REFRAKSI,
KERENDAHAN UFUK DAN PARALLAKS
(Koreksi
Terhadap Tinggi Hilal Hakiki)
Oleh
:
Lutfi
Fuadi (135212018)
M.
Romli (135212019)
A.
Pendahuluan
Pedoman dalam
menentukan awal bulan Kamariyah ada dua macam, yaitu dengan menggunakan sistem Rukyat
Bil Fi’li dan sistem Hisab (Kemenag RI, 2010: 155). Dari sistem
hisab sendiri, ada dua kriteria yaitu yang menganut sistem ijtima’ semata dan
sistem posisi hilal. Kelompok yang menganut sistem ijtima’ menetapkan bahwa
jika ijtima’ terjadi sebelum matahari terbenam, maka sejak matahari terbenam
itulah bulan baru sudah mulai masuk (Kemenag RI, 2010: 157).
Namun, menurut
kelompok yang menganut pada posisi hilal menetapkan jika pada saat matahari
terbenam posisi hilal sudah diatas ufuk, maka sejak matahari terbenam itulah
bulan baru mulai dihitung. Dan kelompok ini terdapat dua macam model, yaitu
yang berpedoman pada ufuk hakiki/ true horizon[1], dan ada yang berpedoman
pada ufuk mar’i[2]/ visible
horizon.
Pada aliran yang
berpedoman dengan ufuk mar’i, mereka banyak menambahkan beberapa koreksi dalam
perhitungan ketinggian hilal, ini dilakukan karena benda langit yang dilihat
ialah dilihat dari ufuk mar’i bukannya ufuk hakiki. Yaitu koreksi terhadap
refraksi (pembiasan cahaya), kerendahan ufuk (Dip/D’) dan Parallaks.
Pada makalah ini, kami
akan membahas sedikit mengenai refraksi dan perhitungannya yang mempengaruhi
pengamatan ketinggian benda langit. Selain refraksi, ada pula koreksi lainnya
yakni Kerendahan Ufuk (Dip/D’), bagaimana sebenarnya diperoleh dan yang ketiga
ialah Parallax.
B.
Pembahasan
1.
Refraksi
Dalam melakukan pengamatan benda langit, sinar cahaya dari
benda langit tersebut ke pengamat bukanlah satu garis lurus, melainkan garis
lengkung. Hal ini disebabkan oleh pembiasan cahaya (refraksi), sehingga arah
yang diamati bukanlah garis lurus dari pengamat ke benda langit itu, melainkan
arah garis singgung pada lengkungan cahaya di pengamat (Departemen Geodesi,
1978: 55).
Pengertian dari refraksi[3] ialah perbedaan tinggi
suatu benda langit yang dilihat dengan tinggi sebenarnya diakibatkan adanya
pembiasan sinar/ cahaya. Pembiasan ini terjadi karena cahaya yang dipancarkan
benda tersebut datang ke mata melalui lapisan-lapisan atmosfir yang
berbeda-beda tingkat kerenggangan udaranya; sehingga posisi setiap benda langit
itu terlihat lebih tinggi dari posisi sebenarnya. Refraksi terendah terjadi
saat benda langit itu berada di zenith, semakin rendah maka semakin besar nilai
refraksinya[4]
(Azhari, 2008: 180).
Dalam Ilmu Alam, dikenal kejadian yang dinamakan pembiasan
cahaya atau refraksi. Pembiasan terjadi bila cahaya berpindah dari zat
perantara yang satu pada zat perantara yang lain, yang kepadatannya berbeda.
Dalam Astronomi dikenal pula semacam refraksi, yang dinamakan pembiasan angkasa
(Rachim,1983: 27).
Angkasa yang meliputi
Bumi tidak rata keadaan suhunya, sehingga boleh dianggap terdiri dari berbagai
lapisan yang berbeda-beda tingkat suhunya dan berbeda-beda pula kadar
kepadatannya. Makin jauh dari Bumi, makin kurang padat susunan udara (lapisan
atmosfer). Makin dekat dengan permukaan Bumi, makin padat susunan udaranya.

Gambar 1:
Refraksi Angkasa
Cahaya yang datang dari benda langit, seperti Matahari, Bulan
dan benda langit lainnya, setiap kali dibelokkan arahnya jika sinar itu
berpindah dari lapisan udara yang kurang padat ke dalam udara yang lebih padat.
Karena pergerakannya dari medium yang kurang padat ke medium yang lebih padat,
maka pembelokan arahnya mendekati garis normal, yaitu sebuah garis yang
merupakan batas di antara kedua lapisan itu. Sehingga, jika sinar itu diterima
oleh mata pengamat, arahnya sudah berbeda dari arah semula.
Semakin rendah kedudukan sebuah benda langit, maka semakin
besar pula nilai refraksinya. Refraksi paling besar bagi benda langit terjadi
pada saat terbit dan terbenamnya. Dengan demikian, Matahari pun mengalami
refraksi dengan nilai refraksi terbesar ketika ia terbit dan terbenam. Pada
titik zenith, artinya ia berada pada garis normal, dan nilai refraksinya adalah
nol.
Kedudukan Matahari berada pada ketinggian antara 60° hingga 10°, nilainya hanya
beberapa menit bujur busur. Sedangkan tinggi Matahari yang kedudukannya kurang
dari 10°, nilai
refraksinya meningkat dengan cepat sekali. Itulah sebabnya, jika Bulan atau
Matahari berkedudukan amat rendah (mendekati ufuk), bentuknya kadang-kadang
terlihat tidak bundar sempurna, tetapi agak pecak. Hal ini dikarenakan adanya
pengaruh refraksi. Bagian bawah piringan terrefraksi lebih banyak dari bagian
atasnya. Sehingga poros tegak piringan itu menjadi lebih pendek kelihatannya
daripada poros horisontalnya (Rachim, 1983: 28-29).
Matahari atau Bulan yang berada pada ufuk (ketinggian 0°), mempunyai nilai
refraksi 34,5’ (0° 34’
30”) atau jika dibulatkan menjadi 34’. Artinya, jika Matahari atau Bulan
dilihat saat sedang terbit atau terbenam (piringan sebelah atas dalam keadaan
bersinggungan dengan garis ufuk), maka hakikinya piringan Matahari atau Bulan
sebelah atas itu berada 34,5’ di bawah ufuk. Sedangkan titik pusatnya
berkedudukan 0° 34’
30” + 0° 16’ = 0° 50’ 30” di bawah ufuk
(rata-rata diameter Matahari atau Bulan adalah 16’). Dengan demikian, jarak
titik zenith dengan titik pusat Matahari atau Bulan pada saat terbit atau terbenamnya
adalah 90° 50’ 30”
(Ali, 1997: 39).
Untuk besaran nilai refraksi benda langit dapat dilihat pada
tabel dibawah ini (Montenbruck, 1994: 45):
H
|
10°
|
5°
|
2°
|
1°
|
0°
|
R
|
5’ 31”
|
10’ 15”
|
19’ 7”
|
25’ 38”
|
34.5’
|
Tabel 1. Tabel nilai refraksi
Data diatas hanya secara kasar, dan untuk mengetahui data
refraksi yang lebih detail, bisa dilihat pada lampiran buku Ephemeris Hisab
Rukyat terbitan Kementerian Agama RI yang diterbitkan rutin setiap tahunnya.
Cara lain untuk mengetahui nilai refraksi benda langit ialah
dengan menggunakan rumus sebagai berikut[5]:

Atau

Atau

2.
Kerendahan Ufuk (Dip)
Kaki langit atau horizon atau ufuk ialah lingkaran besar yang
membagi bola langit menjadi dua bagian yang sama (bagian langit yang kelihatan
dan bagian langit yang tidak kelihatan). Lingkaran ini menjadi batas
pemandangan mata seseorang; tiap-tiap orang yang berlainan tempat berlainan pula
horizonnya (Azhari, 2008: 223).
Sedang ufuk sendiri terbagi menjadi tiga, yaitu ufuk haqiqi/ true
horizon, ufuk hissi/ sensible horizon dan ufuk mar’i / visible
horizon[6];
ketiga macam ufuk tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Gambar
2: Macam-macam Ufuk
Untuk dapat melihat ufuk, bidang pertemuan antara Bumi dan
langit, maka pengamat haruslah berada di atas permukaan yang lebih tinggi.
Sehingga, mata pengamat tidak pernah tepat pada permukaan bumi, yang dianggap
bulat, tetapi senantiasa pada suatu jarak tertentu di atasnya. Melalui titik O
(gambar 2), dapat dilukiskan sebuah bidang sejajar dengan bidang ufuk hakiki,
yang disebut ufuk semu. Bidang ufuk hakiki melalui titik pusat Bumi dan bidang ufuk
semu melalui mata pengamat, dipisahkan oleh jarak sebesar jari-jari Bumi R
ditambah dengan ketinggian mata pengamat di atas permukaan air laut, yaitu h.
Meskipun demikian, kedua bidang tersebut dianggap berhimpit (Ali, 1997: 40).
Hal ini karena panjang jari-jari Bumi merupakan bilangan yang sama sekali tidak
berarti bila dibandingkan dengan jarak-jarak di langit yang dianggap tidak
berhingga panjangnya.
Panjang 1’ busur meridian Bumi dapat
dihitung dari keliling Bumi dibagi dengan 360°, kemudian dibagi lagi dengan
60’. Maka panjang 1’ busur meridian Bumi adalah 1,85 km. Panjang busur dari
mata pengamat ke kaki langit inilah yang disebut dengan kedalaman atau
kerendahan ufuk (DIP), yang selanjutnya dilambangkan dengan D’.

Namun,
jika efek refraksi diperhitungkan, maka
.

Perbedaan kedudukan antara ufuk yang sebenarnya (hakiki)
dengan ufuk yang terlihat (mar’i) oleh mata pengamat disebut dengan kerendahan
ufuk (Dip); Dip dapat dihitung dengan rumus :
0,0293
x

Atau
1,76 x 

Atau dapat dengan melihat tabel yang ada pada lampiran
Ephemeris Hisab Rukyat terbitan Kementerian Agama RI. Berikut ini tabel sekilas
mengenai nilai kerendahan ufuk:
h (meter)
|
D’
|
h (meter)
|
D’
|
50
|
12’ 27”
|
550
|
41’ 17”
|
100
|
17’ 36”
|
600
|
43’ 7”
|
150
|
21’ 33”
|
650
|
44’ 52”
|
200
|
24’ 53”
|
700
|
46’ 34”
|
250
|
27’ 50”
|
750
|
48’ 12”
|
300
|
30’ 29”
|
800
|
49’ 47”
|
350
|
32’ 56”
|
850
|
51’ 19”
|
400
|
35’ 12”
|
900
|
52’ 48”
|
450
|
37’ 20”
|
950
|
54’ 15”
|
500
|
39’ 21”
|
1000
|
55’ 39”
|
Tabel 2: Kerendahan Ufuk
3.
Parallaks / Horizontal
Parallax
Perubahan arah garis bidik karena perpindahan tempat pengamat
dinamakan Parallaks, sudah jelas bahwa satu objek yang relatif cukup dekat bila
diamati dari dua tempat yang berlainan, maka kedua garis pandangan/ bidik itu
arahnya tidak sama, tak terkecuali bagi objek-objek yang letaknya jauh tak
terbatas (Departemen Geodesi, 1978: 58). Perhatikan gambar dibawah ini:
![]() |
Gambar
3: Pengambaran parallaks pada satu objek
Parallaks atau Ikhtilaf al-Mandzar adalah beda lihat
yakni beda terhadap suatu benda langit bila dilihat dari titik pusat bumi.
Parallaks ini diformulasikan dengan besarnya suatu sudut suatu dua garis yang
ditarik dari benda langit ke titik pusat bumi dan garis yang ditarik dari benda
langit tersebut ke mata pengamat di permukaan bumi[7].
Ketika benda langit berada di titik kulminasi maka harga
parallaksnya nol (0), bila benda langit berada di horizon atau ufuk maka
parallaksnya disebut Horizontal Parallaks (HP) atau Geocentric
Equatorial Parallax, karena sebagai acuan perhitungan horizontal parallaks
adalah jari-jari bumi (R) pada equator bumi, yaitu 6378,14 km (Khazin, 2007:
136-137). Perhatikan gambar dibawah ini:

Gambar 4: Parallaks dan Horizontal Parallaks
Harga Horizontal Parallaks (HP) dapat dilihat pada data bulan
di buku Ephemeris Hisab Rukyat atau juga dapat dihitung dengan rumus:
Sin HP = R : d
Ket:
R = jari-jari bumi (rata-rata 6378,14
km)
d = jarak dari
bumi sampai titik pusat suatu benda langit (dalam km)
Oleh karena jarak antara bumi dan bulan (menurut Jean Meeus)
yang paling dekat 356.371 km (1 Januari 2257) dan yang paling jauh sekitar
406.720 km (7 Januari 2266), maka harga HP bulan antara 0° 53’ 54.76” hingga 1° 1’ 31.82”.
Untuk nilai parallaks suatu benda langit dapat dihitung
dengan rumus:
P = HP . cos h
4.
Contoh Perhitungan
Refraksi, Dip dan Parallax
Untuk menentukan tinggi hilal atau bulan pada perhitungan
awal bulan Hijriyah, ada beberapa koreksi yang harus dilakukan, yaitu dengan
memperhitungkan berapa besar Horizontal Parallaks, refraksi dan kerendahan ufuk
pada lokasi rukyat. sebagai contoh pada perhitungan awal bulan Ramadhan 1431 H bertepatan
dengan tanggal 10 Agustus 2010 untuk lokasi rukyat Pelabuhan Ratu koordinat
(φ = 7º 1’ 44.6”) (λ = 106º 33’ 27.8”) (tt =52,685
meter).
Perhitungan waktu ijtima’ dan tinggi hilal pada lokasi
tersebut menggunakan kitab Irsyadul Murid karya KH. Ahmad Ghozali Madura. Setelah
dilakukan perhitungan didapati bahwa waktu ijtima’ awal bulan Ramadhan 1431 H
terjadi pada pukul 10j 8m 38.8d WIB, waktu terbenam matahari pukul 17j 55m
40.89d, tinggi hilal ialah 2º 48’ 56.52”, jarak bumi – bulan adalah 373207.001
km, Semidiameter Bulan = 0°
16’ 0.55”.
Jarak bumi – bulan =
373207.001 km
p' =
jarak bumi - bulan ÷ 384401 =
0.97088029
HP =
0.9507 ÷ p’ =
0º 58’ 45.17”
Parallaks =
cos hc x HP
= cos 2º 48’ 56.52” x 0º 58’ 45.17”
= 0º
58’ 40.91”
Refraksi
= 0.0167 ÷ tan
(hc + 7.31 ÷ (hc + 4.4))
=
0.0167 ÷ tan (0º 58’ 40.91” + 7.31 ÷ (0º 58’ 40.91” + 4.4))
=
0º 14’ 58.33”
Dip =
1.76√tt/60
= 1.76√52,685/60
= 0º 12’
46.49”
hc' =
hc – P + sdc + Ref + Dip
=
2º 48’ 56.52” - 0º 58’ 40.91” + 0°
16’ 0.55” + 0º 14’ 58.33” + 0º 12’ 46.49”
= 2º 34’
0.98”
Jadi pada akhir bulan Sya’ban 1431 H tinggi hilal hakiki
ialah 2º 48’ 56.52” dan tinggi hilal mar’i ialah 2º 34’ 0.98” untuk markas
Pelabuhan Ratu.
5.
Pengaruh Parallaks terhadap
Posisi Bulan
Sebagaimana telah dibahas pada poin parallaks, parallaks akan
berpengaruh terhadap asensiorekta (α)
dan deklinasi (δ) yang sebenarnya dengan yang dicatat pada
pengamatan untuk bulan perbedaan itu berarti sekali, karena jaraknya kecil
kalau dibandingkan dengan benda langit lainnya. Dalam gambar 5 bulan
digambarkan pada bola langit yang pusatnya di titik pusat bumi. B1
menyatakan bulan menurut posisi (α
, δ) yang dihitung dari titik pusat bumi (geosentris), yakni posisi yang
sebenarnya dan B’, menyatakannya pada posisi (α’ , δ’), yakni menurut pengamat di permukaan bumi
yang mempunyai lintang φ.
Karena parallaks mempengaruhi ketinggian bulan, maka B1 dan B1’
terletak pada lingkaran vertical yang sama. Maksud selanjutnya ialah
memperlihatkan perhitungan selisih antara α dan α’ antara δ dan δ’.

Gambar 5.
Kalau
sudut jam B1 dan B1’ masing-masing dinyatakan oleh H dan
H’, maka H’ – H = - (α’ - α) atau AH – Δ α. Berdasarkan rumus segitiga bola,
melalui sisi-sisi dan sudut pada segitiga bola KUB1Z kita
dapat menyatakan:
Sin
φ . Cos (180° - A) = Cos φ tg z – sin (180° - A). cotg H
Atau
-
sin φ . cos A = cos φ . cotg z – sin A . cotg H
Atau
Sedangkan dari segitiga
bola KUB’Z diperoleh
-
sin φ . cos A = cos φ . cotg z’ – sin A . cotg H’
Dari kedua persamaan diatas dapat diturunkan
Cos
φ . (cotg z – cotg z’) = sin A . (cotg H – cotg H’)
Atau
Cos φ
.
= sin A .


Karena z’ – z = p dan H’ – H = Δ H, maka
Cos φ
.
= sin A .


Dan dengan memasukkan persamaan
Cos φ
.
.
= sin A . 



Dari rumus segitiga bola diketahui bahwa
Sin A = sin (90°
- δ)

Cos φ
.
=
=



Pada akhirnya dari persamaan ini kita dapat menghitung AH sebagai
berikut:
Tg ΔH
= -tg Δ α =
= 


Dengan persamaan inilah
kita dapat menghitung pengaruh parallaks terhadap asensiorekta. Untuk bulan ini
berarti sekali karena
.

C.
Penutup
Dari pembahasan
singkat diatas, kami dapat menyimpulkan beberapa point, yaitu sebagai berikut:
Dalam menentukan
tinggi hilal pada perhitungan awal bulan hijriyah haruslah memperhitungkan
beberapa hal, yaitu: Refraksi, Kerendahan Ufuk (Dip/ D’), Parallaks dan
Horizontal Parallaks.
Pembiasan cahaya
atau refraksi/ Daqaiq al-Ikhtilaf terjadi bila cahaya berpindah
dari medium (zat perantara) yang satu pada zat perantara yang lain, yang
kepadatannya berbeda. Dalam Astronomi dikenal pula dengan pembiasan angkasa.
Sedang rumus untuk mendapatkan nilai refraksi ialah: 0.0167 ÷ tan (hc + 7.31
÷ (hc + 4.4)).
Kerendahan ufuk (Dip/D’/Ikhtilaf
al-Ufuq) merupakan perbedaan jarak (satuan derajat busur) dari zenith ke
ufuk hakiki dan ufuk mar’i. Hal ini dapat dihitung dengan rumus :
.

Sedangkan Parallaks
atau Ikhtilaf al-Mandzar adalah beda lihat yakni beda terhadap suatu
benda langit bila dilihat dari titik pusat bumi, bila benda langit berada di
horizon atau ufuk maka parallaksnya disebut Horizontal Parallaks (HP)
atau Geocentric Equatorial Parallax. Rumus untuk mengetahui parallaks
ialah: P = HP . cos hc.
Selain rumus-rumus
diatas, nilai refraksi dan kerendahan ufuk juga dapat dilihat pada lampiran
buku Almanak Hisab Rukyat terbitan Kementerian Agama RI.
D.
Daftar Pustaka
Ali, M. Sayuthi. 1997. Ilmu Falak (Jilid I).
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Azhari, Susiknan, 2008. Ensiklopedi Hisab
Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Khazin, Muhyiddin. 2005. Kamus Ilmu Falak.
Yogyakarta: Buana Pustaka.
_______________, 2007. Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta:
Buana Pustaka.
Meeus, Jean,.1978. Algoritma Astronomi. Diterjemahkan oleh Dr.
Ing. Khafid. Modul Kuliah Astonomi, IAIN Walisongo
Montenbruck, Oliver and Thomas Pfleger, 1994. Astronomy on the
Personal Computer. Verlag Berlin: Springer.
Nur, Muhaimin dkk. 1983. Pedoman
Perhitungan Awal Bulan Qamariyah dengan Ilmu Ukur Bola. Jakarta: Bagian
Proyek Pembinaan Administrasi Hukum dan Peradilan Agama.
Rachim, Abd., 1983. Ilmu Falak. Yogyakarta: Liberty.
Shomad, Ma’muri Abd. 1991., Ilmu Falak Matahari dan Bumi dengan
Hisab. Jombang: IKAHA-Jombang.
Tim Penyusun Hisab Rukyat Kementerian Agama Pusat. 2013. Ephemeris
Hisab Rukyat 2014. Jakarta: Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan
Syariah Direktorat Jenderal Bimbingan Islam Kementrian Agama RI.
Tim Penyusun Buku Almanak Hisab Rukyat Kementerian Agama Pusat. 2010. Almanak
Hisab Rukyat. Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Islam Kementrian Agama
RI.
Villanueva, K.J., 1978. Pengantar ke Dalam
Astronomi Geodesi, Bandung: Departemen Geodesi ITB-Bandung.
REFRAKSI, KERENDAHAN UFUK DAN PARALLAKS
(Koreksi
Terhadap Tinggi Hilal Hakiki)

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Pada Matakuliah
Astronomi Bola yang diampu oleh :
Drs. KH. Slamet Hambali, M.SI
Oleh:
Lutfi
Fuadi (135212018)
M.
Romli (135212019)
PROGRAM MAGISTER ILMU FALAK
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
|
[1]
Aliran ini mengemukakan bahwa awal bulan kamariyah adalah ditentukan oleh
tinggi hakiki titik pusat yang diukur dari ufuk hakiki (ufuk hakiki adalah ufuk
yang berjarak 90°
dari titik zenith/ titik puncak bola langit).
[2]
Sedang pada aliran ‘ufuk mar’i’, mereka menetapkan bahwa awal bulan kamariyah
mulai dihitung jika pada saat matahari tenggelam posisi piringan bulan sudah
lebih timur dari posisi piringan matahari. Yang menjadi ukuran arah timur dalam
hal ini ialah ufuk mar’i. Lihat Kemenag RI, Almanak Hisab Rukyat. hal.
157-158.
[3]
Refraksi dalam bahasa inggris disebut dengan Refraction, dan dalam Bahasa Arab
disebut dengan Daqi’iq Ikhtilaf (دقائق الإختلاف).
[4]
Muhaimin Nur dalam Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qamariyah, menambahkan
mengenai pengaruh berubahnya nilai refraksi, selain dipengaruhi ketinggian
benda langit tersebut juga dipengaruhi oleh keadaan suhu dan tekanan udara.
Lihat Muhaimin Nur, Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qamariyah. Hal. 27
[5]
Rumus yang pertama diambil dari modul-modul S-1 mengenai Perhitungan Awal Bulan
dengan Ephemeris Hisab Rukyat oleh Drs. HM. Ma’muri, rumus kedua diambil dari
Muhyiddin Khazin dalam bukunya Ilmu Falak Dalam Teori & Praktik, sementara
rumus ketiga didapat dari buku Ephemeris Hisab Rukyat 2014 terbitan Kementerian
Agama RI.
[6]
Ufuk hakiki = lingkaran pada bola langt yang bidangnya melalui titik pusat bumi
dan tegak lurus pada garis vertical; ufuk hissi = lingkaran pada bola langit
yang bidangnya melalui permukaan bumi tempat si pengamat dan tegak lurus pada
garis vertical dari si pengamat. Dalam Bahasa Inggris biasa disebut Astronomical
Horizon. Lihat Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, hal. 223
dan 218; sedang ufuk mar’i = ketika seseorang sedang berada di pantai atau
tempat lapang, akan tampak ada semacam garis pertemuan antara langit dan bumi,
inilah yang dinamakan ufuk mar’i, biasa disebut dengan ufuk kordat / ufuk yang
terlihat oleh mata. Lihat Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak, hal. 86.
[7]
Nilai parallaks selalu berubah-ubah setiap saat. Harga terbesar terjadi ketika
benda langit berada di kaki langit dan harga terkecil ketika benda langit
berada di zenith. Besarnya parallaks tergantung pada jarak antara benda langit
dan bumi, makin besar jaraknya makin kecil harga parallaksnya. Lihat Susiknan
Azhari, Ensiklopedia Hisab Rukyat. hal 97-98.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar