Selasa, 26 Mei 2015

REFRAKSI, KERENDAHAN UFUK DAN PARALLAKS (Koreksi Terhadap Tinggi Hilal Hakiki)

REFRAKSI, KERENDAHAN UFUK DAN PARALLAKS
(Koreksi Terhadap Tinggi Hilal Hakiki)
Oleh :
Lutfi Fuadi                            (135212018)
M. Romli                                (135212019)

A.    Pendahuluan
Pedoman dalam menentukan awal bulan Kamariyah ada dua macam, yaitu dengan menggunakan sistem Rukyat Bil Fi’li dan sistem Hisab (Kemenag RI, 2010: 155). Dari sistem hisab sendiri, ada dua kriteria yaitu yang menganut sistem ijtima’ semata dan sistem posisi hilal. Kelompok yang menganut sistem ijtima’ menetapkan bahwa jika ijtima’ terjadi sebelum matahari terbenam, maka sejak matahari terbenam itulah bulan baru sudah mulai masuk (Kemenag RI, 2010: 157).
Namun, menurut kelompok yang menganut pada posisi hilal menetapkan jika pada saat matahari terbenam posisi hilal sudah diatas ufuk, maka sejak matahari terbenam itulah bulan baru mulai dihitung. Dan kelompok ini terdapat dua macam model, yaitu yang berpedoman pada ufuk hakiki/ true horizon[1], dan ada yang berpedoman pada ufuk mar’i[2]/ visible horizon.
Pada aliran yang berpedoman dengan ufuk mar’i, mereka banyak menambahkan beberapa koreksi dalam perhitungan ketinggian hilal, ini dilakukan karena benda langit yang dilihat ialah dilihat dari ufuk mar’i bukannya ufuk hakiki. Yaitu koreksi terhadap refraksi (pembiasan cahaya), kerendahan ufuk (Dip/D’) dan Parallaks.
Pada makalah ini, kami akan membahas sedikit mengenai refraksi dan perhitungannya yang mempengaruhi pengamatan ketinggian benda langit. Selain refraksi, ada pula koreksi lainnya yakni Kerendahan Ufuk (Dip/D’), bagaimana sebenarnya diperoleh dan yang ketiga ialah Parallax.  

B.     Pembahasan
1.      Refraksi
Dalam melakukan pengamatan benda langit, sinar cahaya dari benda langit tersebut ke pengamat bukanlah satu garis lurus, melainkan garis lengkung. Hal ini disebabkan oleh pembiasan cahaya (refraksi), sehingga arah yang diamati bukanlah garis lurus dari pengamat ke benda langit itu, melainkan arah garis singgung pada lengkungan cahaya di pengamat (Departemen Geodesi, 1978: 55).
Pengertian dari refraksi[3] ialah perbedaan tinggi suatu benda langit yang dilihat dengan tinggi sebenarnya diakibatkan adanya pembiasan sinar/ cahaya. Pembiasan ini terjadi karena cahaya yang dipancarkan benda tersebut datang ke mata melalui lapisan-lapisan atmosfir yang berbeda-beda tingkat kerenggangan udaranya; sehingga posisi setiap benda langit itu terlihat lebih tinggi dari posisi sebenarnya. Refraksi terendah terjadi saat benda langit itu berada di zenith, semakin rendah maka semakin besar nilai refraksinya[4] (Azhari, 2008: 180).
Dalam Ilmu Alam, dikenal kejadian yang dinamakan pembiasan cahaya atau refraksi. Pembiasan terjadi bila cahaya berpindah dari zat perantara yang satu pada zat perantara yang lain, yang kepadatannya berbeda. Dalam Astronomi dikenal pula semacam refraksi, yang dinamakan pembiasan angkasa (Rachim,1983: 27).
 Angkasa yang meliputi Bumi tidak rata keadaan suhunya, sehingga boleh dianggap terdiri dari berbagai lapisan yang berbeda-beda tingkat suhunya dan berbeda-beda pula kadar kepadatannya. Makin jauh dari Bumi, makin kurang padat susunan udara (lapisan atmosfer). Makin dekat dengan permukaan Bumi, makin padat susunan udaranya.
 















Gambar 1: Refraksi Angkasa

Cahaya yang datang dari benda langit, seperti Matahari, Bulan dan benda langit lainnya, setiap kali dibelokkan arahnya jika sinar itu berpindah dari lapisan udara yang kurang padat ke dalam udara yang lebih padat. Karena pergerakannya dari medium yang kurang padat ke medium yang lebih padat, maka pembelokan arahnya mendekati garis normal, yaitu sebuah garis yang merupakan batas di antara kedua lapisan itu. Sehingga, jika sinar itu diterima oleh mata pengamat, arahnya sudah berbeda dari arah semula.
Semakin rendah kedudukan sebuah benda langit, maka semakin besar pula nilai refraksinya. Refraksi paling besar bagi benda langit terjadi pada saat terbit dan terbenamnya. Dengan demikian, Matahari pun mengalami refraksi dengan nilai refraksi terbesar ketika ia terbit dan terbenam. Pada titik zenith, artinya ia berada pada garis normal, dan nilai refraksinya adalah nol.
Kedudukan Matahari berada pada ketinggian antara 60° hingga 10°, nilainya hanya beberapa menit bujur busur. Sedangkan tinggi Matahari yang kedudukannya kurang dari 10°, nilai refraksinya meningkat dengan cepat sekali. Itulah sebabnya, jika Bulan atau Matahari berkedudukan amat rendah (mendekati ufuk), bentuknya kadang-kadang terlihat tidak bundar sempurna, tetapi agak pecak. Hal ini dikarenakan adanya pengaruh refraksi. Bagian bawah piringan terrefraksi lebih banyak dari bagian atasnya. Sehingga poros tegak piringan itu menjadi lebih pendek kelihatannya daripada poros horisontalnya (Rachim, 1983: 28-29).
Matahari atau Bulan yang berada pada ufuk (ketinggian 0°), mempunyai nilai refraksi 34,5’ (0° 34’ 30”) atau jika dibulatkan menjadi 34’. Artinya, jika Matahari atau Bulan dilihat saat sedang terbit atau terbenam (piringan sebelah atas dalam keadaan bersinggungan dengan garis ufuk), maka hakikinya piringan Matahari atau Bulan sebelah atas itu berada 34,5’ di bawah ufuk. Sedangkan titik pusatnya berkedudukan 0° 34’ 30” + 0° 16’ = 0° 50’ 30” di bawah ufuk (rata-rata diameter Matahari atau Bulan adalah 16’). Dengan demikian, jarak titik zenith dengan titik pusat Matahari atau Bulan pada saat terbit atau terbenamnya adalah 90° 50’ 30” (Ali, 1997: 39).
Untuk besaran nilai refraksi benda langit dapat dilihat pada tabel dibawah ini (Montenbruck, 1994: 45):
H
10°
5°
2°
1°
0°
R
5’ 31”
10’ 15”
19’ 7”
25’ 38”
34.5’
Tabel 1. Tabel nilai refraksi

Data diatas hanya secara kasar, dan untuk mengetahui data refraksi yang lebih detail, bisa dilihat pada lampiran buku Ephemeris Hisab Rukyat terbitan Kementerian Agama RI yang diterbitkan rutin setiap tahunnya.
Cara lain untuk mengetahui nilai refraksi benda langit ialah dengan menggunakan rumus sebagai berikut[5]:
Atau
Atau

2.      Kerendahan Ufuk (Dip)
Kaki langit atau horizon atau ufuk ialah lingkaran besar yang membagi bola langit menjadi dua bagian yang sama (bagian langit yang kelihatan dan bagian langit yang tidak kelihatan). Lingkaran ini menjadi batas pemandangan mata seseorang; tiap-tiap orang yang berlainan tempat berlainan pula horizonnya (Azhari, 2008: 223).
Sedang ufuk sendiri terbagi menjadi tiga, yaitu ufuk haqiqi/ true horizon, ufuk hissi/ sensible horizon dan ufuk mar’i / visible horizon[6]; ketiga macam ufuk tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
Gambar 2: Macam-macam Ufuk

Untuk dapat melihat ufuk, bidang pertemuan antara Bumi dan langit, maka pengamat haruslah berada di atas permukaan yang lebih tinggi. Sehingga, mata pengamat tidak pernah tepat pada permukaan bumi, yang dianggap bulat, tetapi senantiasa pada suatu jarak tertentu di atasnya. Melalui titik O (gambar 2), dapat dilukiskan sebuah bidang sejajar dengan bidang ufuk hakiki, yang disebut ufuk semu. Bidang ufuk hakiki melalui titik pusat Bumi dan bidang ufuk semu melalui mata pengamat, dipisahkan oleh jarak sebesar jari-jari Bumi R ditambah dengan ketinggian mata pengamat di atas permukaan air laut, yaitu h. Meskipun demikian, kedua bidang tersebut dianggap berhimpit (Ali, 1997: 40). Hal ini karena panjang jari-jari Bumi merupakan bilangan yang sama sekali tidak berarti bila dibandingkan dengan jarak-jarak di langit yang dianggap tidak berhingga panjangnya.
Panjang 1’ busur meridian Bumi dapat dihitung dari keliling Bumi dibagi dengan 360°, kemudian dibagi lagi dengan 60’. Maka panjang 1’ busur meridian Bumi adalah 1,85 km. Panjang busur dari mata pengamat ke kaki langit inilah yang disebut dengan kedalaman atau kerendahan ufuk (DIP), yang selanjutnya dilambangkan dengan D’.
Namun, jika efek refraksi diperhitungkan, maka  .
Perbedaan kedudukan antara ufuk yang sebenarnya (hakiki) dengan ufuk yang terlihat (mar’i) oleh mata pengamat disebut dengan kerendahan ufuk (Dip); Dip dapat dihitung dengan rumus :
0,0293 x  
Atau
1,76 x
Atau dapat dengan melihat tabel yang ada pada lampiran Ephemeris Hisab Rukyat terbitan Kementerian Agama RI. Berikut ini tabel sekilas mengenai nilai kerendahan ufuk:
h (meter)
D’
h (meter)
D’
50
12’ 27”
550
41’ 17”
100
17’ 36”
600
43’ 7”
150
21’ 33”
650
44’ 52”
200
24’ 53”
700
46’ 34”
250
27’ 50”
750
48’ 12”
300
30’ 29”
800
49’ 47”
350
32’ 56”
850
51’ 19”
400
35’ 12”
900
52’ 48”
450
37’ 20”
950
54’ 15”
500
39’ 21”
1000
55’ 39”
Tabel 2: Kerendahan Ufuk

3.      Parallaks / Horizontal Parallax
Perubahan arah garis bidik karena perpindahan tempat pengamat dinamakan Parallaks, sudah jelas bahwa satu objek yang relatif cukup dekat bila diamati dari dua tempat yang berlainan, maka kedua garis pandangan/ bidik itu arahnya tidak sama, tak terkecuali bagi objek-objek yang letaknya jauh tak terbatas (Departemen Geodesi, 1978: 58). Perhatikan gambar dibawah ini:
 




Gambar 3: Pengambaran parallaks pada satu objek

Parallaks atau Ikhtilaf al-Mandzar adalah beda lihat yakni beda terhadap suatu benda langit bila dilihat dari titik pusat bumi. Parallaks ini diformulasikan dengan besarnya suatu sudut suatu dua garis yang ditarik dari benda langit ke titik pusat bumi dan garis yang ditarik dari benda langit tersebut ke mata pengamat di permukaan bumi[7].
Ketika benda langit berada di titik kulminasi maka harga parallaksnya nol (0), bila benda langit berada di horizon atau ufuk maka parallaksnya disebut Horizontal Parallaks (HP) atau Geocentric Equatorial Parallax, karena sebagai acuan perhitungan horizontal parallaks adalah jari-jari bumi (R) pada equator bumi, yaitu 6378,14 km (Khazin, 2007: 136-137). Perhatikan gambar dibawah ini:
Gambar 4: Parallaks dan Horizontal Parallaks
Harga Horizontal Parallaks (HP) dapat dilihat pada data bulan di buku Ephemeris Hisab Rukyat atau juga dapat dihitung dengan rumus:
Sin HP = R : d
Ket:
R = jari-jari bumi (rata-rata 6378,14 km)
d = jarak dari bumi sampai titik pusat suatu benda langit (dalam km)

Oleh karena jarak antara bumi dan bulan (menurut Jean Meeus) yang paling dekat 356.371 km (1 Januari 2257) dan yang paling jauh sekitar 406.720 km (7 Januari 2266), maka harga HP bulan antara 0° 53’ 54.76” hingga 1° 1’ 31.82”.
Untuk nilai parallaks suatu benda langit dapat dihitung dengan rumus:
P = HP . cos h

4.      Contoh Perhitungan Refraksi, Dip dan Parallax
Untuk menentukan tinggi hilal atau bulan pada perhitungan awal bulan Hijriyah, ada beberapa koreksi yang harus dilakukan, yaitu dengan memperhitungkan berapa besar Horizontal Parallaks, refraksi dan kerendahan ufuk pada lokasi rukyat. sebagai contoh pada perhitungan awal bulan Ramadhan 1431 H bertepatan dengan tanggal 10 Agustus 2010 untuk lokasi rukyat Pelabuhan Ratu koordinat (φ = 7º 1’ 44.6”) (λ = 106º 33’ 27.8”) (tt =52,685 meter).
Perhitungan waktu ijtima’ dan tinggi hilal pada lokasi tersebut menggunakan kitab Irsyadul Murid karya KH. Ahmad Ghozali Madura. Setelah dilakukan perhitungan didapati bahwa waktu ijtima’ awal bulan Ramadhan 1431 H terjadi pada pukul 10j 8m 38.8d WIB, waktu terbenam matahari pukul 17j 55m 40.89d, tinggi hilal ialah 2º 48’ 56.52”, jarak bumi – bulan adalah 373207.001 km, Semidiameter Bulan = 0° 16’ 0.55”.  
Jarak bumi – bulan     = 373207.001 km 
p'                                 = jarak bumi - bulan ÷ 384401      = 0.97088029
HP                              = 0.9507 ÷ p’                                 = 0º 58’ 45.17”
Parallaks                     = cos hc x HP
                                   = cos 2º 48’ 56.52” x 0º 58’ 45.17”
                                   = 0º 58’ 40.91”
Refraksi                      = 0.0167 ÷ tan (hc + 7.31 ÷ (hc + 4.4))
                                   = 0.0167 ÷ tan (0º 58’ 40.91” + 7.31 ÷ (0º 58’ 40.91” + 4.4))
                                   = 0º 14’ 58.33”
Dip                             = 1.76√tt/60
                                   = 1.76√52,685/60
                                   = 0º 12’ 46.49”
hc'                               = hc – P + sdc + Ref + Dip
                                   = 2º 48’ 56.52” - 0º 58’ 40.91” + 0° 16’ 0.55” + 0º 14’ 58.33” + 0º 12’ 46.49”
                                   = 2º 34’ 0.98”
Jadi pada akhir bulan Sya’ban 1431 H tinggi hilal hakiki ialah 2º 48’ 56.52” dan tinggi hilal mar’i ialah 2º 34’ 0.98” untuk markas Pelabuhan Ratu.

5.      Pengaruh Parallaks terhadap Posisi Bulan
Sebagaimana telah dibahas pada poin parallaks, parallaks akan berpengaruh terhadap asensiorekta (α) dan deklinasi (δ)  yang sebenarnya dengan yang dicatat pada pengamatan untuk bulan perbedaan itu berarti sekali, karena jaraknya kecil kalau dibandingkan dengan benda langit lainnya. Dalam gambar 5 bulan digambarkan pada bola langit yang pusatnya di titik pusat bumi. B1 menyatakan bulan menurut posisi (α , δ) yang dihitung dari titik pusat bumi (geosentris), yakni posisi yang sebenarnya dan B’, menyatakannya pada posisi (α’ , δ’), yakni menurut pengamat di permukaan bumi yang mempunyai lintang φ. Karena parallaks mempengaruhi ketinggian bulan, maka B1 dan B1’ terletak pada lingkaran vertical yang sama. Maksud selanjutnya ialah memperlihatkan perhitungan selisih antara α dan α’ antara δ dan δ’.
Gambar 5.

Kalau sudut jam B1 dan B1’ masing-masing dinyatakan oleh H dan H’, maka H’ – H = - (α’ - α) atau AH – Δ α. Berdasarkan rumus segitiga bola, melalui sisi-sisi dan sudut pada segitiga bola KUB1Z kita dapat menyatakan:
Sin φ . Cos (180° - A) = Cos φ tg z – sin (180° - A). cotg H
Atau
- sin φ . cos A = cos φ . cotg z – sin A . cotg H
Atau
Sedangkan dari segitiga bola KUB’Z diperoleh
- sin φ . cos A = cos φ . cotg z’ – sin A . cotg H’
Dari kedua persamaan diatas dapat diturunkan
Cos φ . (cotg z – cotg z’) = sin A . (cotg H – cotg H’)
Atau
Cos φ .  = sin A .  
Karena z’ – z = p dan H’ – H = Δ H, maka
Cos φ .  = sin A .  
Dan dengan memasukkan persamaan
Cos φ .  .  = sin A .
Dari rumus segitiga bola diketahui bahwa
Sin A = sin (90° - δ)  
Cos φ .  =  =  
Pada akhirnya dari persamaan ini kita dapat menghitung AH sebagai berikut:
Tg ΔH = -tg Δ α =  =
            Dengan persamaan inilah kita dapat menghitung pengaruh parallaks terhadap asensiorekta. Untuk bulan ini berarti sekali karena .
C.    Penutup
Dari pembahasan singkat diatas, kami dapat menyimpulkan beberapa point, yaitu sebagai berikut:
Dalam menentukan tinggi hilal pada perhitungan awal bulan hijriyah haruslah memperhitungkan beberapa hal, yaitu: Refraksi, Kerendahan Ufuk (Dip/ D’), Parallaks dan Horizontal Parallaks.
Pembiasan cahaya atau refraksi/ Daqaiq al-Ikhtilaf terjadi bila cahaya berpindah dari medium (zat perantara) yang satu pada zat perantara yang lain, yang kepadatannya berbeda. Dalam Astronomi dikenal pula dengan pembiasan angkasa. Sedang rumus untuk mendapatkan nilai refraksi ialah: 0.0167 ÷ tan (hc + 7.31 ÷ (hc + 4.4)).
Kerendahan ufuk (Dip/D’/Ikhtilaf al-Ufuq) merupakan perbedaan jarak (satuan derajat busur) dari zenith ke ufuk hakiki dan ufuk mar’i. Hal ini dapat dihitung dengan rumus :  .
Sedangkan Parallaks atau Ikhtilaf al-Mandzar adalah beda lihat yakni beda terhadap suatu benda langit bila dilihat dari titik pusat bumi, bila benda langit berada di horizon atau ufuk maka parallaksnya disebut Horizontal Parallaks (HP) atau Geocentric Equatorial Parallax. Rumus untuk mengetahui parallaks ialah: P = HP . cos hc.
Selain rumus-rumus diatas, nilai refraksi dan kerendahan ufuk juga dapat dilihat pada lampiran buku Almanak Hisab Rukyat terbitan Kementerian Agama RI.

D.    Daftar Pustaka
Ali, M. Sayuthi. 1997. Ilmu Falak (Jilid I). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Azhari, Susiknan, 2008. Ensiklopedi Hisab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Khazin, Muhyiddin. 2005. Kamus Ilmu Falak. Yogyakarta: Buana Pustaka.
_______________, 2007. Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Buana Pustaka.
Meeus, Jean,.1978. Algoritma Astronomi. Diterjemahkan oleh Dr. Ing. Khafid. Modul Kuliah Astonomi, IAIN Walisongo
Montenbruck, Oliver and Thomas Pfleger, 1994. Astronomy on the Personal Computer. Verlag Berlin: Springer.  
Nur, Muhaimin dkk. 1983. Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qamariyah dengan Ilmu Ukur Bola. Jakarta: Bagian Proyek Pembinaan Administrasi Hukum dan Peradilan Agama.
Rachim, Abd., 1983. Ilmu Falak. Yogyakarta: Liberty. 
Shomad, Ma’muri Abd. 1991., Ilmu Falak Matahari dan Bumi dengan Hisab. Jombang: IKAHA-Jombang.
Tim Penyusun Hisab Rukyat Kementerian Agama Pusat. 2013. Ephemeris Hisab Rukyat 2014. Jakarta: Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Direktorat Jenderal Bimbingan Islam Kementrian Agama RI.
Tim Penyusun Buku Almanak Hisab Rukyat Kementerian Agama Pusat. 2010. Almanak Hisab Rukyat. Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Islam Kementrian Agama RI.
Villanueva, K.J., 1978. Pengantar ke Dalam Astronomi Geodesi, Bandung: Departemen Geodesi ITB-Bandung.







REFRAKSI, KERENDAHAN UFUK DAN PARALLAKS
(Koreksi Terhadap Tinggi Hilal Hakiki)




MAKALAH


Disusun Guna Memenuhi Tugas Pada Matakuliah
Astronomi Bola yang diampu oleh :
Drs. KH. Slamet Hambali, M.SI


Oleh:
Lutfi Fuadi                            (135212018)
M. Romli                                (135212019)

PROGRAM MAGISTER ILMU FALAK
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014

 
 



[1] Aliran ini mengemukakan bahwa awal bulan kamariyah adalah ditentukan oleh tinggi hakiki titik pusat yang diukur dari ufuk hakiki (ufuk hakiki adalah ufuk yang berjarak 90° dari titik zenith/ titik puncak bola langit).
[2] Sedang pada aliran ‘ufuk mar’i’, mereka menetapkan bahwa awal bulan kamariyah mulai dihitung jika pada saat matahari tenggelam posisi piringan bulan sudah lebih timur dari posisi piringan matahari. Yang menjadi ukuran arah timur dalam hal ini ialah ufuk mar’i. Lihat Kemenag RI, Almanak Hisab Rukyat. hal. 157-158.
[3] Refraksi dalam bahasa inggris disebut dengan Refraction, dan dalam Bahasa Arab disebut dengan Daqi’iq Ikhtilaf (دقائق الإختلاف).
[4] Muhaimin Nur dalam Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qamariyah, menambahkan mengenai pengaruh berubahnya nilai refraksi, selain dipengaruhi ketinggian benda langit tersebut juga dipengaruhi oleh keadaan suhu dan tekanan udara. Lihat Muhaimin Nur, Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qamariyah. Hal. 27
[5] Rumus yang pertama diambil dari modul-modul S-1 mengenai Perhitungan Awal Bulan dengan Ephemeris Hisab Rukyat oleh Drs. HM. Ma’muri, rumus kedua diambil dari Muhyiddin Khazin dalam bukunya Ilmu Falak Dalam Teori & Praktik, sementara rumus ketiga didapat dari buku Ephemeris Hisab Rukyat 2014 terbitan Kementerian Agama RI.
[6] Ufuk hakiki = lingkaran pada bola langt yang bidangnya melalui titik pusat bumi dan tegak lurus pada garis vertical; ufuk hissi = lingkaran pada bola langit yang bidangnya melalui permukaan bumi tempat si pengamat dan tegak lurus pada garis vertical dari si pengamat. Dalam Bahasa Inggris biasa disebut Astronomical Horizon. Lihat Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, hal. 223 dan 218; sedang ufuk mar’i = ketika seseorang sedang berada di pantai atau tempat lapang, akan tampak ada semacam garis pertemuan antara langit dan bumi, inilah yang dinamakan ufuk mar’i, biasa disebut dengan ufuk kordat / ufuk yang terlihat oleh mata. Lihat Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak, hal. 86.
[7] Nilai parallaks selalu berubah-ubah setiap saat. Harga terbesar terjadi ketika benda langit berada di kaki langit dan harga terkecil ketika benda langit berada di zenith. Besarnya parallaks tergantung pada jarak antara benda langit dan bumi, makin besar jaraknya makin kecil harga parallaksnya. Lihat Susiknan Azhari, Ensiklopedia Hisab Rukyat. hal 97-98.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar