Kedudukan Ilmu Falak
DALAM FIKIH
ISLAM
Dalam kajian tentang miqat, para fukaha mengambil porsi kerja ijtihad
pada ranah ma’rifah al-ahkam. Orientasi ijtihad mereka adalah
mashadir al-ahkam, yakni dalil-dalil syara’, dalam rangka mendapatkan pengetahuan
mengenai ihwal hukum miqat yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala
sebagai Syari’ (Pembuat Syara’). Ijtihad jumhur fukaha mengenai miqat
salat Isya’, misalnya, menghasilkan natijah bahwa awal waktu salat Isya’ menurut
ketentuan hukum syara’ tiba bersamaan dengan sirna/hilangnya mega merah (al-syafaq
al-ahmar) di latar langit ufuk barat.
Natijah ijtihad tersebut pada dasarnya dapat langsung dipedomani oleh para
mukallaf di ranah tathbiq al-ahkam. Hanya saja karena implementasinya
murni berbasiskan data observasional (ru’yah bi al-fi’l) yang masih mentah
(tidak diolah) dalam arti bahwa untuk mengetahui momen hilangnya mega merah itu
hanya mengandalkan penggunaan hidayah indera, maka natijah ijtihad di atas hanya
aplikabel sejauh indera penglihatan dapat bekerja dengan baik, yaitu di kala kondisi
langit normal. Bila tidak, misalnya pada waktu langit terselimuti polusi
cahaya, debu, asap, kabut, awan atau lainnya, maka natijah ijtihad para fukaha di
atas menjadi tidak lagi aplikabel karena kerja indera terganggu oleh faktor
lain.
Keadaan seperti ini tentu menyulitkan para mukallaf dalam
mengetahui batas-batas miqat. Karena itu diperlukan ijtihad lanjutan yang
natijahnya mengantar para mukallaf
untuk sampai pada pengetahuan tentang batas-batas miqat kendati observasi
atas fenomena alam yang menjadi acuannya (seperti sirnanya syafaq) terkendala
oleh kondisi langit yang tidak normal. Ijtihad lanjutan ini bekerja sepenuhnya di
ranah tathbiq al-ahkam dengan berbasiskan data observasional yang diolah.
Data tersebut diperoleh melalui
observasi
cermat, terukur, tercatat, dan berulang-ulang terhadap fenomena-fenomena kealaman yang
menjadi acuan batas-batas miqat tersebut. Setiap tren perubahan yang terjadi padanya dicatat
dan diidentifikasi. Hasil observasi itu kemudian dianalisis dengan kalkulasi
rasional matematis. Hasilnya diverifikasi ulang dengan observasi demi observasi
berikutnya sampai ditemukan natijah perhitungan (hisab) yang memenuhi kualifikasi
cermat atau akurat. Pemangku kompetensi yang relevan untuk mengampu kerja ijtihad
seperti ini tentu saja adalah para ilmuwan hisab astronomi (hussab, falakiyyun).
Hanya saja di ranah ma’rifah asl-ahkam, kalangan fukaha masih belum
bulat menerima penggunaan natijah ijtihad para ilmuwan hisab astronomi tersebut
sebagai pijakan amal. Mereka dalam hal ini masih memperdebatkan aspek legalitas/keabsahannya
secara hukum, lebih-lebih jika natijah ijtihad para ilmuwan hisab astronomi itu
berkenaan dengan taqwim/kalender ibadah.
Namun demikian, tidaklah seorang pun dapat menyangkal bahwa syara’ telah mempertalikan miqat
dengan fenomena-fenomena kealaman yang sangat kental bercorak astronomik. Hal
itu tercermin kuat dalam penentuan miqat (tawqit al-zaman wa al-makan)
yang sepenuhnya berbasiskan hubungan antar berbagai variabel posisi di Bumi dan
di Langit. Miqat kiblat berbasiskan hubungan antar posisi tempat di Bumi.
Miqat salat berbasiskan hubungan antara posisi tempat di Bumi dan posisi
Matahari. Miqat taqwim atau kalender berbasiskan hubungan antara
posisi tempat di Bumi dan posisi Bulan-Matahari.
Sebagai sumber hukum Islam yang paling otoritatif, al-Qur’an telah meletakkan
dasar-dasar yang diperlukan untuk impelementasi doktrin miqat yang bercorak
asrtonomik itu semenjak periode Mekah, yakni semenjak taklif syara’ yang
mempertalikan pelaksanaan perbuatan mukallaf dengan miqat belum disyariatkan.
Al-Qur’an menyampaikan dasar-dasar itu dalam kemasan pesan teologis yang tidak
saja menuntun dan menerangi perjalanan spiritual manusia, tetapi juga mendorong
dan mengapresiasi perkembangan intelektual serta kemajuan intelegensinya. Berikut ini sebagian dari
pesan-pesan teologis tersebut.
وَجَعَلْنَا
اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ آَيَتَيْنِ فَمَحَوْنَا آَيَةَ اللَّيْلِ وَجَعَلْنَا
آَيَةَ النَّهَارِ مُبْصِرَةً لِتَبْتَغُوا فَضْلاً مِنْ رَبِّكُمْ وَلِتَعْلَمُوا
عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ وَكُلَّ شَيْءٍ فَصَّلْنَاهُ تَفْصِيلاً (١۷/الإسرأ : ١۲)
Dan Kami
jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan
Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari karunia dari Tuhanmu,
dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan. Segala sesuatu telah
Kami terangkan dengan jelas.[1] (QS 17: al-Isra’
ayat 12)
خَلَقَ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِالْحَقِّ يُكَوِّرُ اللَّيْلَ عَلَى النَّهَارِ
وَيُكَوِّرُ النَّهَارَ عَلَى اللَّيْلِ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ
يَجْرِي لِأَجَلٍ مُسَمًّى أَلاَ هُوَ الْعَزِيزُ الْغَفَّارُ (٣٩/الزمر: ٥)
Dia
menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar; Dia menutupkan malam
atas siang dan menutupkan siang atas malam dan menundukkan matahari dan bulan,
masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Ingatlah Dia yang Maha
Perkasa lagi Maha Pengampun.[2] (QS 39: al-Zumar
ayat 5)
هُوَ الَّذِي
جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا
عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلَّا بِالْحَقِّ
يُفَصِّلُ الْآَيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (١٠/يونس : ٥)
Dialah yang
menjadikan Matahari bersinar dan Bulan bercahaya dan Dia menetapkan manzilah-manzilah
bagi perjalanan bulan supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan
(waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia
menjelaskan tanda-tanda (kebesaranNya) kepada orang-orang yang mengetahui.[3] (QS 10: Yunus
ayat 5)
وَآَيَةٌ
لَهُمُ اللَّيْلُ نَسْلَخُ مِنْهُ النَّهَارَ فَإِذَا هُمْ مُظْلِمُونَ ± وَالشَّمْسُ
تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ ± وَالْقَمَرَ
قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ ± لَا الشَّمْسُ
يَنْبَغِي لَهَا أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ
وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ (٣٦/يس : ٣۷-٤٠)
Dan suatu tanda (kekuasaan Allah
yang besar) bagi mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dari malam itu,
maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan, dan matahari beredar di
tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha
Mengetahui. Dan Bulan telah Kami tetapkan untuknya manzilah-manzilah sehingga kembalilah ia sebagai bentuk tandan yang
tua. Tidak mungkin bagi Matahari mendapatkan Bulan dan malam pun tidak dapat
mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.[4] (QS 36: Yasin
ayat 37-40)
الشَّمْسُ
وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ
(٥٥/الرحمان : ٥)
وَتَرَى الْجِبَالَ تَحْسَبُهَا
جَامِدَةً وَهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ صُنْعَ اللَّهِ الَّذِي أَتْقَنَ كُلَّ
شَيْءٍ إِنَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَفْعَلُونَ (۲۷/النمل : ٨٨)
Dan kamu
lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap diam di tempatnya, padahal dia
berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan
kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.[6] (QS 27: al-Naml
ayat 88)
Pesan-pesan Mekah yang
terangkum dalam ayat-ayat al-Qur’an di atas berbicara mengenai berbagai hal
seputar fenomena ruang angkasa, suatu kawasan yang sekarang dikenal menjadi
lahan perhatian disiplin fisika astronomi. Terasa sekali bahwa hal-hal yang
dibicarakan oleh pesan-pesan ilahiyah tersebut levelnya berada di luar
jangkauan nalar masyarakat Arab yang —pada waktu itu— masih ummi (buta
tulis-hitung) sehingga pesan-pesan tersebut dapat dikatakan ”melampaui
zamannya”.
Mengenai siang dan malam,
misalnya, ungkapan ”Dia menutupkan (يكور) malam atas siang dan menutupkan
siang atas malam” —di mana يكور bermakna يدير (memutar)— menggambarkan
fenomena pergeseran malam dan siang di permukaan Bumi dengan pola melingkar:
malam menutup kawasan-kawasan yang tadinya mengalami siang dan sebaliknya siang
menutup kawasan-kawasan yang tadinya mengalami malam. Ini adalah isyarat
tentang bulatnya bentuk planet Bumi.
Mengenai planet Bumi, pesan di
atas menyajikan ilustrasi ”kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia
tetap diam di tempatnya, padahal dia berjalan sebagai jalannya awan”.
Dengan mengilustrasikan gunung-gunung —bagian dari Bumi yang paling mudah
dipersepsi diam— berjalan seperti awan, pesan tersebut hendak mengisyaratkan
tentang fenomena gerak revolusi Bumi.[7]
Selanjutnya, ungkapan ”tidak
mungkin bagi Matahari mendapatkan Bulan” menunjukkan bahwa Bulan bergerak lebih
cepat daripada Matahari. Ungkapan ”Bulan telah Kami tetapkan untuknya manzilah-manzilah” menunjukkan bahwa
posisi-posisi Bulan itu sudah tertentu kadar atau ukurannya. Ungkapan bahwa ”Matahari
dan bulan (beredar) menurut perhitungan” menunjukkan adanya faktor rekayasa
perhitungan di balik fenomena pergerakan kedua benda langit tersebut.
Hal-hal yang dibicarakan dalam
pesan-pesan teologis di atas dibuhul dengan simpul iradah Sang Khaliq,لتعلموا
عدد السنين والحساب , yaitu agar kamu sekalian mempunyai
pengetahuan mengenai “bilangan tahun” (miqat taqwim) dan menguasai ilmu
“perhitungan” (hisab).
Sejalan dengan ini al-Qur’an
mendorong manusia untuk menyelidiki segala apa yang ada di sekelilingnya. Surat
(10) Yunus ayat 101 menggariskan perintah:
... انظروا ماذا في السموات والأرض (”... Perhatikan apa yang ada di langit dan
di bumi.”)[8] Ahmad
Baiquni menerjemahkan perintah "انظروا" dengan
”periksalah dengan intizar” atau dengan mengaktifkan nalar karena
menurutnya perintah itu tidaklah dimaksudkan untuk sekedar melihat obyek dengan
pikiran kosong, melainkan dengan perhatian pada kebesaran dan kekuasaan Tuhan,
dan pada makna dari gejala-gejala yang diamati itu. Hal ini menjadi lebih jelas
manakala dihubungkan dengan teguran-teguran al-Qur’an dalam surat (88) al-Ghasyiyah
ayat 17-20:[9] ”Maka
apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana dia diciptakan; dan langit,
bagaimana ia ditinggikan; dan gunung-gunung, bagaimana ia ditegakkan; dan bumi,
bagaimana ia dihamparkan.”[10]
Perintah dan teguran al-Qur’an tersebut tidak dapat diartikan lain
kecuali bahwa semua itu adalah cerminan yang sangat jelas dari kehendak dan
bimbingan Sang Khaliq supaya manusia memahami hukum-hukum yang dibentangkanNya
di alam semesta. Pemahaman atas hukum yang mengatur alam semesta itu penting bagi
manusia bukan hanya agar ia dapat menghayati kebesaran dan kekuasaanNya, melainkan
juga sebagai syarat untuk dapat mengemban tugas sebagai khalifahNya di Bumi
dengan maksimal dan bertanggungjawab.
Untuk tanggungjawab mengelola alam, manusia —tidak dapat tidak— memang
harus mengenal hukum-hukum yang mengikat dan mengatur kelakukan alam itu dengan
sebaik-baiknya. Untuk menuju ke sana manusia harus melakukan pengamatan
(observasi) terhadap alam dan mengolah (menalar) gejala-gejala yang diperoleh
dalam pengamatan itu dengan kekuatan intelektual dan spiritualnya.
Dengan memilih manusia sebagai khalifahNya, Allah SWT telah menganugerahkan
kepada manusia status spiritual tertinggi dan mempercayakan padanya suatu misi
suci. Manusia mengemban misi untuk menjadi wakil Allah dan mencerminkan
kualitas-kualitasNya di Bumi, dan ini merupakan sifat utama paling penting yang
dimiliki manusia di antara segala makhluk yang diciptakanNya. Sifat kesucian
khas yang dikaruniakan kepada makhluk Bumi ini membuat para malaikat bertanya
apakah Allah akan menciptakan makhluk pembuat kerusakan dan penumpah darah?
Allah menjawab bahwa Ia mengetahui apa yang tidak mereka ketahui. Selanjutnya
Allah menunjukkan kepada para malaikat
keunggulan makhluk Bumi ini, yakni kemampuannya untuk mengemban ilmu
pengetahuan. Manusia diajariNya nama-nama, lalu malaikat diujiNya dengan
disuruh menyebutkan nama-nama itu. Malaikat tidak mengetahui nama-nama itu,
sedangkan manusia dapat menyebutkannya secara tepat. Allah menyuruh malaikat untuk
sujud hormat kepada manusia, dan mereka pun kemudian sujud. Kisah di awal
penciptaan ini membersitkan makna bahwa keluhuran esensial manusia sebagai
khalifah Allah di Bumi terletak pada aktualisasinya sebagai makhluk yang
berperadaban ilmiah.[11]
Di sinilah perintah, teguran, dan bimbingan Allah agar manusia
memperhatikan —dalam kerangka memahami— alam bertaut dengan iradah ilahiyah
yang tercermin di balik penobatannya sebagai khalifah di Bumi. Dari perspektif
ini ijtihad miqat yang bercorak astronomik itu mestilah diletakkan
sebagai bagian dari aktualisasi tugas kekhilafahan, yakni tugas mencerminkan
kualitas yang selaras dengan kehendak teologis Sang Khaliq, antara lain, dengan
menjadi makhlukNya yang berperadaban ilmiah.
Begitulah, misi ideal untuk membangun peradaban ilmiah itu sudah dicanangkan
al-Qur’an semenjak dini, yakni di kala masyarakat Mekah yang pertama kali dijamahnya
pada abad ketujuh masehi itu kondisinya masih ”jauh panggang dari api”. Bahkan
hingga memasuki periode Madinah pun, kondisi mereka tidak banyak berubah. Menulis
dan menghitung dalam kehidupan mereka masih menjadi ”barang langka”. Padahal,
keduanya merupakan elemen dasar yang sangat urgen dalam peradaban ilmiah yang
diidealkan al-Qur’an.
Ketika pada periode Madinah muncul taklif syara’ yang
mempertalikan pelaksanaan sejumlah perbuatan mukallaf dengan aspek miqat,
Nabi SAW membuat positioning keadaan sebagai berikut:
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ
لاَ نَحْسُبُ وَلاَ نَكْتُبُ، اَلشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَعَقَدَ
الْإِبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ وَالشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي
تَمَامَ ثَلاَثِينَ [12]
”Sungguh kita adalah umat yang ummi
(buta huruf). Kita tidak bisa menulis dan tidak bisa
menghitung.[13] Satu bulan
itu sekian, sekian, dan sekian,” beliau menekuk ibu jari pada yang ketiga, ”dan
satu bulan itu sekian, sekian, dan sekian”, yakni sempurna tiga puluh hari.
Sebagai pemangku al-Qur’an, Nabi SAW tentu menyadari benar apa yang
menjadi kehendak Sang Khaliq mengenai miqat dan impelementasinya.
Namun kondisi aktual umat Nabi SAW di awal kerasulan itu memang masih amat kuat
dililit oleh belenggu keummian. Dalam konteks kondisi seperti ini kehendak yang
tersimpul dalam firman Sang Khaliq,لتعلموا
عدد السنين والحساب , menjadi
begitu jauh dari jangkauan.
Kesenjangan tersebut tergambar dengan fair dalam positioning
keadaan yang dibuat oleh Nabi SAW di atas, yaitu kesenjangan antara ”realitas ketidakmampuan
menghisab” dan ”idealitas implementasi miqat taqwim berbasis pendekatan
hisab”. Karena itu substansi penting dari positioning yang dibuat
oleh Nabi SAW itu adalah penyadaran bahwa realitas aktual umat kala itu dalam
kaitannya dengan implementasi miqat adalah sungguh masih jauh dari kualifikasi
ideal.
Di tengah belenggu keummian, umat memang tidak akan dapat berbuat —dan
bahkan tidak punya pilihan— lain untuk bisa mendeteksi batas-batas miqat
kecuali mengobservasi atau merukyat langsung fenomena alam yang menjadi acuannya.
Nabi SAW pun lalu mengeluarkan instruksi yang selaras dengan positioning
yang dibuatnya sendiri mengenai kemampuan mereka, yaitu agar mereka menyusun taqwim
berdasarkan hasil observasi (rukyat). Bersamaan dengan itu beliau instruksikan
pula agar mereka menghindari spekulasi. Beliau menyuruh menggenapkan saja umur bulan yang
sedang berjalan menjadi 30 hari bilamana rukyat terkendala awan.
Maksud arahan-arahan Nabi SAW seputar implementasi miqat di awal
perjalanan itu dapat dirangkum dalam rumusan pemaknaan sebagai berikut: Satu
bulan itu umurnya kadang 29 hari, kadang 30 hari. Acuan penentu siklus bulan ialah
kemunculan hilal. Berhubung Bulan dan Matahari beredar dengan perhitungan dan
posisi-posisinya terukur, maka moment kemunculan hilal pada dasarnya bisa
diketahui dengan perhitungan (hisab). Namun kita ini masih ummi, belum punya
kemampuan yang memadai di bidang tulis-menulis dan perhitungan. Karena itu
untuk mendeteksi kemunculan hilal, kita tidak bisa melakukan cara lain kecuali
merukyat (mengobservasi) Bulan secara langsung. Jika kita melihat kemunculan
hilal, berarti siklus bulan baru telah dimulai. Jika tidak, misalnya karena
pandangan kita terhalang awan, maka janganlah kita berspekulasi untuk menetapkan
bahwa siklus bulan baru telah dimulai. Kita genapkan saja hitungan umur bulan
yang sedang berjalan menjadi 30 hari (istikmal), dan kita tetapkan bahwa siklus bulan baru akan dimulai pada
petang hari esoknya.
Dengan demikian, sejauh berkenaan dengan cara mengetahui batas-batas miqat,
tidak ada satu pun instruksi Nabi SAW yang relevan untuk dibawa kepada makna
yang mengarah pada penggunaan metode hisab atau perhitungan astronomi. Kendati begitu,
sekali lagi, instruksi-instruksi Nabi SAW itu mesti diletakkan tidak di ujung
perjalanan (sebagai sesuatu yang sudah final), melainkan justeru starting
point dari suatu perkembangan bertahap menuju keadaan yang diidealkan
al-Qur’an, yakni implementasi miqat dengan pendekatan perhitungan (hisab
astronomi).
Dari perspektif disiplin fisika astronomi, arahan-arahan Nabi SAW di awal
perjalanan tersebut sungguh telah berada pada track yang benar. Fisika
adalah bangunan ilmu yang tegak di atas data pengamatan (rukyat) yang kemudian dianalisis
secara kritis lalu disimpulkan secara rasional. Dalam fisika tidak ada tempat bagi spekulasi
karena semua pernyataan harus didukung oleh pembuktian observasional (rukyat)
atau eksperimental, atau secara tidak langsung dapat ditunjukkan kebenarannya
secara matematis.[14]
Dari pernyataan yang didukung oleh pembuktian observasional (rukyat) sampai
ke natijah yang kebenarannya ditunjukkan secara matematik (hisab) tersebut terdapat empat rangkaian
kegiatan yang merupakan unsur-unsur pokok dalam fisika, yaitu 1) observasi (rukyat)
itu sendiri, 2) kuantifikasi (pengukuran), 3) analisis, dan 4) kesimpulan.
Observasi dilakukan terhadap bagian alam yang ingin diketahui sifat dan
kelakuannya. Unsur ini tidak dapat digantikan dengan pengkhayalan kecuali bila
didukung oleh hasil perhitungan matematik yang dijabarkan dari
kelakuan-kelakuan alam lainnya yang telah diketahui. Kuantifikasi ialah
pengukuran secara kuantitatif, bukan kualitatif. Besaran yang dapat diukur
dinamakan Besaran Fisis. Kalau dalam suatu proses alamiah terdapat banyak besaran
fisis yang tampil berhubungan satu sama lain, maka hubungan antar
besaran-besaran fisis itu dapat dirumuskan dalam bentuk matematik. Data yang
terkumpul dari berbagai pengukuran atas besaran-besaran fisis yang terlibat itu
kemudian dianalisis dengan pemikiran yang kritis, lalu dievaluasi
hasil-hasilnya dengan penalaran yang sehat untuk mencapai kesimpulan yang
rasional.[15]
Empat rangkaian kegiatan di atas adalah gambaran kerja ilmiah (ijtihad) para
fisikawan astronomi (falakiyyun) untuk, antara lain, kebutuhan penentuan
secara kuantitatif ruang dan waktu (tawqit al-makan wa al-zaman). Jadi,
mereka memulai kerja ilmiahnya dengan rukyat (observasi) sebagaimana arahan
Nabi SAW kepada kaum muslimin angkatan pertama (para sahabat). Namun karena
tidak lagi dibelenggu oleh kondisi ummi, rukyat atau observasi mereka tidak sekedar
berorientasi pada lita’lamu adad al-sinin (supaya kamu sekalian
mengetahui bilangan tahun), melainkan ditingkatkan hingga ke tahap wa
(lita’lamu) al-hisab (dan supaya kamu sekalian mengetahui
hisab atau perhitungan tahun) sebagaimana yang diidealkan al-Qur’an.
Pada tahap lanjut ini rukyat dilakukan tidak sebatas untuk mengetahui
terbenam/tidaknya Matahari atau muncul/tidaknya hilal, tetapi lebih jauh dari dari
itu, di antaranya untuk memahami hukum Allah (sunnatullah) yang mengikat pergerakan
benda-benda langit dari sisi ruang dan waktu (miqat). Dengan memahami hukum
Allah yang mengatur kelakukan benda-benda langit, maka di posisi mana Matahari
akan terbenam dan sebelah mana Hilal akan muncul serta kapan waktunya akan bisa
diketahui melalui perhitungan tanpa perlu bergantung terus pada observasi
(rukyat) secara langsung. Bukankah benda-benda langit yang menjadi acuan miqat
tersebut, dirukyat atau tidak, akan selalu taat bergerak dan berada pada posisi
(manzilah) yang tepat sesuai dengan hukum Allah yang mengikat kelakuannya?
Melalui pintu pengenalan terhadap sunnatullah —yang menurut
penegasan al-Qur’an, kita tidak akan menemukan perubahan padanya— natijah kerja
ijtihad para ilmuwan hisab astronomi mengenai batas-batas miqat menjadi
bersifat preskriptif (bisa dihasilkan sebelum peristiwa alam yang menjadi acuan
miqat itu sendiri nyata terjadi) dan, dengan sendirinya, juga bersifat jangka
panjang. Dengan kata lain pedoman implementasi miqat bisa dibuat lebih
dahulu dalam bentuk jadwal miqat.
Bagi para mukallaf, beramal dengan berpedoman pada jadwal miqat
tentu terasa lebih memudahkan. Tentulah mudah dibayangkan bagaimana sulitnya bila setiap hari
mereka harus turun ke pantai atau naik ke bukit guna mendeteksi momen
terbenamnya Matahari dan terbitnya fajar demi bisa mendapatkan sunahnya
menyegerakan berbuka puasa dan mengakhirkan makan sahur. Belum lagi kalau mareka
harus kehilangan peluang tersebut karena langit berselimut mendung atau bahkan berhiaskan
hujan. Padahal al-Qur’an (al-Baqarah, 185) menegaskan, ”Allah
menghendaki kemudahan bagimu dan Ia tidak menghendaki kesulitan bagimu” (yuridu
bikum al-yusr wa la yuridu bikum al-’usr).
Implementasi miqat berbasis perhitungan (hisab astronomi) itu —dengan
demikian dan paling tidak— akan mengantar para mukallaf memasuki ruang aktualisasi
dua iradah ilahiyah (kehendak teologis) Sang Khaliq. Pertama, iradah agar
para mukallaf sebagai khalifahNya mencerminkan kualitas-kualitasNya di
Bumi. Di antara kualitasNya ialah al-Hasib (Yang Maha Menghitung). Syari’at
miqat yang digariskanNya bercorak astronomik itu adalah salah satu ruang
manifestasi bagi mereka untuk mencerminkan kualitas tersebut. Kedua, iradah
yang berkenaan dengan treatment
al-yusr (kemudahan) buat para mukallaf. Bila dalam implementasi miqat
yang bercorak astronomik itu mereka berhenti hanya pada pendayagunaan hidayah
indera (rukyat), maka paling jauh mereka hanya akan menjangkau bagian permukaan
dari treatment al-yusrNya itu. Namun jika mereka melanjutkannya dengan
mendayagunakan hidayah akal (hisab), niscaya mereka akan berlabuh dalam kawasan
inti treatment al-yusr yang menghadirkan bukan saja kelegaan dan kelapangan,
melainkan lebih-lebih adalah keluhuran harkat-martabat hamba berperadaban
ilmiah yang Ia banggakan di hadapan para malaikatNya. Demikianlah, wallahu
a’lam.
[10]Teks ayat:أفلا ينظرون إلى الإبل
كيف خلقت وإلى السماء كيف رفعت وإلى الجبال كيف نصبت وإلى ألأرض كيف سطحت Baca: Yayasan
Penyelenggara Penterjemah, Al-Quran,
h. 1055.
[11]Baca: al-Qur’an surat (2) al-Baqarah
ayat 30-34; Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim, diterjemahkan
dari edisi bahasa Inggris, Man and Islam, oleh: M. Amin Rais
(Yogyakarta: Shalahuddin Press, t.t.), h. 6-9.
[12]Hadis ini bersumber dari—atau
dituturkan oleh—’Abdullah ibn ’Umar. Lihat Muslim, S{ah}i>h}
Muslim, Juz 1 (Bandung: Dahlan, t.t.), h. 437.
[13]Maksudnya: Sesungguhnya kita,
segenap orang Arab, adalah umat yang buta huruf. Kita tidak punya pengetahuan
tentang tulis-menulis (pernyataan ini tidak menafikan kenyataan adanya sebagian
dari mereka yang bisa menulis, seperti Abdullah ibn ‘Amr, Mu’awiyah, ’Ali, dan
Zayd ibn Tha>bit) dan tidak mempunyai pengetahuan tentang perhitungan
bintang dan lintasannya. Atau maksudnya adalah, kita tidak bisa menulis dan
menghitung dengan baik. Lihat: Mans}u>r ’Ali Na>s}if, at-Ta>j
al-Ja>mi’ li al-Us{u>l, Juz 2 (Beirut: Da>r al-Fikr,
1406 H./1986 M.), h. 54; ’Ali ibn Sult}a>n Muh}ammad al-Qa>ri>, Mirqa>t
al-Mafa>ti>h}, Juz 4 (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.),
h. 465.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar