Senin, 26 Mei 2014

MEGA MERAH (Syafaq)

MEGA MERAH (Syafaq)
(Studi Nash dan Astronomi Modern)
Oleh : Imam Labib Hibaurrohman, Lc

Pendahuluan.
Ibadah shalat lima waktu dalam sehari semalam merupakan salah satu perintah yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim. Ketika seseorang telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Swt dan Nabi Muhammad Saw adalah utusan Allah Swt, atau dimana ketika ia telah berada dalam posisi beraqidah Islam, maka shalat merupakan suatu hal yang wajib dilaksanakan tanpa terkecuali. Shalat merupakan salah satu media komunikasi langsung antara hamba dengan Rabb-nya, yaitu Allah Swt. Maka tidak ada alasan bagi seorang muslim yang beriman untuk tidak melaksanakan shalat lima waktu yang telah diperintahkan padanya. Meninggalkan sholat, diperumpamakan seperti telah meninggalkan Allah Swt dan menjadi manusia yang ingkar pada-Nya. Berikut sabda Rasulullah Saw mengenai hubungan antara orang-orang yang meninggalkan shalat dengan kekufuran: “Batas antara seseorang dengan kekufuran adalah meninggalkan shalat. (HR. Muslim) dan “Perjanjian antara kita dengan mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkan berarti ia kafir.” (HR. Nasa’i, Tirmidzi dan Ahmad).
Shalat lima waktu dalam sehari semalam adalah ibadah wajib yang tidak dapat ditawar lagi oleh umat muslim. Adapun kelima shalat yang dimaksud adalah shalat shubuh fajar, shalat dhuhur, shalat ashar, shalat maghrib dan shalat Isya’.  Dalam hal ini, syariat Islam juga telah memberikan aturan berkenaan dengan waktu pelaksanaannya, sebagaimana firman Allah Swt:
إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Artinya: Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An Nisa : 103).
أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْءَانَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْءَانَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
Artinya : Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan dirikan pula shalat subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan oleh malaikat.” (Al-Isra`: 78).
Shalat dianggap sah apabila mengerjakannya telah masuk waktu. Dan shalat yang dikerjakan pada waktunya memiliki keutamaan sebagaimana ditunjukkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud r.a:
سَأَلْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم: أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ: الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا. قَالَ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: بِرُّ الْوَالِدَيْنِ. قَالَ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ
Artinya : Aku pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Amal apakah yang paling dicintai oleh Allah?”. Beliau menjawab, “Shalat pada waktunya”. “Kemudian amalan apa?” tanya Ibnu Mas`ud. “Berbuat baik kepada kedua orang tua”, jawab beliau. “Kemudian amal apa?” tanya Ibnu Mas’ud lagi. “Jihad fi sabilillah” jawab beliau. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Sebaliknya, apabila shalat disia-siakan untuk dikerjakan tepat pada waktunya maka ini merupakan musibah karena menyelisihi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik r.a, seperti yang dikisahkan oleh Az-Zuhri Rahimahullahu Ta’ala, ia berkata, “Aku masuk menemui Anas bin Malik di Damaskus, saat itu ia sedang menangis. Aku pun bertanya, gerangan apa yang membuat anda menangis? Ia menjawab, Aku tidak mengetahui ada suatu amalan yang masih dikerjakan sekarang dari amalan-amalan yang pernah aku dapatkan di masa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali hanya shalat ini saja. Itupun shalat yang telah disia-siakan untuk ditunaikan pada waktunya’.” (HR. Al-Bukhari)
Dalam penentuan awal shalat pun banyak sekali perbedaan pendapat dari para ulama baik dari sisi syariahnya maupun dari science-nya, terutama berkenaan dengan syafaq (mega merah) atau disebut juga dengan istilah twilight yang mana biasa digunakan sebagai patokan dimulainya dan berakhirnya waktu sholat maghrib maupun shubuh (fajar).  
Pembahasan.
Ada beberapa hadits yang merangkum penyebutan waktu-waktu shalat berkenaan dengan adanya syafaq. Di antaranya hadits Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash r.a, ia berkata:
سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ وَقْتِ الصَّلَوَاتِ، فَقَالَ : وَقْتُ صَلاَةِ الْفَجْرِ مَا لَمْ يَطْلُعْ قَرْنُ الشَّمْسِ الْأَوَّلِ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ عَنْ بَطْنِ السَّمَاءِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ وَيَسْقُطْ قَرْنُهَا الْأَوَّلُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ إِذَا غَابَتِ الشَّمْسُ مَا لَمْ يَسْقُطِ الشَّفَقُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ
Artinya : Rasulullah Saw ditanya tentang waktu shalat (yang lima), beliau pun menjawab, “Waktu shalat fajar adalah selama belum terbit dari sisi matahari yang awal. Dan waktu shalat zhuhur apabila matahari telah tergelincir dari perut (bagian tengah) langit selama belum datang waktu Ashar. Waktu shalat ashar selama matahari belum menguning dan sebelum tenggelam bagian piringan matahari yang awal. Waktu shalat maghrib adalah bila matahari telah tenggelam selama belum hilangnya syafaq (mega merah). Dan waktu shalat isya adalah sampai tengah malam.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain dari Abdullah bin Umar bin Khattab, Rasulullah pernah bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ : إِذَا صَلَّيْتُمُ الْفَجْرَ فَإِنَّهُ وَقْتٌ إِلَى أَنْ يَطْلُعَ قَرْنُ الشَّمْسِ الأَوَّلُ ثُمَّ إِذَا صَلَّيْتُمُ الظُّهْرَ فَإِنَّهُ وَقْتٌ إِلَى أَنْ يَحْضُرَ الْعَصْرُ فَإِذَا صَلَّيْتُمُ الْعَصْرَ فَإِنَّهُ وَقْتٌ إِلَى أَنْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ فَإِذَا صَلَّيْتُمُ الْمَغْرِبَ فَإِنَّهُ وَقْتٌ إِلَى أَنْ يَسْقُطَ الشَّفَقُ فَإِذَا صَلَّيْتُمُ الْعِشَاءَ فَإِنَّهُ وَقْتٌ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ
Artinya: Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar sesungguhnya Nabi Muhammad Saw pernah bersabda; Apabila kalian sholat maka sesungguhnya sholat subuh itu sampai munculnya sebagian piringan matahari yang pertama, apabila kalian sholat dhuhur maka sesungguhnya sholat dhuhur sampai tiba waktu ashar, maka apabila kalian sholat ashar maka waktunya sampai menguningnya matahari, apabila kalian sholat maghrib maka batasan waktunya samapi hilangnya syafaq, apabila kalian sholat Isya’ maka waktunya sholat Isya’ samapi pada tengah malam. (HR. Muslim)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ : وَقْتُ الظُّهْرِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ وَوَقْتُ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ وَوَقْتُ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَسْقُطْ ثَوْرُ الشَّفَقِ وَوَقْتُ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ وَوَقْتُ الْفَجْرِ مَا لَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ
Artinya : Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar dan dari Nabi Muhammad Saw bersabda; Waktu sholat dhuhur sampai sebelum masuknya waktu ashar dan waktu ashar hingga sebelum matahari menguning dan waktu maghrib sebelum hilangnya tsauru as-syafaq[1]  dan waktu isya’ sampai pertengahan malam dan waktu sholat fajar (subuh) sebelum terbitnya matahari. ( HR. Muslim)
Demikian pula hadits Abu Hurairah r.a, telah menyebutkan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda:
إِنَّ لِلصَّلاَةِ أَوَّلاً وَآخِرًا، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ صَلاَةِ الظُّهْرِ حِيْنَ تَزُوْلُ الشَّمْسُ وَآخِرُ وَقْتِهَا حِيْنَ يَدْخُلُ وَقْتُ الْعَصْرِ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ صَلاَةِ الْعَصْرِ حِيْنَ يَدْخُلُ وَقْتَهَا وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ تَصْفَرُّ الشَّمْسُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْمَغْرِبِ حِيْنَ تَغْرُبُ الشَّمْسُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ يَغِيْبُ الْأُفُقُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ حِيْنَ يَغِيْبُ الْأُفُقُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ يَنْتَصِبُ اللَّيْلُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْفَجْرِ حِيْنَ يَطْلُعُ الْفَجْرُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ
Artinya : Sesungguhnya shalat itu memiliki awal dan akhir waktu. Awal waktu shalat zhuhur adalah saat matahari tergelincir dan akhir waktunya adalah ketika masuk waktu ashar. Awal waktu shalat ashar adalah ketika masuk waktunya dan akhir waktunya saat matahari menguning. Awal waktu shalat maghrib adalah ketika matahari tenggelam dan akhir waktunya ketika tenggelam di ufuk. Awal waktu shalat isya adalah saat ufuk tenggelam dan akhir waktunya adalah pertengahan malam. Awal waktu shalat fajar adalah ketika terbit fajar dan akhir waktunya saat matahari terbit.” (HR. At-Tirmidzi no. 151).
Asy-Syaikh Albani berkata tentang hadits ini, “Sanad hadits ini shahih di atas syarat Syaikhani (Al-Bukhari dan Muslim). Dishahihkan oleh Ibnu Hazm, namun oleh Al-Bukhari dan selainnya disebutkan bahwa hadits ini mursal. Pernyataan ini dibantah oleh Ibnu Hazm dan selainnya. Dalam hal ini Ibnu Hazm benar, terlebih lagi hadits ini memiliki syahid dari hadits Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma.” (Ats-Tsamarul Mustathab fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, 1/56 dan Ash-Shahihah no. 1696)
Ibnu Abbas r.a meriwayatkan sabda Nabi Muhamamd Saw berkenaan dengan riwayat malaikat Jibril yang sedang menjadi imam:
أَمَّنِي جِبْرِيْلُ عليه السلام عِنْدَ الْبَيْتِ مَرَّتَيْنِ، فَصَلَّى بِيَ الظُّهْرَ حِيْنَ زَالَتِ الشَّمْسُ وَكَانَتْ قَدْرَ الشِّرَاكِ، وَصَلَّى بِيَ الْعَصْرَ حِيْنَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَهُ، وَصَلَّى بِيَ –يَعْنِي الْمَغْرِبَ– حِيْنَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ، وَصَلَّى بِيَ الْعِشَاءَ حِيْنَ غَابَ الشَّفَقُ، وَصَلَّى بِيَ الْفَجْرَ حِيْنَ حَرُمَ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ عَلَى الصَّائِمِ، فَلَمَّا كَانَ الْغَدُ صَلَّى بِيَ الظُّهْرَ حِيْنَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَهُ، وَصَلَّى بِيَ الْعَصْرَ حِيْنَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَيْهِ، وَصَلَّى بِيَ الْمَغْرِبَ حِيْنَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ، وَصَلَّى بِيَ الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ وَصَلَّى بِيَ الْفَجْرَ فَأَسْفَرَ، ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَيَّ فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، هَذَا وَقْتُ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِكَ وَالْوَقْتُ مَا بَيْنَ هَذَيْنِ الْوَقْتَيْنِ
Artinya : Jibril mengimamiku di sisi Baitullah sebanyak dua kali. Ia shalat zhuhur bersamaku ketika matahari telah tergelincir dan kadar bayangan semisal tali sandal. Ia shalat ashar bersamaku ketika bayangan benda sama dengan bendanya. Ia shalat maghrib bersamaku ketika orang yang puasa berbuka. Ia shalat isya bersamaku ketika syafaq telah tenggelam. Ia shalat fajar bersamaku ketika makan dan minum telah diharamkan bagi orang yang puasa. Maka tatkala keesokan harinya, Jibril kembali mengimamiku dalam shalat zhuhur saat bayangan benda sama dengan bendanya. Ia shalat ashar bersamaku saat bayangan benda dua kali bendanya. Ia shalat maghrib bersamaku ketika orang yang puasa berbuka. Ia shalat isya bersamaku ketika telah berlalu sepertiga malam. Dan ia shalat fajar bersamaku dan mengisfarkannya. Kemudian ia menoleh kepadaku seraya berkata, “Wahai Muhammad, inilah waktu shalat para nabi sebelummu dan waktunya juga berada di antara dua waktu yang ada.” (HR. Abu Dawud no. 393, Asy-Syaikh Albani mengatakan bahwa hadits ini berada di dalam Shahih Abi Dawud, dan status haditsnya adalah Hasan Shahih).
Secara bahasa Twilight atau syafaq (mega merah) memiliki makna, yaitu; cahaya yang berbentuk kemerah-merahan berada diatas ufuq saat terbenamnya matahari.[2] Dalam kamus kontemporer disebutkan syafaq adalah sinar merah matahari setelah terbenamnya.[3] Syafaq menurut keterangan kamus munjid adalah sisa-sisa berkas sinar matahari dan cahaya kemerah-merahannya pada permulaan awal malam.[4] Ada perbedaan pendapat dari para ulama tentang apa yang dimaksud dengan syafaq sebagai tanda dimulainya atau  tanda habisnya waktu maghrib dan masuknya waktu isya, yaitu antara lain :
1.      Mayoritas para ulama berpendapat bahwa syafaq itu adalah warna kemerahan di langit sebagaimana pendapat yang diriwayatkan oleh Umar bin Khathab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Ubadah ibnu Shamit, dan Syaddad bin Aus. Demikian pula pendapat Sufyan Ats-Tsauri, Ibnu Mundzir dan dikuatkan dengan pendapatnya dari Ibnu Abi Laila, Malik, Ats-Tsauri, Ahmad, Ishaq, Abu Yusuf, Muhammad bin Al-Hasan, Abu Tsaur dan Dawud.
2.      Sebagian lagi berpandangan syafaq adalah warna putih, seperti pendapat Abu Hanifah, Zufar dan Al-Muzani. Diriwayatkan pula hal ini dari Mu’adz bin Jabal r.a, Umar bin Abdil Aziz, Al-Auzai, dan dipilih oleh Ibnul Mundzir. (Al-Majmu’ 3/44, 45, At-Tahdzib lil Baghawi, 2/10, Asy-Syarhul Kabir lil Rafi’i 1/372, Nailul Authar 1/456)
Namun yang rajih (kuat) adalah pendapat pertama, karena pemaknaan syafaq dengan warna kemerahan di langit itulah yang dikenal dikalangan orang-orang Arab dan ini disebutkan dalam syair-syair mereka. Demikian pula penjelasan yang diberikan oleh para ahli bahasa seperti Al-Azhari. Ia berkata; “Syafaq menurut orang Arab adalah humrah (warna kemerah-merahan di langit)”. Ibnu Faris berkata dalam Al-Mujmal: Al-Khalil berkata: “Syafaq adalah humrah yang muncul sejak tenggelamnya matahari sampai waktu isya yang akhir.” (Al-Majmu’, 3/45). Al-Hafizh Ibnu Katsir ketika menafsirkan surat Al-Insyiqaq memilih pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaukan dengan syafaq adalah humrah. Beliau menukilkan pendapat ini dari sejumlah besar ahlul ilmi. (Tafsir Al-Qur`anil Azhim, 8/279). Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullahu ta’ala berkata dalam kitab Subulus Salam (2/31): “Saya katakan; Pembahasan ini adalah pembahasan dari sisi bahasa, dimana yang menjadi rujukan dalam hal ini sudah barang tentu adalah ahli bahasa Arab, sementara Abdullah Ibnu ‘Umar r.a termasuk ahli bahasa dan dan beliau adalah orang Arab asli serta mengerti bahasa Arab murni, maka ucapannya merupakan hujjah, walaupun ucapannya itu hukumnya mauquf.” Sedangkan dalam kamus disebutkan syafaq adalah humrah di ufuk dari tenggelamnya matahari sampai masuknya waktu isya atau mendekati ‘atamah.
Menurut Imam Syafei batas waktu maghrib adalah ketika mega merah telah hilang dan tidak kelihatan sama sekali, dari sini bisa diambil kesimpulan dari pendapatnya Imam Syafei berkenaan dengan Syafaq adalah al-Humrah yaitu warna merah yang ada di langit dimana warna merah dilangit itu menunjukkan adanya waktu maghrib dan habisnya waktu maghrib.[5] Dalam buku al-Bahr ar-Raiq Syarh Kanzu ad-Daqaiq Fiqh Hanafiyah, Syafaq adalah cahaya putih (terang) menurut madhab Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar, Mu’adz dan Aisyah, ra. Sedangkan menurut Ibnu Abbas dan Ibnu Umar mengatakan Syafaq adalah mega merah (cahaya merah). Ibnu Fudhoil menyatakan akhir waktu maghrib adalah ketika tidak kelihatannya ufuq bersamaan dengan hilangnya warna putih (cahaya putih) di langit.[6]
Rasulullah Saw bersabda:
لاَ تَغْلِبَنَّكُمُ الْأَعْرَابُ عَلَى اسْمِ صَلاَتِكُمُ الْعِشَاءِ، فَإِنَّهَا فِي كِتَابِ اللهِ الْعِشَاءُ وَإِنَّهَا تُعْتِمُ بِحِلاَبِ الْإِبِلِ
Artinya : “Jangan sekali-kali orang-orang A’rab (Badui) mengalahkan kalian dalam penamaan shalat isya kalian ini, karena shalat ini dalam kitabullah disebut isya5 dan ia diakhirkan saat diperahnya unta.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat Imam Ahmad disebutkan:
إِنَّمَا يَدْعُوْنَهَا الْعَتَمَةَ لِإِعْتَامِهِمْ بِالْإِبِلِ
Artinya: “Orang-orang Arab menyebut isya dengan ‘atamah, karena mereka mengakhirkan pemerahan unta sampai gelap dan disaat itulah dilaksanakan shalat isya’” (Kata Al-Imam Albani menyebutkan: “Sanad dalam periwayatan ini adalah shahih di atas syarat Muslim” Ats-Tsamarul Mustathab, 1/77)
Namun apabila hanya sesekali saja maka boleh dipakai istilah shalat ‘atamah ketika menyebutkan shalat isya’, karena Rasulullah Saw pernah bersabda dalam hadits yang terdapat dalam Ash-Shahihain:
وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِي الصُّبْحِ وَالْعَتَمَةِ لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا
Artinya: “Seandainya mereka mengetahui keutamaan yang didapatkan dalam shalat subuh dan ‘atamah secara berjamaah di masjidniscaya mereka akan mendatanginya walaupun dengan merangkak.”
Ibnul Qayyim al-Jauzi berkata; Ada yang mengatakan bahwa hadits ini sebagai nasikh (penghapus) yaitu hadits yang melarang penamaan isya dengan ‘atamah. Adapula yang mengatakan sebaliknya. Namun yang benar adalah apa yang menyelisih dua pendapat ini, karena tidak diketahuinya tarikh. Dan sebenarnya tidak ada pertentangan di antara kedua hadits ini. Dengan demikian, Nabi Muhammad Saw tidaklah melarang penamaan isya dengan ‘atamah secara mutlak. Namun beliau hanya melarang bila sampai nama yang syar’i, yaitu isya’, sampai ditinggalkan. Karena isya’ adalah nama yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam Al-Qur`an, sementara nama ‘atamah telah mengalahkannya. Apabila shalat ini dinamakan isya namun kadang-kadang ia sebut ‘atamah, maka tidaklah apa-apa.
Secara astronomi, ada tiga definisi diberikan oleh para astronom yang berkenaan dengan syafaq (mega merah) atau twilight :
1.      Twilight Sipil, yaitu ketika matahari berada pada posisi -1 sampai - 6 di bawah horizon bumi.
2.      Twilight Nautikal, yaitu disaat matahari pada posisi -7⁰ hingga - 12 dibawah ufuk bumi
3.      Twilight Astronomy, yaitu matahari pada saat itu tepat berada diposisi - 13⁰ sampai -18 dibawah ufuk.
Sejatinya muncul dan berakhirnya syafaq pada waktu maghrib sama seperti halnya pada waktu sholat subuh (fajar). Menjelang pagi hari, munculnya fajar biasanya ditandai dengan cahaya yang menjulang tinggi secara vertikal di ufuk timur dan ini sering disebut dengan istilah fajar kadzib (Zodiacal Light) walaupun secara astronomis fenomena alam adanya cahaya yang menjulang tinggi dipagi hari itu selalu ada karena fenomena tersebut disebabkan adanya debu-debu benda-benda angkasa yang menyebar disekitar langit bumi sehingga mengakibatkan adanya berkas cahaya putih yang tampak. Sedangkan fajar shodiq (Astronomical Light) ditandai dengan munculnya cahaya yang menyebar di cakrawala secara horizontal atau memanjang diatas ufuk bumi seperti layaknya bentangan benang putih yang memanjang. Dimana para astronomi memberikan definisi ketentuan munculnya twilight ketika fajar dimulai pada ketinggian posisi matahari berada pada - 20 hingga - 1 dibawah ufuk. Sedangkan untuk syafaq (twilight) waktu maghrib dimulai pada posisi matahari -1 sampai - 18 dibawah ufuk (horizon) bumi. Kriteria astronomi inilah yang menjadikan perbedaan pandangan akan kriteria twilight sebenarnya, apakah dari  -1 sampai - 18 atau  - 1 hingga – 20 adanya twilight (syafaq).
The U.S. Naval Observatory menegaskan bahwa posisi matahari - 18 hamburan cahaya sangat sulit terlihat, mereka mengatakan :
Astronomical twilight is defined to begin in the morning and to end in the evening when the center of the sun is geometrically 18 degrees below the horizon. Before the beginning of astronomical twilight in the morning and after the end of astronomical twilight in the evening the sun does not contribute to sky illumination.[7]
Hal ini juga senada dengan yang ditegaskan oleh Prof. Dr. Thomas Djamaludin menyatakan bahwa awal munculnya hamburan cahaya dilangit dimana saat itu cahaya bintang mulai meredup adalah ketika matahari berada pada posisi sekitar -18 dibawah ufuk. ICOP sendiri yang diketuai oleh Muhammad Syaukat Audah (Odeh) mengungkapkan dan bahkan sekarang lagi merintis akan adanya koreksi awal waktu subuh dan waktu sholat isya’ (muncul dan hilangnya twilight) adalah ditandai dengan posisi matahari pada ketinggian -18 dibawah horizon setelah sunset untuk waktu Isya’ dan -18 dibawah horizon sebelum sunrise untuk waktu sholat subuh (fajar Shodiq). Kriteria yang dikeluarkan ICOP juga senada yang dimunculkan oleh Dewan Fiqih Umat Muslim di Amerika Utara (ISNA) yang menyatakan bahwa waktu Isya’ adalah ketika posisi matahari ketika pada ketinggian -18⁰ setelah sunset dan -18⁰ sebelum sunrise untuk waktu sholat subuhnya.
Ada beberapa kriteria posisi matahari di waktu Isya’ dan subuh yang selama ini beredar di seluruh dunia, antara lain:
1.      Kriteria standar Astronomi yang mengambil sudut waktu Isya’ adalah pada saat matahari berada diposisi -18 dibawah ufuk setelah sunset dan waktu subuh berada di posisi -18 sebelum sunrise.
2.      Negara Mesir mengambil posisi matahari waktu isya’ adalah -17.5 dan waktu subuh -19.5.
3.      Federasi Islam Amerika Utara (ISNA) dan Kanada mengambil waktu isya’ pada posisi matahari saat -15 setelah sunset dan waktu subuh -15 sebelum sunrise.
4.      Liga Muslim Dunia menggunakan kriteria -17 untuk waktu Isya’ dan -18 untuk waktu subuhnya.
5.      KEMENAG RI menggunakan kriteria -18 waktu Isya’ dan -20 untuk waktu subuh.
6.      University Of East Angli Norwich England menyebutkan waktu Isya’ dan waktu subuh sama seperti kriteria yang di keluarkan oleh ISNA
7.      Hasil penelitian lapangan yang dilakukan oleh DR. Isa Bin Ali dari Negara Mesir menyebutkan  -14  sampai -16. Abdul Aziz bin Shulthan Asy-Syammari (Anggota The Arab Union For Astronomy) mengatakan bahwa waktu Isya dan Subuh posisi matahari pada ketinggian -14 hingga -15.
8.      Hizbul Ulama Blackburn, UK. Menentukan kriterianya yang berkenaan dengan waktu sholat isya’ (hilangnya Syafaq/Twilight petang) dan Subuh (Munculnya mega putih/sinar terang/ twilight fajar) posisi matahari pada saat itu berada pada ketinggian -13.8 sampai -15
9.      Hasil penelitian lapangan akan Itensitas cahaya ufuk dalam penentuan waktu syafaq atau akhir senja astronomi yang dilakukan oleh Nihayaturrohmah program pasca sarjana S3 IAIN Walisongo dengan mengambil daerah titik pengamatan di Dukuh Cerme Ngepeh Desa Sukorejo kecamatan Kebonsari kabupaten Madiun, titik lintang tempat = -7 45.993’ dan bujur tempat = -111 29.409’ dengan hasil bahwasanya mega merah mulai hilang pada itensitas cahaya di ufuk posisi matahari saat itu adalah berada pada di kedudukan -14.54.[8] Berikut tabel yang diperoleh dari hasil penelitian dengan nilai median dari posisi data matahari saat mulai hilangnya syafaq dari ufuk ;

-12.53 -13.10 -13.10 -13.10 -14.11 -14.11 -14.11
-14.12 -14.12 -14.14 -14.14 -14.28 -14.28 -14.28
-14.54 -14.54 -14.54 -14.55 -14.55 -15.0 - 15.0
-15.36 -15.36 -15.36 -16.39 -17.23 -17.23 -17.23
-17.44 -17.44 -19.51     
Gambar Kriteria Posisi Matahari Saat Twilight
Gambar animasi:
Ketentuan Waktu Sholat Secara Astronomi dan Nash

Penutup
Penentuan waktu salat isya’ ditandai dengan menghilangnya cahaya syafaq / mega merah diufuk Barat. Fenomena menghilangnya syafaq dalam istilah astronomi bersesuaian dengan astronomical twilight. Observasi terhadap fenomena alam terkait waktu salat menjadi hal yang penting dan perlu untuk dikaji kembali yang bertujuan guna memverifikasi sudut depresi surya -18° yang diadopsi oleh negara-negara Islam termasuk Indonesia. Observasi telah dilakukan dengan memperhatikan waktu, lokasi dan menggunakan alat yang sesuai dengan kebutuhan pengamatan. Waktu pengambilan citra syafaq sebaiknya dilakukan pasca fullmoon karena pada saat seperti ini posisi bulan berada di ufuk Timur sehingga cahaya bulan tidak mengganggu pengamatan dan hilangnya syafaq bisa terdeteksi. Secara astronomi, hamburan cahaya matahari di awal malam (Syafaq / mega merah) mulai terlihat pertama kali ketika matahari tenggelam berada pada posisi -1° hingga sekitar -14° sampai -18° di bawah ufuk. Adapun pada posisi di atas itu atau lebih malam lagi maka hamburan cahaya itu akan sudah tidak tampak lagi. Fenomena syafaq atau hamburan cahaya  (Twilight) baik ketika mulai terbenam maupun akan terbitnya matahari maka posisi matahari saat itu hampir sama posisinya bahkan para astronom mayoritas menyatakan sama antara syafaq maghrib dan subuh. 
Dalam kajian fiqih, awal kemunculan hamburan cahaya di langit (Astronomical Twilight) sesuai dengan sabda Rasulullah Saw:
لَيْسَ الْفَجْرُ الْمُسْتَطِيْلُ فِيْ الأُفُقِ وَلَكِنَّهُ الْمُعْتَرِض الأَحْمَر
“Bukanlah fajar itu cahaya yang meninggi di ufuk (yakni fajar kadzib), akan tetapi (fajar shadiq)yang membentang berwarna merah (putih kemerah-merahan) .” (HR. Ahmad; hadits Hasan, lihat takhrijnya di Bayan al-Fajr as-Shadiq, Syaikh Abul Fadhl Umar ibn Mas’ud al-Hadusy).





Daftar Pustaka

Atabik Ali, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Yogyakarta: Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak, tt)
Ahmad Warsan Munawir, Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath al-Bari Syarh al-Bukhari, Beirut : Dar Al-Kutub al-‘Ilmiyah, T. Th
Kamus al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, Bairut : Daar al-Masyriq, 1986
Muhammad bin Idris As-Syafei Abu Abdullah, al-Umm, Bairut: Daar al-Ma’rifah, 1393H, Volume I.
Muhammad Basil at-Thoi, Ilmu Falak wa al-Taqawim, Cet. 2, Beirut : Dar al-Nafes, 2007
Muhammad Ahmad Sulaiman, Sabahah Fadaiyah Fi Afaq ‘Ilm Al-Falak, Kuwait : Maktabah Ajiri, 1999
Munir Baalbaki, Al-Mawrid A Modern English-Arabic Dictionary, Bairut: Daar Ilm lil Malayen, 1995
Susiknan Azhari, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam Dan Sains Modern, Cet. 2, Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2007
Susiknan Azhari, Pembaharuan Pemikiran Hisab di Indonesia; Studi Atas Pemikiran Saadoe’ Din Djambek, Cet. I, Yogyakarta : Pustaka Pelajar 2002.
Zainudin bin Ibrahim bin Najim, al-Bahr ar-Raiq Syarh Kanzu ad-Daqaiq, Bairut:: Daar Al-Ma’rifah, T.Th, Volume I
Yahya Bin Syaraf Al-Nawawi, Syarhu Sahih Muslim, Kairo : Dar al-Qolam, T. Th





[1] Tsauru as-Syafaq dalam kitab shohih muslim disebutkan dengan artian tersebarnya mega merah
[2] Munir Baalbaki, Al-Mawrid A Modern English-Arabic Dictionary (Bairut: Daar Ilm lil Malayen, 1995), h. 1001
[3] Atabik Ali, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Yogyakarta: Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak, tt), h. 1140., lihat juga : Ahmad Warsan Munawir, Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 730.
[4] Kamus al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam (Bairut : Daar al-Masyriq, 1986), Cet. 28, h. 395
[5] Muhammad bin Idris As-Syafei Abu Abdullah, al-Umm (Bairut: Daar al-Ma’rifah, 1393H), V. I, h. 74
[6] Zainudin bin Ibrahim bin Najim, al-Bahr ar-Raiq Syarh Kanzu ad-Daqaiq (Bairut : Daar Al-Ma’rifah, tt), V.1, h. 258

Tidak ada komentar:

Posting Komentar