MASLAHAH AL MURSALAH DALAM PANDANGAN AT-THUFI
Oleh : Dedi Romli Tri Putra
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu
ushul fiqih memiliki peranan yang sangat penting dalam dunia islam. Ia
merupakan ibu dari segala ilmu, khususnya ilmu fiqh. Ilmu ushul fiqh menjadi
dasar dalam istinbath hukum/dasar pengambilan hukum. Pengetahuan mengani ushul
fiqh sangat perlu untuk dikaji dan dipahami oleh kalangan umat islam terutama
kalangan mahasiswa sperti kita agar dapat memahami secara lebih detail mengenai
pembelaran ushul fiqh. Karena pada umumnya kalangan islam telah memahami ilmu
fiqh tanpa banyak memperbincangkan asal istinbath hukumnya.
Pembahasan dalam ilmu ushul fiqh
cukup banyak dan kompleks. Namun yang akan dibahas dalam makalah ini adalah
mengenai salah satu metode istidlal, yaitu tentang maslahah al mursalah menurut
konsep Najamuddin at- Thufi.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan al maslahah al mursalah ?
2.
Siapakah Najamuddin al-thufi ?
3.
Bagaimana konsep pemikiran Najamuddin at –Thufi tentang al maslahah al mursalah
?
C. Tujuan
1.
Menjelaksan pengertian al maslahah al mursalah.
2.
Mengemukakan biografi Najamuddin at– Thufi.
3.
Menjelaskan konsep pemikiran Najamuddin at–Thufi tentang al maslahah al
mursalah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al Maslahah Al
Mursalah
Dari
segi bahasa, al maslahah adalah seperti lafadz al-manfa’at, ash-shalah dan
al-na’fu, artinya adanya manfaat baik secara asal maupun melalui suatu proses,
seperti menghasilkan kenikmatan dan faedah, ataupun pencegahan dan penjagaan,
seperti menjauhi kemadaratan dan penyakit.
Sedangkan
al mursalah artinya syara’ memutlakkannya bahwa di dalamnya tidak terdapat
kaidah syara’ yang menjadi penguatnya atau pembatalnya. Jadi al maslahah al
mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi
juga tidak ada pembatalnya. Tujuan utamanya adalah kemaslahatan : yakni
memelihara dari kemadorotan dan menjaga kemanfaatannya.
Dalam
sumber lain, disebutkan bahwa al maslahah al mursalah ialah suatu kebajikan
yang tidak disebut oleh syara’ untuk mengerjakan atau meninggalkannya, dan
kalau dikerjakan atau ditinggalkannya akan membawa manfaat dan menghindari
keburukan.
Al
maslahah al mursalah itu suatu penetapan hukum berdasarkan kepentingan umum
dimana Al-Qur’an dan as-sunnah tidak mengaturnya secara spesifik, yang membawa
manfaat atau menjauhi kerusakan umum (yang lebih besar).
Contoh
dalam perkara ini, misalnya ada orang mabuk mengamuk dengan membawa senjata api
dan menembakkannya dengan ngawur, maka demi meyelamatkan orang banyak, membekuk
orang itu diperbolehkan sekalipun berakibat fatal baginya (misalnya mati),
sebab keselamatan orang banyak harus didahulukan sekalipun syara’ tidak
menentukan ia boleh dibunuhnya. Al maslahah al mursalah juga kadang disebut
dengan Almunasib al mursal dan al istdlal al mursal.
B. Biografi Najmuddin at – Thufi
Najmuddin
at – Thufi nama lengkapnya Abu Al-Rabi Sulaiman bin Abdul Qawi bin Abdul Karim
bin Sa’id Al-Thufi tetapi lebih dikenal dengan nama Najmuddin at- Thufi. adalah seorang ahli fikih, ushul fikih dan
hadis dari kalangan Hanbali yang hidup pada abad ke -7 H dan awal abad ke – 8
H. Nama al-thufi yang diambil dari nama desa kelahirannya di daerah Sar-Sar
yang termasuk wilayah Baghdad, Irak.
Di
samping tokoh tersebut terkenal dengan nama at‑Tufi, juga populer dengan nama
Ibn Abu 'Abbas. At‑Tufi lahir diperkirakan pada tahun 657 H (1259 M) dan
meninggal pada tahun 716 H (1318 M). Berdasarkan keterangan ini, jelaslah bahwa
tokoh ini lahir setahun setelah serbuan pasukan Mongol ke kota Bagdad yang
dipimpin oleh Khulagu Khan pada tahun 1258 M.[13] Jatuhnya kota Bagdad oleh
serangan tentara Mongol tersebut merupakan peristiwa yang paling menentukan
dalam sejarah kaum muslimin,sebuah pertanda awal kehancuran kaum muslimin.
Jatuhnya Bagdad di atas dilukiskan sebagai seluruh dunia Islam gelap tak
berdaya. Tidak seorangpun yang dapat membayangkan bencana yang lebih dahsyat
daripada malapetaka ini. Akibatnya adalah integritas politik dunia Islam betul‑betul
berantakan.
Di
samping informasi bahwa tokoh yang menjadi obyek pembahasan tulisan ini hidup
dalam situasi integritas politik dunia Islam yang tercabik‑cabik, juga at‑Tufi
hidup dalam masa kemunduran Islam, terutama kemunduran hukum Islam. Fase
kemunduran hukum Islam berlangsung lama yaitu dari pertengahan abad keempat
Hijrah sampai akhir abad ketiga belas Hijrah. Pada fase tersebut para ulama
kurang berani berinisiatif untuk mencapai tingkatan mujtahid mutlak dan
menggali hukum‑hukum Islam langsung dari sumber‑sumbernya yang pokok, yaitu
Qur'an dan Sunnah, atau mencari hukum suatu persoalan melalui salah satu dalil
syara'. Mereka merasa cukup mengikuti pendapat‑pendapat yang ditinggalkan oleh
imam‑imam mujtahid sebelumnya, seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi'i dan Ahmad.
Berbagai faktor, baik politik, mental, sosial dan sebagainya telah mempengaruhi
kegiatan mereka dalam lapangan hukum, sehingga tidak mempunyai fikiran
independen, melainkan harus bertaklid.
Pendidikan
al-thufi dimulai di kota kelahirannya dengan belajar pada beberapa orang guru.
Iamenghafal kitab al-Mukhtasar al-Kharqi (Ringkasan buku al-Kharqi) dan
al-Luma’ (Karya Ibnu Jani, guru al-thufi) di bidang bahasa Arab. Ia juga
bolak-balik ke Sarsar untuk belajar fikih kepada Syekh Zainuddin Ali bin
Muhammad as-Sarsari, seorang fakih Hanbali yang dikenal dengan sebutan al-Bugi.
Pada tahun 691 H ia pindah ke Baghdad. Disana ia menghafal kitab al-Muharrar fi
al-Fiqh (buku pegangan mazhab Hanbali) dan mendiskusikannya dngan Syekh
Taqiyuddin az-Zarzirati.
Disamping
itu ia belajar bahasa Arab kepada Ali bin Abdillah bin Muhammad Al-Mausuli.
Belajar usul fiqih pada Nashr Al-Faruqi, serta belajar hadis kepada Rasyid bin
Al-Qasim, Ismail bin A-Tabbal, dan Abdur Rahman bin Sulaiman Al-Harani.
Kebanyakan gurunya bermazhab Hanbali dan karenanya tidak mengherankan jika ia
juga seorang pengikut mazhab Hanbali.
Disamping
ilmu-ilmu di atas, ia juga belajar ilmu mantik, ilmu faraid, dan ilmu al-fadal
(cara berdiskusi), sehingga ia mampu untuk mengemukakan pemikirannya secara
mandiri, tanpa harus terikat kepada mazhab. Dalam kaitan dengan ini, ketika
menyusun al-Akbar fi Qawa-id at-Tafsir, ia mengatakan bahwa buku tersebut
ditunjukan kepada mereka yang mau mengembangkan pemikiran untuk mencari
kebenaran, bukan kepada yang terikat oleh pendapat orang lain atau mencari
kebenaran melalui pendapat orang lain.
Hampir
semua sejarah yang mengupas riwayat hidup al-thufi melukiskan bahwa al-thufi
intelektual jenius yang gemar membaca dan menulis serta tergolong produktif
dalam dunia karya ilmiyah. Lebih dari itu ia adalah seorang liberalis dan
generalis yang karyanya terbias dalam berbagai disiplin ilmu. Banyaknya tempat
dan wilayah yang disinggahi Al-Thufi untuk menyerap ilmu dan ekspansi pemikirannya
turun mengkondisikan sosok intelektualitas yang tidak hanya terpuruk secara
spesifik pada satu disiplin ilmu.
Sebaliknya,
karya Al-Thufi dapat meliputi berbagai disiplin ilmu. Diantaranya, Ulum
Al-Qur’an , Ulum Al-Hadis, Fiqh, Usil Fiqh, Bahasa, Sastra dan bahkan ia
sebenarnya juga seorang penyair kondang pada zamannya. Dibandingkan
produktivitas pemikiran Islam semisal Al-Ghazali (W.505) dan Ibn Taimiyah
(W.728), Al-Tufi mungkin masih setingkat di bawahnya. Namun demikian, Ibn Rajab
menyebutkan angka tidak kurang dari 30 karya yang sempat dihasilkan Al-Tufi
semasa hidupnya. Angka tersebut sebenarnya dapat membengakak bila dihubungkan
dengan sumber-sumber kepustakaan yang lain sampai saat ini.
Al-Tufi
menonjol di bidang usul fiqih ketika ia membicarakan konsep kemaslahatan dalam
bukunya Syarah A-Arbain an-Nawawiyah. Kontroversi di bidang kemaslahatan inilah
yang membuat ia tetap diingat sampai sekarang. Menurutnya, ajaran yang
diturunkan Allah SWT melalui wahyu-Nya dan sunnah Rasulullah SAW pada intinya
adalah untuk kemaslahatan umat manusia. Oleh sebab itu, dalam segala persoalan
kehidupan manusia, prinsip yang dijadikan pertimbangan adalah kemaslahatan.
Apabila suatu pekerjaan mengandung kemaslahatan bagi manusia, maka pekerjaan
itu harus dilaksanakan.
Dalam
membahas konsep kemaslahatan ini, Al-Tufi berbeda sekali dengan ulama lain.
Pada dasarnya ulama mazab membagi kemaslahatan menjadi tiga bentuk, yaitu : (1)
maslahah mu’tabarah (kemaslahatan yang ditunjuk langsung oleh Al-Qur’an atau
sunnah Rasulullah SAW), (2) maslahah mulgah (kamslahatan yang bertentangan
dengan teks wahyu atau hadis ataupun ijma), (3) al-maslahah al-mursalah
(kemaslahatan yang tidak secara tegas ditentang oleh wahyu dan hadis). Tetapi
bagi At-Tufi pembagian tersebut tidak ada. Menurutnya karena tujuan syari’at
adalah kemaslahatan, maka segala bentuk kemaslahatan (di dukung atau tidak
didukung oleh teks suci) harus dicapai tanpa merinci seperti kebanyakan ulama
lain.
C. Teori Maslahah Al-Tufi
Term
‘maslahah’ merupakan kata kunci dalam upaya menfalsifikasi islam dari segi
pensyari’atan ajarannya. Asy-Syatibi (W.790 H), misalnya , dalam karyanya
Al-Muwafaqat menandaskan, “ Disyari’atkannya ajaran islam tak lain hanya untuk
memlihara kemaslahatan umat di dunia dan akhirat.”Ulama Usul Fiqih secara
sistematik, tidak mencapai kata sepakat dalam memberikan batasan dan definisi
tentang apa sebenarnya maslahah itu.
Tolok
ukur (mi’yar) manfaat maupun madarat, menurut Al-Ghazali (W.505 H), tidak dapat
dikembalikan pada penilaian manusia karena amat rentan akan pengaruh dorongan
nafsu insaniyyah. Sebaliknya harus dikembalikan pada kehendak syara’ (maqasaid
asy syar’i) yang pada hakikatnya bermuara pada dasar pemeliharaan yang lima
(al-mabadi’ al-khamsah) : pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal, pikiran,
keturunan dan harta benda. Maka segala hal yang mengandung unsur itu disebut
maslahah, sebaliknya semua yang dapat menafikannya bisa disebut mafsadah.
Al-Tufi
tampil beda dalam mengidentifikasi kedudukan maslahah dalam ajaran Islam.
Al-Tufi cenderung melandaskan konstelasi maslahah pada superioritas akal
pikiran manusia. Bagi Al-Tufi, visi akal lebih obyektif dalam memposisikan
kriteria maslahah ketimbang antagonisme nashh (teks ajaran) antara satu dengan
yang lainnya. Sekurang-kurangnya ada empat landasan ideal yang dijadikan
pijakan Al-Tufi dalam menelaah dan meletakkan dasar-dasar teori maslahah dalam
fiqih islam, yang notabene berbeda dengan jumhur ulama.
1.
Pertama, kebebasan akal manusia untuk menentukan kemaslahatan dan kemadaratan
di bidang muamalat duniawi. Implikasinya ialah penentuan kemaslahatan atau
kemadaratan di bidang muamalat cukup dilakukan dengan penataran manusia tanpa
didukung wahyu/hadis.
Menurut
Al-Tufi, akal sehat manusia saja cukup memiliki kompetensi menetukan apa itu maslahah
dan apa itu mafsadat (madarat). Hal ini tampak sekali membuat kontroversi cukup
menyolok dibandingkan pendapat para pakar syari’ah pada umumnya yang hanya
mengakui eksistensi maslahah yang beranjak dari prinsip nashh.
2.
Kedua, kemaslahatan tersebut merupakan dalil di luar teks suci (ayat/hadis).
Maslahah merupakan dalil msyar’i yang independen dalam batas pengertian bahwa
validitas kehujjahan maslahah tidak memiliki ketergantungan dengan nashh.
Sebaliknya keberadaan maslahah dapat ditunjukkan dengan membuktikan empirik
melalui hukum kebiasaan.
3.
Ketiga, objek penggunaan teori maslahah adalah hukum-hukum transaksi social
(mu’amalah) dan hukum-hukum kebiasaan (‘adah). Sebaliknya kajian maslahah,
menurut landasan ideal ini tidak dapat menjamah kesakralan ritus keagamaan
(ibadah mahdah).
Menurut
Al-Tufi, masalah-masalah ibadah murni merupakan hak yang maha kuasa semata,
sehingga tidak ada kesempatan bagi manusia untuk menguak muatan maslahahnya.
Sebaliknya apa yang mengangkut mu’amalah dan ‘adah Allah SWT mengkonsumsikan
sepenuhnya untuk kemaslahatan hamba-Nya. Karena itu, perangkat akal manusia
dapat mengimplementasikannya betapapun muatan maslahah yang terkandung di
dalamnya bersebrangan dengan nash.
Pada
dataran tertentu, penyikapan Al-Tufi dalam maslah ini memiliki segi persamaan
dengan ulama fiqh lainnya. Paling tidak, dalam menelaah maslahah mursalah, para
fuqaha memberi criteria yang kurang lebih sama dengan yang dikriteriakan
Al-Tufi. Sebagaimana ulama lain, Al-Tufi berpendapat bahwa maslahah ibdah
adalah milik Allah SWT.
4.
Keempat, kemaslahatan tersebut merupakan dalil syara’ yang paling kuat. At Tufi
tidak menetapkan bahwa kemaslahatan tersebut adalah dalil yang berdiri sendiri
dan merupakan dalil syara’ yang paling kuat. Sehingga jika ada pertentangan
teks wahyu atau hadits dengan kemaslahatan yang terkait denga persoalan
muamalat duniawi harus didahulukan kemaslahatan tersebut melalui jalan takhsis
atau bayan (pengkhususan atau penjelasan).
Keempat
pendapat ini tidak sejalan dengan pendapat mayoritas ulama udhul fiqh. Menurut
Al-Tufi, dasar syariat islam adalah kemaslahatan yang dapat dicapai melalui
akal (pemikiran). Hal ini menurutnya sesuai kandungan Qur’an dan Sunnah yang
mendorong manusia untuk menggunakan akal secara maksimal.
Teori maslahah al-Tufi yang ada kemungkinan menentang nashh yang
qat'i, juga diadopsi oleh Rashid Rida dan salah seorang cendikiawan modern,
Abid al-Jabiri. Lebih jauh al-Jabiri menjelaskan bahwa bila dalam kondisi
tertentu kemaslahatan bertentangan dengan teksteks
suci, maka para sahabat akan mengutamakan maslahah dan menundapelaksanaan statemen ekplisit dari teks yang hal seperti ni telah banyak dilakukan oleh Umar bin Khatab. Namun kemudian al-Jabiri menjelaskan bahwa sekalipun maslahah bisa didahulukan ketika bertentangan dengan teks atau shari'ah, namun bukan berarti hukum syari’ah harus berubah karena perubahan maslahah, hukum shariah tetap tegak karena ia bersifat ilahiah. Jadi disini masalahnya bukan pengabdian teks, melainkan sekedar penundaan dengan mencari sudut pandang lain dalam memahami dan metakwilkannya.
suci, maka para sahabat akan mengutamakan maslahah dan menundapelaksanaan statemen ekplisit dari teks yang hal seperti ni telah banyak dilakukan oleh Umar bin Khatab. Namun kemudian al-Jabiri menjelaskan bahwa sekalipun maslahah bisa didahulukan ketika bertentangan dengan teks atau shari'ah, namun bukan berarti hukum syari’ah harus berubah karena perubahan maslahah, hukum shariah tetap tegak karena ia bersifat ilahiah. Jadi disini masalahnya bukan pengabdian teks, melainkan sekedar penundaan dengan mencari sudut pandang lain dalam memahami dan metakwilkannya.
D. Back Ground Pemikiran Al-Tufi
Banyak
pakar sejarah yang mengupas sejarah hidup Al-Tufi sebagai intelektual jenius
yang gemar membaca dan menulis, ia tergolong produktif dalam berbagai disiplin
ilmu. Banyaknya wilayah dan tokoh ulama dari berbagai mazhab yang disinggahi
untuk menyerap ilmu dan ekspansi pemikirannya turut mengkondisikan sosok
intelektualitas liberal. Pandangan-pandangan radikalnya mengenai maslahah
sebagai dalil hukum yang mandiri lepas dari nash dan lebih mendahulukan
maslahah daripada nash dan ijma’ mengundang reaksi keras ulama konservatif,
sehingga banyak menilai ia bermazab Syiah. Penilaian ini tercermin dalam karya
Al-Tufi “Al-Azab al-Wasib Ala Arwah an Nawasib” yang berisikan sanggahan
terhadap orang –orang yang membenci Ali ra.
E. Peran dan Fungsi Akal sebagai
Sumber Hukum
Umumnya
pakar Syari’ah mengakui eksistensi maslahah masih dalam batas lingkaran syara’.
Al-Tufi tampil beda mengidentifikasi kedudukan maslahah pada seperioritas akal.
Visi akal lebih obyektif dalam memeposisikan criteria maslahah ketimbang
antagonisme nashh antara akal dan wahyu sejajar atau bahkan di atas nashh dalam
batas-batas tertentu. Dengan demikian fungsi dan peran akal dapat digunakan
dalam hal-hal yang tidak ada nashnya sama sekali, atau hal-hal yang tidak ada nashnya
tetapi dapat dikaitkan hukumnya dengan lafaz yang ada dalam nashh (tersirat).
Bahkan akal dapat digunakan dalam hal-hal yang sudah diatur dalam nash tetapi
penunjukannya terhadap hukum tidak secara pasti.
F. Akar Teologi Pemikiran Hukum
Al-Tufi
Bangunan
teori Al-Tufi yang menyatakan akal semata, tanpa harus melalui wahyu dapat
mengetahui kebaikan dan keburukan, konsekuensinya ia berpendapat maslahah
merupakan dalail Syar’i mandiri yang kehujjahannya tidak tergantung pada
kesaksian atau konfirmasi nashh, tetapi hanya bergantung pada akal semata.
Untuk menyatakan sesuatu itu maslahah atau madarat atas dasar adat istiadat dan
eksperimen, tanpa memerlukan petunjuk nash.
Sungguh
pun demikian, maslahah sebagai sumber hukum, menurut Al-Tufi tetap dibatasi
dalam bidang mu’amalat dan adat istiadat. Atas dasar argumen di atas, penulis
cenderung mengungkapkan bahwa akar teologis hukum Al-Tufi sejalan dengan
pandangan mu’tazilah, sungguhpun ia bermazhab Hanbali. Pandangan radikalnya
mengenai maslahah ini kadang dianggap Syiah memperkuat inkonsentensinya pada
faham ahli sunnah wal jamaah. Kitab Al-Azab Al-Washid Ala Arwah an Nawasib,
yang membela Ali ra dan menyerang orang yang membenci Ali ra, serta ungkapan
Al-Tufi sendiri yang mengisyaratkan pada dirinya terselip mazab Hanbali, Syi’iy
Rafidy memperkuat pandangan penulis. Paling tidak ketika menulis teorinya ia
bergumul dengan pemikiran teologi mu’tazilah.
G. Kritik Ulama terhadap Teori
Al-Tufi
Penulis
yang paling getol mengkategorikan Al-Tufi sebagai orang bermadzhab Syiah adalah
Ibnu Rajab Al-Baghdadiy (W. 795 H). Dalam bukunya, Ibnu Rajab menguak
inkonsistensi Al-Tufi terhadap paham ahlus sunnah wal jamaah. Idikasi
mensiratkan hal ini, paling tidak dapat tercermin dalam karya Al-Tufi Al-Azab
Al Wasib Ala Arwah An Nawasib sebuah kitab berisikan serangan terhadap
orang-orang yang membenci Ali RA. Selain itu, sisi lain yang menjadi pijakan
tuduhan Ibnu Rajab adalah ungkapan Al-Tufi sendiri yang menyiratkan bahwa pada
dirinya terselip madzhab Hanaliy, Syi’iy, Rafidiy, Dahiriy dan Asy’aryi.
Padahal hal ini tidak dibenarkan dalam Islam. Sewaktu dipenjara di Qaush,
sebenarnya terdapat tanda-tanda taubat pada diri Al-Tufi. Namun hal itu
dibantah oleh Ibnu Rajab yang menganggap hal itu tak lebih dari taqiyyah,
sebuah sikap pura-pura yang dalam madzhab Syi’ah dikenal sebagai upaya
menghindari hukuman duniawi.
Zahid al-Kautsari mengkritik
demikian :
Salah
satu metode mereka dalam upaya pengubahan syariah sesuai dengan hawa nafsu
mereka adalah menyatakan bahwa “prinsip dasar legislasi dalam masalah-masalah
yang berkaitan dengan mu’amalah diantara manusia adalah prinsip maslahah
tersebut harus diikuti.” Alangkah besarnya keburukan menyatakan pernyataan
seperti itu! Ini tak lain hanyalah suatu upaya untuk melanggar hukum Illahi
agar bisa atas nama maslahah kepada si pendosa ini, apa itu maslahah yang di
atasnya membukakan pintu keburukan. Orang pertama yang membukakan pintu
keburukan adalah Najm Al-Tufi Al-Hanbali. Tak seorang Muslim pun yang pernah
mengeluarkan pendapat seperti itu. Ini adalah bid’ah yang terang-terangan.
Barang siapa yang mendengarkan pembicaraan seperti itu, dia tak memperoleh ilmu
apapun tentang ilmu atau agama.
H. Ulama Yang Kontra
Terhadap Konsep Maslahah at-Tufi
Di antara
ulama yang kontra, konsep maslahah at-Tufi dapat disebutkan:
a. Zahid
al-Kausari
Salah satu metode dalam mengupayakan syari’at sesuai
dengan hawa nafsu adalah pernyatan at-Tufi bahwa prinsip dasar legislasi dalam
masalah-masalah yang berkaitan dengan mu’amalah antar manusia adalah prinsip
maslahah tersebut harus diikuti. Alangkah besarnya keburukan pernyataan seperti
itu. Ini tak lain hanyalah upaya untuk melanggar hukum Ilahi agar bisa-atas
nama maslahah- si pendosa (al-Fajr) ini, mampu merubah syari’at dengan membuka
pintu keburukan. Adalah Najmuddin at-Tufi al-Hambali, orang pertama yang
membukakan pintu keburukan. Tak seorang muslim pun yang pernah mengeluarkan
penyataan seperti itu. Ini adalah bid’ah yang terang-terangan. Barang siapa
yang mendengarkan pembicaraan seperti ini, dia tak memperolehilmu apapun
tentang ilmu agama.
b. Muhammad
Sa’id Ramdan al-Buti
Dalam kitab Dawabit al-Maslahah fi asy-Syari’ah al-Islamiyyah,
dalam pendahuluannya al-Buti menjelaskan bahwa kaum orientalis sebagai tentara
salib yang menyerang Islam telah melakukan tindakan untuk menghancurkan Islam.
mereka mendesak kaum muslimin untuk membuka ijtihad seluas-luasnya dan untuk
mencapai tujuan itu mereka merujuk pada konsep maslahah sebagai prinsip utama
syari’at. Al-Buti yakin bahwa motif mereka yang sebenarnya dibalik usulan
tersebut adalah untuk menghancurkan Islam. dia mengakui bahwa pintu
ijtihad belum pernah ditutup dan pembuat hukum telah memberikan pertimbangan
penuh pada prinsip maslahah, tetapi prinsip ini selamanya telah dibatasi dengan
sejumlah persyartan. Setelah melakukan analisis yang terperinci tentang
etimologi dan konsep maslahah, al-Buti menyimpulkan adanya
persyaratan-persyaratan yang dikemukakan oleh para yuris tradisional dalam
penerapan prinsip ini. Dia juga membandingakan prinsip inidengan konsep
lemnfaatan (utility) dan kenyamanan (pleasure) dalam filsafa
Stuart Mill dan J. Bentham. Pada gilirannya bahwa maslahah dalam pengertian
tanpa syarat adalah identik dengan konsep-konsep utility danpleasure yang
dipandang murni hedonistic. Konsep maslahah yang bersyarat adalah
jelas berbeda dengan konsep pleasure.Pertama, konsep
maslahah tidak terbatas hanya pada dunia ini saja, tetapi juga menjangakau ke
akhirat. Kedua, nilai agama mendominashi pertimbangan-pertimbangan
lain. Dengan demikian, apabila persyaratan diabaikan dan maslahah yang ingin
ditegakkan semata-mata sebagai pedoman dan kriteria, maka demi Allah, ijtihad
semacam ini akan membanjiri kaum muslimin dari segala penjuru. (untuk
membuktikan akibat-akibat yang mengerikan seperti itu dibukanya pintu ijtihad),
cukuplah diamati keburukan yang membawa hukum-hukum syari’at keluar dari
benteng nash, keterbukaan total, terbuka bagi hawa nafsu dan
pendapat yang semena-mena yang menipu (kita) dibalik nama maslahah dan manfaat.
c. ‘Abdul
Wahab Khalaf
‘Abdul Wahab Khalaf dalam kitabnya Masadir at-Tasyri’ fi Ma
La Nash fih mengomentari, bahwa at-Tufi yang
menggunakan maslahah mursalah secara mutlak baik ketika ada nash maupun
tidak ada nash, maka sesungguhnya ia sebagai orang yang membuka
pintu pnehancuran nash. Pada waktu yang sama ia menjadikan
hukum-hukum yang berdasarkan nashdan ijma’ itu dapat dinashakh
(dihapus) dengan hukum berdasarkan akal, lantaran maslahah secara mandiri
ditetapkan berdasarkan akal, maka mafsadahpun juga dapat ditetapkan
berdasarkan akal. Ini berati memungkinkan ketika terjadi ta’arud antara nash dan
ijma’ dengan maslahah; dimungkinkan untuk menghapuskan hukum-hukum nash dan
ijma’ dengan akal, adalah ancaman bagi hukum-hukum Ilahi dan hukum syara’ pada
umumnya. Pada waktu yang sama menyelamatkan hukum-hukum ibadah dan al-muqaddarat dari
pesan istislah di dalamnya. Dengan kata lain, bukan wewenang
maslahah untuk menenukan hukum ibadah dan al-muqaddarah.
Termasuk juga menyelamatkan hukum kulli yang disyari’atkan
untuk memelihara daruriyah maupun hajiyah dari
campur tangan maslahah karena hal demikian sudah menjadi kesepakatan yang paten
tentang kemaslahatanya. Dan juga tidak mungkin hukum-hukum juziyyah yang
ada nashnya yang sudah jelas ada maslahahnya, akan diukur lagi
dengan maslahah yang ditetapkan berdasarkan akal.
d. Ali
Hasabullah
Ali hasabullah menolak pemikiran at-Tufi dengan alasan
tidak mungkin terjadi pertentangan antara maslahah hakiki dengannash yang qat’i.
Apabila dirasa ada pertentangan antara maslahah dengan nash, harus
didahulukan maslahah yang hakiki atasnash dengan catatan apabila
maslahah itu bersifat daruriyat. Dan dimenangkan nash atas
maslahah apabila maslahah itumaslahah tahsiniyah.
Adapun maslahah hajiyah, maka lebih didekatkan
(dipertemukan) dengan maslahah daruriyahdaripada didekatkan
pada masalah tahsiniyah.
e. Muhammad
Yusuf Musa
Yusuf Musa menilai bahwa pandangan at-Tufi terkait dengan
maslahah adalah murni ijtihadnya, dan ia salah dalam hal ini, karena sungguhpun
maslahah adalah dalil syara’ yang hakiki, tetapi tetap dalam ruang
lingkup nash. Tidak seharusnya ruang gerak maslahah sampai dengan
mendahulukan maslahah atas nash apabila terjadi ta’arud,
karena hal demikian masuk klasifikasi menghapus (nashikh an-nash)
dengan maslahah, pada hal masa nashikh sudah lewat.
f. Husain
Hamid Hasan
Dalam kitabnya Nazariyah al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami setelah
menulis asas-asas maslahah at-Tufi, dalammunaqosahnya menyatakan batil
terhadap masalah batil tersendiri lepas dari nash dan maslahah
didahulukan dari pada nash. Ia menolak pemikiran at-Tufi ini,
setelah menganalisi dalil-dalil at-Tufi ternyata lemah dan dapat dipatahkan
baik melalui hadis, sunnah maupun asar sahabat dan ijma’.
Karena itu pada akhir kesimpulannya, ia menyatakan asas-asas maslahah at-Tufi
dalam dakwaannya atas dasar kami mendahulukan maslahah dari pada nash,
kami tolak semuanya. Karena itu kami membahasnya secara panjang lebar di dalam
rangka agar tidak seorangpun tertipu akan pemikiran at-Tufi yang melenceng, dan
mengikuti apa yang dikatakan at-Tufi.
g. Salam
Mazkur
Salam mazkur menanggapi pendapat at-Tufi, mengatakan
bahwa kita harus mengakui kedudukan maslahah dalam agama. Kendatipun demikian,
kita tidak dapat membenarkan pendirian at-Tufi mendahulukan maslahah atas
dalil-dalil yang lain. Pertentangan antara maslahah dengan nash dan
ijma’ sebenarnya tak dapat diterima oleh akal, karena syara’ yang menjadikan
maslahah sebagai pegangan dalam menetapkan hukum, tak mungkin
hukum-hukumnya mengandung kemadaratan. Kalaupun terjadi pada suatu ketika
pertentangan antara nash dengan maslahah, maka nash harus
didahulukan dari pada maslahah, karena nash masuk ke dalam
bagian pokok pegangann di mana kita harus kembali kepadanya sewaktu timbul
keragu-raguan, dan ingin mentarjihkan suatu dalil. Karena itu
tidaklah mungkin dikatakan maslahah dapat mengkhususkan nash atau
menjelaskan maslahah karena sesungguhnya yang dapat menjadi mukhassis itu
adalah hadis, seperti hadis laa daraara wa laa diraar itu.
h. Wahbah
az-Zuhaili
Dalam kitabnya al-Wasit fi ‘Ilmi al-Usul al-Fiqh
al-Islami, Wahbah senada dengan Salam Mazkur dalam menolak asas-asas
at-Tufi dalam membangun konsep maslahahnya. Di samping Wahbah menolak
maslahah sebagai dalil yang mandiri lepas dari nash, dan
maslahah dalil yang lebih kuat dari pada nash dan ijma’, ia
juga menilai bahwa at-Tufi dalam logika berpikirnya. At-Tufi mengatakan bahwa
maslahah hanya berlaku dalam bidang mu’amalah dan adat, bukan pada bidang
ibadah. Tetapi at-Tufi juga memberikan ruang pada maslahah dalam ruang ibadah
sebagaimana yang dicontohkan dalam kasus Ibnu Mas’ud di atas. Ini berarti bertentang
dengan konsepnya sendiri, dan juga bertentangan dengan mazhab yang diikuti oleh
at-Tufi. Karena itu argumen at-Tufi yang mewajibkan mendahulukan maslahah dari
pada nash adalah kacau dan melenceng.
i. Mustafa
Ahmad az-Zarqa’
Najmuddin at-Tufi dari kalangan Hanabilah telah
berlebih-lebihan dalam memandang maslahaha. Ia mendahulukan maslahah dari nash qat’i apabila
keduanya bertentangan. Ini adalah benar-benar ra’yu yang
ditolak oleh semua mazhab fiqh yang mu’tabar, bukan hanya mazhab Ahmad saja,
karena pandangan ini akan membawa pada menyia-nyiakan nash syari’at
hanya karena ijtihad berdasarkan akal semata. Seandainya manusia diperbolehkan
menerima pandangan ini secara mutlak dalam pensyari’atannya, dan memberi
toleransi pada orang-orang peradilan atau para hakim dalam ijtihad mereka,
sudah dapat dipastikan akan menimbulkan kekacauan yang hebat dalam mengamalkan
syari’at dan undang-undang. Barang siapa yang melihat kemaslahatan nash syari’at,
maka ia mengamalkan nash tersebut, dan barang siapa melihat
maslahah yang bertentangan dengan nash syari’at, maka
mereka membuang nash, ini adalah puncaknya kekacauan at-Tufi telah
mengemukakan pandangannya ini dan hujjah-hujjahnya ketika menjelaskan hadis
Arba’in karya an-Nawawi di bawah hadis: laa daraara wa laa diraar.
I. Ulama Yang Pro Terhadap Konsep
Maslahah al-Tufi
a. Salim
Ibn Muhammad al-Qarni
Salim Ibn Muhammad al-Qarni dalam tahqiqnya kitab
at-Tufi, al-Intisaaraat al-Islaamiyyah mengatakan bahwa
pandangan at-Tufi terkait maslahah yang berbeda dengan konsep jumhur fuqahaa
dan ulamaa usuul fiqh, dan kemandirian pendapatnya adalah bersifat khusus dalam
hal itu, dan terbatas dalam hukum mu’amalah dan adat.
b. Ibrahim
Hosen
Ibrahim Hosen dalam komentarnya terhadap at-Tufi
menyatakan, bahwa at-Tufi haruslah dipahami dalam konteks usul fiqh
karena sesungguhnya ia bermain pada tataran ini. Ia mengandaikan
terjadinya benturan antara nash atau ijma’ dengan maslahah.
Persoalannya, benarkah telah terjadi benturan tersebut? Persoalan berikutnya,
benarkah benturan yang ia maksudkan itu salah satunya berkaitan dengan
pembagian waris? Sekali lagi, at-Tufi tampaknya sedang berandai-andai dan
kelihatannya sepanjang yang saya ketahui, ia belum mengungkapkan kasus
realistis yang menunjukkan kebenaran pengandaian tersebut. Jika demikian, belum
tentu masalah waris termasuk kasus yang dimaksudkan at-Tufi dalam
pengandaiannya. Hal ini dapat dipahami, karena seperti saya ungkapkan di atas
bahwa at-Tufi bermain dalam tataran usul fiqh, belum memasuki tataran
fiqh atau lebih spesifik lagi al-Masail al-fiqhiyah. Di samping itu satu hal
yang tidak boleh kita lupakan adalah bahwa andaikata apa yang diandaikan
at-Tufi itu terjadi, maka menurutnya pengutamaan maslahah atas nash itu
harus dipahami dengan jalan takhsis dan bayan,
bukan dengan jalan mengabaikan dan meninggalkan nash.
Harus pula dipahami kecenderungan teologi Mu’tazilah yang
dianut at-Tufi dan yang sepaham dengannya dalam hal kekuatan akal. Maksud saya,
pendapat at-Tufi tentang kekuatan dan kemandirian akal dalam memilih dan
menentukan mana yang maslahah dan mana yang buruk serta pendapatnya bahwa
maslahah adalah dalil syara’ mandiri yang terlepas dari nash,
secara mudah kita bisa melihat adanya kecenderungan tersebut, tetapi dengan
meminjam trend baru kajian usul fiqh yang dikorelasikan dengan ilmu kalam, kita
merasakan keanehan. Bagaimana mungkin at-Tufi yang dianggap sebagai pengikut
Ahmad Ibn Hambal, dalam teologinya sejalan dengan Mu’tazilah. Mungkin saya
keliru, tepi saya kira kita semua menangakap atmosfir keanehan tesebut.
Kesimpulan saya, at-Tufi baru berbicara secara teoritis
belum sampai pada dataran fiqh. Di samping itu, kita tidak bisa menutup mata
atas derasnya serangan para ulama terhadap premis dan argumen at-Tufi. Yang
perlu dilakukan oleh mereka yang sepaham dengan at-Tufi adalah membela atau
paling tidak membahas premis dasar dan argumen tersebut.
c. Abu
Yusuf al-Hanafi
Pada zaman khalifah Harun Rasyid, Abu Yusuf menjabat sebagai
Qadi al-Qudat atau semacam Mahkamah Agung. Senada dengan at-Tufi, ia
berpendapat bahwa suatu nash yang dulu dasarnya adat,
kemudian adat itu telah berubah, maka gugur pula ketentuan hukum yang terdapat
dalam nash. Misalnya Nabi pernah menyatakan bahwa untuk jual beli
gandum dipergunakan ukuran takaran mengikuti adat setempat waktu itu, tapi
kemudian kebiasaan itu berubah. Di banyak wilayah dunia Islam untuk jual beli
dipergunakan ukuran timbangan. Apakah kebiasaan menggunakan menggunakan
timbangan itu tidak dibenarkan karena menyalahi petunjuk Nabi. At-Tufi berani
berbeda dengan ulama lain. Ia berpendapat apabila terjadi pertentangan
antara nash dengan adat kebiasaan, maka ia mengharuskan
meninggalkan nash itu dan mengikuti hukum adat. Dengan kata lain
adat kebiasaan itulah yang harus diutamakan.
d. Ibn
Qayyim al-Jauziyah dan Ibnu Taimiyah
Dua ulama besar yang juga dari kalangan hambali ini,
sejalan dengan at-tufi di dalam mendahulukan maslahah atas nash dan ijma’. Ibn
qoyyim mengatakan bahwa perubahan dan perbedaan fatwa dapat dibenarkan karena
perbedaan zaman, lokasi/lingkungan, situasi, niat dan adat istiadat. Sebagai
contoh apa yang diperbuat ibnu taimiyah ketika mendiamkan orang-orang yang
minum khamar seperti terungkap di atas.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Pengertian al maslahah al mursalah:
-
suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada
pembatalnya.
-
suatu kebajikan yang tidak disebut oleh syara’ untuk mengerjakan atau
meninggalkannya, dan kalau dikerjakan atau ditinggalkannya akan membawa manfaat
dan menghindari keburukan.
2.
Tujuan utamanya adalah kemaslahatan : yakni memelihara dari kemadorotan dan
menjaga kemanfaatannya.
3.
Najmuddin at – Thufi adalah seorang ahli fikih, ushul fikih dan hadis dari
kalangan Hanbali yang hidup pada abad ke -7 H dan awal abad ke – 8 H. nama
lengkapnya Abu Al-Rabi Sulaiman bin Abdul Qawi bin Abdul Karim bin Sa’id
Al-Thufi tetapi lebih dikenal dengan nama Najmuddin at- Thufi. Nama al-thufi
yang diambil dari nama desa kelahirannya di daerah Sar-Sar yang termasuk
wilayah Baghdad, Irak.
4.
Tidak kurang dari 30 karya yang sempat dihasilkan Al-Tufi semasa hidupnya.
Diantaranya, Al-Akbar fi Qawa’id At-Tafsir, Daf At-Ta’arud’Amma Yuhim
At-Tannaqud fi al-Kitab wa As-Sunnah, Bughyah As-Sa’il fi Ummahat Al-Masa’il,
dll.
5.
4 landasan pemikiran al Tufi tentang al maslahah al mursalah:
·
Pertama, kebebasan akal
manusia untuk menentukan kemaslahatan dan kemadaratan di bidang muamalat
duniawi.
·
Kedua, kemaslahatan tersebut merupakan
dalil di luar teks suci.
·
Ketiga, objek penggunaan teori
maslahah adalah hukum-hukum transaksi social (mu’amalah) dan hukum-hukum
kebiasaan (‘adah).
·
Keempat, kemaslahatan tersebut
merupakan dalil syara’ yang paling kuat.
DAFTAR PUSTAKA
Rachmat
Syafe’i. Ilmu Ushul Fiqh untuk UIN, STAIN dan PTAIS. Cet. IV. Bandung :
Pustaka Setia. 2010.
Abdul
Wahab Khallaf. Ilmu Ushul Fikih. Ter. Faiz El Mutaqin. Cet. VII.
Jakarta: Pustaka Amani.
Wahbah
Zuhaili. Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh. Vol. 13. Beirut: Dar al- Fikr. 2008.
Biografi tokoh
at-tufi dan pemikirannya. http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/03/at-tufi.html. Terahir di
akses 10 januari 2013. Pukul 15.00 WIB.
Najamuddin at-tufi pencetus dalil-dalil. http://syahruddinelfikri.blogspot.com/2009/01/najamuddin-at-tufi-pencetus-dalil-dalil.html. Terahir di akses 10 januari 2013. Pukul 15.00 WIB.
Konsep Pemikiran al-Thufi. http://cantikcintaku.blogspot.com/2011/12/konsep-pemikiran-najamuddin-al- thufi.html. Terahir di
akses 11 januari 2013. Pukul 16.00 WIB.
Garis besar pemikiran al-Thufi. http://jondrapianda.blogspot.com/garis-besar-pemikiran-at-thufi. Terahir di akses 11 januari 2013. Pukul 15.00 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar