Senin, 26 Mei 2014

MASLAHAH AL MURSALAH DALAM PANDANGAN AT-THUFI

MASLAHAH AL MURSALAH DALAM PANDANGAN AT-THUFI
Oleh : Dedi Romli Tri Putra

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu ushul fiqih memiliki peranan yang sangat penting dalam dunia islam. Ia merupakan ibu dari segala ilmu, khususnya ilmu fiqh. Ilmu ushul fiqh menjadi dasar dalam istinbath hukum/dasar pengambilan hukum. Pengetahuan mengani ushul fiqh sangat perlu untuk dikaji dan dipahami oleh kalangan umat islam terutama kalangan mahasiswa sperti kita agar dapat memahami secara lebih detail mengenai pembelaran ushul fiqh. Karena pada umumnya kalangan islam telah memahami ilmu fiqh tanpa banyak memperbincangkan asal istinbath hukumnya.
Pembahasan dalam ilmu ushul fiqh cukup banyak dan kompleks. Namun yang akan dibahas dalam makalah ini adalah mengenai salah satu metode istidlal, yaitu tentang maslahah al mursalah menurut konsep Najamuddin at- Thufi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan al maslahah al mursalah ?
2. Siapakah Najamuddin al-thufi ?
3. Bagaimana konsep pemikiran Najamuddin at –Thufi tentang al maslahah al mursalah ?

C. Tujuan
1. Menjelaksan pengertian al maslahah al mursalah.
2. Mengemukakan biografi Najamuddin at– Thufi.
3. Menjelaskan konsep pemikiran Najamuddin at–Thufi tentang al maslahah al mursalah.





BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al Maslahah Al Mursalah
Dari segi bahasa, al maslahah adalah seperti lafadz al-manfa’at, ash-shalah dan al-na’fu, artinya adanya manfaat baik secara asal maupun melalui suatu proses, seperti menghasilkan kenikmatan dan faedah, ataupun pencegahan dan penjagaan, seperti menjauhi kemadaratan dan penyakit.
Sedangkan al mursalah artinya syara’ memutlakkannya bahwa di dalamnya tidak terdapat kaidah syara’ yang menjadi penguatnya atau pembatalnya. Jadi al maslahah al mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Tujuan utamanya adalah kemaslahatan : yakni memelihara dari kemadorotan dan menjaga kemanfaatannya.
Dalam sumber lain, disebutkan bahwa al maslahah al mursalah ialah suatu kebajikan yang tidak disebut oleh syara’ untuk mengerjakan atau meninggalkannya, dan kalau dikerjakan atau ditinggalkannya akan membawa manfaat dan menghindari keburukan.
Al maslahah al mursalah itu suatu penetapan hukum berdasarkan kepentingan umum dimana Al-Qur’an dan as-sunnah tidak mengaturnya secara spesifik, yang membawa manfaat atau menjauhi kerusakan umum (yang lebih besar).
Contoh dalam perkara ini, misalnya ada orang mabuk mengamuk dengan membawa senjata api dan menembakkannya dengan ngawur, maka demi meyelamatkan orang banyak, membekuk orang itu diperbolehkan sekalipun berakibat fatal baginya (misalnya mati), sebab keselamatan orang banyak harus didahulukan sekalipun syara’ tidak menentukan ia boleh dibunuhnya. Al maslahah al mursalah juga kadang disebut dengan Almunasib al mursal dan al istdlal al mursal.


B. Biografi Najmuddin at – Thufi
Najmuddin at – Thufi nama lengkapnya Abu Al-Rabi Sulaiman bin Abdul Qawi bin Abdul Karim bin Sa’id Al-Thufi tetapi lebih dikenal dengan nama Najmuddin at- Thufi.  adalah seorang ahli fikih, ushul fikih dan hadis dari kalangan Hanbali yang hidup pada abad ke -7 H dan awal abad ke – 8 H. Nama al-thufi yang diambil dari nama desa kelahirannya di daerah Sar-Sar yang termasuk wilayah Baghdad, Irak.
Di samping tokoh tersebut terkenal dengan nama at‑Tufi, juga populer dengan nama Ibn Abu 'Abbas. At‑Tufi lahir diperkirakan pada tahun 657 H (1259 M) dan meninggal pada tahun 716 H (1318 M). Berdasarkan keterangan ini, jelaslah bahwa tokoh ini lahir setahun setelah serbuan pasukan Mongol ke kota Bagdad yang dipimpin oleh Khulagu Khan pada tahun 1258 M.[13] Jatuhnya kota Bagdad oleh serangan tentara Mongol tersebut merupakan peristiwa yang paling menentukan dalam sejarah kaum muslimin,sebuah pertanda awal kehancuran kaum muslimin. Jatuhnya Bagdad di atas dilukiskan sebagai seluruh dunia Islam gelap tak berdaya. Tidak seorangpun yang dapat membayangkan bencana yang lebih dahsyat daripada malapetaka ini. Akibatnya adalah integritas politik dunia Islam betul‑betul berantakan.
Di samping informasi bahwa tokoh yang menjadi obyek pembahasan tulisan ini hidup dalam situasi integritas politik dunia Islam yang tercabik‑cabik, juga at‑Tufi hidup dalam masa kemunduran Islam, terutama kemunduran hukum Islam. Fase kemunduran hukum Islam berlangsung lama yaitu dari pertengahan abad keempat Hijrah sampai akhir abad ketiga belas Hijrah. Pada fase tersebut para ulama kurang berani berinisiatif untuk mencapai tingkatan mujtahid mutlak dan menggali hukum‑hukum Islam langsung dari sumber‑sumbernya yang pokok, yaitu Qur'an dan Sunnah, atau mencari hukum suatu persoalan melalui salah satu dalil syara'. Mereka merasa cukup mengikuti pendapat‑pendapat yang ditinggalkan oleh imam‑imam mujtahid sebelumnya, seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi'i dan Ahmad. Berbagai faktor, baik politik, mental, sosial dan sebagainya telah mempengaruhi kegiatan mereka dalam lapangan hukum, sehingga tidak mempunyai fikiran independen, melainkan harus bertaklid.
Pendidikan al-thufi dimulai di kota kelahirannya dengan belajar pada beberapa orang guru. Iamenghafal kitab al-Mukhtasar al-Kharqi (Ringkasan buku al-Kharqi) dan al-Luma’ (Karya Ibnu Jani, guru al-thufi) di bidang bahasa Arab. Ia juga bolak-balik ke Sarsar untuk belajar fikih kepada Syekh Zainuddin Ali bin Muhammad as-Sarsari, seorang fakih Hanbali yang dikenal dengan sebutan al-Bugi. Pada tahun 691 H ia pindah ke Baghdad. Disana ia menghafal kitab al-Muharrar fi al-Fiqh (buku pegangan mazhab Hanbali) dan mendiskusikannya dngan Syekh Taqiyuddin az-Zarzirati.
Disamping itu ia belajar bahasa Arab kepada Ali bin Abdillah bin Muhammad Al-Mausuli. Belajar usul fiqih pada Nashr Al-Faruqi, serta belajar hadis kepada Rasyid bin Al-Qasim, Ismail bin A-Tabbal, dan Abdur Rahman bin Sulaiman Al-Harani. Kebanyakan gurunya bermazhab Hanbali dan karenanya tidak mengherankan jika ia juga seorang pengikut mazhab Hanbali.
Disamping ilmu-ilmu di atas, ia juga belajar ilmu mantik, ilmu faraid, dan ilmu al-fadal (cara berdiskusi), sehingga ia mampu untuk mengemukakan pemikirannya secara mandiri, tanpa harus terikat kepada mazhab. Dalam kaitan dengan ini, ketika menyusun al-Akbar fi Qawa-id at-Tafsir, ia mengatakan bahwa buku tersebut ditunjukan kepada mereka yang mau mengembangkan pemikiran untuk mencari kebenaran, bukan kepada yang terikat oleh pendapat orang lain atau mencari kebenaran melalui pendapat orang lain.
Hampir semua sejarah yang mengupas riwayat hidup al-thufi melukiskan bahwa al-thufi intelektual jenius yang gemar membaca dan menulis serta tergolong produktif dalam dunia karya ilmiyah. Lebih dari itu ia adalah seorang liberalis dan generalis yang karyanya terbias dalam berbagai disiplin ilmu. Banyaknya tempat dan wilayah yang disinggahi Al-Thufi untuk menyerap ilmu dan ekspansi pemikirannya turun mengkondisikan sosok intelektualitas yang tidak hanya terpuruk secara spesifik pada satu disiplin ilmu.
Sebaliknya, karya Al-Thufi dapat meliputi berbagai disiplin ilmu. Diantaranya, Ulum Al-Qur’an , Ulum Al-Hadis, Fiqh, Usil Fiqh, Bahasa, Sastra dan bahkan ia sebenarnya juga seorang penyair kondang pada zamannya. Dibandingkan produktivitas pemikiran Islam semisal Al-Ghazali (W.505) dan Ibn Taimiyah (W.728), Al-Tufi mungkin masih setingkat di bawahnya. Namun demikian, Ibn Rajab menyebutkan angka tidak kurang dari 30 karya yang sempat dihasilkan Al-Tufi semasa hidupnya. Angka tersebut sebenarnya dapat membengakak bila dihubungkan dengan sumber-sumber kepustakaan yang lain sampai saat ini.
Al-Tufi menonjol di bidang usul fiqih ketika ia membicarakan konsep kemaslahatan dalam bukunya Syarah A-Arbain an-Nawawiyah. Kontroversi di bidang kemaslahatan inilah yang membuat ia tetap diingat sampai sekarang. Menurutnya, ajaran yang diturunkan Allah SWT melalui wahyu-Nya dan sunnah Rasulullah SAW pada intinya adalah untuk kemaslahatan umat manusia. Oleh sebab itu, dalam segala persoalan kehidupan manusia, prinsip yang dijadikan pertimbangan adalah kemaslahatan. Apabila suatu pekerjaan mengandung kemaslahatan bagi manusia, maka pekerjaan itu harus dilaksanakan.
Dalam membahas konsep kemaslahatan ini, Al-Tufi berbeda sekali dengan ulama lain. Pada dasarnya ulama mazab membagi kemaslahatan menjadi tiga bentuk, yaitu : (1) maslahah mu’tabarah (kemaslahatan yang ditunjuk langsung oleh Al-Qur’an atau sunnah Rasulullah SAW), (2) maslahah mulgah (kamslahatan yang bertentangan dengan teks wahyu atau hadis ataupun ijma), (3) al-maslahah al-mursalah (kemaslahatan yang tidak secara tegas ditentang oleh wahyu dan hadis). Tetapi bagi At-Tufi pembagian tersebut tidak ada. Menurutnya karena tujuan syari’at adalah kemaslahatan, maka segala bentuk kemaslahatan (di dukung atau tidak didukung oleh teks suci) harus dicapai tanpa merinci seperti kebanyakan ulama lain.

C. Teori Maslahah Al-Tufi
Term ‘maslahah’ merupakan kata kunci dalam upaya menfalsifikasi islam dari segi pensyari’atan ajarannya. Asy-Syatibi (W.790 H), misalnya , dalam karyanya Al-Muwafaqat menandaskan, “ Disyari’atkannya ajaran islam tak lain hanya untuk memlihara kemaslahatan umat di dunia dan akhirat.”Ulama Usul Fiqih secara sistematik, tidak mencapai kata sepakat dalam memberikan batasan dan definisi tentang apa sebenarnya maslahah itu.
Tolok ukur (mi’yar) manfaat maupun madarat, menurut Al-Ghazali (W.505 H), tidak dapat dikembalikan pada penilaian manusia karena amat rentan akan pengaruh dorongan nafsu insaniyyah. Sebaliknya harus dikembalikan pada kehendak syara’ (maqasaid asy syar’i) yang pada hakikatnya bermuara pada dasar pemeliharaan yang lima (al-mabadi’ al-khamsah) : pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal, pikiran, keturunan dan harta benda. Maka segala hal yang mengandung unsur itu disebut maslahah, sebaliknya semua yang dapat menafikannya bisa disebut mafsadah.
Al-Tufi tampil beda dalam mengidentifikasi kedudukan maslahah dalam ajaran Islam. Al-Tufi cenderung melandaskan konstelasi maslahah pada superioritas akal pikiran manusia. Bagi Al-Tufi, visi akal lebih obyektif dalam memposisikan kriteria maslahah ketimbang antagonisme nashh (teks ajaran) antara satu dengan yang lainnya. Sekurang-kurangnya ada empat landasan ideal yang dijadikan pijakan Al-Tufi dalam menelaah dan meletakkan dasar-dasar teori maslahah dalam fiqih islam, yang notabene berbeda dengan jumhur ulama.
1. Pertama, kebebasan akal manusia untuk menentukan kemaslahatan dan kemadaratan di bidang muamalat duniawi. Implikasinya ialah penentuan kemaslahatan atau kemadaratan di bidang muamalat cukup dilakukan dengan penataran manusia tanpa didukung wahyu/hadis.
Menurut Al-Tufi, akal sehat manusia saja cukup memiliki kompetensi menetukan apa itu maslahah dan apa itu mafsadat (madarat). Hal ini tampak sekali membuat kontroversi cukup menyolok dibandingkan pendapat para pakar syari’ah pada umumnya yang hanya mengakui eksistensi maslahah yang beranjak dari prinsip nashh.
2. Kedua, kemaslahatan tersebut merupakan dalil di luar teks suci (ayat/hadis). Maslahah merupakan dalil msyar’i yang independen dalam batas pengertian bahwa validitas kehujjahan maslahah tidak memiliki ketergantungan dengan nashh. Sebaliknya keberadaan maslahah dapat ditunjukkan dengan membuktikan empirik melalui hukum kebiasaan.
3. Ketiga, objek penggunaan teori maslahah adalah hukum-hukum transaksi social (mu’amalah) dan hukum-hukum kebiasaan (‘adah). Sebaliknya kajian maslahah, menurut landasan ideal ini tidak dapat menjamah kesakralan ritus keagamaan (ibadah mahdah).
Menurut Al-Tufi, masalah-masalah ibadah murni merupakan hak yang maha kuasa semata, sehingga tidak ada kesempatan bagi manusia untuk menguak muatan maslahahnya. Sebaliknya apa yang mengangkut mu’amalah dan ‘adah Allah SWT mengkonsumsikan sepenuhnya untuk kemaslahatan hamba-Nya. Karena itu, perangkat akal manusia dapat mengimplementasikannya betapapun muatan maslahah yang terkandung di dalamnya bersebrangan dengan nash.
Pada dataran tertentu, penyikapan Al-Tufi dalam maslah ini memiliki segi persamaan dengan ulama fiqh lainnya. Paling tidak, dalam menelaah maslahah mursalah, para fuqaha memberi criteria yang kurang lebih sama dengan yang dikriteriakan Al-Tufi. Sebagaimana ulama lain, Al-Tufi berpendapat bahwa maslahah ibdah adalah milik Allah SWT.
4. Keempat, kemaslahatan tersebut merupakan dalil syara’ yang paling kuat. At Tufi tidak menetapkan bahwa kemaslahatan tersebut adalah dalil yang berdiri sendiri dan merupakan dalil syara’ yang paling kuat. Sehingga jika ada pertentangan teks wahyu atau hadits dengan kemaslahatan yang terkait denga persoalan muamalat duniawi harus didahulukan kemaslahatan tersebut melalui jalan takhsis atau bayan (pengkhususan atau penjelasan).
Keempat pendapat ini tidak sejalan dengan pendapat mayoritas ulama udhul fiqh. Menurut Al-Tufi, dasar syariat islam adalah kemaslahatan yang dapat dicapai melalui akal (pemikiran). Hal ini menurutnya sesuai kandungan Qur’an dan Sunnah yang mendorong manusia untuk menggunakan akal secara maksimal.
Teori maslahah al-Tufi yang ada kemungkinan menentang nashh yang qat'i, juga diadopsi oleh Rashid Rida dan salah seorang cendikiawan modern, Abid al-Jabiri. Lebih jauh al-Jabiri menjelaskan bahwa bila dalam kondisi tertentu kemaslahatan bertentangan dengan teksteks
suci, maka para sahabat akan mengutamakan maslahah dan menundapelaksanaan statemen ekplisit dari teks yang hal seperti ni telah banyak dilakukan oleh Umar bin Khatab. Namun kemudian al-Jabiri menjelaskan bahwa sekalipun maslahah bisa didahulukan ketika bertentangan dengan teks atau shari'ah, namun bukan berarti hukum syari’ah harus berubah karena perubahan maslahah, hukum shariah tetap tegak karena ia bersifat ilahiah. Jadi disini masalahnya bukan pengabdian teks, melainkan sekedar penundaan dengan mencari sudut pandang lain dalam memahami dan metakwilkannya.
D. Back Ground Pemikiran Al-Tufi
Banyak pakar sejarah yang mengupas sejarah hidup Al-Tufi sebagai intelektual jenius yang gemar membaca dan menulis, ia tergolong produktif dalam berbagai disiplin ilmu. Banyaknya wilayah dan tokoh ulama dari berbagai mazhab yang disinggahi untuk menyerap ilmu dan ekspansi pemikirannya turut mengkondisikan sosok intelektualitas liberal. Pandangan-pandangan radikalnya mengenai maslahah sebagai dalil hukum yang mandiri lepas dari nash dan lebih mendahulukan maslahah daripada nash dan ijma’ mengundang reaksi keras ulama konservatif, sehingga banyak menilai ia bermazab Syiah. Penilaian ini tercermin dalam karya Al-Tufi “Al-Azab al-Wasib Ala Arwah an Nawasib” yang berisikan sanggahan terhadap orang –orang yang membenci Ali ra.

E. Peran dan Fungsi Akal sebagai Sumber Hukum
Umumnya pakar Syari’ah mengakui eksistensi maslahah masih dalam batas lingkaran syara’. Al-Tufi tampil beda mengidentifikasi kedudukan maslahah pada seperioritas akal. Visi akal lebih obyektif dalam memeposisikan criteria maslahah ketimbang antagonisme nashh antara akal dan wahyu sejajar atau bahkan di atas nashh dalam batas-batas tertentu. Dengan demikian fungsi dan peran akal dapat digunakan dalam hal-hal yang tidak ada nashnya sama sekali, atau hal-hal yang tidak ada nashnya tetapi dapat dikaitkan hukumnya dengan lafaz yang ada dalam nashh (tersirat). Bahkan akal dapat digunakan dalam hal-hal yang sudah diatur dalam nash tetapi penunjukannya terhadap hukum tidak secara pasti.

F. Akar Teologi Pemikiran Hukum Al-Tufi
Bangunan teori Al-Tufi yang menyatakan akal semata, tanpa harus melalui wahyu dapat mengetahui kebaikan dan keburukan, konsekuensinya ia berpendapat maslahah merupakan dalail Syar’i mandiri yang kehujjahannya tidak tergantung pada kesaksian atau konfirmasi nashh, tetapi hanya bergantung pada akal semata. Untuk menyatakan sesuatu itu maslahah atau madarat atas dasar adat istiadat dan eksperimen, tanpa memerlukan petunjuk nash.
Sungguh pun demikian, maslahah sebagai sumber hukum, menurut Al-Tufi tetap dibatasi dalam bidang mu’amalat dan adat istiadat. Atas dasar argumen di atas, penulis cenderung mengungkapkan bahwa akar teologis hukum Al-Tufi sejalan dengan pandangan mu’tazilah, sungguhpun ia bermazhab Hanbali. Pandangan radikalnya mengenai maslahah ini kadang dianggap Syiah memperkuat inkonsentensinya pada faham ahli sunnah wal jamaah. Kitab Al-Azab Al-Washid Ala Arwah an Nawasib, yang membela Ali ra dan menyerang orang yang membenci Ali ra, serta ungkapan Al-Tufi sendiri yang mengisyaratkan pada dirinya terselip mazab Hanbali, Syi’iy Rafidy memperkuat pandangan penulis. Paling tidak ketika menulis teorinya ia bergumul dengan pemikiran teologi mu’tazilah.

G. Kritik Ulama terhadap Teori Al-Tufi
Penulis yang paling getol mengkategorikan Al-Tufi sebagai orang bermadzhab Syiah adalah Ibnu Rajab Al-Baghdadiy (W. 795 H). Dalam bukunya, Ibnu Rajab menguak inkonsistensi Al-Tufi terhadap paham ahlus sunnah wal jamaah. Idikasi mensiratkan hal ini, paling tidak dapat tercermin dalam karya Al-Tufi Al-Azab Al Wasib Ala Arwah An Nawasib sebuah kitab berisikan serangan terhadap orang-orang yang membenci Ali RA. Selain itu, sisi lain yang menjadi pijakan tuduhan Ibnu Rajab adalah ungkapan Al-Tufi sendiri yang menyiratkan bahwa pada dirinya terselip madzhab Hanaliy, Syi’iy, Rafidiy, Dahiriy dan Asy’aryi. Padahal hal ini tidak dibenarkan dalam Islam. Sewaktu dipenjara di Qaush, sebenarnya terdapat tanda-tanda taubat pada diri Al-Tufi. Namun hal itu dibantah oleh Ibnu Rajab yang menganggap hal itu tak lebih dari taqiyyah, sebuah sikap pura-pura yang dalam madzhab Syi’ah dikenal sebagai upaya menghindari hukuman duniawi.
Zahid al-Kautsari mengkritik demikian :
Salah satu metode mereka dalam upaya pengubahan syariah sesuai dengan hawa nafsu mereka adalah menyatakan bahwa “prinsip dasar legislasi dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan mu’amalah diantara manusia adalah prinsip maslahah tersebut harus diikuti.” Alangkah besarnya keburukan menyatakan pernyataan seperti itu! Ini tak lain hanyalah suatu upaya untuk melanggar hukum Illahi agar bisa atas nama maslahah kepada si pendosa ini, apa itu maslahah yang di atasnya membukakan pintu keburukan. Orang pertama yang membukakan pintu keburukan adalah Najm Al-Tufi Al-Hanbali. Tak seorang Muslim pun yang pernah mengeluarkan pendapat seperti itu. Ini adalah bid’ah yang terang-terangan. Barang siapa yang mendengarkan pembicaraan seperti itu, dia tak memperoleh ilmu apapun tentang ilmu atau agama.

H.      Ulama Yang Kontra Terhadap Konsep Maslahah at-Tufi
    Di antara ulama yang kontra, konsep maslahah at-Tufi dapat disebutkan:
a.       Zahid al-Kausari
Salah satu metode dalam mengupayakan syari’at sesuai dengan hawa nafsu adalah pernyatan at-Tufi bahwa prinsip dasar legislasi dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan mu’amalah antar manusia adalah prinsip maslahah tersebut harus diikuti. Alangkah besarnya keburukan pernyataan seperti itu. Ini tak lain hanyalah upaya untuk melanggar hukum Ilahi agar bisa-atas nama maslahah- si pendosa (al-Fajr) ini, mampu merubah syari’at dengan membuka pintu keburukan. Adalah Najmuddin at-Tufi al-Hambali, orang pertama yang membukakan pintu keburukan. Tak seorang muslim pun yang pernah mengeluarkan penyataan seperti itu. Ini adalah bid’ah yang terang-terangan. Barang siapa yang mendengarkan pembicaraan seperti ini, dia tak memperolehilmu apapun tentang ilmu agama.
b.      Muhammad Sa’id Ramdan al-Buti
Dalam kitab Dawabit al-Maslahah fi asy-Syari’ah al-Islamiyyah,  dalam pendahuluannya al-Buti menjelaskan bahwa kaum orientalis sebagai tentara salib yang menyerang Islam telah melakukan tindakan untuk menghancurkan Islam. mereka mendesak kaum muslimin untuk membuka ijtihad seluas-luasnya dan untuk mencapai tujuan itu mereka merujuk pada konsep maslahah sebagai prinsip utama syari’at. Al-Buti yakin bahwa motif mereka yang sebenarnya dibalik usulan tersebut adalah untuk menghancurkan Islam.  dia mengakui bahwa pintu ijtihad belum pernah ditutup dan pembuat hukum telah memberikan pertimbangan penuh pada prinsip maslahah, tetapi prinsip ini selamanya telah dibatasi dengan sejumlah persyartan. Setelah melakukan analisis yang terperinci tentang etimologi dan konsep maslahah, al-Buti menyimpulkan adanya persyaratan-persyaratan yang dikemukakan oleh para yuris tradisional dalam penerapan prinsip ini. Dia juga membandingakan prinsip inidengan konsep lemnfaatan (utility) dan kenyamanan (pleasure) dalam filsafa Stuart Mill dan J. Bentham. Pada gilirannya bahwa maslahah dalam pengertian tanpa syarat adalah identik dengan konsep-konsep utility danpleasure yang dipandang murni hedonistic. Konsep maslahah yang bersyarat adalah jelas berbeda dengan konsep pleasure.Pertama, konsep maslahah tidak terbatas hanya pada dunia ini saja, tetapi juga menjangakau ke akhirat. Kedua, nilai agama mendominashi pertimbangan-pertimbangan lain. Dengan demikian, apabila persyaratan diabaikan dan maslahah yang ingin ditegakkan semata-mata sebagai pedoman dan kriteria, maka demi Allah, ijtihad semacam ini akan membanjiri kaum muslimin dari segala penjuru. (untuk membuktikan akibat-akibat yang mengerikan seperti itu dibukanya pintu ijtihad), cukuplah diamati keburukan yang membawa hukum-hukum syari’at keluar dari benteng nash, keterbukaan total, terbuka bagi hawa nafsu dan pendapat yang semena-mena yang menipu (kita) dibalik nama maslahah dan manfaat.
c.       ‘Abdul Wahab Khalaf
‘Abdul Wahab Khalaf dalam kitabnya Masadir at-Tasyri’ fi Ma La Nash fih mengomentari, bahwa at-Tufi yang menggunakan maslahah mursalah secara mutlak baik ketika ada nash maupun tidak ada nash, maka sesungguhnya ia sebagai orang yang membuka pintu pnehancuran nash. Pada waktu yang sama ia menjadikan hukum-hukum yang berdasarkan nashdan ijma’ itu dapat dinashakh (dihapus) dengan hukum berdasarkan akal, lantaran maslahah secara mandiri ditetapkan berdasarkan akal, maka mafsadahpun juga dapat ditetapkan berdasarkan akal. Ini berati memungkinkan ketika terjadi ta’arud antara nash dan ijma’ dengan maslahah; dimungkinkan untuk menghapuskan hukum-hukum nash dan ijma’ dengan akal, adalah ancaman bagi hukum-hukum Ilahi dan hukum syara’ pada umumnya. Pada waktu yang sama menyelamatkan hukum-hukum ibadah dan al-muqaddarat dari pesan istislah di dalamnya. Dengan kata lain, bukan wewenang maslahah untuk menenukan hukum ibadah dan al-muqaddarah. Termasuk juga menyelamatkan hukum kulli yang disyari’atkan untuk memelihara daruriyah maupun hajiyah dari campur tangan maslahah karena hal demikian sudah menjadi kesepakatan yang paten tentang kemaslahatanya. Dan juga tidak mungkin hukum-hukum juziyyah yang ada nashnya yang sudah jelas ada maslahahnya, akan diukur lagi dengan maslahah yang ditetapkan berdasarkan akal.
d.      Ali Hasabullah
Ali hasabullah menolak pemikiran at-Tufi dengan alasan tidak mungkin terjadi pertentangan antara maslahah hakiki dengannash yang qat’i. Apabila dirasa ada pertentangan antara maslahah dengan nash, harus didahulukan maslahah yang hakiki atasnash dengan catatan apabila maslahah itu bersifat daruriyat. Dan dimenangkan nash atas maslahah apabila maslahah itumaslahah tahsiniyah. Adapun maslahah hajiyah, maka lebih didekatkan (dipertemukan) dengan maslahah daruriyahdaripada didekatkan pada masalah tahsiniyah.
e.       Muhammad Yusuf Musa
Yusuf Musa menilai bahwa pandangan at-Tufi terkait dengan maslahah adalah murni ijtihadnya, dan ia salah dalam hal ini, karena sungguhpun maslahah adalah dalil syara’ yang hakiki, tetapi tetap dalam ruang lingkup nash. Tidak seharusnya ruang gerak maslahah sampai dengan mendahulukan maslahah atas nash apabila terjadi ta’arud, karena hal demikian masuk  klasifikasi menghapus (nashikh an-nash) dengan maslahah, pada hal masa nashikh sudah lewat.
f.       Husain Hamid Hasan
Dalam kitabnya Nazariyah al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami setelah menulis asas-asas maslahah at-Tufi, dalammunaqosahnya menyatakan batil terhadap masalah batil tersendiri lepas dari nash dan maslahah didahulukan dari pada nash. Ia menolak pemikiran at-Tufi ini,  setelah menganalisi dalil-dalil at-Tufi ternyata lemah dan dapat dipatahkan baik melalui hadis, sunnah maupun asar sahabat dan ijma’. Karena itu pada akhir kesimpulannya, ia menyatakan asas-asas maslahah at-Tufi dalam dakwaannya atas dasar kami mendahulukan maslahah dari pada nash, kami tolak semuanya. Karena itu kami membahasnya secara panjang lebar di dalam rangka agar tidak seorangpun tertipu akan pemikiran at-Tufi yang melenceng, dan mengikuti apa yang dikatakan at-Tufi.
g.      Salam Mazkur
Salam mazkur menanggapi pendapat at-Tufi, mengatakan bahwa kita harus mengakui kedudukan maslahah dalam agama. Kendatipun demikian, kita tidak dapat membenarkan pendirian at-Tufi mendahulukan maslahah atas dalil-dalil yang lain. Pertentangan antara maslahah dengan nash dan ijma’ sebenarnya tak dapat diterima oleh akal, karena syara’ yang menjadikan maslahah sebagai pegangan dalam menetapkan hukum, tak mungkin hukum-hukumnya  mengandung kemadaratan. Kalaupun terjadi pada suatu ketika pertentangan antara nash dengan maslahah, maka nash harus didahulukan dari pada maslahah, karena nash masuk ke dalam bagian pokok pegangann di mana kita harus kembali kepadanya sewaktu timbul keragu-raguan, dan ingin mentarjihkan suatu dalil. Karena itu tidaklah mungkin dikatakan maslahah dapat mengkhususkan nash atau menjelaskan maslahah karena sesungguhnya yang dapat menjadi mukhassis itu adalah hadis, seperti hadis laa daraara wa laa diraar itu.
h.      Wahbah az-Zuhaili
Dalam kitabnya al-Wasit fi ‘Ilmi al-Usul al-Fiqh al-Islami, Wahbah senada dengan Salam Mazkur dalam menolak asas-asas at-Tufi dalam membangun konsep maslahahnya. Di samping Wahbah menolak maslahah sebagai dalil yang mandiri lepas dari nash,  dan maslahah dalil yang lebih kuat dari pada nash dan ijma’, ia juga menilai bahwa at-Tufi dalam logika berpikirnya. At-Tufi mengatakan bahwa maslahah hanya berlaku dalam bidang mu’amalah dan adat, bukan pada bidang ibadah. Tetapi at-Tufi juga memberikan ruang pada maslahah dalam ruang ibadah sebagaimana yang dicontohkan dalam kasus Ibnu Mas’ud di atas. Ini berarti bertentang dengan konsepnya sendiri, dan juga bertentangan dengan mazhab yang diikuti oleh at-Tufi. Karena itu argumen at-Tufi yang mewajibkan mendahulukan maslahah dari pada nash adalah kacau dan melenceng.
i.        Mustafa Ahmad az-Zarqa’
Najmuddin at-Tufi dari kalangan Hanabilah telah berlebih-lebihan dalam memandang maslahaha. Ia mendahulukan maslahah dari nash qat’i apabila keduanya bertentangan. Ini adalah benar-benar ra’yu yang ditolak oleh semua mazhab fiqh yang mu’tabar, bukan hanya mazhab Ahmad saja, karena pandangan ini akan membawa pada menyia-nyiakan nash syari’at hanya karena ijtihad berdasarkan akal semata. Seandainya manusia diperbolehkan menerima pandangan ini secara mutlak dalam pensyari’atannya, dan memberi toleransi pada orang-orang peradilan atau para hakim dalam ijtihad mereka, sudah dapat dipastikan akan menimbulkan kekacauan yang hebat dalam mengamalkan syari’at dan undang-undang. Barang siapa yang melihat kemaslahatan nash syari’at, maka ia mengamalkan nash tersebut, dan barang siapa melihat maslahah yang bertentangan dengan nash syari’at, maka mereka membuang nash, ini adalah puncaknya kekacauan at-Tufi telah mengemukakan pandangannya ini dan hujjah-hujjahnya ketika menjelaskan hadis Arba’in karya an-Nawawi di bawah hadis: laa daraara wa laa diraar.

I.   Ulama Yang Pro Terhadap Konsep Maslahah al-Tufi
a.       Salim Ibn Muhammad al-Qarni
Salim Ibn Muhammad al-Qarni dalam tahqiqnya kitab at-Tufi, al-Intisaaraat al-Islaamiyyah mengatakan bahwa pandangan at-Tufi terkait maslahah yang berbeda dengan konsep jumhur fuqahaa dan ulamaa usuul fiqh, dan kemandirian pendapatnya adalah bersifat khusus dalam hal itu, dan terbatas dalam hukum mu’amalah dan adat.
b.      Ibrahim Hosen
Ibrahim Hosen dalam komentarnya terhadap at-Tufi menyatakan, bahwa at-Tufi haruslah dipahami dalam konteks usul fiqh karena  sesungguhnya ia bermain pada tataran ini. Ia mengandaikan terjadinya benturan antara nash atau ijma’ dengan maslahah. Persoalannya, benarkah telah terjadi benturan tersebut? Persoalan berikutnya, benarkah benturan yang ia maksudkan itu salah satunya berkaitan dengan pembagian waris? Sekali lagi, at-Tufi tampaknya sedang berandai-andai dan kelihatannya sepanjang yang saya ketahui, ia belum mengungkapkan kasus realistis yang menunjukkan kebenaran pengandaian tersebut. Jika demikian, belum tentu masalah waris termasuk kasus yang dimaksudkan at-Tufi dalam pengandaiannya. Hal ini dapat dipahami, karena seperti saya ungkapkan di atas bahwa at-Tufi bermain  dalam tataran usul fiqh, belum memasuki tataran fiqh atau lebih spesifik lagi al-Masail al-fiqhiyah. Di samping itu satu hal yang tidak boleh kita lupakan adalah bahwa andaikata apa yang diandaikan at-Tufi itu terjadi, maka menurutnya pengutamaan maslahah atas nash itu harus dipahami dengan jalan takhsis dan bayan, bukan dengan jalan mengabaikan dan meninggalkan nash.
Harus pula dipahami kecenderungan teologi Mu’tazilah yang dianut at-Tufi dan yang sepaham dengannya dalam hal kekuatan akal. Maksud saya, pendapat at-Tufi tentang kekuatan dan kemandirian akal dalam memilih dan menentukan mana yang maslahah dan mana yang buruk serta pendapatnya bahwa maslahah adalah dalil syara’ mandiri yang terlepas dari nash, secara mudah kita bisa melihat adanya kecenderungan tersebut, tetapi dengan meminjam trend baru kajian usul fiqh yang dikorelasikan dengan ilmu kalam, kita merasakan keanehan. Bagaimana mungkin at-Tufi yang dianggap sebagai pengikut Ahmad Ibn Hambal, dalam teologinya sejalan dengan Mu’tazilah. Mungkin saya keliru, tepi saya kira kita semua menangakap atmosfir keanehan  tesebut.
Kesimpulan saya, at-Tufi baru berbicara secara teoritis belum sampai pada dataran fiqh. Di samping itu, kita tidak bisa menutup mata atas derasnya serangan para ulama terhadap premis dan argumen at-Tufi. Yang perlu dilakukan oleh mereka yang sepaham dengan at-Tufi adalah membela atau paling tidak membahas premis dasar dan argumen tersebut.
c.       Abu Yusuf al-Hanafi
Pada zaman khalifah Harun Rasyid, Abu Yusuf menjabat sebagai Qadi al-Qudat atau semacam Mahkamah Agung. Senada dengan at-Tufi, ia berpendapat bahwa suatu nash yang  dulu dasarnya adat, kemudian adat itu telah berubah, maka gugur pula ketentuan hukum yang terdapat dalam nash. Misalnya Nabi pernah menyatakan bahwa untuk jual beli gandum dipergunakan ukuran takaran mengikuti adat setempat waktu itu, tapi kemudian kebiasaan itu berubah. Di banyak wilayah dunia Islam untuk jual beli dipergunakan ukuran timbangan. Apakah kebiasaan menggunakan menggunakan timbangan itu tidak dibenarkan karena menyalahi petunjuk Nabi. At-Tufi berani berbeda dengan ulama lain. Ia berpendapat apabila terjadi pertentangan antara nash dengan adat kebiasaan, maka ia mengharuskan meninggalkan nash itu dan mengikuti hukum adat. Dengan kata lain adat kebiasaan itulah yang harus diutamakan.
d.       Ibn Qayyim al-Jauziyah dan Ibnu Taimiyah
Dua ulama besar yang juga dari kalangan hambali ini, sejalan dengan at-tufi di dalam mendahulukan maslahah atas nash dan ijma’. Ibn qoyyim mengatakan bahwa perubahan dan perbedaan fatwa dapat dibenarkan karena perbedaan zaman, lokasi/lingkungan, situasi, niat dan adat istiadat. Sebagai contoh apa yang diperbuat ibnu taimiyah ketika mendiamkan orang-orang yang minum khamar seperti terungkap di atas.














BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengertian al maslahah al mursalah:
- suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya.
- suatu kebajikan yang tidak disebut oleh syara’ untuk mengerjakan atau meninggalkannya, dan kalau dikerjakan atau ditinggalkannya akan membawa manfaat dan menghindari keburukan.
2. Tujuan utamanya adalah kemaslahatan : yakni memelihara dari kemadorotan dan menjaga kemanfaatannya.
3. Najmuddin at – Thufi adalah seorang ahli fikih, ushul fikih dan hadis dari kalangan Hanbali yang hidup pada abad ke -7 H dan awal abad ke – 8 H. nama lengkapnya Abu Al-Rabi Sulaiman bin Abdul Qawi bin Abdul Karim bin Sa’id Al-Thufi tetapi lebih dikenal dengan nama Najmuddin at- Thufi. Nama al-thufi yang diambil dari nama desa kelahirannya di daerah Sar-Sar yang termasuk wilayah Baghdad, Irak.
4. Tidak kurang dari 30 karya yang sempat dihasilkan Al-Tufi semasa hidupnya. Diantaranya, Al-Akbar fi Qawa’id At-Tafsir, Daf At-Ta’arud’Amma Yuhim At-Tannaqud fi al-Kitab wa As-Sunnah, Bughyah As-Sa’il fi Ummahat Al-Masa’il, dll.
5. 4 landasan pemikiran al Tufi tentang al maslahah al mursalah:
·                       Pertama, kebebasan akal manusia untuk menentukan kemaslahatan dan kemadaratan di bidang muamalat duniawi.
·                      Kedua, kemaslahatan tersebut merupakan dalil di luar teks suci.
·                      Ketiga, objek penggunaan teori maslahah adalah hukum-hukum transaksi social (mu’amalah) dan hukum-hukum kebiasaan (‘adah).
·                      Keempat, kemaslahatan tersebut merupakan dalil syara’ yang paling kuat.



DAFTAR PUSTAKA
Rachmat Syafe’i. Ilmu Ushul Fiqh untuk UIN, STAIN dan PTAIS. Cet. IV. Bandung : Pustaka Setia. 2010.
Abdul Wahab Khallaf. Ilmu Ushul Fikih. Ter. Faiz El Mutaqin. Cet. VII. Jakarta: Pustaka Amani.
Wahbah Zuhaili. Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh. Vol. 13. Beirut: Dar al- Fikr. 2008.
Najamuddin at-tufi pencetus dalil-dalil. http://syahruddinelfikri.blogspot.com/2009/01/najamuddin-at-tufi-pencetus-dalil-dalil.html. Terahir di akses 10 januari 2013. Pukul 15.00 WIB.
Konsep Pemikiran  al-Thufi. http://cantikcintaku.blogspot.com/2011/12/konsep-pemikiran-najamuddin-al-       thufi.html. Terahir di akses 11 januari 2013. Pukul 16.00 WIB.
Garis besar pemikiran al-Thufi. http://jondrapianda.blogspot.com/garis-besar-pemikiran-at-thufi. Terahir di akses 11 januari 2013. Pukul 15.00 WIB.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar