DIP
DAN REFRAKSI
(KOREKSI
DALAM PENGAMATAN KETINGGIAN BENDA LANGIT
DAN
FENOMENA CAHAYA SENJA)[1]
I.
PENDAHULUAN
Jika Matahari dilihat di saat terbit dan terbenamnya, maka
akan tampak lebih besar dari pada saat Matahari dilihat dari sebelum
kulminasinya sampai beberapa saat setelahnya. Bisa jadi, akan muncul alasan
bahwa saat kulminasi atau beberapa saat sebelumnya atau setelahnya akan tampak
kecil karena Matahari tak ada pembanding lain selain luasnya langit. Sedangkan
saat terbit dan terbenamnya akan tampak besar karena ada pembanding lain
seperti pohon-pohon, kapal, gedung-gedung, yang jauh lebih kecil dari Matahari di
arah ufuk Timur dan Barat. Benarkah demikian?
Bukan demikian. Ini terjadi karena adanya refraksi
(pembiasan cahaya) yang dikarenakan medium udara antara Matahari dan Bumi
tidaklah homogen, sehingga ada perbedaan indeks bias. Hal ini sebagaimana
peristiwa sebatang sedotan dimasukkan kedalam gelas berisi air. Sedotan
tersebut akan terlihat patah di permukaan air, jika dilihat dari samping. Akan
tetapi, jika dilihat dari atasnya, ia tetap lurus. Demikian pula bintang, Bulan
dan benda-benda langit lainnya. Apa yang terlihat dari Bumi tidak sama dengan
kedudukan aslinya karena pengaruh refraksi tersebut.
Matahari di kaki langit[4]
tampak lebih besar daripada ketika berada di atas kepala. Padahal, ukuran
piringan Matahari itu tidak berubah, selain efek refraksi atmosfer yang
menyebabkan tampak sedikit lonjong[5]. Demikian
pula matahari jika dilihat dari gedung bertingkat. Dilihat pada tingkat yang
lebih rendah, Matahari akan terbenam lebih dahulu beberapa detik dibandingkan
dengan dilihat pada tingkat lebih tinggi. Lalu, bagaimana terjadinya fenomena
Matahari terbenam secara astronomis sehingga pada pengamat di Bumi tampak
berbeda waktu, ukuran dan posisi sebenarnya?
Pada makalah ini, akan dibahas pengertian refraksi dan
perhitungannya yang mempengaruhi (menjadikan adanya koreksi) pada pengamatan
ketinggian benda langit terutama pengamatan Matahari di kala senja. Selain
refraksi, ada pula koreksi lainnya yakni kedalaman ufuk, diameter Matahari dan parallaks.
Akan tetapi, pada makalah ini hanya akan dibahas kedalaman ufuk dan refraksi
saja.
II.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kedalaman Ufuk
Pengukuran ketinggian benda-benda langit dihitung dari
horizon yang dilihat oleh pengamat sampai benda langit itu. Horizon ialah batas
pandang yang menunjukkan perpotongan bola langit dengan permukaan Bumi bagi si
pengamat dan karenanya disebut sebagai kaki langit atau ufuk[6].
Tempat yang baik untuk dapat melihat ufuk adalah tempat terbuka, tanpa
penghalang pandangan, seperti di permukaan laut atau di padang yang luas. Sehingga
horizon terlihat seperti garis panjang yang melengkung sejauh mata memandang.
Horizon atau ufuk terbagi menjadi tiga, yakni horizon
sebenarnya (ufuk haqiqi/ true horizon), horizon semu (ufuk hissi/
apparent horizon) dan horizon kodrat (ufuk mar’i / visible horizon).
True Horizon adalah bidang datar yang ditarik dari titik pusat Bumi
tegak lurus dengan garis vertikal, sehingga ia membelah Bumi dan bola langit
menjadi dua bagian sama besar, bagian atas dan bagian bawah. Dalam praktek
perhitungan, tinggi suatu benda langit mulamula dihitung dari ufuk hakiki ini[7]. Sehingga,
ufuk hakiki ini adalah ufuknya Bumi, bukan ufuknya pengamat yang ada di Bumi,
karena titik acuannya adalah titik pusat Bumi. Dapat dilihat pada gambar 1
berikut.
Bola Bumi
|
Bola Langit
|
True Horizon
|
U
|
T
|
S
|
B
|
Z
|
N
|
O
|
O :
Observer di Bumi
U :
Utara
T :
Timur
S : Selatan
B :
Barat
Z :
Zenith
N :
Nadhir
UTSB : Ufuk Haqiqi
Gambar 1.
Ufuk Haqiqi
O
|
A
|
B
|
H’
|
H
|
G
|
P
|
Keterangan:
A : suatu tempat
di permukaan Bumi
P : pusat Bumi
O : suatu
tempat dengan ketinggian tertentu
AO : tinggi tempat/markaz à h
AH : ufuk hissi
OB : ufuk mar’i
BP : jari-jari
Bumi à R
H’OB : sudut DIP (kedalaman ufuk) à D
Gambar 2. Ufuk Hissi dan Ufuk Mar’i
Horizon yang sebenarnya merupakan sebuah bidang pada bola
langit yang melalui titik pusat Bumi dan tegak lurus dengan garis vertikal
(garis penghubung antara titik Zenith dan titik Nadhir). Namun, letak berdiri
pengamat (observer) bukanlah di titik pusat Bumi, melainkan di atas
pemukaan Bumi yang berbentuk bulat, yang selanjutnya disebut dengan markaz.
Markaz tersebut memiliki nilai bujur dan lintang tempat tertentu. Setiap markaz
akan memiliki ufuk masing-masing, sesuai dengan kriteria tempat tersebut.
Untuk dapat melihat ufuk, bidang pertemuan antara Bumi dan
langit, maka pengamat haruslah berada di atas permukaan yang lebih tinggi.
Sehingga, mata pengamat tidak pernah tepat pada permukaan bumi, yang dianggap
bulat, tetapi senantiasa pada suatu jarak tertentu di atasnya. Melalui titik O
(gambar 2), dapat dilukiskan sebuah bidang sejajar dengan bidang horizon
hakiki, yang disebut horizon semu. Bidang horizon hakiki melalui titik pusat
Bumi dan bidang horizon semu melalui mata pengamat, dipisahkan oleh jarak sebesar
jarijari Bumi R ditambah dengan ketinggian mata pengamat di atas
permukaan air laut, yaitu h. Meskipun demikian, kedua bidang tersebut
dianggap berhimpit[10].
Hal ini karena panjang jari-jari Bumi merupakan bilangan yang sama sekali tidak
berarti bila dibandingkan dengan jarak-jarak di langit yang dianggap tidak
berhingga panjangnya.
Penglihatan pengamat terhadap langit bukanlah dibatasi oleh
bidang horizon hakiki ataupun horizon semu, melainkan oleh bidang yang dibentuk
oleh garis OG (gambar 2), sebuah garis dari titik O yang menyinggung permukaan
Bumi pada titik B. Bidang itu dinamakan horizon pandangan atau ufuk mar’i.
Karena bidang horizon hakiki dan bidang horizon semu dianggap berhimpit, maka
perbedaan jarak (dalam derajat busur) dari zenith ke ufuk hakiki dan ufuk mar’i
itu dinamakan kerendahan ufuk[11] (dip).
Makin tinggi tempat pengamat, makin besar nilai bilangan
kerendahan ufuk[12].
Kerendahan ufuk atau DIP yang dimaksud pada gambar 2 adalah sudut yang dibentuk
oleh titik H’, O dan B (Ð H’OB), yang mana sama besarnya dengan sudut yang
dibentuk oleh titik O, P dan B (Ð OPB).
B.
Perhitungan Kedalaman Ufuk
Jarak dari mata pengamat ke ufuk mar’i, yaitu OB
(pada gambar 2) yang dapat diberi tanda dengan d, dapat dihitung dengan
mudah. Perhatikan segitiga sikusiku OPB, segitiga yang dibentuk oleh titik
pusat Bumi, mata pengamat dan titik terjauh yang bisa diamati (ufuk mar’i).
Ia merupakan segitiga sikusiku karena B adalah titik singgung garis OG pada
permukaan bola dengan pusat P, sehingga PB tegak lurus dengan OG di titik B.
Pada segitiga sikusiku OPB, telah diketahui sebelumnya
bahwa BP = R, yaitu jarijari Bumi; OP = R+h, yaitu tinggi mata
pengamat yang di ukur dari pusat Bumi; sedangkan OB = d, yaitu jarak
pandang mata pengamat. Karena OPB adalah segitiga sikusiku, maka berlaku
Teorema Pythagoras:
Oleh karena R ratarata panjangnya
jarijari Bumi adalah 6367 km dan h biasanya bernilai hanya beberapa
meter saja, maka jumlah h2 dapat diabaikan, sehingga:
Satuan pada jarijari R adalah 6367
km, sedangkan satuan pada tinggi mata observer h adalah m. Maka perlu
ada penyamaan satuan, ke satuan km. Karena R bernilai 6367 km dan untuk
menyamakan h ke dalam satuan km, perlu dikalikan 1000. Dengan demikian,
jika h yang dinyatakan dalam m akan dikonversi ke dalam km pula, maka
rumus di atas menjadi:
Jadi, jika tinggi mata pengamat di atas
permukaan Bumi dinyatakan dengan jumlah meter, maka jumlah kilometer jarak mata
pengamat ke kaki langit adalah sebesar akar dari 12,734 kali ketinggian mata
pengamat.
Panjang 1’ busur meridian Bumi dapat
dihitung dari keliling Bumi dibagi dengan 360°, kemudian dibagi lagi dengan 60’. Maka
panjang 1’ busur meridian Bumi adalah 1,85 km. Panjang busur dari mata pengamat
ke kaki langit inilah yang disebut dengan kedalaman atau kerendahan ufuk (DIP),
yang selanjutnya dilambangkan dengan D’.
Namun,
jika efek refraksi diperhitungkan, maka
.
Berikut ini adalah daftar kerendahan ufuk (dip) yang
berdasarkan rumus
.
Tabel
1. Nilai Kerendahan Ufuk
H
|
D’
|
|
H
|
D’
|
|
h
|
D’
|
|
H
|
D’
|
1
|
1,8
|
|
34
|
10,3
|
|
160
|
22,3
|
|
475
|
38,4
|
2
|
2,5
|
|
36
|
10,6
|
|
170
|
23,0
|
|
500
|
39,4
|
3
|
3,0
|
|
38
|
10,8
|
|
180
|
23,6
|
|
525
|
40,3
|
4
|
3,5
|
|
40
|
11,1
|
|
190
|
24,3
|
|
550
|
41,3
|
5
|
3,9
|
|
45
|
11,8
|
|
200
|
24,9
|
|
575
|
42,2
|
6
|
4,3
|
|
50
|
12,4
|
|
210
|
25,5
|
|
600
|
43,1
|
7
|
4,7
|
|
55
|
13,1
|
|
220
|
26,1
|
|
625
|
44,0
|
8
|
5,0
|
|
60
|
13,6
|
|
230
|
26,7
|
|
650
|
44,9
|
9
|
5,3
|
|
65
|
14,2
|
|
240
|
27,3
|
|
675
|
45,7
|
10
|
5,6
|
|
70
|
14,7
|
|
250
|
27,8
|
|
700
|
46,6
|
12
|
6,1
|
|
75
|
15,2
|
|
260
|
28,4
|
|
725
|
47,4
|
14
|
6,6
|
|
80
|
15,7
|
|
270
|
28,9
|
|
750
|
48,2
|
16
|
7,0
|
|
85
|
16,2
|
|
280
|
29,4
|
|
775
|
49,0
|
18
|
7,5
|
|
90
|
16,7
|
|
290
|
30,0
|
|
800
|
49,8
|
20
|
7,9
|
|
95
|
17,2
|
|
300
|
30,5
|
|
825
|
50,5
|
22
|
8,3
|
|
100
|
17,6
|
|
325
|
31,7
|
|
850
|
51,3
|
24
|
8,6
|
|
110
|
18,5
|
|
350
|
32,9
|
|
875
|
52,1
|
26
|
9,0
|
|
120
|
19,3
|
|
375
|
34,1
|
|
900
|
52,8
|
28
|
9,3
|
|
130
|
20,1
|
|
400
|
35,2
|
|
925
|
53,5
|
30
|
9,6
|
|
140
|
20,8
|
|
425
|
36,3
|
|
950
|
54,2
|
32
|
10,0
|
|
150
|
21,6
|
|
450
|
37,3
|
|
975
|
55,0
|
Sumber: Ephemeris Hisab Rukyat 2014,
Kemenag RI
Untuk mendapatkan nilai dip dari ketinggian
tempat yang tidak terdapat pada tabel, dapat dilakukan interpolasi dari dua
nilai dip yang terdekat. Misalnya, yang dicari adalah dip untuk ketinggian 47,5
m. Maka rumus yang digunakan:
Dengan,
X adalah nilai dip yang dicari; A adalah nilai dip untuk
ketinggian terdekat sebelumnya; B adalah nilai dip untuk ketinggian
terdekat setelahnya; C adalah selisih antara ketinggian pada soal dengan
ketinggian terdekat sebelumnya; dan I adalah interval atau jarak antara
ketinggian terdekat sebelumnya dengan ketinggian terdekat setelahnya.
Maka,
untuk permasalahan di atas:
A
= 11,8 (lihat pada ketinggian 45 m)
B
= 12,4 (lihat pada ketinggian 50 m)
C
= 47,5 m – 45 m = 2,5 m
I
= 50 m – 45 m = 5 m
Sehingga:
Nilai X berada antara nilai A dan B. Jadi, untuk ketinggian 47,5 m nilai dipnya adalah 12,1’ atau 12’6”.
Pasti ada selisih antara nilai dip dari
tabel dengan nilai dip yang langsung menggunakan rumus. Untuk permasalahan di
atas, akan dicari selisihnya.
Jadi,
untuk ketinggian 47,5 m nilai dipnya adalah 12,1264’ atau 12’7,58”. Ada selisih
dengan nilai dip yang pertama. Akan tetapi, selisihnya terlalu kecil yaitu
1,58” (hanya dalam hitungan detik saja) sehingga tidak terlalu dipermasalahkan.
C.
Pengertian Refraksi
Dalam Ilmu Alam, dikenal kejadian yang dinamakan pembiasan
cahaya atau refraksi. Pembiasan terjadi bila cahaya berpindah dari zat
perantara yang satu pada zat perantara yang lain, yang kepadatannya berbeda.
Dalam Astronomi dikenal pula semacam refraksi, yang dinamakan pembiasan
angkasa.
Angkasa yang meliputi Bumi tidak rata keadaan suhunya,
sehingga boleh dianggap terdiri dari berbagai lapisan yang berbeda-beda tingkat
suhunya dan berbeda-beda pula kadar kepadatannya. Makin jauh dari Bumi, makin
kurang padat susunan udara (lapisan atmosfer). Makin dekat dengan permukaan
Bumi, makin padat susunan udaranya.
Luar
atmosfer
|
Lapisan
terluar
|
Lapisan
kedua terluar
|
Lapisan
kedua terdekat
|
Lapisan
terdekat
|
Arah
refraksi cahaya
|
Arah
cahaya hakiki
|
Gambar 3.
Refraksi Angkasa
Cahaya yang datang dari benda langit, seperti Matahari,
bintang, Bulan dan benda langit lainnya, setiap kali dibelokkan arahnya jika
sinar itu berpindah dari lapisan udara yang kurang padat ke dalam udara yang
lebih padat. Karena pergerakannya dari medium yang kurang padat ke medium yang
lebih padat, maka pembelokan arahnya mendekati garis normal, yaitu sebuah garis
yang merupakan batas di antara kedua lapisan itu. Sehingga, jika sinar itu
diterima oleh mata pengamat, arahnya sudah berbeda dari arah semula.
Semakin rendah kedudukan sebuah benda langit, maka semakin
besar pula nilai refraksinya. Refraksi paling besar bagi benda langit terjadi pada
saat terbit dan terbenamnya. Dengan demikian, Matahari pun mengalami refraksi
dengan nilai refraksi terbesar ketika ia terbit dan terbenam. Refraksi hampir-hampir
tidak berarti jika kedudukan matahari berada pada ketinggian antara 90° (di titik zenith)
hingga 60°, nilainya
hanyalah berjumlah sebagian menit busur saja. Pada titik zenith, artinya ia
berada pada garis normal, dan nilai refraksinya adalah nol.
Kedudukan Matahari berada pada ketinggian antara 60° hingga 10°, nilainya hanya
beberapa menit bujur busur. Sedangkan
tinggi Matahari yang kedudukannya kurang dari 10°, nilai refraksinya meningkat dengan cepat sekali.
Itulah sebabnya, jika Bulan atau Matahari berkedudukan amat rendah (mendekati
ufuk), bentuknya kadangkadang terlihat tidak bundar sempurna, tetapi agak
pecak. Hal ini dikarenakan adanya pengaruh refraksi. Bagian bawah piringan
terrefraksi lebih banyak dari bagian atasnya. Sehingga poros tegak piringan itu
menjadi lebih pendek kelihatannya daripada poros horisontalnya.
Matahari atau Bulan yang berada pada ufuk (ketinggian 0°), mempunyai nilai
refraksi 34,5’ (0°34’30”)
atau jika dibulatkan menjadi 34’. Artinya, jika Matahari atau Bulan dilihat
saat sedang terbit atau terbenam (piringan sebelah atas dalam keadaan
bersinggungan dengan garis ufuk), maka hakikinya piringan Matahari atau Bulan
sebelah atas itu berada 34,5’ di bawah ufuk. Sedangkan titik pusatnya
berkedudukan 34’30” + 16’ = 50’30” di bawah ufuk (rata-rata diameter Matahari
atau Bulan adalah 16’). Dengan demikian, jarak titik zenith dengan titik pusat
Matahari atau Bulan pada saat terbit atau terbenamnya adalah 90°50’30”.
D.
Perhitungan Refraksi
Pada pembiasan cahaya (refraksi) yang melalui dua medium
berbeda, yang dibatasi oleh permukaan yang datar, ada dua hukum pembiasan
cahaya, yaitu:
1.
Sinar datang, sinar bias,
dan garis normal terletak pada satu bidang datar; dan ketiganya berpotongan
pada satu titik.
2.
Sinar datang dari medium
kurang rapat menuju medium lebih rapat dibiaskan mendekati garis normal.
Sebaliknya, sinar datang dari medium lebih rapat menuju medium kurang rapat
dibiaskan menjauhi garis normal. Sinar datang tegak lurus bidang batas
diteruskan atau tidak mengalami pembiasan.
Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada gambar 4 berikut.
Untuk gambar 4.a dan 4.b, cahaya datang dari medium yang lebih renggang.
Sedangkan untuk gambar 4.c dan 4.d, cahaya datang dari medium yang lebih rapat.
Garis normal
|
Sinar datang
|
Sinar bias
|
Medium 2
|
Medium 1
|
Sudut datang
|
Sudut bias
|
Sinar diteruskan tanpa pembiasan
|
(a) (b)
Sinar diteruskan tanpa pembiasan
|
Garis normal
|
Sinar datang
|
Sinar bias
|
Medium 2
|
Medium 1
|
Sudut datang
|
Sudut bias
|
(c) (d)
Gambar 4.
Pembiasan pada Dua Medium yang Berbeda
Refraksi akan sangat dipengaruhi oleh indeks bias dari
masing-masing medium. Indeks bias adalah rasio kecepatan cahaya di ruang hampa
udara dengan kecepatan kecepatan cahaya dalam suatu medium. Kecepatan cahaya di
ruang hampa udara adalah 3x108 m/s. Secara matematis, rumus
tersebut dituliskan sebagai berikut:
Dengan,
n adalah indeks bias medium; C adalah kecepatan cahaya di ruang
hampa udara; Cn adalah kecepatan cahaya dalam medium.
Beberapa nilai indeks bias pada beberapa medium sebagai
berikut.
Tabel 2. Indeks Bias
Material
|
λ (nm)
|
N
|
|
Material
|
λ (nm)
|
N
|
Hampa udara
|
|
1
|
|
Materi padat pada
suhu kamar
|
||
Udara @ STP
|
|
1,0002926
|
|
|||
Gas @ 0°C dan 1 atm
|
|
Strontium titanate
|
589,29
|
2,41
|
||
Udara
|
589,29
|
1,000293
|
|
Ambar
|
589,29
|
1,55
|
Material
|
λ (nm)
|
N
|
|
Material
|
λ (nm)
|
N
|
Helium
|
589,29
|
1,000036
|
|
Fused silica
|
589,29
|
1,458
|
Hidrogen
|
589,29
|
1,000132
|
|
Natrium klorida
|
589,29
|
1,50
|
Karbondioksida
|
589,29
|
1,00045
|
|
Intan
|
589,29
|
2,419
|
Cairan @ 20°C
|
|
Sapphire
|
|
1,762 – 1,778
|
||
Benzena
|
589,29
|
1,501
|
|
Es
|
|
1,31
|
Air
|
589,29
|
1,3330
|
|
Pyrex
|
|
1,470
|
Ethanol
|
589,29
|
1,461
|
|
Cryolite
|
|
1,338
|
Karbondisulfida
|
589,29
|
1,628
|
|
Aseton
|
|
1,36
|
Materi padat pada
suhu kamar
|
|
Teflon
|
|
1,35 – 1,38
|
||
Kaca
|
|
1,485 – 1,755
|
|
Flint glass
|
|
1,60 – 1,62
|
Kaca akrilik
|
|
1,490 – 1,492
|
|
PMMA
|
|
1, 4893 – 1,4899
|
Crown glass (optics)
|
|
1,50 – 1,54
|
|
Cubic Zirconium
|
|
2,15 – 2,18
|
Polycarbonate
|
|
1,584 – 1,586
|
|
Silicon Carbide
|
|
2,65 – 2,69
|
Brom
|
|
1,661
|
|
Silikon
|
|
4,01
|
Sumber:
http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Indeks_bias&oldid=6960970
Refraksi benda langit (Matahari, Bulan dan benda langit
lainnya), yang merupakan pembelokan cahaya ketika masuk melalui atmosphere,
pada saat terbit dan terbenamnya, rumusnya adalah sebagai berikut.
Dengan,
R adalah nilai refraksi; dan ha adalah tinggi semu
benda langit (tinggi lihat). Adapun rumus alternatif untuk refraksi, jika h
adalah tinggi hakiki benda langit (tinggi nyata) adalah sebagai berikut.
Jika Matahari atau Bulan (atau benda langit lainnya) dalam
keadaan sedang terbit atau terbenam, maka kedua rumus tersebut memiliki
hubungan sebagai berikut.
Beberapa nilai refraksi tertuang pada tabel berikut.
Tabel 3. Nilai Refraksi
h
|
Refr
|
ha
|
|
h
|
Refr
|
ha
|
|
h
|
Refr
|
ha
|
-0°35’
|
34,5’
|
0°00’
|
|
2°14’
|
16,1‘
|
2°30’
|
|
5°51’
|
08,5‘
|
6°00’
|
-0°31’
|
33,8’
|
0°03’
|
|
2°19’
|
15,8‘
|
2°35’
|
|
6°02’
|
08,3‘
|
6°10’
|
-0°27’
|
33,2’
|
0°06’
|
|
2°24’
|
15,5‘
|
2°40’
|
|
6°12’
|
08,1‘
|
6°20’
|
-0°24’
|
32,6’
|
0°09’
|
|
2°30’
|
15,2‘
|
2°45’
|
|
6°22’
|
07,9‘
|
6°30’
|
-0°20’
|
32,0’
|
0°12’
|
|
2°35’
|
14,9‘
|
2°50’
|
|
6°32’
|
07,7‘
|
6°40’
|
-0°16’
|
31,4’
|
0°15’
|
|
2°40’
|
14,7‘
|
2°55’
|
|
6°42’
|
07,6‘
|
6°50’
|
-0°13’
|
30,8’
|
0°18’
|
|
2°46’
|
14,4‘
|
3°00’
|
|
6°53’
|
07,4‘
|
7°00’
|
-0°09’
|
30,3’
|
0°21’
|
|
2°51’
|
14,1‘
|
3°05’
|
|
7°03’
|
07,2‘
|
7°10’
|
-0°06’
|
29,8’
|
0°24’
|
|
2°56’
|
13,9‘
|
3°10’
|
|
7°13’
|
07,1‘
|
7°20’
|
-0°02’
|
29,2’
|
0°27’
|
|
3°01’
|
13,7‘
|
3°15’
|
|
7°23’
|
07,0‘
|
7°30’
|
0°01’
|
28,7’
|
0°30’
|
|
3°07’
|
13,4‘
|
3°20’
|
|
7°33’
|
06,8‘
|
7°40’
|
0°05’
|
28,2’
|
0°33’
|
|
3°12’
|
13,2‘
|
3°25’
|
|
7°43’
|
06,7‘
|
7°50’
|
0°08’
|
27,8’
|
0°36’
|
|
3°17’
|
13,0‘
|
3°30’
|
|
7°53’
|
06,6‘
|
8°00’
|
0°12’
|
27,3’
|
0°39’
|
|
3°22’
|
12,7‘
|
3°35’
|
|
8°04’
|
06,4‘
|
8°10’
|
0°15’
|
26,8’
|
0°42’
|
|
3°27’
|
12,5‘
|
3°40’
|
|
8°14’
|
06,3‘
|
8°20’
|
0°19’
|
26,4’
|
0°45’
|
|
3°33’
|
12,3‘
|
3°45’
|
|
8°24’
|
06,2‘
|
8°30’
|
0°22’
|
25,9’
|
0°48’
|
|
3°38’
|
12,1‘
|
3°50’
|
|
8°34’
|
06,1‘
|
8°40’
|
0°26’
|
25,5’
|
0°51’
|
|
3°43’
|
11,9‘
|
3°55’
|
|
8°44’
|
06,0‘
|
8°50’
|
0°29’
|
25,1’
|
0°54’
|
|
3°48’
|
11,8‘
|
4°00’
|
|
8°54’
|
05,9‘
|
9°00’
|
0°32’
|
24.7’
|
0°57’
|
|
3°53’
|
11,6‘
|
4°05’
|
|
9°04’
|
05,8‘
|
9°10’
|
0°36’
|
24,3’
|
1°00’
|
|
3°59’
|
11,4‘
|
4°10’
|
|
9°14’
|
05,7‘
|
9°20’
|
0°39’
|
24,0’
|
1°03’
|
|
4°04’
|
11,2‘
|
4°15’
|
|
9°24’
|
05,6‘
|
9°30’
|
0°42’
|
23,6’
|
1°06’
|
|
4°09’
|
11,1‘
|
4°20’
|
|
9°34’
|
05,5‘
|
9°40’
|
0°46’
|
23,2’
|
1°09’
|
|
4°14’
|
10,9‘
|
4°25’
|
|
9°45’
|
05,4‘
|
9°50’
|
0°49’
|
22,9’
|
1°12’
|
|
4°19’
|
10,7‘
|
4°30’
|
|
9°51’
|
05,3‘
|
9°56’
|
0°52’
|
22,5’
|
1°15’
|
|
4°24’
|
10,6‘
|
4°35’
|
|
10°03’
|
05,2‘
|
10°08’
|
0°56’
|
22,2’
|
1°18’
|
|
4°30’
|
10,4‘
|
4°40’
|
|
10°15’
|
05,1‘
|
10°20’
|
0°59’
|
21,9’
|
1°21’
|
|
4°35’
|
10,3‘
|
4°45’
|
|
10°28’
|
05,0‘
|
10°33’
|
1°02’
|
21,6’
|
1°24’
|
|
4°40’
|
10,1‘
|
4°50’
|
|
10°41’
|
04,9‘
|
10°46’
|
1°06’
|
21,2’
|
1°27’
|
|
4°45’
|
10,0‘
|
4°55’
|
|
10°55’
|
04,8‘
|
11°00’
|
1°09’
|
20,9’
|
1°30’
|
|
4°50’
|
09,9‘
|
5°00’
|
|
11°09’
|
04,7‘
|
11°14’
|
1°14’
|
20,5’
|
1°35’
|
|
4°55’
|
09,7‘
|
5°05’
|
|
11°24’
|
04,6‘
|
11°29’
|
1°20’
|
20,0’
|
1°40’
|
|
5°00’
|
09,6‘
|
5°10’
|
|
11°40’
|
04,5‘
|
11°45’
|
1°25’
|
19,5’
|
1°45’
|
|
5°05’
|
09,5‘
|
5°15’
|
|
11°57’
|
04,4‘
|
12°01’
|
1°31’
|
19,1’
|
1°50’
|
|
5°11’
|
09,4‘
|
5°20’
|
|
12°14’
|
04,3‘
|
12°18’
|
1°36’
|
18,7’
|
1°55’
|
|
5°16’
|
09,2‘
|
5°25’
|
|
12°31’
|
04,2‘
|
12°35’
|
1°42’
|
18,3’
|
2°00’
|
|
5°21’
|
09,1‘
|
5°30’
|
|
12°50’
|
04,1‘
|
12°54’
|
1°47’
|
17,9’
|
2°05’
|
|
5°26’
|
09,0‘
|
5°35’
|
|
13°09’
|
04,0‘
|
13°13’
|
1°52’
|
17,5’
|
2°10’
|
|
5°31’
|
08,9‘
|
5°40’
|
|
13°29’
|
03,9‘
|
13°33’
|
1°58’
|
17,2’
|
2°15’
|
|
5°36’
|
08,8‘
|
5°45’
|
|
13°50’
|
03,8‘
|
13°54’
|
2°03’
|
16,8’
|
2°20’
|
|
5°41’
|
08,7‘
|
5°50’
|
|
14°12’
|
03,7‘
|
14°16’
|
2°08’
|
16,5’
|
2°25’
|
|
5°46’
|
08,6’
|
5°55’
|
|
14°36’
|
03,6’
|
14°40’
|
Sumber : Ephemeris Hisab Rukyat 2014,
Kemenag RI
Untuk mendapatkan tinggi lihat dari
tinggi nyata dan nilai refraksi yang tidak terdapat pada tabel, dapat dilakukan
interpolasi dari dua tinggi lihat yang terdekat, yaitu dengan rumus sebagai
berikut:
Dengan,
X adalah tinggi lihat yang dicari; A adalah tinggi lihat untuk
tinggi nyata terdekat sebelumnya; B adalah tinggi lihat untuk tinggi
nyata terdekat setelahnya; C adalah selisih antara tinggi lihat pada
soal dengan tinggi lihat terdekat sebelumnya; dan I adalah interval atau
jarak antara tinggi nyata terdekat sebelumnya dengan tinggi nyata terdekat
setelahnya. Atau, dapat pula untuk mencari tinggi nyata, di mana hubungan
tinggi nyata dan tinggi lihat adalah:
III. PENUTUP
Dari pembahasan di atas, maka
makalah ini memiliki simpulan sebagai berikut:
1.
Kerendahan ufuk (dip)
merupakan perbedaan jarak (dalam derajat busur) dari zenith ke ufuk hakiki dan
ufuk mar’i.
2.
Kedalaman atau
kerendahan ufuk (dip), yang selanjutnya dilambangkan dengan D’, dapat
dihitung dengan rumus:
Namun, jika efek
refraksi diperhitungkan, maka:
3.
Pembiasan cahaya atau
refraksi terjadi bila cahaya berpindah dari medium (zat perantara) yang satu
pada zat perantara yang lain, yang kepadatannya berbeda. Dalam Astronomi
dikenal pula dengan pembiasan angkasa.
4.
Refraksi benda langit
rumusnya adalah sebagai berikut.
Dengan, R adalah nilai
refraksi; dan ha adalah tinggi lihat. Adapun rumus alternatif
untuk refraksi, jika h adalah tinggi nyata, adalah sebagai berikut.
5.
Nilai dip dan refraksi
dapat diperoleh dengan melihat tabel nilai dip dan tabel refraksi. Jika tidak
ditemukan, dapat dilakukan interpolasi.
IV. REFERENSI
Ali, M. Sayuthi.
1997. Ilmu Falak (Jilid I). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Dewi, Poetri Amalia
& Seipahh Kardipah. 2012. All in One Kumpulan Rumus Fisika SMP/MTs Kelas
7,8,9. Depok: Pustaka Makmur.
Khazin, Muhyiddin.
2005. Kamus Ilmu Falak. Yogyakarta: Buana Pustaka.
Ichtijanto SA. dkk.
1981. Almanak Hisab Rukyat Badan Hisab & Rukyat Dep. Agama. Jakarta:
Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam.
Izzudin, Ahmad.
2012. Kajian Terhadap Metode-Metode Penentuan Arah Kiblat Dan Akurasinya.
Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia.
Murray, Daniel A.
1908. Spherical Trygonometry, for Colleges and Secondary Schools. New
York, Amerika Serikat: Longman, Green and Co.
Nur, Muhaimin dkk.
1983. Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qamariyah dengan Ilmu Ukur Bola.
Jakarta: Bagian Proyek Pembinaan Administrasi Hukum dan Peradilan Agama.
Rietz, H.L. dkk.
1936. Plane And Spherical Trigonometry. New York, Amerika Serikat: The
Macmillan Company.
Seidelmann, P.
Kenneth (Editor). 1992. Explanatory Supplement to The Astronomical Almanac.
Mill Valley, California: University Science Books.
Smart, William
Marshall. 1977. Textbook on Spherical Astronomy. Melbourne, Australia:
Cambridge University Press.
Tahir, Abdul Hamid.
1990. Unsurunsur Astronomi Praktik Untuk Kegunaan Ukur Tanah. Johor
Darul Ta’zim, Malaysia: Unit Penerbitan Akademik Universiti Teknologi Malaysia.
Tim Penyusun Hisab
Rukyat Dept. Agama Pusat. 2013. Ephemeris Hisab Rukyat 2014. Jakarta:
Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Direktorat Jenderal
Bimbingan Islam Kementrian Agama RI.
Todhunter, I. 1886. Spherical
Trigonometry: For the Use of Colleges and Schools. London, Inggris:
Macmillan and Co.
[1] Makalah ini disampaikan di
Presentasi Mata Kuliah Praktikum Falak II, pada hari Senin tanggal 13 Januari 2014 dengan dosen pengampu adalah
KH. Slamet Hambali, M.Ag.
[2] Mahasiswa Pascasarjana
Ilmu Falak IAIN Walisongo Semarang, NIM 135212025, Peserta Program Pendidikan
Kader Ulama Ilmu Falak Kemenag RI 2012-2014. Direktur Utama pada Lembaga
Pengkajian Ilmu Falak dan Observasi ARKA JUMANTARA Purbalingga.
[3] Mahasiswa Pascasarjana
Ilmu Falak IAIN Walisongo, Semarang, NIM 135212024. Peserta ProgramPendidikan
Kader Ulama Ilmu Falak Kemenag RI 2012-2014. Ketua Umum pada Himpunan Pemburu
Matahari (HPM) Surabaya.
[4] Horizon atau ufuk.
[5] Djamaluddin, T. 2006. Menjelajah
Keluasan Langit Menembus Kedalaman Al Quran. Bandung: Khazanah Intelektual.
Hal 15.
[6] Ichtijanto SA. dkk. 1981. Almanak Hisab Rukyat
Badan Hisab & Rukyat Dep. Agama. Jakarta: Proyek Pembinaan Badan
Peradilan Agama Islam. Hal 116.
[7] Khazin, Muhyiddin. 2005. Kamus
Ilmu Falak. Jogjakarta: Buana Pustaka. Hal 86.
[8] Khazin, Muhyiddin. 2005. Kamus
Ilmu Falak. Jogjakarta: Buana Pustaka. Hal 86.
[9] Khazin, Muhyiddin. 2005. Kamus
Ilmu Falak. Jogjakarta: Buana Pustaka. Hal 86 – 87.
[10] Ali, M. Sayuthi. 1997. Ilmu
Falak I. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hal 40.
[11] Ali, M. Sayuthi. 1997. Ilmu
Falak I. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hal 41.
[12] Ibid.
Gambar ilustrasinya ga keliatan :(
BalasHapus