Hadis Hisab dan Atsar Sahabat
oleh : M. Noor Hasym S. Th.
BAB
I
PENDAHULUAN
Diskursus terhadap hadis, nampaknya selalu
menarik perhatian banyak orang baik dari kalangan muslim maupun non muslim.
Terbukti, banyak sekali kajian-kajian terhadap hadis baik yang menyangkut
kritik terhadap otentisitasnya, maupun metodologi pemahamannya yang terus
berkembang. Hadis atau sunnah adalah segala sesuatu yang di nisbatkan kepada
Nabi Muhammad Saw baik berupa perkataan (Qaul), perbuatan (Fi’lun),
ketetapan (Taqrir), sifat akhlak nabi (Khuluqiyah), sifat ciptaan
atau bentuk tubuh nabi (Khalqiyah) sebelum bi’tsah diutusnya
menjadi nabi. (Munawwar,
2001: 23)
Secara epistimologis, hadis juga
dipandang sebagai sebuah teks normatif kedua (The second teks) setelah al-Qur’an yang mewartakan akan prinsip dan doktrin ajaran
Islam karena ia merupakan bayan (keterangan) terhadap ayat-ayat al
qur’an yang sifatnya masih mujmal (global), ‘am (umum), dan mutlaq
(tanpa batasan). Bahkan secara mandiri hadis dapat berfungsi sebagai penetap (muqarrir)
suatu hukum yang belum ditetapkan oleh al Qur’an.(Thahir al-Jawabi, 1986 : 6) Hadis tidaklah sama dengan al-Qur’an dalam beberapa aspek, seperti dalam
tingkatan kepastian teks (qathi al-wurūd), maupun pada taraf kepastian
argumen yang diajukan (qathi al-dalālah). Kenyataannya, hadis dihadapkan
pada fakta tidak adanya jaminan otentik yang secara eksplisit menjamin
kepastian teks, sebagaimana yang dimiliki oleh al-Qur’an. Konsep ini kemudian
menjadi rahim lahirnya beberapa disiplin ilmu. Namun ada juga beberapa aspek
yang memiliki kesamaan antara kajian al-Qur’an dan hadis, yaitu aspek
historisitas. Pendekatan
aspek historis, sosiologis dan antropologis[1]
juga sangat diharapkan untuk dapat memberikan pemahaman dalam studi hadis yang
relatifnya lebih tepat, apresiatif dan akomodatif terhadap perubahan masyarakat
(Social Change) dan perkembangan zaman. (Munawwar, 2001: 28)
Hisab awal bulan qomariyah merupakan bagian penting dari tema yang menjadi
perhatian ilmu hisab, bahkan seolah-olah pembahasan ilmu hisab itu dalam anggapan
masyarakat pada umumnya hanya terfokus pada hisab awal bulan qomariyah, terkait
dengan penentuan awal bulan syawal dan ramadhan. hisab awal bulan qomariyah ini
mempunyai kedudukan yang penting dalam Islam. Beberapa petunjuk dan isyarat
al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW maupun pendapat ulama menjadi bukti
pentingnya hisab. (Muslih,Mansur, 2011 : 33) Misalnya dalam al-qur’an surat
yunus ayat 5 Allah SWT berfirman :
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ
نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ [يونس
: 5[
Artinya : Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya
dan ditetapkan-Nya manzailah-manzilah (tempat-tempat)bagi perjalanan bulan itu
supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).(Alqur’an dan
Terjemahnya).
Dalam al-qur’an surat al-Isra ayat 12 Allah SWT berfirman :
وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ آيَتَيْنِ فَمَحَوْنَا
آيَةَ اللَّيْلِ وَجَعَلْنَا آيَةَ النَّهَارِ مُبْصِرَةً لِتَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ
رَبِّكُمْ وَلِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ [الإسراء : 12[
Dan
kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu kami hapuskan tanda malam
dan kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari karunia dari
Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungannya
(waktu). (Alqur’an dan Terjemahnya).
Selain ayat al-qur’an tersebut diatas, terdapat pula hadits Nabi yang
menyinggung tentang pentingnya hisab awal bulan qomariyah, diantaranya hadits
Nabi berikut ini :
إن الله جعل الأهلة مواقيت فإذا رأيتموه فصوموا و إذا رأيتموه فأفطروا
فإن غم عليكم فاقدروا له و اعلموا أن الشهر لا يزيد على ثلاثين
Artinya : Sesungguhnya Allah menjadikan hilal sebagai tanda
waktu, maka jika kalian melihat hilal maka berpuasalah kalian dan apabila
kalian melihat hila maka berbukalah. Jika tertutup olehmu untuk melihatnya maka
kadarkanlah dan ketahuilah bahwasannya bulan itu tidak lebih dari 30 hari.( al-Baihaqi, 1411 : 584)
Mengingat
pentingnya ilmu hisab ini apalagi jika dikaitkan dengan penentuan awal bulan,
maka dalam makalah ini akan dibahas secara mendalam dalil-dalil hadits hisab.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dasar Penentuan Awal Bulan Qomariyah
Fenomena alam menunjukkan bahwa matahari terbit dari timur dan bulan muncul
dari barat. Dalam surat Yasin ayat 40, Allah SWT berfirman :
لَاالشَّمْسُ يَنْبَغِي لَهَا أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ
وَلَا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ [يس : 40[
Artinya : Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun
tidak dapat mendahului siang, dan masing-masing beredar pada garis edarnya.
(Alqur’an dan Terjemahnya).
Dari ayat diatas didapat pemahaman bahwa permulaan hari adalah pada saat
malam bukan siang.
Dan dalam surat al-Baqarah ayat 189, Allah SWT berfirman :
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ
لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ [البقرة : 189[
Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit, Katakanlah : “
Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat)haji.
(Alqur’an dan Terjemahnya).
Pada ayat kedua menunjukkan bahwa hilal adalah sesuatu yang menjadi
landasan perubahan waktu (perubahan bulan baru).(Muslih, 2011 : 37)
B. Konsep Permulaan Bulan
1.
Secara Astronomis
Perhitungan waktu pada tahun qamariyyah (lunar
callendar) ditentukan oleh pergerakan bulan, bumi, dan matahari, juga
ditentukan oleh fase-fase penampakan bulan (akibat gerakan bulan, bumi, dan
matahari). Bulan selalu mengikuti bumi, baik ketika bumi berotasi pada porosnya
dengan kecepatan yang sama dengan perputarannya mengelilingi bumi. Karena itu,
hanya satu permukaan bulan yang menghadap bumi. Bulan melakukan satu putaran
rotasi selama 14, 5 sampai 15 hari.
“Hilal Awal” (bulan sabit pertama) ditandai dengan
munculnya bulan pada fase “Bulan baru” (ketika bumi, bulan, dan matahri sejajar
dalam satu garis lurus, dengan bulan berada di antara bumi dan matahari).
Karena terus berputar mengelilingi bumi, permukaan bulan yang bercahaya terus
membesar secara perlahan melalui fase “ Kuartir Pertama” kemudian fase “ Bulan
Purnama” (yang terjadi ketika bumi berada diantara bulan dan matahari). Pada
tahap berikutnya, karena bulan terus berputar secara perlahan. Pada saat itu
bulan memasuki fase “ Kuartir Ketiga”, kemudian fase “Kuartir Keempat”. Pada
fase “ Kuartir Keempat”, akan muncul “Hilal Akhir” (bulan sabit terakhir),
sebelum akhirnya menjadi “Hilal Awal” bagi bulan berikutnya.
Panjang bulan pada tahun qamariyyah berkisar antara 29
hari 5 jam dan 29 hari 19 jam, yang jika dirata-ratakan menjadi 29, 53 hari.
Karena itu, kadang-kadang satu bulan berjumlah 29 hari n kadang-kadang berjumla
30 hari. Fenomena ini sesuai hadits Rasulullah yang menyatakan bahwa jumlah
hari dalam satu bulan kadang-kadang 29 dan kadang-kadang 30 hari.
Menurut syariat, bulan tahun qamariyyah dimulai dengan
terlihatnya Hilal Awal di horizon barat setelah matahari terbenam, dan diakhiri
dengan terlihatnya Hilal Awal untuk bulan berikutnya di horizon barat, juga
setelah terbenamnya matahari. Jika Hilal Awal terlihat disuatu tempat
pengamatan maka dimulailah bulan baru bagi seluruh tempat yang masuk ke wilayah
penanggalan lunar international yang sama dengan tempat pengamatan tersebut.
Hilal Awal akan tampak jelas di bagian barat garis penanggalan lunar
international (International Lunar Date Line), sedang di bagian timur
ILDL, Hilal Awal akan terlihat pada malam berikutnya dalam keadaan lebih besar
dan lebih bercahaya. (al-Najjar, 2013 :132-134)
Allah juga menguraikan tentang permulaan bulan dalam
surat Yasin ayat 38-40
وَالشَّمْسُ
تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ (38) وَالْقَمَرَ
قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ (39) لَا الشَّمْسُ
يَنْبَغِي لَهَا أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ
فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ (40) [يس : 38 –
40[
Artinya
: “dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha
Perkasa lagi Maha Mengetahui.(38) Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga
(setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan
yang tua.(39) Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan
bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada
garis edarnya.(Q.36:38-40)
Secara
astronomi pada
ayat ini kelahiran bulan baru itu adalah saat ijtimak (konjungsi), yaitu saat
Bulan berada pada titik terdekat kepada
garis lurus antara pusat bumi dan matahari. Jadi ayat ini memberi isyarat bahwa
terjadinya konjungsi (ijtimak) adalah salah satu kriteria untuk menentukan awal
bulan baru. Hanya saja kriteria ini belum memadai karena ijtimak bisa terjadi
kapan saja : pagi, siang, malam, dini hari dan seterusnya, sementara bulan itu
utuh bilangannya, tidak bisa 29 sepertiga hari mislanya. Oleh karena itu
diperlukan kriteria lain sebagai tambahan, yaitu saat pergantian hari seperti
diisyaratkan oleh ayat 40. Saat terbenam (maghrib). Kemudian ayat 40 itu juga
mengisayartkan satu kriteria lagi, yaitu pada waktu terbenam matahari, bulan
harus mengejar matahari, dengan kata lain bulan berada diatas ufuk. (Anwar,2009:7)
2.
Sudut pandang Hadits
Pada dasarnya dalam penentuan permulaan bulan tidak bisa
dilepaskan dari polemik yang berkepanjangan dalam penentuan awal bulan Ramadhan
dan Syawal. Penetapan bulan-bulan tersebut diatas senantiasa menjadi masalah
yang dilematis bagi masyarakat Islam karena seringkali terjadi perbedaan dalam
penetapannya. Ahmad Izzudin
menyatakan bahwa problematika tersebut termasuk persoalan yang selalu
diperbincangkan (persoalan klasik akan tetapi selalu actual). (Ahmad Izzuddin, 2007 : 36) Ahmad Izzudin juga
menyebutkan bahwa secara makro, metode yang dipakai dalam penentuan persoalan hisab rukyah di
kalangan umat Islam termasuk didalamnya Ramadan dan Syawwal ada dua. (Ahmad Izzuddin,
2007 : 35)
Pertama dengan cara mengamati bulan secara langsung pada hari ke
29 malam 30 bulan berjalan, dimana jika hilal terlihat, maka malam itu dan
keesokan harinya dinyatakan sebagai bulan baru, dan apabila tidak terlihat maka
malam itu dan keesokan harinya dijadikan hari ke 30 bulan berjalan dan bulan
baru dimulai lusa. Cara ini dikenal dengan istilah rukyat. Menurut madzhab ini
term rukyat dalam hadis-hadis bersifat ta’abbudi-ghair ma’qul al-ma’na. artinya
tidak dapat dirasionalkan pengertiannya sehingga tidak dapat diperluas dan
tidak dapat dikembangkan. Dengan demikian rukyat hanya dapat diartikan sebatas
melihat dengan mata.
Kedua tanpa melihat hilal secara langsung melainkan menetapkan
kriteria astronomis tertentu untuk memasuki bulan baru, dimana apabila kriteria
tersebut telah terpenuhi, maka malam itu dan keesokan harinya dinyatakan
sebagai bulan baru, jika kriteria tersebut belum terpenuhi maka malam tersebut
dan keesokan harinya dijadikan hari terakhir bulan berjalan dan bulan baru
dimulai lusanya. Metode ini dikenal dengan nama metode hisab. Menurut madzhab
ini, term rukyat yang terdapat dalam hadis-hadis dinilai bersifat ta’aqquli
-ma’qul al-ma’na- dapat dirasionalkan, diperluas dan dikembangkan
diantaranya dapat diartikan mengetahui meski bersifat ẓanni (perkiraan)
adanya hilᾱl.(Khariri Shofa, 2012 : 2) Dari sini rukyat dapat dikatakan
lebih kepada pengamalan secara tekstual hadis Nabi, sedangkan hisab mencoba
untuk memahami secara kontekstual dengan mengikuti perkembangan ilmu Astronomi
modern atau dalam Islam dikenal dengan sebutan ilmu falak.(Sulaiman, 1999)
Dalam hadis-hadis yang ada kata rukyat dapat berproses dan membentuk makna serta pengertian tersendiri yang terstruktur. Memang kata rukyat dapat
diartikan sebagai pengamatan dengan mata telanjang, namun pemaknaan kata
tersebut bisa melebihi dari pemaknaannya, tergantung bagaimana pemahaman orang
memahaminya. Jika pemahaman tersebut dilakukan dengan mempelajari dan mendalami
implikasi maknawi yang terkandung dalam berbagai penggunaan kata tersebut dalam
hadis, kata rukyat bisa berkembang menjadi sebuah metodologi atau bi ilmi.( Khariri Shofa, 2007 : 97) Perbedaan cara penentuan awal ramadhan dan syawal dikarenakan
tidak adanya ayat al-Qur’an yang secara
tegas menggariskan cara yang wajib untuk dipakai. Sedangkan dalil yang
digunakan adalah hadis-hadis sahih yang diriwayatkan oleh beberapa perawi yang
kuat. Pada dasarnya hadis-hadis ini berintikan dua hal: Pertama, awal
Ramadan dan Syawwal ditentukan dengan menggunakan “Rukyat”. Pengertian rukyat
sendiri mengandung arti generik yang tidak sama tepat dengan pengertian rukyat
yang sekarang kita pahami. Kedua, jika langit tertutup awan maka
kadarkanlah فإن غم عليكم فاقدروا له inilah dua pangkal penentuan awal Ramadan dan
Syawwal yang mengakibatkan perbedaan penafsiran nash dan ijtihad.(Khariri Shofa, 2007 : 5)
C. Hadits-hadits tentang permulaan bulan
Dalam beberapa
literatur, hadis-hadis tentang rukyatul hilal diriwayatkan dengan redaksi yang
berbeda-beda. Hadis-hadis tersebut secara global membahas tentang empat hal: pertama, hadis yang
menunjukkan tentang perintah memperkirakan hilal pada saat mendung atau hilal
tidak dapat dilihat. Kedua, hadis
yang menunjukkan tentang perintah menggenapkan bulan tiga puluh hari pada saat
mendung atau hilal tidak dapat dilihat. Ketiga, hadis yang menunjukkan tentang perbedaan maṭᾱli’ dan setiap
negara menempuh rukyat sendiri. Keempat, hadis yang menunjukkan
jumlah saksi dalam proses observasi atau rukyat yang dapat diterima dan
dijadikan dasar dalam penetapan bulan Ramadan maupun syawwal.(Khariri Shofa,
2007 : 54) Sedangkan klasifikasi hadist tentang
hisab rukyah adalah sebagai berikut :
Pertama, Hadist yang menunjukkan akan perintah
memperkirakan hilal pada saat mendung atau hilal tidak dapat dilihat berasal
dari riwayat Abdullah Ibn Umar, yaitu:
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ
فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Artinya : Jika
kalian telah melihat hilal maka berpuasalah dan berbukalah kalian maka jika
tertutup atas penglihatan kalian karena melihatnya maka kadarkanlah.
Dari
penelusuran penulis, periwayatan hadist ini terdapat diberbagai macam kitab hadist,
seperti : Sunan an-Nasai (al-Nasai, 1986 : 134), Shahih Muslim (Muslim bin
al-Hijjaj, 1954 : 759 ), Shahih Bukhari (al-Bukhari,1422 : 26), Shahih Ibnu
Hibban (Ḥibban,1993 : 227,239), Sunan al-Kubra li al-Baihaqi (al-Baihaqi, 1344
: 204 ), dll
لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه فإن غم عليكم
فأقدروا له
Artinya : Janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal dan
janganlah kalian berbuka sampai melihat hilal maka jika tertutup olehmu maka
kadarkanlah.(Muslim bin al-Hijjaj, 1954 : 759)
Rasulullah Saw bersabda yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلاَ
تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
ثَلاَثِينَ
Artinya : Satu bulan adalah 29 hari maka janganlah kalian puasa
sampai kalian melihat hilal dan janganlah kamu berbuka sampai kalian melihatnya
maka jika tertutup olehmu melihatnya maka kadarkanlah 30 hari.(Abu Dawud : 267)
إن الله جعل الأهلة مواقيت فإذا رأيتموه فصوموا و إذا رأيتموه فأفطروا
فإن غم عليكم فاقدروا له و اعلموا أن الشهر لا يزيد على ثلاثين
Artinya : Sesungguhnya Allah menjadikan hilal sebagai tanda
waktu, maka jika kalian melihat hilal maka berpuasalah kalian dan apabila
kalian melihat hila maka berbukalah. Jika tertutup olehmu untuk melihatnya maka
kadarkanlah dan ketahuilah bahwasannya bulan itu tidak lebih dari 30 hari.(al-Baihaqi, 1411 : 584)
Dalam hal ini,
untuk memahami maksud hadis secara baik terkadang tidak mudah, apalagi jika
kita temui hadis-hadis yang secara zahir tampak saling kontradiktif. Berkenaan
dengan hal yang demikian biasanya para ulama menggunakan metode tarjῑḥ,-menguatkan
salah satu–, nasakh mansukh –penghapusan–, al-jam’u –kompromi–
atau tawaqquf –tidak mengamalkan– hingga ditemukan keterangan hadis
yang dapat diamalkan atau diketahui secara jelas akan keshahihannya agar dapat
digunakan tanpa adanya syadz (keragu-raguan). Dalam diskursus keilmuan
hadis, sebuah hadis ada yang memiliki asbab al-wurud dan atau ada yang
tidak memilikinya. Jika sebuah hadis tidak memiliki asbab wurud, Said agil
Husain Munawwar berpendapat adanya kemungkinan melakukan analisis pemahaman
hadis (fiqhul hadis) dengan pendekatan historis, sosiologis, antropologis,
bahkan mungkin juga dengan pendekatan psikologis dengan asumsi dasar bahwa
ketika Rasulullah bersabda atau melakukan sesuatu pasti tidak lepas dari
kondisi yang melingkupi masyarakat pada saat itu. Fazlur Rahman
mengkombinasikan antara pendekatan historis dengan pendekatan sosiologis guna
memahami suatu hadis.(Fazlur Rahman, 2002)
D. Historis Hadits Hisab
Salah satu sebab dimunculkannya teori hisab dalam
penentuan awal bulan adalah salah satu riwayat hadis dengan tambahan –ziyadat
ḥadiṡiyyah– فاقدروا له ثلاثين merupakan tambahan yang
dapat diterima dan menurut al-Albani berkualitas sahih.(Al-Albani, 1998: 267) Dan diperkuat dengan hadits-hadits lain
dengan redaksi فاقدروا له
Dan juga hadits yang menjelaskan keadaan ummat saat itu
yang masih ummi (belum banyak bisa membaca dan menghitung) dengan redaksi
sebagai berikut :
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ؛
لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ، الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي: مَرَّةً تِسْعَةً
وَعِشْرِينَ، وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ
Artinya : Sesunguhnya kami adalah ummat yang ummi,
kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah
demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan
kadang-kadang tiga puluh hari.[H.R al-Bukhari dan Muslim]
Dengan mengkomparasikan ayat Alqur’an surat
ar-Rahman ayat 5
الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ [الرحمن : 5[
dan
surat Yunus ayat 5
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ
نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ [يونس
: 5[
tentang peredaran benda-benda langit yang
berorbit sesuai garis edarnya dengan hadits-hadits diatas, ini memberikan
penguat bahwa peredaran benda langit ini dapat dihitung (dihisab) secara
tepat.(Muhammadiyah, 2009 : 75)
Karakteristik yang sangat fundamental tentang parameter penafsiran
atau pemahaman sebuah nash hadis itu terletak pada prinsip atau kaidah yang
diyakininya. Jika metode dalam memahaminya menggunakan dan lebih berpegang pada
kaidah al-Ibrah bi Umumi al-Lafadz la bi Umumi as-Sabab (Ketetapan makna
itu didasarkan pada universalitas keumuman teks bukan pada partikulasi
kekhususan sebab). Dalam menetapkan sebuah produk penafsiran akan teks mereka
lebih mengedepankan makna ‘am-nya daripada menganalisis sebab-sebab
diwahyukannya nash ditinjau dari sosio, history dan
antropologi saat itu sebelum menetapkan suatu
pemaknaan matan atau nash hadis. Karena bertumpu pada analisis kebahasaan,
tidak jarang pentafsiran atau pemahaman sangat kental dengan nalar bayani dan
bersifat deduktif dimana posisi lafadz teks lebih menjadi dasar penafsiran dan
bahasa menjadi perangkat analisisnya.(Syafrudin, 2009: 36)
Sebaliknya, metode penafsiran secara
kontekstual berpegang pada prinsip atau kaidah penafsiran al-‘Ibrah Bi
Khusus as-Sabab La Bi Umumi al-Lafadz (Ketetapan makna itu didasarkan pada
partikulasi kekhususan sebab bukan pada universalitas keumuman teks). Dalam
realita aktivitas penafsiran model ini pertama-tama memahami makna asli suatu
teks, kemudian menelusuri anasir-anasir sejarah yang menyebabkan turunnya suatu
teks atau ajaran sehingga dapat merekonstruksi makna. Dikalangan penganut paham
kontekstualisasi makna nash memunculkan kaidah baru yang di sebut al-‘Ibrah
bi Maqashid asy-Syari’ah (Ketetapan makna didasarkan akan maksud-maksud
Syari’ah). Kaidah ini berusaha mencari
sintesis-kreatif dalam memahami teks dengan berpegang teguh pada tujuan
disyari’atkannya sebuah doktrin. (Syafrudin, 2009: 36)
Para ulama’ dalam
mengaktualisasikan makna hadits tentang awal bulan diatas baik dari kelompok rukyat,
maupun dari kelompok hisabpun kadang terjadi perbedaan di dalam masing2
kelompok, dikalangan Hisab sendiri, kriteria yang digunakan Muhammadiyyah
adalah wujudul hilal sedang PERSIS menggunakan tinggi hilal 20.(
Khazin, 2009: 63). Sebenarnya observasi (rukyat) dan teori berbasis
permodelan atau perhitungan (hisab) sama-sama menduduki tempat penting, maka
keduanya bisa kompromikan, bahwa berdasarkan model yang dibuat kita dapat
memprediksi fenomena yang akan terjadi sehingga bisa dibuat rencana
pengamatannya.(Setyanto, 2008 : 16)
E. Atsar Sahabat
Perbedaan terhadap penentuan awal
bulan yang terjadi pada masa kini, ini juga pernah terjadi pada masa sahabat,
dimana ketika para sahabat juga berbeda pendapat dalam memahami hadits Nabi
SAW..
فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلَالَ، وَلَا
تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ
“ Janganlah kalian berpuasa sampai
kalian melihat (hilal, dan janganlah kalian berbuka sampai kalian melihatnya.”
Yang dimaksud disini bukanlah
seseorang tidak boleh berpuasa sampai ia melihat dengan mata kepalanya sendiri.
Yang dimaksud disini adalah seseorang tidak boleh berpuasa sampai ia melihatnya
sendiri, atau ada orang lain yang melihatnya.
Singkat kata, yang dimaksud disini
adalah keumuman peniadaan bukan peniadaan keumuman.yaitu
tidak berpuasa sampai hilal terlihat atau diketahui sudah terlihat. Untuk itu,
ketika para sahabat berbeda pendapat tentang hari yang meragukan[2]
(antara puasa dan tidak) di bulan Ramadhan, maka sebagian mereka tetap berpuasa
baik langit terang atau gelap dalam rangka berhati-hati. Sebagian yang lain
tidak melakukannya secara mutlak baik ketika langit terang lantaran kawatir
menambahi jumlah hari dalam satu bulan. Sebagian lagi membedakan kapan langit
terang dan kapan gelap, karena hilal itu terlihat atau tidaknya adalah
sewaktu langit terang.
Para sahabat yang memilih berpuasa
dihari yang meragukan ingin bertindak hati-hati. Mereka menimbang mungkin ada
orang yang telah melihat hilal,dan nanti bisa mereka kurangi (untuk
menyesuaikan jumlah bulan Ramadhan, edt). Akan tetapi andai
mereka tahu bahwa tak satupun dari kaum muslimin yang melihat hilal, niscaya tidak ada seorang pun dari mereka
yang memperbolehkan berpuasa atas dasar hisab! Hisab yang menyatakan bahwa “
bulan sudah muncul “ mesti tidak terlihat (lewat ru’yah).(Abu Abdillah,
2010 : 137-138)
Dari penjelasan diatas dapat kita
pahami bahwa pada masa sahabat pengunaan hisab untuk menentukan permulaan bulan
tidak dilakukan oleh para sahabat.
BAB III
PENUTUP
Untuk
mengetahui otentisitas sebuah hadis sangat erat kaitannya dengan kualitas atau
otentik tidaknya sebuah sanad. Sedangkan Hadis-hadis tentang rukyatul hilal merupakan hadis ahad
karena jumlah perawi pada salah satu tabaqah atau lebih dibawah kuantitas hadis
mutawatir. Dari segi kualitas, riwayat hadis tersebut termasuk kedalam kategori
ṣaḥiḥ al-matn dengan keberadaan salah satu riwayatnya dalam Sahih
Bukhari ataupun Sahih Muslim serta tidak ada kontradiksi diantara matan hadis
yang ada. Selain berkualitas sahih, hadis-hadis diatas ada yang berada pada
kualitas hasan sehingga semuanya dapat dijadikan sebagai hujjah dalam hukum.
Dengan perkembangan keilmuan ini, Hisab muncul
memberi gambaran detail dan sangat dibutuhkan dalam penentuan awal bulan
qamariyyah, hal ini dapat dipahami karena sejalan dengan perubahan alam raya
dan posisinya, meskipun perubahan tersebut sangat halus sekali. Data posisi dan
waktu pemunculan hilal sangat membantu perukyat untuk menemukan hilal. Oleh
karenanya, keakurasian data merupakan tuntutan yang harus dipenuhi. Teori
perubahan posisi benda-benda langit ini dikuatkan oleh konsep ulama’ kalam yang
menyatakan bahwa alam pasti berubah dan yang setiap berubah itu adalah baru,
karena dengan data-data hisab yang kontemporer maka akan menghasilkan
penelitian yang kontemporer pula.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakr Ahmad bin al-Husain bin Ali
al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra Wa Fi Dzailih al-Jauhar al-Naqi (India:
Dairat al-Ma’arif al-Niẓamiyah, 1344 H)
Abu Dawud Sulaiman bin al-Ash’ath al-Sajistani, Sunan Abu Dawud (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabῑ, t.th)
Ahmad Sulaiman, Muhammad, Ṣabahah Faḍaiyyah
Fi Afaq ‘Ilm al Falak (Kuwait: Maktabah Ajiri, 1999)
Al-albany....
al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il, al-Jami’
al-Musnad al-ṣaḥiḥ al-Mukhtaṣar Min Umuri Rasulillah wa Sunanihi wa ayyamihi (t.tp:
Dar ṭuq al-Najah, 1422 H)
al-Naisaburi, Muslim bin al-Hijjaj Abu al-Husain al-Qusyairi, al-Jami’ al-Saḥiḥ (Beirut: Dar Ihya’ Li al-Turath, 1954)
Al-Najjar, Zaghlul Raghib, Sains dalam
Hadis, (Jakarta : Zaman, 2013)
al-Nasai, Ahmad bin Syu’aib Abu abrurrahman, al-Mujtaba
Min al-Sunan (Halab: Maktab al-Maṭbu’at, 1986)
Anwar, Syamsul ”Hisab Bulan Kamariyah”, (Yogyakarta:Suara
Muhammadiyah,2009), hal.7)
Fazlur Rahman, Perubahan Sosial dan Sunnah Awal dalam Wacana Studi
Hadis Kontemporer (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002)
Ibn Taimiyyaah, Risalah fi Hilal wal Hisab
al Falaky, terjm. Abu Abdillah, Hilal atau Hisab, (Banyumas :Buana
Islam Islami, 2010)
Izzuddin, Ahmad, Fiqih Hisab Rukyat;
Menyatukan Muhammadiyah dan NU dalam Penentuan Awal Ramadan, Idul Fitri dan
Idul Adha (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007)
Khazin, Muhyiddin, Tanya Jawab
Masalah Hisab Rukyat,(Jogyakarta : Ramadhan Press, 2009)
Majlis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, Pedoman Hisab Muhammadiyah, (Yogyakarta : 2009)
Muhammad bin Ḥibban, Saḥiḥ Ibn Ḥibban (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993)
Muslih Ar, Mansyur Ade, Belajar Ilmu Falak,
(Cilacap : Ihya Media, 2011)
Said Agil Husin Munawwar, Asbabul Wurud, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001)
Thahir al-Jawabi, Juhud al-Muhadditsin Fi
Naqdi Matni al-Hadis al-Nabawiy al-Syarif, (Tunisia: Muassasah ‘Abd Karim,
1986)
Setyanto, Hendro , Membaca Langit,
(Jakarta : Al-Ghuraba, 2008), hal. 16
Shofa, Khariri, dkk, Laporan Penelitian Kolektif
Penentuan Awal Ramadhan-Syawal: Antara Teks dan Perkembangan Astronomi Modern
Studi Hadis-hadis Rukyatul Hilal (Kementerian Agama RI, 2012)
Syafrudin, H.U., Paradigma Tafsir Tekstual
dan Kontekstual Usaha Memahami Kembali Pesan al-Qur’an, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009)
[1] Yang dimaksud
dengan pendekatan historis adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara
mengkaitkan antara ide atau gagasan yang terdapat dalam hadis dengan
determinasi-determinasi social dan situasi historis cultural yang mengitarinya.
Pendekatan secara sosiologi adalah pendekatan yang dilakukan dengan
menyoroti atau menimbang dari sudut
posisi manusia yang membawanya kepada perilaku itu. Sosiologi didefinisikan
sebagai; “The Sythesizing and generalizing science of man in all his social
relationships. The focus of attention upon social relationship make sociology a
distincitive field”. (Arnold W. Green, Sociology An Analysis Of Live In Modern Society,
(New York: Toroto, 1960), hlm. 1-5. Sedangkan pendekatan antropologi adalah
pendekatan dengan memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku itu pada
tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan masyarakat manusia. (Taufik Abdullah
dan M. Rusli Karim (editor), Metodologi Penelitian Agama; Sebuah Pengantar,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hlm. 1.
[2]
Dari shilah bin Zufar berkata : Kami di tempat ‘Ammar bin
Yasir, ia menyuguhkan kepada kami kambing panggang dan berkata : “ Makanlah
kalian !” Beberapa orang menyingkir danberkata: “ saya puasa.” Maka ‘Ammar
berkata :” Barang siapa yang berpuasa di hari yang meragukan berarti telah
bermaksiat kepada Abu Qasim (Rasulullah SAW). [H.R. Abu Dawud 2334,
At-Thurmudzi 686, Ibn Majah 1645, dishahihkan oleh Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibban
878, Al Hakim 1:423]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar