Selasa, 26 Mei 2015

HISTORITAS ILMU HISAB PERIODE PERTENGAHAN DAN MODERN

HISTORITAS ILMU HISAB
PERIODE PERTENGAHAN DAN MODERN[1]
Disusun Oleh: Nurwahidah Fibrianty Alim

A.                Pendahuluan
Ilmu hisab adalah bagian ilmu dari ilmu falak, merupakan ilmu yang sudah tua dikenal oleh manusia. Bangsa-bangsa Mesir, Mesopotamia, Babilonia dan Tiongkok, sejak abad ke-28 sebelum masehi telah mengenal dan mempelajarinya. Mereka mempelajari ilmu ini, pada mulanya bertujuan menghasilkan hitungan waktu, yang akan digunakan sebagai saat penyembahan berhala-berhala yang mereka tuhankan. Kemudian berkembang untuk kepentingan-kepentingan lainnya seperti pencatatan waktu kejadian-kejadian penting, perdagangan, dan sebagainya.
Pada zaman Rasulullah ilmu ini belum dikenal. Pengetahuan masyarakat Arab mengenai benda-benda langit pada saat itu lebih banyak bersifat sebagai kepentingan petunjuk jalan di tengah padang pasir di malam hari. Pengetahuan yang mereka miliki  belum sampai pada taraf pengetahuan bangsa-bangsa Babilonia, India dan Yunani yang telah berkembang. Oleh karena itu penentuan waktu-waktu ibadah, khususnya Ramadhan dan idul fitri, pada masa Rasulullah didasarkan kepada rukyat fisik, karena metode inilah yang tersedia dan mungkin dilakukan di zaman tersebut.
Setelah Rasulullah meninggal dan islam berkembang ke berbagai kawasan di mana pada kawasan tersebut ditemukan berbagai ilmu pengetahuan yang telah maju menurut ukuran zaman itu, maka ilmu-ilmu tersebut diadopsi oleh Islam dan dikembangkan, termasuk ilmu falak. Perkembangan ini didorong oleh kegiatan penerjemahan yang dimulai sejak zaman yang dini dalam sejarah Islam. Dalam buku pedoman hisab rukyah Muhammadiyah (2009: 6) menerangkan bahwa orang pertama yang paling giat mendorong penerjemahan ini adalah Pangeran Bani Umayyah Khalid Ibn Yalid (w. 85 H/704 M) yang memerintahkan penerjemahan berbagai karya keilmuan di bidang kedokteran, kimia dan ilmu perbintangan. Mengingat ulama pertama yang membolehkan penggunaan hisab adalah ulama Tabiin terkenal Mutarrif Ibn ‘Abdillah Ibn asy-Syikhkhir (w. 95/714), maka berarti studi hisab dan falak telah mulai berkembang pada abad pertama Hijriah.
Anton Ramdan (2009: 63) menjelaskan dalam bukunya kegiatan penerjemahan berbagai karya ilmuan ini terus berlanjut pada masa Abbasiyah yang menerjemahkan dan menyadurkan karya – karya bangsa Persia, India, dan yunani. Para Khalifah mendekatkan ahli – ahli ilmu falak dan perbintangan ke istana mereka yang mendorong laju perkembangan kajian astronomi dalam Islam. Pada mulanya ilmu falak Islam lebih berorientasi di India da Persia. Pada zaman Khalifah al – Mansur, buku ilmu falak india di kalangan ahli astronomi Islam dikenal dengan as – Sindhind ( السـنـد حـنـد) diterjemahkan dalam bahasa arab oleh Muhammad Ibn Ibrahim al – Fazari yang lalu menjadi pegangan setidaknya hingga zaman Khalifah al – Makmun.
Dan pada zaman Khalifah Al-Makmum (abad 9) adalah zaman keemasan Islam.[2] Sehingga pada zaman Daulah Abbasiyah keadaan ilmu falak mendapat kemajuan yang sangat pesat dan ilmu falak dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan umat Islam pada waktu itu.
Dalam perjalanan waktu dan dengan diperkaya oleh berbagai sumber itu lahir teori – teori baru ilmu falak yang tidak semata mengikuti mazhab India, Persia, dan Yunani. Namun harus diakui pengaruh al – Majisti dari Ptolemaeus sangat besar.
Tersedianya berbagai tempat penelitian (observatorium) astronomi atau ilmu falak merupakan syarat utama bagi terciptanya kemajuan ilmu tersebut. Jangan harap suatu negara dapat mengalami perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat jika tidak menyediakan lembaga penelitian yang memadai. Hal ini sangat dimengerti oleh para khalifah yang silih berganti memimpin umat Islam yang ingin mengembangkan ilmu pengetahuan termasuk ilmu falak. Oleh karena itu, para khalifah Islam berusaha menyediakan berbagai fasilitas bagi para ilmuan sebaik mungkin.
B.                 Pembahasan
Ilmu falak bergulir dari tangan bangsa Yunani ke bangsa Arab. Bangsa Arab mengambil alih ilmu falak yang sempat tersendat pada masa – masa keruntuhan Yunani. Dengan latar belakang agama Islam yang memicu kesadaran ilmiah, bangsa Arab berhasil keluar dari kubangan keruh kebodohan menuju cahaya peradaban yang lebih maju. Perlahan tapi pasti, ilmu falak mengalami perkembangan yang jauh lebih pesat dibanding pada masa Yunani. Berbagai teori baru dan penemuan alat ditemukan pada masa kejayaan Islam.
Peradaban yang berjaya selama kurang lebih 14 abad ini pula berhasil menelurkan ratusan ahli astronomi. Di tangan mereka kemajuan ilmu falak diolah menjadi ilmu yang begitu terasa manfaatnya di masyarakat. Dan juga karena perjuangan mereka, ilmu falak dapat tersebar ke seluruh dunia dari bangsa China di timur hingga bangsa Eropa di barat. Para ilmuan falak rela memeras otak dan keringat mereka untuk itu semua. Pada masa kekhilafahan Islam inilah, ilmu falak mencuat dan berkembang menjadi penting dan fundamental bagi perkembangan ilmu astronomi masa kini.
Pengaruh astronomi Islam ke Eropa masuk melalui Andalusia (Spanyol). Pada saat itu, Spanyol termasuk ke dalam wilayah Islam. Selain melalui Andalusia, pengaruh astronomi Islam juga masuk ke Eropa melalui Sisilia, wilayah yang dikuasai Islam hingga 1091 M dan memiliki perkembangan ilmu pengetahuan yang tidak kalah dengan astronomi Islam, sehingga mereka menerjemahkan banyak karya-karya astronomi Islam.
Salah satu buku astronomi Islam yang diterjemahkan yaitu The elements of Astronomy yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada abad ke-12. Buku ini dikarang oleh Al-Farghani. Buku ini juga diterjemahkan ke dalam bahasa Yahudi oleh ilmuwan Yahudi bernama Jacob Anatoli. Pada saat itu, masyarakat Eropa pada umunya memegang teguh teori Geosentris. Mereka meyakini bumi ini tidak bergerak dan matahari bergerak mengelilingi bumi. Hal ini bertahan cukup lama hingga datangnya ide baru copernicus tentang alam semesta pada abad ke-16. Ia merupakan orang pertama asal Polandia yang menulis teori heliosentris dengan segenap perhitungan matematikanya. Ia sendiri belajar dari buku-buku karangan Ibnu Al-Haytham dan Al-biruni yang jelas-jelas menyatakan teori Geosentris. (Anton Ramdan, 2009: 71)
Setelah sekian lama berjaya, akhirnya kekhilafahan Islam harus turun dari puncak peradabannya sejak abad ke - 15. Keruntuhan peradaban Islam pada masa – masa terakhirnya turut memberikan dampak negatif pada perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu falak. Denyut jantung kemajuan ilmu falak seakan terhenti untuk beberapa saat. Berbagai literatur hanyalah menjadi tumpukan kenangan bahkan telah banyak yang hilang. Hanya sedikit sekali literatur dan alat – alatnya pada masa kejayaan Islam yang masih tersimpan. Itu pun tersimpan diberbagai museum dan perpustakaan tertentu yang sulit dijangkau.
Perkembangan ilmu pengetahuan termasuk ilmu falak (Hisab) tidak dapat dipungkiri sangat dipengaruhi oleh stabilitas politik pemerintahan. Adanya Gejolak dan perpecahan mengakibatkan ketidaknyamanan serta keamanan cendikiawan muslim dalam mengembangkan khazanah keilmuan yang ada.
Pada periode pertengahan yang dimulai pada tahun 1200-an hingga 1800-an yang merupakan masa setelah terjadinya penyerbuan di Andalusia oleh tentara Kristen, penyerbuan Baghdad dan awal mula Perang Salib (Musyfirah Sunanto, 2004: 177) merupakan masa merangkaknya kembali ilmu pengetahuan di Dunia Islam. Dimana pada masa itu kekuasaan Islam yang berpusat di beberapa daerah mulai melahirkan ilmuwan-ilmuwan besar seperti; Baghdad (1258-1343 M), Iran (1370-1469 M), Mesir (1250-1517 M), Turki (1281-1924 M), Persia (1501-1722 M) dan India (1526-1748 M).
Berkembangnya kembali ilmu pengetahuan di dunia Islam khususnya ilmu falak (Hisab) ditandai dengan lahirnya cendikiawan-cendikiawan muslim walaupun jumlahnya belum banyak. Mereka melakukan inovasi-inovasi luar biasa dalam mengembangannya, seperti Nashiruddin al Thusi dengan inovasinya meletakkan dasar-dasar Hisab Modern dan mendirikan obsevatorium terbesar dan terlengkap di Maragha-Persia.[3]
Pada masa kerajaan Mongol, tahun 1477 M pemerintahan berada di tangan Ulugh Beig (w. 1449 M). Beliau merupakan raja yang alim dan sarjana ilmu pasti serta ahli Hisab (Yatim, 2010: 123) dan berhasil mendirikan obsevatorium termegah di Samarkhand dengan radius kubah mencapai 130 kaki. (Masood, 2010: 102) Obsevatorium ini sangat bermanfaat bagi para ahli Hisab Arab pada masa itu. Mereka mampu mengukur kemiringan poros bumi dan memperbaiki pergerakan rotasi bumi selama hamper 26.000 tahun. Selain itu, mereka juga dapat menemukan lingkar bumi serta pergerakan / detik matahari tiap tahunnya.
Namun akibat serangan bangsa Mongol yang mengakibatkan trauma yang masih melekat dalam benak mereka berdampak pada penurunan kreatifitas dalam mengembangkan khasanah keilmuan yang mereka miliki. Mereka melarikan diri dan menyebar ke berbagai wilayah. Hal ini berimbas terhadap pengerucutan substansi ilmu pengetahuan yang cakupan pembahasannya menjadi kerdil. (Musyfirah Sunanto, 2004: 193) Keilmuan mereka juga menyempit pada keilmuan keagamaan saja sehingga banyak yang terjerumus  ke hal-hal mistik dan khurafat. Khususnya ilmu falak (Hisab) ruang lingkupnya hanya membahas yang berkaitan dengan keagamaan saja, seperti penentuan arah kiblat, waktu salat, awal bulan. Sedangkan masalah perbintangan dikhususkan untuk peramalan saja.
Masa keemasan kembali di tangan kaum muslim pada saat Izzudin Aibak (w. 1257 M) mendirikan dinasti Mamalik (1249 – 1517 M) di Mesir. Beliau berhasil mempertahankan Mesir dari penyerbuan tentara Mongol. Sejak saat itu Mesir menjadi daerah tumpuan harapan para cendikiawan muslim dalam mengembangkan keilmuan mereka. Namun, perkembangan ilmu pengetahuan itu menjadi  tidak berarti, hal ini dikarenakan beberapa factor, yaitu; sarana untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan pemikiran baik yang diterjemahkan dari bahasa Yunani, Persia, India, dan Syiria hancur akibat serangan tentara Mongol; kekuasaan Islam pada tiga kerajaan besar dipegang oleh bangsa Turki dan Mughal yang lebih menyukai perang daripada pengembangan ilmu pengetahuan; tidak berkembangnya metode berpikir rasionalis dan tidak adanya ruang kebebasan berpikir; pusat-pusat kekuasaan Islam tidak berada di wilayah Arab dan tidak pula oleh bangsa Arab; terjadinya stagnasi dalam lapangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dan hanya pengembangan kekuatan militer. (Yatim, 2010: 152-156)
Pada awal abad ke – 20, kajian ilmu falak dibangkitkan kembali dengan munculnya beberapa ahli astronomi Eropa yang melakukan kajian mengenai ilmu falak (Hisab) dengan mengedepankan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi). Di antara mereka adalah Simon New Comb (1835-1909 M) membuat Almanac Nautika yang merupakan tabel pegangan utama hisab kontemporer di Indonesia hingga saat ini, Walter Bade (1892-1960 M) yang menemukan dua populasi bintang dalam galaksi bima sakti. (Khazin, 2005: 99), Jean Meeus (1928 M), seorang ahli matematika dan astronomi, pengarang buku The Canon Of Solar Eclipse Astronomical Algorim yang menjadi rujukan utama di Indonesia dalam perhitungan benda-benda langit serta  Fotheringham yang pada tahun 1910 M dan Maunder pada tahun 1911 M menawarkan kriteria baru untuk rukyat, yaitu hisab (menghitungnya) terlebih dahulu. (Majelis Tarjih dan Tajdid, 2009: 9)
Sedangkan pada periode modern ini, hanya sedikit tokoh muslim yang bermunculan dan berdedikasi terhadap ilmu falak (Hisab khusussnya karena khasanah keilmuan mereka mengenai hal tersebut dipersempit hanya pada bidang keagamaan saja seperti penentuan Arah Kiblat, waktu salat, dan penentuan puasa dan hari Raya.
Di Indonesia sendiri, pengkajian ilmu falak syar’i atau ilmu hisab mulai berkembang pesat. Ulama yang pertama terkenal sebagai bapak hisab Indonesia adalah Syekh Taher Jalaluddin al-Azhari (w. 1286 H/1869 M). Selain Syekh Taher Jalaluddin pada masa itu juga ada tokoh-tokoh hisab yang sangat berpengaruh, seperti Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Ahmad Rifa’i, dan K.H. Soleh Darat. (Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2009: 10)
Ilmu hisab kini tidak lagi menjadi ilmu yang tabuh. Hisab dan segala permasalahannya tidak saja merupakan pembicaraan yang menarik, namun pada perkembangannya merupakan suatu ilmu yang senatiasa mendapat perhatian. Ini terbukti dengan berbagai macam pertemuan yang diselenggerakan berkaitan dengan ilmu hisab, tidak hanya pada tingkat nasional tetapi juga pada tingkat internasional. Terakhir yang dilaksanakan pada penghujung tahun 2008 adalah “ Temu Pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam” ( اجـتـمآ ء الخـبـرا السنى لدر ست و التـقـو يم / The second Experts’ Meeting for the Study of Establishment of the Islamic Calender), yang diselenggarakan di Rabat Maroko tanggal 15 – 16 Syawal 1429 H / 15 – 16 Oktober 2008 atas kerjasama ISESCO, Asosiasi Astronomi Maroko dan Organisasi Dakwah Islam Internasional Libia.
C.                Kesimpulan
Dari pembahasan yang penulis paparkan dapat ditarik kesimpulan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu falak dalam hal ini ilmu hisab pada periode pertengahan dan modern sangat mengalami penurunan jika dibandingkan dengan periode sebelumnya. Ini dipengaruhi oleh stabilitas politik pemerintahan. Adanya Gejolak dan perpecahan mengakibatkan ketidaknyamanan serta keamanan cendikiawan muslim dalam mengembangkan khazanah keilmuan yang ada.
Keruntuhan peradaban Islam turut memberikan dampak negatif pada perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu falak. Denyut jantung kemajuan ilmu falak seakan terhenti untuk beberapa saat. Berbagai literatur hanyalah menjadi tumpukan kenangan bahkan telah banyak yang hilang. Hanya sedikit sekali literatur dan alat – alatnya pada masa kejayaan Islam yang masih tersimpan. Itu pun tersimpan diberbagai museum dan perpustakaan tertentu yang sulit dijangkau. Bahkan pengaruh pergolakan itu menyisahkan trauma yang begitu mendalam bagi para cendikiawan muslim hingga mereka melarikan diri dan hanya focus pada bidang keagamaan saja yang menyebabkan mereka terjerumus kedalam hal-hal mistik dan khurafat.
Di saat cendikiawan muslim mengalami kemerosotan khasanah keilmuan, di Eropa para ilmuwan justru melakukan berbagai inovasi dan pengembangan terhadap ilmu pengetahuan termasuk ilmu hisab. Banyak karya mereka yang sampai saat ini menjadi rujukan utama hisab kontemporer di Indonesia.
Namun di Indonesia sendiri, ilmu hisab kini tidak lagi menjadi ilmu yang tabuh. Hisab dan segala permasalahannya tidak saja merupakan pembicaraan yang menarik, namun pada perkembangannya merupakan suatu ilmu yang senatiasa mendapat perhatian. Ini terbukti dengan berbagai macam usaha para pemerhati falak untuk selalu melakukan pengembangan ilmu dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang serba canggih.














DAFTAR PUSTAKA
Majelis Tarjih dan Tajdid PP. Muhammadiyah, 2009, Pedoman Hisab Muhammadiyah, Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid PP. Muhammadiyah
Masood, Ehsan, 2010, Ilmuwan-Ilmuwan Muslim; Pelopor Hebat di Bidang Sains Modern, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Murtadho, Muhammad, 2008, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN Malang Pers
Ramdan, Anton, 2009, Islam dan Astronomi, Jakarta: Bee Media Indonesia
Sunanto, Musyrifah, Hajah, 2004, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, Jakarta: Pernada Media
Thaha, Ahmadie, 1983, Astronomi dalam Islam, Surabaya: PT Bina Ilmu
Yatim, Badri, 2010, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Pers



[1] Makalah ini dipresentasikan dalam pertemuan mata kuliah Hisab Kontemporer pada hari Senin tanggal 21 April 2014 program Pascasarjana IAIN Walisogo Semarang
[2]  Pada waktu dipusat pemerintahan Al-Makmum (Baghdad) menjadi pusat segala ilmu pengetahuan dari seluruh dunia, ilmu falak termasuk diantara ilmu-ilmu yang sangat dipentingkan, terutama berhubungan dengan dengan hajat kaum Muslimin untuk menentukan arah kiblat, waktu shalat, tanggal permulaan bulan, dan lain-lain
[3] Nama lengkapnya Abu Ja’far Muhammad bin Muhammad bin Hasan Nasiruddin al Thusi yang merupakan tokoh Astronomi. Beliau selamat dari pembantaian dan dijadikan sebagai astrologi pada masa pemerintahan Hulaghu Khan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar