Jakarta: Depag RI, 2004), hlm. 30-31

[4] Hendro, Op. Cit., hlm. 46

[5] Taqwim Hijriyah, hhtp://afdacairo.blogspot.com

[6] T. Djamaluddin, Rekonstruksi Kejadian Zaman Nabi Berdasarkan Hisab Konsistensi Historis-Astronomis Kalender Hijriyah, http: //t-djamaluddin.space.live.com

[7] Taqwim Hijriyah, hhtp://afdacairo.blogspot.com

[8]  Menurut al-Biruni sebagaimana dikutip oleh Ali Hasan Musa bahwa nama- nama bulan dalam Kalender Kamariah mulai dikenalkan sejak tahun 412 M. Nama-nama bulan Kamariah tersebut berubah-ubah selama empat kali sampai yang kini dipakai oleh umat Islam. Dalam uraiannya, Ali Hasan Musa menyatakan bahwa nama-nama bulan kamariah yang berkembang sekarang mulai digunakan sejak akhir abad V Masehi. Selengkapnya baca Ali Hasan Musa, At-Tauqit wa at-Taqawim, cet. II (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), hlm. 186. dapat dibaca dalam Susiknan Azhari dan Ibnor Azli Ibrahim, Kalender Jawa Islam: Memadukan Tradisi dan Tuntutan Syar'i dalam Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. I, 2008, hlm. 136. 07-susiknan.pdf –Adobe Reader

[9] Maksudnya antara lain ialah: bulan Haram (bulan Zulkaidah, Zulhijah, Muharam dan Rajab), tanah Haram (Mekah) dan ihram.


[10] T. Djamaluddin, Rekonstruksi Kejadian Zaman Nabi , http: //t-djamaluddin.space.live.com
[11] Ibid.
[12] Susiknan Azhari, Hisab Hakiki Model Muhammad Wardan: Penelusuran Awal dalam Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, (Jakarta: Depag RI, 2004), hlm. 30-3.

[13] Syamsul Awar, Almanak Berdasarkan Hisab Urfi Kurang Sejalan Dengan Sunnah Nabi saw: Surat Terbuka Untuk Pak Darmis, Almanak_Hijriah.pdf – Adobe Reader, hlm. 8.
[14] Oman Fathurohman SW, Saadoeddin Djambek dan Hisab Awal Bulannya dalam Depag RI, 2004, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, (Jakarta: Depag RI, 2004), hlm. 114-115

[16] Noor Ahmad SS, Risalah al-Falak Nur al-Anwar, hlm. 6

[17] Ibid. Hal. 38

[18] Depag RI, 1981, Almanak Hisab Rukyat, (Jakarta: Depag RI, 1981), hlm. 99
[19] Susiknan Azhari, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007), Cet. Ke-2, hlm. 109.
[20] Misalnya Muhammadiyah dalam hal ini memilih posisi Bulan dan Matahari terhadap ufuk sebagai tanda awal bulan, yakni apabila Matahari lebih dulu terbenam daripada Bulan setelah sebelumnya telah terjadi ijtimak. Inilah yang dikenal dengan “wujudul-hilal”.Kata “hilal” pada kata “wujudul-hilal”, dengan demikian, bukan hilal dalam arti visual sebagaimana ditunjukkan dalam hadis-hadis Nabi saw. melainkan hilal dalam arti konsepsual, yakni bagian permukaan Bulan yang tersinari Matahari menghadap ke Bumi. Atau lebih tepat lagi, istilah itu harus diartikan Matahari sudah terlampaui oleh Bulan dalam peredarannya dari arah barat ke timur; pembatasnya adalah ufuk. Oman Fathurrohman SW, Kalender Muhammadiyah, Power point disampaikan pada Musyawarah Ahli Hisab Muhammadiyah, Yogyakarta, 29-30 Juli 2006.
[21] Samarani, as, Abah Zacky, Data ketinggian hilal masa nabi Muhammad SAW, http://blogcasa.wordpress.com dan Noor Ahmad SS, Upaya Menyatukan Visi Terhadap Peristiwa Bersejarah Menurut Hisab Nur al-Anwar, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1424H/2003M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta. Semarang: PPM IAIN Wali Songo, 2003, hlm. Lampiran.

[22] Toto Saksono, Mengkompromikan Rukyat & Hisab, (Jakarta: Amythas Publicita bekerja sama dengan Center for Islamic Studies, 2007), hlm. 196.

[23] Catatan KH Noor Ahmad SS pada setiap hasil hisab awal bulan Qamariyah yang dilakukannya:
1. Penetapan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah menunggu penetapan Pemerintah RI.
2. Bila ketinggian hilal kurang 2° dan ijtimak terjadi sesudah zawal maka hari diundur satu hari.
3. Ijtimak sesudah matahari terbenam, maka bulan masih di bawah ufuk.
4. Permulaan hari dimulai dari Matahari terbenam. Lihat lebih lanjut contih hasil perhitungan awal bulan dalam Noor Ahmad SS, Risalah al-Falak Nur al-Anwar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar