Senin, 26 Mei 2014

Kedudukan Ilmu Falak DALAM FIKIH ISLAM ( Pak Dr. Salam Nawawi )

Kedudukan Ilmu Falak
DALAM FIKIH ISLAM
Dalam kajian tentang miqat, para fukaha mengambil porsi kerja ijtihad pada ranah ma’rifah al-ahkam. Orientasi ijtihad mereka adalah mashadir al-ahkam, yakni dalil-dalil syara’, dalam rangka mendapatkan pengetahuan mengenai ihwal hukum miqat yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala sebagai Syari’ (Pembuat Syara’). Ijtihad jumhur fukaha mengenai miqat salat Isya’, misalnya, menghasilkan natijah bahwa awal waktu salat Isya’ menurut ketentuan hukum syara’ tiba bersamaan dengan sirna/hilangnya mega merah (al-syafaq al-ahmar) di latar langit ufuk barat.
Natijah ijtihad tersebut pada dasarnya dapat langsung dipedomani oleh para mukallaf di ranah tathbiq al-ahkam. Hanya saja karena implementasinya murni berbasiskan data observasional (ru’yah bi al-fi’l) yang masih mentah (tidak diolah) dalam arti bahwa untuk mengetahui momen hilangnya mega merah itu hanya mengandalkan penggunaan hidayah indera, maka natijah ijtihad di atas hanya aplikabel sejauh indera penglihatan dapat bekerja dengan baik, yaitu di kala kondisi langit normal. Bila tidak, misalnya pada waktu langit terselimuti polusi cahaya, debu, asap, kabut, awan atau lainnya, maka natijah ijtihad para fukaha di atas menjadi tidak lagi aplikabel karena kerja indera terganggu oleh faktor lain.
Keadaan seperti ini tentu menyulitkan para mukallaf dalam mengetahui batas-batas miqat. Karena itu diperlukan ijtihad lanjutan yang natijahnya mengantar para mukallaf untuk sampai pada pengetahuan tentang batas-batas miqat kendati observasi atas fenomena alam yang menjadi acuannya (seperti sirnanya syafaq) terkendala oleh kondisi langit yang tidak normal. Ijtihad lanjutan ini bekerja sepenuhnya di ranah tathbiq al-ahkam dengan berbasiskan data observasional yang diolah. Data tersebut diperoleh melalui observasi cermat, terukur, tercatat, dan berulang-ulang terhadap fenomena-fenomena kealaman yang menjadi acuan batas-batas miqat tersebut. Setiap tren perubahan yang terjadi padanya dicatat dan diidentifikasi. Hasil observasi itu kemudian dianalisis dengan kalkulasi rasional matematis. Hasilnya diverifikasi ulang dengan observasi demi observasi berikutnya sampai ditemukan natijah perhitungan (hisab) yang memenuhi kualifikasi cermat atau akurat. Pemangku kompetensi yang relevan untuk mengampu kerja ijtihad seperti ini tentu saja adalah para ilmuwan hisab astronomi (hussab, falakiyyun).
Hanya saja di ranah ma’rifah asl-ahkam, kalangan fukaha masih belum bulat menerima penggunaan natijah ijtihad para ilmuwan hisab astronomi tersebut sebagai pijakan amal. Mereka dalam hal ini masih memperdebatkan aspek legalitas/keabsahannya secara hukum, lebih-lebih jika natijah ijtihad para ilmuwan hisab astronomi itu berkenaan dengan taqwim/kalender ibadah.
Namun demikian, tidaklah seorang pun dapat menyangkal bahwa syara’ telah mempertalikan miqat dengan fenomena-fenomena kealaman yang sangat kental bercorak astronomik. Hal itu tercermin kuat dalam penentuan miqat (tawqit al-zaman wa al-makan) yang sepenuhnya berbasiskan hubungan antar berbagai variabel posisi di Bumi dan di Langit. Miqat kiblat berbasiskan hubungan antar posisi tempat di Bumi. Miqat salat berbasiskan hubungan antara posisi tempat di Bumi dan posisi Matahari. Miqat taqwim atau kalender berbasiskan hubungan antara posisi tempat di Bumi dan posisi Bulan-Matahari.
Sebagai sumber hukum Islam yang paling otoritatif, al-Qur’an telah meletakkan dasar-dasar yang diperlukan untuk impelementasi doktrin miqat yang bercorak asrtonomik itu semenjak periode Mekah, yakni semenjak taklif syara’ yang mempertalikan pelaksanaan perbuatan mukallaf dengan miqat belum disyariatkan. Al-Qur’an menyampaikan dasar-dasar itu dalam kemasan pesan teologis yang tidak saja menuntun dan menerangi perjalanan spiritual manusia, tetapi juga mendorong dan mengapresiasi perkembangan intelektual serta kemajuan intelegensinya. Berikut ini sebagian dari pesan-pesan teologis tersebut.
وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ آَيَتَيْنِ فَمَحَوْنَا آَيَةَ اللَّيْلِ وَجَعَلْنَا آَيَةَ النَّهَارِ مُبْصِرَةً لِتَبْتَغُوا فَضْلاً مِنْ رَبِّكُمْ وَلِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ وَكُلَّ شَيْءٍ فَصَّلْنَاهُ تَفْصِيلاً (١۷/الإسرأ : ١۲)
Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari karunia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan. Segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas.[1] (QS 17: al-Isra’ ayat 12)
خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِالْحَقِّ يُكَوِّرُ اللَّيْلَ عَلَى النَّهَارِ وَيُكَوِّرُ النَّهَارَ عَلَى اللَّيْلِ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ يَجْرِي لِأَجَلٍ مُسَمًّى أَلاَ هُوَ الْعَزِيزُ الْغَفَّارُ (٣٩/الزمر: ٥)
Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar; Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Ingatlah Dia yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.[2] (QS 39: al-Zumar ayat 5)
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلَّا بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الْآَيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (١٠/يونس : ٥) 
Dialah yang menjadikan Matahari bersinar dan Bulan bercahaya dan Dia menetapkan manzilah-manzilah bagi perjalanan bulan supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaranNya) kepada orang-orang yang mengetahui.[3] (QS 10: Yunus ayat 5)
وَآَيَةٌ لَهُمُ اللَّيْلُ نَسْلَخُ مِنْهُ النَّهَارَ فَإِذَا هُمْ مُظْلِمُونَ ± وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ ± وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ ± لَا الشَّمْسُ يَنْبَغِي لَهَا أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ (٣٦/يس : ٣۷-٤٠)
Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan, dan matahari beredar di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan Bulan telah Kami tetapkan untuknya manzilah-manzilah sehingga kembalilah ia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidak mungkin bagi Matahari mendapatkan Bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.[4] (QS 36: Yasin ayat 37-40)
الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ (٥٥/الرحمان : ٥)
”Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.”[5] (QS 55: al-Rahman ayat 5)
وَتَرَى الْجِبَالَ تَحْسَبُهَا جَامِدَةً وَهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ صُنْعَ اللَّهِ الَّذِي أَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ إِنَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَفْعَلُونَ (۲۷/النمل : ٨٨)
Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap diam di tempatnya, padahal dia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.[6] (QS 27: al-Naml ayat 88)
Pesan-pesan Mekah yang terangkum dalam ayat-ayat al-Qur’an di atas berbicara mengenai berbagai hal seputar fenomena ruang angkasa, suatu kawasan yang sekarang dikenal menjadi lahan perhatian disiplin fisika astronomi. Terasa sekali bahwa hal-hal yang dibicarakan oleh pesan-pesan ilahiyah tersebut levelnya berada di luar jangkauan nalar masyarakat Arab yang —pada waktu itu— masih ummi (buta tulis-hitung) sehingga pesan-pesan tersebut dapat dikatakan ”melampaui zamannya”.
Mengenai siang dan malam, misalnya, ungkapan ”Dia menutupkan (يكور) malam atas siang dan menutupkan siang atas malam” —di mana  يكور bermakna يدير (memutar)— menggambarkan fenomena pergeseran malam dan siang di permukaan Bumi dengan pola melingkar: malam menutup kawasan-kawasan yang tadinya mengalami siang dan sebaliknya siang menutup kawasan-kawasan yang tadinya mengalami malam. Ini adalah isyarat tentang bulatnya bentuk planet Bumi.
Mengenai planet Bumi, pesan di atas menyajikan ilustrasi ”kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap diam di tempatnya, padahal dia berjalan sebagai jalannya awan”. Dengan mengilustrasikan gunung-gunung —bagian dari Bumi yang paling mudah dipersepsi diam— berjalan seperti awan, pesan tersebut hendak mengisyaratkan tentang fenomena gerak revolusi Bumi.[7]
Selanjutnya, ungkapan ”tidak mungkin bagi Matahari mendapatkan Bulan” menunjukkan bahwa Bulan bergerak lebih cepat daripada Matahari. Ungkapan ”Bulan telah Kami tetapkan untuknya manzilah-manzilah” menunjukkan bahwa posisi-posisi Bulan itu sudah tertentu kadar atau ukurannya. Ungkapan bahwa ”Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan” menunjukkan adanya faktor rekayasa perhitungan di balik fenomena pergerakan kedua benda langit tersebut.
Hal-hal yang dibicarakan dalam pesan-pesan teologis di atas dibuhul dengan simpul iradah Sang Khaliq,لتعلموا عدد السنين والحساب  , yaitu agar kamu sekalian mempunyai pengetahuan mengenai “bilangan tahun” (miqat taqwim) dan menguasai ilmu “perhitungan” (hisab).
Sejalan dengan ini al-Qur’an mendorong manusia untuk menyelidiki segala apa yang ada di sekelilingnya. Surat (10) Yunus ayat 101 menggariskan perintah:  ... انظروا ماذا في السموات والأرض  (”... Perhatikan apa yang ada di langit dan di bumi.”)[8] Ahmad Baiquni menerjemahkan perintah "انظروا" dengan ”periksalah dengan intizar” atau dengan mengaktifkan nalar karena menurutnya perintah itu tidaklah dimaksudkan untuk sekedar melihat obyek dengan pikiran kosong, melainkan dengan perhatian pada kebesaran dan kekuasaan Tuhan, dan pada makna dari gejala-gejala yang diamati itu. Hal ini menjadi lebih jelas manakala dihubungkan dengan teguran-teguran al-Qur’an dalam surat (88) al-Ghasyiyah ayat 17-20:[9] ”Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana dia diciptakan; dan langit, bagaimana ia ditinggikan; dan gunung-gunung, bagaimana ia ditegakkan; dan bumi, bagaimana ia dihamparkan.”[10]
Perintah dan teguran al-Qur’an tersebut tidak dapat diartikan lain kecuali bahwa semua itu adalah cerminan yang sangat jelas dari kehendak dan bimbingan Sang Khaliq supaya manusia memahami hukum-hukum yang dibentangkanNya di alam semesta. Pemahaman atas hukum yang mengatur alam semesta itu penting bagi manusia bukan hanya agar ia dapat menghayati kebesaran dan kekuasaanNya, melainkan juga sebagai syarat untuk dapat mengemban tugas sebagai khalifahNya di Bumi dengan maksimal dan bertanggungjawab.
Untuk tanggungjawab mengelola alam, manusia —tidak dapat tidak— memang harus mengenal hukum-hukum yang mengikat dan mengatur kelakukan alam itu dengan sebaik-baiknya. Untuk menuju ke sana manusia harus melakukan pengamatan (observasi) terhadap alam dan mengolah (menalar) gejala-gejala yang diperoleh dalam pengamatan itu dengan kekuatan intelektual dan spiritualnya.
Dengan memilih manusia sebagai khalifahNya, Allah SWT telah menganugerahkan kepada manusia status spiritual tertinggi dan mempercayakan padanya suatu misi suci. Manusia mengemban misi untuk menjadi wakil Allah dan mencerminkan kualitas-kualitasNya di Bumi, dan ini merupakan sifat utama paling penting yang dimiliki manusia di antara segala makhluk yang diciptakanNya. Sifat kesucian khas yang dikaruniakan kepada makhluk Bumi ini membuat para malaikat bertanya apakah Allah akan menciptakan makhluk pembuat kerusakan dan penumpah darah? Allah menjawab bahwa Ia mengetahui apa yang tidak mereka ketahui. Selanjutnya Allah menunjukkan kepada para malaikat keunggulan makhluk Bumi ini, yakni kemampuannya untuk mengemban ilmu pengetahuan. Manusia diajariNya nama-nama, lalu malaikat diujiNya dengan disuruh menyebutkan nama-nama itu. Malaikat tidak mengetahui nama-nama itu, sedangkan manusia dapat menyebutkannya secara tepat. Allah menyuruh malaikat untuk sujud hormat kepada manusia, dan mereka pun kemudian sujud. Kisah di awal penciptaan ini membersitkan makna bahwa keluhuran esensial manusia sebagai khalifah Allah di Bumi terletak pada aktualisasinya sebagai makhluk yang berperadaban ilmiah.[11]
Di sinilah perintah, teguran, dan bimbingan Allah agar manusia memperhatikan —dalam kerangka memahami— alam bertaut dengan iradah ilahiyah yang tercermin di balik penobatannya sebagai khalifah di Bumi. Dari perspektif ini ijtihad miqat yang bercorak astronomik itu mestilah diletakkan sebagai bagian dari aktualisasi tugas kekhilafahan, yakni tugas mencerminkan kualitas yang selaras dengan kehendak teologis Sang Khaliq, antara lain, dengan menjadi makhlukNya yang berperadaban ilmiah.
Begitulah, misi ideal untuk membangun peradaban ilmiah itu sudah dicanangkan al-Qur’an semenjak dini, yakni di kala masyarakat Mekah yang pertama kali dijamahnya pada abad ketujuh masehi itu kondisinya masih ”jauh panggang dari api”. Bahkan hingga memasuki periode Madinah pun, kondisi mereka tidak banyak berubah. Menulis dan menghitung dalam kehidupan mereka masih menjadi ”barang langka”. Padahal, keduanya merupakan elemen dasar yang sangat urgen dalam peradaban ilmiah yang diidealkan al-Qur’an.
Ketika pada periode Madinah muncul taklif syara’ yang mempertalikan pelaksanaan sejumlah perbuatan mukallaf dengan aspek miqat, Nabi SAW membuat positioning keadaan sebagai berikut:
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَحْسُبُ وَلاَ نَكْتُبُ، اَلشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَعَقَدَ الْإِبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ وَالشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي تَمَامَ ثَلاَثِينَ [12]
”Sungguh kita adalah umat yang ummi (buta huruf). Kita tidak bisa menulis dan tidak bisa menghitung.[13] Satu bulan itu sekian, sekian, dan sekian,” beliau menekuk ibu jari pada yang ketiga, ”dan satu bulan itu sekian, sekian, dan sekian”, yakni sempurna tiga puluh hari.
Sebagai pemangku al-Qur’an, Nabi SAW tentu menyadari benar apa yang menjadi kehendak Sang Khaliq mengenai miqat dan impelementasinya. Namun kondisi aktual umat Nabi SAW di awal kerasulan itu memang masih amat kuat dililit oleh belenggu keummian. Dalam konteks kondisi seperti ini kehendak yang tersimpul dalam firman Sang Khaliq,لتعلموا عدد السنين والحساب  , menjadi begitu jauh dari jangkauan.
Kesenjangan tersebut tergambar dengan fair dalam positioning keadaan yang dibuat oleh Nabi SAW di atas, yaitu kesenjangan antara ”realitas ketidakmampuan menghisab” dan ”idealitas implementasi miqat taqwim berbasis pendekatan hisab”. Karena itu substansi penting dari positioning yang dibuat oleh Nabi SAW itu adalah penyadaran bahwa realitas aktual umat kala itu dalam kaitannya dengan implementasi miqat adalah sungguh masih jauh dari kualifikasi ideal.
Di tengah belenggu keummian, umat memang tidak akan dapat berbuat —dan bahkan tidak punya pilihan— lain untuk bisa mendeteksi batas-batas miqat kecuali mengobservasi atau merukyat langsung fenomena alam yang menjadi acuannya. Nabi SAW pun lalu mengeluarkan instruksi yang selaras dengan positioning yang dibuatnya sendiri mengenai kemampuan mereka, yaitu agar mereka menyusun taqwim berdasarkan hasil observasi (rukyat). Bersamaan dengan itu beliau instruksikan pula agar mereka menghindari spekulasi. Beliau menyuruh menggenapkan saja umur bulan yang sedang berjalan menjadi 30 hari bilamana rukyat terkendala awan.
Maksud arahan-arahan Nabi SAW seputar implementasi miqat di awal perjalanan itu dapat dirangkum dalam rumusan pemaknaan sebagai berikut: Satu bulan itu umurnya kadang 29 hari, kadang 30 hari. Acuan penentu siklus bulan ialah kemunculan hilal. Berhubung Bulan dan Matahari beredar dengan perhitungan dan posisi-posisinya terukur, maka moment kemunculan hilal pada dasarnya bisa diketahui dengan perhitungan (hisab). Namun kita ini masih ummi, belum punya kemampuan yang memadai di bidang tulis-menulis dan perhitungan. Karena itu untuk mendeteksi kemunculan hilal, kita tidak bisa melakukan cara lain kecuali merukyat (mengobservasi) Bulan secara langsung. Jika kita melihat kemunculan hilal, berarti siklus bulan baru telah dimulai. Jika tidak, misalnya karena pandangan kita terhalang awan, maka janganlah kita berspekulasi untuk menetapkan bahwa siklus bulan baru telah dimulai. Kita genapkan saja hitungan umur bulan yang sedang berjalan menjadi 30 hari (istikmal), dan kita tetapkan bahwa siklus bulan baru akan dimulai pada petang hari esoknya.
Dengan demikian, sejauh berkenaan dengan cara mengetahui batas-batas miqat, tidak ada satu pun instruksi Nabi SAW yang relevan untuk dibawa kepada makna yang mengarah pada penggunaan metode hisab atau perhitungan astronomi. Kendati begitu, sekali lagi, instruksi-instruksi Nabi SAW itu mesti diletakkan tidak di ujung perjalanan (sebagai sesuatu yang sudah final), melainkan justeru starting point dari suatu perkembangan bertahap menuju keadaan yang diidealkan al-Qur’an, yakni implementasi miqat dengan pendekatan perhitungan (hisab astronomi).
Dari perspektif disiplin fisika astronomi, arahan-arahan Nabi SAW di awal perjalanan tersebut sungguh telah berada pada track yang benar. Fisika adalah bangunan ilmu yang tegak di atas data pengamatan (rukyat) yang kemudian dianalisis secara kritis lalu disimpulkan secara rasional. Dalam fisika tidak ada tempat bagi spekulasi karena semua pernyataan harus didukung oleh pembuktian observasional (rukyat) atau eksperimental, atau secara tidak langsung dapat ditunjukkan kebenarannya secara matematis.[14]
Dari pernyataan yang didukung oleh pembuktian observasional (rukyat) sampai ke natijah yang kebenarannya ditunjukkan secara matematik (hisab) tersebut terdapat empat rangkaian kegiatan yang merupakan unsur-unsur pokok dalam fisika, yaitu 1) observasi (rukyat) itu sendiri, 2) kuantifikasi (pengukuran), 3) analisis, dan 4) kesimpulan.
Observasi dilakukan terhadap bagian alam yang ingin diketahui sifat dan kelakuannya. Unsur ini tidak dapat digantikan dengan pengkhayalan kecuali bila didukung oleh hasil perhitungan matematik yang dijabarkan dari kelakuan-kelakuan alam lainnya yang telah diketahui. Kuantifikasi ialah pengukuran secara kuantitatif, bukan kualitatif. Besaran yang dapat diukur dinamakan Besaran Fisis. Kalau dalam suatu proses alamiah terdapat banyak besaran fisis yang tampil berhubungan satu sama lain, maka hubungan antar besaran-besaran fisis itu dapat dirumuskan dalam bentuk matematik. Data yang terkumpul dari berbagai pengukuran atas besaran-besaran fisis yang terlibat itu kemudian dianalisis dengan pemikiran yang kritis, lalu dievaluasi hasil-hasilnya dengan penalaran yang sehat untuk mencapai kesimpulan yang rasional.[15]
Empat rangkaian kegiatan di atas adalah gambaran kerja ilmiah (ijtihad) para fisikawan astronomi (falakiyyun) untuk, antara lain, kebutuhan penentuan secara kuantitatif ruang dan waktu (tawqit al-makan wa al-zaman). Jadi, mereka memulai kerja ilmiahnya dengan rukyat (observasi) sebagaimana arahan Nabi SAW kepada kaum muslimin angkatan pertama (para sahabat). Namun karena tidak lagi dibelenggu oleh kondisi ummi, rukyat atau observasi mereka tidak sekedar berorientasi pada lita’lamu adad al-sinin (supaya kamu sekalian mengetahui bilangan tahun), melainkan ditingkatkan hingga ke tahap wa (lita’lamu) al-hisab (dan supaya kamu sekalian mengetahui hisab atau perhitungan tahun) sebagaimana yang diidealkan al-Qur’an.
Pada tahap lanjut ini rukyat dilakukan tidak sebatas untuk mengetahui terbenam/tidaknya Matahari atau muncul/tidaknya hilal, tetapi lebih jauh dari dari itu, di antaranya untuk memahami hukum Allah (sunnatullah) yang mengikat pergerakan benda-benda langit dari sisi ruang dan waktu (miqat). Dengan memahami hukum Allah yang mengatur kelakukan benda-benda langit, maka di posisi mana Matahari akan terbenam dan sebelah mana Hilal akan muncul serta kapan waktunya akan bisa diketahui melalui perhitungan tanpa perlu bergantung terus pada observasi (rukyat) secara langsung. Bukankah benda-benda langit yang menjadi acuan miqat tersebut, dirukyat atau tidak, akan selalu taat bergerak dan berada pada posisi (manzilah) yang tepat sesuai dengan hukum Allah yang mengikat kelakuannya?
Melalui pintu pengenalan terhadap sunnatullah —yang menurut penegasan al-Qur’an, kita tidak akan menemukan perubahan padanya— natijah kerja ijtihad para ilmuwan hisab astronomi mengenai batas-batas miqat menjadi bersifat preskriptif (bisa dihasilkan sebelum peristiwa alam yang menjadi acuan miqat itu sendiri nyata terjadi) dan, dengan sendirinya, juga bersifat jangka panjang. Dengan kata lain pedoman implementasi miqat bisa dibuat lebih dahulu dalam bentuk jadwal miqat.
Bagi para mukallaf, beramal dengan berpedoman pada jadwal miqat tentu terasa lebih memudahkan. Tentulah mudah dibayangkan bagaimana sulitnya bila setiap hari mereka harus turun ke pantai atau naik ke bukit guna mendeteksi momen terbenamnya Matahari dan terbitnya fajar demi bisa mendapatkan sunahnya menyegerakan berbuka puasa dan mengakhirkan makan sahur. Belum lagi kalau mareka harus kehilangan peluang tersebut karena langit berselimut mendung atau bahkan berhiaskan hujan. Padahal al-Qur’an (al-Baqarah, 185) menegaskan, ”Allah menghendaki kemudahan bagimu dan Ia tidak menghendaki kesulitan bagimu” (yuridu bikum al-yusr wa la yuridu bikum al-’usr).
Implementasi miqat berbasis perhitungan (hisab astronomi) itu —dengan demikian dan paling tidak— akan mengantar para mukallaf memasuki ruang aktualisasi dua iradah ilahiyah (kehendak teologis) Sang Khaliq. Pertama, iradah agar para mukallaf sebagai khalifahNya mencerminkan kualitas-kualitasNya di Bumi. Di antara kualitasNya ialah al-Hasib (Yang Maha Menghitung). Syari’at miqat yang digariskanNya bercorak astronomik itu adalah salah satu ruang manifestasi bagi mereka untuk mencerminkan kualitas tersebut. Kedua, iradah yang berkenaan dengan treatment al-yusr (kemudahan) buat para mukallaf. Bila dalam implementasi miqat yang bercorak astronomik itu mereka berhenti hanya pada pendayagunaan hidayah indera (rukyat), maka paling jauh mereka hanya akan menjangkau bagian permukaan dari treatment al-yusrNya itu. Namun jika mereka melanjutkannya dengan mendayagunakan hidayah akal (hisab), niscaya mereka akan berlabuh dalam kawasan inti treatment al-yusr yang menghadirkan bukan saja kelegaan dan kelapangan, melainkan lebih-lebih adalah keluhuran harkat-martabat hamba berperadaban ilmiah yang Ia banggakan di hadapan para malaikatNya. Demikianlah, wallahu a’lam.



[1]Ibid, h. 426.
[2]Ibid,  h. 745.
[3]Ibid,  h. 306.
[4] Ibid,  h. 710.
[5] Ibid, h. 885.
[6] Ibid, h. 605.
[7] Revolusi bumi ialah gerakan Bumi mengitari Matahari.
[8]Ibid, h. 322.
[9]Baiquni, “Filsafat Fisika”, Ulumul Qur’an, h. 4.
[10]Teks ayat:أفلا ينظرون إلى الإبل كيف خلقت وإلى السماء كيف رفعت وإلى الجبال كيف نصبت وإلى ألأرض كيف سطحت  Baca: Yayasan Penyelenggara Penterjemah, Al-Quran, h. 1055.
[11]Baca: al-Qur’an surat (2) al-Baqarah ayat 30-34; Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim, diterjemahkan dari edisi bahasa Inggris, Man and Islam, oleh: M. Amin Rais (Yogyakarta: Shalahuddin Press, t.t.), h. 6-9.
[12]Hadis ini bersumber dari—atau dituturkan oleh—’Abdullah ibn ’Umar. Lihat Muslim, S{ah}i>h} Muslim, Juz 1 (Bandung: Dahlan, t.t.), h. 437.
[13]Maksudnya: Sesungguhnya kita, segenap orang Arab, adalah umat yang buta huruf. Kita tidak punya pengetahuan tentang tulis-menulis (pernyataan ini tidak menafikan kenyataan adanya sebagian dari mereka yang bisa menulis, seperti Abdullah ibn ‘Amr, Mu’awiyah, ’Ali, dan Zayd ibn Tha>bit) dan tidak mempunyai pengetahuan tentang perhitungan bintang dan lintasannya. Atau maksudnya adalah, kita tidak bisa menulis dan menghitung dengan baik. Lihat: Mans}u>r ’Ali Na>s}if, at-Ta>j al-Ja>mi’ li al-Us{u>l, Juz 2 (Beirut: Da>r al-Fikr, 1406 H./1986 M.), h. 54; ’Ali ibn Sult}a>n Muh}ammad al-Qa>ri>, Mirqa>t al-Mafa>ti>h}, Juz 4 (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.), h. 465.
[14]Baiquni, “Filsafat Fisika”, Ulumul Qur’an, h. 4.
[15]Ibid, h. 5-6.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar