Selasa, 26 Mei 2015

DIP DAN REFRAKSI (KOREKSI DALAM PENGAMATAN KETINGGIAN BENDA LANGIT DAN FENOMENA CAHAYA SENJA)

DIP DAN REFRAKSI
(KOREKSI DALAM PENGAMATAN KETINGGIAN BENDA LANGIT
DAN FENOMENA CAHAYA SENJA)[1]
Oleh :  Nur Arif Fuadi, S.Si.[2] dan Muthiah Hijriati[3]

I.       PENDAHULUAN
Jika Matahari dilihat di saat terbit dan terbenamnya, maka akan tampak lebih besar dari pada saat Matahari dilihat dari sebelum kulminasinya sampai beberapa saat setelahnya. Bisa jadi, akan muncul alasan bahwa saat kulminasi atau beberapa saat sebelumnya atau setelahnya akan tampak kecil karena Matahari tak ada pembanding lain selain luasnya langit. Sedangkan saat terbit dan terbenamnya akan tampak besar karena ada pembanding lain seperti pohon-pohon, kapal, gedung-gedung, yang jauh lebih kecil dari Matahari di arah ufuk Timur dan Barat. Benarkah demikian?
Bukan demikian. Ini terjadi karena adanya refraksi (pembiasan cahaya) yang dikarenakan medium udara antara Matahari dan Bumi tidaklah homogen, sehingga ada perbedaan indeks bias. Hal ini sebagaimana peristiwa sebatang sedotan dimasukkan kedalam gelas berisi air. Sedotan tersebut akan terlihat patah di permukaan air, jika dilihat dari samping. Akan tetapi, jika dilihat dari atasnya, ia tetap lurus. Demikian pula bintang, Bulan dan benda-benda langit lainnya. Apa yang terlihat dari Bumi tidak sama dengan kedudukan aslinya karena pengaruh refraksi tersebut.
Matahari di kaki langit[4] tampak lebih besar daripada ketika berada di atas kepala. Padahal, ukuran piringan Matahari itu tidak berubah, selain efek refraksi atmosfer yang menyebabkan tampak sedikit lonjong[5]. Demikian pula matahari jika dilihat dari gedung bertingkat. Dilihat pada tingkat yang lebih rendah, Matahari akan terbenam lebih dahulu beberapa detik dibandingkan dengan dilihat pada tingkat lebih tinggi. Lalu, bagaimana terjadinya fenomena Matahari terbenam secara astronomis sehingga pada pengamat di Bumi tampak berbeda waktu, ukuran dan posisi sebenarnya?
Pada makalah ini, akan dibahas pengertian refraksi dan perhitungannya yang mempengaruhi (menjadikan adanya koreksi) pada pengamatan ketinggian benda langit terutama pengamatan Matahari di kala senja. Selain refraksi, ada pula koreksi lainnya yakni kedalaman ufuk, diameter Matahari dan parallaks. Akan tetapi, pada makalah ini hanya akan dibahas kedalaman ufuk dan refraksi saja.

II.    PEMBAHASAN
A.    Pengertian Kedalaman Ufuk
Pengukuran ketinggian benda-benda langit dihitung dari horizon yang dilihat oleh pengamat sampai benda langit itu. Horizon ialah batas pandang yang menunjukkan perpotongan bola langit dengan permukaan Bumi bagi si pengamat dan karenanya disebut sebagai kaki langit atau ufuk[6]. Tempat yang baik untuk dapat melihat ufuk adalah tempat terbuka, tanpa penghalang pandangan, seperti di permukaan laut atau di padang yang luas. Sehingga horizon terlihat seperti garis panjang yang melengkung sejauh mata memandang.
Horizon atau ufuk terbagi menjadi tiga, yakni horizon sebenarnya (ufuk haqiqi/ true horizon), horizon semu (ufuk hissi/ apparent horizon) dan horizon kodrat (ufuk mar’i / visible horizon). True Horizon adalah bidang datar yang ditarik dari titik pusat Bumi tegak lurus dengan garis vertikal, sehingga ia membelah Bumi dan bola langit menjadi dua bagian sama besar, bagian atas dan bagian bawah. Dalam praktek perhitungan, tinggi suatu benda langit mulamula dihitung dari ufuk hakiki ini[7]. Sehingga, ufuk hakiki ini adalah ufuknya Bumi, bukan ufuknya pengamat yang ada di Bumi, karena titik acuannya adalah titik pusat Bumi. Dapat dilihat pada gambar 1 berikut.

Bola Bumi
Bola Langit
True Horizon
U
T
S
B
Z
N
O
                                                                                                                Keterangan:
                                        O : Observer di Bumi
                                        U : Utara
                                        T : Timur
                                        S : Selatan
                                        B : Barat
                                        Z : Zenith
                                        N : Nadhir
                                        UTSB : Ufuk Haqiqi

Gambar 1. Ufuk Haqiqi

O
A
B
H’
H
G
P
Horizon Semu atau disebut juga Horizon Astronomi adalah bidang datar yang ditarik dari permukaan Bumi tegak lurus dengan garis vertikal. Ufuk ini dapat diketahui dengan alat Niveau atau Waterpass[8]. Ufuk Kodrat atau Ufuk Mar’i adalah ufuk yang terlihat oleh mata, yaitu ketika seseorang berada di tepi pantai atau berada di dataran yang sangat luas, maka akan tampak ada semacam garis pertemuan antara langit dengan Bumi[9]. Kedua jenis ufuk ini dapat dilihat pada gambar 2 berikut.
                                                            Keterangan:
A  : suatu tempat di permukaan Bumi
P   : pusat Bumi
O  : suatu tempat dengan ketinggian tertentu
AO : tinggi tempat/markaz à h
AH : ufuk hissi
OB  : ufuk mar’i
BP   : jari-jari Bumi à R
H’OB : sudut DIP (kedalaman ufuk) à D
Gambar 2. Ufuk Hissi dan Ufuk Mar’i

Horizon yang sebenarnya merupakan sebuah bidang pada bola langit yang melalui titik pusat Bumi dan tegak lurus dengan garis vertikal (garis penghubung antara titik Zenith dan titik Nadhir). Namun, letak berdiri pengamat (observer) bukanlah di titik pusat Bumi, melainkan di atas pemukaan Bumi yang berbentuk bulat, yang selanjutnya disebut dengan markaz. Markaz tersebut memiliki nilai bujur dan lintang tempat tertentu. Setiap markaz akan memiliki ufuk masing-masing, sesuai dengan kriteria tempat tersebut.
Untuk dapat melihat ufuk, bidang pertemuan antara Bumi dan langit, maka pengamat haruslah berada di atas permukaan yang lebih tinggi. Sehingga, mata pengamat tidak pernah tepat pada permukaan bumi, yang dianggap bulat, tetapi senantiasa pada suatu jarak tertentu di atasnya. Melalui titik O (gambar 2), dapat dilukiskan sebuah bidang sejajar dengan bidang horizon hakiki, yang disebut horizon semu. Bidang horizon hakiki melalui titik pusat Bumi dan bidang horizon semu melalui mata pengamat, dipisahkan oleh jarak sebesar jarijari Bumi R ditambah dengan ketinggian mata pengamat di atas permukaan air laut, yaitu h. Meskipun demikian, kedua bidang tersebut dianggap berhimpit[10]. Hal ini karena panjang jari-jari Bumi merupakan bilangan yang sama sekali tidak berarti bila dibandingkan dengan jarak-jarak di langit yang dianggap tidak berhingga panjangnya.
Penglihatan pengamat terhadap langit bukanlah dibatasi oleh bidang horizon hakiki ataupun horizon semu, melainkan oleh bidang yang dibentuk oleh garis OG (gambar 2), sebuah garis dari titik O yang menyinggung permukaan Bumi pada titik B. Bidang itu dinamakan horizon pandangan atau ufuk mar’i. Karena bidang horizon hakiki dan bidang horizon semu dianggap berhimpit, maka perbedaan jarak (dalam derajat busur) dari zenith ke ufuk hakiki dan ufuk mar’i itu dinamakan kerendahan ufuk[11] (dip).
Makin tinggi tempat pengamat, makin besar nilai bilangan kerendahan ufuk[12]. Kerendahan ufuk atau DIP yang dimaksud pada gambar 2 adalah sudut yang dibentuk oleh titik H’, O dan B (Ð H’OB), yang mana sama besarnya dengan sudut yang dibentuk oleh titik O, P dan B (Ð OPB).

B.     Perhitungan Kedalaman Ufuk
Jarak dari mata pengamat ke ufuk mar’i, yaitu OB (pada gambar 2) yang dapat diberi tanda dengan d, dapat dihitung dengan mudah. Perhatikan segitiga sikusiku OPB, segitiga yang dibentuk oleh titik pusat Bumi, mata pengamat dan titik terjauh yang bisa diamati (ufuk mar’i). Ia merupakan segitiga sikusiku karena B adalah titik singgung garis OG pada permukaan bola dengan pusat P, sehingga PB tegak lurus dengan OG di titik B.
Pada segitiga sikusiku OPB, telah diketahui sebelumnya bahwa BP = R, yaitu jarijari Bumi; OP = R+h, yaitu tinggi mata pengamat yang di ukur dari pusat Bumi; sedangkan OB = d, yaitu jarak pandang mata pengamat. Karena OPB adalah segitiga sikusiku, maka berlaku Teorema Pythagoras:
Oleh karena R ratarata panjangnya jarijari Bumi adalah 6367 km dan h biasanya bernilai hanya beberapa meter saja, maka jumlah h2 dapat diabaikan, sehingga:
Satuan pada jarijari R adalah 6367 km, sedangkan satuan pada tinggi mata observer h adalah m. Maka perlu ada penyamaan satuan, ke satuan km. Karena R bernilai 6367 km dan untuk menyamakan h ke dalam satuan km, perlu dikalikan 1000. Dengan demikian, jika h yang dinyatakan dalam m akan dikonversi ke dalam km pula, maka rumus di atas menjadi:
Jadi, jika tinggi mata pengamat di atas permukaan Bumi dinyatakan dengan jumlah meter, maka jumlah kilometer jarak mata pengamat ke kaki langit adalah sebesar akar dari 12,734 kali ketinggian mata pengamat.
Panjang 1’ busur meridian Bumi dapat dihitung dari keliling Bumi dibagi dengan 360°, kemudian dibagi lagi dengan 60’. Maka panjang 1’ busur meridian Bumi adalah 1,85 km. Panjang busur dari mata pengamat ke kaki langit inilah yang disebut dengan kedalaman atau kerendahan ufuk (DIP), yang selanjutnya dilambangkan dengan D’.
Namun, jika efek refraksi diperhitungkan, maka  .
Berikut ini adalah daftar kerendahan ufuk (dip) yang berdasarkan rumus .
Tabel 1. Nilai Kerendahan Ufuk
H
D’

H
D’

h
D’

H
D’
1
1,8

34
10,3

160
22,3

475
38,4
2
2,5

36
10,6

170
23,0

500
39,4
3
3,0

38
10,8

180
23,6

525
40,3
4
3,5

40
11,1

190
24,3

550
41,3
5
3,9

45
11,8

200
24,9

575
42,2
6
4,3

50
12,4

210
25,5

600
43,1
7
4,7

55
13,1

220
26,1

625
44,0
8
5,0

60
13,6

230
26,7

650
44,9
9
5,3

65
14,2

240
27,3

675
45,7
10
5,6

70
14,7

250
27,8

700
46,6
12
6,1

75
15,2

260
28,4

725
47,4
14
6,6

80
15,7

270
28,9

750
48,2
16
7,0

85
16,2

280
29,4

775
49,0
18
7,5

90
16,7

290
30,0

800
49,8
20
7,9

95
17,2

300
30,5

825
50,5
22
8,3

100
17,6

325
31,7

850
51,3
24
8,6

110
18,5

350
32,9

875
52,1
26
9,0

120
19,3

375
34,1

900
52,8
28
9,3

130
20,1

400
35,2

925
53,5
30
9,6

140
20,8

425
36,3

950
54,2
32
10,0

150
21,6

450
37,3

975
55,0
Sumber: Ephemeris Hisab Rukyat 2014, Kemenag RI

Untuk mendapatkan nilai dip dari ketinggian tempat yang tidak terdapat pada tabel, dapat dilakukan interpolasi dari dua nilai dip yang terdekat. Misalnya, yang dicari adalah dip untuk ketinggian 47,5 m. Maka rumus yang digunakan:
Dengan, X adalah nilai dip yang dicari; A adalah nilai dip untuk ketinggian terdekat sebelumnya; B adalah nilai dip untuk ketinggian terdekat setelahnya; C adalah selisih antara ketinggian pada soal dengan ketinggian terdekat sebelumnya; dan I adalah interval atau jarak antara ketinggian terdekat sebelumnya dengan ketinggian terdekat setelahnya.
Maka, untuk permasalahan di atas:
A = 11,8 (lihat pada ketinggian 45 m)
B = 12,4 (lihat pada ketinggian 50 m)
C = 47,5 m – 45 m = 2,5 m
I = 50 m – 45 m = 5 m
Sehingga:
Nilai X berada antara nilai A dan B. Jadi, untuk ketinggian 47,5 m nilai dipnya adalah 12,1’ atau 12’6”.
Pasti ada selisih antara nilai dip dari tabel dengan nilai dip yang langsung menggunakan rumus. Untuk permasalahan di atas, akan dicari selisihnya.
Jadi, untuk ketinggian 47,5 m nilai dipnya adalah 12,1264’ atau 12’7,58”. Ada selisih dengan nilai dip yang pertama. Akan tetapi, selisihnya terlalu kecil yaitu 1,58” (hanya dalam hitungan detik saja) sehingga tidak terlalu dipermasalahkan.

C.     Pengertian Refraksi
Dalam Ilmu Alam, dikenal kejadian yang dinamakan pembiasan cahaya atau refraksi. Pembiasan terjadi bila cahaya berpindah dari zat perantara yang satu pada zat perantara yang lain, yang kepadatannya berbeda. Dalam Astronomi dikenal pula semacam refraksi, yang dinamakan pembiasan angkasa.
Angkasa yang meliputi Bumi tidak rata keadaan suhunya, sehingga boleh dianggap terdiri dari berbagai lapisan yang berbeda-beda tingkat suhunya dan berbeda-beda pula kadar kepadatannya. Makin jauh dari Bumi, makin kurang padat susunan udara (lapisan atmosfer). Makin dekat dengan permukaan Bumi, makin padat susunan udaranya.
Luar atmosfer
Lapisan terluar
Lapisan kedua terluar
Lapisan kedua terdekat
Lapisan terdekat
Arah refraksi cahaya
Arah cahaya hakiki
 











Gambar 3. Refraksi Angkasa

Cahaya yang datang dari benda langit, seperti Matahari, bintang, Bulan dan benda langit lainnya, setiap kali dibelokkan arahnya jika sinar itu berpindah dari lapisan udara yang kurang padat ke dalam udara yang lebih padat. Karena pergerakannya dari medium yang kurang padat ke medium yang lebih padat, maka pembelokan arahnya mendekati garis normal, yaitu sebuah garis yang merupakan batas di antara kedua lapisan itu. Sehingga, jika sinar itu diterima oleh mata pengamat, arahnya sudah berbeda dari arah semula.
Semakin rendah kedudukan sebuah benda langit, maka semakin besar pula nilai refraksinya. Refraksi paling besar bagi benda langit terjadi pada saat terbit dan terbenamnya. Dengan demikian, Matahari pun mengalami refraksi dengan nilai refraksi terbesar ketika ia terbit dan terbenam. Refraksi hampir-hampir tidak berarti jika kedudukan matahari berada pada ketinggian antara 90° (di titik zenith) hingga 60°, nilainya hanyalah berjumlah sebagian menit busur saja. Pada titik zenith, artinya ia berada pada garis normal, dan nilai refraksinya adalah nol.
Kedudukan Matahari berada pada ketinggian antara 60° hingga 10°, nilainya hanya beberapa menit bujur  busur. Sedangkan tinggi Matahari yang kedudukannya kurang dari 10°, nilai refraksinya meningkat dengan cepat sekali. Itulah sebabnya, jika Bulan atau Matahari berkedudukan amat rendah (mendekati ufuk), bentuknya kadangkadang terlihat tidak bundar sempurna, tetapi agak pecak. Hal ini dikarenakan adanya pengaruh refraksi. Bagian bawah piringan terrefraksi lebih banyak dari bagian atasnya. Sehingga poros tegak piringan itu menjadi lebih pendek kelihatannya daripada poros horisontalnya.
Matahari atau Bulan yang berada pada ufuk (ketinggian 0°), mempunyai nilai refraksi 34,5’ (0°34’30”) atau jika dibulatkan menjadi 34’. Artinya, jika Matahari atau Bulan dilihat saat sedang terbit atau terbenam (piringan sebelah atas dalam keadaan bersinggungan dengan garis ufuk), maka hakikinya piringan Matahari atau Bulan sebelah atas itu berada 34,5’ di bawah ufuk. Sedangkan titik pusatnya berkedudukan 34’30” + 16’ = 50’30” di bawah ufuk (rata-rata diameter Matahari atau Bulan adalah 16’). Dengan demikian, jarak titik zenith dengan titik pusat Matahari atau Bulan pada saat terbit atau terbenamnya adalah 90°50’30”.

D.    Perhitungan Refraksi
Pada pembiasan cahaya (refraksi) yang melalui dua medium berbeda, yang dibatasi oleh permukaan yang datar, ada dua hukum pembiasan cahaya, yaitu:
1.      Sinar datang, sinar bias, dan garis normal terletak pada satu bidang datar; dan ketiganya berpotongan pada satu titik.
2.      Sinar datang dari medium kurang rapat menuju medium lebih rapat dibiaskan mendekati garis normal. Sebaliknya, sinar datang dari medium lebih rapat menuju medium kurang rapat dibiaskan menjauhi garis normal. Sinar datang tegak lurus bidang batas diteruskan atau tidak mengalami pembiasan.
Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada gambar 4 berikut. Untuk gambar 4.a dan 4.b, cahaya datang dari medium yang lebih renggang. Sedangkan untuk gambar 4.c dan 4.d, cahaya datang dari medium yang lebih rapat.
Garis normal
Sinar datang
Sinar bias
Medium 2
Medium 1
Sudut datang
Sudut bias
Sinar diteruskan tanpa pembiasan
 







                              (a)                                                        (b)
Sinar diteruskan tanpa pembiasan
Garis normal
Sinar datang
Sinar bias
Medium 2
Medium 1
Sudut datang
Sudut bias
 








                                    (c)                                                        (d)
                  Gambar 4. Pembiasan pada Dua Medium yang Berbeda

Refraksi akan sangat dipengaruhi oleh indeks bias dari masing-masing medium. Indeks bias adalah rasio kecepatan cahaya di ruang hampa udara dengan kecepatan kecepatan cahaya dalam suatu medium. Kecepatan cahaya di ruang hampa udara adalah 3x108 m/s. Secara matematis, rumus tersebut dituliskan sebagai berikut:
Dengan, n adalah indeks bias medium; C adalah kecepatan cahaya di ruang hampa udara; Cn adalah kecepatan cahaya dalam medium.
Beberapa nilai indeks bias pada beberapa medium sebagai berikut.
Tabel 2. Indeks Bias
Material
λ (nm)
N

Material
λ (nm)
N
Hampa udara

1

Materi padat pada suhu kamar
Udara @ STP

1,0002926

Gas @ 0°C dan 1 atm

Strontium titanate
589,29
2,41
Udara
589,29
1,000293

Ambar
589,29
1,55
Material
λ (nm)
N

Material
λ (nm)
N
Helium
589,29
1,000036

Fused silica
589,29
1,458
Hidrogen
589,29
1,000132

Natrium klorida
589,29
1,50
Karbondioksida
589,29
1,00045

Intan
589,29
2,419
Cairan @ 20°C

Sapphire

1,762 – 1,778
Benzena
589,29
1,501

Es

1,31
Air
589,29
1,3330

Pyrex

1,470
Ethanol
589,29
1,461

Cryolite

1,338
Karbondisulfida
589,29
1,628

Aseton

1,36
Materi padat pada suhu kamar

Teflon

1,35 – 1,38
Kaca

1,485 – 1,755

Flint glass

1,60 – 1,62
Kaca akrilik

1,490 – 1,492

PMMA

1, 4893 – 1,4899
Crown glass (optics)

1,50 – 1,54

Cubic Zirconium

2,15 – 2,18
Polycarbonate

1,584 – 1,586

Silicon Carbide

2,65 – 2,69
Brom

1,661

Silikon

4,01
Sumber: http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Indeks_bias&oldid=6960970

Refraksi benda langit (Matahari, Bulan dan benda langit lainnya), yang merupakan pembelokan cahaya ketika masuk melalui atmosphere, pada saat terbit dan terbenamnya, rumusnya adalah sebagai berikut.
Dengan, R adalah nilai refraksi; dan ha adalah tinggi semu benda langit (tinggi lihat). Adapun rumus alternatif untuk refraksi, jika h adalah tinggi hakiki benda langit (tinggi nyata) adalah sebagai berikut.
Jika Matahari atau Bulan (atau benda langit lainnya) dalam keadaan sedang terbit atau terbenam, maka kedua rumus tersebut memiliki hubungan sebagai berikut.
         atau     .
Beberapa nilai refraksi tertuang pada tabel berikut.
Tabel 3. Nilai Refraksi
h
Refr
ha

h
Refr
ha

h
Refr
ha
-0°35’
34,5’
0°00’

2°14’
16,1‘
2°30’

5°51’
08,5‘
6°00’
-0°31’
33,8’
0°03’

2°19’
15,8‘
2°35’

6°02’
08,3‘
6°10’
-0°27’
33,2’
0°06’

2°24’
15,5‘
2°40’

6°12’
08,1‘
6°20’
-0°24’
32,6’
0°09’

2°30’
15,2‘
2°45’

6°22’
07,9‘
6°30’
-0°20’
32,0’
0°12’

2°35’
14,9‘
2°50’

6°32’
07,7‘
6°40’
-0°16’
31,4’
0°15’

2°40’
14,7‘
2°55’

6°42’
07,6‘
6°50’
-0°13’
30,8’
0°18’

2°46’
14,4‘
3°00’

6°53’
07,4‘
7°00’
-0°09’
30,3’
0°21’

2°51’
14,1‘
3°05’

7°03’
07,2‘
7°10’
-0°06’
29,8’
0°24’

2°56’
13,9‘
3°10’

7°13’
07,1‘
7°20’
-0°02’
29,2’
0°27’

3°01’
13,7‘
3°15’

7°23’
07,0‘
7°30’
0°01’
28,7’
0°30’

3°07’
13,4‘
3°20’

7°33’
06,8‘
7°40’
0°05’
28,2’
0°33’

3°12’
13,2‘
3°25’

7°43’
06,7‘
7°50’
0°08’
27,8’
0°36’

3°17’
13,0‘
3°30’

7°53’
06,6‘
8°00’
0°12’
27,3’
0°39’

3°22’
12,7‘
3°35’

8°04’
06,4‘
8°10’
0°15’
26,8’
0°42’

3°27’
12,5‘
3°40’

8°14’
06,3‘
8°20’
0°19’
26,4’
0°45’

3°33’
12,3‘
3°45’

8°24’
06,2‘
8°30’
0°22’
25,9’
0°48’

3°38’
12,1‘
3°50’

8°34’
06,1‘
8°40’
0°26’
25,5’
0°51’

3°43’
11,9‘
3°55’

8°44’
06,0‘
8°50’
0°29’
25,1’
0°54’

3°48’
11,8‘
4°00’

8°54’
05,9‘
9°00’
0°32’
24.7’
0°57’

3°53’
11,6‘
4°05’

9°04’
05,8‘
9°10’
0°36’
24,3’
1°00’

3°59’
11,4‘
4°10’

9°14’
05,7‘
9°20’
0°39’
24,0’
1°03’

4°04’
11,2‘
4°15’

9°24’
05,6‘
9°30’
0°42’
23,6’
1°06’

4°09’
11,1‘
4°20’

9°34’
05,5‘
9°40’
0°46’
23,2’
1°09’

4°14’
10,9‘
4°25’

9°45’
05,4‘
9°50’
0°49’
22,9’
1°12’

4°19’
10,7‘
4°30’

9°51’
05,3‘
9°56’
0°52’
22,5’
1°15’

4°24’
10,6‘
4°35’

10°03’
05,2‘
10°08’
0°56’
22,2’
1°18’

4°30’
10,4‘
4°40’

10°15’
05,1‘
10°20’
0°59’
21,9’
1°21’

4°35’
10,3‘
4°45’

10°28’
05,0‘
10°33’
1°02’
21,6’
1°24’

4°40’
10,1‘
4°50’

10°41’
04,9‘
10°46’
1°06’
21,2’
1°27’

4°45’
10,0‘
4°55’

10°55’
04,8‘
11°00’
1°09’
20,9’
1°30’

4°50’
09,9‘
5°00’

11°09’
04,7‘
11°14’
1°14’
20,5’
1°35’

4°55’
09,7‘
5°05’

11°24’
04,6‘
11°29’
1°20’
20,0’
1°40’

5°00’
09,6‘
5°10’

11°40’
04,5‘
11°45’
1°25’
19,5’
1°45’

5°05’
09,5‘
5°15’

11°57’
04,4‘
12°01’
1°31’
19,1’
1°50’

5°11’
09,4‘
5°20’

12°14’
04,3‘
12°18’
1°36’
18,7’
1°55’

5°16’
09,2‘
5°25’

12°31’
04,2‘
12°35’
1°42’
18,3’
2°00’

5°21’
09,1‘
5°30’

12°50’
04,1‘
12°54’
1°47’
17,9’
2°05’

5°26’
09,0‘
5°35’

13°09’
04,0‘
13°13’
1°52’
17,5’
2°10’

5°31’
08,9‘
5°40’

13°29’
03,9‘
13°33’
1°58’
17,2’
2°15’

5°36’
08,8‘
5°45’

13°50’
03,8‘
13°54’
2°03’
16,8’
2°20’

5°41’
08,7‘
5°50’

14°12’
03,7‘
14°16’
2°08’
16,5’
2°25’

5°46’
08,6’
5°55’

14°36’
03,6’
14°40’
Sumber : Ephemeris Hisab Rukyat 2014, Kemenag RI
Untuk mendapatkan tinggi lihat dari tinggi nyata dan nilai refraksi yang tidak terdapat pada tabel, dapat dilakukan interpolasi dari dua tinggi lihat yang terdekat, yaitu dengan rumus sebagai berikut:
Dengan, X adalah tinggi lihat yang dicari; A adalah tinggi lihat untuk tinggi nyata terdekat sebelumnya; B adalah tinggi lihat untuk tinggi nyata terdekat setelahnya; C adalah selisih antara tinggi lihat pada soal dengan tinggi lihat terdekat sebelumnya; dan I adalah interval atau jarak antara tinggi nyata terdekat sebelumnya dengan tinggi nyata terdekat setelahnya. Atau, dapat pula untuk mencari tinggi nyata, di mana hubungan tinggi nyata dan tinggi lihat adalah:
.

III. PENUTUP
Dari pembahasan di atas, maka makalah ini memiliki simpulan sebagai berikut:
1.      Kerendahan ufuk (dip) merupakan perbedaan jarak (dalam derajat busur) dari zenith ke ufuk hakiki dan ufuk mar’i.
2.      Kedalaman atau kerendahan ufuk (dip), yang selanjutnya dilambangkan dengan D’, dapat dihitung dengan rumus:
Namun, jika efek refraksi diperhitungkan, maka:
 .
3.      Pembiasan cahaya atau refraksi terjadi bila cahaya berpindah dari medium (zat perantara) yang satu pada zat perantara yang lain, yang kepadatannya berbeda. Dalam Astronomi dikenal pula dengan pembiasan angkasa.
4.      Refraksi benda langit rumusnya adalah sebagai berikut.
Dengan, R adalah nilai refraksi; dan ha adalah tinggi lihat. Adapun rumus alternatif untuk refraksi, jika h adalah tinggi nyata, adalah sebagai berikut.
5.      Nilai dip dan refraksi dapat diperoleh dengan melihat tabel nilai dip dan tabel refraksi. Jika tidak ditemukan, dapat dilakukan interpolasi.

IV. REFERENSI
Ali, M. Sayuthi. 1997. Ilmu Falak (Jilid I). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Dewi, Poetri Amalia & Seipahh Kardipah. 2012. All in One Kumpulan Rumus Fisika SMP/MTs Kelas 7,8,9. Depok: Pustaka Makmur.
Khazin, Muhyiddin. 2005. Kamus Ilmu Falak. Yogyakarta: Buana Pustaka.
Ichtijanto SA. dkk. 1981. Almanak Hisab Rukyat Badan Hisab & Rukyat Dep. Agama. Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam.
Izzudin, Ahmad. 2012. Kajian Terhadap Metode-Metode Penentuan Arah Kiblat Dan Akurasinya. Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia.
Murray, Daniel A. 1908. Spherical Trygonometry, for Colleges and Secondary Schools. New York, Amerika Serikat: Longman, Green and Co.
Nur, Muhaimin dkk. 1983. Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qamariyah dengan Ilmu Ukur Bola. Jakarta: Bagian Proyek Pembinaan Administrasi Hukum dan Peradilan Agama.
Rietz, H.L. dkk. 1936. Plane And Spherical Trigonometry. New York, Amerika Serikat: The Macmillan Company.
Seidelmann, P. Kenneth (Editor). 1992. Explanatory Supplement to The Astronomical Almanac. Mill Valley, California: University Science Books.
Smart, William Marshall. 1977. Textbook on Spherical Astronomy. Melbourne, Australia: Cambridge University Press.
Tahir, Abdul Hamid. 1990. Unsurunsur Astronomi Praktik Untuk Kegunaan Ukur Tanah. Johor Darul Ta’zim, Malaysia: Unit Penerbitan Akademik Universiti Teknologi Malaysia.
Tim Penyusun Hisab Rukyat Dept. Agama Pusat. 2013. Ephemeris Hisab Rukyat 2014. Jakarta: Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Direktorat Jenderal Bimbingan Islam Kementrian Agama RI.
Todhunter, I. 1886. Spherical Trigonometry: For the Use of Colleges and Schools. London, Inggris: Macmillan and Co.



[1] Makalah ini disampaikan di Presentasi Mata Kuliah Praktikum Falak II, pada hari Senin tanggal  13 Januari 2014 dengan dosen pengampu adalah KH. Slamet Hambali, M.Ag.
[2] Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Falak IAIN Walisongo Semarang, NIM 135212025, Peserta Program Pendidikan Kader Ulama Ilmu Falak Kemenag RI 2012-2014. Direktur Utama pada Lembaga Pengkajian Ilmu Falak dan Observasi ARKA JUMANTARA Purbalingga.
[3] Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Falak IAIN Walisongo, Semarang, NIM 135212024. Peserta ProgramPendidikan Kader Ulama Ilmu Falak Kemenag RI 2012-2014. Ketua Umum pada Himpunan Pemburu Matahari (HPM) Surabaya.
[4] Horizon atau ufuk.
[5] Djamaluddin, T. 2006. Menjelajah Keluasan Langit Menembus Kedalaman Al Quran. Bandung: Khazanah Intelektual. Hal 15.
[6] Ichtijanto SA. dkk. 1981. Almanak Hisab Rukyat Badan Hisab & Rukyat Dep. Agama. Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam. Hal 116.
[7] Khazin, Muhyiddin. 2005. Kamus Ilmu Falak. Jogjakarta: Buana Pustaka. Hal 86.
[8] Khazin, Muhyiddin. 2005. Kamus Ilmu Falak. Jogjakarta: Buana Pustaka. Hal 86.
[9] Khazin, Muhyiddin. 2005. Kamus Ilmu Falak. Jogjakarta: Buana Pustaka. Hal 86 – 87.
[10] Ali, M. Sayuthi. 1997. Ilmu Falak I. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hal 40.
[11] Ali, M. Sayuthi. 1997. Ilmu Falak I. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hal 41.
[12] Ibid.

1 komentar: