Senin, 26 Mei 2014

HADITH TEMATIK TENTANG SAKSI DALAM MELIHAT HILAL

HADITH TEMATIK TENTANG SAKSI DALAM MELIHAT HILAL
Makalah ini disusun untuk pemenuhan tugas mata kuliah
Studi al-Quran dan Hadith



Dosen Pengampu:
Dr. H. M. Sya’roni, M.Ag

Oleh :
Muthi’ah Hijriyati
        

UNIVERSITAS SUNAN GIRI
PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN KADER ULAMA’
JURUSAN HUKUM ISLAM KONSENTRASI ILMU FALAK
JOMBANG

 
2013


BAB I
PENDAHULUAN

Nabi Muhammad saw sebagaimana difahami adalah seorang Rasul terakhir dan terutama yang diutus oleh Allah swt. Keistimewaan dan kekhususan ini menjadi sebuah garansi akan keberadaan nabi Muhammad sebagai “kekasih” yang paling dekat dengan-Nya. Oleh karena itu, wajar kiranya jika selain alquran –sebagai kalam dan teks Illahi-, segala ucapan, perbuatan, ketetapan atau juga sikap peristiwa yang terjadi pada nabi Muhammad –baca sunnah dan hadith- menjadi sebuah justifikasi dan legitimasi  hukum dalam islam.
Termasuk legitimasi hukum terkait hadith nabi adalah sebagaimana peristiwa melihat hilal yang terjadi pada sahabat Ibnu ‘Umar dan perintah nabi untuk berpuasa atas kesaksian sahabat tersebut. Mengetahui awal masuk bulan qomariah memang hal urgent dalam islam, memgingat hal tersebut terkait erat dengan penentuan awal berpuasa ramad}an, berhari raya ataupula berhaji. Terlepas dari kontroversi apakah metode ru’yah ataukah hisab yang paling tepat digunakan, makalah ini mencoba mengetengahkan tentang keharusan adanya saksi atau orang yang adil yang benar-benar melihat kemunculan hilal yang termuat dalam sunan Abu Daud.
Hingga dalam makalah sederhana ini, penulis mencoba memaparkan h}adith ini secara lengkap, meliputi teks, takhri>j al-h}adith berdasar hadith-hadith dalam kutub al-tis’ah, uraian matan dan konteks kesejarahan hingga ma’a>ni al-h}adi>th atau fiqh al-h}adi>th sebagai upaya kontekstualisasi akan keberadaan teks h}adi>th yang telah ada sejak berabad-abad silam.   Wallahu A’lam….









BAB II
HADITH TENTANG SAKSI DALAM MELIHAT HILAL DI AWAL BULAN
A.      Teks Hadith
Penentuan awal bulan hijriah agaknya menjadi fenomena yang kontroversional dalam masyarakat islam –khususnya di Indonesia-, karena sifatnya yang ijtihadi dan terbukanya teks untuk selalu diinterpretasi ataupun reinterpretasi. Secara umum, penentuan awal bulan bisa dengan metode hisab ataupun ru’yah. Dalam ru’yah pun terdapat dua hasil akhir, yakni jika hilal[1] terlihat di sebelah barat pada saat matahari tenggelam malam tersebut dikatakan sebagai tanggal bulan baru, jika tidak berhasil diru’yat maka esok masih dikatakan bulan yang sedang berjalan dengan menggenapkan umur bulan menjadi 30 hari[2].
Terlepas dari kontroversi yang ada, metode yang kedua adalah yang dipraktekkan oleh nabi dan sahabat di masa tersebut dalam penentuan awal bulan terutama ramad}an, syawwal dan dhulhijjah. Dalam hal ini pemateri membatasi kajian hadith terbatas pada penentuan awal ramadhan dan syawwal saja yang memiliki dasar tentang keharusan adanya saksi atau orang yang menyaksikan kemunculan hillal tersebut. Secara populer, teks hadith tersebut adalah:
1.      Hadith tentang 1 saksi dalam penyaksian awal bulan:
-       تراءى الناس الهلال فأخبرت رسول الله صلي الله عليه وسلم أني رأيته فصام وأمر الناس بصيامه
“Orang-orang berusaha untuk melihat hilal, kemudian aku beritahukan kepada Rasulullah saw bahwa aku telah melihatnya, kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang agar berpuasa”.

-       جاء أعرابي إلي النبي صلي الله عليه وسلم فقال إني رأيت الهلال. فقال أتشهد أن لا إله إلا الله وأني رسول الله؟قال نعم. قال: يا فلان, نادي في الناس فليصوموا غدا
“Seorang Arab Badui datang pada nabi dan menyatakan bahwa saya telah melihat hilal. Nabi bersabda: Apakah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku adalah rasulNya?, Badui tersebut berkata: iya. Nabi pun bersabda: wahai Fulan, beritahukan pada umat manusia agar berpuasa esok hari”.

2.      Hadith tentang 2 saksi dalam penyaksian awal bulan:
-    إختلف الناس في اخر يوم من رمضان , فقدم أعرابيان فشهدا عند النبي صلي الله عليه وسلم بالله لأهلا الهلال أمس غشية فأمر رسول الله صلي الله عليه وسلم الناس أن يفطروا   
 
Masyarakat berselisih pada hari akhir dari bulan ramadhan, hingga datanglah dua orang arab badui dan bersaksi terhadap nabi bahwa keduanya baru saja menyaksikan hilal. Maka Rasulullah pun memerintahkan umat islam untuk berbuka (berhari raya).

B.       Takhri>j al-Hadi>th
Hadith tentang keberadaan satu saksi dalam menyaksikan awal bulan, setelah melalui proses pelacakan pada kitab Mu’jam Mufahras li Alfa>z} al-H{adi>th melalui kata shahada, hadith ini ditemukan pada beberapa kitab, yakni[3]:
1.         Sunan Abu> Da>ud kitab al-S{iya>m bab Ma> Ja>’a fi al-Shaha>dah ‘ala> ru’yati al-Hila>l dengan nomor indeks 2340, 2341 dan 2342.
2.        Sunan al-Da>rimi kitab al-S{aum bab al-Shaha>dah ‘ala> ru’yati hila>l ramad}a>n dengan nomor indeks hadith 1733, dan 1734.
3.        Sunan Ibnu Ma>jah kitab al-S{iya>m bab Ma> Ja>’a fi al-Shaha>dah ‘ala> ru’yati al-Hila>l dengan nomor indeks 1652.
Selain itu, dengan proses pelacakan dengan kitab yang sama melalui kata hilal, hadith ini juga ditemukan pada kitab[4]:
1.        Sunan al-Tirmi>dhi> kitab al-S{iya>m bab Ma> Ja>’a fi al-S{au>m bi al-Shaha>dah dengan nomor indeks 691
2.        Sunan al-Nasa>’i kitab al-S{iya>m bab Qabu>li Shaha>dati al-Raju>l al-Wah}i>d ‘ala> Hila>l shahri ramad}a>n  wa dhikr al-Ikhtila>f fi>hi ‘ala> Sufya<n fi hadi>th Sima>k dengan nomor indeks 2112 dan 2113
Sedangkan tentang dua saksi ditemukan hanya dalam kitab Sunan Abu> Da>ud kitab al-S{iya>m bab shaha>datu rajulaini ‘ala> ru’yati hila>li shawwa>l dengan nomor indeks 2339.
Adapun teks hadith satu saksi dalam Sunan Abu> Daud nomor indeks 2342 secara lengkap adalah:
حدّثنا محمود بن خالد وعبد الله بن عبد الرحمن السمرقندي – وأنا لحديثه أتقن- قالانا مروان – هو إبن محمد- عن عبد الله بن وهب, عن يحيي بن سالم عن أبي بكر بن نافع عن أبيه عن ابن عمر رضي الله عنه قال: تراءى الناس الهلال فأخبرت رسول الله صلي الله عليه وسلم أني رأيته فصام وأمر الناس بصيامه[5]
Dengan jalur periwayatan dan redaksi yang sama, hadith ini diriwayatkan pula oleh al-Da>rimi> dalam Sunan al-Da>rimi[6]. Sedikit perbedaannya adalah al-Da>rimi> langsung menerima hadith ini dari Marwan bin Muhammad (lebih lanjut lihat dalam skema sanad).
Sedangkan hadith kedua tentang keberadaan satu saksi dalam melihat awal bulan menurut redaksi Sunan Abu> Daud adalah sebagai berikut:
حدّثنا محمد بن بكار بن الريان حدّثنا الوليد – يعني ابن أبي ثور- حدّثنا الحسن بن علي حدّثنا الحسين – يعني الجعفي- عن زائدة المعني عن سماك عن عكرمة عن ابن عباس قال: جاء أعرابي إلي النبي صلي الله عليه وسلم فقال إني رأيت الهلال. قال الحسن في حديثه: يعني رمضان. فقال أتشهد أن لا إله إلا الله وأني رسول الله؟قال نعم. قال: يا فلان, نادي في الناس فليصوموا غدا[7]
Hadith ini diriwayatkan oleh Abu> Daud dalam 2 jalur periwayatan yang berbeda, namun keduanya memiliki redaksi yang sama dan berpangkal pada riwayat Sima>k. Hadith ini tercatat juga banyak diriwayatkan dalam kitab lain dengan jalur periwayatan yang hampir sama (lihat dalam skema sanad). Yakni dalam Sunan al-Da>rimi nomor indeks 1734, Sunan Ibnu Ma>jah nomor indeks 1652, Sunan al-Tirmi>dhi> nomor indeks 691, dan Sunan al-Nasa>’i dengan nomor indeks 2112 dan 2113.
Sedangkan hadith tentang dua saksi dalam melihat awal bulan diriwayatkan hanya oleh Abu> Daud dengan redaksi lengkap sebagai berikut:
حدّثنا مسدد وخلف بن هشام المقئ, قالا حدثنا أبو عوانة عن منصور عن ريعي بن حراش عن رجل من أصحاب النبي  صلي الله عليه وسلم قال :إختلف الناس في اخر يوم من رمضان , فقدم أعرابيان فشهدا عند النبي صلي الله عليه وسلم بالله لأهلا الهلال أمس غشية فأمر رسول الله صلي الله عليه وسلم الناس أن يفطروا, زاد خلف في حديثه وأن يعدوا إلي مصلاهم[8]
1.      Analisis Sanad Hadi>th
Penelitian lebih lanjut atau takhri>j terhadap hadith-hadith yang telah dipaparkan sebelumnya adalah hal yang penting dalam penelitian terhadap suatu hadith. Dalam hal ini, terlebih dahulu penelitian difokuskan pada kredibilitas dan kapabilitas perawi sebagai acuan mengetahui kualitas sanad hadith. Secara singkat, analisis para perawi tersebut adalah:
a.    Hadith pertama tentang satu saksi
Hadith ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan al-Da>rimi> dengan redaksi yang sama dan jalur sanad yang sama, yakni dari riwayat Ibnu ‘Umar kepada Nafi’ kepada Abu Bakar bin Nafi’. Selanjutnya kepada Yahya bin Salim kepada ‘Abdullah bin Wahab kepada Marwan bin Muhammad. Dari Marwan inilah al-Darimi menerima riwayat. Selain itu, Marwan juga meriwayatkan pada Mahmud bin Kha>lid dan ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman yang kemudian meriwayatkan pada Abu> Daud.
Jika diteliti lebih lanjut, pangkal hadith ini adalah Marwan bin Muhammad[9] yang meriwayatkan hadith ini sendirian. Namun meski demikian, al-Da>ruqut}ni> yang dikutip oleh Abu> Daud dan al-Da>rimi> menyatakan statusnya yang thiqqah[10]. Dari bahasa periwayatan juga diketahui jika hadith ini merupakan hadith mu’an’an.[11] Namun meski demikian hadith ini dinyatakan muttas}i>l, hal ini dikarenakan terdapat kesinambungan dan pertemuan antara perawi satu dengan seterusnya atau antara sanad pertama hingga selanjutnya. Ini diindikasikan oleh beberapa hal, yakni: Pertama, dari tahun wafat yang memungkinkan dan logis jika antara guru dan murid terjadi kontak. Kedua, data kesinambungan antara guru dan murid yang secara data faktual terbukti ada. Ketiga, tempat domisili yang relatif sama dan memungkinkan untuk bertemu pada masa tersebut. Dari olahan data tersebut, dapat disimpulkan jika hadith ini berstatus ah}ad juga gharib mutlak[12] karena memang hanya diriwayatkan oleh satu orang dalam beberapa t}abaqah, meski demikian hadith ini bernilai S}ah}i>h[13].
b.   Hadith kedua tentang satu saksi
Sebagaimana disebut diatas, hadith tentang cerita orang arab badui ini dikeluarkan oleh banyak mukharrij hadith dengan sanad yang berbeda-beda. Namun jika dilacak lebih lanjut, hadith ini bermuara pada riwayat Ibnu ‘Abbas kepada ‘Ikrimah kepada Sima>k. Dari Sima>k inilah hadith ini diterima pada 4 jalur, yakni Za>idah, Hammad, al-Wa>lid dan al-Fad}l bin Mu>sa> bin Sufya>n.
Za>idah meriwayatkan pada al-H{usain al-Ju’fi> dan Abu> Usamah. Abu> Usamah menceritakan hadith ini kepada ‘Umar bin ‘Abdullah al-Audi> dan Muhammad bin Isma>’il yang kemudian dikeluarkan oleh Ibn Ma>jah. Sedangkan al-H{usain al-Ju’fi meriwayatkan pada 3 murid, yakni Abu> Kuraib yang memberikan pada al-Tirmi>dhi>, ‘Is}mah bin al-Fad}l yang memberikan pada al-Da>rimi>, dan al-Hasan bin ‘Ali> yang meriwayatkan pada Musa> bin ‘Abdurrahman kepada al-Nasa>’i.
Selanjutnya jalur Hammad yang meriwayatkan pada Musa bin Isma>’il kepada Abu> Daud. Lalu al-Walid yang meneruskan pada Muhammad bin Baka>r bin al-Rayya>n hingga Abu Da>ud. Sedangkan al-Fad}l bin Mu>sa> bin Sufya>n memberikan hadith ini pada Muhammad bin ‘Abdul ‘Aziz bin Abi> Zurmah kepada al-Nasa>’i.
Sekilas hadith ini terlihat begitu kuat karena diriwayatkan dalam banyak kitab dari berbagai jalur. Namun jika diteliti mendalam, hadith ini terlihat memiliki masalah pada perawi ketiga, yakni Sima>k[14] yang menjadi pangkal pertemuan seluruh jalur. Oleh banyak ulama’ jarh wa ta’di>l, Simak dikatakan sebagai perawi yang mursal bahkan d}aif, khususnya jika Simak meriwayatkan dari ‘Ikrimah yang dinyatakan tertolak. Dari sini dapat dikatakan jika hadith ini lemah atau d}aif, meski memiliki banyak pendukung tidak dapat menaikkan derajat hadith karena permasalahan berada pada Simak yang merupakan pangkal bercabangnya sanad. Hingga demikian hadith ini dikatakan mardud dan ghairu ma’mul bih.
c.    Hadith tentang keberadaan dua saksi
Hadith yang berbicara tentang keharusan adanya 2 saksi dalam melihat awal bulan ini diriwayatkan hanya oleh seorang sahabat nabi kepada Ri>’i> bin H{ira>sh kepada Mans}u>r kepada Abu> ‘Uwa>nah. Selanjutnya diriwayatkan pada Musaddad dan Khalaf bin Hisha>m al-Muqri’yang kemudian dikeluarkan oleh Abu> Daud.
Secara kualitas sanad, hadith ini sulit dilacak mengingat hanya dimuat pada sunan Abu Daud. Selain itu periwayar pertama adalah mubham karena hanya dikatakan sebagai rajul min as}ha>b al-nabi> dengan tanpa ada keterangan nama, baik dalam kitab asal maupun dalam penjelasan sharah. Ini sebab proses pelacakan mengalami kemandegan dan pemateri berkesimpulan akan ked}aifan hadith ini.
2.      Analisis Teks Hadith
Dari penelitian sanad diatas, diketahui jika yang berstatus s}ah}i>h} adalah hadith yang pertama hingga pembahasan selanjutnya difokuskan pada hadith tersebut. Sebagaimana diketahui, teks hadith ini bersifat informatif naratif karena menceritakan tentang peristiwa umat islam yang sedang berusaha untuk melihat hilal atau bulan baru di awal bulan. Oleh karena itu wajar kiranya jika seluruh redaksi hadith ini menggunakan fi’il mad}i yang berarti peristiwa ini telah berlalu saat diriwayatkan[15].
Dan dari sekian manusia yang ada hanya Ibn ‘Umar sebagai perawi hadith yang mampu menyaksikan hilal, hal ini dapat diketahui dari d}amir yang pada awalnya menggunakan kata jama’ untuk meruju’ pada kata an-nas namun selanjutnya digunakan d}amir saya. Kata-kata Ibn ‘Umar inipun dikuatkan dengan lafadh anna yang menunjukkan kesungguhan dan penekanan akan informasi yang disampaikan..
Oleh karena itu, secara umum hadith ini dapat dikatakan maqbul karena telah memenuhi syarat dan kriteria penentuan teks hadith yang dapat diterima[16].
C.      Interpretasi al-Hadi>th
Memahami suatu hadith memang bukan hal yang sederhana, karena pemahaman memang tidak hanya terkait teks saja, namun juga meliputi konteks munculnya hadith tersebut. Sebagaimana dalam hadith tentang keberadaan saksi dalam melihat awal bulan ini yang peneliti tidak menemukan sabab al-wurud yang khusus membahas hadith tersebut Artinya hadith ini tidak memiliki sabab al-wurud al-kha>s}s}ah atau faktor kesejarahan dalam konteks mikro.
Sedang terkait sabab wurud makro –meminjam istilah Abdul Mustaqim- terkait setting sosial, budaya atau bahkan masa, hadith ini kemungkinan ada saat periode Madinah. Yakni pasca hijrahnya nabi dari Makkah pada tahun 622 M. Hal ini diindikasikan oleh setting hadith ini tentang penyaksian awal bulan ramadhan yang jelas berkaitan dengan puasa, karena shariah tentang puasa sendiri baru ada pada tahun 2 H atau 623 M. Dalam ‘Aunul Ma’bu>d dijelaskan bahwa konteks hadith ini terkait dengan peristiwa ijtima’ (konjungsi) yang dilihat dan disaksikan secara langsung oleh sahabat Ibnu ‘Umar, hadith ini juga berdasar setting awal bulan ramad}an –yang tidak diketahui kepastian tahunnya mengingat minimnya data- karena nabi berpuasa dan memerintahkan umat islam berpuasa pula atas kesaksian Ibnu ‘Umar[17].
Kewajiban puasa sendiri ada dan dan dishariatkan bagi umat islam berdasar QS al-Baqarah ayat 183 sebagai berikut:
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÑÌÈ  
Sedangkan penentuan awal bulan menjadi patokan dimulainya puasa berdasar ayat:
4 `yJsù yÍky­ ãNä3YÏB tök¤9$# çmôJÝÁuŠù=sù ( [18]…… 
Hingga kemudian keberadaan hadith Ibnu ‘Umar menjadi penting adanay mengingat harus ada seorang yang bersaksi bahwa dia menyaksikan hilal baik sendiri maupun berkelompok yang dapat dijadikan hujjah awal berpuasa. Persoalan fiqhiyyah yang bergulir kemudian adalah apakah keberadaan saksi tersebut cukup dengan seorang atau harus dua orang. Dalam hal ini, banyak kalangan menilai bahwa dalam awal bulan ramadhan cukup dengan seorang saksi yang kredibel (adil dan s}alih), penyaksiannya dapat diterima. Namun jika terkait hilal syawwal, harus terdiri dari dua orang saksi berdasar hadith[19]:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته وأنسكوا لها فإن غم عليكم فأكملوا ثلاثين فإن شهد شاهدان فصوموا وأفطروا[20]
Sekilas terbaca adanya pertentangan atau ikhtila>f dalam muatan hadith diatas dan hadith Ibnu Umar, mengingat Ibnu ‘Umar hanya bersaksi sendiri sedangkan hadith ini mensyaratkan adanya dua saksi. Namun hal ini dapat dijawab dengan teori ikhtila>f hadith yang mengakomodir 4 langkah terkait ikhtila>f hadith, yakni dengan al-jam’u, naskh, rajh dan tawaqquf[21]. Secara prinsip, kedua hadith ini dapat dikumpulkan (jam’u) dengan adanya hadith ibnu ‘Umar yang mentakhsis hadith diatas. Artinya hanya pada penyaksian awal ramad}an saja diperbolehkan adanya satu saksi, namun harus dua saksi dalam penyaksian awal syawwal.
Hadith tentang melihat awal bulan, meski telah melewati 16 abad tetap menjadi kontroversi dalam penetapan awal bulan yang –uniknya- menjadi perdebatan yang melelahkan setiap masa. Dari kacamata ilmu hadith, hadith Ibnu ‘Umar ini memiliki sifat informatif naratif yang mendeskripsikan kisah atau peristiwa saat Ibnu ‘Umar melihat hilal dengan pengamatan mata telanjang dan melaporkannya pada nabi. Nabi yang memerintahkan puasa menunjukkan bahwa ru’yah Ibnu ‘Umar menjadi sebuah dasar hukum dalam penetapan awal bulan. Pemaknaan ini mengindikasikan hadith ini dimaknai secara universal oleh banyak ulama’ hadith, artinya dari masa ke masa sifat ru’yah adalah sunnah yang berlaku secara umum.
Sedang jika hadith ini dimaknai sebagai hadith yang bersifat temporal, maka bisa disimpulkan penentuan awal bulan harua melalui proses ru’yah, namun dalam prakteknya bisa dengan cara yang berbeda, wallahu a’lam..
















BAB III
PENUTUP

Persoalan penetapan awal bulan dalam tahun hijriah memang suatu hal yang debatable dan perlu mendapat porsi perhatian tersendiri. Karena sebagaimana diketahui, 3 dari rukum islam memang terkait erat dengan keberadaan awal bulan kalender islam yang berdasar perputaran bulan pada bumi ini. Oleh karena itu, hadith terkait keberadaan saksi dalam penyaksian awal bulan menjadi penting adanya, dan setelah dilakukan cek data sanad dan matan hadith dapat disimpulkan bahwa hadith ini berstatus s}ahih, marfu’ dan ma’mul bih.
Tidak berhenti pada pemahaman teks, pemahaman apakah semua orang bisa bersaksi ataukah dibutuhkan saksi yang memiliki keahlian dan kapabilitas tertentu yang mungkin belum atau tidak terlalu dibutuhkan di masa nabi penting pula adanya. Persoalan berapa saksi yang diperlukan dalam melihat awal bulan juga menarik dibicarakan, mengingat dalam persoalan berbeda, berbeda pula jumlah saksi yang dibutuhkan. Dan apakah hadith ini dimaknai secara universal ataukah temporal tentu menjadi lapangan ijtihad sendiri bagi ulama’ atau “kader ulama’” yang memiliki basic keilmuan di bidang hadith, hukum, bahasa hingga science. Wallahu A’lam…














Daftar Pustaka
‘Asqalany, Ibn H{ajar. Tahz}ib al-Tahz}ib. Hyderabad Deccan: Da’irat al-Ma’arif. 1325 H
A.J. Wensinck, J.P. Mensing.  al-Mu’jam al-Mufahras li al-Alfaz}{}{ al-H{adith al-Nabawi juz II. Leiden: Mat}ba’ah  Brill, 1967
A<badi> (al), Abu> al-T{ayyib Muhammad Shams al-H{aqq al-‘Adhi>m. ‘Aunul Ma’bu>d Sharah Sunan Abi Daud. Madinah: Maktabah al-Salafiyyah. Tt
Abu> Daud, Sulaiman bin al-‘Ash’ath al-Sijista>ni>. Sunan Abu> Da>ud ta’liq Na>s}iruddin al-Alba>ni>. Riya>d}: Maktabah al-Ma’a>rif. Tt
Arifin, Zainul. Ilmu Falak. Yogyakarta: Lukita. 2012
Da>rimi> (al), Abu> Muhammad ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin al-Fad}l bin Bahra>m Sunan al-Da>rimi> tahqi>q Husain Sali>m Asad al-Da>rimi>. Riyad}: Da>r al-Ma’na>. 2000
Ghala>yaini (al), Must}afa>. Ja>mi’ al-Duru>s al-‘Arabiyyah Juz I. Beirut: maktabah al-‘As}riyyah. 1984
Ibnu Ma>jah al-Qazwi>ni, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yazid. Sunan Ibnu Ma>jah. Riyad}: Baitul afka>r al-Dauliyah. Tt
Ismail, Syuhudi. Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya. Jakarta: Gema Insani Press. 1995
Ismail, Syuhudi. Hadith Nabi yang Tekstual dan Kontekstual. Jakarta: Bulan Bintang. 1994
Khat}i>b (al), Muhammad ‘Ajjaj. Us}u>l al-H}adi>th ‘Ulu>muhu wa Must}ala>h}uhu. Beirut: Dar al-Fikr. 2008
Muba>rak Furi (al), Muhammad bin ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim. Tuhfatul Ahwa>dhi Sharah Sunan al-Tirmi>dhi. Kairo: Da>r al-Fikr. Tt
Na>sa’i (al), Abu ‘Abdirrahman Ahmad bin Shu’aib bin ‘Ali>. Sunan al-Nasa’I ta’liq Na>s}iruddin al-Albani>. Riyad}: Maktabah al-Ma’a>rif. Tt
Rahman, Fatchur. Ikhtisar Musthalahul Hadis. Bandung: al-Ma’arif. 1985
T{ah}h}a>n, Mah>mud. Taisi>r Mus}t}alah} al-H{adi>th. Surabaya: al-Hidayah. Tt
Tirmi>dhi (al), Muhammad bin ‘I>sa> bin Murrah al-Tirmi>dhi. Sunan al-Tirmi>dhi ta’liq Na>s}iruddin al-Albani>. Riyad}: Maktabah al-Ma’a>rif. Tt



[1]Hilal sendiri berasal dari kata halla wa ahalla al hila>l yang bermakna dhahara atau tampak. Dalam ilmu falak, kata ini dipahami sebagai bulan yang terlihat pada awal bulan. AW Munawir, Kamus al-Munawir. (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), 1515
[2] Zainul Arifin. Ilmu Falak. (Yogyakarta: Lukita. 2012), 79-80
[3]A.J. Wensinck, J.P. Mensing, al-Mu’jam al-Mufahras li al-Alfaz}{}{ al-H{adith al-Nabawi. (Leiden: Mat}ba’ah  Brill, 1967) juz III, 188-196
[4] A.J. Wensinck, J.P. Mensing, al-Mu’jam al-Mufahras juz VII,…., 96-97
[5]Abu> Daud Sulaiman bin al-‘Ash’athal-Sijista>ni>. Sunan Abu> Da>ud ta’liq Na>s}iruddin al-Alba>ni>. (Riya>d}: Maktabah al-Ma’a>rif. Tt), 411
[6]Abu> Muhammad ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin al-Fad}l bin Bahra>m al-Da>rimi>. Sunan al-Da>rimi> tahqi>q Husain Sali>m Asad al-Da>rimi>. (Riyad}: Da>r al-Ma’na>. 2000), Juz II.  1052
[7] Abu> Daud Sulaiman bin al-‘Ash’athal-Sijista>ni>. Sunan Abu> Da>ud…., 411
[8] Abu> Daud Sulaiman bin al-‘Ash’athal-Sijista>ni>. Sunan Abu> Da>ud…., 411
[9]Marwan bin Muhammad bin Hasan al-Asadi> al-T{a’t}ari>, memiliki guru antara lain Sa’id bi8n ;Abdul ‘Aziz, ‘Abdullah bin Wahab dan sebagainya. Muridnya antara lain putranya Ibrahim bin Marwan, Mahmud bin Kha>lid, ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman, al-Darimi dan sebagainya. Lahir pada tahun 147 H dan wafat pada tahun 210 H. Ibn Hibban menyatakannya sebagai perawi yang thiqqah, begitupula al-Da>ruqut}ni dan ulama’ jarh wa ta’dil yang lain. Lihat dalam Ahmad bin Ali bin Hajr Syihabbudin al-Asqalani al-Syafi’i, Tahdzib al-Tahdzib, (Beirut: al-Risalah, Tt), vol IV,  52
[10]Abu> al-T{ayyib Muhammad Shams al-H{aqq al-‘Adhi>m al-Abadi. ‘Aunul Ma’bu>d Sharah Sunan Abi Daud. (Madinah: Maktabah al-Salafiyyah. Tt), 468. al-Da>rimi>. Sunan al-Da>rimi>,…. 1052
[11]Hadith mu’an’an adalah hadith yang diriwayatkan dengan lambang ‘an sebagaimana dalam hadith tentang dialog nabi dan penjaga surga, hadith ini dihukumi muttas}il dengan mensyaratkan adanya liqa’ (pertemuan) dan mu’as}arah (sezaman). Lihat dalam Fatchur Rahman. Ikhtisar Musthalahul Hadis. (Bandung: al-Ma’arif. 1985). 222-223
[12]Hadith ahad adalah jika tidak memenuhi syarat mutawatir, selanjutnya karena dalam sanadnya terdapat rawi yang meriwayatkan seorang diri dan berpangkal pada as}lu al-asa>nid, yakni tabi’in. Lihat dalam Mah>mud T{ah}h}a>n. Taisi>r Mus}t}alah} al-H{adi>th. (Surabaya: al-Hidayah. Tt). 28-29. Bandingkan dengan Fatchur Rahman. Ikhtisar...77-78
[13]Untuk masuk dalam kategori S{ahi>h, hadith harus memenuhi lima kriteria, yakni:a. Sanad yang bersambung, b. Adilnya rawi, c. Rawi yang d}abit, d. Tidak adanya shadh (janggal), e. Tidak adanya cacat. Lihat dalam Muhammad ‘Ajjaj al-Khat}i>b. Us}u>l al-H}adi>th... 200
[14]Bernama Sima>k bin Harb bin Aus. Memiliki guru antara lain Anas bin Malik, Jabir bin Samurah, Ikrimah dan sebagainya. Muridnya antara lain adalah putranya Sa’id, Ismail bin Salamah, Za>idah dan sebagainya. Banyak ulama’ menjarh kualitas Sima>k meski banyak pula yang mengatakannya thiqqah, sebagaimana Ibn Hibban yang menyatakannya thiqqah namun sering salah, atau Zakariyya bin ‘Adi yang menyatakannya d}aif dan Ibn Abi Hatim yang menyatakannya mursal. Dari perbedaan ulama’ ini dipertegas oleh Ya’qub bahwa riwayat Sima>k pada dasarnya maqbul kecuali dari ‘Ikrimah, artinya semua riwayat Simak dari ‘Ikrimah ditolak (mud}t}arib). Lihat Ahmad bin Ali bin Hajr Syihabbudin al-Asqalani al-Syafi’i, Tahdzib al-Tahdzib,.., Vol II. 115
[15]Must}afa> al-Ghala>yaini. Ja>mi’ al-Duru>s al-‘Arabiyyah Juz I. (Beirut: maktabah al-‘As}riyyah. 1984). 30
[16]Khat}ib al-Baghdadi mensyaratkan hadith maqbul dengan lima kriteria, yakni: a. tidak bertentangan dengan rasio, b. tidak bertentangan dengan hukum alquran yang muhkam, c. tidak bertentangan dengan hadith mutawatir, d. tidak bertentangan dengan amalan yang menjadi kesepakatan ulama’ salaf, e. tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti, f. tidak bertentangan dengan hadith yang kualitas kes}ah}ih}annya lebih kuat. Lihat dalam Syuhudi Ismail. Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya. (Jakarta: Gema Insani Press. 1995), 79.
[17] Abu> al-T{ayyib Muhammad Shams al-H{aqq al-‘Adhi>m al-Abadi. ‘Aunul Ma’bu>d…, 468
[18] QS al-Baqarah: 185
[19]Muhammad bin ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim al-Muba>rak Furi. Tuhfatul Ahwa>dhi Sharah Sunan al-Tirmi>dhi. (Kairo: Da>r al-Fikr. Tt), 374-375
[20]Hadith diriwayatkan al-Nasa>’I yang oleh al-Albani dalam tahqiqnya dikatakan sebagai hadith s}ahih dan layak dijadikan dasar hukum, pemateri tidak melakukan takhrij mandiri dan atau membahas hadith ini secara mendetail demi fokusnya masalah yang dibahas.
[21]Ajjaj, Ushul….,56-57

Tidak ada komentar:

Posting Komentar