BAB I
PENDAHULUAN
Selama ini sering
mengemuka permasalahan seputar penetapan awal dan akhir Ramadan dan awal
Zulhijah. Tetapi sesungguhnya bukan hanya persoalan yang terkait dengan
penetapan bulan-bulan itu saja yang ada di tengah-tengah masyarakat muslim.
Tapi juga misalnya perhitungan haul yang terkait dengan kewajiban
berzakat bagi mereka yang berada serta ibadah puasa-puasa sunnah yang
dilaksanakan pada tanggal-tanggal tertentu. “Kejelasan” tentang penentuan
waktu-waktu tersebut sangat penting artinya dalam kemantapan; keyakinan serta
menghapuskan keragu-raguan apa lagi dalam hal pelaksanaan ibadah mahdhah.
Makalah ini akan
membahas lebih lanjut tentang penetapan kalender Islam atau Hijriah. Dalam penulisan
ini akan dilihat lebih lanjut rumusannya tentang penentuan permulaan hari, umur
bulan Kamariah setiap bulannya, hilal, serta penetapan awal bulan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penanggalan Hijriah
Sistem penanggalan dan
ukuran waktu dibutuhkan dalam kehidupan kita untuk mendata, mencatat; proses
dokumentasi dan merencanakan peristiwa dan kegiatan penting dalam kehidupan
secara pribadi maupun sosial dalam arti yang lebih luas. Dalam pengertian yang
praktis dan sederhana kita membutuhkan kalender untuk penentuan hari dan
tanggal.[1]
Adapun pada awalnya kalender merupakan sebuah tabel astronomi yang
menggambarkan pergerakan matahari dan bulan untuk kepentingan ibadah dan
bercocok tanam saja. Sehingga satuan tahun bukanlah hal yang penting. Tahun
seringkali/diawali dengan peristiwa bersejarah ataupun pergantian kekuasaan.[2]
Sistem kalender Islam;
kalender hijriah yang dapat dijadikan acuan dalam hal ibadah adalah kalender
yang berdasarkan perhitungan atau hisab hakiki. Hisab hakiki adalah sistem
hisab yang didasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya. Menurut
sistem ini umur bulan tidaklah konstan (tetap) dan tidak pula tidak beraturan,
tapi bergantung posisi hilal setiap awal bulan. Boleh jadi umur bulan itu
berselang seling antara dua puluh sembilan dan tiga puluh hari. Atau bisa jadi
umur bulan itu berturut-turut dua puluh sembilan atau berturut-turut tiga puluh
hari. Semua ini bergantung pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya;
posisi hilal pada awal bulan tersebut.[3]
Kalender hijriah dikategorikan sebagai sistem penanggalan astronomical
calendar, karena didasarkan pada realitas fenomena astronomi yang terjadi.
Hal ini berbeda dengan kalender masehi yang hanya didasarkan pada aturan
numerik (rata-rata perhitungan fenomena astronominya), sehingga disebut juga
dengan aritmathical calendar.[4]
Dalam kalender hijriah, sebuah hari/tanggal dimulai ketika terbenamnya
matahari setiap harinya. Penentuan awal bulan; bulan baru ditandai dengan
munculnya hilal di ufuk Barat waktu Magrib setelah terjadinya konjungsi atau
ijtimak. Ini berdasarkan firman Allah:
* tRqè=t«ó¡o Ç`tã Ï'©#ÏdF{$# ( ö@è% }Ïd àMÏ%ºuqtB Ĩ$¨Y=Ï9 Ædkysø9$#ur 3... الآية
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit
itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji… (QS al-Baqarah/ 2 ayat 189).
Penanggalan hijriah yang
berdasarkan atas astronomical fenomena ini tidak mengenal tahun kabisat.
Inilah penanggalan atau kalender hijriah yang didasarkan pada perhitungan/
hisab hakiki, yang dapat dijadikan panduan dalam menjalankan ibadah dalam
Islam. Dan ini dibedakan dengan kalender yang didasarkan pada perhitungan/
hisab ‘urfi.
Biasanya untuk memudahkan dan kepentingan praktis perhitungan dalam
pembuatan kalender Kamariah secara urfi (bukan secara hakiki) yang didasarkan
pada peredaran bulan mengelilingi bumi dalam orbitnya dengan masa 29 hari, 12
jam, 44 menit, 2,8 detik setiap satu bulannya. Kalender ini terdiri 12 bulan,
dengan masa satu tahun 354 hari, 8 jam, 48 menit, 35 detik. Itu berarti lebih
pendek 10 hari, 21 jam (sekitar 11 hari) dibanding dengan kalender Masehi dalam
setiap tahunnya. Masa satu tahun sama dengan 354 hari, 8 jam, 48 menit, 35
detik yang kalau kita sederhanakan dapat dikatakan bahwa satu tahun itu sama
dengan 354 11/30 hari. Dalam siklus 30 tahun, akan terjadi 11 tahun Kabisah
yang berumur 355 hari dan sebagai tambahan satu hari ditempatkan pada bulan Zulhijah
(bulan Zulhijahnya berumur 30 hari). Sedangkan 19 tahun sisanya merupakan tahun
Basithah yang berumur 354 hari. Dengan demikian jumlah hari dalam masa
30 tahun = 30 x 354 hari + 11 hari = 10631 hari, yang diistilahkan dengan satu daur.[5]
Di masa pra Islam, belum dikenal penomoran tahun sebagaimana yang dikenal
dan dapati pada masa sekarang. Sebuah tahun ditandai dengan nama peristiwa yang
terjadi, seperti tahun Fil/Gajah (tahun lahirnya nabi Muhammad) karena
pada waktu itu, terjadi penyerbuan Ka’bah oleh pasukan bergajah yang dipimpin
raja Abrahah yang berasal dari Yaman Selatan, sebagaimana diabadikan dalam QS.
al-Fil/105. Setelah datangnya Islam, dinamakanlah tahun wafatnya Siti Khadijah
dan paman nabi; Abu Thalib dengan tahun Huzn (tahun penuh duka cita),
tahun pertama hijrahnya Nabi sebagai tahun Idzn/Izin yaitu tahun
diizinkannya untuk berhijrah. Tahun kedua disebut tahun Amr/perintah
yaitu tahun diperintahkannya untuk berperang, tahun kesepuluh disebut tahun Wada'
(haji Wada'/Perpisahan). Penamaan suatu tahun itu terkait dengan peristiwa
monumental yang terjadi pada tahun tersebut sehingga melalui peristiwa penting
itu namanya diabadikan.[6]
Terhadap penamaan bulan, bangsa Arab telah mengenal dan menetapkan
nama-nama bulan seperti yang kita dapati hingga saat ini yang juga selalu
dikaitkan dengan fenomena alam, yaitu: Muharam, Safar, Rabiul awal, Rabiul
akhir, Jumadil awal, Jumadil akhir, Rajab, Syakban, Ramadan, Syawal, Zulkaidah,
dan Zulhijah.[7]
Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab ra. (tahun 17 H) kalender Islam
terbentuk dengan nama kalender hijriah. Dengan berbagai usulan dan pendapat
akhirnya rapat memutuskan dan memilih awal kalender Islam dimulai dari tahun
hijrahnya nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah, yang merupakan usulan dari Ali
ra. Sejak saat itu, ditetapkan tahun hijrah nabi sebagai tahun satu, 1 Muharram
1 H bertepatan dengan 16 Juli 622 M. Dan tahun dikeluarkannya keputusan itu
langsung ditetapkan sebagai tahun 17 H.[8]
Dengan demikian maka perhitungan tahun Hijriah itu diberlakukan mundur sebanyak
tujuh belas tahun.
Karakteristik Kalender Hijriah adalah kalender berdasarkan peredaran bulan
(qamar) atau disebut juga dengan Lunar calendar yang terdiri 12
bulan. Bulan yang pertama adalah Muharam dan bulan terakhir adalah Zulhijah.
Hal ini didasarkan pada firman Allah:
¨bÎ) no£Ïã Íqåk¶9$# yZÏã «!$# $oYøO$# u|³tã #\öky Îû É=»tFÅ2 «!$# tPöqt t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# ßöF{$#ur !$pk÷]ÏB îpyèt/ör& ×Pããm 4
Ï9ºs ßûïÏe$!$# ãNÍhs)ø9$# 4
... الآية
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam
ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat
bulan haram.[9] Itulah (ketetapan) agama yang lurus. (QS at-Taubah/9 ayat 36).
Selain untuk keperluan
ibadah, fungsi lain dari kalender adalah merekonstruksi peristiwa atau sejarah
di masa lampau. Banyak peristiwa yang terjadi sebelum dimulainya penanggalan
Islam pada masa kekhalifahan Umar ibn Khattab yang dapat dihitung ulang,
seperti tentang kelahiran nabi Muhammad saw. Alat uji atau mengecek ulang
kebenaran perhitungan penanggalan tersebut adalah riwayat yang menggambarkan
peristiwa tersebut. Riwayat kronologis kehidupan Rasulullah menyatakan tentang
hari atau musim merupakan alat uji terbaik dalam analisis konsistensi
historis-astronomisnya. Urutan hari tidak pernah berubah dan berisifat
universal. Pencocokan musim diketahui dengan melakukan konversi sistem kalender
hijriah ke sistem kalender masehi. Program komputer sederhana konversi kalender
hijriah-masehi dapat digunakan sebagai pendekatan awal yang praktis dalam
merekonstruksi kronologi kejadian penting dalam kehidupan Rasulullah.[10]
Beragam informasi
dijumpai di buku-buku tarikh tentang kejadian-kejadian itu. Haekal menyatakan
tentang kelahiran Nabi Muhammad saw saja terdapat berbagai pendapat. Ada yang
menyatakan lahir pada tanggal 2, 8, 9, atau 12. Bulannya pun beragam: Muharam,
Safar, Rabiul awal, Rajab, atau Ramadan tahun Gajah, 15 tahun sebelum tahun
Gajah, 30 tahun setelah tahun Gajah, atau bahkan 70 tahun setelah tahun Gajah.
Namun kebanyakan pendapat menyatakan Rasulullah saw dilahirkan pada hari Senin
12 Rabiul awal tahun Gajah. Peristiwa itu terjadi 53 tahun sebelum hijrah
(secara matematis-astronomis dapat dinyatakan sebagai tahun -53 H). Sehingga
saat kelahiran nabi tersebut bertepatan dengan hari Senin 5 Mei 570 M.[11]
B. Takwim; Penanggalan Menurut Kitab Nur al-Anwar
Untuk mengetahui takwim,
penanggalan hijriah menurut kitab Nur al-Anwar, maka kita akan
menelusurinya melalui beberapa konsep berikut ini:
1.
Umur Bulan Kamariah
Sistem hisab kitab Nur
al-Anwar adalah hisab Qath’i yang disebut juga Hisab hakiki bi
at-tahqiq. Sebagai Hisab hakiki adalah sistem hisab yang didasarkan pada
peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya. Umur bulan Kamariah tidaklah konstan
(tetap) dan tidak pula tidak beraturan, tapi bergantung posisi hilal setiap
awal bulan. Boleh jadi umur bulan itu berselang seling antara dua puluh
sembilan dan tiga puluh hari. Atau bisa jadi umur bulan itu berturut-turut dua
puluh sembilan atau berturut-turut tiga puluh hari. Semua ini bergantung pada
peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya; posisi hilal pada awal bulan
tersebut.[12] Sistem ini
tentu saja berbeda dengan penetapan kalender secara urfi.
Dalam sistem penetapan
kalender urfi yang berdasarkan pada perhitungan rata-rata dari peredaran Bulan
mengelilingi Bumi. Perhitungan secara urfi ini bersifat tetap, umur bulan itu
tetap setiap bulannya. Bulan yang ganjil; gasal berumur tiga puluh hari
sedangkan bulan yang genap berumur dua puluh sembilan hari. Dengan demikian
bulan Ramadan sebagai bulan kesembilan (ganjil) selamanya akan berumur tiga
puluh hari. Pada hal dalam kenyataannya tidak selalu seperti itu. Sehingga
perhitungan secara urfi ini disepakati oleh para ulama tidak dapat dijadikan
sebagai pedoman untuk pelaksanaan ibadah.[13]
2.
Permulaan Hari
Kitab Nur al-Anwar
dalam masalah penentuan permulaan hari yang baru dimulai dari waktu Magrib,
saat terbenamnya Matahari. Ketika masuknya waktu Magrib berarti telah memasuki
hari yang baru; terjadinya pergantian tanggal dan sekaligus meninggalkan hari
yang sebelumnya.
Dalam ilmu astronomi, pergantian atau permulaan hari berlangsung saat
posisi Matahari berkulminasi bawah, yakni pada pukul 24.00 atau pukul 12.00
malam. Ini yang dijadikan patokan dalam kalender yang berbasiskan peredaran
Matahari (Solar Calendar). Sementara itu pergantian atau permulaan hari
dalam penanggalan Islam dalam penentuan awal bulan Kamariah adalah saat
terbenamnya Matahari.[14]
Mengenai penentuan permulaan hari yang baru ini, kitab Nur al-Anwar pada
prinsipnya mengikuti atau sama dengan permulaan hari dalam kalender Islam.
3.
Hilal
Definisi hilal bisa beragam karena
itu bagian dari riset ilmiah, semua definisi itu semestinya saling melengkapi
satu dengan lainnya. Bukan dipilih definisi parsial, tapi hilal harus
didefinisikan dengan sebuatu definisi yang komprehensif. Misalnya, definisi
lengkap yang dirumuskan sebagai berikut: hilal adalah bulan sabit pertama yang
teramati di ufuk barat sesaat setelah Matahari terbenam, tampak sebagai goresan
garis cahaya yang tipis, dan bila menggunakan teleskop dengan pemroses citra
bisa tampak sebagai garis cahaya tipis di tepi bulatan bulan yang mengarah ke
matahari. Dari data-data rukyatul hilal jangka panjang, keberadaan hilal dibatasi
oleh kriteria hisab tinggi minimal sekian derajat bila jaraknya dari matahari
sekian derajat dan beda waktu terbenam bulan-matahari sekian menit serta fraksi
iluminasi sekian prosen[15].
Penting artinya perhitungan posisi hilal ini. Karena
perhitungan posisi hilal terkait dengan penentuan awal bulan (new moon).
Jika hilal telah wujud di atas ufuk menurut kriteria sebagian kelompok atau
ketinggian hilal telah memenuhi kriteria visibilitas untuk dirukyah (imkanu
rukyah) menurut sebagian kelompok yang lain, maka esok harinya adalah tanggal
satu bulan yang baru.
4.
New Month (Bulan Baru)
Kitab Nur al-Anwar hanya digunakan untuk melakukan perhitungan awal
bulan Kamariah. Dalam kitab Nur al-Anwar tidak dijelaskan atau
ditentukan standar penetapan yang dijadikan patokan telah masuk atau belumnya
awal bulan baru. Semua itu tergantung hasib (orang yang melakukan
perhitungan). Standar atau patokan yang digunakan untuk menentukan telah
masuknya bulan baru atau pergantian bulan bergantung pada pilihan yang diambil hasib.
Dalam penentuan telah masuknya bulan baru atau awal bulan Kamariah terdapat
perbedaan ahli hisab, di antaranya yang berpendapat bahwa awal bulan
baru itu ditentukan oleh terjadinya ijtimak sedangkan yang lain mendasarkannya
atau posisi hilal.
KH Noor Ahmad SS menyatakan ijtimak/ konjungsi/ iqtiran/
pangkreman yaitu apabila Matahari dan Bulan berada pada kedudukan/bujur
astronomi yang sama. Dalam astronomi dikenal dengan istilah konjungsi (conjunction)
dan dalam bahasa Jawa disebut pangkreman. Ijtimak dalam ilmu
hisab dikenal juga dengan istilah ijtimak an-nayyirain.[16]
Dalam kitab Nur al-Anwar dijelaskan bahwa ijtimak itu adakalanya
terjadi setelah Matahari terbenam dan pada waktu yang lain terjadi sebelum
matahari terbenam. Ijtimak setelah Matahari terbenam, posisi hilal masih di
bawah ufuk dan pasti tidak dapat dirukyah. Adapun apabila ijtimak terjadi
sebelum matahari terbenam ada tiga kemungkinan, yaitu:
a.
Hilal sudah wujud di atas ufuk dan mungkin bisa dirukyah.
b.
Hilal sudah wujud di atas ufuk dan tidak mungkin bisa dirukyah
Kelompok yang berpegang pada sistem ijtimak menetapkan jika ijtimak terjadi
sebelum Matahari terbenam, maka sejak Matahari terbenam itulah awal bulan baru
sudah mulai masuk. Mereka sama sekali tidak mempermasalahkan hilal dapat
dirukyah atau tidak.
Sedangkan kelompok yang berpegang pada posisi hilal menetapkan jika pada
saat Matahari terbenam posisi hilal sudah berada di atas ufuk, maka sejak
Matahari terbenam itulah perhitungan bulan baru dimulai.[18]
Keduanya sama dalam penentuan awal masuknya bulan Kamariah, yakni pada saat
Matahari terbenam. Namun keduanya berbeda dalam menetapkan kedudukan Bulan di
atas ufuk. Aliran ijtimak qabl ghurub sama sekali tidak
mempertimbangkan dan memperhitungkan kedudukan hilal di atas ufuk pada saat sunset.
Sebaliknya kelompok yang berpegang pada posisi hilal saat sunset menyatakan
apabila hilal sudah berada di atas ufuk itulah pertanda awal masuknya bulan
baru. Bila hilal belum wujud berarti hari itu merupakan hari terakhir dari
bulan yang sedang berlangsung.[19]
Selanjutnya kedua kelompok ini masing-masingnya terbagi lagi menjadi
kelompok-kelompok yang lebih kecil. Perbedaan ini disebabkan atau dikaitkan
dengan fenomena-fenomena yang terdapat di sekitar peristiwa ijtimak dan ghurub
asy-syams. Dan dalam perkembangan wacana dalam penetapan awal bulan
Kamariah, kelompok yang berpegang pada posisi hilal inilah yang lebih
mendominasi. Selanjutnya akan dibahas tentang kelompok yang berpedoman pada
wujudul hilal dan kelompok yang berpedoman pada imkanu rukyah dalam penentuan
awal bulan. Keduanya merupakan bagian dari mereka yang berpegang pada posisi
hilal dan memiliki standar atau patokan yang berbeda.
Mereka yang berpedoman pada wujudul hilal menyatakan bahwa pedoman masuknya
awal bulan adalah telah terjadi ijtimak sebelum terbenam Matahari dan
pada saat sunset itu hilal telah wujud di atas ufuk. Sementara itu
mereka yang berpedoman pada imkanu rukyah menyatakan bahwa patokan masuknya
awal bulan adalah telah ijtimak terjadi sebelum terbenam Matahari dan pada saat
sunset itu hilal telah berada di atas ufuk pada ketinggian yang
memungkinkan untuk dirukyah.
Dalam menentukan masuknya awal bulan, mereka yang berpedoman pada wujudul
hilal berpatokan pada posisi hilal sudah di atas ufuk tanpa mematok ketinggian
tertentu. Jika hilal telah di atas ufuk otomatis pertanda masuknya awal bulan.
Mereka yang berpedoman pada imkan ar-rukyah menentukan ketinggian tertentu
hilal sehingga memungkinkan untuk dirukyah. Kriteria ketinggian hilal ini pun
dimaknai berbeda-beda ada mereka yang menyatakan bahwa ketinggian hilal untuk
memungkinkan untuk dirukyah itu harus 2°, 3°, 4°,7°, atau 9°. Di samping itu
ada kriteria-kriteria lain sebagai pendukung seperti illuminasi bulan,
jarak antara Bulan dan Matahari saat ghurub, posisi hilal terhadap
Matahari, jangka waktu antara ijtimak dan terbenamnya Matahari, dan lainnya.[20]
KH Noor Ahmad SS sendiri dalam hasil perhitungannya terkadang menggunakan
pedoman wujudul hilal dalam perhitungan awal bulan Kamariahnya. Ini pernah
dipraktikkan ketika ia melakukan perhitungan awal dan akhir bulan Ramadan di
masa Rasulullah. Selanjutnya perhatikan tabel berikut.
Ditulis pada 28 Nopember 2007 oleh Abah Zacky
as-Samarani
No
|
Tahun Hijriah
|
Ramadan
|
Syawal
|
Umur Ramadan
|
||
1
|
Hari
|
Tinggi Hilal
|
Hari
|
Tinggi Hilal
|
||
2
|
2
|
Sabtu
|
1,24
|
Senin
|
6,57
|
30
|
3
|
3
|
Kamis
|
7,26
|
Jumat
|
2,29
|
29
|
4
|
4
|
Selasa
|
11,50
|
Rabu
|
8,02
|
29
|
5
|
5
|
Sabtu
|
2,50
|
Senin
|
11,41
|
30
|
6
|
6
|
Kamis
|
9,32
|
Jumat
|
3,59
|
29
|
7
|
7
|
Senin
|
7,51
|
Selasa
|
1,15
|
29
|
8
|
8
|
Jumat
|
7,59
|
Sabtu
|
1,22
|
29
|
9
|
9
|
Selasa
|
6,03
|
Rabu
|
0,36
|
29
|
10
|
10
|
Sabtu
|
0,39
|
Senin
|
8,42
|
30
|
Berpuasa Ramadan di Madinah al-Munawwarah
Keterangan:
Penggarapan menggunakan sistem kitab Nurul Anwar, karangan KH Noor Ahmad, SS dengan dasar penghitungan wujudul hilal. Dihisab oleh KH Noor Ahmad SS.[21]
Penggarapan menggunakan sistem kitab Nurul Anwar, karangan KH Noor Ahmad, SS dengan dasar penghitungan wujudul hilal. Dihisab oleh KH Noor Ahmad SS.[21]
Sebagai perbandingan disajikan juga data
Ramadan di zaman Rasulullah, dihisab menggunakan program Accurate Times dari
Muhammad Odeh.[22]
No
|
Tahun
|
Tinggi Hilal Awal
Ramadan
|
Tinggi Hilal Akhir
Ramadan
|
Lama Ramadan
|
1
|
2 H
|
3
|
9
|
30
|
2
|
3 H
|
9,4
|
3,9
|
29
|
3
|
4 H
|
14,2
|
9,1
|
29
|
4
|
5 H
|
4,7
|
13,4
|
29
|
5
|
6 H
|
11,8
|
5,7
|
30
|
6
|
7 H
|
9,9
|
2,7
|
29
|
7
|
8 H
|
9,8
|
2,7
|
29
|
8
|
9 H
|
7,7
|
1,8
|
29
|
9
|
10 H
|
1,7
|
10,3
|
30
|
Sehingga dari kedua data di atas yang sama-sama
berpedoman pada wujud al-hilal menghasilkan data ketinggian hilal yang
berbeda. Ini dimungkinkan karena menggunakan data yang mungkin berbeda,
rumus-rumus perhitungan yang berbeda pula ataupun perbedaan lainnya.
Dari penelusuran penulis, pada perhitungan bulan
Kamariah seperti awal dan akhir Ramadan serta awal Zulhijah, KH Noor Ahmad SS
menggunakan pedoman imkanu rukyah karena menyatakan bahwa ketinggian hilal
kurang 2° dan ijtimak terjadi sesudah zawal maka hari diundur satu hari.
Hal ini karena menurut Nur al-Anwar ketinggian minimal hilal untuk dapat
dirukyat adalah 2°. Dan ijtimak yang terjadi setelah zawal;
dengan pengertian umur hilal kurang dari enam jam sehingga kemungkinan hilal
masih di bawah ufuk dan tidak mungkin untuk dirukyah.[23]
BAB III
P E N U T U P
A. Simpulan-simpulan
Dari uraian “Fiqih
Taqwim – Kajian Tentang Konsep Hilal” di atas, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1.
Definisi
hilal bisa beragam karena itu bagian dari riset ilmiah, semua definisi itu
semestinya saling melengkapi satu dengan lainnya. Bukan dipilih definisi
parsial, tapi hilal harus didefinisikan dengan sebuatu definisi yang
komprehensif. Misalnya, definisi lengkap yang dirumuskan sebagai berikut: hilal
adalah bulan sabit pertama yang teramati di ufuk barat sesaat setelah Matahari
terbenam, tampak sebagai goresan garis cahaya yang tipis, dan bila menggunakan
teleskop dengan pemroses citra bisa tampak sebagai garis cahaya tipis di tepi
bulatan bulan yang mengarah ke matahari.
2.
Umur bulan Kamariah tidaklah konstan (tetap) dan tidak pula tidak
beraturan, tapi bergantung posisi hilal setiap awal bulan. Boleh jadi umur
bulan itu berselang seling antara dua puluh sembilan dan tiga puluh hari. Atau
bisa jadi umur bulan itu berturut-turut dua puluh sembilan atau berturut-turut
tiga puluh hari. Semua ini bergantung pada peredaran Bulan dan Bumi yang
sebenarnya; posisi hilal pada awal bulan tersebut.
3.
Dalam perhitungan awal bulan Kamariah, kitab Nur al-Anwar hanya
sebagai sebuah metode perhitungan. Ia tidak terkait dengan kriteria tertentu
dalam penentuan awal bulan. Setelah menghitung tentang perhitungan awal bulan
tertentu, maka yang menentukan awal bulan telah masuk atau belumnya bulan baru
tersebut adalah hasib (orang yang melakukan perhitungan). Dari hasil
perhitungan yang dilakukan boleh jadi menurut pedoman wujudul hilal telah masih
bulan baru tapi mungkin saja menurut pedoman imkanu rukyah visibilitas
hilal belum memungkinkan untuk dirukyat sehingga besok masih merupakan hari
terakhir dari bulan berjalan.
B. Saran
Demikian deskripsi
makalah singkat yang mengacu pada sistem penanggalan Islam yang diramu dari
kitab Nur al-Anwar karangan KH Noor Ahmad SS tergolong hisab hakiki bi
at-tahqiqi yang tingkat akurasinya sedang. Kalender yang dihasilkannya
dapat dijadikan acuan dalam penetapan masalah ibadah. Sebagai sebuah sistem
perhitungan kitab Nur al-Anwar dapat digunakan oleh semua pihak karena ia tidak
menetapkan kriteria tertentu. Dalam penggunaannya untuk pembuatan kalender hasiblah
yang menentukan kriterianya. Akhir kata, kritik konstruktif dan saran dari
semua pihak sangat penulis harapkan demi terbukanya cakrawala berfikir bagi penulis.
Wa Allah a’lamu bi
ash-shawab.
Wallâhul Muwaffiq ilâ
aqwamit tharieq...
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad SS, Noor, (Tanpa Judul), Makalah pada Musyawarah Kriteria Imkanur
Rukyah di Indonesia, Bogor: 24-26 Maret 1998.
____________, Jadwal al-Falak Nur al-Anwar min Muntaha al-Aqwal fi
Ma’rifah Hisab as-Sinin wa al-Hilal wa al-Ijtima’ wa al-Kusuf wa al-Khusuf ’ala
al-Haqiqi bi at-Tahqiqi bi ar-Rashd al-Jadid, Kudus: Madrasah Tasywiq
ath-Thullab Salafiyah, 1986.
Anwar, Syamsul, Almanak Berdasarkan Hisab Urfi Kurang Sejalan Dengan
Sunnah Nabi saw: Surat Terbuka Untuk Pak Darmis, Almanak_Hijriah.pdf –
Adobe Reader
Azhari, Susiknan, Hisab Hakiki Model Muhammad Wardan: Penelusuran Awal dalam
Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag RI, 2004.
____________, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern,
Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, Cet. Ke-2, 2007.
Depag RI, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Depag RI, 1981.
____________, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Gema Risalah
Press, 1992.
Fathurohman SW, Saadoeddin Djambek dan Hisab Awal Bulannya dalam
Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag RI, 2004.
Saksono, Toto, Mengkompromikan Rukyat & Hisab, Jakarta: Amythas
Publicita bekerja sama dengan Center for Islamic Studies, 2007.
Samarani,
as-, Abah Zacky, Data
ketinggian hilal masa nabi Muhammad SAW, http://blogcasa.wordpress.com.
Setyanto, Hendro, Membaca Langit, Jakarta: al-Ghuraba, 2008,
Cet.ke-1.
Taqwim Hijriyah, hhtp://afdacairo.blogspot.com.
T. Djamaluddin, Rekonstruksi Kejadian Zaman Nabi Berdasarkan Hisab
Konsistensi Historis-Astronomis Kalender Hijriyah, http:
//t-djamaluddin.space.live.com
____________,
Redefinisi Hilal menuju Titik Temu Kalender Hijriyyah,
http://t-djamaluddin.space.live.com.
Peredaran Bulan, Matahari Dan Terjadinya Waktu (1)
Oleh: Dr. Abdurrahman Muhammad
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa
matahari, bulan dan bumi mempunyai garis edaran tertentu dalam tata surya kita
yang berpengaruh dalam terjadinya waktu atau terwujudnya hari-hari, bulan-bulan
dan tahun; terbentuknya siang dan malam serta panjangnya siang dan malam di
planet kita, bumi. Waktu terkait erat secara mendasar dengan gerakan bumi,
matahari dan bulan. Hari, bulan dan tahun menjadi bukti adanya rotasi
peredaran planet bumi dan bintang-bintang tersebut.
Bulan bersama bumi berputar
mengelilinggi matahari. Masa periode dari satu bulan ke bulan baru yang lain
adalah 29 hari 12 jam dan 44.05 menit. Periode itu disebut periode sinodikal
bulan, antara lain dijadikan patokan perhitungan almanak Hijriah.
Adapun matahari, periode puternya
pada porosnya adalah 25 hari pada garis ekuatornya, sedangkan putaran
rata-ratanya adalah 27 hari.
Garis Edaran Bulan dan Penentuan
Kalender Qamariyah
Bulan berbeda dengan matahari dari
segi garis edaran maupun waktu edarannya di sekeliling bumi. Jika hilal terbit
di timur dan terlihat di satu tempat di bumi maka saat itu telah masuk bulan
baru untuk seluruh daerah di bumi. Bukan hanya untuk daerah yang sudah
melihat hilal itu saja; sebagaimana perhitungan waktu berdasarkan peredaran
matahari (kalendar Matahari) dimana seluruh dunia mengunakan penanggalan yang
sama baik dari segi ketentuan awal bulan, jumlah hari maupun bulan. Maka
penentuan awal bulan menurut peredaran matahari adalah sama untuk seluruh dunia
dan bukan hanya untuk daerah-daerah tertentu.
Penjelasannya bahwa jalur edar bulan
berbeda dengan jaur edar matahari. Jalur edar matahri yang dua puluh delapan
dapat ditempuh oleh matahari dalam tempo satu tahun. sedang bulan menempuhnya
dalam waktu 27 hari, 7 jam, 43 menit dan 4 detik; dan kadang-kadang terjadi
dalam waktu 29,5 hari, 44 menit dan 3 detik sebagaimana yang dikatakan oleh
ahli hisab dan astronomi.
Ijtima'/Iqtiran (pertemuan
antara bulan dan matahari dengan bumi) terjadi pada bujur ekliptik yang sama.
Ijtima’ terjadi serentak, dan cuma sekali setiap bulan. Peristiwa ijtima tidak
bisa dilihat karena matahari di belakang bulan sangat menyilaukan. Maka saat
terjadinya ijtima’ bulan tidak bersinar dan tidak dapat dilihat, sedang sinar
bulan berasal dari sinar matahari yang ia pantulkan ke bumi.
Setelah ijtima’/Iqtiran, bulan yang
makin tinggi lambat laun akan menyentuh horison bagi tempat di muka bumi yang
sedang mengalami matahari terbenam. Bila bulan ini tepat di horison, maka
dikatakan irtifa’-nya nol dan sejak itu dia “wujud” (wujudul hilal) bulan sabit
akan terlihat dan akan terhitung bulan baru. Makin lama irtifa’ ini hilal
makin besar. Dalam 24 jam (sehari) dia akan naik sekitar 12 derajat.
Ijtima’nya Matahari, Bulan dan Bumi
tidak Dihitung Bulan Baru Secara Syar’i
Jika para ahli hisab menganggap
lahirnya bulan baru (hilal) adalah saat terjadinya ijtima bulan dengan matahari
pada bujur ekliptik yang sama, sedangkan syara’ menganggapnya sebagai bulan
baru setelah terpisah dan ru’yat atau imkanur ru’yat (kapan secara astronomis
hilal mungkin dilihat) adalah setelah terpisahnya bulan dari ijtima’ dan
bergeser sejauh jarak yang memungkinkan ru’yatul hilal.
Secara syar’i ru’yat selalu harus
dilakukan setiap tanggal 29 Rajab, Sya’ban atau Ramadhan tanpa melihat sudah
ijtima’ atau belum. Pada umumnya yang diandalkan adalah kesaksian orang yang
dianggap jujur, walaupun untuk ru'yat hilal Ramadhan ru’yat tesebut berasal
dari puluhan negara, tetap akan ditolak para ahli hisab di Timur, karena ru’yat
dimustahilkan para ahli hisab (misalnya karena irtifa’ negatif atau belum
ijtima’/masih bulan tua dll).
Setiap ada kesaksian ru’yat yang
diterima, para ahli hisab akan melihat pada irtifa’ berapa laporan itu. Dari
sini kemudian timbul berbagai teori tentang “kapan secara astronomis hilal
mungkin dilihat”. Inilah konsep “imkanur ru’yat”. Masalahnya angka imkan yang
ada berbeda-beda. Kitab-kitab ilmu falak tua masih memakai 7
derajat. Di Turki memakai 5 derajat. Di Indonesia Jama’ah Persis
konsisten memakai hisab mutlak dengan imkan 2 derajat. PBNU tetap akan
meru’yat namun akan menolak ru’yat sementara irtifa’ masih kurang dari 2
derajat.
Karena masalah imkan belum ada
konsensus, Muhammadiyah akhirnya memutuskan memakai wujudul hilal. Dari sini kelihatan
bahwa meski metode hisab sama, namun bila kriteria imkan berbeda, hasilnyapun
bisa berbeda satu hari.
Di manakah bulan pertama kali
mungkin di ru’yat (imkan awal)? Ternyata bisa di mana saja. Tidak ada sebuah
tempat pun yang memiliki privilege (hak istimewa). Semua tergantung kondisi
aktual. Secara astronomi, bisa dibuatkan garis tanggal hijri (Hijri Date
Line/HDL), yaitu suatu garis tempat-tempat dengan irtifa’ (wujud, imkan) sama
saat matahari terbenam di masing-masing tempat. HDL ini tiap bulan bergeser dan
berubah bentuknya. Yang pasti, faktor cuaca tidak bisa diprediksi dengan hisab
astronomi, karena tidak ada hubungannya.
Kesimpulannya menurut ahli hisab
jika terlihat hilal dilangit di suatu tempat, maka pada kondisi itu dikatakan
sudah masuknya bulan baru dalam pandangan syara’ sedang dalam pandangan ahli
hisab/ astronomi bulan baru terjadi dua hari sebelumnya, hal itu tidak memiliki
kedudukan kuat dihadapan syara’. Sebab ketika bulan terpisah maka mustahil
untuk kembali berijtima’ dan bergeser lagi setelah satu hari atau dua hari
sejarak yang memungkinkan ru’yat, sehingga bulan sabit berbeda antara
negeri-negeri kaum Muslimin dan berbeda perhitungan bulan; maka hari pertama
Ramadhan dan Syawal dianggap juga berbeda antara satu negeri dengan negeri
lain. Ini merupakan khayalan dan tahayul yang tidak ada kebenarannya dalam
realita lahirnya bulan. karena mustahil bulan kembali ijtima’ dan kembali
bergeser sebelum bulan melalui garis edaran yang harus ia lalui untuk dapat
dikatakan masuk bulan baru dan ini memakan waktu satu bulan.
Acap kali tempat ijtima’ bulan
dengan matahari berbeda sesuai perbedaan garis edaran dan waktu setempat maka
terlihatnya bulan pun dari bumi akan terjadi di waktu yang berbeda. Sedangkan
di langit terlihatnya bulan itu tidak berbeda karena bulan lahir secara
serentak pada waktu yang sama. Berbeda dengan ru’yat bagi penduduk bumi
maka kadang kala terlihat di langit Jepang sebelum terlihatnya bulan itu di
langit Indonesia, kadang terlihat terlebih dahulu di langit Hijaz (Arab Saudi)
dan kadang terlihat di langit Maroko sebelum Hijaz, kadang terlihat di langit
Hijaz lebih dahulu sebelum di langit India atau sebelum terlihatnya bulan di
Indonesia. Begitulah akan berbeda-beda waktu terlihatnya bulan baru (hilal)
pada setiap bulan sesuai waktu ijtima’ dan tempat ijtima’nya, waktu
pergeserannya bulan pada waktu yang memungkinkan untuk di ru’yat.
Ru’yat Hilal Merupakan Tanda
Masuknya Bulan Baru
Jika telah terjadi ru’yatul hilal di
suatu daerah dari bumi (bukan dari langit sebagaimana yang dilakukan pilot
pesawat challenger amir Sultan yang mulai berpuasa setelah melihat bulan baru
di langit). Maka dengan terjadinya ru’yat telah masuk bulan qamariyah yang
baru, dan kaum Muslimin di dunia terikat dengan ru’yat tersebut yakni harus
berpuasa dan berlebaran, berhaji, mengeluarkan zakat, memenuhi nadzar dan
lain-lain; sebagaimana mengikat juga ahlu dzimah (warga negara non
Muslim) untuk membayar jizyah (sejenis pajak kepala) dan kharaj (sejenis pajak
tanah) kepada negara, serta urusan-urusan sosial dan perdata ataupun keuangan
yang lain baik bagi individu, masyarakat maupun negara.
Kaum Muslimin di seluruh dunia
terikat dengan ru’yat tersebut baik mereka melihat hilal ataupun tidak. Sebab
tidak disyaratkan kaum Muslimin seluruhnya untuk melihat hilal. Maka ru’yatnya
kaum Muslimin akan hilal Ramadhan di Turki mengikat penduduk Albania, Rumania
sekalipun mereka tidak atau belum melihat hilal. Ru’yat kaum Muslimin di
Tunisia dan Maroko mengikat penduduk Amerika sekalipun mereka tidak melihat
hilal. Begitu juga ru’yat hilal penduduk Hijaz mengikat penduduk
Mauritania sekalipun tidak terlihat hilal oleh mereka. Begitu pula ru’yat
hilal Syawal penduduk Kuwait, Saudi dan Yaman mengikat penduduk Mesir, syria
dan Jordan sekalipun mereka tidak melihat hilal.
Ditempat manapun terlihat hilal baru
dan disakasikan ru’yat itu oleh sebagian masyarakat (minimal 1 orang saksi asal
Muslim dan jujur untuk hilal Ramadhan dan 2 orang saksi untuk hilal Syawal) dan
ditetapkan ru’yat tersebut secara resmi oleh negara, maka hal itu
merupakan tanda masuknya bulan baru, dan ru’yat tersebut mengikat seluruh kaum
Muslimin di dunia tanpa diperhatikan lagi apakah mereka melihat hilal atau
tidak dan atau apakah hilal mungkin terlihat di negeri-negeri Islam lainnya atau
tidak.
Sebagaimana halnya hari dan bulan
menurut kalendar matahri (penanggalan Masehi) tidak boleh berbeda-beda di
dunia. Demikian juga hari dan bulan menurut kalendar bulan (penanggalan
Hijriyah) tidak berbeda-beda karena menyalahi realita hukum syara’ maupun
sunnatullah yang ditetapkan Allah Swt. untuk seluruh alam semesta.
Oleh karena itu, jika hari Jum’at
merupakan hari pertama bulan Ramadhan di Makkah tahun 1430H ini, maka
sesungguhnya hari itu juga merupakan hari pertama bulan Ramadhan untuk seluruh
dunia: di Cairo (Mesir), di Istanbul (Turki), Asfahan (Iran), Kabul
(Afganistan), Karachi (Pakistan), Nouakchott (Mauritania), Tripoli (Libanon),
Rabat (Maroco), Kualalumpur (Malaysia), Jakarta (Indonesia) dsb; bahkan
merupakan juga hari yang sama di luar dunia Islam, di New York, Los Angeles,
Swiss, Denmark, Amesterdam, London, Sydney, Melbourne, Fiji dan lain-lain.
Hukum ru’yat itu mengikat kaum Muslimin di seluruh dunia, yakni mereka harus
berpuasa.
[1] Kalender
adalah sistem pengorganisasian satuan-satuan waktu dengan tujuan untuk
penandaan serta perhitungan waktu dalam jangka panjang. Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hidab Rukyat,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) Cet.ke-2, hlm. 115.
[3] Susiknan
Azhari, Hisab Hakiki Model Muhammad Wardan:
Penelusuran Awal dalam Depag RI, 2004, Hisab Rukyat dan Perbedaannya,
(Jakarta: Depag RI, 2004), hlm. 30-31
[6] T. Djamaluddin, Rekonstruksi Kejadian Zaman Nabi Berdasarkan Hisab
Konsistensi Historis-Astronomis Kalender Hijriyah, http:
//t-djamaluddin.space.live.com
[8] Menurut
al-Biruni sebagaimana dikutip oleh Ali Hasan Musa bahwa nama- nama bulan dalam
Kalender Kamariah mulai dikenalkan sejak tahun 412 M. Nama-nama bulan Kamariah
tersebut berubah-ubah selama empat kali sampai yang kini dipakai oleh umat
Islam. Dalam uraiannya, Ali Hasan Musa menyatakan bahwa nama-nama bulan
kamariah yang berkembang sekarang mulai digunakan sejak akhir abad V Masehi.
Selengkapnya baca Ali Hasan Musa, At-Tauqit wa at-Taqawim, cet. II (Beirut:
Dar al-Fikr, 1988), hlm. 186. dapat dibaca dalam Susiknan Azhari dan Ibnor Azli
Ibrahim, Kalender Jawa Islam: Memadukan Tradisi dan Tuntutan Syar'i dalam
Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. I, 2008, hlm. 136. 07-susiknan.pdf –Adobe Reader
[9] Maksudnya antara lain ialah: bulan Haram
(bulan Zulkaidah, Zulhijah, Muharam dan Rajab), tanah Haram (Mekah) dan ihram.
[11] Ibid.
[12] Susiknan Azhari, Hisab Hakiki Model Muhammad Wardan: Penelusuran Awal dalam
Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, (Jakarta: Depag RI, 2004), hlm.
30-3.
[13] Syamsul Awar, Almanak
Berdasarkan Hisab Urfi Kurang Sejalan Dengan Sunnah Nabi saw: Surat Terbuka
Untuk Pak Darmis, Almanak_Hijriah.pdf – Adobe Reader, hlm. 8.
[14] Oman Fathurohman SW, Saadoeddin Djambek dan Hisab Awal Bulannya
dalam Depag RI, 2004, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, (Jakarta: Depag RI,
2004), hlm. 114-115
[15] T. Djamaluddin, Redefinisi
Hilal menuju Titik Temu Kalender Hijriyah, http://t-djamaluddin.space.live.com
[17] Ibid. Hal. 38
[19] Susiknan Azhari, Ilmu Falak Perjumpaan
Khazanah Islam dan Sains Modern, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007),
Cet. Ke-2, hlm. 109.
[20] Misalnya Muhammadiyah dalam hal ini memilih posisi
Bulan dan Matahari terhadap ufuk sebagai tanda awal bulan, yakni apabila
Matahari lebih dulu terbenam daripada Bulan setelah sebelumnya telah terjadi
ijtimak. Inilah yang dikenal dengan “wujudul-hilal”.Kata “hilal” pada kata
“wujudul-hilal”, dengan demikian, bukan hilal dalam arti visual sebagaimana
ditunjukkan dalam hadis-hadis Nabi saw. melainkan hilal dalam arti konsepsual,
yakni bagian permukaan Bulan yang tersinari Matahari menghadap ke Bumi. Atau
lebih tepat lagi, istilah itu harus diartikan Matahari sudah terlampaui oleh
Bulan dalam peredarannya dari arah barat ke timur; pembatasnya adalah ufuk.
Oman Fathurrohman SW, Kalender Muhammadiyah, Power point disampaikan pada
Musyawarah Ahli Hisab Muhammadiyah, Yogyakarta, 29-30 Juli 2006.
[21] Samarani,
as, Abah Zacky, Data ketinggian hilal masa nabi Muhammad SAW, http://blogcasa.wordpress.com dan
Noor Ahmad SS, Upaya Menyatukan Visi Terhadap
Peristiwa Bersejarah Menurut Hisab Nur al-Anwar, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1424H/2003M se
Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta. Semarang: PPM IAIN Wali Songo,
2003, hlm. Lampiran.
[22] Toto Saksono, Mengkompromikan Rukyat & Hisab, (Jakarta: Amythas
Publicita bekerja sama dengan Center for Islamic Studies, 2007), hlm. 196.
1. Penetapan awal bulan Ramadan, Syawal,
dan Zulhijah menunggu penetapan Pemerintah RI.
2. Bila ketinggian hilal kurang 2°
dan ijtimak terjadi sesudah zawal maka hari diundur satu hari.
3. Ijtimak sesudah matahari
terbenam, maka bulan masih di bawah ufuk.
4. Permulaan hari dimulai dari Matahari
terbenam. Lihat lebih lanjut contih hasil perhitungan awal bulan dalam Noor
Ahmad SS, Risalah al-Falak Nur al-Anwar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar