HADITH TEMATIK TENTANG SAKSI
DALAM MELIHAT HILAL
Makalah ini disusun
untuk pemenuhan tugas mata kuliah
Studi al-Quran dan Hadith

Dosen Pengampu:
Dr. H. M.
Sya’roni, M.Ag
Oleh :
Muthi’ah Hijriyati
UNIVERSITAS SUNAN GIRI
PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN
KADER ULAMA’
JURUSAN HUKUM ISLAM KONSENTRASI
ILMU FALAK
JOMBANG
|
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Nabi Muhammad saw
sebagaimana difahami adalah seorang Rasul terakhir dan terutama yang diutus
oleh Allah swt. Keistimewaan dan kekhususan ini menjadi sebuah garansi akan
keberadaan nabi Muhammad sebagai “kekasih” yang paling dekat dengan-Nya. Oleh
karena itu, wajar kiranya jika selain alquran –sebagai kalam dan teks Illahi-,
segala ucapan, perbuatan, ketetapan atau juga sikap peristiwa yang terjadi pada
nabi Muhammad –baca sunnah dan hadith- menjadi sebuah justifikasi dan
legitimasi hukum dalam islam.
Termasuk legitimasi hukum
terkait hadith nabi adalah sebagaimana peristiwa melihat hilal yang terjadi
pada sahabat Ibnu ‘Umar dan perintah nabi untuk berpuasa atas kesaksian sahabat
tersebut. Mengetahui awal masuk bulan qomariah memang hal urgent dalam islam,
memgingat hal tersebut terkait erat dengan penentuan awal berpuasa ramad}an, berhari raya ataupula
berhaji. Terlepas dari kontroversi apakah metode ru’yah
ataukah hisab yang paling tepat digunakan, makalah ini mencoba mengetengahkan
tentang keharusan adanya saksi atau orang yang adil yang benar-benar melihat
kemunculan hilal yang termuat dalam sunan Abu Daud.
Hingga dalam makalah sederhana ini, penulis mencoba
memaparkan h}adith ini secara lengkap, meliputi teks, takhri>j al-h}adith
berdasar hadith-hadith dalam kutub al-tis’ah, uraian
matan dan konteks kesejarahan hingga ma’a>ni al-h}adi>th atau fiqh al-h}adi>th
sebagai upaya kontekstualisasi akan keberadaan teks h}adi>th yang telah ada
sejak berabad-abad silam. Wallahu A’lam….
BAB II
HADITH TENTANG SAKSI
DALAM MELIHAT HILAL DI AWAL BULAN
A.
Teks
Hadith
Penentuan awal bulan hijriah agaknya menjadi fenomena
yang kontroversional dalam masyarakat islam –khususnya di Indonesia-, karena
sifatnya yang ijtihadi dan terbukanya teks untuk selalu diinterpretasi ataupun
reinterpretasi. Secara umum, penentuan awal bulan bisa dengan metode hisab
ataupun ru’yah. Dalam ru’yah pun terdapat dua hasil akhir, yakni jika hilal[1]
terlihat di sebelah barat pada saat matahari tenggelam malam tersebut dikatakan
sebagai tanggal bulan baru, jika tidak berhasil diru’yat maka esok masih
dikatakan bulan yang sedang berjalan dengan menggenapkan umur bulan menjadi 30
hari[2].
Terlepas dari kontroversi yang ada, metode yang
kedua adalah yang dipraktekkan oleh nabi dan sahabat di masa tersebut dalam
penentuan awal bulan terutama ramad}an, syawwal dan dhulhijjah. Dalam hal ini pemateri
membatasi kajian hadith terbatas pada penentuan awal ramadhan dan syawwal saja
yang memiliki dasar tentang keharusan adanya saksi atau orang yang menyaksikan
kemunculan hillal tersebut. Secara populer, teks hadith tersebut adalah:
1.
Hadith
tentang 1 saksi dalam penyaksian awal bulan:
- تراءى
الناس الهلال فأخبرت رسول الله صلي الله عليه وسلم أني رأيته فصام وأمر الناس
بصيامه
“Orang-orang berusaha untuk melihat hilal,
kemudian aku beritahukan kepada Rasulullah saw bahwa aku telah melihatnya,
kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang agar berpuasa”.
- جاء
أعرابي إلي النبي صلي الله عليه وسلم فقال إني رأيت الهلال. فقال أتشهد أن لا إله
إلا الله وأني رسول الله؟قال نعم. قال: يا فلان, نادي في الناس فليصوموا غدا
“Seorang Arab Badui datang pada nabi dan
menyatakan bahwa saya telah melihat hilal. Nabi bersabda: Apakah kamu bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku adalah rasulNya?, Badui tersebut
berkata: iya. Nabi pun bersabda: wahai Fulan, beritahukan pada umat manusia
agar berpuasa esok hari”.
2.
Hadith
tentang 2 saksi dalam penyaksian awal bulan:
- إختلف
الناس في اخر يوم من رمضان , فقدم أعرابيان فشهدا عند النبي صلي
الله عليه وسلم بالله لأهلا الهلال أمس غشية فأمر رسول الله صلي الله عليه وسلم
الناس أن يفطروا
Masyarakat
berselisih pada hari akhir dari bulan ramadhan, hingga datanglah dua orang arab
badui dan bersaksi terhadap nabi bahwa keduanya baru saja menyaksikan hilal.
Maka Rasulullah pun memerintahkan umat islam untuk berbuka (berhari raya).
B. Takhri>j al-Hadi>th
Hadith tentang keberadaan satu saksi dalam
menyaksikan awal bulan, setelah melalui proses pelacakan pada kitab Mu’jam Mufahras li Alfa>z}
al-H{adi>th melalui kata shahada, hadith ini ditemukan pada
beberapa kitab, yakni[3]:
1.
Sunan Abu>
Da>ud kitab al-S{iya>m bab Ma> Ja>’a fi
al-Shaha>dah ‘ala> ru’yati al-Hila>l dengan nomor indeks 2340,
2341 dan 2342.
2.
Sunan al-Da>rimi kitab al-S{aum bab al-Shaha>dah
‘ala> ru’yati hila>l ramad}a>n dengan nomor indeks hadith 1733,
dan 1734.
3.
Sunan Ibnu Ma>jah kitab al-S{iya>m bab Ma>
Ja>’a fi al-Shaha>dah ‘ala> ru’yati al-Hila>l dengan nomor
indeks 1652.
Selain itu,
dengan proses pelacakan dengan kitab yang sama melalui kata hilal,
hadith ini juga ditemukan pada kitab[4]:
1.
Sunan al-Tirmi>dhi> kitab al-S{iya>m bab Ma>
Ja>’a fi al-S{au>m bi al-Shaha>dah dengan nomor indeks 691
2.
Sunan al-Nasa>’i kitab al-S{iya>m bab
Qabu>li Shaha>dati al-Raju>l al-Wah}i>d ‘ala> Hila>l
shahri ramad}a>n wa dhikr
al-Ikhtila>f fi>hi ‘ala> Sufya<n fi hadi>th Sima>k dengan
nomor indeks 2112 dan 2113
Sedangkan
tentang dua saksi ditemukan hanya dalam kitab Sunan Abu> Da>ud
kitab al-S{iya>m bab shaha>datu rajulaini ‘ala> ru’yati
hila>li shawwa>l dengan nomor indeks 2339.
Adapun teks
hadith satu saksi dalam Sunan Abu> Daud nomor indeks 2342
secara lengkap adalah:
حدّثنا محمود بن خالد وعبد الله بن عبد الرحمن السمرقندي – وأنا
لحديثه أتقن- قالانا مروان – هو إبن محمد- عن عبد الله بن وهب, عن يحيي بن سالم عن
أبي بكر بن نافع عن أبيه عن ابن عمر رضي الله عنه قال: تراءى الناس الهلال فأخبرت
رسول الله صلي الله عليه وسلم أني رأيته فصام وأمر الناس بصيامه[5]
Dengan
jalur periwayatan dan redaksi yang sama, hadith ini diriwayatkan pula oleh
al-Da>rimi>
dalam Sunan al-Da>rimi[6]. Sedikit
perbedaannya adalah al-Da>rimi> langsung menerima hadith ini dari Marwan
bin Muhammad (lebih lanjut lihat dalam skema sanad).
Sedangkan hadith kedua
tentang keberadaan satu saksi dalam melihat awal bulan menurut redaksi Sunan
Abu> Daud adalah sebagai berikut:
حدّثنا محمد بن بكار بن الريان حدّثنا
الوليد – يعني ابن أبي ثور- حدّثنا الحسن بن علي حدّثنا الحسين – يعني الجعفي- عن
زائدة المعني عن سماك عن عكرمة عن ابن عباس قال: جاء أعرابي إلي النبي صلي الله
عليه وسلم فقال إني رأيت الهلال. قال الحسن في حديثه: يعني رمضان. فقال أتشهد أن
لا إله إلا الله وأني رسول الله؟قال نعم. قال: يا فلان, نادي في الناس فليصوموا
غدا[7]
Hadith
ini diriwayatkan oleh Abu>
Daud dalam 2 jalur periwayatan yang berbeda, namun keduanya memiliki redaksi
yang sama dan berpangkal pada riwayat Sima>k. Hadith ini tercatat juga banyak diriwayatkan dalam
kitab lain dengan jalur periwayatan yang hampir sama (lihat dalam skema sanad).
Yakni dalam Sunan al-Da>rimi nomor indeks 1734, Sunan Ibnu Ma>jah nomor indeks 1652, Sunan al-Tirmi>dhi>
nomor indeks 691, dan Sunan al-Nasa>’i dengan nomor indeks 2112 dan 2113.
Sedangkan
hadith tentang dua saksi dalam melihat awal bulan diriwayatkan hanya oleh Abu> Daud dengan redaksi lengkap
sebagai berikut:
حدّثنا
مسدد وخلف بن هشام المقئ, قالا حدثنا أبو عوانة عن منصور عن ريعي بن حراش عن رجل
من أصحاب النبي صلي الله عليه وسلم قال :إختلف الناس في
اخر يوم من رمضان , فقدم أعرابيان فشهدا عند النبي صلي
الله عليه وسلم بالله لأهلا الهلال أمس غشية فأمر رسول الله صلي الله عليه وسلم
الناس أن يفطروا, زاد خلف في حديثه وأن يعدوا إلي مصلاهم[8]
1.
Analisis Sanad Hadi>th
Penelitian lebih
lanjut atau takhri>j terhadap hadith-hadith yang telah dipaparkan
sebelumnya adalah hal yang penting dalam penelitian terhadap suatu hadith. Dalam hal ini, terlebih dahulu
penelitian difokuskan pada kredibilitas dan kapabilitas perawi sebagai acuan
mengetahui kualitas sanad hadith. Secara singkat, analisis para perawi tersebut
adalah:
a.
Hadith pertama tentang satu saksi
Hadith ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan al-Da>rimi>
dengan redaksi yang sama dan jalur sanad yang sama, yakni dari riwayat Ibnu
‘Umar kepada Nafi’ kepada Abu Bakar bin Nafi’. Selanjutnya kepada Yahya bin
Salim kepada ‘Abdullah bin Wahab kepada Marwan bin Muhammad. Dari Marwan inilah
al-Darimi menerima riwayat. Selain itu, Marwan juga meriwayatkan pada Mahmud
bin Kha>lid dan ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman yang kemudian meriwayatkan pada
Abu> Daud.
Jika diteliti lebih lanjut, pangkal hadith ini adalah Marwan
bin Muhammad[9]
yang meriwayatkan hadith ini sendirian. Namun meski demikian,
al-Da>ruqut}ni> yang dikutip oleh Abu> Daud dan al-Da>rimi>
menyatakan statusnya yang thiqqah[10].
Dari bahasa periwayatan juga diketahui jika hadith ini merupakan hadith mu’an’an.[11] Namun meski
demikian hadith ini dinyatakan muttas}i>l, hal ini dikarenakan
terdapat kesinambungan dan pertemuan antara
perawi satu dengan seterusnya atau antara sanad pertama hingga selanjutnya. Ini diindikasikan oleh beberapa hal,
yakni: Pertama, dari tahun wafat yang memungkinkan dan logis jika antara
guru dan murid terjadi kontak. Kedua, data kesinambungan antara guru dan
murid yang secara data faktual terbukti ada. Ketiga, tempat domisili
yang relatif sama dan memungkinkan untuk bertemu pada masa tersebut. Dari
olahan data tersebut, dapat disimpulkan jika hadith ini berstatus ah}ad
juga gharib mutlak[12] karena memang
hanya diriwayatkan oleh satu orang dalam beberapa t}abaqah, meski
demikian hadith ini
bernilai S}ah}i>h[13].
b.
Hadith kedua tentang satu saksi
Sebagaimana
disebut diatas, hadith tentang cerita orang arab badui ini dikeluarkan oleh
banyak mukharrij hadith dengan sanad yang berbeda-beda. Namun jika
dilacak lebih lanjut, hadith ini bermuara pada riwayat Ibnu ‘Abbas kepada
‘Ikrimah kepada Sima>k. Dari Sima>k inilah hadith ini diterima pada 4
jalur, yakni Za>idah, Hammad, al-Wa>lid dan al-Fad}l bin Mu>sa> bin
Sufya>n.
Za>idah meriwayatkan
pada al-H{usain al-Ju’fi> dan Abu> Usamah. Abu> Usamah menceritakan
hadith ini kepada ‘Umar bin ‘Abdullah al-Audi> dan Muhammad bin Isma>’il
yang kemudian dikeluarkan oleh Ibn Ma>jah. Sedangkan al-H{usain al-Ju’fi
meriwayatkan pada 3 murid, yakni Abu> Kuraib yang memberikan pada
al-Tirmi>dhi>, ‘Is}mah bin al-Fad}l yang memberikan pada
al-Da>rimi>, dan al-Hasan bin ‘Ali> yang meriwayatkan pada Musa>
bin ‘Abdurrahman kepada al-Nasa>’i.
Selanjutnya jalur
Hammad yang meriwayatkan pada Musa bin Isma>’il kepada Abu> Daud. Lalu
al-Walid yang meneruskan pada Muhammad bin Baka>r bin al-Rayya>n hingga
Abu Da>ud. Sedangkan al-Fad}l bin Mu>sa> bin Sufya>n memberikan
hadith ini pada Muhammad bin ‘Abdul ‘Aziz bin Abi> Zurmah kepada
al-Nasa>’i.
Sekilas
hadith ini terlihat begitu kuat karena diriwayatkan dalam banyak kitab dari
berbagai jalur. Namun jika diteliti mendalam, hadith ini terlihat memiliki
masalah pada perawi ketiga, yakni Sima>k[14]
yang menjadi pangkal pertemuan seluruh jalur. Oleh banyak ulama’ jarh wa
ta’di>l, Simak dikatakan sebagai perawi yang mursal bahkan d}aif,
khususnya jika Simak meriwayatkan dari ‘Ikrimah yang dinyatakan tertolak. Dari
sini dapat dikatakan jika hadith ini lemah atau d}aif, meski memiliki
banyak pendukung tidak dapat menaikkan derajat hadith karena permasalahan
berada pada Simak yang merupakan pangkal bercabangnya sanad. Hingga demikian
hadith ini dikatakan mardud dan ghairu ma’mul bih.
c.
Hadith tentang keberadaan dua saksi
Hadith yang
berbicara tentang keharusan adanya 2 saksi dalam melihat awal bulan ini
diriwayatkan hanya oleh seorang sahabat nabi kepada Ri>’i> bin
H{ira>sh kepada Mans}u>r kepada Abu> ‘Uwa>nah. Selanjutnya
diriwayatkan pada Musaddad dan Khalaf bin Hisha>m al-Muqri’yang kemudian
dikeluarkan oleh Abu> Daud.
Secara kualitas sanad, hadith ini sulit
dilacak mengingat hanya dimuat pada sunan Abu Daud. Selain itu periwayar
pertama adalah mubham karena hanya dikatakan sebagai rajul min as}ha>b
al-nabi> dengan tanpa ada keterangan nama, baik dalam kitab asal maupun
dalam penjelasan sharah. Ini sebab proses pelacakan mengalami kemandegan
dan pemateri berkesimpulan akan ked}aifan hadith ini.
2.
Analisis Teks Hadith
Dari
penelitian sanad diatas, diketahui jika yang berstatus s}ah}i>h}
adalah hadith yang pertama hingga pembahasan selanjutnya difokuskan pada hadith
tersebut. Sebagaimana diketahui, teks hadith ini bersifat informatif naratif
karena menceritakan tentang peristiwa umat islam yang sedang berusaha untuk
melihat hilal atau bulan baru di awal bulan. Oleh karena itu wajar kiranya jika
seluruh redaksi hadith ini menggunakan fi’il mad}i yang berarti
peristiwa ini telah berlalu saat diriwayatkan[15].
Dan
dari sekian manusia yang ada hanya Ibn ‘Umar sebagai perawi hadith yang mampu
menyaksikan hilal, hal ini dapat diketahui dari d}amir yang pada awalnya
menggunakan kata jama’ untuk meruju’ pada kata an-nas namun
selanjutnya digunakan d}amir saya. Kata-kata Ibn ‘Umar inipun dikuatkan dengan
lafadh anna yang menunjukkan kesungguhan dan penekanan akan informasi yang
disampaikan..
Oleh
karena itu, secara umum hadith ini dapat dikatakan maqbul karena telah
memenuhi syarat dan kriteria penentuan teks hadith yang dapat diterima[16].
C. Interpretasi al-Hadi>th
Memahami
suatu hadith memang bukan hal yang sederhana, karena pemahaman memang tidak
hanya terkait teks saja, namun juga meliputi konteks munculnya hadith tersebut.
Sebagaimana dalam hadith tentang keberadaan saksi dalam melihat awal bulan ini
yang peneliti tidak menemukan sabab al-wurud yang khusus membahas hadith
tersebut Artinya hadith ini tidak memiliki sabab al-wurud al-kha>s}s}ah atau faktor kesejarahan dalam konteks
mikro.
Sedang
terkait sabab wurud makro –meminjam istilah Abdul Mustaqim- terkait
setting sosial, budaya atau bahkan masa, hadith ini kemungkinan ada saat
periode Madinah. Yakni pasca hijrahnya nabi dari Makkah pada tahun 622 M. Hal
ini diindikasikan oleh setting hadith ini tentang penyaksian awal bulan
ramadhan yang jelas berkaitan dengan puasa, karena shariah tentang puasa
sendiri baru ada pada tahun 2 H atau 623 M. Dalam ‘Aunul Ma’bu>d dijelaskan bahwa konteks hadith ini
terkait dengan peristiwa ijtima’ (konjungsi) yang dilihat dan disaksikan secara
langsung oleh sahabat Ibnu ‘Umar, hadith ini juga berdasar setting awal
bulan ramad}an –yang tidak diketahui kepastian tahunnya mengingat minimnya
data- karena nabi berpuasa dan memerintahkan umat islam berpuasa pula atas
kesaksian Ibnu ‘Umar[17].
Kewajiban puasa sendiri ada dan dan
dishariatkan bagi umat islam berdasar QS al-Baqarah ayat 183
sebagai berikut:
$ygr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã úïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÑÌÈ
Sedangkan
penentuan awal bulan menjadi patokan dimulainya puasa berdasar ayat:
Hingga
kemudian keberadaan hadith Ibnu ‘Umar menjadi penting adanay mengingat harus
ada seorang yang bersaksi bahwa dia menyaksikan hilal baik sendiri maupun
berkelompok yang dapat dijadikan hujjah awal berpuasa. Persoalan fiqhiyyah yang
bergulir kemudian adalah apakah keberadaan saksi tersebut cukup dengan seorang
atau harus dua orang. Dalam hal ini, banyak kalangan menilai bahwa dalam awal
bulan ramadhan cukup dengan seorang saksi yang kredibel (adil dan s}alih),
penyaksiannya dapat diterima. Namun jika terkait hilal syawwal, harus terdiri
dari dua orang saksi berdasar hadith[19]:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته وأنسكوا
لها فإن غم عليكم فأكملوا ثلاثين فإن شهد شاهدان فصوموا وأفطروا[20]
Sekilas
terbaca adanya pertentangan atau ikhtila>f dalam muatan hadith diatas
dan hadith Ibnu Umar, mengingat Ibnu ‘Umar hanya bersaksi sendiri sedangkan
hadith ini mensyaratkan adanya dua saksi. Namun hal ini dapat dijawab dengan
teori ikhtila>f hadith yang mengakomodir 4 langkah terkait ikhtila>f
hadith, yakni dengan al-jam’u, naskh, rajh dan tawaqquf[21].
Secara prinsip, kedua hadith ini dapat dikumpulkan (jam’u) dengan adanya hadith
ibnu ‘Umar yang mentakhsis hadith diatas. Artinya hanya pada penyaksian
awal ramad}an saja diperbolehkan adanya satu saksi, namun harus dua saksi dalam
penyaksian awal syawwal.
Hadith
tentang melihat awal bulan, meski telah melewati 16 abad tetap menjadi
kontroversi dalam penetapan awal bulan yang –uniknya- menjadi perdebatan yang
melelahkan setiap masa. Dari kacamata ilmu hadith, hadith Ibnu ‘Umar ini
memiliki sifat informatif naratif yang mendeskripsikan kisah atau peristiwa
saat Ibnu ‘Umar melihat hilal dengan pengamatan mata telanjang dan
melaporkannya pada nabi. Nabi yang memerintahkan puasa menunjukkan bahwa ru’yah
Ibnu ‘Umar menjadi sebuah dasar hukum dalam penetapan awal bulan. Pemaknaan ini
mengindikasikan hadith ini dimaknai secara universal oleh banyak ulama’ hadith,
artinya dari masa ke masa sifat ru’yah adalah sunnah yang berlaku secara umum.
Sedang
jika hadith ini dimaknai sebagai hadith yang bersifat temporal, maka bisa
disimpulkan penentuan awal bulan harua melalui proses ru’yah, namun dalam
prakteknya bisa dengan cara yang berbeda, wallahu a’lam..
BAB III
PENUTUP
Persoalan penetapan awal bulan dalam tahun hijriah
memang suatu hal yang debatable dan perlu mendapat porsi perhatian
tersendiri. Karena sebagaimana diketahui, 3 dari rukum islam memang terkait
erat dengan keberadaan awal bulan kalender islam yang berdasar perputaran bulan
pada bumi ini. Oleh karena itu, hadith terkait keberadaan saksi dalam
penyaksian awal bulan menjadi penting adanya, dan setelah dilakukan cek data sanad dan matan
hadith dapat disimpulkan bahwa hadith ini berstatus s}ahih, marfu’ dan
ma’mul bih.
Tidak
berhenti pada pemahaman teks, pemahaman apakah semua orang bisa
bersaksi ataukah dibutuhkan saksi yang memiliki keahlian dan kapabilitas
tertentu yang mungkin belum atau tidak terlalu dibutuhkan di masa nabi penting
pula adanya. Persoalan berapa saksi yang diperlukan dalam melihat awal bulan
juga menarik dibicarakan, mengingat dalam persoalan berbeda, berbeda pula
jumlah saksi yang dibutuhkan. Dan apakah hadith ini dimaknai secara universal
ataukah temporal tentu menjadi lapangan ijtihad sendiri bagi ulama’ atau “kader
ulama’” yang memiliki basic keilmuan di bidang hadith, hukum, bahasa hingga science.
Wallahu A’lam…
Daftar Pustaka
‘Asqalany, Ibn H{ajar. Tahz}ib al-Tahz}ib. Hyderabad Deccan:
Da’irat al-Ma’arif. 1325 H
A.J. Wensinck, J.P. Mensing. al-Mu’jam al-Mufahras li al-Alfaz}{}{
al-H{adith al-Nabawi juz II. Leiden: Mat}ba’ah Brill, 1967
A<badi>
(al), Abu> al-T{ayyib Muhammad Shams al-H{aqq al-‘Adhi>m. ‘Aunul
Ma’bu>d Sharah Sunan Abi Daud. Madinah: Maktabah al-Salafiyyah. Tt
Abu> Daud,
Sulaiman bin al-‘Ash’ath al-Sijista>ni>. Sunan Abu> Da>ud ta’liq
Na>s}iruddin al-Alba>ni>. Riya>d}: Maktabah al-Ma’a>rif. Tt
Arifin, Zainul.
Ilmu Falak. Yogyakarta: Lukita. 2012
Da>rimi>
(al), Abu> Muhammad ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin al-Fad}l bin Bahra>m Sunan
al-Da>rimi> tahqi>q Husain Sali>m Asad al-Da>rimi>.
Riyad}: Da>r al-Ma’na>. 2000
Ghala>yaini
(al), Must}afa>. Ja>mi’ al-Duru>s al-‘Arabiyyah Juz I. Beirut:
maktabah al-‘As}riyyah. 1984
Ibnu Ma>jah
al-Qazwi>ni, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yazid. Sunan Ibnu Ma>jah.
Riyad}: Baitul afka>r al-Dauliyah. Tt
Ismail, Syuhudi. Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar
dan Pemalsunya. Jakarta: Gema Insani Press. 1995
Ismail, Syuhudi. Hadith Nabi yang Tekstual dan
Kontekstual. Jakarta: Bulan Bintang. 1994
Khat}i>b (al), Muhammad ‘Ajjaj. Us}u>l al-H}adi>th
‘Ulu>muhu wa Must}ala>h}uhu. Beirut: Dar al-Fikr. 2008
Muba>rak
Furi (al), Muhammad bin ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim. Tuhfatul Ahwa>dhi
Sharah Sunan al-Tirmi>dhi. Kairo: Da>r al-Fikr. Tt
Na>sa’i (al), Abu
‘Abdirrahman Ahmad bin Shu’aib bin ‘Ali>. Sunan al-Nasa’I ta’liq
Na>s}iruddin al-Albani>. Riyad}: Maktabah al-Ma’a>rif. Tt
Rahman, Fatchur. Ikhtisar Musthalahul Hadis. Bandung:
al-Ma’arif. 1985
T{ah}h}a>n, Mah>mud. Taisi>r Mus}t}alah} al-H{adi>th.
Surabaya: al-Hidayah. Tt
Tirmi>dhi (al),
Muhammad bin ‘I>sa> bin Murrah al-Tirmi>dhi. Sunan al-Tirmi>dhi
ta’liq Na>s}iruddin al-Albani>. Riyad}: Maktabah al-Ma’a>rif. Tt
[1]Hilal sendiri berasal dari kata halla
wa ahalla al hila>l yang bermakna dhahara atau tampak. Dalam ilmu falak,
kata ini dipahami sebagai bulan yang terlihat pada awal bulan. AW
Munawir, Kamus al-Munawir. (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), 1515
[2] Zainul Arifin. Ilmu Falak.
(Yogyakarta: Lukita. 2012), 79-80
[3]A.J. Wensinck, J.P. Mensing, al-Mu’jam
al-Mufahras li al-Alfaz}{}{ al-H{adith al-Nabawi. (Leiden:
Mat}ba’ah Brill, 1967) juz III, 188-196
[5]Abu> Daud Sulaiman bin
al-‘Ash’athal-Sijista>ni>. Sunan Abu> Da>ud ta’liq
Na>s}iruddin al-Alba>ni>. (Riya>d}: Maktabah al-Ma’a>rif.
Tt), 411
[6]Abu> Muhammad ‘Abdullah bin
‘Abdurrahman bin al-Fad}l bin Bahra>m al-Da>rimi>. Sunan
al-Da>rimi> tahqi>q Husain Sali>m Asad al-Da>rimi>.
(Riyad}: Da>r al-Ma’na>. 2000), Juz II.
1052
[9]Marwan bin Muhammad bin Hasan
al-Asadi> al-T{a’t}ari>, memiliki guru antara lain Sa’id bi8n ;Abdul
‘Aziz, ‘Abdullah bin Wahab dan sebagainya. Muridnya antara lain putranya
Ibrahim bin Marwan, Mahmud bin Kha>lid, ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman,
al-Darimi dan sebagainya. Lahir pada tahun 147 H dan wafat pada tahun 210 H.
Ibn Hibban menyatakannya sebagai perawi yang thiqqah, begitupula
al-Da>ruqut}ni dan ulama’ jarh wa ta’dil yang lain. Lihat dalam Ahmad bin
Ali bin Hajr Syihabbudin al-Asqalani al-Syafi’i, Tahdzib al-Tahdzib,
(Beirut: al-Risalah, Tt), vol IV, 52
[10]Abu> al-T{ayyib Muhammad
Shams al-H{aqq al-‘Adhi>m al-Abadi. ‘Aunul Ma’bu>d Sharah Sunan Abi
Daud. (Madinah: Maktabah al-Salafiyyah. Tt), 468. al-Da>rimi>. Sunan
al-Da>rimi>,…. 1052
[11]Hadith
mu’an’an adalah hadith yang diriwayatkan dengan lambang ‘an
sebagaimana dalam hadith tentang dialog nabi dan penjaga surga, hadith ini
dihukumi muttas}il dengan mensyaratkan adanya liqa’ (pertemuan) dan
mu’as}arah
(sezaman).
Lihat dalam Fatchur Rahman. Ikhtisar Musthalahul Hadis. (Bandung:
al-Ma’arif. 1985). 222-223
[12]Hadith
ahad adalah jika tidak memenuhi syarat mutawatir, selanjutnya karena dalam
sanadnya terdapat rawi yang meriwayatkan seorang diri dan berpangkal pada as}lu
al-asa>nid, yakni tabi’in. Lihat dalam Mah>mud T{ah}h}a>n. Taisi>r
Mus}t}alah} al-H{adi>th. (Surabaya: al-Hidayah. Tt). 28-29. Bandingkan
dengan Fatchur Rahman. Ikhtisar...77-78
[13]Untuk
masuk dalam kategori S{ahi>h, hadith
harus memenuhi lima kriteria, yakni:a. Sanad yang bersambung, b. Adilnya rawi,
c. Rawi yang d}abit, d. Tidak adanya shadh (janggal), e. Tidak
adanya cacat. Lihat dalam Muhammad ‘Ajjaj al-Khat}i>b. Us}u>l
al-H}adi>th... 200
[14]Bernama Sima>k bin Harb bin Aus. Memiliki guru
antara lain Anas bin Malik, Jabir bin Samurah, Ikrimah dan sebagainya. Muridnya
antara lain adalah putranya Sa’id, Ismail bin Salamah, Za>idah dan
sebagainya. Banyak ulama’ menjarh kualitas Sima>k meski banyak pula yang
mengatakannya thiqqah, sebagaimana Ibn Hibban yang menyatakannya thiqqah namun
sering salah, atau Zakariyya bin ‘Adi yang menyatakannya d}aif dan Ibn Abi
Hatim yang menyatakannya mursal. Dari perbedaan ulama’ ini dipertegas oleh Ya’qub
bahwa riwayat Sima>k pada dasarnya maqbul kecuali dari ‘Ikrimah, artinya
semua riwayat Simak dari ‘Ikrimah ditolak (mud}t}arib). Lihat Ahmad bin Ali bin
Hajr Syihabbudin al-Asqalani al-Syafi’i, Tahdzib al-Tahdzib,.., Vol II.
115
[15]Must}afa> al-Ghala>yaini. Ja>mi’
al-Duru>s al-‘Arabiyyah Juz I. (Beirut: maktabah al-‘As}riyyah. 1984).
30
[16]Khat}ib
al-Baghdadi mensyaratkan hadith maqbul dengan lima kriteria, yakni: a.
tidak bertentangan dengan rasio, b. tidak bertentangan dengan hukum alquran
yang muhkam, c. tidak bertentangan dengan hadith mutawatir, d. tidak
bertentangan dengan amalan yang menjadi kesepakatan ulama’ salaf, e. tidak bertentangan
dengan dalil yang telah pasti, f. tidak bertentangan dengan hadith yang
kualitas kes}ah}ih}annya lebih kuat. Lihat dalam Syuhudi Ismail. Hadis Nabi
Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya. (Jakarta: Gema Insani Press.
1995), 79.
[18] QS al-Baqarah: 185
[19]Muhammad bin ‘Abdurrahman bin
‘Abdurrahim al-Muba>rak Furi. Tuhfatul Ahwa>dhi Sharah Sunan
al-Tirmi>dhi. (Kairo: Da>r al-Fikr. Tt), 374-375
[20]Hadith diriwayatkan al-Nasa>’I
yang oleh al-Albani dalam tahqiqnya dikatakan sebagai hadith s}ahih dan layak
dijadikan dasar hukum, pemateri tidak melakukan takhrij mandiri dan atau
membahas hadith ini secara mendetail demi fokusnya masalah yang dibahas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar