Selasa, 26 Mei 2015

Hadis Hisab dan Atsar Sahabat


Hadis Hisab dan Atsar Sahabat 
oleh : M. Noor Hasym S. Th.

BAB I
PENDAHULUAN

Diskursus terhadap hadis, nampaknya selalu menarik perhatian banyak orang baik dari kalangan muslim maupun non muslim. Terbukti, banyak sekali kajian-kajian terhadap hadis baik yang menyangkut kritik terhadap otentisitasnya, maupun metodologi pemahamannya yang terus berkembang. Hadis atau sunnah adalah segala sesuatu yang di nisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw baik berupa perkataan (Qaul), perbuatan (Fi’lun), ketetapan (Taqrir), sifat akhlak nabi (Khuluqiyah), sifat ciptaan atau bentuk tubuh nabi (Khalqiyah) sebelum bi’tsah diutusnya menjadi nabi. (Munawwar, 2001: 23)
Secara epistimologis, hadis juga dipandang sebagai sebuah teks normatif kedua (The second teks) setelah al-Qur’an yang mewartakan akan prinsip dan doktrin ajaran Islam karena ia merupakan bayan (keterangan) terhadap ayat-ayat al qur’an yang sifatnya masih mujmal (global), ‘am (umum), dan mutlaq (tanpa batasan). Bahkan secara mandiri hadis dapat berfungsi sebagai penetap (muqarrir) suatu hukum yang belum ditetapkan oleh al Qur’an.(Thahir al-Jawabi, 1986 : 6) Hadis tidaklah sama dengan al-Qur’an dalam beberapa aspek, seperti dalam tingkatan kepastian teks (qathi al-wurūd), maupun pada taraf kepastian argumen yang diajukan (qathi al-dalālah). Kenyataannya, hadis dihadapkan pada fakta tidak adanya jaminan otentik yang secara eksplisit menjamin kepastian teks, sebagaimana yang dimiliki oleh al-Qur’an. Konsep ini kemudian menjadi rahim lahirnya beberapa disiplin ilmu. Namun ada juga beberapa aspek yang memiliki kesamaan antara kajian al-Qur’an dan hadis, yaitu aspek historisitas. Pendekatan aspek historis, sosiologis dan antropologis[1] juga sangat diharapkan untuk dapat memberikan pemahaman dalam studi hadis yang relatifnya lebih tepat, apresiatif dan akomodatif terhadap perubahan masyarakat (Social Change) dan perkembangan zaman. (Munawwar, 2001: 28)
Hisab awal bulan qomariyah merupakan bagian penting dari tema yang menjadi perhatian ilmu hisab, bahkan seolah-olah pembahasan ilmu hisab itu dalam anggapan masyarakat pada umumnya hanya terfokus pada hisab awal bulan qomariyah, terkait dengan penentuan awal bulan syawal dan ramadhan. hisab awal bulan qomariyah ini mempunyai kedudukan yang penting dalam Islam. Beberapa petunjuk dan isyarat al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW maupun pendapat ulama menjadi bukti pentingnya hisab. (Muslih,Mansur, 2011 : 33) Misalnya dalam al-qur’an surat yunus ayat 5 Allah SWT berfirman :
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ [يونس : 5[
Artinya : Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzailah-manzilah (tempat-tempat)bagi perjalanan bulan itu supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).(Alqur’an dan Terjemahnya).
Dalam al-qur’an surat al-Isra ayat 12 Allah SWT berfirman :
وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ آيَتَيْنِ فَمَحَوْنَا آيَةَ اللَّيْلِ وَجَعَلْنَا آيَةَ النَّهَارِ مُبْصِرَةً لِتَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ وَلِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ [الإسراء : 12[
 Dan kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu kami hapuskan tanda malam dan kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari karunia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungannya (waktu). (Alqur’an dan Terjemahnya).

Selain ayat al-qur’an tersebut diatas, terdapat pula hadits Nabi yang menyinggung tentang pentingnya hisab awal bulan qomariyah, diantaranya hadits Nabi berikut ini :
إن الله جعل الأهلة مواقيت فإذا رأيتموه فصوموا و إذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فاقدروا له و اعلموا أن الشهر لا يزيد على ثلاثين
            Artinya : Sesungguhnya Allah menjadikan hilal sebagai tanda waktu, maka jika kalian melihat hilal maka berpuasalah kalian dan apabila kalian melihat hila maka berbukalah. Jika tertutup olehmu untuk melihatnya maka kadarkanlah dan ketahuilah bahwasannya bulan itu tidak lebih dari 30 hari.( al-Baihaqi, 1411 : 584)
            Mengingat pentingnya ilmu hisab ini apalagi jika dikaitkan dengan penentuan awal bulan, maka dalam makalah ini akan dibahas secara mendalam dalil-dalil hadits hisab.

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Dasar Penentuan Awal Bulan Qomariyah
Fenomena alam menunjukkan bahwa matahari terbit dari timur dan bulan muncul dari barat. Dalam surat Yasin ayat 40, Allah SWT berfirman :
لَاالشَّمْسُ يَنْبَغِي لَهَا أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ [يس : 40[
Artinya : Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang, dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (Alqur’an dan Terjemahnya).
Dari ayat diatas didapat pemahaman bahwa permulaan hari adalah pada saat malam bukan siang.
Dan dalam surat al-Baqarah ayat 189, Allah SWT berfirman :
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ [البقرة : 189[
Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit, Katakanlah : “ Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat)haji. (Alqur’an dan Terjemahnya).
Pada ayat kedua menunjukkan bahwa hilal adalah sesuatu yang menjadi landasan perubahan waktu (perubahan bulan baru).(Muslih, 2011 : 37)

B.       Konsep Permulaan Bulan
1.         Secara Astronomis
Perhitungan waktu pada tahun qamariyyah (lunar callendar) ditentukan oleh pergerakan bulan, bumi, dan matahari, juga ditentukan oleh fase-fase penampakan bulan (akibat gerakan bulan, bumi, dan matahari). Bulan selalu mengikuti bumi, baik ketika bumi berotasi pada porosnya dengan kecepatan yang sama dengan perputarannya mengelilingi bumi. Karena itu, hanya satu permukaan bulan yang menghadap bumi. Bulan melakukan satu putaran rotasi selama 14, 5 sampai 15 hari.
“Hilal Awal” (bulan sabit pertama) ditandai dengan munculnya bulan pada fase “Bulan baru” (ketika bumi, bulan, dan matahri sejajar dalam satu garis lurus, dengan bulan berada di antara bumi dan matahari). Karena terus berputar mengelilingi bumi, permukaan bulan yang bercahaya terus membesar secara perlahan melalui fase “ Kuartir Pertama” kemudian fase “ Bulan Purnama” (yang terjadi ketika bumi berada diantara bulan dan matahari). Pada tahap berikutnya, karena bulan terus berputar secara perlahan. Pada saat itu bulan memasuki fase “ Kuartir Ketiga”, kemudian fase “Kuartir Keempat”. Pada fase “ Kuartir Keempat”, akan muncul “Hilal Akhir” (bulan sabit terakhir), sebelum akhirnya menjadi “Hilal Awal” bagi bulan berikutnya.
Panjang bulan pada tahun qamariyyah berkisar antara 29 hari 5 jam dan 29 hari 19 jam, yang jika dirata-ratakan menjadi 29, 53 hari. Karena itu, kadang-kadang satu bulan berjumlah 29 hari n kadang-kadang berjumla 30 hari. Fenomena ini sesuai hadits Rasulullah yang menyatakan bahwa jumlah hari dalam satu bulan kadang-kadang 29 dan kadang-kadang 30 hari.
Menurut syariat, bulan tahun qamariyyah dimulai dengan terlihatnya Hilal Awal di horizon barat setelah matahari terbenam, dan diakhiri dengan terlihatnya Hilal Awal untuk bulan berikutnya di horizon barat, juga setelah terbenamnya matahari. Jika Hilal Awal terlihat disuatu tempat pengamatan maka dimulailah bulan baru bagi seluruh tempat yang masuk ke wilayah penanggalan lunar international yang sama dengan tempat pengamatan tersebut. Hilal Awal akan tampak jelas di bagian barat garis penanggalan lunar international (International Lunar Date Line), sedang di bagian timur ILDL, Hilal Awal akan terlihat pada malam berikutnya dalam keadaan lebih besar dan lebih bercahaya. (al-Najjar, 2013 :132-134)
Allah juga menguraikan tentang permulaan bulan dalam surat Yasin ayat 38-40

وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ (38) وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ (39) لَا الشَّمْسُ يَنْبَغِي لَهَا أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ (40)  [يس : 38 – 40[

Artinya : “dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.(38) Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua.(39) Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.(Q.36:38-40)

Secara astronomi pada ayat ini kelahiran bulan baru itu adalah saat ijtimak (konjungsi), yaitu saat Bulan berada pada titik  terdekat kepada garis lurus antara pusat bumi dan matahari. Jadi ayat ini memberi isyarat bahwa terjadinya konjungsi (ijtimak) adalah salah satu kriteria untuk menentukan awal bulan baru. Hanya saja kriteria ini belum memadai karena ijtimak bisa terjadi kapan saja : pagi, siang, malam, dini hari dan seterusnya, sementara bulan itu utuh bilangannya, tidak bisa 29 sepertiga hari mislanya. Oleh karena itu diperlukan kriteria lain sebagai tambahan, yaitu saat pergantian hari seperti diisyaratkan oleh ayat 40. Saat terbenam (maghrib). Kemudian ayat 40 itu juga mengisayartkan satu kriteria lagi, yaitu pada waktu terbenam matahari, bulan harus mengejar matahari, dengan kata lain bulan berada diatas ufuk. (Anwar,2009:7)

2.         Sudut pandang Hadits
Pada dasarnya dalam penentuan permulaan bulan tidak bisa dilepaskan dari polemik yang berkepanjangan dalam penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal. Penetapan bulan-bulan tersebut diatas senantiasa menjadi masalah yang dilematis bagi masyarakat Islam karena seringkali terjadi perbedaan dalam penetapannya. Ahmad Izzudin menyatakan bahwa problematika tersebut termasuk persoalan yang selalu diperbincangkan (persoalan klasik akan tetapi selalu actual). (Ahmad Izzuddin, 2007 : 36) Ahmad Izzudin juga menyebutkan bahwa secara makro, metode yang dipakai dalam penentuan persoalan hisab rukyah di kalangan umat Islam termasuk didalamnya Ramadan dan Syawwal ada dua. (Ahmad Izzuddin, 2007 : 35)
Pertama dengan cara mengamati bulan secara langsung pada hari ke 29 malam 30 bulan berjalan, dimana jika hilal terlihat, maka malam itu dan keesokan harinya dinyatakan sebagai bulan baru, dan apabila tidak terlihat maka malam itu dan keesokan harinya dijadikan hari ke 30 bulan berjalan dan bulan baru dimulai lusa. Cara ini dikenal dengan istilah rukyat. Menurut madzhab ini term rukyat dalam hadis-hadis bersifat ta’abbudi-ghair ma’qul al-ma’na. artinya tidak dapat dirasionalkan pengertiannya sehingga tidak dapat diperluas dan tidak dapat dikembangkan. Dengan demikian rukyat hanya dapat diartikan sebatas melihat dengan mata.
Kedua tanpa melihat hilal secara langsung melainkan menetapkan kriteria astronomis tertentu untuk memasuki bulan baru, dimana apabila kriteria tersebut telah terpenuhi, maka malam itu dan keesokan harinya dinyatakan sebagai bulan baru, jika kriteria tersebut belum terpenuhi maka malam tersebut dan keesokan harinya dijadikan hari terakhir bulan berjalan dan bulan baru dimulai lusanya. Metode ini dikenal dengan nama metode hisab. Menurut madzhab ini, term rukyat yang terdapat dalam hadis-hadis dinilai bersifat ta’aqquli -ma’qul al-ma’na- dapat dirasionalkan, diperluas dan dikembangkan diantaranya dapat diartikan mengetahui meski bersifat ẓanni (perkiraan) adanya hilᾱl.(Khariri Shofa, 2012 : 2) Dari sini rukyat dapat dikatakan lebih kepada pengamalan secara tekstual hadis Nabi, sedangkan hisab mencoba untuk memahami secara kontekstual dengan mengikuti perkembangan ilmu Astronomi modern atau dalam Islam dikenal dengan sebutan ilmu falak.(Sulaiman, 1999)
Dalam hadis-hadis yang ada kata rukyat dapat berproses dan membentuk makna serta pengertian tersendiri yang terstruktur. Memang kata rukyat dapat diartikan sebagai pengamatan dengan mata telanjang, namun pemaknaan kata tersebut bisa melebihi dari pemaknaannya, tergantung bagaimana pemahaman orang memahaminya. Jika pemahaman tersebut dilakukan dengan mempelajari dan mendalami implikasi maknawi yang terkandung dalam berbagai penggunaan kata tersebut dalam hadis, kata rukyat bisa berkembang menjadi sebuah metodologi atau bi ilmi.( Khariri Shofa, 2007 : 97) Perbedaan cara penentuan awal ramadhan dan syawal dikarenakan tidak  adanya ayat al-Qur’an yang secara tegas menggariskan cara yang wajib untuk dipakai. Sedangkan dalil yang digunakan adalah hadis-hadis sahih yang diriwayatkan oleh beberapa perawi yang kuat. Pada dasarnya hadis-hadis ini berintikan dua hal: Pertama, awal Ramadan dan Syawwal ditentukan dengan menggunakan “Rukyat”. Pengertian rukyat sendiri mengandung arti generik yang tidak sama tepat dengan pengertian rukyat yang sekarang kita pahami. Kedua, jika langit tertutup awan maka kadarkanlah  فإن غم عليكم فاقدروا له  inilah dua pangkal penentuan awal Ramadan dan Syawwal yang mengakibatkan perbedaan penafsiran nash dan ijtihad.(Khariri Shofa, 2007 : 5)

C.       Hadits-hadits tentang permulaan bulan
Dalam beberapa literatur, hadis-hadis tentang rukyatul hilal diriwayatkan dengan redaksi yang berbeda-beda. Hadis-hadis tersebut secara global membahas tentang empat hal: pertama, hadis yang menunjukkan tentang perintah memperkirakan hilal pada saat mendung atau hilal tidak dapat dilihat. Kedua, hadis yang menunjukkan tentang perintah menggenapkan bulan tiga puluh hari pada saat mendung atau hilal tidak dapat dilihat. Ketiga, hadis yang menunjukkan tentang perbedaan maṭᾱli’ dan setiap negara menempuh rukyat sendiri. Keempat, hadis yang menunjukkan jumlah saksi dalam proses observasi atau rukyat yang dapat diterima dan dijadikan dasar dalam penetapan bulan Ramadan maupun syawwal.(Khariri Shofa, 2007 : 54) Sedangkan klasifikasi hadist tentang hisab rukyah adalah sebagai berikut :
Pertama, Hadist yang menunjukkan akan perintah memperkirakan hilal pada saat mendung atau hilal tidak dapat dilihat berasal dari riwayat Abdullah Ibn Umar, yaitu:
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Artinya : Jika kalian telah melihat hilal maka berpuasalah dan berbukalah kalian maka jika tertutup atas penglihatan kalian karena melihatnya maka kadarkanlah.
            Dari penelusuran penulis, periwayatan hadist ini terdapat diberbagai macam kitab hadist, seperti : Sunan an-Nasai (al-Nasai, 1986 : 134), Shahih Muslim (Muslim bin al-Hijjaj, 1954 : 759 ), Shahih Bukhari (al-Bukhari,1422 : 26), Shahih Ibnu Hibban (Ḥibban,1993 : 227,239), Sunan al-Kubra li al-Baihaqi (al-Baihaqi, 1344 : 204 ), dll
لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه فإن غم عليكم فأقدروا له
Artinya : Janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal dan janganlah kalian berbuka sampai melihat hilal maka jika tertutup olehmu maka kadarkanlah.(Muslim bin al-Hijjaj, 1954 : 759)
Rasulullah Saw bersabda yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ ثَلاَثِينَ
Artinya : Satu bulan adalah 29 hari maka janganlah kalian puasa sampai kalian melihat hilal dan janganlah kamu berbuka sampai kalian melihatnya maka jika tertutup olehmu melihatnya maka kadarkanlah 30 hari.(Abu Dawud : 267)
إن الله جعل الأهلة مواقيت فإذا رأيتموه فصوموا و إذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فاقدروا له و اعلموا أن الشهر لا يزيد على ثلاثين
Artinya : Sesungguhnya Allah menjadikan hilal sebagai tanda waktu, maka jika kalian melihat hilal maka berpuasalah kalian dan apabila kalian melihat hila maka berbukalah. Jika tertutup olehmu untuk melihatnya maka kadarkanlah dan ketahuilah bahwasannya bulan itu tidak lebih dari 30 hari.(al-Baihaqi, 1411 : 584)
Dalam hal ini, untuk memahami maksud hadis secara baik terkadang tidak mudah, apalagi jika kita temui hadis-hadis yang secara zahir tampak saling kontradiktif. Berkenaan dengan hal yang demikian biasanya para ulama menggunakan metode tarjῑḥ,-menguatkan salah satu–, nasakh mansukh –penghapusan–, al-jam’u –kompromiatau tawaqquf –tidak mengamalkan– hingga ditemukan keterangan hadis yang dapat diamalkan atau diketahui secara jelas akan keshahihannya agar dapat digunakan tanpa adanya syadz (keragu-raguan). Dalam diskursus keilmuan hadis, sebuah hadis ada yang memiliki asbab al-wurud dan atau ada yang tidak memilikinya. Jika sebuah hadis tidak memiliki asbab wurud, Said agil Husain Munawwar berpendapat adanya kemungkinan melakukan analisis pemahaman hadis (fiqhul hadis) dengan pendekatan historis, sosiologis, antropologis, bahkan mungkin juga dengan pendekatan psikologis dengan asumsi dasar bahwa ketika Rasulullah bersabda atau melakukan sesuatu pasti tidak lepas dari kondisi yang melingkupi masyarakat pada saat itu. Fazlur Rahman mengkombinasikan antara pendekatan historis dengan pendekatan sosiologis guna memahami suatu hadis.(Fazlur Rahman, 2002)

D.      Historis Hadits Hisab
Salah satu sebab dimunculkannya teori hisab dalam penentuan awal bulan adalah salah satu riwayat hadis dengan tambahan –ziyadat ḥadiṡiyyah– فاقدروا له ثلاثين merupakan tambahan yang dapat diterima dan menurut al-Albani berkualitas sahih.(Al-Albani, 1998: 267) Dan diperkuat dengan hadits-hadits lain dengan redaksi فاقدروا له
Dan juga hadits yang menjelaskan keadaan ummat saat itu yang masih ummi (belum banyak bisa membaca dan menghitung) dengan redaksi sebagai berikut :
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ؛ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ، الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي: مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ، وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ
Artinya : Sesunguhnya kami adalah ummat yang ummi, kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari.[H.R al-Bukhari dan Muslim]

Dengan mengkomparasikan ayat Alqur’an surat ar-Rahman ayat 5
الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ [الرحمن : 5[
 dan surat Yunus ayat 5
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ [يونس : 5[
tentang peredaran benda-benda langit yang berorbit sesuai garis edarnya dengan hadits-hadits diatas, ini memberikan penguat bahwa peredaran benda langit ini dapat dihitung (dihisab) secara tepat.(Muhammadiyah, 2009 : 75)
Karakteristik yang sangat fundamental tentang parameter penafsiran atau pemahaman sebuah nash hadis itu terletak pada prinsip atau kaidah yang diyakininya. Jika metode dalam memahaminya menggunakan dan lebih berpegang pada kaidah al-Ibrah bi Umumi al-Lafadz la bi Umumi as-Sabab (Ketetapan makna itu didasarkan pada universalitas keumuman teks bukan pada partikulasi kekhususan sebab). Dalam menetapkan sebuah produk penafsiran akan teks mereka lebih mengedepankan makna ‘am-nya daripada menganalisis sebab-sebab diwahyukannya nash ditinjau dari sosio, history dan antropologi saat itu sebelum menetapkan suatu pemaknaan matan atau nash hadis. Karena bertumpu pada analisis kebahasaan, tidak jarang pentafsiran atau pemahaman sangat kental dengan nalar bayani dan bersifat deduktif dimana posisi lafadz teks lebih menjadi dasar penafsiran dan bahasa menjadi perangkat analisisnya.(Syafrudin, 2009: 36) 
Sebaliknya, metode penafsiran secara kontekstual berpegang pada prinsip atau kaidah penafsiran al-‘Ibrah Bi Khusus as-Sabab La Bi Umumi al-Lafadz (Ketetapan makna itu didasarkan pada partikulasi kekhususan sebab bukan pada universalitas keumuman teks). Dalam realita aktivitas penafsiran model ini pertama-tama memahami makna asli suatu teks, kemudian menelusuri anasir-anasir sejarah yang menyebabkan turunnya suatu teks atau ajaran sehingga dapat merekonstruksi makna. Dikalangan penganut paham kontekstualisasi makna nash memunculkan kaidah baru yang di sebut al-‘Ibrah bi Maqashid asy-Syari’ah (Ketetapan makna didasarkan akan maksud-maksud Syari’ah). Kaidah ini berusaha mencari sintesis-kreatif dalam memahami teks dengan berpegang teguh pada tujuan disyari’atkannya sebuah doktrin. (Syafrudin, 2009: 36)
Para ulama’ dalam mengaktualisasikan makna hadits tentang awal bulan diatas baik dari kelompok rukyat, maupun dari kelompok hisabpun kadang terjadi perbedaan di dalam masing2 kelompok, dikalangan Hisab sendiri, kriteria yang digunakan Muhammadiyyah adalah wujudul hilal sedang PERSIS menggunakan tinggi hilal 20.( Khazin, 2009: 63). Sebenarnya observasi (rukyat) dan teori berbasis permodelan atau perhitungan (hisab) sama-sama menduduki tempat penting, maka keduanya bisa kompromikan, bahwa berdasarkan model yang dibuat kita dapat memprediksi fenomena yang akan terjadi sehingga bisa dibuat rencana pengamatannya.(Setyanto, 2008 : 16)

E.       Atsar Sahabat
Perbedaan terhadap penentuan awal bulan yang terjadi pada masa kini, ini juga pernah terjadi pada masa sahabat, dimana ketika para sahabat juga berbeda pendapat dalam memahami hadits Nabi SAW..
فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلَالَ، وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ
“ Janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihat (hilal, dan janganlah kalian berbuka sampai kalian melihatnya.”
Yang dimaksud disini bukanlah seseorang tidak boleh berpuasa sampai ia melihat dengan mata kepalanya sendiri. Yang dimaksud disini adalah seseorang tidak boleh berpuasa sampai ia melihatnya sendiri, atau ada orang lain yang melihatnya.
Singkat kata, yang dimaksud disini adalah keumuman peniadaan bukan peniadaan keumuman.yaitu tidak berpuasa sampai hilal terlihat atau diketahui sudah terlihat. Untuk itu, ketika para sahabat berbeda pendapat tentang hari yang meragukan[2] (antara puasa dan tidak) di bulan Ramadhan, maka sebagian mereka tetap berpuasa baik langit terang atau gelap dalam rangka berhati-hati. Sebagian yang lain tidak melakukannya secara mutlak baik ketika langit terang lantaran kawatir menambahi jumlah hari dalam satu bulan. Sebagian lagi membedakan kapan langit terang dan kapan gelap, karena hilal itu terlihat atau tidaknya adalah sewaktu langit terang.
Para sahabat yang memilih berpuasa dihari yang meragukan ingin bertindak hati-hati. Mereka menimbang mungkin ada orang yang telah melihat hilal,dan nanti bisa mereka kurangi (untuk menyesuaikan jumlah bulan Ramadhan, edt). Akan tetapi andai mereka tahu bahwa tak satupun dari kaum muslimin yang melihat hilal,  niscaya tidak ada seorang pun dari mereka yang memperbolehkan berpuasa atas dasar hisab! Hisab yang menyatakan bahwa “ bulan sudah muncul “ mesti tidak terlihat (lewat ru’yah).(Abu Abdillah, 2010 : 137-138)
Dari penjelasan diatas dapat kita pahami bahwa pada masa sahabat pengunaan hisab untuk menentukan permulaan bulan tidak dilakukan oleh para sahabat.


















BAB III
PENUTUP

Untuk mengetahui otentisitas sebuah hadis sangat erat kaitannya dengan kualitas atau otentik tidaknya sebuah sanad. Sedangkan Hadis-hadis tentang rukyatul hilal merupakan hadis ahad karena jumlah perawi pada salah satu tabaqah atau lebih dibawah kuantitas hadis mutawatir. Dari segi kualitas, riwayat hadis tersebut termasuk kedalam kategori ṣaḥiḥ al-matn dengan keberadaan salah satu riwayatnya dalam Sahih Bukhari ataupun Sahih Muslim serta tidak ada kontradiksi diantara matan hadis yang ada. Selain berkualitas sahih, hadis-hadis diatas ada yang berada pada kualitas hasan sehingga semuanya dapat dijadikan sebagai hujjah dalam hukum.
   Dengan perkembangan keilmuan ini, Hisab muncul memberi gambaran detail dan sangat dibutuhkan dalam penentuan awal bulan qamariyyah, hal ini dapat dipahami karena sejalan dengan perubahan alam raya dan posisinya, meskipun perubahan tersebut sangat halus sekali. Data posisi dan waktu pemunculan hilal sangat membantu perukyat untuk menemukan hilal. Oleh karenanya, keakurasian data merupakan tuntutan yang harus dipenuhi. Teori perubahan posisi benda-benda langit ini dikuatkan oleh konsep ulama’ kalam yang menyatakan bahwa alam pasti berubah dan yang setiap berubah itu adalah baru, karena dengan data-data hisab yang kontemporer maka akan menghasilkan penelitian yang kontemporer pula.












DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakr Ahmad bin al-Husain bin Ali al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra Wa Fi Dzailih al-Jauhar al-Naqi (India: Dairat al-Ma’arif al-Niẓamiyah, 1344 H)
Abu Dawud Sulaiman bin al-Ash’ath al-Sajistani, Sunan Abu Dawud (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabῑ, t.th)
Ahmad Sulaiman, Muhammad, Ṣabahah Faḍaiyyah Fi Afaq ‘Ilm al Falak (Kuwait: Maktabah Ajiri, 1999)
Al-albany....
al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il, al-Jami’ al-Musnad al-ṣaḥiḥ al-Mukhtaṣar Min Umuri Rasulillah wa Sunanihi wa ayyamihi (t.tp: Dar ṭuq al-Najah, 1422 H)
al-Naisaburi, Muslim bin al-Hijjaj Abu al-Husain al-Qusyairi, al-Jami’ al-Saḥi(Beirut: Dar Ihya’ Li al-Turath, 1954)
Al-Najjar, Zaghlul Raghib, Sains dalam Hadis, (Jakarta : Zaman, 2013)
al-Nasai, Ahmad bin Syu’aib Abu abrurrahman, al-Mujtaba Min al-Sunan (Halab: Maktab al-Maṭbu’at, 1986)
Anwar, Syamsul Hisab Bulan Kamariyah”, (Yogyakarta:Suara Muhammadiyah,2009), hal.7)
Fazlur Rahman, Perubahan Sosial dan Sunnah Awal dalam Wacana Studi Hadis Kontemporer (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002)
Ibn Taimiyyaah, Risalah fi Hilal wal Hisab al Falaky, terjm. Abu Abdillah, Hilal atau Hisab, (Banyumas :Buana Islam Islami, 2010)
Izzuddin, Ahmad, Fiqih Hisab Rukyat; Menyatukan Muhammadiyah dan NU dalam Penentuan Awal Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007)
Khazin, Muhyiddin, Tanya Jawab Masalah Hisab Rukyat,(Jogyakarta : Ramadhan Press, 2009)
Majlis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pedoman Hisab Muhammadiyah, (Yogyakarta : 2009)
Muhammad bin Ḥibban, Saḥiḥ Ibn Ḥibban (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993)
Muslih Ar, Mansyur Ade, Belajar Ilmu Falak, (Cilacap : Ihya Media, 2011)
Said Agil Husin Munawwar, Asbabul Wurud, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001)
Thahir al-Jawabi, Juhud al-Muhadditsin Fi Naqdi Matni al-Hadis al-Nabawiy al-Syarif, (Tunisia: Muassasah ‘Abd Karim, 1986)
Setyanto, Hendro , Membaca Langit, (Jakarta : Al-Ghuraba, 2008), hal. 16
Shofa, Khariri, dkk, Laporan Penelitian Kolektif Penentuan Awal Ramadhan-Syawal: Antara Teks dan Perkembangan Astronomi Modern Studi Hadis-hadis Rukyatul Hilal (Kementerian Agama RI, 2012)
Syafrudin, H.U., Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual Usaha Memahami Kembali Pesan al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009)




[1] Yang dimaksud dengan pendekatan historis adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara mengkaitkan antara ide atau gagasan yang terdapat dalam hadis dengan determinasi-determinasi social dan situasi historis cultural yang mengitarinya. Pendekatan secara sosiologi adalah pendekatan yang dilakukan dengan menyoroti  atau menimbang dari sudut posisi manusia yang membawanya kepada perilaku itu. Sosiologi didefinisikan sebagai; “The Sythesizing and generalizing science of man in all his social relationships. The focus of attention upon social relationship make sociology a distincitive field”. (Arnold W. Green, Sociology  An Analysis Of Live In Modern Society, (New York: Toroto, 1960), hlm. 1-5. Sedangkan pendekatan antropologi adalah pendekatan dengan memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku itu pada tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan masyarakat manusia. (Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (editor), Metodologi Penelitian Agama; Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hlm. 1.
[2] Dari shilah bin Zufar berkata : Kami di tempat ‘Ammar bin Yasir, ia menyuguhkan kepada kami kambing panggang dan berkata : “ Makanlah kalian !” Beberapa orang menyingkir danberkata: “ saya puasa.” Maka ‘Ammar berkata :” Barang siapa yang berpuasa di hari yang meragukan berarti telah bermaksiat kepada Abu Qasim (Rasulullah SAW). [H.R. Abu Dawud 2334, At-Thurmudzi 686, Ibn Majah 1645, dishahihkan oleh Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibban 878, Al Hakim 1:423]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar