MEGA MERAH (Syafaq)
(Studi Nash dan Astronomi Modern)
Oleh : Imam Labib Hibaurrohman, Lc
Pendahuluan.
Ibadah shalat lima waktu dalam sehari semalam
merupakan salah satu perintah yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim.
Ketika seseorang telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Swt dan Nabi
Muhammad Saw adalah utusan Allah Swt, atau dimana ketika ia telah berada dalam posisi
beraqidah Islam, maka shalat merupakan suatu hal yang wajib dilaksanakan tanpa
terkecuali. Shalat merupakan salah satu media komunikasi langsung antara hamba
dengan Rabb-nya, yaitu Allah Swt. Maka tidak ada alasan bagi seorang muslim
yang beriman untuk tidak melaksanakan shalat lima waktu yang telah
diperintahkan padanya. Meninggalkan sholat, diperumpamakan seperti telah meninggalkan
Allah Swt dan menjadi manusia yang ingkar pada-Nya. Berikut sabda Rasulullah Saw
mengenai hubungan antara orang-orang yang meninggalkan shalat dengan kekufuran:
“Batas
antara seseorang dengan kekufuran adalah meninggalkan shalat. (HR.
Muslim) dan “Perjanjian antara kita dengan mereka adalah
shalat, maka barangsiapa yang meninggalkan berarti ia kafir.” (HR.
Nasa’i, Tirmidzi dan Ahmad).
Shalat lima waktu dalam sehari semalam adalah
ibadah wajib yang tidak dapat ditawar lagi oleh umat muslim. Adapun kelima
shalat yang dimaksud adalah shalat shubuh fajar, shalat dhuhur, shalat ashar,
shalat maghrib dan shalat Isya’. Dalam hal ini, syariat Islam juga telah
memberikan aturan berkenaan dengan waktu pelaksanaannya, sebagaimana firman
Allah Swt:
إِنَّ
الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Artinya:
Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang
yang beriman.” (QS. An Nisa : 103).
أَقِمِ
الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْءَانَ الْفَجْرِ
إِنَّ قُرْءَانَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
Artinya : Dirikanlah
shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan dirikan pula
shalat subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan oleh malaikat.”
(Al-Isra`: 78).
Shalat dianggap
sah apabila mengerjakannya telah masuk waktu. Dan shalat yang dikerjakan pada
waktunya memiliki keutamaan sebagaimana ditunjukkan dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud r.a:
سَأَلْتُ
النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم: أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ:
الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا. قَالَ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: بِرُّ الْوَالِدَيْنِ.
قَالَ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ
Artinya : Aku
pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Amal apakah yang
paling dicintai oleh Allah?”. Beliau menjawab, “Shalat pada waktunya”. “Kemudian
amalan apa?” tanya Ibnu Mas`ud. “Berbuat baik kepada kedua orang tua”, jawab
beliau. “Kemudian amal apa?” tanya Ibnu Mas’ud lagi. “Jihad fi sabilillah”
jawab beliau. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Sebaliknya, apabila
shalat disia-siakan untuk dikerjakan tepat pada waktunya maka ini merupakan
musibah karena menyelisihi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Anas bin Malik r.a, seperti yang dikisahkan oleh Az-Zuhri Rahimahullahu
Ta’ala, ia berkata, “Aku masuk menemui Anas bin Malik di Damaskus, saat
itu ia sedang menangis. Aku pun bertanya, gerangan apa yang membuat anda
menangis? Ia menjawab, Aku tidak mengetahui ada suatu amalan yang masih
dikerjakan sekarang dari amalan-amalan yang pernah aku dapatkan di masa Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali hanya shalat ini saja. Itupun shalat yang
telah disia-siakan untuk ditunaikan pada waktunya’.” (HR. Al-Bukhari)
Dalam penentuan
awal shalat pun banyak sekali perbedaan pendapat dari para ulama baik dari sisi
syariahnya maupun dari science-nya, terutama berkenaan dengan syafaq
(mega merah) atau disebut juga dengan istilah twilight yang mana biasa
digunakan sebagai patokan dimulainya dan berakhirnya waktu sholat maghrib maupun
shubuh (fajar).
Pembahasan.
Ada beberapa hadits yang merangkum penyebutan
waktu-waktu shalat berkenaan dengan adanya syafaq. Di antaranya hadits
Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash r.a, ia berkata:
سُئِلَ رَسُوْلُ
اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ وَقْتِ الصَّلَوَاتِ، فَقَالَ : وَقْتُ صَلاَةِ الْفَجْرِ
مَا لَمْ يَطْلُعْ قَرْنُ الشَّمْسِ الْأَوَّلِ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الظُّهْرِ إِذَا
زَالَتِ الشَّمْسُ عَنْ بَطْنِ السَّمَاءِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ، وَوَقْتُ
صَلاَةِ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ وَيَسْقُطْ قَرْنُهَا الْأَوَّلُ،
وَوَقْتُ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ إِذَا غَابَتِ الشَّمْسُ مَا لَمْ يَسْقُطِ
الشَّفَقُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ
Artinya : Rasulullah
Saw ditanya tentang waktu shalat (yang lima), beliau pun menjawab, “Waktu
shalat fajar adalah selama belum terbit dari sisi matahari yang awal. Dan waktu
shalat zhuhur apabila matahari telah tergelincir dari perut (bagian tengah)
langit selama belum datang waktu Ashar. Waktu shalat ashar selama matahari
belum menguning dan sebelum tenggelam bagian piringan matahari yang awal. Waktu
shalat maghrib adalah bila matahari telah tenggelam selama belum hilangnya syafaq
(mega merah). Dan waktu shalat isya adalah sampai tengah malam.” (HR.
Muslim)
Dalam riwayat
lain dari Abdullah bin Umar bin Khattab, Rasulullah pernah bersabda:
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ : إِذَا صَلَّيْتُمُ
الْفَجْرَ فَإِنَّهُ وَقْتٌ إِلَى أَنْ يَطْلُعَ قَرْنُ الشَّمْسِ الأَوَّلُ ثُمَّ
إِذَا صَلَّيْتُمُ الظُّهْرَ فَإِنَّهُ وَقْتٌ إِلَى أَنْ يَحْضُرَ الْعَصْرُ
فَإِذَا صَلَّيْتُمُ الْعَصْرَ فَإِنَّهُ وَقْتٌ إِلَى أَنْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ
فَإِذَا صَلَّيْتُمُ الْمَغْرِبَ فَإِنَّهُ وَقْتٌ إِلَى أَنْ يَسْقُطَ الشَّفَقُ فَإِذَا صَلَّيْتُمُ الْعِشَاءَ فَإِنَّهُ وَقْتٌ إِلَى
نِصْفِ اللَّيْلِ
Artinya: Diriwayatkan
dari Abdullah bin Umar sesungguhnya Nabi Muhammad Saw pernah bersabda; Apabila
kalian sholat maka sesungguhnya sholat subuh itu sampai munculnya sebagian
piringan matahari yang pertama, apabila kalian sholat dhuhur maka sesungguhnya
sholat dhuhur sampai tiba waktu ashar, maka apabila kalian sholat ashar maka
waktunya sampai menguningnya matahari, apabila kalian sholat maghrib maka
batasan waktunya samapi hilangnya syafaq, apabila kalian sholat Isya’ maka
waktunya sholat Isya’ samapi pada tengah malam. (HR. Muslim)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو عَنِ النَّبِىِّ -صلى
الله عليه وسلم- قَالَ : وَقْتُ الظُّهْرِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ وَوَقْتُ الْعَصْرِ
مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ وَوَقْتُ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَسْقُطْ ثَوْرُ
الشَّفَقِ وَوَقْتُ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ وَوَقْتُ الْفَجْرِ مَا
لَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ
Artinya : Diriwayatkan
dari Abdullah bin Umar dan dari Nabi Muhammad Saw bersabda; Waktu sholat dhuhur
sampai sebelum masuknya waktu ashar dan waktu ashar hingga sebelum matahari
menguning dan waktu maghrib sebelum hilangnya tsauru as-syafaq[1] dan waktu isya’ sampai pertengahan malam dan
waktu sholat fajar (subuh) sebelum terbitnya matahari. ( HR. Muslim)
Demikian pula
hadits Abu Hurairah r.a, telah menyebutkan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda:
إِنَّ
لِلصَّلاَةِ أَوَّلاً وَآخِرًا، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ صَلاَةِ الظُّهْرِ حِيْنَ
تَزُوْلُ الشَّمْسُ وَآخِرُ وَقْتِهَا حِيْنَ يَدْخُلُ وَقْتُ الْعَصْرِ، وَإِنَّ
أَوَّلَ وَقْتِ صَلاَةِ الْعَصْرِ حِيْنَ يَدْخُلُ وَقْتَهَا وَإِنَّ آخِرَ
وَقْتِهَا حِيْنَ تَصْفَرُّ الشَّمْسُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْمَغْرِبِ حِيْنَ
تَغْرُبُ الشَّمْسُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ يَغِيْبُ الْأُفُقُ، وَإِنَّ
أَوَّلَ وَقْتِ الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ حِيْنَ يَغِيْبُ الْأُفُقُ وَإِنَّ آخِرَ
وَقْتِهَا حِيْنَ يَنْتَصِبُ اللَّيْلُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْفَجْرِ حِيْنَ
يَطْلُعُ الْفَجْرُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ
Artinya : Sesungguhnya
shalat itu memiliki awal dan akhir waktu. Awal waktu shalat zhuhur adalah saat
matahari tergelincir dan akhir waktunya adalah ketika masuk waktu ashar. Awal
waktu shalat ashar adalah ketika masuk waktunya dan akhir waktunya saat
matahari menguning. Awal waktu shalat maghrib adalah ketika matahari tenggelam
dan akhir waktunya ketika tenggelam di ufuk. Awal waktu shalat isya adalah saat
ufuk tenggelam dan akhir waktunya adalah pertengahan malam. Awal waktu shalat
fajar adalah ketika terbit fajar dan akhir waktunya saat matahari terbit.”
(HR. At-Tirmidzi no. 151).
Asy-Syaikh
Albani berkata tentang hadits ini, “Sanad hadits ini shahih di atas syarat
Syaikhani (Al-Bukhari dan Muslim). Dishahihkan oleh Ibnu Hazm, namun oleh
Al-Bukhari dan selainnya disebutkan bahwa hadits ini mursal. Pernyataan ini
dibantah oleh Ibnu Hazm dan selainnya. Dalam hal ini Ibnu Hazm benar, terlebih
lagi hadits ini memiliki syahid dari hadits Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash
radhiyallahu ‘anhuma.” (Ats-Tsamarul Mustathab fi Fiqhis Sunnah wal
Kitab, 1/56 dan Ash-Shahihah no. 1696)
Ibnu Abbas r.a meriwayatkan
sabda Nabi Muhamamd Saw berkenaan dengan riwayat malaikat Jibril yang sedang
menjadi imam:
أَمَّنِي
جِبْرِيْلُ عليه السلام عِنْدَ الْبَيْتِ مَرَّتَيْنِ، فَصَلَّى بِيَ الظُّهْرَ
حِيْنَ زَالَتِ الشَّمْسُ وَكَانَتْ قَدْرَ الشِّرَاكِ، وَصَلَّى بِيَ الْعَصْرَ
حِيْنَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَهُ، وَصَلَّى بِيَ –يَعْنِي الْمَغْرِبَ– حِيْنَ
أَفْطَرَ الصَّائِمُ، وَصَلَّى بِيَ الْعِشَاءَ حِيْنَ غَابَ الشَّفَقُ، وَصَلَّى
بِيَ الْفَجْرَ حِيْنَ حَرُمَ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ عَلَى الصَّائِمِ، فَلَمَّا
كَانَ الْغَدُ صَلَّى بِيَ الظُّهْرَ حِيْنَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَهُ، وَصَلَّى
بِيَ الْعَصْرَ حِيْنَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَيْهِ، وَصَلَّى بِيَ الْمَغْرِبَ
حِيْنَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ، وَصَلَّى بِيَ الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ
وَصَلَّى بِيَ الْفَجْرَ فَأَسْفَرَ، ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَيَّ فَقَالَ: يَا
مُحَمَّدُ، هَذَا وَقْتُ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِكَ وَالْوَقْتُ مَا بَيْنَ هَذَيْنِ
الْوَقْتَيْنِ
Artinya : Jibril
mengimamiku di sisi Baitullah sebanyak dua kali. Ia shalat zhuhur bersamaku
ketika matahari telah tergelincir dan kadar bayangan semisal tali sandal. Ia
shalat ashar bersamaku ketika bayangan benda sama dengan bendanya. Ia shalat
maghrib bersamaku ketika orang yang puasa berbuka. Ia shalat isya bersamaku
ketika syafaq telah tenggelam. Ia shalat fajar bersamaku ketika makan dan minum
telah diharamkan bagi orang yang puasa. Maka tatkala keesokan harinya, Jibril
kembali mengimamiku dalam shalat zhuhur saat bayangan benda sama dengan
bendanya. Ia shalat ashar bersamaku saat bayangan benda dua kali bendanya. Ia
shalat maghrib bersamaku ketika orang yang puasa berbuka. Ia shalat isya
bersamaku ketika telah berlalu sepertiga malam. Dan ia shalat fajar bersamaku
dan mengisfarkannya. Kemudian ia menoleh kepadaku seraya berkata, “Wahai
Muhammad, inilah waktu shalat para nabi sebelummu dan waktunya juga berada di
antara dua waktu yang ada.” (HR. Abu Dawud no. 393, Asy-Syaikh Albani mengatakan
bahwa hadits ini berada di dalam Shahih Abi Dawud, dan status haditsnya adalah Hasan
Shahih).
Secara bahasa
Twilight atau syafaq (mega merah) memiliki makna, yaitu; cahaya yang
berbentuk kemerah-merahan berada diatas ufuq saat terbenamnya matahari.[2] Dalam
kamus kontemporer disebutkan syafaq adalah sinar merah matahari setelah
terbenamnya.[3]
Syafaq menurut keterangan kamus munjid adalah sisa-sisa berkas sinar
matahari dan cahaya kemerah-merahannya pada permulaan awal malam.[4] Ada
perbedaan pendapat dari para ulama tentang apa yang dimaksud dengan syafaq
sebagai tanda dimulainya atau tanda
habisnya waktu maghrib dan masuknya waktu isya, yaitu antara lain :
1.
Mayoritas para ulama berpendapat bahwa syafaq
itu adalah warna kemerahan di langit sebagaimana pendapat yang diriwayatkan oleh
Umar bin Khathab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Abu
Hurairah, Ubadah ibnu Shamit, dan Syaddad bin Aus. Demikian pula pendapat
Sufyan Ats-Tsauri, Ibnu Mundzir dan dikuatkan dengan pendapatnya dari Ibnu Abi
Laila, Malik, Ats-Tsauri, Ahmad, Ishaq, Abu Yusuf, Muhammad bin Al-Hasan, Abu
Tsaur dan Dawud.
2.
Sebagian lagi berpandangan syafaq adalah
warna putih, seperti pendapat Abu Hanifah, Zufar dan Al-Muzani. Diriwayatkan
pula hal ini dari Mu’adz bin Jabal r.a, Umar bin Abdil Aziz, Al-Auzai, dan
dipilih oleh Ibnul Mundzir. (Al-Majmu’ 3/44, 45, At-Tahdzib lil Baghawi, 2/10,
Asy-Syarhul Kabir lil Rafi’i 1/372, Nailul Authar 1/456)
Namun yang
rajih (kuat) adalah pendapat pertama, karena pemaknaan syafaq dengan
warna kemerahan di langit itulah yang dikenal dikalangan orang-orang Arab dan
ini disebutkan dalam syair-syair mereka. Demikian pula penjelasan yang
diberikan oleh para ahli bahasa seperti Al-Azhari. Ia berkata; “Syafaq
menurut orang Arab adalah humrah (warna kemerah-merahan di langit)”. Ibnu
Faris berkata dalam Al-Mujmal: Al-Khalil berkata: “Syafaq adalah humrah yang
muncul sejak tenggelamnya matahari sampai waktu isya yang akhir.”
(Al-Majmu’, 3/45). Al-Hafizh Ibnu Katsir ketika menafsirkan surat Al-Insyiqaq
memilih pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaukan dengan syafaq
adalah humrah. Beliau menukilkan pendapat ini dari sejumlah besar ahlul
ilmi. (Tafsir Al-Qur`anil Azhim, 8/279). Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullahu
ta’ala berkata dalam kitab Subulus Salam (2/31): “Saya katakan; Pembahasan
ini adalah pembahasan dari sisi bahasa, dimana yang menjadi rujukan dalam hal
ini sudah barang tentu adalah ahli bahasa Arab, sementara Abdullah Ibnu ‘Umar r.a
termasuk ahli bahasa dan dan beliau adalah orang Arab asli serta mengerti
bahasa Arab murni, maka ucapannya merupakan hujjah, walaupun ucapannya itu
hukumnya mauquf.” Sedangkan dalam kamus disebutkan syafaq
adalah humrah di ufuk dari tenggelamnya matahari sampai masuknya waktu isya
atau mendekati ‘atamah.
Menurut Imam
Syafei batas waktu maghrib adalah ketika mega merah telah hilang dan tidak
kelihatan sama sekali, dari sini bisa diambil kesimpulan dari pendapatnya Imam
Syafei berkenaan dengan Syafaq adalah al-Humrah yaitu warna merah
yang ada di langit dimana warna merah dilangit itu menunjukkan adanya waktu
maghrib dan habisnya waktu maghrib.[5]
Dalam buku al-Bahr ar-Raiq Syarh Kanzu ad-Daqaiq Fiqh Hanafiyah, Syafaq
adalah cahaya putih (terang) menurut madhab Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar, Mu’adz
dan Aisyah, ra. Sedangkan menurut Ibnu Abbas dan Ibnu Umar mengatakan Syafaq
adalah mega merah (cahaya merah). Ibnu Fudhoil menyatakan akhir waktu maghrib
adalah ketika tidak kelihatannya ufuq bersamaan dengan hilangnya warna putih
(cahaya putih) di langit.[6]
Rasulullah Saw bersabda:
لاَ تَغْلِبَنَّكُمُ
الْأَعْرَابُ عَلَى اسْمِ صَلاَتِكُمُ الْعِشَاءِ، فَإِنَّهَا فِي كِتَابِ اللهِ
الْعِشَاءُ وَإِنَّهَا تُعْتِمُ بِحِلاَبِ الْإِبِلِ
Artinya : “Jangan
sekali-kali orang-orang A’rab (Badui) mengalahkan kalian dalam penamaan shalat
isya kalian ini, karena shalat ini dalam kitabullah disebut isya5 dan ia
diakhirkan saat diperahnya unta.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat Imam
Ahmad disebutkan:
إِنَّمَا
يَدْعُوْنَهَا الْعَتَمَةَ لِإِعْتَامِهِمْ بِالْإِبِلِ
Artinya:
“Orang-orang Arab menyebut isya dengan ‘atamah, karena mereka mengakhirkan
pemerahan unta sampai gelap dan disaat itulah dilaksanakan shalat isya’” (Kata Al-Imam
Albani menyebutkan: “Sanad dalam periwayatan ini adalah shahih di atas
syarat Muslim” Ats-Tsamarul Mustathab, 1/77)
Namun apabila hanya
sesekali saja maka boleh dipakai istilah shalat ‘atamah ketika
menyebutkan shalat isya’, karena Rasulullah Saw pernah bersabda dalam hadits
yang terdapat dalam Ash-Shahihain:
وَلَوْ
يَعْلَمُوْنَ مَا فِي الصُّبْحِ وَالْعَتَمَةِ لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا
Artinya: “Seandainya
mereka mengetahui keutamaan yang didapatkan dalam shalat subuh dan ‘atamah
secara berjamaah di masjidniscaya mereka akan mendatanginya walaupun dengan
merangkak.”
Ibnul Qayyim al-Jauzi
berkata; Ada yang mengatakan bahwa hadits ini sebagai nasikh (penghapus) yaitu
hadits yang melarang penamaan isya dengan ‘atamah. Adapula yang mengatakan
sebaliknya. Namun yang benar adalah apa yang menyelisih dua pendapat ini,
karena tidak diketahuinya tarikh. Dan sebenarnya tidak ada pertentangan di
antara kedua hadits ini. Dengan demikian, Nabi Muhammad Saw tidaklah melarang
penamaan isya dengan ‘atamah secara mutlak. Namun beliau hanya melarang bila
sampai nama yang syar’i, yaitu isya’, sampai ditinggalkan. Karena isya’ adalah
nama yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam Al-Qur`an, sementara nama
‘atamah telah mengalahkannya. Apabila shalat ini dinamakan isya namun kadang-kadang
ia sebut ‘atamah, maka tidaklah apa-apa.
Secara
astronomi, ada tiga definisi diberikan oleh para astronom yang berkenaan dengan
syafaq (mega merah) atau twilight :
1.
Twilight Sipil,
yaitu ketika
matahari berada pada posisi -1⁰ sampai - 6⁰ di bawah horizon bumi.
2.
Twilight
Nautikal, yaitu disaat matahari pada posisi -7⁰ hingga
- 12⁰ dibawah ufuk
bumi
3.
Twilight
Astronomy, yaitu matahari pada saat itu tepat berada diposisi
- 13⁰ sampai
-18⁰ dibawah ufuk.
Sejatinya
muncul dan berakhirnya syafaq pada waktu maghrib sama seperti halnya pada
waktu sholat subuh (fajar). Menjelang pagi hari, munculnya fajar biasanya
ditandai dengan cahaya yang menjulang tinggi secara vertikal di ufuk timur dan
ini sering disebut dengan istilah fajar kadzib (Zodiacal Light) walaupun
secara astronomis fenomena alam adanya cahaya yang menjulang tinggi dipagi hari
itu selalu ada karena fenomena tersebut disebabkan adanya debu-debu benda-benda
angkasa yang menyebar disekitar langit bumi sehingga mengakibatkan adanya
berkas cahaya putih yang tampak. Sedangkan fajar shodiq (Astronomical
Light) ditandai dengan munculnya cahaya yang menyebar di cakrawala secara
horizontal atau memanjang diatas ufuk bumi seperti layaknya bentangan benang
putih yang memanjang. Dimana para astronomi memberikan definisi ketentuan
munculnya twilight ketika fajar dimulai pada ketinggian posisi matahari berada
pada - 20 ⁰ hingga - 1⁰ dibawah ufuk.
Sedangkan untuk syafaq (twilight) waktu maghrib dimulai pada posisi
matahari -1⁰ sampai - 18⁰ dibawah ufuk
(horizon) bumi. Kriteria astronomi inilah yang menjadikan perbedaan pandangan
akan kriteria twilight sebenarnya, apakah dari -1⁰ sampai - 18⁰ atau -
1⁰ hingga – 20 ⁰ adanya twilight
(syafaq).
The U.S. Naval
Observatory menegaskan bahwa posisi matahari - 18⁰ hamburan cahaya sangat sulit terlihat, mereka
mengatakan :
Astronomical
twilight is defined to begin in the morning and to end in the evening when the
center of the sun is geometrically 18 degrees below the horizon. Before the
beginning of astronomical twilight in the morning and after the end of
astronomical twilight in the evening the sun does not contribute to sky
illumination.[7]
Hal ini juga
senada dengan yang ditegaskan oleh Prof. Dr. Thomas Djamaludin menyatakan bahwa
awal munculnya hamburan cahaya dilangit dimana saat itu cahaya bintang mulai
meredup adalah ketika matahari berada pada posisi sekitar -18⁰ dibawah ufuk.
ICOP sendiri yang diketuai oleh Muhammad Syaukat Audah (Odeh) mengungkapkan dan
bahkan sekarang lagi merintis akan adanya koreksi awal waktu subuh dan waktu
sholat isya’ (muncul dan hilangnya twilight) adalah ditandai dengan
posisi matahari pada ketinggian -18⁰ dibawah horizon setelah sunset untuk
waktu Isya’ dan -18⁰ dibawah horizon sebelum sunrise untuk
waktu sholat subuh (fajar Shodiq). Kriteria yang dikeluarkan ICOP juga
senada yang dimunculkan oleh Dewan Fiqih Umat Muslim di Amerika Utara (ISNA)
yang menyatakan bahwa waktu Isya’ adalah ketika posisi matahari ketika pada
ketinggian -18⁰
setelah sunset dan -18⁰
sebelum sunrise untuk waktu sholat subuhnya.
Ada beberapa kriteria posisi
matahari di waktu Isya’ dan subuh yang selama ini beredar di seluruh dunia,
antara lain:
1.
Kriteria standar Astronomi yang mengambil sudut
waktu Isya’ adalah pada saat matahari berada diposisi -18⁰ dibawah ufuk
setelah sunset dan waktu subuh berada di posisi -18⁰ sebelum
sunrise.
2.
Negara Mesir mengambil posisi matahari waktu
isya’ adalah -17.5⁰ dan waktu subuh -19.5⁰.
3.
Federasi Islam Amerika Utara (ISNA) dan Kanada mengambil
waktu isya’ pada posisi matahari saat -15⁰ setelah sunset dan waktu subuh -15⁰ sebelum
sunrise.
4.
Liga Muslim Dunia menggunakan kriteria -17⁰ untuk waktu
Isya’ dan -18⁰ untuk waktu
subuhnya.
5.
KEMENAG RI menggunakan kriteria -18⁰ waktu Isya’
dan -20⁰ untuk waktu
subuh.
6.
University Of East Angli Norwich England
menyebutkan waktu Isya’ dan waktu subuh sama seperti kriteria yang di keluarkan
oleh ISNA
7.
Hasil penelitian lapangan yang dilakukan oleh
DR. Isa Bin Ali dari Negara Mesir menyebutkan
-14⁰ sampai -16⁰. Abdul Aziz bin Shulthan Asy-Syammari (Anggota
The Arab Union For Astronomy) mengatakan bahwa waktu Isya dan Subuh posisi
matahari pada ketinggian -14⁰ hingga -15⁰.
8.
Hizbul Ulama Blackburn, UK. Menentukan
kriterianya yang berkenaan dengan waktu sholat isya’ (hilangnya Syafaq/Twilight
petang) dan Subuh (Munculnya mega putih/sinar terang/ twilight fajar) posisi
matahari pada saat itu berada pada ketinggian -13.8⁰ sampai -15⁰
9.
Hasil penelitian lapangan akan Itensitas cahaya
ufuk dalam penentuan waktu syafaq atau akhir senja astronomi yang dilakukan
oleh Nihayaturrohmah program pasca sarjana S3 IAIN Walisongo dengan mengambil
daerah titik pengamatan di Dukuh Cerme Ngepeh Desa Sukorejo kecamatan Kebonsari
kabupaten Madiun, titik lintang tempat = -7⁰ 45.993’ dan bujur tempat = -111⁰ 29.409’ dengan
hasil bahwasanya mega merah mulai hilang pada itensitas cahaya di ufuk posisi
matahari saat itu adalah berada pada di kedudukan -14.54⁰.[8]
Berikut tabel yang diperoleh dari hasil penelitian dengan nilai median dari
posisi data matahari saat mulai hilangnya syafaq dari ufuk ;
-12.53⁰ -13.10⁰ -13.10⁰ -13.10⁰ -14.11⁰ -14.11⁰ -14.11⁰
-14.12⁰ -14.12⁰ -14.14⁰ -14.14⁰ -14.28⁰ -14.28⁰ -14.28⁰
-14.54⁰ -14.54⁰ -14.54⁰ -14.55⁰ -14.55⁰ -15.0⁰ - 15.0⁰
-15.36⁰ -15.36⁰ -15.36⁰ -16.39⁰ -17.23⁰ -17.23⁰ -17.23⁰
-17.44⁰ -17.44⁰ -19.51⁰

Gambar Kriteria
Posisi Matahari Saat Twilight

Gambar animasi:
Ketentuan Waktu
Sholat Secara Astronomi dan Nash
Penutup
Penentuan waktu salat isya’ ditandai dengan menghilangnya
cahaya syafaq / mega merah diufuk Barat. Fenomena menghilangnya syafaq
dalam istilah astronomi bersesuaian dengan astronomical twilight.
Observasi terhadap fenomena alam terkait waktu salat menjadi hal yang penting
dan perlu untuk dikaji kembali yang bertujuan guna memverifikasi sudut depresi surya
-18° yang diadopsi oleh negara-negara Islam termasuk Indonesia. Observasi telah
dilakukan dengan memperhatikan waktu, lokasi dan menggunakan alat yang sesuai
dengan kebutuhan pengamatan. Waktu pengambilan citra syafaq sebaiknya
dilakukan pasca fullmoon karena pada saat seperti ini posisi bulan
berada di ufuk Timur sehingga cahaya bulan tidak mengganggu pengamatan dan
hilangnya syafaq bisa terdeteksi. Secara astronomi, hamburan cahaya matahari di awal
malam (Syafaq / mega merah) mulai terlihat pertama kali ketika matahari tenggelam
berada pada posisi -1° hingga sekitar
-14° sampai -18° di bawah ufuk. Adapun pada posisi di atas itu
atau lebih malam lagi maka hamburan cahaya itu akan sudah tidak tampak lagi.
Fenomena syafaq atau hamburan cahaya
(Twilight) baik ketika mulai terbenam maupun akan terbitnya
matahari maka posisi matahari saat itu hampir sama posisinya bahkan para
astronom mayoritas menyatakan sama antara syafaq maghrib dan subuh.
Dalam kajian fiqih,
awal kemunculan hamburan cahaya di langit (Astronomical Twilight) sesuai
dengan sabda Rasulullah Saw:
لَيْسَ الْفَجْرُ الْمُسْتَطِيْلُ فِيْ الأُفُقِ
وَلَكِنَّهُ الْمُعْتَرِض الأَحْمَر
“Bukanlah fajar itu cahaya yang meninggi di ufuk (yakni
fajar kadzib), akan tetapi (fajar shadiq)yang membentang berwarna merah (putih
kemerah-merahan) .” (HR. Ahmad; hadits Hasan, lihat takhrijnya di Bayan
al-Fajr as-Shadiq, Syaikh Abul Fadhl Umar ibn Mas’ud al-Hadusy).
Daftar Pustaka
Atabik Ali, Kamus
Kontemporer Arab-Indonesia (Yogyakarta: Multi Karya Grafika Pondok
Pesantren Krapyak, tt)
Ahmad Warsan
Munawir, Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif,
1997
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath al-Bari Syarh
al-Bukhari, Beirut : Dar Al-Kutub al-‘Ilmiyah, T. Th
Kamus al-Munjid
fi al-Lughah wa al-A’lam, Bairut : Daar al-Masyriq, 1986
Muhammad bin
Idris As-Syafei Abu Abdullah, al-Umm, Bairut: Daar al-Ma’rifah, 1393H,
Volume I.
Muhammad Basil at-Thoi, Ilmu Falak wa
al-Taqawim, Cet. 2, Beirut : Dar al-Nafes, 2007
Muhammad Ahmad Sulaiman, Sabahah Fadaiyah Fi
Afaq ‘Ilm Al-Falak, Kuwait : Maktabah Ajiri, 1999
Munir Baalbaki,
Al-Mawrid A Modern English-Arabic Dictionary, Bairut: Daar Ilm lil
Malayen, 1995
Susiknan Azhari, Ilmu Falak Perjumpaan
Khazanah Islam Dan Sains Modern, Cet. 2, Yogyakarta : Suara Muhammadiyah,
2007
Susiknan Azhari, Pembaharuan Pemikiran Hisab
di Indonesia; Studi Atas Pemikiran Saadoe’ Din Djambek, Cet. I, Yogyakarta
: Pustaka Pelajar 2002.
Zainudin bin
Ibrahim bin Najim, al-Bahr ar-Raiq Syarh Kanzu ad-Daqaiq, Bairut:: Daar
Al-Ma’rifah, T.Th, Volume I
Yahya Bin Syaraf Al-Nawawi, Syarhu Sahih
Muslim, Kairo : Dar al-Qolam, T. Th
[1] Tsauru
as-Syafaq dalam kitab shohih muslim disebutkan dengan artian tersebarnya
mega merah
[2]
Munir Baalbaki, Al-Mawrid A Modern English-Arabic Dictionary (Bairut:
Daar Ilm lil Malayen, 1995), h. 1001
[3]
Atabik Ali, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Yogyakarta: Multi Karya Grafika
Pondok Pesantren Krapyak, tt), h. 1140., lihat juga : Ahmad Warsan Munawir, Al-Munawir
Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 730.
[4]
Kamus al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam (Bairut : Daar al-Masyriq,
1986), Cet. 28, h. 395
[5] Muhammad bin
Idris As-Syafei Abu Abdullah, al-Umm (Bairut: Daar al-Ma’rifah, 1393H),
V. I, h. 74
[6] Zainudin bin
Ibrahim bin Najim, al-Bahr ar-Raiq
Syarh Kanzu ad-Daqaiq (Bairut : Daar
Al-Ma’rifah, tt), V.1, h. 258
Tidak ada komentar:
Posting Komentar